Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rezki Amalia

Nim. : 1112200123
Kelompok 3 (adm.negara)

ETIKA PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

Latar Belakang

Etika Pelayanan Publik adalah bidang studi yang mengeksplorasi norma, nilai-nilai,
prinsip, dan standar perilaku yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Ini
melibatkan aspek moralitas, integritas, transparansi, dan keadilan dalam interaksi antara
pemerintah atau lembaga publik dengan masyarakat yang dilayani. Latar belakang Etika Pelayanan
Publik berkembang seiring evolusi tata kelola pemerintahan dan pemikiran tentang hubungan
antara pemerintah dan masyarakat. Dimulai dari zaman kuno hingga sekarang, pemahaman tentang
tugas dan tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat telah menjadi fokus perhatian dalam
berbagai budaya dan sistem politik. Salah satu tonggak penting dalam sejarah pengembangan etika
pelayanan publik adalah era filsuf Yunani Kuno seperti Plato, Aristoteles, dan Socrates. Mereka
membahas konsep keadilan, tanggung jawab pemerintah, dan kepentingan umum dalam karya-
karya mereka. Kontribusi mereka membantu membentuk pemikiran tentang bagaimana
pemerintah harus bertindak secara adil dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.

Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya Etika Pelayanan Publik semakin meningkat


seiring dengan reformasi pemerintahan pada akhir tahun 1990-an. Pemerintah Indonesia mulai
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap integritas, akuntabilitas, dan keadilan dalam
pelayanan publik.Sebagai hasilnya, berbagai regulasi dan inisiatif telah diadopsi untuk
meningkatkan etika pelayanan publik di Indonesia, termasuk pendirian Ombudsman sebagai
lembaga independen untuk memantau dan menilai kinerja pelayanan publik serta penerapan
prinsip-prinsip etika dalam layanan yang diberikan oleh pemerintah. Kesimpulannya, latar
belakang Etika Pelayanan Publik melibatkan evolusi pemikiran dari masa lalu hingga saat ini,
didorong oleh perubahan sosial, politik, teknologi, dan tuntutan masyarakat akan pelayanan yang
lebih adil, transparan, dan berkualitas dari pemerintah atau lembaga publik.
Sejalan dengan penilaian tersebut, Jabbra dan Dwivedi (1989) mengatakan bahwa untuk menjamin
kinerja pegawai sesuai dengan standar dan untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparat pemerintah, maka aparat harus mampu mengembangkan lima macam akuntabilitas, yaitu
Pertama, akuntabilitas administratif (organisasional). Akuntabilitas administratif diperlukan
karena ada hubungan hirarkis pertanggungjawaban yang tegas antara pusat dengan unit-unit di
bawahnya. Hubungan hirarkis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam aturan
organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk hubungan informal. Kedua,
akuntabilitas legal. Akuntabilitas legal adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan
administratif dari birokrat.Ketiga, akuntabilitas politik. Birokrat pelayanan publik menjalankan
tugasnya mengikuti kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan
prioritas, pendistribusian sumber dan menjamin kepatuhan pelaksanaan perintah. Pejabat politik
juga harus menerima tanggung jawab administratif dan legal karena mereka punya kewajiban
untuk menjalankan tugas dengan baik. Keempat, akuntabilitas profesional. Semakin meluasnya
profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional berharap dapat memperoleh
kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas dan dalam melayani kepentingan publik.
Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik profesinya dengan kepentingan publik dan
jika ada kesulitan mempertemukan keduanya, maka mereka harus lebih mengutamakan
akuntabilitasnya kepada kepentingan publik. Kelima, akuntabilitas moral. Setiap tindakan birokrat
selain didasarkan pada konstitusi dan peraturan hukum, harus dilengkapi juga dengan prinsip
moral dan etika yang diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang profesional.

Contoh Analisis Kasus :

Di sebuah kota, terdapat sebuah lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas pemberian
izin usaha kepada pengusaha kecil dan menengah. Di dalam lembaga tersebut, terdapat seorang
pejabat yang memiliki wewenang untuk meninjau aplikasi izin usaha dan memberikan
persetujuan.Namun, pejabat tersebut memanfaatkan posisinya dengan cara yang tidak etis. Dia
meminta suap kepada para pengusaha yang mengajukan permohonan izin. Tanpa memberikan izin
yang seharusnya diberikan berdasarkan kualifikasi dan prosedur yang ditetapkan, pejabat ini
menunda-nunda proses persetujuan izin tersebut kepada para pengusaha kecil dan
menengah.Sebagai contoh kasus spesifik, mari kita fokus pada seorang pengusaha bernama Maya.
Maya adalah seorang wanita muda yang berusaha membuka usaha kecil di kota tersebut. Dia telah
mengajukan izin usaha sesuai dengan semua ketentuan yang diperlukan dan telah menunggu
keputusan resmi untuk memulai usahanya.Meskipun Maya telah melengkapi semua persyaratan
dan prosedur yang diperlukan, izin usahanya tidak kunjung disetujui. Pejabat yang bertanggung
jawab atas izin tersebut meminta uang suap kepada Maya agar izin usahanya dapat disetujui
dengan cepat.Maya, seorang pengusaha yang bermoral, menolak memberikan suap karena itu
bertentangan dengan prinsip-prinsip integritas yang dianutnya. Namun, karena penolakan Maya,
proses persetujuan izinnya terus ditunda oleh pejabat yang bersangkutan. Akibatnya, bisnis yang
seharusnya dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal terhambat oleh tindakan
penyalahgunaan kekuasaan ini.

Dari analisis yang saya lakukan menggunakan teori Jabbra dan Dwivendi (1989) yaitu dampak
dari penyalahgunaan kekuasaan dalam kasus ini sangat merugikan bagi para pengusaha yang
berusaha memulai usaha mereka secara legal dan berintegritas. Selain itu, tindakan pejabat yang
meminta suap merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan yang seharusnya
bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang adil dan berkeadilan.Penyalahgunaan
kekuasaan dalam konteks ini juga menggambarkan pelanggaran terhadap prinsip etika pelayanan
publik. Seharusnya, pejabat publik bertanggung jawab untuk memberikan layanan yang adil,
transparan, dan berintegritas kepada masyarakat. Namun, penyalahgunaan kekuasaan mengarah
pada perlakuan yang tidak merata dan tidak adil terhadap para pengusaha yang seharusnya
menerima izin usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Kasus ini mencerminkan betapa
pentingnya menjaga integritas dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan dalam pelayanan
publik demi menjaga kepercayaan masyarakat serta keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Anda mungkin juga menyukai