Anda di halaman 1dari 74

KECERNAAN RANSUM YANG MENGANDUNG Indigofera sp.

ATAU LIMBAH TAUGE PADA DOMBA UP3 JONGGOL


DAN DOMBA GARUT

SKRIPSI
ANDRE MEIDITAMA KASENTA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN

ANDRE MEIDITAMA KASENTA. D24080123. 2012. Kecernaan Ransum yang


Mengandung Indigofera sp. atau Limbah Tauge pada Domba UP3 Jonggol dan
Domba Garut. Skripsi. Departeman Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Anita S.Tjakradidjaja, M.Rur.Sc.


Pembimbing Anggota : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS

Fluktuasi ketersediaan pakan baik kuantitatif maupun kualitatif merupakan


tantangan dalam peningkatan produktifitas ternak ruminansia di daerah tropis.
Musim kemarau umumnya menurunkan produksi dan kualitas nutrisi hijauan dengan
akibat menurunnya tingkat produktifitas ternak, seperti tingginya angka kematian
dan rendahnya laju pertumbuhan. Pemberian leguminosa seperti Indigofera sp. dan
bahan pakan inkonvensional seperti limbah tauge dalam ransum untuk ternak dapat
menjadi solusi pemecahan masalah dalam usaha peternakan di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dua jenis perlakuan ransum
pakan yang mengandung Indigofera sp. atau limbah tauge terhadap performa
produksi, konsumsi dan kecernaan zat makanan serta Total Digestible Nutrient
(TDN) pada domba UP3 jonggol dan domba garut. Penelitian dilakukan dari bulan
Juli sampai Oktober 2011 di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak
Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak
yang digunakan sebanyak 8 ekor domba garut dan 8 ekor domba UP3 jonggol yang
berumur 7-8 bulan dengan rataan bobot badan awal 14,93±1,38 kg. Pakan yang
diberikan dalam bentuk pellet dengan rasio hijauan dan konsentrat 30:70 yang terdiri
dari R1 (ransum dengan kandungan Indigofera sp. 30%) dan R2 (ransum dengan
kandungan limbah Tauge 30%). Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak
lengkap pola faktorial 2x2 dengan faktor pertama adalah je domba (B1 = UP3
jonggol dan B2 = garut), faktor kedua yaitu jenis ransum (R1 = Indigofera sp. dan R2
= limbah tauge). Ulangan dilakukan sebanyak empat kali. Analisis data
menggunakan analisis sidik ragam (Analysis of Variance) dan uji orthogonal kontras.
Peubah yang diamati adalah performa produksi, konsumsi zat makanan ransum,
kecernaan zat makanan ransum dan Total Digestible Nutrient (TDN) ransum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ransum limbah tauge
menghasilkan bobot badan akhir domba yang lebih besar (P<0,05) dibandingkan
bobot badan akhir domba dengan perlakuan ransum Indigofera sp. Perlakuan ransum
Indigofera sp. menghasilkan bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan harian
domba jonggol yang lebih besar (P<0,05) dibandingkan bobot badan akhir dan
pertambahan bobot badan harian domba jonggol dengan perlakuan ransum limbah
tauge. Perlakuan ransum limbah tauge menghasilkan bobot badan akhir dan
pertambahan bobot badan harian domba garut yang lebih besar (P<0,05)
dibandingkan bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan harian domba garut
dengan perlakuan ransum Indigofera sp. Perlakuan ransum limbah tauge
menghasilkan rataan konsumsi ransum harian yang lebih besar (P<0,01)
dibandingkan rataan konsumsi ransum harian perlakuan ransum Indigofera sp.
Konversi ransum perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Perlakuan
ransum limbah tauge menghasilkan konsumsi zat makanan yang lebih besar (P<0,01)
dibandingkan konsumsi zat makanan ransum Indigofera sp. Namun demikian,
konsumsi BETN ransum perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Kecernaan zat makanan dan TDN ransum perlakuan menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata. Namun demikian, kecernaan serat kasar ransum limbah tauge lebih
besar (P<0,01) daripada kecernaan serat kasar ransum Indigofera sp. Dengan
demikian, penggunaan Indigofera sp. di dalam ransum memberikan manfaat yang
lebih baik terhadap performa produksi domba jonggol. Penggunaan limbah tauge di
dalam ransum memberikan manfaat yang lebih baik terhadap performa produksi
domba garut. Penggunaan limbah tauge di dalam ransum memberikan manfaat yang
lebih baik daripada penggunaan Indigofera sp. di dalam ransum terhadap bobot
badan akhir domba, konsumsi harian dan zat makanan, kecernaan zat makanan dan
TDN.

Kata kunci : Indigofera sp., limbah tauge, domba jonggol, domba garut, kecernaan
zat makanan
ABSTRACT

Digestibility of Ration Containing Indigofera sp. or Waste Bean Sprouts on


UP3-Jonggol and Garut Rams.

A. M. Kasenta, A. S. Tjakradidjaja, K. B. Satoto

The aim of this study was to observe and evaluate the quality feed intake and
digestibility nutrients of a ration containing Indigofera sp. or waste bean sprouts on
UP3-Jonggol and Garut rams. The research was conducted in Stable B of Faculty of
Animal Science, Bogor Agricultural University from July 2011 to October 2011.This
study used 16 rams, such as eight UP3-jonggol and eight garut rams, aged 9 months,
with 14,93 ± 1,38 kg BW. Treatment were two rations with the ratio of the forage
and concentrates 30:70. R1 was containing of 30% Indigofera sp. and R2 was
containing of 30% waste bean sprouts as pellet. Design of this experiment was
Completely Randomized Design with Factorial. First factor is breed and second
factor is ration. The different among treatments were tested by Ortogonal Contrast
Test. The observed variables were performance production, nutrients intake,
digestibility nutrients, and Total Digestible Nutrient (TDN). The results showed that
breed factor did not cause any influence on performance production, nutrients intake,
nutrient digestibility and TDN. The interaction between ration factor and breed factor
significantly influence final body weight and daily body weight gain (P<0,05). Final
body weight and daily body weight gain jonggol ram was higher than final body
weight and daily body weight gain garut ram of ration containing Indigofera sp.
Final body weight and daily body weight gain garut ram was higher than final body
weight and daily body weight gain jonggol ram of ration containing waste bean
sprouts. The treatment of ration containing waste bean sprouts significantly influence
final body weight (P<0,05) and the average daily ration consumption (P<0,01). Final
body weight and the average daily ration consumption of ration containing waste
bean sprouts was higher than that containing Indigofera sp. Forage sources did not
cause differences in feed conversion. The treatment of ration containing waste bean
sprouts significantly influence nutrients intake (P<0,01) except BETN intake.
Nutrient intake of ration containing waste bean sprouts was higher than that
containing Indigofera sp. The treatment of ration containing Indigofera sp. and waste
bean sprouts did not cause any influence on nutrient digestibility except for crude
fibre digestibility (P<0.01). Crude fibre digestibility of ration containing waste bean
sprouts was higher than that containing Indigofera sp. Forage sources did not cause
differences in TDN. It is concluded that differences in forage sources did not cause
differences in daily body weight gain, feed conversion, nutrient digestibility and
TDN, but giving waste bean sprouts produced a better final body weight, the average
daily ration consumption, nutrients intake and crude fibre digestibility than feeding
Indigofera sp.

Keyword : Indigofera sp., waste bean sprouts, jonggol rams, garut rams, nutrient
digestibility
KECERNAAN RANSUM YANG MENGANDUNG Indigofera sp.
ATAU LIMBAH TAUGE PADA DOMBA UP3 JONGGOL DAN
DOMBA GARUT

ANDRE MEIDITAMA KASENTA


D24080123

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul : Kecernaan Ransum yang Mengandung Indigofera sp. atau Limbah
Tauge pada Domba UP3 Jonggol dan Domba Garut
Nama : Andre Meiditama Kasenta
NIM : D24080123

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Anita S.Tjakradidjaja, M.Rur.Sc.) (Ir. Kukuh Budi Satoto, MS)


NIP. 19610930 198603 2 003 NIP. 19490118 197603 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr.)


NIP. 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian : 19 Oktober 2012 Tanggal Lulus :


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Mei 1990 di


Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari dua
bersaudara dari pasangan bapak Dwiyanto Budi Warsito dan
ibu Emma Meilani. Awal pendidikan dasar penulis ditempuh
tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri 12 Purwodadi dan
diselesaikan tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat
pertama diawali tahun 2002 di Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Negeri 1 Purwodadi dan diselesaikan tahun 2005.
Penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Purwodadi tahun 2005 dan diselesaikan tahun 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) di Fakultas Peternakan tahun 2008. Penulis memasuki masa perkuliahan
di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor tahun 2009.
Penulis mendapatkan beasiswa POM Institut Pertanian Bogor tahun 2008 –
2009 dan beasiswa BBM Institut Pertanian Bogor 2009 - 2012. Penulis aktif sebagai
kepala divisi Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Organisasi Mahasiswa Daerah
(OMDA) Purwodadi Institut Pertanian Bogor tahun 2008 – 2011. Penulis aktif
sebagai layouter Majalah Emulsi Institut Pertanian Bogor tahun 2008 – 2010. Penulis
aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-D) Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor sebagai staff biro Public Relation tahun 2009 – 2010 dan
Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-D) Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor tahun 2010 – 2011.
Kegiatan – kegiatan yang diikuti penulis selama masa perkuliahan antara lain
Masa Perkenalan Mahasiswa Baru (MPKMB) tahun 2008, Pelatihan Jurnalistik
tahun 2008, Seminar Sains Islam tahun 2008, Masa Perkenalan Fakultas Peternakan
(MPF-D) tahun 2009, ESQ in House Training Mahasiswa IPB tahun 2009, Fapet
Goes to PIMNAS tahun 2010, Hari Susu Nusantara tahun 2010, Trobos Goes to
Campus tahun 2010, INDOPOS – Entrepreneurship Workshop and Competitions
tahun 2011, Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa tahun 2011.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kecernaan
Ransum yang Mengandung Indigofera sp. atau Limbah Tauge pada Domba
UP3 Jonggol dan Domba Garut. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari bulan Juli
sampai dengan Oktober 2011 bertempat di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi
Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan performa produksi, konsumsi dan
kecernaan zat makanan serta Total Digestible Nutrient (TDN) dari dua jenis ransum
pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge pada domba UP3 Jonggol
dan domba Garut.
Skripsi ini berisi informasi tentang manfaat Indigofera sp. dan limbah tauge
sebagai bahan pakan pengganti hijauan dalam ransum komplit untuk ternak domba
dalam memenuhi kebutuhan zat makanan untuk hidup pokok dan produksinya.
Potensi ketersediaan dan kandungan zat makanan yang dimiliki Indigofera sp. dan
limbah tauge diharapkan mampu memenuhi ketersediaan hijauan pakan di Indonesia
yang berfluktuasi secara kuantitas dan kualitas dan memaksimalkan produktifitas
ternak domba dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia.
Penulis memahami bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi
ini. Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua
pihak yang membutuhkan serta dapat diaplikasikan dengan baik.

Bogor, Desember 2012

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN ………………………………………………………………. ii
ABSTRACT ………………………………………………………………… iv
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………. v
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………. vi
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………..... vii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xiii
PENDAHULUAN ………………………………………………………...... 1
Latar Belakang ………………………………………………………. 1
Tujuan ………………………………………………………………... 2
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….. 3
Indigofera sp. ………………………………………………………... 3
Limbah Tauge ……………………………………………………….. 4
Potensi Domba Lokal ………………………………………………... 5
Domba UP3 Jongol ………………………………………………….. 6
Domba Garut ……………………………………………………….... 7
Pertumbuhan Domba ………………………………………………… 8
Pertambahan Bobot Badan ………………………………………….. 9
Konsumsi Pakan …………………………………………………….. 10
Kecernaan …………………………………………………………… 12
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ………………. 13
Kecernaan Protein Kasar ……………………………………. 14
Kecernaan Serat ……………………………………………… 14
MATERI DAN METODE …………………………………………………... 15
Lokasi dan Waktu …………………………………………………… 15
Materi ………………………………………………………………... 15
Ternak ……………………………………………………….. 15
Kandang dan Peralatan ……………………………………… 16
Ransum …………………………………………………….... 16
Prosedur …………………………………………………………….. 18
Persiapan Ternak …………………………………………….. 18
Adaptasi Kandang dan Pakan ……………………………….. 18
Pemeliharaan ………………………………………………… 19
Pengumpulan Sampel Feces ………………………………… 19
Analisis Proksimat …………………………………………………... 19
Pengukuran Kadar Air ………………………………………. 19
Pengukuran Kadar Abu ……………………………………… 20
Pengukuran Kadar Protein Kasar ……………………………. 20
Pengukuran Kadar Lemak Kasar …………………………….. 21
Pengukuran Kadar Serat Kasar ……………………………… 21
Rancangan Percobaan ………………………………………………... 22
Model ………………………………………………………... 22
Analisis Data ………………………………………………… 23
Peubah yang diamati ………………………………………………… 23
Performa Produksi ………………………………………….. 23
Bobot Badan Akhir ………………………………….. 23
Pertambahan Bobot Badan Harian …………………… 23
Rataan Konsumsi Ransum Harian …………………… 23
Konversi Ransum ……………………………………. 23
Konsumsi Zat Makanan …………………………………….. 23
Pengukuran Nilai Kecernaan ……………………………….. 23
Total Digestible Nutrient (TDN) ……………………………. 23
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………….. 24
Performa Produksi …………………………………………………………... 24
Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian ………… 24
Rataan Konsumsi Ransum Harian …………………………………... 26
Konversi Ransum ……………………………………………………. 28
Konsumsi dan Kecernaan Zat Makanan …………………………………….. 28
Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering ……………………………. 28
Konsumsi dan Kecernaan Protein Kasar ……………………………. 31
Konsumsi dan Kecernaan Lemak Kasar …………………………….. 34
Konsumsi dan Kecernaan Serat Kasar ………………………………. 35
Konsumsi dan Kecernaan BETN ……………………………………. 37
Total Digestible Nutrient (TDN) …………………………………….. 39
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………….. 41
Kesimpulan ………………………………………………………….. 41
Saran ………………………………………………………………… 41
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………….. 42
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 43
LAMPIRAN ………………………………………………………………… 49
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dari Berbagai Program
Penggemukan …………………………………………………………... 10
2. Kandungan Zat Makanan Bahan Pakan Penyusun Ransum Berdasarkan
100% BK ………………………………………………………………. 17
3. Komposisi Bahan Pakan Ransum Penelitian …………………………... 17
4. Kandungan Zat Makanan Ransum dalam 100% BK …………………... 18
5. Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba
selama Penelitian ………………………………………………………. 24
6. Rataan Konsumsi Ransum Harian selama Penelitian ………………….. 26
7. Konversi Ransum selama Penelitian …………………………………... 28
8. Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses dan Kecernaan Bahan
Kering Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan ………………. 29
9. Konsumsi Protein Kasar, Protein Kasar Feses dan Kecernaan Protein
Kasar Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan ………………... 32
10. Konsumsi Lemak Kasar, Lemak Kasar Feses dan Kecernaan Lemak
Kasar Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan ………………... 34
11. Konsumsi Serat Kasar, Serat Kasar Feses dan Kecernaan Serat Kasar
Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan ………………………. 36
12. Konsumsi BETN, BETN Feses dan Kecernaan BETN Ransum selama
Periode Pengukuran Kecernaan ………………………………………… 38
13. Total Digestible Nutrient (TDN) Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan ………………………………………………………………. 39
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Indigofera sp. …………………………………………………………... 3
2. Limbah Tauge Kacang Hijau …………………………………………... 5
3. Domba Jonggol Ransum Indigofera sp dan Ransum Limbah Tauge …… 15
4. Domba Garut Ransum Indigofera sp dan Ransum Limbah Tauge …….. 15
5. Indigofera sp. kering dan Limbah Tauge kering ……………………….. 16
6. Pellet Ransum Indigofera sp dan Ransum Limbah Tauge ……………... 16
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Sidik Ragam Bobot Akhir selama Penelitian (kg) ……………………… 50
2. Uji Orthogonal Kontras Bobot Badan Akhir selama Penelitian (kg) …... 50
3. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Harian selama Penelitian
(g/e/h) …………………………………………………………………... 50
4. Uji Orthogonal Kontras Pertambahan Bobot Badan Harian selama
Penelitian (g/e/h) ……………………………………………………….. 51
5. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Ransum Harian selama Penelitian
(g/e/h) …………………………………………………………………... 51
6. Uji Orthogonal Kontras Rataan Konsumsi Ransum Harian selama
Penelitian (g/e/h) ………………………………………………………... 51
7. Sidik Ragam Konversi Ransum (g/e/h) selama Penelitian …………….. 51
8. Sidik Ragam Konsumsi BK Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 52
9. Uji Orthogonal Kontras Konsumsi BK Ransum selama Periode
Pengukuran Kecernaan (g/e/h) …………………………………………. 52
10. Sidik Ragam BK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h) …………………………………………………………………… 52
11. Sidik Ragam BK Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h) …………………………………………………………………… 52
12. Uji Orthogonal Kontras BK Tercerna selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 53
13. Sidik Ragam KCBK selama Periode Pengukuran Kecernaan (%) …….. 53
14. Sidik Ragam Konsumsi PK Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 53
15. Uji Orthogonal Kontras Konsumsi PK Ransum selama Periode
Pengukuran Kecernaan (g/e/h) …………………………………………. 53
16. Sidik Ragam PK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan (g/e/h) ... 54
17. Sidik Ragam PK Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h) …………………………………………………………………… 54
18. Uji Orthogonal Kontras PK Tercerna selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 54
19. Sidik Ragam KCPK selama Periode Pengukuran Kecernaan (%) …….... 54
20. Sidik Ragam Konsumsi LK Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 55
21. Uji Orthogonal Kontras Konsumsi LK Ransum selama Periode
Pengukuran Kecernaan (g/e/h) ………………………………………….. 55
22. Sidik Ragam LK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan (g/e/h) ... 55
23. Sidik Ragam LK Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h) …………………………………………………………………… 55
24. Uji Orthogonal Kontras LK Tercerna selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 56
25. Sidik Ragam KCLK selama Periode Pengukuran Kecernaan (%) ……… 56
26. Sidik Ragam Konsumsi SK Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 56
27. Uji Orthogonal Kontras Konsumsi SK Ransum selama Periode
Pengukuran Kecernaan (g/e/h) ………………………………………….. 56
28. Sidik Ragam SK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan (g/e/h) ... 57
29. Uji Orthogonal Kontras SK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h) …………………………………………………………………... 57
30. Sidik Ragam SK Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h) …………………………………………………………………... 57
31. Uji Orthogonal Kontras SK Tercerna selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 57
32. Sidik Ragam Kecernaan SK selama Periode Pengukuran Kecernaan (%) 58
33. Uji Orthogonal Kontras KCSK selama Periode Pengukuran
Kecernaan (%) ………………………………………………………….. 58
34. Sidik Ragam Konsumsi BETN Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 58
35. Sidik Ragam BETN Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h) …………………………………………………………………... 58
36. Sidik Ragam BETN Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h) …………………………………………………………………... 59
37. Sidik Ragam Kecernaan BETN selama Periode Pengukuran
Kecernaan (%) ………………………………………………………….. 59
38. Sidik Ragam Total Digestible Nutrient selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h) ………………………………………………………. 59
39. Uji Orthogonal Kontras Total Digestible Nutrient selama Periode
Pengukuran Kecernaan (g/e/h) …………………………………………. 59
40. Sidik Ragam Total Digestible Nutrient selama Periode Pengukuran
Kecernaan (%) ………………………………………………………….. 60
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fluktuasi ketersediaan pakan baik kuantitatif maupun kualitatif merupakan


tantangan dalam peningkatan produktifitas ternak ruminansia di daerah tropis (Van et
al., 2005). Musim kemarau umumnya menurunkan produksi dan kualitas nutrisi
hijauan dengan akibat menurunnya tingkat produktifitas ternak, seperti tingginya
angka kematian dan rendahnya laju pertumbuhan. Berbagai jenis tanaman
leguminosa pohon dilaporkan berpotensi dalam penyediaan pakan hijauan, karena
kualitas nutrisinya yang baik (Khamseekhiew et al., 2001; Alam et al., 2007) dan
daya adaptasinya yang tinggi terhadap kekeringan. Pemberian leguminosa seperti
Indigofera sp. dan bahan pakan inkonvensional seperti limbah tauge dalam ransum
untuk ternak dapat menjadi solusi pemecahan masalah dalam usaha peternakan di
Indonesia.
Indigofera sp. merupakan jenis leguminosa pohon yang cocok dikembangkan
di Indonesia karena toleran terhadap musim kering, genangan air, dan tahan terhadap
salinitas dengan produksi bahan kering (BK) total sebesar 21 ton/ha/tahun dan
produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun (Hassen et al., 2007). Tanaman ini sangat
mudah dikembangkan di daerah tropis dengan produksi BK mencapai 6,8 ton/ha
dengan perlakuan pupuk daun dosis 30 g/10 liter dan produksi daunnya mencapai
4.096 kg BK/ha (Abdullah, 2010). Pemberian Indigofera sp. sebanyak 45% dari total
ransum kambing Boerka memperlihatkan nilai koefisien cerna bahan kering (KCBK)
sebesar 60,07%, koefisien cerna bahan organik (KCBO) 62,53%, dan koefisien cerna
protein kasar (KCPK) 69,80% (Tarigan, 2009). Pemberian Indigofera sp. sebanyak
40% dari total ransum kambing PE dan kambing Saanen menghasilkan KCBK
sebesar 60,03% dan 66,34-73,91% (Apdini, 2011).
Limbah tauge dapat dijadikan hijaun pakan ternak sebagai pengganti
konsentrat karena mengandung protein dan TDN yang hampir sama dengan
konsentrat, tetapi mempunyai kandungan serat kasar yang lebih tinggi. Hasil survei
potensi ketersediaan limbah tauge di Kotamadya Bogor menunjukkan total produksi
tauge sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang untuk menghasilkan limbah tauge sebesar
1,5 ton/hari (Rahayu et al., 2010). Penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam
ransum domba ekor gemuk menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH)
sebesar 145 g/e/h yang lebih tinggi dibandingkan apabila hanya diberi ransum
konsentrat yaitu sebesar 96 g/e/h (Rahayu et al., 2011). Penggunaan limbah tauge
sebanyak 75% dari total ransum domba ekor gemuk menghasilkan konsumsi bahan
segar 1669,90 g/e/h, konsumsi bahan kering (BK) 895 g/e/h, konsumsi protein kasar
(PK) 120,32 g/e/h dan konsumsi serat kasar (SK) 333,20 g/e/h yang lebih tinggi
daripada konsumsi dari pemberian ransum konsentrat saja (Rahayu et al., 2011).
Limbah tauge ini berpotensi untuk dijadikan hijauan pakan ternak di peternakan-
peternakan wilayah pinggir kota dengan kondisi padang rumput yang terbatas dan
ketersediaan pakan konsentrat yang harganya mahal.
Informasi tentang pengkajian nilai manfaat legum Indigofera sp. dan limbah
tauge untuk pakan ternak penggemukan seperti domba atau sapi potong masih
terbatas. Salah satu cara mengukur nilai manfaat ransum pada ternak domba
diantaranya dengan menggunakan teknik pengukuran kecernaan. Penentuan nilai
manfaat suatu bahan makanan yang dikonsumsi oleh ternak dapat dilakukan dengan
mengukur nilai kecernaannya secara biologis pada ternak (Anggorodi, 1984).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh pemberian legum Indigofera sp. dan limbah tauge sebagai bahan
pakan pengganti hijauan dalam ransum komplit terhadap performa produksi dan
kecernaan zat makanan ransum pada UP3 jonggol dan domba garut. Diharapkan
pemberian legum Indigofera sp. atau limbah tauge sebagai bahan pakan pengganti
hijauan dalam ransum komplit dapat meningkatkan kualitas pakan dan performa
produksi domba. Informasi penelitian yang diperoleh adalah performa produksi, nilai
kecernaan zat makanan dan TDN dari dua jenis ransum pakan yang mengandung
Indigofera sp. atau limbah tauge.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah membandingkan dua jenis perlakuan ransum


pakan yang mengandung Indigofera sp. atau limbah tauge terhadap performa
produksi, konsumsi dan kecernaan zat makanan serta TDN pada domba UP3 jonggol
dan domba garut.
TINJAUAN PUSTAKA

Indigofera sp.
Indigofera sp. merupakan tanaman leguminosa dengan genus Indigofera dan
memiliki 700 spesies yang tersebar mulai dari benua Afrika, Asia, Australia, dan
Amerika Utara. Jenis leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia karena
toleran terhadap musim kering, genangan air, dan tahan terhadap salinitas (Hassen et
al., 2007). Selain itu pertumbuhannya sangat cepat, adaptif terhadap tingkat
kesuburan rendah, mudah dan murah pemeliharaannya. Indigofera sp. sangat baik
dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak karena kandungan bahan organik hijauan
ini dapat meningkat dengan adanya pemberian pupuk organik sehingga nilai
kecernaan juga dapat meningkat (Suharlina, 2010).

Gambar 1. Indigofera sp.

Produksi Indigofera sp. mencapai 4.096 kg bahan kering/ha saat dipanen


pada hari ke-88 (Abdullah dan Suharlina, 2010). Abdullah (2010) menyatakan
produksi bahan kering Indigofera sp. dapat mencapai 6,8 ton BK/ha dengan
perlakuan pupuk daun dosis 30 g/10 liter. Produksi BK total Indigofera sp. adalah 21
ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun (Hassen et al., 2007).
Uji kecernaan in vivo potensi daun Indigofera sp. sebagai pakan kambing
Boerka telah diteliti oleh Tarigan (2009). Pakan Indigofera sp. yang diberikan
merupakan hasil perlakuan interval dan intensitas pemotongan terbaik yaitu interval
pemotongan 60 hari dan tinggi pemotongan 1,5 meter. Pemberian Indigofera sp.
sebanyak 45% dari total ransum kambing Boerka memperlihatkan nilai KCBK
sebesar 60,07%, KCBO 62,53%, dan KCPK 69,80% (Tarigan, 2009). Indigofera sp.
adalah hijauan dengan kandungan SK rendah dengan nilai kecernaan Neutral
Detergent Fibre (NDF) sebesar 52,13% dan nilai kecernaan Acid Detergent Fibre
(ADF) sebesar 55,26% (Tarigan, 2009).
Tepung daun Indigofera sp. mengandung PK 22,30%-31,10%, NDF 18,90%-
50,40%, kecernaan in vitro BO berkisar 55,80%-71,70%, SK sekitar 15,25%. Legum
ini juga memiliki kandungan mineral yang cukup untuk pertumbuhan optimal ternak.
Kandungan mineral yang terkandung, yaitu Ca 0,97%-4,52%, P 0,19%-0,33%, Mg
0,21%-1,07%, Cu 9 ppm-15,30 ppm, Zn 27,20 ppm-50,20 ppm, dan Mn 137,40 ppm-
281,30 ppm (Hassen et al., 2007).
Hasil penelitian Abdullah dan Suharlina (2010), umur panen yang tepat untuk
menghasilkan Indigofera sp. dengan kualitas terbaik adalah pada defoliasi umur 60
hari. Indigofera sp. memiliki kandungan PK 20,47%-27,60%, SK 10,97%-21,40%,
NDF 49,40%-59,97%, ADF 26,23%-37,82%, KCBK in vitro 67,39%-81,80%, dan
KCBO in vitro 65,77%-80,47% (Abdullah dan Suharlina, 2010). Kualitas daun
Indigofera sp. dalam bentuk pellet mengandung PK sebesar 25,66% (Abdullah,
2010). Indigofera sp. dengan perlakuan pupuk daun berdosis 0-50 g/10 liter
menghasilkan KCBK in vitro 65%-85%, dan KCBO in vitro 60%-83% (Abdullah,
2010). Perlakuan pemupukan pada daun mengakibatkan peningkatan nilai cerna (in
vitro) menjadi 70%-80% untuk KCBK dan 67%-73% untuk KCBO (Intan dan
Abdullah, 2011). KCBK in vitro Indigofera sp. berkisar antara 68,21%-73,15%,
KCBO berkisar antara 65,33%-70,64%, sedangkan KCPK mencapai 90,64%
(Suharlina, 2010). Pemberian Indigofera sp. sebanyak 40% dari total ransum
kambing PE dan kambing Saanen menghasilkan KCBK sebesar 60,03% dan 66,34-
73,91% (Apdini, 2011).

Limbah Tauge
Limbah tauge adalah bagian dari tauge kacang hijau yang tidak dikonsumsi
oleh manusia, yaitu berupa kulit tauge atau tudung atau lebih dikenal dengan angkup
tauge yang berwarna hijau. Limbah tauge biasanya bercampur dengan sedikit
potongan-potongan ekor tauge dan kepala tauge yang tidak utuh. Limbah tauge pada
umumnya termasuk limbah pasar, terutama pasar sayuran pagi.
Potensi limbah tauge ini kemungkinan sangat besar di setiap kota, baik kota
kabupaten maupun kota provinsi apalagi ibukota karena masyarakat Indonesia
hampir secara merata dalam kehidupan sehari-hari mengkonsumsi tauge sebagai lauk
atau sayuran. Hasil survei potensi ketersediaan limbah tauge di Kotamadya Bogor
menunjukkan total produksi tauge sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang untuk
menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari (Rahayu et al., 2010).
Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari hanya membutuhkan waktu
rata-rata 3 hari, limbah tauge memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Kadar
air limbah tauge adalah 65-70% dan kandungan energi metabolis sebesar 3737
kcal/kg (Saenab, 2010). Limbah tauge mempunyai kadar BK 63,35%, abu 7,35%,
LK 1,17%, PK 13,62%, SK 49,44%, dan TDN 64,65 % (Rahayu et al., 2010).

Gambar 2. Limbah Tauge Kacang Hijau

Berdasarkan survei di atas limbah tauge sangat berpotensi untuk dipakai


sebagai pakan ternak, terutama pada peternakan-peternakan di wilayah urban (di
pinggir kota). Penelitian yang telah dilakukan pada peternakan penggemukan domba
ekor gemuk di wilayah Bogor dengan memanfaatkan limbah tauge dalam ransumnya
menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam ransum
menghasilkan PBBH sebesar 145 g/e/h yang lebih tinggi dibandingkan apabila hanya
diberi ransum konsentrat yaitu sebesar 96 g/e/h (Rahayu et al., 2011).

Potensi Domba Lokal


Potensi untuk mengembangkan domba di Indonesia sangat terbuka lebar,
karena kurang lebih 30% kebutuhan pangan dan pertanian dipenuhi oleh ternak
sehingga keberadaan ternak menjadi sangat strategis dalam kehidupan manusia
(Heriyadi, 2002). Domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di
masyarakat karena mempunyai fungsi ekonomis, sosial, dan budaya serta merupakan
sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia
melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor (Sumantri et al.,
2007). Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa yaitu domba priangan,
domba ekor gemuk, dan domba ekor tipis atau lebih dikenal dengan nama domba
lokal. Jenis domba yang banyak dipelihara ada dua jenis yaitu domba ekor gemuk
dan domba ekor tipis atau domba lokal. Domba lokal merupakan domba asli
Indonesia yang memiliki daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan tidak
mengenal adanya musim pembiakan (non seasonal breeding) sehingga
perkembangbiakan dapat berlangsung sepanjang tahun (Roberts, 2000).
Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan (2010), populasi
ternak domba di Indonesia mencapai 9.514.184 ekor pada tahun 2007 dari
keseluruhan populasi ternak sebanyak 1.363.847.312 ekor. Populasi ternak domba
tersebut meningkat pada tahun 2008 menjadi 9.605.339 ekor dari total populasi
ternak pada tahun tersebut sebanyak 1.348.828.995 ekor. Terdapat peningkatan
populasi ternak domba meskipun populasi ternak secara keseluruhan mengalami
penurunan. Populasi ternak domba tertinggi berada di daerah Jawa Barat yaitu
4.605.417 ekor pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 5.311.836 ekor pada tahun
2008. Adapun produksi daging domba di Jawa Barat sebesar 34.605 ton/tahun dan
merupakan produksi tertinggi di seluruh Indonesia.

Domba UP3 Jonggol


Domba UP3 jonggol dapat dikatagorikan kedalam salah satu jenis domba
lokal karena sudah dibudidayakan di Lingkungan UP3 Jonggol (Unit Pendidikan dan
Penelitian Peternakan Jonggol) sejak tahun 1980-an. Domba lokal merupakan
berbagai jenis domba yang sudah lama dibudidayakan secara turun-temurun di suatu
wilayah dan sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan setempat
(Sumoprastowo, 1987). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang
memiliki daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan tidak mengenal adanya
musim pembiakan (non seasonal breeding) sehingga perkembangbiakan dapat
berlangsung sepanjang tahun (Roberts, 2000).
Domba UP3 jonggol merupakan hasil persilangan secara acak domba ekor
tipis setempat dengan domba garut atau priangan dan dipelihara dengan sistem
penggembalaan. Secara alami domba jonggol sudah terseleksi untuk lingkungan
panas dan kering (Sumantri et al., 2007). Domba jonggol rata-rata mempunyai
performa produksi yang lebih baik dibandingkan domba lokal lainnya. Sumantri et
al. (2007) melaporkan bahwa domba jonggol mempunyai bobot tubuh dewasa
sebesar 34,9 kg untuk jantan dan 26,1 kg untuk betina. Bobot tubuh dewasa domba
jonggol tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot tubuh dewasa sejumlah
domba lokal lainnya, seperti : domba donggala (25,3 dan 24,0 kg), domba kisar (25,8
dan 18,9 kg), dan domba rote (27,9 dan 20,3 kg). Namun bobot tubuh tersebut
hampir sama dengan bobot dewasa domba sumbawa (33,8 dan 26,9 kg) masing-
masing untuk jantan dan betina (Sumantri et al., 2007).
Domba jonggol memiliki bobot badan yang tidak begitu besar, untuk jantan
hanya berkisar 16,17-21,92 kg (Iswahyudi, 2011). Menurut Ilham (2008), domba
jonggol memiliki daya adaptasi dan toleransi yang cukup baik terhadap suhu yang
cukup panas, sehingga berpotensi dijadikan salah satu sumber genetik untuk
dikembangkan pada masa yang akan datang. Rataan bobot badan domba ekor tipis
jonggol jantan dan betina pada umur 2-3 tahun masing-masing 34,90±6,96 kg dan
26,11±4,12 kg (Einstiana, 2006).

Domba Garut
Domba garut adalah domba asli Indonesia yang dikembangkan dari daerah
Garut, Jawa Barat. Keunggulan domba garut yaitu memiliki produktivitas cukup baik
dan memiliki keunggulan komparatif dalam performa, kekuatan dan bobot badan
yang dapat bersaing dengan domba impor dalam hal kualitas dan produktivitas
(Gunawan dan Noor, 2006).
Domba garut dikategorikan ke dalam dua tipe, yaitu tipe tangkas dan tipe
pedaging (Mansjoer et al., 2007). Domba garut adalah nama lain yang lebih populer
dari domba priangan (Natasasmitha et al., 1986) yang diperkirakan berasal dari
persilangan antara domba lokal, domba merino, dan domba ekor gemuk dari Afrika
Selatan (Sosroamidjojo dan Saeradji, 1990). Domba garut banyak terdapat di daerah
Jawa Barat, terutama di daerah Garut sehingga disebut juga domba garut. Domba
garut betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan yang jantan bertanduk.
Hasil penelitian Gunawan dan Noor (2006) menyatakan bahwa bobot sapih
domba garut jantan super dapat mencapai 14,12±3,11 kg. Menurut Einstiana (2006),
rataan bobot badan domba garut jantan umur 2-3 tahun sebesar 40,80±12,30 kg dan
domba Garut betina sebesar 27,57±3,80 kg.
Domba garut memiliki bobot badan yang besar dibandingkan dengan bobot
badan domba lokal lain. Suswati (2010) menyatakan bahwa rataan bobot badan
domba keturunan garut pada grade yang berbeda memiliki rataan bobot badan
sebesar 30,28±3,40 kg lebih besar dibandingkan dengan domba lokal ekor tipis yang
memiliki bobot badan sebesar 29,60±2,88 kg. Mansjoer et al. (2007) menyatakan
bahwa masyarakat sudah dapat memisahkan antara tipe domba garut tangkas dan
pedaging. Dijelaskan lebih lanjut bahwa persilangan antara domba garut tangkas
dengan domba garut pedaging dapat meningkatkan performa domba garut pedaging
yang semula berbobot badan lebih rendah.

Pertumbuhan Domba
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup,
bentuk, dimensi linier dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-
komponen tubuh seperti otot, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 1992).
Mulliadi (1996) menyatakan bahwa keragaman ukuran tubuh pada ternak dapat
disebabkan oleh kondisi pemeliharaan, pengaruh pemberian pakan, kondisi alat
pencernaan dan keragaman genetik. Soeparno (1992) menyatakan bahwa faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hewan
antara lain nutrisi, suhu, kelembaban, keracunan, polusi dan penyakit. Aberle et al.
(2001) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi,
panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat
serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak.
Pertumbuhan umumnya diukur dengan berat dan tinggi. Pengukuran bobot
tubuh berguna untuk menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga
(Parakkasi, 1999). Herman (2003) menjelaskan bahwa domba muda mencapai 75%
bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan, kemudian yaitu pada
umur 18 bulan, dengan pakan yang sesuai kebutuhannya. Pada tahun pertama,
pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% bobot pada
umur satu tahun dicapai dalam tiga bulan pertama, 25% lagi pada tiga bulan ke dua
dan 25% berikutnya dicapai dalam enam bulan terakhir. Domba jantan muda
mempunyai potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada domba betina muda,
pertambahan bobot hidup lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan
ransum lebih efisien untuk pertumbuhan badan. Fase pertumbuhan anak domba
memiliki laju pertumbuhan yang tinggi, namun apabila tidak didukung oleh
kecukupan pakan yang dikonsumsi maka laju pertumbuhannya menjadi rendah
(Purbowati, 2007).

Pertambahan Bobot Badan


Bobot tubuh berfungsi sebagai salah satu kriteria ukuran yang penting dalam
menentukan pertumbuhan dan perkembangan ternak. Selain itu, bobot tubuh juga
berfungsi sebagai ukuran produksi dan penentu ekonomi. Bobot tubuh seekor ternak
dipengaruhi oleh bangsa ternak, jenis kelamin, umur, jenis kelahiran, dan jenis pakan
(NRC, 1985). Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan makanan ternak, karena pertumbuhan
yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat-
zat makanan dari pakan yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan harian
akan diketahui nilai suatu bahan pakan ternak (Church dan Pond, 1995). Hammond
et al. (1984) menyatakan bahwa pada ternak yang sedang tumbuh terdapat dua hal,
yaitu (1) pertambahan bobot badan sampai ternak mencapai dewasa yang dinamakan
pertumbuhan dan (2) perubahan bentuk tubuh dan beberapa fungsi organ menjadi
sempurna yang dinamakan perkembangan.
Domba jantan muda mempunyai potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada
domba betina muda, pertambahan bobot hidup lebih cepat, konsumsi pakan lebih
banyak dan penggunaan ransum lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Anggorodi,
1990). Menurut Soeparno (1992), hal ini dikarenakan adanya hormon testosteron.
Sekresi testosteron yang tinggi akan menyebabkan sekresi androgen tinggi yang
mengakibatkan pertumbuhan yang cepat, terutama setelah munculnya sifat-sifat
kelamin sekunder pada ternak jantan. Goodwin (1974) menyatakan bahwa pada
semua hewan pertumbuhan pada awalnya berlangsung lambat dan meningkat dengan
cepat, kemudian kembali lebih lambat pada saat hewan mendekati dewasa tubuh.
Menurut Church dan Pond (1988), proses penggilingan bahan makanan
biasanya memberikan peningkatan performa ternak yang relatif besar untuk hijauan
yang berkualitas rendah, karena partikel serat yang menjadi kecil. Kualitas pakan
yang dikonsumsi ternak semakin baik maka akan diikuti oleh pertambahan bobot
badan yang semakin tinggi. Beberapa hasil penelitian penggemukan domba dengan
berbagai macam pakan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dari Berbagai Program


Penggemukan

PBBH Waktu
Domba Perlakuan
(g/e/h) (Minggu)
Domba Lokal 64,99a 8 Rumput Lapang dan Bekatul
b
DET 47 12 Brachiaria humidicola
DET Jantan 89,28c 8 50% Rumput Lapang+50% Ampas
d
126,99 8 Tahu
Priangan Jantan 117,86e 8 50% Rumput Lapang+50% Rumput
Gajah
DEG 90,16a 8 Rumput Lapang dan Bekatul
f
DEG Jantan 145,83 12 50% Konsentrat+50% Limbah Tauge
DEG Betina 28,2g 12 1,5 kg Rumput Alam+0,5 kg Gamal
(Gliricidia sepium)+0,2 kg dedak
Keterangan : DET (domba ekor tipis), DEG (domba ekor gemuk), (a) Baliarti, 1985, (b) Elia,
2005, (c) Purnomo, 2006, (d) Hasanah, 2006, (e) Setyowati, 2005, (f) Wandito,
2011, (g) Munier et al., 2004

Konsumsi Pakan
Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang
dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan didalamnya digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut
(Tillman et al., 1998). Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan zat-zat nutrisi
untuk memenuhi proses hidup saja, seperti menjaga fungsi tubuh tanpa adanya
kegiatan dan produksi. Kebutuhan produksi adalah kebutuhan zat nutrisi untuk
pertumbuhan, kebuntingan, produksi susu dan kerja (Tillman et al., 1991).
Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi
produktivitas ternak (Arora, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
ransum pada ruminansia yaitu faktor makanan, faktor hewan dan faktor lingkungan
(Parakkasi, 1999). Faktor makanan antara lain yaitu bentuk, bau, rasa, tekstur dan
komposisi nutrien. Faktor hewan antara lain yaitu bobot badan, palatabilitas, status
fisiologis dan kapasitas rumen, sedangkan faktor lingkungan antara lain yaitu suhu
dan kelembaban udara. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia
dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan. Siregar (1984) menyatakan
bahwa jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas, dan lingkungan seperti suhu dan
kelembaban udara, juga mempengaruhi tingkat konsumsi.
Legume pohon dapat digunakan sebagai alternatif sumber protein yang cukup
tinggi, SK yang rendah dan palatabilitasnya yang tinggi sehingga konsumsi ternak
meningkat (Winugroho dan Widiawati, 2009). Menurut Baloyi et al. (2007)
pemberian suplemen pakan berupa leguminosa pada domba dapat meningkatkan
konsumsi yang berdampak pada meningkatnya asupan BK dan nitrogen (N), selain
itu dapat mencegah penurunan bobot badan yang cukup signifikan, walaupun
demikian, konsumsi leguminosa tidak dapat menjaga kestabilan bobot badan domba
pada kondisi kualitas hijauan yang rendah.
Domba akan mengkonsumsi lebih banyak pakan halus dibandingkan pakan
yang kasar. Konsumsi BK pakan kasar bervariasi mulai dari 1,5% dari bobot badan
untuk pakan dengan kualitas rendah hingga 3,0% untuk pakan dengan kualitas tinggi
(Gatenby, 1991). Mathius et al. (2002) menyatakan tingkat konsumsi BK sangat
mempengaruhi kecukupan pasokan nutrien (khususnya protein dan energi).
Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi BK berhubungan erat dengan kapasitas
fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999).
Konsumsi BK mempunyai korelasi yang positif terhadap konsumsi BO, hal ini
disebabkan zat-zat yang terkandung dalam BO terdapat pula di dalam BK (Imansyah,
2008). NRC (2006) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 20-30 kg
membutuhkan BK berkisar 3% dari bobot badannya yaitu 600 g/ekor/hari.
Faktor yang mempengaruhi konsumsi PK adalah konsumsi BK dan
kandungan PK dalam ransum (Rianto et al., 2008). Menurut Okmal (1993),
kandungan PK ransum mempengaruhi nilai konsumsi BK. Protein yang dibutuhkan
domba berkisar antara 10%-12% BK ransum. McDonald et al. (2002) menambahkan
bahwa kecernaan pakan dan laju digesta pakan juga mempengaruhi konsumsi
ransum. Kecernaan yang tinggi dan laju digesta yang cepat akan meningkatkan
kosumsi ransum.

Kecernaan
Kecernaan zat makanan didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak
diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut dicerna
oleh hewan (McDonald et al., 1991), apabila dinyatakan dalam persentase maka
disebut koefisien cerna (Tillman, 1989). Keberadaan pakan dalam alat pencernaan
ruminansia akan mengalamai perubahan kimia, biologis dan fisik. Setiap jenis ternak
memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi pakan sehingga
mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen (Sutardi, 1980). Anggorodi
(1994) menambahkan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan
merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan yang
didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna merupakan persentase
zat makanan yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui
dengan melihat selisih antara jumlah zat makanan yang dikonsumsi dengan jumlah
zat makanan yang dikeluarkan dalam feses. Proses pengeringan menyebabkan
penurunan nilai kecernaan hijauan. Dibutuhkan energi yang lebih besar untuk
mengunyah hay dan membawanya masuk ke saluran pencernaan jika dibandingkan
dengan hijuan segar. Penyimpanan pakan kering untuk beberapa bulan, walaupun
lebih disukai, dapat menurunkan nilai kecernaan (Schneider dan William, 1975).
Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengukur kecernaan
suatu bahan pakan seperti in vitro, in sacco dan in vivo. Suparjo (2008) menyatakan
bahwa teknik evaluasi pakan secara in vivo pada ternak seringkali menjadi alternatif
terakhir karena pertimbangan biaya, waktu dan tenaga. Teknik ini dalam
pelaksanaannya menggunakan sejumlah ternak sehingga banyak biaya dibutuhkan
disamping tenaga untuk pengumpulan peubah dan pemeliharaan ternak. Hasil
pengujian teknik in vivo mempunyai tingkat akurasi yang lebih tinggi dibanding
teknik lain, seperti in vitro dan in sacco, karena sifat aplikatifnya pada ternak secara
langsung. Kecernaan in vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan nutrien
menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrien pakan dan feses (Tillman et
al., 1998). Pengukuran kecernaan ternak ruminansia secara langsung (in vivo)
dilakukan melalui koleksi feses total yang lebih mudah dilakukan pada ternak jantan
karena saluran ekskresi feses (rektum) berjauhan dari saluran uretra. Ternak
ditempatkan dalam kandang individu sehingga dapat diukur jumlah pakan yang
dikonsumsi dan feses yang diekskresikan (Cheeke, 2005).
Pengukuran kecernaan pada ternak secara langsung tidak akan terlepas dari
konsumsi pakan itu sendiri. Secara langsung kecernaan bahan pakan tergantung
kepada kondisi fisiologis ternak yang sangat ditentukan oleh ketersedian dan
kemampuan ternak untuk mengkonsumsi pakan (Suparjo, 2008). Pengukuran
kecernaan pada ternak secara langsung dilakukan dalam tiga periode, yaitu periode
adaptasi, periode pendahuluan dan periode koleksi feses. Sebelum melakukan koleksi
feses, ternak harus beradaptasi terhadap pakan yang diberikan untuk memastikan
kestabilan mikroflora dalam saluran pencernaan terhadap perlakukan pakan dan
menghilangkan residu pakan yang diberikan sebelumnya. Adaptasi selama 10-14 hari
dilakukan untuk memaksimalkan tingkat konsumsi pakan. Tingkat konsumsi yang
konsisten ditetapkan selama periode pendahuluan untuk menghindari fluktuasi
ekskresi yang dramatis, dan perbedaan jumlah feses dapat menyebabkan kesalahan
dalam percobaan ini (Merchen, 1993).
Ternak yang sudah melalui periode adaptasi dan periode pendahuluan
selanjutnya akan dikoleksi fesesnya. Metode koleksi feses dibagi menjadi dua yaitu
koleksi total feses dan koleksi sampel feses. Koleksi total dilakukan dengan
mengumpulkan seluruh feses yang dikeluarkan ternak pada waktu yang sama setiap
harinya (Cheeke, 2005). Selama percobaan tersebut feses dikumpulkan, ditimbang,
dan dianalisis untuk mengetahui zat-zat makanannya (Anggorodi, 1994).

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik


Konsentrasi serat pakan yang meningkat tidak mempengaruhi volume digesta
rumen maupun bobot digesta, akan tetapi menurunkan persentase bobot BK digesta.
Kandungan serat yang tinggi menurunkan kecernaan BK, namun meningkatkan
kecernan NDF (Tjardes, 2002). Menurut Sutardi (1980), nilai kecernaan BO dari
suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut. Nilai rataan KCBK pada
domba lokal adalah 57,34%, sedangkan nilai rataan KCBO adalah 60,74% (Elita,
2006).
Kecernaan Protein Kasar
Kebutuhan protein domba secara teori dapat diperhitungkan, walaupun
kandungan protein pakan maupun kebutuhan protein domba cukup baik untuk
membuat lebih dari perkiraan yang sangat umum dari kekurangan atau kelebihan
protein (Gatenby, 1991). Ginting (2000) melaporkan bahwa kecernaan PK domba
yang diberi hijauan berkisar antara 38,19%-51,09%. Rendahnya kecernaan PK pada
hijaun karena protein sel tumbuhan berada di dalam isi sel sehingga untuk
mencernanya harus memecah dinding sel tumbuhan terlebih dahulu (Russel et al.,
1992).

Kecernaan Serat
Kecernaan serat suatu bahan makanan sangat mempengaruhi kecernaan
pakan secara keseluruhan, baik dari segi jumlah maupun dari komposisi kimia
seratnya (Tillman et al., 1991). Serat tidak pernah digunakan secara keseluruhan oleh
ruminansia, sekitar 20%-70% dari serat yang dikonsumsi ditemukan dalam feses
(Cuthbertson, 1969). Ibrahim et al. (1995) menyatakan bahwa kecernaan SK yang
rendah merupakan akibat dari proporsi lignin yang tinggi di daerah tropis dengan
pemberian pakan hijauan dan pakan konsentrat yang menyebabkan laju pergerakan
zat makanan yang tinggi sehingga kerja enzim tidak optimal serta mengakibatkan
sejumlah zat makanan tidak dapat didegradasi dan diserap oleh tubuh.
Parakkasi (1999) juga menambahkan bahwa dengan adanya bantuan mikroba
rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat
struktural (karbohidrat pembangun); kandungan lignin dan silika pada bahan
makanan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis (ME), karena bahan
makanan yang memiliki kandungan lignin dan silika yang tinggi akan lebih sulit
dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar
melalui feses. Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa hewan tidak menghasilkan
enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi mikroorganisme dalam
suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat
mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat yang
larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat.
MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Oktober 2011 di Laboratorium
Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Analisis proksimat feses dilakukan di Laboraturium Ilmu
dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja,
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.

Materi
Ternak
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 16 ekor domba umur 7-8
bulan yang terdiri dari 8 ekor domba garut jantan dan 8 ekor domba jonggol jantan
dengan rataan bobot badan awal 14,93±1,38 kg. Domba jonggol berasal dari UP3
Jonggol dan domba garut berasal dari MT Farm dan Indocement.

(a) (b)
Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b)

(a) (b)
Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b)
Kandang dan Peralatan
Kandang individu berukuran 1,5 x 0,75 m beralaskan bambu dan dilengkapi
dengan tempat pakan, air minum dan tempat penampungan feses dari jaring kasa di
bawah alas bambu. Peralatan yang digunakan adalah timbangan domba, timbangan
pakan, jaring kasa, kantong plastik, benang, ember, selang, label, obat cacing dan
antibiotik.

Ransum
Pakan yang diberikan dalam bentuk pellet dengan rasio hijauan dan
konsentrat 30:70. Sumber hijauan berasal dari ranting, tulang daun dan daun legume
Indigofera sp. dan limbah tauge kacang hijau (Gambar 5 dan Gambar 6). Konsentrat
terdiri atas onggok, jagung kuning, bungkil kedelai, dan bungkil kelapa. Kandungan
zat makanan hijauan dan konsentrat yang digunakan dalam penyusunan ransum
disajikan pada Tabel 2.

(a) (b)
Gambar 5. Indigofera sp. kering (a) dan Limbah Tauge kering (b)

(a) (b)
Gambar 6. Pellet R1 (a) dan Pellet R2 (b)
Komposisi bahan pakan penyusun ransum disajikan pada Tabel 3. R1 adalah
ransum dengan penambahan legume Indigofera sp. sebagai hijauan sebanyak 30%
dan konsentrat sebanyak 70%. R2 adalah ransum dengan penambahan limbah tauge
sebagai hijauan sebanyak 30% dan konsentrat sebanyak 70%. Kandungan zat
makanan ransum R1 (Indigofera sp.) dan R2 (limbah tauge) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Bahan Pakan Penyusun Ransum Berdasarkan


100% BK
Zat Makanan
Bahan Pakan BK Abu PK SK LK Beta-N Ca P TDN
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Indigofera sp.(a) 93,21 12,51 27,88 32,73 1,48 25,39 0,06 0,54 70,2(c)
Limbah Tauge(a) 87,94 3,00 16,40 43,78 0,24 36,58 0,86 0,41 67,8(c)
Jagung(b) 86,8 2,15 10,8 2,53 4,28 80,2 0,234 0,414 80,8
Onggok(b) 79,8 2,40 1,87 8,90 0,324 86,5 0,260 0,160 78,3
Bk. Kelapa(b) 88,6 8,24 21,3 14,2 10,9 45,4 0,165 0,616 78,7
Bk. Kedelai(b) 88,1 8,2 46,9 5,9 2,66 36,4 0,376 0,718 83,2
Keterangan : (a) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2011). (b)
Komposisi Zat Makanan menurut Sutardi, 1980. (c) Hasil Perhitungan
Wardeh (1981). BK : Bahan Kering, PK : Protein Kasar, SK : Serat Kasar,
LK : Lemak Kasar, TDN : Total Digestible Nutrient.

Tabel 3. Komposisi Bahan Pakan Ransum Penelitian


Perlakuan
Bahan Pakan
R1 R2
Indigofera sp. (%) 30 0
Limbah Tauge (%) 0 30
Onggok (%) 12 10
Jagung (%) 10 10
Bungkil Kelapa (%) 32 32
Bungkil Kedelai (%) 8 10
CaCO3 (%) 2,5 2,5
Molases (%) 5 5
Premix (%) 0,2 0,2
NaCl (%) 0,3 0,3
Jumlah (%) 100 100
Keterangan: R1: Ransum Indigofera sp. R2: Ransum Limbah Tauge
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Ransum dalam 100% BK
Perlakuan
Zat Makanan
R1 R2
Bahan Kering (%) 87,32 87,65
Abu (%) 9,43 7,43
Protein Kasar (%) 20,76 19,00
Serat Kasar (%) 17,62 27,96
Lemak Kasar (%) 3,60 4,23
Beta-N (%) 48,60 41,37
Ca (%) 1,75 1,39
P (%) 0,26 0,23
TDN* (%) 73,82 72,22
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2011). *) Hasil
perhitungan menurut Rahayu et al. (2011), R1 : Ransum Indigofera sp., R2 :
Ransum Limbah Tauge.

Prosedur
Persiapan Ternak
Persiapan ternak dilakukan untuk mengkondisikan ternak sebelum penelitian
berlangsung. Domba yang digunakan adalah domba dengan bobot badan dan umur
yang seragam, sehat dan tidak cacat. Domba diberikan perawatan yang terdiri dari
memandikan domba, mencukur bulu dan kuku, memberikan obat cacing dan
memberikan identitas (kalung).

Adaptasi Kandang dan Pakan


Adaptasi kandang dilakukan dengan memindahkan domba dari kandang
kelompok ke kandang individu. Tujuan adaptasi kandang adalah untuk menghindari
stress pada domba yang ditimbulkan karena kondisi kandang yang berbeda. Adaptasi
kandang dilakukan selama dua minggu bersama dengan adaptasi pakan.
Adaptasi pakan merupakan proses penyesuaian ternak terhadap jenis pakan
baru yang akan diberikan pada waktu penelitian, adaptasi dilakukan selama 2
minggu. Adaptasi pakan dilakukan dengan cara memberikan konsumsi pakan
penelitian secara ad libitum dan dibatasi sebanyak 2 kg/hari. Pemberian pakan
dilakukan setiap pagi hari dan dilakukan pencatatan jumlah pakan yang diberikan
dan sisa pakan yang tidak dikonsumsi. Adaptasi dilakukan sampai semua ternak
memiliki tingkat konsumsi yang seragam. Tujuan dilakukan adaptasi pakan adalah
mengkondisikan sistem pencernaan agar tidak terjadi gangguan karena pakan baru
yang diberikan.

Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan selama 3 bulan setelah fase adaptasi kandang dan
pakan. Pemeliharaan dilakukan dengan sistem pemberian pakan dan minum secara
individu setiap pagi hari. Sistem pemberian pakan secara ad libitum dan dibatasi
sebanyak 2 kg/hari. Konsumsi air minum diberikan sebanyak 2 liter/hari.
Pengontrolan konsumsi pakan dan air minum dilakukan setiap 2 jam. Ransum dan air
minum yang habis ditambahkan secara ad libitum dan dicatat jumlah
penambahannya. Sisa pakan ditimbang dan dicatat sebelum pemberian pakan pagi
hari. Sisa ransum dicampur dengan ransum baru dan diberikan ke ternak untuk
dikonsumsi kembali. Sisa air minum dibuang dan diganti dengan air baru.

Pengumpulan Sampel Feses


Pengumpulan sampel feses dilakukan dengan metode koleksi total (Harris,
1970) pada minggu akhir pemeliharaan. Koleksi sampel feses dilakukan dalam sehari
(24 jam) setiap pagi hari. Feses ditimbang untuk mengetahui berat total basah.
Sampel feses sebanyak 10% dari total feses basah. Sampel feses dimasukkan
kedalam kantong plastik yang diberi label, kemudian dimasukkan ke dalam oven
60°C untuk dianalisis BK udara. Sampel feses dikomposit sampai periode koleksi
selesai. Sampel komposit dihaluskan untuk dianalisis kandungan zat makanannya.

Analisis Proksimat
Pengukuran Kadar Air
Sejumlah sampel yang telah dihaluskan ditimbang (minimal 10 g) dalam
botol timbang yang telah diketahui beratnya. Kemudian dikeringkan dalam oven
sampai mencapai berat yang konstan. Pengeringan dalam oven dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu (1) pada suhu 135oC dibutuhkan waktu 2 jam, hasil yang
diperoleh berupa bahan kering udara; (2) pada suhu 100oC untuk periode yang
panjang dibutuhkan waktu 8-24 jam; (3) pada suhu kurang dari 100oC dalam oven
vakum selama 3-5 jam atau 20-25 di atas titik didih air pada tekanan tekanan udara +
25 mm (AOAC, 1990). Dalam percobaan ini sampel dikeringkan pada suhu 105 oC.
Sampel ditimbang setelah kering. Perhitungan persentase air atau kelembaban ada
dua cara yaitu :

Cara I :
Hilangnya berat selama pengeringan x 100 = % air
Berat sampel sebelum dikeringkan
Cara II :
Berat sampel setelah pengeringan x 100 = % bahan kering (BK)
Berat sampel sebelum pengeringan
100 - % BK = % air

Pengukuran Kadar Abu


Kandungan abu ditentukan dengan cara mengabukan atau membakar
sejumlah bahan pakan dalam jumlah tertentu sampai semua karbon hilang dari bahan
makanan tersebut dalam tanur pada suhu 500-600oC. Sisanya adalah abu dan
dianggap mewakili bagian anorganik makanan. Akan tetapi, abu dapat mengandung
bahan mineral yang berasal dari bahan organik seperti sulfur dan fosfor dari protein,
dan beberapa bahan yang mudah terbang seperti natrium, klorida, kalium, fosfor dan
sulfur akan hilang selama pembakaran. Kandungan abu dengan demikian tidaklah
sepenuhnya mewakili bahan anorganik pada pakan baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif (AOAC, 1990). Perhitungan persentase kandungan abu, yaitu :

Berat abu x 100 = % kandungan abu atau mineral


Berat awal sampel

Pengukuran Kadar Protein Kasar


Kadar PK ditentukan dengan metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1990).
Sejumlah kecil sampel ditimbang (kira-kira memerlukan 3-10 ml; 3-10 ml HCl 0,01
N atau 0,02 N. Kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal 30 ml. Selanjutnya
ditambahkan 1 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 20 ml H2SO4. Sampel dididihkan selama
1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih, kemudian didinginkan. Isi labu Kjeldhal
dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu kemudian dicuci dan dibilas 5-6 kali
dengan 1-2 ml air. Air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-
10 ml larutan NaOH Na2S2O3.
Labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes
indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alhohol dengan 1 bagian
metilen blue 0,2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondesor. Ujung tabung
kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Selanjutnya dilakukan destilasi
sampai diperoleh kira-kira 15 ml destilat dalam labu Erlenmeyer. Tabung kondesor
dibilas dengan air dan ditampung dalam labu Erlenmeyer yang sama. Isi labu
Erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0,02
N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal yang sama juga dilakukan
terhadap blanko (AOAC, 1990). Penentuan kadar protein ditentukan persamaan
berikut :

% N = (ml sampel – ml blanko) x N Hli x 14.007 x 100%


mg sampel
% Protein = % N x faktor koreksi (6,25)

Pengukuran Kadar Lemak Kasar


Labu lemak dikeringkan dalam alat pengering pada suhu 105-110oC selama 1
jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Kira-kira 5 g
sampel dibungkus dengan kertas saring, lalu dimasukkan ke dalam alat esktraksi
Sokhlet yang telah berisi dietil eter. Reflux dilakukan selama 5 jam dan pelarut yang
ada dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang mengandung lemak
hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan
sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang
(AOAC, 1990). Kadar lemak ditentukan berdasarkan persamaan :

Berat lemak kasar x 100 = % Lemak Kasar (ekstrak eter)


Berat sampel

Pengukuran Kadar Serat Kasar


Labu lemak dikeringkan di dalam oven, didiamkan dalam desikator dan
ditimbang. Sampel yang telah dikeringkan ditimbang sebanyak 2,5-5,0 g dan
dibungkus dengan kertas saring, kemudian dilakukan esktraksi dengan dietil eter
selama 6 jam pada sokhlet. Sampel dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer 600 ml,
ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendididih dan dididihkan selama 30 menit.
Suspensi kemudian disaring dengan kertas saring. Residu tertinggal dalam labu
Erlenmeyer dan kertas saring dicuci dengan air mendidih. Kemudian residu dicuci
kembali dengan 200 ml larutan NaOH dengan perlakuan sama dengan penambahan
H2SO4. Residu disaring kembali dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya
sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%, air mendidih, dan kemudian dengan
alkohol 95%. Kertas saring kemudian dikeringkan di dalam oven 110oC. Setelah
didinginkan dalam desikator (1-2 jam), kemudian ditimbang. Berat residu yang
diperoleh merupakan berat serat kasar (AOAC, 1990).

Berat serat kasar x 100 = % serat kasar


Berat awal sampel

Rancangan Percobaan
Model
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 2 x 2
dengan faktor pertama adalah jenis domba (B1 = UP3 jonggol dan B2 = garut),
faktor kedua yaitu jenis ransum (R1 = Indigofera sp. dan R2 = limbah tauge).
Ulangan dilakukan sebanyak empat kali. Model yang digunakan adalah sebagai
berikut :

Yij = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ ɛij

Keterangan:
Yij : nilai pengamatan perlakuan ke-i, dan ke-j
µ : nilai tengah
Ai : pengaruh perlakuan bangsa domba ke-i
Bj : pengaruh perlakuan jenis ransum ke-j
(AB)ij : interaksi antara bangsa domba dan jenis ransum
ɛij : pengaruh galat percobaan
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance)
untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Uji orthogonal
kontras digunakan untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan (Mattjik dan
Sumertajaya, 2006).

Peubah yang Diamati


1. Performa Produksi
a. Bobot Badan Akhir (kg/e)
b. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
bobot badan akhir - bobot badan awal
PBBH (g/e/h) =
lama pemeliharaan

c. Rataan Konsumsi Ransum Harian


total konsumsi
Rataan konsumsi (g/e/h) =
lama pemeliharaan

d. Konversi Ransum
rataan konsumsi ransum harian
Konversi ransum (g/e/h) =
PBBH

2. Konsumsi Zat Makanan


Konsumsi BK (g/e/h) = konsumsi ransum x % BK ransum
Konsumsi zat makanan ransum (g/e/h) = konsumsi BK x % zat makanan ransum

3. Pengukuran Nilai Kecernaan


Zat makanan tercerna (g/e/h) = konsumsi zat makanan ransum - zat makanan feses
konsumsi zat makanan ransum - zat makanan feses
Koefisien cerna (%) = x 100%
konsumsi zat makanan ransum

4. Total Digestible Nutrient (TDN)


% TDN = % PK dd + (%LK dd x 2,25) + % SK dd + % BETN dd
HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Produksi
Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian
Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa
produksi suatu ternak. Performa produksi meliputi pertumbuhan dan perkembangan
ternak. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat dinilai sebagai
peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot badan yang terjadi pada
seekor ternak muda yang sehat dan diberi pakan, minum serta mendapat tempat
berlindung yang layak. Pengukuran bobot tubuh berguna untuk menentukan tingkat
konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999).
Peubah yang dapat digunakan untuk menilai pertumbuhan dan kualitas bahan
makanan ternak yaitu pertambahan bobot badan (PBB). Pertambahan bobot badan
dapat diperoleh dari zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak dan kemampuan
ternak dalam mengubah zat-zat makanan tersebut menjadi daging. Nilai suatu pakan
dari seekor ternak dapat diketahui dari PBB (Church dan Pond, 1988).

Tabel 5. Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba selama
Penelitian
Perlakuan Rataan
Peubah Domba
R1 R2 X±sd
BB Akhir jonggol* 25,00±1,47 a 24,70±1,68 b 24,85±1,47
(kg/e) garut* 23,70±3,06 b 29,45±1,28 a 26,58±3,76
Rataan X±sd* 24,35±2,33 b 27,08±2,89 a 25,71±2,90

PBBH jonggol* 135,71±12,45 a 126,79±21,42 b 131,25±16,90


(g/e/h) garut* 98,81±38,22 b 152,98±23,52 a 125,90±41,25
Rataan X±sd 117,26±32,89 139,89±25,09 128,57±30,58
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, *) Superskrip dengan
huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
P<0,05

Hasil penelitian ini menunjukkan bobot badan (BB) akhir domba dipengaruhi
oleh faktor jenis ransum dan interaksi antara kedua faktor (P<0,05), tetapi tidak
dipengaruhi oleh faktor jenis domba (Tabel 5). PBB harian (PBBH) domba
dipengaruhi oleh interaksi antara kedua faktor (P<0,05), tetapi tidak dipengaruhi
oleh faktor jenis domba dan faktor jenis ransum (Tabel 5).
Perlakuan ransum limbah tauge menghasilkan BB akhir domba yang lebih
besar (P<0,05) dibandingkan BB akhir domba dengan perlakuan ransum Indigofera
sp. Perlakuan ransum Indigofera sp. menghasilkan BB akhir dan PBBH domba
jonggol yang lebih besar (P<0,05) dibandingkan BB akhir dan PBBH domba jonggol
dengan perlakuan ransum limbah tauge. Perlakuan ransum limbah tauge
menghasilkan BB akhir dan PBBH domba garut yang lebih besar (P<0,05)
dibandingkan BB akhir dan PBBH domba garut dengan perlakuan ransum Indigofera
sp. BB akhir dan PBBH domba jonggol tidak berbeda nyata dengan BB akhir dan
PBBH domba garut. PBBH domba dengan perlakuan ransum Indigofera sp. tidak
berbeda nyata dengan PBBH domba dengan perlakuan ransum limbah tauge.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh positif dari faktor jenis
ransum dan interaksi antara kedua faktor terhadap produktivitas ternak domba yang
dapat berkaitan dengan konsumsi ransum; hasil ini sesuai dengan pendapat (Arora,
1989). Konsumsi ransum limbah tauge yang lebih tinggi (P<0,01) daripada konsumsi
ransum Indigofera sp. (Tabel 6) menghasilkan BB akhir domba yang lebih tinggi
(P<0,05) pada perlakuan ransum limbah tauge dibandingkan BB akhir domba pada
perlakuan ransum Indigofera sp. (Tabel 5). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan ternak terhadap pakan yang diberikan berbeda untuk jenis domba dan jenis
pakan atau ransum. Domba jonggol lebih baik dalam memanfaatkan zat makanan
ransum Indigofera sp. untuk pertumbuhan badan, sedangkan domba garut lebih baik
dalam memanfaatkan zat makanan ransum limbah tauge untuk pertumbuhan badan.
Sumantri et al. (2007) melaporkan bahwa domba UP3 jonggol mempunyai
bobot tubuh dewasa sebesar 34,9 kg untuk jantan dan 26,1 kg untuk betina.
Sedangkan menurut Einstiana (2006), rataan BB domba garut jantan umur 2-3 tahun
: 40,80±12,30 kg dan domba garut betina : 27,57±3,80 kg. Rataan BB akhir domba
jonggol dan domba garut sebesar 24,85 kg/e dan 26,58 kg/e pada penelitian ini lebih
rendah dari hasil Sumantri et al. (2007) dan Einstiana (2006) karena perbedaan umur
domba. Domba jonggol dan domba garut jantan yang digunakan pada penelitian ini
berumur 11-12 bulan, sedangkan domba penelitian Sumantri et al. (2007) dan
Einstiana (2006) berumur 2-3 tahun. Bobot tubuh seekor ternak dipengaruhi oleh
bangsa ternak, jenis kelamin, umur, jenis kelahiran, dan jenis pakan (NRC, 1985).
Hasil penelitian ini relatif sebanding dengan penelitian Wandito (2011) yang
menyatakan bahwa domba yang mendapatkan ransum konsentrat ditambah limbah
tauge hingga taraf pemberian 75% menghasilkan PBBH sebesar 86,7-145,28 g/e/h.
Martawidjaja (1986) menyatakan bahwa pemberian konsentrat pada domba sangat
berpengaruh terhadap PBB. Pertambahan bobot badan domba tanpa penambahan
konsentrat rata-rata 18 g/e/h, sedangkan dengan penambahan konsentrat adalah 71
g/e/h. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan leguminosa Indigofera sp.
dan limbah tauge pada ransum domba dapat meningkatkan PBB baik pada domba
jonggol maupun domba garut. Thalib et al. (2000) menyatakan bahwa PBB ternak
ruminansia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, penilaian PBB
ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi.

Rataan Konsumsi Ransum Harian


Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang
dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan didalamnya digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut
(Tillman et al., 1998).

Tabel 6. Rataan Konsumsi Ransum Harian selama Penelitian

Perlakuan Rataan
Konsumsi Domba
R1 R2 X±sd
...…..………………….g/e/h………………………...
jonggol 765,15±46,63 859,20±65,30 812,17±72,71
Bahan Segar
garut 673,51±125,68 997,07±151,36 835,29±215,64
Rataan X±sd** 719,33±100,50 B 928,13±130,68 A 823,73±155,91
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, **) Superskrip
dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat
nyata pada P<0,01

Hasil penelitian ini menunjukkan rataan konsumsi ransum harian dipengaruhi


oleh faktor jenis ransum (P<0,01), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba
dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 6). Perlakuan ransum limbah tauge
menghasilkan rataan konsumsi ransum harian yang lebih tinggi (P<0,01) daripada
rataan konsumsi ransum harian pada perlakuan ransum Indigofera sp. Rataan
konsumsi ransum harian domba jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi
ransum harian domba garut.
Rataan konsumsi ransum harian limbah tauge yang lebih tinggi pada
penelitian ini menunjukkan tingkat kesukaan ternak terhadap ransum limbah tauge
lebih tinggi dibandingkan tingkat kesukaan ternak terhadap ransum Indigofera sp.
Tingkat kesukaan ternak terhadap ransum ditentukan dari banyaknya pakan yang
dikonsumsi. Pond et al. (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu
pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan
oleh ternak. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh sifat fisik, komposisi kimia
pakan (Parakkasi, 1999), dan palatabilitas pakan (Williamson dan Payne, 1993).
Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan
adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia
bahan makanan. Selain itu aroma dari pakan yang digunakan akan meningkatkan
konsumsi ransum (Pond et al., 1995).
Kandungan PK yang tinggi dan SK yang rendah pada ransum Indigofera sp.
(Tabel 4) tidak mengakibatkan konsumsi ransum Indigofera sp. yang tinggi (Tabel
6). Kandungan SK yang tinggi pada ransum limbah tauge (Tabel 4) tidak
mengakibatkan konsumsi BK ransum limbah tauge yang rendah (Tabel 6). Hal ini
menunjukkan kulitas SK ransum limbah tauge lebih mudah dicerna dibandingkan
kulitas SK ransum Indigofera sp. yang ditunjukkan dengan KCSK ransum limbah
tauge yang lebih tinggi dibandingkan KCSK ransum Indigofera sp. (Tabel 11).
McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan pakan dan laju digesta pakan
mempengaruhi konsumsi ransum. Kecernaan yang tinggi dan laju digesta yang cepat
akan meningkatkan kosumsi ransum. Semakin baik kualitas bahan pakan maka
semakin tinggi konsumsi pakan dari seekor ternak.
Hasil penelitian ini relatif sebanding dengan penelitian Wandito (2011) yang
menyatakan domba yang mendapatkan ransum konsentrat ditambah limbah tauge
hingga taraf pemberian 75% menghasilkan rataan konsumsi harian ransum sebesar
824-920 g/e/h. Menurut Martawidjaja (1986), rata-rata konsumsi pakan domba yang
diberikan konsentrat adalah 580 g/e/h dibandingkan dengan yang tidak diberi
konsentrat yaitu 371 g/e/h. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan
leguminosa Indigofera sp. dan limbah tauge pada ransum domba dapat meningkatkan
rataan konsumsi ransum harian.

Konversi Ransum
Hasil penelitian ini menunjukkan konversi ransum tidak dipengaruhi oleh
faktor jenis domba, faktor jenis ransum dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 7).
Konversi ransum domba jonggol tidak berbeda nyata dengan konversi ransum domba
garut. Konversi ransum domba dengan perlakuan ransum Indigofera sp. tidak
berbeda nyata dengan konversi ransum domba dengan perlakuan ransum limbah
tauge.

Tabel 7. Konversi Ransum selama Penelitian

Perlakuan Rataan
Peubah Domba
R1 R2 X ± sd
...…..………………….g/e/h………………...
jonggol 5,65±0,21 6,90±1,03 6,28±0,96
Konversi Ransum
garut 7,22±1,53 6,72±1,87 6,95±1,60
Rataan X ± sd 6,44±1,31 6,81±1,40 6,62±1,33
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge

Hasil penelitian ini menunjukkan zat-zat makanan dari kedua ransum


perlakuan dapat dimanfaatkan secara baik oleh kedua jenis domba untuk
pertumbuhannya. Domba jantan muda mempunyai potensi untuk tumbuh lebih cepat
daripada domba betina muda, PBBH lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan
penggunaan ransum lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990).

Konsumsi dan Kecernaan Zat Makanan

Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering


Konsumsi BK ransum dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,01), tetapi
tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel
8). Rataan konsumsi BK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada rataan
konsumsi BK ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi BK ransum pada domba
jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi BK ransum pada domba garut.
Hal ini menunjukkan tingkat kesukaan ternak terhadap ransum limbah tauge lebih
tinggi dibandingkan ransum Indigofera sp. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh
sifat fisik, komposisi kimia pakan (Parakkasi, 1999), dan palatabilitas pakan
(Williamson dan Payne, 1993). Tingginya konsumsi BK ransum limbah tauge dapat
disebabkan oleh jumlah konsumsi bahan segar ransum limbah tauge lebih tinggi
daripada jumlah konsumsi bahan segar ransum Indigofera sp. (Tabel 6), tetapi
kandungan BK kedua ransum perlakuan yang tidak berbeda (Tabel 4). Sutardi (1980)
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas,
jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan.

Tabel 8. Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses dan Kecernaan Bahan
Kering Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan
Perlakuan Rataan
Peubah Domba
R1 R2 X±sd
Konsumsi BK jonggol 689,83±60,31 860,62±199,81 775,22±164,33
g/e/h garut 643,44±110,50 967,44±153,38 800,94±212,86
Rataan X±sd** 666,64±86,06 B 914,03±174,51A 790,33±184,36

BK Feces jonggol 293,36±54,94 330,41±119,28 311,88±88,22


g/e/h garut 233,41±95,93 390,39±118,74 311,90±130,49
Rataan X±sd 263,38±79,15 360,40±114,75 311,89±107,60

BK Tercerna jonggol 396,47±82,14 530,21±93,44 463,34±108,37


g/e/h garut 410,03±17,87 577,05±77,22 493,54±103,26
Rataan X±sd** 403,25±55,51 B 553,63±83,21 A 478,44±103,44

Koefisien Cerna jonggol 57,25±8,36 62,27±6,16 59,76±7,30


Bahan Kering (%) garut 64,81±8,63 60,09±6,68 62,45±7,57
Rataan X±sd 61,03±8,84 61,18±6,06 61,10±7,32
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, **) Superskrip
dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat
nyata pada P<0,01

Hasil konsumsi BK ransum Indigofera sp. pada penelitian ini sebesar 666,64
g/e/h lebih tinggi daripada hasil penelitian Tarigan (2009) yang menunjukkan
konsumsi BK ransum sebesar 368,24-440,92 g/e/h. Pakan yang digunakan dalam
penelitian Tarigan (2009) menggunakan kombinasi rumput Brachiaria ruziziensis
ditambah leguminosa Indigofera sp. pada taraf perlakuan yang berbeda-beda.
Penggunaan leguminosa Indigofera sp. dengan taraf 30% pada penelitian Tarigan
(2009) menghasilkan konsumsi BK tertinggi sebesar 440,92 g/e/h. Hasil konsumsi
BK ransum limbah tauge pada penelitian ini sebesar 914,03 g/e/h relatif sebanding
dengan hasil penelitian Wandito (2011) yang menunjukkan konsumsi BK ransum
yaitu sebesar 589-974,53 g/e/h. Ransum yang digunakan Wandito (2011) adalah
ransum komplit dengan kombinasi konsentrat ditambah limbah tauge segar dengan
taraf pemberian limbah tauge yang berbeda-beda mencapai 75% dari ransum.
Konsumsi BK pada penelitian ini sebesar 634,44-967,44 g/e/h relatif
sebanding dengan standar konsumsi BK Kearl (1982) yaitu domba dengan bobot
badan 20-30 kg mengkonsumsi BK sebesar 650-950 g/e/h. Konsumsi BK yang
diperoleh dari hasil penelitian ini juga sesuai dengan standar NRC (2006) yaitu
domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan BK sekitar 3% dari bobot
badannya yaitu sekitar 600-900 g/ekor/hari. Hasil konsumsi BK pada penelitian ini
sebesar 634,44-967,44 g/e/h lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya yaitu
domba tumbuh UP3 jonggol yang dipelihara secara semi intensif dengan pemberian
ransum hijauan yang tumbuh di daerah tropika seperti Gliricidea, Moringa,
Caliandra dan Leucaena dapat mengkonsumsi sebanyak 555 g/e/h atau 4% BB
(Astuti et al., 2011). Konsumsi BK penelitian ini sebesar 634,44-967,44 g/e/h lebih
tinggi dari konsumsi BK hasil penelitian Karolita (2011). Hasil penelitian Karolita
(2011) menghasilkan konsumsi BK sebesar 477,45-498,65 g/e/h pada domba
bunting. Ransum yang digunakan Karolita (2011) adalah ransum komplit dengan
sumber karbohidrat jagung, onggok dan kombinasi jagung ditambah onggok. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan leguminosa Indigofera sp. dan
limbah tauge dalam ransum komplit dapat meningkatkan konsumsi BK ransum,
dengan efek limbah tauge yang lebih baik daripada leguminosa Indigofera sp.
terhadap konsumsi BK ransum.
Koefisien cerna BK (KCBK) ransum tidak dipengaruhi oleh faktor jenis
domba, faktor jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 8). KCBK
ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan KCBK ransum limbah tauge.
KCBK pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan KCBK domba garut. Hasil
yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh kandungan BK yang tidak berbeda pada
kedua ransum perlakuan (Tabel 4) dan perbandingan antara jumlah BK tercerna
dengan konsumsi BK dari masing-masing perlakuan ransum yang relatif sebanding
(Tabel 8). Meskipun demikian, ransum dengan limbah tauge dapat menyediakan BK
tercerna yang lebih tinggi daripada ransum Indigofera sp. (P<0,05) sehingga dapat
meningkatkan bobot akhir kedua jenis domba (Tabel 5).
Hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Elita (2006) dan
Tarigan (2009). Elita (2006) menyatakan bahwa rataan KCBK pada domba lokal
adalah 57,34%. Tarigan (2009) menyatakan bhawa KCBK kambing Boerka yang
mendapatkan ransum dengan penambahan Indigofera sp. 45% dari total ransum
sebesar 60,07%. Hasil penelitian ini lebih rendah daripada penelitian Abdullah dan
Suharlina (2010) yang menghasilkan KCBK Indigofera sp. sebesar 67,39%-81,80%.

Konsumsi dan Kecernaan Protein Kasar


Konsumsi PK ransum dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,05), tetapi
tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel
9). Rataan konsumsi PK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,05) daripada rataan
konsumsi PK ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi PK ransum pada domba
jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi PK ransum pada domba garut.
Konsumsi PK ransum limbah tauge yang lebih tinggi (P<0,01) daripada
konsumsi PK ransum Indigofera sp. disebabkan oleh konsumsi BK dan BK tercerna
dari ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada konsumsi BK dan BK
tercerna ransum Indigofera sp. (Tabel 8), dan kadar PK kedua ransum perlakuan
tidak berbeda (Tabel 4). Faktor yang mempengaruhi konsumsi PK adalah konsumsi
BK dan kandungan PK dalam ransum (Rianto et al., 2008).
Hasil konsumsi PK ransum Indigofera sp. pada penelitian ini sebesar 138,42
g/e/h lebih rendah dari hasil konsumsi PK penelitian Apdini (2011) yaitu sebesar
354-363 g/e/h. Pada penelitian Apdini (2011) digunakan ternak kambing perah
Saanen dan Peranakan Etawah yang diberikan perlakuan rumput lapang 60% dengan
penambahan Indigofera sp. sebanyak 40% dalam ransum. Faktor lain yang
membedakan jumlah konsumsi PK pada penelitian ini dengan Apdini (2011) adalah
jumlah rataan konsumsi BK pada penelitian Apdini (2011) sebesar 2170,86 g/e/h,
sedangkan pada penelitian ini rataan konsumsi BK ransum Indigofera sp. sebesar
666,64 g/e/h (Tabel 8). Hasil konsumsi PK ransum limbah tauge pada penelitian ini
sebesar 173,74 g/e/h lebih tinggi dari konsumsi PK hasil penelitian Wandito (2011)
yang menunjukkan konsumsi PK ransum sebesar 77,9-131,01 g/e/h. Ransum yang
digunakan Wandito (2011) adalah ransum komplit dengan kombinasi konsentrat
ditambah limbah tauge segar dengan taraf pemberian limbah tauge yang berbeda-
beda mencapai 75% dari ransum. Kandungan PK ransum pada penelitian Wandito
(2011) sebesar 13,63% dan pada penelitian ini kandungan PK ransum limbah tauge
sebesar 19,00%.

Tabel 9. Konsumsi Protein Kasar, Protein Kasar Feses dan Kecernaan Protein
Kasar Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan
Perlakuan Rataan
Peubah Domba
R1 R2 X±sd
Konsumsi PK jonggol 143,23±12,52 163,58±37,98 153,40±28,35
g/e/h garut 133,60±22,94 183,89±29,16 158,74±36,23
Rataan X±sd* 138,42±17,87 b 173,74±33,17 a 156,08±31,54

PK Feces jonggol 37,95±8,03 46,04±14,89 41,99±11,89


g/e/h garut 33,15±13,74 52,51±18,00 42,83±18,08
Rataan X±sd 35,55±10,73 49,27±15,68 42,42±14,79

PK Tercerna jonggol 105,28±14,39 117,54±24,93 111,41±19,95


g/e/h garut 100,45±9,34 131,37±16,91 115,91±20,92
Rataan X±sd* 102,86±11,53 b 124,46±21,06 a 113,66±19,83

Koefisien Cerna jonggol 73,39±5,54 72,15±4,37 72,77±4,67


Protein Kasar (%) garut 75,95±6,02 71,83±5,84 73,89±5,91
Rataan X±sd 74,67±5,53 71,99±4,78 73,33±5,18
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, *) Superskrip dengan
huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada
P<0,05

Hasil konsumsi PK pada penelitian ini sebesar 133,60-183,89 g/e/h lebih


tinggi dari yang distandarkan oleh Kearl (1982), yaitu domba dengan BB 20-30 kg
mengkonsumsi PK sebesar 72-106 g/e/h. Hal ini menunjukkan perlakuan ransum
mencukupi kebutuhan PK untuk ternak domba pada daerah tropis. Hasil konsumsi
PK pada penelitian ini sebesar 133,60-183,89 g/e/h relatif sebanding dari standar
NRC (1985) yaitu sebesar 167-191 g/e/h. Adapun perbedaan konsumsi PK dengan
kebutuhan berdasarkan ketentuan NRC (1985), yaitu terkait dengan genetik dari
perbedaan jenis domba yang digunakan antara domba lokal yang hidup di daerah
tropis dengan domba luar negeri yang hidup di daerah subtropis. Konsumsi PK pada
penelitian ini sebesar 133,60-183,89 g/e/h lebih tinggi dari konsumsi PK hasil
penelitian Karolita (2011). Hasil penelitian Karolita (2011) menunjukkan domba
bunting yang diberi ransum komplit dengan sumber karbohidrat jagung, onggok, dan
kombinasi jagung ditambah onggok mengkonsumsi PK sebesar 76,20-77,30 g/e/h.
Kandungan PK ransum pada penelitian ini mencapai 20,76% (Tabel 4), sedangkan
pada penelitian Karolita (2011) kandungan PK ransum sebesar 16%. Hasil penelitian
ini menunjukkan ransum konsentrat yang ditambahkan leguminosa Indigofera sp.
dan limbah tauge dapat meningkatkan ketersediaan PK ransum dan meningkatkan
konsumsi PK ransum.
Koefisien cerna protein kasar (KCPK) ransum tidak dipengaruhi oleh faktor
jenis domba, faktor jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 9). KCPK
ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan KCPK ransum limbah tauge.
KCPK ransum pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan KCPK ransum pada
domba garut. Hasil yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh kadar PK (Tabel 4)
dan banyaknya ekskresi PK feses yang tidak berbeda pada kedua ransum perlakuan
(Tabel 9), tetapi menghasilkan jumlah PK tercerna yang lebih tinggi pada ransum
dengan limbah tauge (Tabel 9). Hal ini berkaitan dengan banyaknya konsumsi PK
dan proses pencernaan PK di dalam saluran pencernaan.
Hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Ginting (2000), Suci
(2011), dan Karolita et al. (2011). Ginting (2000) melaporkan bahwa kecernaan PK
domba yang diberi hijauan berkisar antara 38,19%-51,09%. Suci (2011) menyatakan
KCPK ransum dengan onggok dan bungkil kelapa pada domba jantan sebesar
55,80%. Karolita et al. (2011) menyatakan KCPK ransum dengan jagung dan
onggok sebagai sumber karbohidrat sebesar 70,79% pada domba bunting. Hasil
penelitian ini lebih tinggi daripada kisaran normal kecernaan protein yang dilaporkan
Manurung (1996) yaitu antara 47,70%-71,94%. Penelitian ini menunjukkan
pemberian tambahan leguminosa Indigofera sp. dan limbah tauge pada ransum dapat
meningkatkan KCPK ransum.
Konsumsi dan Kecernaan Lemak Kasar
Konsumsi LK ransum dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,01), tetapi
tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel
10). Rataan konsumsi LK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan
rataan konsumsi LK ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi LK ransum pada domba
jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi LK ransum pada domba garut.
Tingginya konsumsi LK ransum limbah tauge dapat disebabkan oleh
konsumsi BK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada konsumsi BK
ransum Indigofera sp. (Tabel 8) dan kadar LK ransum limbah tauge lebih tinggi
daripada ransum Indigofera sp. (Tabel 4).

Tabel 10. Konsumsi Lemak Kasar, Lemak Kasar Feses dan Kecernaan Lemak Kasar
Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan
Perlakuan Rataan
Peubah Domba
R1 R2 X±sd
Konsumsi LK jonggol 24,98±2,01 36,43±8,46 30,70±8,36
g/e/h garut 23,14±3,97 41,08±6,40 32,11±10,78
Rataan X±sd** 24,06±3,08 B 38,75±7,37 A 31,40±9,35

LK Feces jonggol 3,41±1,28 4,41±3,11 3,91±2,27


g/e/h garut 3,64±1,65 4,43±2,06 4,03±1,78
Rataan X±sd 3,52±1,38 4,42±2,44 3,97±1,97

LK Tercerna jonggol 21,57±3,00 32,02±5,68 25,76±6,99


g/e/h garut 19,50±2,72 36,65±5,20 29,11±9,94
Rataan X±sd** 20,53±2,87 B 34,33±5,62 A 27,43±8,33

Koefisien Cerna jonggol 86,09±5,81 88,66±5,68 87,37±5,49


Lemak Kasar (%) garut 84,69±5,37 89,39±3,96 87,04±5,04
Rataan X±sd 85,39±5,23 89,03±4,55 87,21±5,09
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, **) Superskrip
dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat
nyata pada P<0,01

Koefisien cerna lemak kasar (KCLK) ransum tidak dipengaruhi oleh faktor
jenis domba, faktor jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 10).
KCLK ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan KCLK ransum limbah
tauge. KCLK ransum pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan KCLK
ransum pada domba garut. Hasil yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh
perbandingan antara jumlah LK tercerna dengan konsumsi LK dari masing-masing
perlakuan ransum yang relatif sebanding (Tabel 10). Namun demikian konsumsi LK
yang tinggi pada ransum limbah tauge dengan LK yang dikeluarkan melalui feses
yang tidak berbeda dengan ransum Indigofera sp. menghasilkan LK tercerna yang
lebih tinggi pada ransum limbah tauge (P<0,01) (Tabel 10). Pond et al. (2005)
menyatakan bahwa daya cerna sejati lemak yaitu melebihi 80%. KCLK hasil
penelitian ini menunjukkan nilai masing-masing perlakuan cukup tinggi. KCLK yang
tinggi menunjukkan bahwa pemberian Indigofera sp. dan limbah tauge ke dalam
ransum dapat meningkatkan KCLK ransum.

Konsumsi dan Kecernaan Serat Kasar


Konsumsi SK ransum dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,01), tetapi
tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel
11). Rataan konsumsi SK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada rataan
konsumsi SK ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi SK ransum pada domba
jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi SK ransum pada domba garut.
Kadar SK ransum limbah tauge lebih tinggi daripada ransum Indigofera sp.
(Tabel 4) dan konsumsi BK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada
konsumsi BK ransum Indigofera sp. (Tabel 8) menjadi faktor yang mengakibatkan
konsumsi SK ransum limbah tauge lebih tinggi daripada ransum Indigofera sp.
Hasil konsumsi SK ransum Indigofera sp. pada penelitian ini sebesar 117,50
g/e/h lebih rendah daripada konsumsi SK hasil penelitian Apdini (2011) yaitu sebesar
587-602 g/e/h. Pada penelitian Apdini (2011) digunakan ternak kambing perah
Saanen dan Peranakan Etawah yang diberikan perlakuan rumput lapang 60% dengan
penambahan Indigofera sp. sebanyak 40% dalam ransum. Ransum yang digunakan
Apdini (2011) memiliki kandungan SK 28,56%, sedangkan pada penelitian ini SK
ransum Indigofera sp. sebesar 17,62%.
Faktor lain yang membedakan jumlah konsumsi SK pada penelitian ini
dengan Apdini (2011) adalah jumlah rataan konsumsi BK pada penelitian Apdini
(2011) sebesar 2170,86 g/e/h, sedangkan pada penelitian ini rataan konsumsi BK
ransum Indigofera sp. sebesar 666,64 g/e/h (Tabel 8).
Tabel 11. Konsumsi Serat Kasar, Serat Kasar Feses dan Kecernaan Serat Kasar
Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan
Perlakuan Rataan
Peubah Domba
R1 R2 X±sd
Konsumsi SK jonggol 121,58±10,63 240,66±55,87 181,12±73,74
g/e/h garut 113,41±19,47 270,53±42,89 191,97±89,47
Rataan X±sd** 117,50±15,17 B 255,59±48,80 A 186,54±79,40

SK Feces jonggol 70,97±7,62 118,00±21,09 94,48±29,11


g/e/h garut 62,73±11,09 128,76±14,00 95,74±37,18
Rataan X±sd** 66,85±9,85 B 123,38a±17,54 A 95,12±32,26

SK Tercerna jonggol 50,61±4,76 122,66±36,53 86,63±45,44


g/e/h garut 50,68±8,64 141,77±30,39 96,22±52,90
Rataan X±sd** 50,64±6,46 B 132,21±32,74 A 91,43±47,90

Koefisien Cerna jonggol 41,66±2,73 50,53±3,97 46,09±5,69


Serat Kasar (%) garut 44,72±1,35 52,09±3,18 48,40±4,54
Rataan X±sd** 43,19±2,58 B 51,31±3,43 A 47,25±5,12
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, **) Superskrip
dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat
nyata pada P<0,01

Hasil konsumsi SK ransum limbah tauge pada penelitian ini sebesar 255,59
g/e/h relatif sebanding dengan hasil penelitian Wandito (2011) yang menunjukkan
konsumsi SK pada domba ekor gemuk yang mendapatkan ransum kombinasi
konsentrat ditambah limbah tauge segar dengan taraf pemberian yang berbeda
mencapai 75% limbah tauge sebesar 129,66-362,76 g/e/h. Pada penelitian Wandito
(2011) menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf pemberian limbah tauge dalam
ransum akan menambah jumlah konsumsi SK ransum.
Koefisien cerna serat kasar (KCSK) ransum dipengaruhi oleh faktor jenis
ransum (P<0,01), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba, dan interaksi
antara kedua faktor (Tabel 11). Pemberian limbah tauge pada ransum menghasilkan
KCSK lebih besar daripada pemberian Indigofera sp. dalam ransum (P<0,01).
KCSK ransum limbah tauge yang lebih tinggi (P<0,01) daripada ransum
Indigofera sp. (Tabel 11) menunjukkan kualitas SK ransum limbah tauge lebih
mudah dicerna dibandingkan kualitas SK ransum Indigofera sp. Kualitas SK ransum
Indigofera sp. diduga mengandung kadar lignin yang lebih tinggi daripada ransum
limbah tauge karena komposisi Indigofera sp. yang digunakan dalam ransum terdiri
dari ranting, tulang daun, dan daun. Ibrahim et al. (1995) menyatakan kecernaan SK
yang rendah merupakan akibat dari proporsi lignin yang tinggi di daerah tropis
dengan pemberian pakan hijauan dan pakan konsentrat yang menyebabkan laju
pergerakan zat makanan yang tinggi, sehingga kerja enzim tidak optimal dan
mengakibatkan sejumlah zat makanan tidak dapat didegradasi dan diserap oleh
tubuh. Selain itu konsumsi zat makanan PK dan LK yang lebih tinggi daripada
ransum limbah tauge (Tabel 9 dan 10) mensuplai energi lebih untuk mencerna SK
dengan bantuan mikroba rumen. Parakkasi (1999) juga menambahkan bahwa dengan
adanya bantuan mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang
mengandung karbohidrat struktural.
Faktor lain adalah ransum limbah tauge mengandung bungkil kedelai yang
sedikit lebih tinggi daripada ransum Indigofera sp. (Tabel 3). Diduga asam amino
dari bungkil kedelai dapat menyediakan nitrogen lebih untuk sintesis protein mikroba
ataupun nitrogen bypass di organ pasca rumen sehingga meningkatkan kecernaan SK
pada ransum limbah tauge yang tinggi serat kasar. Penggunaan onggok dan jagung
dalam ransum (Tabel 3) diduga mensuplai energi yang mudah difermentasi sehingga
kecernaan SK tetap tinggi. Hasil penelitian ini sebanding dengan hasil penelitian
Suci (2011) yang menyatakan ransum mengandung onggok dan bungkil kelapa
menghasilkan kecernaan SK sebesar 47%. Penambahan limbah tauge pada ransum
dapat meningkatkan kecernaan SK ransum, dan meningkatkan ketersediaan SK di
usus halus sehingga dapat meningkatkan BB akhir domba.

Konsumsi dan Kecernaan BETN


Konsumsi BETN ransum tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba, faktor
jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 12). Konsumsi BETN ransum
Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan konsumsi BETN ransum limbah tauge.
Hasil penelitian ini menunjukkan kedua perlakuan ransum menyediakan karbohidrat
mudah dicerna yang sama-sama dibutuhkan sebagai sumber energi pada kedua jenis
domba karena domba masa pertumbuhan membutuhkan asupan energi banyak untuk
hidup pokok dan produksi.
Koefisien cerna BETN ransum tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba,
faktor jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 12). Koefisien cerna
BETN (KCBETN) ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan KCBETN
ransum limbah tauge. Koefisien cerna BETN terendah pada domba garut yang
mengkonsumsi ransum limbah tauge yaitu sebesar 69,15%, sebaliknya KCBETN
tertinggi pada domba garut yang mengkonsumsi ransum Indigofera sp. yaitu sebesar
76,91% (Tabel 12).

Tabel 12. Konsumsi BETN, BETN Feses dan Kecernaan BETN Ransum selama
Periode Pengukuran Kecernaan
Perlakuan Rataan
Peubah Domba
R1 R2 X±sd
Konsumsi BETN jonggol 335,20±29,31 356,03±82,66 345,61±58,48
g/e/h garut 312,66±53,70 400,22±63,45 356,44±71,78
Rataan X±sd 323,93±41,82 378,13±72,19 351,03±63,50

BETN Feces jonggol 99,03±17,29 106,61±40,51 102,82±29,12


g/e/h garut 74,16±28,62 124,81±36,04 99,48±40,50
Rataan X±sd 173,19±25,61 115,71±36,81 101,15±34,12

BETN Tercerna jonggol 236,17±33,10 249,42±47,46 242,79±38,54


g/e/h garut 238,50±25,60 275,41±34,59 256,95±34,39
Rataan X±sd 237,33±27,42 262,42±40,88 249,87±36,04

Koefisien Cerna jonggol 70,32±5,30 70,61±5,76 70,46±5,12


BETN (%) garut 76,91±5,09 69,15±4,43 73,03±6,06
Rataan X±sd 73,62±5,96 69,88±4,82 71,75±5,58
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge

Hasil penelitian ini menunjukkan ransum Indigofera sp. memiliki kandungan


karbohidrat yang lebih mudah dicerna daripada ransum limbah tauge. Kandungan
BETN ransum Indigofera sp. yang tinggi berasal dari jagung dan onggok (Tabel 4).
Penggunaan jagung dalam ransum pada taraf yang sama, sedangkan penggunaan
onggok pada ransum Indigofera sp. lebih tinggi dari ransum limbah tauge (Tabel 3).
Onggok dan jagung merupakan bahan pakan sumber energi. Sumber energi
dari kedua bahan pakan ini berasal dari karbohidrat yang berupa pati, namun pati
dalam onggok dan jagung memiliki struktur yang berbeda. Pati dalam onggok berupa
amilopektin, sedangkan pati dalam jagung berupa amilosa (Richana dan Suarni,
2010). Pati dalam bentuk amilopektin lebih mudah untuk dicerna dibandingkan
dalam bentuk amilosa (Tisnadjaja, 1996). Hal ini juga didukung oleh pernyataan
Thang et al. (2010) bahwa kandungan pati dalam onggok lebih mudah dicerna
dibandingkan dengan kandungan pati dalam jagung.

Total Digestible Nutrient (TDN)


Hasil penelitian ini menunjukkan TDN ransum tidak dipengaruhi oleh faktor
jenis domba, faktor jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor jika dinyatakan
dalam satuan % (Tabel 13). % TDN ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata
dengan % TDN ransum ransum limbah tauge. % TDN ransum pada domba jonggol
tidak berbeda nyata dengan % TDN ransum pada domba garut. Apabila dinyatakan
dalam satuan g/e/h, TDN dipengaruhi oleh perlakuan ransum (P<0,01), tetapi tidak
dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksinya dengan jenis ransum. Ransum yang
mengandung limbah tauge akan menghasilkan TDN yang lebih besar daripada
ransum yang mengandung Indigofera sp. (P<0,01).

Tabel 13. Total Digestible Nutrient (TDN) Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan
Perlakuan Rataan
Peubah Satuan Domba
R1 R2 X±sd
jonggol 501,23±64,07 651,72±137,34 576,47±127,73
g/e/h
garut 488,34±56,97 734,08±103,89 611,21±152,55
Rataan X±sd** 494,78±56,55 B 692,90±121,03 A 593,84±137,09
TDN
jonggol 72,53±4,02 76,05±4,73 74,29±4,48
%
garut 76,44±4,58 76,05±3,21 76,24±3,67
Rataan X±sd 74,49±4,51 76,05±3,74 75,27±4,08
Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, **) Superskrip
dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat
nyata pada P<0,01

Hasil yang tidak berbeda nyata dalam persen disebabkan oleh perbandingan
antara jumlah konsumsi BK (Tabel 8) dengan TDN ransum (g/e/h) (Tabel 13) dari
masing-masing perlakuan ransum yang relatif sebanding.
Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian Indigofera sp. dan limbah tauge
pada ransum menyediakan zat makanan yang relatif mudah dicerna. Hal ini
disebabkan komposisi bahan pakan yang digunakan dalam menyusun ransum relatif
sebanding (Tabel 3) dan ketersediaan zat makanan dari masing-masing bahan pakan
menghasilkan kandungan zat makanan ransum yang relatif sebanding (Tabel 4).
Hasil pada penelitian ini sebanding dengan kebutuhan TDN Kearl (1982) untuk
ternak domba di daerah tropis. Kearl (1982) menyatakan domba dengan bobot badan
20-30 kg membutuhkan TDN sebesar 66%-89 %. Berdasarkan persentase TDN
ransum pada domba jonggol yang mengkonsumsi ransum Indigofera sp.
menunjukkan hasil yang rendah yaitu sebesar 72,53%. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan perbandingan antara jumlah konsumsi BK ransum dengan TDN ransum
(g/e/h) sehingga menghasilkan nilai persentase yang rendah. Hasil TDN ransum
berdasarkan satuan g/e/h menunjukkan bahwa ransum yang mengandung limbah
tauge dapat lebih menyediakan total nutrien (energi) yang dapat dicerna
dibandingkan ransum yang mengandung Indigofera sp. Meningkatnya ketersediaan
total nutrien (energi) dan zat makanan lainnya merupakan faktor yang dapat
meningkatkan BB akhir domba.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Perlakuan ransum limbah tauge menghasilkan bobot badan akhir domba yang
lebih besar dibandingkan bobot badan akhir domba yang diperoleh perlakuan ransum
Indigofera sp. Perlakuan ransum Indigofera sp. menghasilkan bobot badan akhir dan
pertambahan bobot badan harian domba jonggol yang lebih besar dibandingkan
bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan harian domba jonggol dengan
perlakuan ransum limbah tauge. Perlakuan ransum limbah tauge menghasilkan bobot
badan akhir dan pertambahan bobot badan harian domba garut yang lebih besar
dibandingkan bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan harian domba garut
dengan perlakuan ransum Indigofera sp. Perlakuan ransum limbah tauge
menghasilkan rataan konsumsi ransum harian yang lebih besar dibandingkan rataan
konsumsi ransum harian perlakuan ransum Indigofera sp. Konversi ransum
perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Perlakuan ransum limbah
tauge menghasilkan konsumsi zat makanan yang lebih besar dibandingkan konsumsi
zat makanan ransum Indigofera sp. Namun demikian, konsumsi BETN ransum
perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Kecernaan zat makanan dan
TDN ransum perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Namun
demikian, kecernaan serat kasar ransum limbah tauge lebih besar daripada kecernaan
serat kasar ransum Indigofera sp.
Penggunaan Indigofera sp. di dalam ransum memberikan manfaat yang lebih
baik terhadap performa produksi domba jonggol. Penggunaan limbah tauge di dalam
ransum memberikan manfaat yang lebih baik terhadap performa produksi domba
garut. Penggunaan limbah tauge di dalam ransum memberikan manfaat yang lebih
baik daripada penggunaan Indigofera sp. di dalam ransum terhadap bobot badan
akhir domba, konsumsi harian dan zat makanan, kecernaan zat makanan dan TDN.

Saran
Untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan formulasi ransum yang tepat
dengan penambahan bahan pakan sumber karbohidrat seperti onggok untuk
meningkatkan RAC (Readily Available Carbohydrate) sebagai bahan sintesis protein
mikroba sehingga meningkatkan kecernaan ransum.
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillaahirabbil‘aalamiin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT atas segala limpahan berkah, izin, nikmat, rahmat, karunia, dan
pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan
tak terhingga dan setinggi-tingginya kepada yang terhormat ibu Ir. Anita
S.Tjakradidjaja, MRur.Sc. selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi
dan bapak Ir. Kukuh Budi Satoto, MS selaku pembimbing skripsi atas segala
keikhlasan, kasih sayang, kesabaran, penyediaan waktu, kritik dan saran selama
proses bimbingan dalam penyempurnaan skripsi ini. Ucapan terima kasih kepada ibu
Dr. Ir. Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS, MSc. dan bapak Bramada Winiar Putra,
SPt. MSi. selaku dosen penguji ujian sidang dan bapak Iwan Prihantoro, SPt. MSi.
selaku dosen panitia ujian sidang atas segala ilmu, kritik dan saran yang diberikan
dalam penyempurnaan skripsi ini.
Ucapan terima kasih kepada yang terhormat ibu Ir. Sri Rahayu, M.Si, Prof.
Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, Ir. Lilis Khotijah, M.Si, MS, selaku dosen yang turut
membimbing selama penelitian dan Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr. selaku
Ketua Departemen INTP dalam penyempurnaan skripsi ini.
Ucapan terima kasih kepada Laboraturium Ilmu dan Teknologi Pakan dan
Laboraturium Nutrisi Ternak Kerja dan Olahraga beserta jajarannya yang
memfasilitasi dan menujang keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Ucapan terima kasih kepada seluruh teman-teman satu penelitian PUF (Penelitian
Unggulan Fakultas) dan teman-teman Progran Studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan (INTP) angkatan 45 (GENETIC 45), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor atas kerjasama, kebersamaan, kesabaran, semangat, dukungan, kritik dan
saran selama penelitian, perkuliahan dan dalam proses penyempurnaan skripsi ini.
Ucapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga dan setinggi-tingginya
kepada kedua orang tua penulis bapak Dwiyanto Budi Warsito dan ibu Emma
Meilani atas kasih sayang, kesabaran, nasehat dan do’a yang selalu diberikan selama
penulis menempuh pendidikan dan menyelesaikan skripsi ini.

Bogor, Desmber 2012


DAFTAR PUSTAKA

Aberle, D. E., J. C. Forrest, D. E. Gerrard dan E. W. Mills. 2001. Principles of Meat


Science 4th Edit. W.H Freeman and company, San Fransisco
Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of shrub Indigofera treated by
different concentration of foliar fertilizer. Med. Pet. 33: 169-175.
Abdullah, L. dan Suharlina. 2010. Herbage yield and quality of two vegetative parts
of Indigofera at different time of first regrowth defoliation. Med. Pet. 33:44-
49.
Alam, M. R., M. R. Amin, A. K. M. A. Kabir, M. Moniruzzaman dan D. M. Mcneill.
2007. Effects of tannins in Acasia nilotica, Albizia procera and Sesbania
acculeata foliage determined in vitro, in sacco and in vivo. Asian-Aust. J.
Anim. Sci. 20: 220-228
Anggorodi, R. 1984. Ilmu Makanan Ternak. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC Inc. Arlington,
Virginia.
Apdini, T. A. P. 2011. Pemanfaatan pellet Indigofera sp. pada kambing perah
peranakan etawah dan saanen di peternakan Bangun Karso farm. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia.Terjemahan : Retno
Muwarni. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Baliarti, E. 1985. Analisis kandungan kolesterol dalam daging beberapa bangsa
domba yang dipelihara di pedesaan serta efisiensi pakannya. Laporan
Penelitian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Baloyi, J. J., N. T. Ngongoni dan H. Hamudikuwanda. 2007. The effect feeding
forage legumes as nitrogen supplement on growth performance of sheep.
Trop. Anim. Health Prod. 40: 457-462.
Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition: Feed and Feeding 3rd Ed. Pearson
and Prentice Hall, New Jersey.
Church, D. C. dan W. G. Pond. 1988. Basic animal and Feeding. Joh Willey and Son.
New York, Singapore.
Cuthbertson, D. 1969. The Science of Nutrition of Farm Livestock. Part 1. Pegamon
Press Ltd, Oxford, London.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan. Bina Produksi
Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. http://www. ditjennak.go.id/
basisdataproses.asp?thn1 = 2007&thn2 = 2008&jd= Domba&button =
Submit&rep = 5&ket = Produksi+Daging+Nasional+Per+Provinsi. [11
November 2010]
Einstiana, A. 2006. Studi keragaman fenotipik dan pendugaan jarak genetik antar
domba lokal di Indonesia. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Elia, I. 2005. Penampilan domba yang dikandangkan dengan pakan kombinasi maca
rumput (Barachiaria humidicola, Brachiaria decumbens, dan rumput alam)
di UP3 Jonggol. Skripsi. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Elita, A. S. 2006. Studi perbandingan penampilan umum dan kecernaan pakan pada
kambing dan domba lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Gatenby, R. M. 1991. The Tropical Agriculturalist Sheep. 1st Edition. McMillan
Education Ltd, London and Basingtone.
Ginting, P. 2000. Pengaruh penambahan daun widuri pada pakan basal rumput kume
terhadap pertambahan bobot badan domba jantan. Bul. Pet. 24(3): 103-109.
Goodwin, H. D. 1974. The Production and Management of Sheep. Lectures Animal
Husbandry. Glouches for Clollege of Agriculture, London.
Gunawan, A. dan Noor, R. R. 2006. Pendugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan
bobot sapih domba garut tipe laga. Med. Pet. vol. 29. No. 1 : 7-15.
Hammond, J. Jr., J. C. Bawman and T. R. Robinson. 1984. Hammond’s Farm
Animals. 5th ed. Butler dan Tanner ltd, London.
Harris, L. E. 1970. Chemical and Biological Methods for Feed Analysis. University
of Florida, Gansville.
Hasanah, K. 2006. Penampilan domba ekor tipis jantan yang diberi konsentrat dan
rumput gajah (Pennisetum purpureum) pada lama penggemukan yang
berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hassen, A. Rethman N. F. G., Van Nierkerk W. A. dan Tjelele T. J. 2007. Influence
of season and spesies on chemical composition and invitro digestibility of
five Indigofera accession. Anim. Feed Sci. and Technol. 136 : 312- 322.
Heriyadi, D. 2002. Sistem Perbibitan Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Herman, R. 2003. Ternak Ruminansia Kecil. Laboratorium Ilmu Produksi Ternak
Ruminansia Kecil. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ibrahim, M. N. M., S. Tammiga dan G. Zemmelink. 1995. Degradation of tropical
roughages and concentrate feeds in the rumen. Anim. Feed Sci. and Technol.
54: 1-9.
Ilham, F. 2008. Karakteristik pertumbuhan pra dan pascasapih domba lokal di Unit
Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor
(UP3J-IPB). Tesis. Fakultas Peternakan. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Imansyah, T. A. D. 2008. Pengaruh penggunaan bungkil biji kapuk (Ceiba
pentandra) dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering dan bahan
organik pada domba lokal jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.
Intan, J. 2011. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro daun tanaman Indigofera sp.
yang mendapat perlakuan pupuk cair untuk daun. Skripsi. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Iswahyudi, M. 2011. Studi morfometrik domba lokal jantan di Unit Pendidikan dan
Penelitian Peternakan Jonggol sebagai kriteria seleksi. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Karolita, J. 2011. Konsumsi dan kecernaan zat makanan pada domba lokal bunting
yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok.
Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kearl, L. C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries.
International Feedstuffs Institute, Utah Agricultual Experiment Station, Utah
State University, Logan Utah.
Khamseekhiew, B., J. B. Liang, C. C Wong dan Z. A. Jelan. 2001. Ruminal and
intestinal digestibility of some tropical legume forages. Asian-Aust. J. Anim.
Sci. 14:321-325.
Mansjoer, S. S., T. Kertanugraha dan C. Sumantri. 2007. Estimasi jarak genetik
antar domba garut tipe tangkas dengan tipe pedaging. Med. Pet. 30: 129-138.
Martawidjaja, M. 1986. Pengaruh musim terhadap konsumsi makanan dan
pertumbuhan domba. JIP. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2 (4) : 19-22
Mathius, I. W., I. B. Gaga dan I. K. Sutama. 2002. Kebutuhan kambing PE jantan
muda akan energi dan protein : konsumsi, kecernaan, ketersediaan dan
pemanfaatan nutrien. JITV. 7 (2) : 99-109.
Mattjik, A. A dan I. M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor.
McDonald, P., A. R. Henderson dan J. F. E. Heron. 1991. The Biochemistry of
Silage. Chalcombe Publications, 13 Highwoods Drive, Marlow Bottm,
Marlow.
McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, dan C.A. Morgan. 2002. Animal
Nutrition. 6th Ed. Pretice all, London.
Merchen, N. R. 1993. Digestion, Absorption, and Excretion in Ruminants. In: D.C.
Church (Ed.). The Ruminant Animal: Digestive Physiology and Nutrition.
Waveland Press, Inc., Prospect Heights, Illinois.
Munier, F. F., D. Bulo, Saidah, Syarifuddin, R. Boy, Femmi N. F., dan S. Husain.
2004. Pertambahan bobot badan domba ekor gemuk (DEG) yang dipelihara
secara intensif. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Mulliadi, D. 1996. Sifat fenotipik domba Priangan di Kabupaten Pandeglang dan
Garut. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Natasasmita, A., N. Sugana, M. Duldjaman, dan Amsar. 1986. Penentuan parameter
seleksi dan pengarahan metode pembibitan domba dikalangan petani. Karya
Ilmiah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. National
Academy Press, Washington D. C.
National Research Council. 2006. Nutrient Requirement of Sheep. National
Academy Press, Washington D. C.
Okmal. 1993. Manfaat leguminosa pohon sebagai suplemen protein dan minyak
kelapa sebagai agensia defaunasi dalam ransum pertumbuhan domba. Tesis.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi Dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Pond, W. G., D.E. Church dan K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and
Feeding. 4th Ed, John Willey and Sons, New York.
Pond, W. G., D. C. Church, K. R. Pond dan P.A. Schoknecht. 2005. Basic Animal
Nutrition and Feeding. Fifth Ed. John Wiley and Sons, Inc. United States.
Purbowati, E. 2007. Kajian perlemakan karkas domba lokal dengan pakan komplit
dari jerami padi dan konsentrat pada bobot potong yang berbeda. Program
Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Purnomo, D. 2006. Penampilan produksi domba ekor tipis jantan dengan rasio pakan
rumput lapang dan ampas tahu yang berbeda. Skripsi. Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahayu, S., D. Diapari, D.S. Wandito dan W. W. Ifafah. 2010. Survey potensi
ketersediaan limbah tauge sebagai pakan ternak alternatif di Kodya Bogor.
Laporan Penelitian. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahayu S., M. Baihaqi, dan D. S. Wandito. 2011. Pemanfaatan limbah tauge sebagai
pakan alternatif pada peternakan penggemukan domba di wilayah urban.
Laporan Penelitian. Departement Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rianto, E., M. Arifin dan A. Isminursiti. 2008. Deposisi protein pada domba ekor
tipis jantan yang diberi pakan hijauan dan konsentrat dengan metode
penyajian berbeda. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, Bogor.
Roberts, J. A. 2000. Frequency of the prolificacy gene in flocks of Indonesian thin
tail sheep: a review. J. Small Rum. Research. 36: 215-226.
Russel, J. B., P. J. Van Soest., D. O’ Connors, dan D. G. Fox. 1992. A net
carbohydrate and protein system for evaluating cattle diet: 1. Ruminal
Fermentation. J. Anim. Sci. 70: 3351-3361.
Saenab, A. 2010. Evaluasi Pemanfaatan Limbah Sayuran Pasar Sebagai Pakan
Ternak Ruminasia di DKI Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jakarta, Jakarta.
Schneider, B. H. dan William, P. F. 1975. The Evaluation of Feeds Through
Digestibility Experiments. The University of Georgia Press, Athens.
Setyowati, A. D. 2005. Pengaruh limbah media produksi jamur pelapuk kayu isolat
Hs terhadap konsumsi, produksi dan efisiensi pakan pada pakan domba.
Skripsi. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Siregar, S. B. 1984. Pengaruh ketinggian tempat terhadap konsumsi makanan dan
pertumbuhan kambing dan domba lokal di daerah Yogyakarta. Jurnal Ilmu
dan Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sosroamidjojo, M. S. dan Saeradji. 1990. Peternakan Umum. Cetakan Kesepuluh.
CV Yasaguna, Jakarta.
Suci, A. A. 2011. Analisis kecernaan pakan dengan sumber energi berbeda pada
domba lokal jantan lepas sapih. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Suharlina. 2010. Peningkatan produktivitas Indigofera sp. sebagai pakan hijauan
berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organik cair dari limbah industri
penyedap masakan. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Sumantri C., A. Einstiana, J. F. Salamena dan I. Inounu. 2007. Keragaan dan
hubungan phylogenik antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan
analisis morfologi. JITV. 12(1): 42‐54.
Sumoprastowo, R. M. 1987. Beternak Domba Pedaging dan Wool. Bharata Karya
Aksara, Jakarta.
Suparjo. 2008. Evaluasi pakan secara in vivo. Laboraturium Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan, Universitas Jambi, Jambi.
Suswati. 2010. Sifat kualitatif dan kuantitatif domba qurban pada grade yang
berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutardi, 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tarigan, A. 2009. Produktivitas dan pemanfaatan Indigofera sp. sebagai pakan ternak
kambing pada interval dan intensitas pemotongan yang berbeda. Thesis.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Thalib, A., Y. Widiawati, H. Hamid dan Mulyani. 2000. Identifikasi morfologis uji
aktivitas mikroba rumen dari hewan – hewan ruminansia yang telah
teradaptasi pada substrat selulosa dan hemiselulosa. Prosiding. Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18–19 September 2000. Pusat
Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian, Bogor. hlm: 341 – 348.
Tillman, A. D. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press, Yogyakarta.
Tillman, A. D., H. Hartadi, R. Soedomo, P. I. Soeharto dan S. Lebdosoekojo. 1991.
Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press, Yogyakarta.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprajdo dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tjardes, K. E, D. D. Buskirk, M. S. Allen, N. K. Ames, L. Dbourqin, dan S. R. Rust.
2002. Neutral detergent fibre concentration of corn silage and rumen inert
bulk influences dry matter intake and ruminal digesta kinetics of growing
steers. Anim. Sci. 80: 833-40.
Van, D. T. T, Mui, N. T., Ledin I. 2005. Tropical foliages : effect of presentation
method and spesies on intake by goats. Anim. Feed. Sci. Technol. 118:1-17.
Wandito, D. S. 2011. Performa dan morfometrik domba ekor gemuk dengan
pemberian pakan konsentrat dan limbah tauge pada taraf pemberian yang
berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
UGM Press, Yogyakarta.
Winugroho, M. dan Y. Widiawati. 2009. Keseimbangan nitrogen pada domba yang
diberi daun leguminosa sebagai pakan tunggal. Buletin Ilmu Peternakan dan
Perikanan. 13 (1) : 6-13.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sidik Ragam Bobot Badan Akhir selama Penelitian (kg)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 126077500 8405167
Perlakuan 3 78207500 26069167 6,534991** 3,490295 5,952544683
Faktor A 1 29702500 29702500 7,445791* 4,747225 9,330212082
Faktor B 1 11902500 11902500 2,983706 4,747225 9,330212082
A*B 1 36602500 36602500 9,175475* 4,747225 9,330212082
Galat 12 47870000 3989167
Keterangan : db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
A = Pakan, B = Bangsa
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data
F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
Tanda ** menunjukkan pengaruh perlakuan sangat berbeda nyata (P<0,01)

Lampiran 2. Uji Orthogonal Kontras Bobot Badan Akhir selama Penelitian (kg)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 126077500 8405167
Perlakuan 3 78207500 26069167 6,534991** 3,4902 5,9525
Faktor A 1 29702500 29702500 7,445791* 4,7472 9,3302
A1 vs A2 1 29702500 29702500 7,445791* 4,7472 9,3302
A*B 1 36602500 36602500 9,175475* 4,7472 9,3302
(A1vsA2)*(B1vsB2) 1 36602500 36602500 9,175475* 4,7472 9,3302
Galat 12 47870000 3989167
Keterangan : A1 = Limbah Tauge, A2 = Indigofera sp,
B1 = domba jonggol, B2 = domba garut

Lampiran 3. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Harian selama Penelitian


(g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 14024,94 934,9962
Perlakuan 3 6142,29 2047,43 3,116864 3,490295 5,95254468
Faktor A 1 2046,485 2046,485 3,115426 4,747225 9,33021208
Faktor B 1 114,7959 114,7959 0,174757 4,747225 9,33021208
A*B 1 3981,009 3981,009 6,06041* 4,747225 9,33021208
Galat 12 7882,653 656,8878
Lampiran 4. Uji Orthogonal Kontras Pertambahan Bobot Badan Harian selama
Penelitian (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 14024,94 934,9962
Perlakuan 3 6142,29 2047,43 3,116864 3,49029 5,9525
A*B 1 3981,009 3981,009 6,06041* 4,74722 9,3302
(A1vsA2)*(B1vsB2) 1 3981,009 3981,009 6,06041* 4,74722 9,3302
Galat 12 7882,653 656,8878

Lampiran 5. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Ransum Harian selama Penelitian


(g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 364622 24308,13
Perlakuan 3 229164,4 76388,14 6,767121** 3,490295 5,952544683
Faktor A 1 174368,9 174368,9 15,4471** 4,747225 9,330212082
Faktor B 1 2136,751 2136,751 0,189292 4,747225 9,330212082
A*B 1 52658,78 52658,78 4,664969 4,747225 9,330212082
Galat 12 135457,5 11288,13

Lampiran 6. Uji Orthogonal Kontras Rataan Konsumsi Ransum Harian selama


Penelitian (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 364622 24308,13
Perlakuan 3 229164,4 76388,14 6,767121** 3,490295 5,952544683
Faktor A 1 174368,9 174368,9 15,4471** 4,747225 9,330212082
A1 vs A2 1 174368,9 174368,9 15,4471** 4,747225 9,330212082
Galat 12 135457,5 11288,13

Lampiran 7. Sidik Ragam Konversi Ransum selama Penelitian (g/e/h)


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 26,36686 1,757791
Perlakuan 3 5,547751 1,84925 1,065896 3,490295 5,952544683
Faktor A 1 0,550331 0,550331 0,317207 4,747225 9,330212082
Faktor B 1 1,931441 1,931441 1,11327 4,747225 9,330212082
A*B 1 3,065979 3,065979 1,76721 4,747225 9,330212082
Galat 12 20,81911 1,734926
Lampiran 8. Sidik Ragam Konsumsi BK Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit 0,05 F0,01
Total 15 509838,7239 33989,24826
Perlakuan 3 271937,8896 90645,96318 4,57229* 3,490295 5,952545
Faktor A 1 244812,1962 244812,1962 12,34862** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 3652,389225 3652,389225 0,184231 4,747225 9,330212
A*B 1 23473,3041 23473,3041 1,184021 4,747225 9,330212
Galat 12 237900,8343 19825,06953

Lampiran 9. Uji Orthogonal Kontras Konsumsi BK Ransum selama Periode


Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit 0,05 F0,01
Total 15 509838,7239 33989,24826
Perlakuan 3 271937,8896 90645,96318 4,57229* 3,490295 5,952545
Faktor A 1 244812,1962 244812,1962 12,34862** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 244812,1962 244812,1962 12,34862** 4,747225 9,330212
Galat 12 237900,8343 19825,06953

Lampiran 10. Sidik Ragam BK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 173671,2 11578,08
Perlakuan 3 52029,52 17343,17 1,71091 3,490295 5,952545
Faktor A 1 37647,53 37647,53 3,71394 4,747225 9,330212
Faktor B 1 0,000934 0,000934 0,00000009209 4,747225 9,330212
A*B 1 14381,98 14381,98 1,41879 4,747225 9,330212
Galat 12 121641,7 10136,81

Lampiran 11. Sidik Ragam BK Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan


(g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 160492,8 10699,52
Perlakuan 3 95210,33 31736,78 5,833746* 3,490295 5,952545
Faktor A 1 90453,74 90453,74 16,6269** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 3648,697 3648,697 0,670691 4,747225 9,330212
A*B 1 1107,897 1107,897 0,20365 4,747225 9,330212
Galat 12 65282,46 5440,205
Lampiran 12. Uji Orthogonal Kontras BK Tercerna selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 160492,8 10699,52
Perlakuan 3 95210,33 31736,78 5,833746* 3,490295 5,952545
Faktor A 1 90453,74 90453,74 16,6269** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 90453,74 90453,74 16,6269** 4,747225 9,330212
Galat 12 65282,46 5440,205

Lampiran 13. Sidik Ragam KCBK selama Periode Pengukuran Kecernaan (%)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 804,2644 53,61763
Perlakuan 3 123,9865 41,32885 0,729035 3,490295 5,952545
Faktor A 1 0,087194 0,087194 0,001538 4,747225 9,330212
Faktor B 1 28,96486 28,96486 0,510936 4,747225 9,330212
A*B 1 94,93449 94,93449 1,67463 4,747225 9,330212
Galat 12 680,2779 56,68982

Lampiran 14. Sidik Ragam Konsumsi PK Ransum selama Periode Pengukuran


Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 14926,17419 995,0782796
Perlakuan 3 5999,812569 1999,937523 2,688581 3,490295 5,952545
Faktor A 1 4989,656406 4989,656406 6,707758* 4,747225 9,330212
Faktor B 1 113,9022562 113,9022562 0,153123 4,747225 9,330212
A*B 1 896,2539063 896,2539063 1,204863 4,747225 9,330212
Galat 12 8926,361625 743,8634687

Lampiran 15. Uji Orthogonal Kontras Konsumsi PK Ransum selama Periode


Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 14926,17419 995,0782796
Perlakuan 3 5999,812569 1999,937523 2,688581 3,490295 5,952545
Faktor A 1 4989,656406 4989,656406 6,707758* 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 4989,656406 4989,656406 6,707758* 4,747225 9,330212
Galat 12 8926,361625 743,8634687
Lampiran 16. Sidik Ragam PK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 3280,128 218,6752
Perlakuan 3 883,4631 294,4877 1,474487 3,490295 5,952545
Faktor A 1 753,6032 753,6032 3,77326 4,747225 9,330212
Faktor B 1 2,77318 2,77318 0,013885 4,747225 9,330212
A*B 1 127,0867 127,0867 0,636318 4,747225 9,330212
Galat 12 2396,665 199,7221

Lampiran 17. Sidik Ragam PK Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan


(g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 5900,442 393,3628
Perlakuan 3 2294,485 764,8283 2,545216 3,490295 5,952545
Faktor A 1 1865,002 1865,002 6,206403* 4,747225 9,330212
Faktor B 1 81,12989 81,12989 0,269986 4,747225 9,330212
A*B 1 348,3533 348,3533 1,15926 4,747225 9,330212
Galat 12 3605,957 300,4964

Lampiran 18. Uji Orthogonal Kontras PK Tercerna selama Periode Pengukuran


Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 5900,442 393,3628
Perlakuan 3 2294,485 764,8283 2,545216 3,490295 5,952545
Faktor A 1 1865,002 1865,002 6,206403* 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 1865,002 1865,002 6,206403* 4,747225 9,330212
Galat 12 3605,957 300,4964

Lampiran 19. Sidik Ragam KCPK selama Periode Pengukuran Kecernaan (%)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 402,2987 26,81991
Perlakuan 3 41,99276 13,99759 0,46619 3,490295 5,952545
Faktor A 1 28,75727 28,75727 0,957762 4,747225 9,330212
Faktor B 1 4,99549 4,99549 0,166375 4,747225 9,330212
A*B 1 8,240002 8,240002 0,274434 4,747225 9,330212
Galat 12 360,306 30,0255
Lampiran 20. Sidik Ragam Konsumsi LK Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 1310,75758 87,38383833
Perlakuan 3 913,760225 304,5867417 9,206714** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 863,7721 863,7721 26,10915** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 7,868025 7,868025 0,237826 4,747225 9,330212
A*B 1 42,1201 42,1201 1,27316 4,747225 9,330212
Galat 12 396,99735 33,0831125

Lampiran 21. Uji Orthogonal Kontras Konsumsi LK Ransum selama Periode


Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 1310,75758 87,38383833
Perlakuan 3 913,760225 304,5867417 9,206714** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 863,7721 863,7721 26,10915** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 863,7721 863,7721 26,10915** 4,747225 9,330212
Galat 12 396,99735 33,0831125

Lampiran 22. Sidik Ragam LK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 58,27587 3,885058
Perlakuan 3 3,302128 1,100709 0,240269 3,490295 5,952545
Faktor A 1 3,19989 3,19989 0,698491 4,747225 9,330212
Faktor B 1 0,059216 0,059216 0,012926 4,747225 9,330212
A*B 1 0,043021 0,043021 0,009391 4,747225 9,330212
Galat 12 54,97374 4,581145

Lampiran 23. Sidik Ragam LK Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan


(g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 1040,498 69,36655
Perlakuan 3 813,2424 271,0808 14,31413** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 761,8249 761,8249 40,22735** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 6,562082 6,562082 0,346504 4,747225 9,330212
A*B 1 44,85538 44,85538 2,36854 4,747225 9,330212
Galat 12 227,2558 18,93798
Lampiran 24. Uji Orthogonal Kontras LK Tercerna selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 1040,498 69,36655
Perlakuan 3 813,2424 271,0808 14,31413** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 761,8249 761,8249 40,22735** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 761,8249 761,8249 40,22735** 4,747225 9,330212
Galat 12 227,2558 18,93798

Lampiran 25. Sidik Ragam KCLK selama Periode Pengukuran Kecernaan (%)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 389,3638 25,95759
Perlakuan 3 57,74035 19,24678 0,696457 3,490295 5,952545
Faktor A 1 52,7854 52,7854 1,910072 4,747225 9,330212
Faktor B 1 0,45232 0,45232 0,016367 4,747225 9,330212
A*B 1 4,502627 4,502627 0,16293 4,747225 9,330212
Galat 12 331,6235 27,63529

Lampiran 26. Sidik Ragam Konsumsi SK Ransum selama Periode Pengukuran


Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 94563,8278 6304,255186
Perlakuan 3 78203,4528 26067,81759 19,12021** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 76285,059 76285,05901 55,95353** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 470,781506 470,7815063 0,345309 4,747225 9,330212
A*B 1 1447,61226 1447,612256 1,061794 4,747225 9,330212
Galat 12 16360,375 1363,364585

Lampiran 27. Uji Orthogonal Kontras Konsumsi SK Ransum selama Periode


Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 94563,8278 6304,255186
Perlakuan 3 78203,4528 26067,81759 19,12021** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 76285,059 76285,05901 55,95353** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 76285,059 76285,05901 55,95353** 4,747225 9,330212
Galat 12 16360,375 1363,364585
Lampiran 28. Sidik Ragam SK Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 15614,02336 1040,935
Perlakuan 3 13149,40139 4383,134 21,34104** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 12781,71475 12781,71 62,2329** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 6,357835032 6,357835 0,030956 4,747225 9,330212
A*B 1 361,3288042 361,3288 1,759274 4,747225 9,330212
Galat 12 2464,621971 205,3852

Lampiran 29. Uji Orthogonal Kontras SK Feses selama Periode Pengukuran


Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 15614,02336 1040,935
Perlakuan 3 13149,40139 4383,134 21,34104** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 12781,71475 12781,71 62,2329** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 12781,71475 12781,71 62,2329** 4,747225 9,330212
Galat 12 2464,621971 205,3852

Lampiran 30. Sidik Ragam SK Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan


(g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 34410,40055 2294,027
Perlakuan 3 27345,2665 9115,089 15,48181** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 26615,06877 26615,07 45,2052** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 367,7199435 367,7199 0,624566 4,747225 9,330212
A*B 1 362,4777799 362,4778 0,615662 4,747225 9,330212
Galat 12 7065,134055 588,7612

Lampiran 31. Uji Orthogonal Kontras SK Tercerna selama Periode Pengukuran


Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 34410,40055 2294,027
Perlakuan 3 27345,2665 9115,089 15,48181** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 26615,06877 26615,07 45,2052** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 26615,06877 26615,07 45,2052** 4,747225 9,330212
Galat 12 7065,134055 588,7612
Lampiran 32. Sidik Ragam KCSK selama Periode Pengukuran Kecernaan (%)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 392,650788 26,17672
Perlakuan 3 287,093489 95,69783 10,87915** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 263,5438488 263,5438 29,96028** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 21,30103614 21,30104 2,421551 4,747225 9,330212
A*B 1 2,248604036 2,248604 0,255627 4,747225 9,330212
Galat 12 105,5572991 8,796442

Lampiran 33. Uji Orthogonal Kontras KCSK selama Periode Pengukuran


Kecernaan (%)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 392,650788 26,17672
Perlakuan 3 287,093489 95,69783 10,87915** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 263,5438488 263,5438 29,96028** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 263,5438488 263,5438 29,96028** 4,747225 9,330212
Galat 12 105,5572991 8,796442

Lampiran 34. Sidik Ragam Konsumsi BETN Ransum selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 60474,9631 4031,664207
Perlakuan 3 16671,7587 5557,252917 1,522424 3,490295 5,952545
Faktor A 1 11749,476 11749,47602 3,218799 4,747225 9,330212
Faktor B 1 468,7225 468,7225 0,128408 4,747225 9,330212
A*B 1 4453,56023 4453,560225 1,220064 4,747225 9,330212
Galat 12 43803,2044 3650,267029

Lampiran 35. Sidik Ragam BETN Feses selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 17464,56 1164,304
Perlakuan 3 5290,405 1763,468 1,738242 3,490295 5,952545
Faktor A 1 3389,908 3389,908 3,341416 4,747225 9,330212
Faktor B 1 44,48755 44,48755 0,043851 4,747225 9,330212
A*B 1 1856,01 1856,01 1,82946 4,747225 9,330212
Galat 12 12174,15 1014,513
Lampiran 36. Sidik Ragam BETN Tercerna selama Periode Pengukuran Kecernaan
(g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 19478,72 1298,581
Perlakuan 3 3878,746 1292,915 0,994552 3,490295 5,952545
Faktor A 1 2517,238 2517,238 1,93634 4,747225 9,330212
Faktor B 1 802,0167 802,0167 0,616937 4,747225 9,330212
A*B 1 559,4913 559,4913 0,430379 4,747225 9,330212
Galat 12 15599,98 1299,998

Lampiran 37. Sidik Ragam Kecernaan BETN selama Periode Pengukuran Kecernaan
(%)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 467,051 31,13673
Perlakuan 3 146,8985 48,96616 1,835356 3,490295 5,952545
Faktor A 1 55,82563 55,82563 2,092464 4,747225 9,330212
Faktor B 1 26,31849 26,31849 0,986473 4,747225 9,330212
A*B 1 64,75437 64,75437 2,427132 4,747225 9,330212
Galat 12 320,1525 26,67938

Lampiran 38. Sidik Ragam Total Digestible Nutrient selama Periode Pengukuran
Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 281918,2 18794,55
Perlakuan 3 170901,2 56967,08 6,157663** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 156999,6 156999,6 16,97034** 4,747225 9,330212
Faktor B 1 4827,027 4827,027 0,521761 4,747225 9,330212
A*B 1 9074,579 9074,579 0,980886 4,747225 9,330212
Galat 12 111016,9 9251,412

Lampiran 39. Uji Orthogonal Kontras Total Digestible Nutrient selama Periode
Pengukuran Kecernaan (g/e/h)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 281918,2 18794,55
Perlakuan 3 170901,2 56967,08 6,157663** 3,490295 5,952545
Faktor A 1 156999,6 156999,6 16,97034** 4,747225 9,330212
A1 vs A2 1 156999,6 156999,6 16,97034** 4,747225 9,330212
Galat 12 111016,9 9251,412
Lampiran 40. Sidik Ragam Total Digestible Nutrient selama Periode Pengukuran
Kecernaan (%)
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Total 15 249,9735 16,6649
Perlakuan 3 40,34693 13,44898 0,769882 3,490295 5,952545
Faktor A 1 9,803216 9,803216 0,561182 4,747225 9,330212
Faktor B 1 15,23454 15,23454 0,872096 4,747225 9,330212
A*B 1 15,30918 15,30918 0,876368 4,747225 9,330212
Galat 12 209,6266 17,46888

Anda mungkin juga menyukai