SKRIPSI
NI MADE YULI DWIPAYANTI
Kata-kata kunci : Daun jarak pagar, Ascaridia galli, histopatologi, organ dalam,
ayam kampung
ABSTRACT
Oleh
NI MADE YULI DWIPAYANTI
D24104069
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Juli 1985 di Pohsanten, Bali. Penulis adalah
anak kedua dari dua bersaudara, dari Bapak I Ketut Dendra dan Ibu Ni Ketut
Wiyarsini.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD N 5 Pohsanten,
pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP N 2
Mendoyo, dan pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di SMU N
1 Negara, Bali.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004.
Selama mengikuti pendidikan, Penulis aktif di beberapa organisasi
diantaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (Himasiter),
Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB, dan Brahmacarya Bogor. Selain
itu, Penulis juga pernah menjadi peserta kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR
Skripsi dengan judul “Profil Organ Dalam serta Histopatologi Usus dan Hati
Ayam Kampung Terinfeksi Cacing Ascaridia galli yang Diberi Tepung Daun Jarak
(Jathropa curcas L.)” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini berawal dari kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
yang dilaksanakan selama 7 minggu. Tahap awal dari penelitian ini meliputi
persiapan kandang dan sanitasi, penyediaan tepung daun jarak, pembuatan ransum,
penyediaan ayam kampung, pemeriksaan TTGT (Telur Tiap Gram Tinja) untuk
memastikan ayam telah terinfeksi cacing secara alami. Tahap selanjutnya adalah
pemeliharaan yang dilakukan selama 7 minggu. Selama penelitian berlangsung
dilakukan penimbangan bobot badan ayam dan pencatatan konsumsi ransum.
Setelah pemeliharaan selama 7 minggu dilakukan pemotongan selanjutnya
dilakukan pengukuran bobot organ dan panjang usus serta pengambilan sampel
organ usus dan hati untuk pembuatan preparat histopatologi kemudian dilakukan
pengamatan. Data organ dalam yang diperoleh dianalisis secara statistik dan data
histopatologi dianalisis secara deskriptif kemudian diinterpretasikan dalam bentuk
tulisan.
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pemanfaatan
daun jarak sebagai obat cacing alami pada ayam kampung sehingga dapat berperan
pada pengembangan pengetahuan dalam bidang peternakan pada umumnya dan
bermanfaat untuk pembaca pada khususnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN......................................................................................... ii
ABSTRACT............................................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................ vii
DAFTAR ISI........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xii
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang............................................................................ 1
Perumusan Masalah ................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................ 2
Nomor Halaman
1. Susunan dan Kandungan Zat Makanan Ransum Ayam
Kampung .................................................................................... 15
2. Komposisi Kimia Tepung Daun Jarak ....................................... 16
3. Komposisi Kimia Niclosol ......................................................... 16
4. Hasil Pemeriksaan TTGT........................................................... 23
5. Rataan Berat dan Rataan Persentase Organ Dalam Ayam
Kampung yang Terinfeksi Cacing Ascaridia galli dan Diberi
Tepung Daun Jarak .................................................................... 24
6. Rataan Hasil Pengamatan Histopatologi Usus Halus (duodenum,
jejunum, ileum) Ayam Kampung yang Terifeksi Cacing Ascaridia
galli dan Diberi Tepung Daun Jarak.......................................... 34
7. Rataan Hasil Pengamatan Histopatologi Hati Ayam Kampung
yang Terifeksi Cacing Ascaridia galli dan Diberi Tepung Daun
Jarak ......................................................................................... 37
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Daun Jarak.................................................................................. 3
2. Cacing Ascaridia galli................................................................ 8
3. Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli (Soulsby, 1986) ............... 9
4. Skema Pembuatan Tepung Daun Jarak...................................... 17
5. Rataan Persentase Bobot Hati .................................................... 25
6. Rataan Persentase Bobot Jantung............................................... 26
7. Rataan Persentase Bobot Rempela (Gizzard) ............................ 27
8. Rataan Persentase Bobot Ginjal ................................................. 27
9. Rataan Persentase Bobot Limpa................................................. 29
10. Rataan Persentase Bobot Pankreas............................................. 29
11. Rataan Persentase Bobot Usus Halus......................................... 30
12. Rataan Persentase Panjang Usus Halus...................................... 31
13. Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Kampung yang
Terinfeksi Cacing Ascaridia galli (tingkat kerusakan 75%)...... 32
14. Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Kampung yang
Terinfeksi Cacing Ascaridia galli (tingkat kerusakan 50%)...... 33
15. Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Kampung yang
Terinfeksi Cacing Ascaridia galli (tingkat kerusakan 25%)...... 33
16. Gambaran Histopatologi Hati Ayam Kampung yang
Terinfeksi Cacing Ascaridia galli (tingkat kerusakan 75%)...... 39
17. Gambaran Histopatologi HatiAyam Kampung yang
Terinfeksi Cacing Ascaridia galli (tingkat kerusakan 50%)...... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Komposisi kimia ”Vita Stress” .................................................. 46
2. Komposisi Kimia ”Therapy”...................................................... 46
3. Sidik Ragam Persentase Bobot Hati .......................................... 46
4. Sidik Ragam Persentase Bobot Jantung..................................... 47
5. Sidik Ragam Persentase Bobot Rempela (Gizzard)................... 47
6. Sidik Ragam Persentase Bobot Ginjal ....................................... 47
7. Sidik Ragam Persentase Bobot Limpa ....................................... 48
8. Sidik Ragam Persentase Bobot Pankreas................................... 48
9. Sidik Ragam Persentase Bobot Usus Halus ............................... 48
10. Sidik Ragam Persentase Panjang Usus Halus............................ 49
11. Rataan Hasil Pengamatan Histopatologi Usus Halus (duodenum,
Jejunum, ileum) Ayam Kampung yang Terinfeksi Cacing
Ascaridia galli dan Diberi Tepung Daun Jarak.......................... 49
12. Rataan Hasil Pengamatan Histopatologi Hati Ayam Kampung
Yang Terinfeksi Cacing Ascaridia galli dan Diberi Tepung
Daun Jarak.................................................................................. 50
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan protein hewani semakin meningkat seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk. Ayam kampung sebagai salah satu sumber protein hewani
biasanya banyak dipelihara oleh masyarakat pedesaan secara ekstensif. Pemeliharaan
secara ekstensif mengakibatkan ayam kampung mudah terinfeksi cacing Ascaridia
galli.
Infeksi cacing Ascaridia galli tidak langsung menyebabkan kematian, tetapi
dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan ayam kampung. Cacing
Ascaridia galli hidup di dalam lumen usus halus dan dapat menyebabkan kerusakan
fisik jaringan sehingga penyerapan zat-zat makanan terganggu, yang mengakibatkan
ayam menjadi kurus dan lemah.
Upaya penanggulangan cacing oleh peternak dilakukan dengan pemberian
obat cacing atau anthelmintika yang biasanya dibuat dari bahan-bahan sintetik.
Pemakaian anthelmintika sintetik secara terus-menerus dapat menimbulkan bahaya
pada ayam dan konsumen yang mengkonsumsi daging ayam tersebut. Bahaya yang
ditimbulkan yaitu resistensi terhadap cacing Ascaridia galli serta residu pada daging
ayam. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif anthelmintika dengan menggunakan
bahan-bahan alami yang diharapkan lebih aman.
Daun jarak merupakan salah satu bahan alami yang diduga dapat digunakan
sebagai anthelmintika karena mengandung senyawa metabolit sekunder seperti
alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida.
Senyawa tersebut maka diharapkan dapat digunakan sebagai anthelmintika.
Pengamatan histopatologi usus halus dan hati dilakukan untuk mengetahui
tingkat kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh infeksi cacing. Penurunan populasi
cacing di dalam tubuh ayam diduga dapat mencegah kerusakan yang tinggi pada
jaringan.
Perumusan Masalah
Ayam kampung rentan terhadap infeksi cacing Ascaridia galli akibat
pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif. Pemakaian anthelmintika sintetik
secara terus-menerus untuk pengobatan dapat menyebabkan resistensi terhadap
cacing Ascaridia galli serta bahaya residu pada produk pangan, oleh karena itu,
diperlukan anthelmintika alami yang lebih aman. Daun jarak merupakan salah satu
bahan alami yang mengandung komponen bioaktif diantaranya tanin dan saponin
yang diduga berpotensi untuk membunuh cacing. Populasi cacing di dalam saluran
pencernaan diduga dapat mempengaruhi tingkat kerusakan yang terjadi pada jaringan
usus.
Tujuan
1. Mengevaluasi persentase bobot organ dalam ayam kampung terinfeksi
cacing Ascaridia galli yang diberi tepung daun jarak.
2. Mengevaluasi pengaruh pemberian tepung daun jarak terhadap histopatologi usus
dan hati ayam kampung yang terinfeksi cacing Ascaridia galli.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Daun Jarak
Tanaman jarak (Jathropa curcas L.) merupakan tanaman tahunan yang dapat
hidup sampai umur 50 tahun. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah kering dengan
sedikit kandungan air. Panen perdana tanaman ini sekitar 7-10 bulan dengan
ketinggian dapat mencapai 1-7 m. Tiap hektar tanaman ini menghasilkan 0,5-1 ton
biji jarak. Menurut Aderibigbe et al. (1996), tanaman ini termasuk famili
Euphorbiaceae dan memiliki banyak fungsi di bidang industri dan obat-obatan,
sedangkan menurut Duke (1983), jarak pagar termasuk dalam subdivisi
Angiospermae; kelas Dicotyledonae; ordo Euphorbiaeceae; famili Euphorbiaceae;
genus Jathropa dan spesies Jathropa curcas L.
Tanaman ini memiliki tipe daun agak besar dan agak pucat, menjari, dan
berbentuk bundar dengan diameter 10-75 cm (Gambar 1.) Bunganya tersusun
menjadi malai yang muncul dari ujung batang atau cabang dengan panjang mencapai
10-40 cm (Staubmann et al.,1997).
Menurut Guibitz et al. (1998), daun jarak dapat digunakan sebagai antiseptik,
zat anti radang, dan pengembangan ulat sutera. Secara tradisional daun jarak dapat
digunakan sebagai obat cacing (Newsroom, 2007). Selain itu, Fitriana (2008)
melakukan uji penapisan fitokimia dan uji in vitro ekstrak daun jarak dengan pelarut
air dan metanol untuk mengamati aktivitas anthelmintika daun jarak. Berdasarkan uji
penapisan fitokimia, daun jarak mengandung beberapa zat bioaktif yaitu alkaloid,
saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida. Uji in vitro
menunjukkan bahwa aktivitas anthelmintika ekstrak daun jarak dengan pelarut air
lebih kuat daripada pelarut metanol terhadap cacing Ascaridia galli.
Anthelmintika
Menurut Permin dan Hansen (1998) anthelmintika merupakan komponen
yang membunuh cacing atau menyebabkan cacing dikeluarkan dari saluran
pencernaan atau organ-organ dan jaringan-jaringan yang mereka tempati di dalam
inang. Berdasarkan cara kerjanya anthelmintika dapat dibagi menjadi lima kelas
yaitu:
a) kelas I : benzimidazole dan pro-benzimidazol. Kelas ini menghambat fungsi
mikrotubuli sehingga fungsi seluler cacing rusak dan mati. Contoh dari kelas
ini adalah albendazol, thiabendazol, fenbendazol, parbendazol, flubendazol,
febantel, dan thiophanat ;
b) kelas II : Anthelmintika yang bekerja pada neuromuskuler (Neuromusculer
acting compounds). Kelas ini menyebabkan kelumpuhan dan kekakuan pada
cacing yang kemudian dikeluarkan oleh gerakan usus. Contoh kelas ini
adalah levamisol, pirantel, dan morantel ;
c) kelas III : Anthelmintika yang bekerja pada GABA (GABA acting
compounds). Kelas ini bekerja pada syaraf yang menyebabkan kelumpuhan
pada cacing sehingga bisa dikeluarkan oleh gerakan usus. Contohnya adalah
piperazin dan avermectin;
d) kelas IV : Salisilanid dan senyawa nitofenol. Kelas ini khas digunakan untuk
melawan parasit penghisap darah karena komponennya setelah diserap
melekat erat dengan protein-protein plasma. Contoh kelas ini adalah
klosantel, niklosamid, dan bromsalam;
e) kelas V : Inhibitor Asetilkolin Esterase.Kelas ini mengandung organofosfat
yang digunakan secara terbatas.
Zat bioaktif yang terdapat di dalam daun jarak diduga memiliki mekanisme
anthelmintika yang menyerupai daya kerja anthelmintika kelas II dan kelas III.
Saponin memiliki karakteristik rasa pahit dan dapat menyebabkan iritasi pada saluran
pencernaan (Santoso dan Sartini, 2001). Diduga apabila saponin ditelan oleh cacing
dapat menyebabkan proses pencernaan terganggu. Selain itu, menurut Widowati
(2004), saponin juga dapat menekan sistem saraf, sistem gerak, dan sistem
4
pernafasan. Sifat ini diduga dapat menyebabkan cacing mengalami kelumpuhan dan
sifat pencahar pada daun jarak dapat menyebabkan cacing dikeluarkan dari dalam
usus halus (Newsroom, 2007). Menurut Sulistia (1987), flavonoid dapat
menurunkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menyebabkan pembuluh
darah cacing terganggu dan cacing mengalami kematian. Tanin berfungsi untuk
mengikat protein (Norton, 2000) dan diduga tanin dapat mengikat protein dari telur
cacing sehingga perkembangan telur cacing menjadi terhambat.
Berbagai penelitian tentang penggunaan tanaman tradisional yang
mengandung bahan bioaktif sebagai anthelmintika telah banyak dilakukan. Oka
(2003) mengamati pemanfaatan bawang putih terhadap cacing Ascaridia galli pada
ayam kampung. Hasil yang didapat adalah bawang putih dengan jumlah pemberian 2
g, 3 g , 4 g, 5 g dan 6 g berkhasiat ovisidal (membunuh embrio atau larva dalam
telur) serta vermisidal (membunuh cacing) dan hasil semakin nyata sebanding
dengan peningkatan jumlah pemberian bawang putih. Kandungan saponin pada
bawang putih diduga dapat menyebabkan sel-sel cacing menjadi terhidrolisis
sehingga cacing mati dan tubuh cacing terlihat transparan.
Batang kayu kuning (Arcangelisia flava (L.) Merr.) memiliki kandungan
kimia berupa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin. Melizsa (2007) melakukan
penelitian tentang pemanfaatan batang kayu kuning sebagai anthelmintika pada ayam
ras tipe pedaging yang telah diinfeksi cacing Asaridia galli. Hasil yang didapat
adalah pemberian ekstrak etanol 70% batang kayu kuning dengan dosis 26 mg, 52
mg, dan 104 mg per 400 g bobot badan ayam, terbukti memiliki aktivitas
anthelmintika.
Senyawa Bioaktif
Senyawa bioaktif adalah senyawa aktif biologis yang dihasilkan oleh tanaman
melalui proses metabolisme sekunder (Manitto, 1992). Senyawa bioaktif merupakan
bahan alam terpenting yang dibentuk dalam organisme hidup melalui proses
metabolisme sekunder. Tumbuhan menghasilkan senyawa metabolit sekunder
berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari serangan serangga, bakteri, jamur dan
jenis patogen lainnya (Lakitan, 1993).
5
Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam
tumbuhan dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder.
Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa (adanya gugus amino) yang
mengandung satu atau lebih ataom nitrogen dalam bentuk gabungan sebagai bagian
dari sistem siklik. Alkaloid sebagian besar beracun bagi manusia dan banyak yang
mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan (Harborne, 1987). Alkaloid biasanya tidak berwarna dan sering
bersifat optik aktif (memutar cahaya terpolarisasi datar). Kebanyakan berbentuk
kristal dan sedikit yang berupa cairan (nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).
Flavonoid
Flavonoid sangat luas tersebar pada tumbuh-tumbuhan, terdapat dalam semua
tumbuhan berpembuluh, merupakan zat warna dalam bunga-bunga, batang maupun
daun-daunan. Menurut Gottlich (1980), secara biosintesis flavonoid berasal dari
karbohidrat. Di dalam tumbuhan, sintesa flavonoid berkaitan erat dengan proses
fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat. Flavonoid terdapat pada tumbuhan
sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan
(Harborne, 1987). Pada tumbuhan, flavonoid dapat meningkatkan dormansi,
meningkatkan pembentukan sel-sel kalus, sebagai enzim penghambat pembentukan
protein, menghasilkan zat warna pada bunga untuk merangsang serangga, burung
dan satwa lainnya yang mendatangi tumbuhan tersebut sebagai agen dalan
penyerbukan dan penyebaran biji (Vickery dan Vickery, 1981). Dalam dunia
pengobatan, flavonoid berfungsi sebagai antibiotik, misalnya anti virus dan jamur,
peradangan pembuluh darah, dan dapat digunkan sebagai racun ikan.
Saponin
Menurut Harborne (1987), saponin merupakan golongan senyawa terpenoid
dan bagian triterpenoid (diturunkan dari hidrokarbon C30), merupakan glikosida
terpena dan sterol, merupakan senyawa aktif permukaan yang bersifat sabun, dan
dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk basa yang stabil dan
menghemolisis sel darah. Saponin pada tumbuhan memiliki fungsi yang sama
dengan triterpenoid, karena merupakan turunan dari senyawa ini, diantaranya dapat
6
meningkatkan daya kecambah benih dan menghambat pertumbuhan akar, dapat
menghambat pertumbuhan sel-sel tumor pada tumbuhan dan satwa (Vickery dan
Vickery, 1981).
Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualena; senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit; kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau asam karboksilat; merupakan senyawa tidak berwarna,
berbentuk kristal, seringkali bertitik lebih tinggi dan optik aktif, yang umumnya
sukar dicirikan karena tidak ada kereaktifan (Harborne, 1987). Triterpenoid dapat
digolongkan menjadi empat golongan senyawa, yaitu triterpena sebenarnya, steroid,
saponin dan glikosida jantung. Triterpena dan steroid terdapat dalam bentuk
glikosida, triterpena tertentu terkenal dengan rasa pahitnya, contohnya limonin (larut
dalam lemak dan terdapat pada biji jeruk). Dalam pengobatan senyawa ini berguna
sebagai zat antibiotik diantaranya anti jamur, bakteri dan virus; steroid dapat
merangsangaktivitas hormon estrogen dan progesteron pada satwa dan manusia;
steroid menjadi sumber bagi mikroorganisme pengurai (Vickery dan Vickery, 1981).
7
yang tebal. Cacing betina memiliki vulva yang terletak di bagian tengah badan
dengan ekor berbentuk kerucut. Telur cacing ini berbentuk kerucut, berdinding licin
dan berukuran 73-92 x 45-57 µm. Cacing Ascaridia galli dapat dilihat pada Gambar
2.
Patogenesis
Ascaridia galli dewasa yang terdapat dalam jumlah yang besar di dalam
lumen usus halus unggas dapat menyebabkan kematian dari inang karena terjadinya
penyumbatan. Gejala klinis dimulai dari tidak ada sampai terjadinya hambatan
pertumbuhan badan, pemanfaatan pakan yang buruk, dan kadang-kadang sampai
8
menyebabkan kematian (Levine, 1990). Menurut Ghos dan Singh (1994), ayam
muda yang terinfeksi cacing Ascaridia galli dapat mengalami hemoragi dan lesio-
lesio pada mukosa duodenum. Perubahan lain adalah penebalan mukosa dan oedema
dengan sejumlah hemoragi (pendarahan).
Kembali ke Telur
rongga usus menjadi
dan menjadi infektif
cacing A. dalam 8-10
galli dewasa hari
Ayam Kampung
Martojo et al. (1995) menyatakan bahwa asal usul ayam kampung di
Indonesia tidak jelas sehingga dikenal sebagai ayam buras (bukan ras). Banyak
dugaan bahwa ayam kampung dari Indonesia mempunyai jarak genetik yang paling
dekat dengan ayam hutan merah Sumatera (Gallus-gallus-gallus) dan ayam hutan
9
merah Jawa (Gallus-gallus-javanicus). Menurut Sartika et al. (2006), ayam kampung
memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan ayam Pelung, ayam Sentul, dan
ayam Kedu Hitam. Menurut Mansjoer (1985), ayam kampung termasuk dalam
kingdom Animal; fillum Chordata; subfillum Vertebrata; kelas Aves; subkelas
Neornithes; subordo Neognatae; ordo Galliformes; famili Phasianidae; genus Gallus
dan spesies Gallus domesticus.
Umumnya ayam kampung mempunyai tubuh yang kompak dan susunan otot
yang baik, dan mempunyai kesukaan berjalan. Oleh karena itu, ayam kampung
memiliki kuku yang tajam dengan jarak kaki terlalu panjang tetapi cukup kuat
dengan berat betis dan paha yang kokoh. Bentuk ayam kampung adalah kecil agak
ramping. Ayam kampung memiliki warna yang bervariasi, hitam, putih, coklat,
kuning atau kombinasi dari warna-warna tersebut. Jantan memiliki tubuh yang besar
dari betina dengan jengger bergerigi besar dan tegak. Betina mempunyai jengger
yang kecil, tebal dan berwarna merah cerah. Ayam kampung biasanya hidup pada
dataran rendah dengan ketinggian 500-800 m di atas permukaan laut (Mansjoer,
1985).
Produktivitas ayam buras sangat rendah apabila dibandingkan dengan ayam
ras, baik pertumbuhannya maupun produksi telurnya. Ransum sebagai salah satu
yang terbesar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produktivitas ayam. Kualitas
ransum sangat tergantung dari zat-zat nutrisinya dan keseimbangan antara energi dan
zat - zat nutrisi lain (Wahju, 1997).
10
minggu) dan 2,10%-2,54% (umur 12 minggu) dari bobot hidup. Menurut Putnam
(1991), persentase bobot hati ayam berkisar antara 1,70%-2,80% dari bobot hidup.
Jantung
Jantung merupakan suatu struktur muskular berongga yang bentuknya
menyerupai kerucut yang terdiri atas atrium kanan dan atrium kiri (Frandson, 1992).
Masing-masing bagian dari atrium menerima darah dari vena dan ventrikel yang
memompakan darah dari jantung melalui arteri. Jantung berfungsi sebagai pompa
dan motor penggerak dalam peredaran darah yang kerjanya otonom, yaitu
dikendalikan oleh pusat saraf di luar kemauan dan kesadaran. Persentase bobot
jantung berkisar antara 0,42%-0,75% dari bobot hidup (Putnam, 1991). Gambaran
histopatologi otot jantung sangat khas yaitu tampak serabut-serabut otot jantung yang
disusun seperti suatu kisi-kisi, serabut-serabutnya terpisah kemudian saling
bergabung (Lu, 1995).
Rempela (Gizzard)
Rempela merupakan ruangan sederhana sebagai tempat pencernaan dan
penyimpanan makanan yang terdiri atas serabut otot yang kuat (Tillman et al., 1991).
Menurut Ponds et al. (1995), rempela pada unggas memiliki fungsi yang sama
dengan gigi pada mamalia yaitu untuk memperkecil ukuran partikel makanan secara
mekanik. Kontraksi otot rempela akan terjadi apabila ditemukan makanan yang
masuk ke dalamnya dan di dalam rempela terjadi proses mastikasi yaitu pencernaan
makanan secara mekanik. Rempela terletak antara proventrikulus dengan batas atas
usus halus. Persentase bobot rempela adalah 1,6%-2,3% dari bobot hidup (Putnam,
1991).
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang menyaring plasma dan unsur-unsur plasma dari
darah, dan kemudian secara selektif menyerap kembali air dan unsur-unsur berguna
yang kembali dari filtrat, kemudian mengeluarkan kelebihan dan produk buangan
plasma. Ginjal memiliki fungsi yaitu mempertahankan keseimbangan susunan darah
dengan mengeluarkan zat-zat seperti air berlebih, garam-garam organik dan bahan-
bahan asing yang terlarut dalam darah seperti pigmen darah atau pigmen-pigmen
11
yang terbentuk di dalam darah (Ressang, 1986). Persentase bobot ginjal ayam
berkisar antara 0,21%-0,28% dari bobot hidup (Putnam, 1991).
Limpa
Limpa merupakan organ kompleks yang memiliki banyak fungsi. Beberapa
fungsi limpa yaitu untuk menyimpan darah, bersama hati dan sumsum tulang
belakang berperan dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua, metabolisme nitrogen
terutama pembentukan asam urat serta membentuk limfosit yang berhubungan
dengan pembentukan antibodi. Ukuran limpa bervariasi dari waktu ke waktu
tergantung dari banyaknya darah dalam tubuh (Frandson, 1992). Persentase bobot
limpa sekitar 0,18%-0,23% dari bobot hidup (Putnam, 1991).
Pankreas
Pankreas merupakan suatu glandula tubulo alveolar yang memiliki bagian
endokrin dan eksokrin. Pankreas memiliki fungsi yaitu mensekresikan sari cairan
yang kemudian masuk ke dalam duodenum melewati saluran pankreas. Pankreas
mensekresikan lima enzim yaitu amilase, lipase, tripsin, nuklease, dan peptidase
yang membantu pencernaan pati, lemak, dan protein. Amilase mengubah pati
menjadi glukosa, maltosa, dan dekstrin. Lipase mengubah lemak menjadi asam
lemak dan monogliserida, sedangkan tripsin mengubah protein menjadi asam amino,
peptida sederhana (Anggorodi, 1995). Pankreas terletak diantara lekukan duodenum
usus halus (Amrullah, 2004). Rataan persentase bobot pankreas ayam berkisar antara
0,22%-0,24% (Putnam, 1991).
Usus Halus
Usus halus terdiri atas tiga bagian yang tidak terpisah secara jelas yaitu
duodenum, jejunum dan ileum (Amrullah, 2004). Usus halus memiliki fungsi yaitu
sebagai tempat pencernaan dan penyerapan zat makanan. Selaput lendir usus halus
memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperti jari. Menurut Anggorodi (1995),
dinding usus halus akan mensekresikan getah usus yang mengandung erepsin dan
beberapa enzim. Erepsin bertugas menyempurnakan pencernaan protein dan
menghasilkan asam amino. Enzim yang diskresikan yaitu peptidase, sukrose,
maltose, lactase dan polinukleatidase (Ensminger, 1992). Panjang usus bervariasi
sesuai dengan ukuran tubuh, tipe makanan dan faktor-faktor lain.
12
Histopatologi
Histopatologi berasal dari dua kata yaitu histo yang berarti jaringan dan
patologi yang berarti ilmu yang mempelajari tentang penyakit. Menurut Spector
(1993), histopatologi merupakan ilmu yang mempelajari kerusakan jaringan secara
mikroskopis. Infeksi cacing Ascaridia galli erat kaitannya dengan kerusakan jaringan
usus dan hati. Menurut Gosh dan Singh (1994), pemeriksaan histopatologi pada vili
usus memperlihatkan kematian sel (nekrosa), pendarahan dan peluruhan
(deskuamasi). Infeksi nematoda di usus halus akan meningkatkan infiltrasi sel radang
dan peningkatan gerak peristaltik usus halus (Ressang, 1986).
Secara histopatologi gangguan yang sering terjadi pada hati adalah degenerasi
hati, nekrosa, perlemakan hati, dan gangguan sirkulasi darah (Lu, 1995). Menurut
Gosh dan Singh (1994), kerusakan jaringan hati oleh cacing Ascaridia galli dapat
diamati secara mikroskopis yaitu adanya pendarahan (hemoragi) dan pembendungan
(kongesti) pembuluh darah di sekitar jaringan.
13
METODE
Materi
Hewan
Penelitian ini menggunakan 18 ekor ayam kampung umur delapan minggu
dengan bobot mencapai 300-600 g yang dibagi ke dalam enam taraf dan tiga
kelompok. Pemeliharaan dilakukan selama tujuh minggu.
Ransum
Ransum yang digunakan adalah ransum ayam kampung umur 5-12 minggu
dengan kandungan protein 16% dan kandungan energi metabolis 2900 kkal/kg
(Nawawi dan Nurrohmah, 1996). Formulasi ransum disusun berdasarkan komposisi
zat makanan menurut Natural Research Council (NRC) (1994). Susunan dan
Kandungan zat makanan ransum ayam kampung dapat dilihat pada Tabel 1,
sedangkan komposisi kimia tepung daun jarak dapat dilihat pada Tabel 2.
Perlakuan
Penelitian ini terdiri dari enam perlakuan yaitu penambahan larutan tepung
daun jarak dan larutan Niclosol selama seminggu dengan cara dicekok.
P1= Ransum basal (ayam tidak dicekok larutan tepung daun jarak)
P2= Ransum basal (ayam dicekok larutan tepung daun jarak 2%)
P3= Ransum basal (ayam dicekok larutan tepung daun jarak 4%)
P4= Ransum basal (ayam dicekok larutan tepung daun jarak 8%)
P5= Ransum basal (ayam dicekok larutan tepung daun jarak 16%)
P6= Ransum basal (ayam dicekok larutan Niclosol)
Tabel 1. Susunan dan Kandungan Zat Makanan Ransum Ayam Kampung
Bahan Penyusun Ransum Ayam Kampung
Bahan Makanan Jumlah
Jagung (%) 52
Pollard (%) 15
Bungkil Kedelei (%) 12
Dedak Padi (%) 9,5
Tepung Ikan (%) 5
Crude Palm Oil (%) 3
Kalsium Karbonat (%) 1,5
Dicalsium Phospat (%) 1,5
Lysin (%) 0,05
Methionin (%) 0,2
Premix (%)* 0,25
Total (%) 100
Kandungan Zat Makanan Berdasarkan Hasil Analisis 1)
Bahan kering (%) 88,6
Abu (%) 7,46
Protein Kasar (%) 17,12
Serat Kasar (%) 2,44
Lemak Kasar (%) 8,40
Kalsium (%) 0,32
Phosphor total (%) 0,24
Energi Bruto (kkal/kg) 3.924
Kandungan Zat Makanan Berdasarkan Perhitungan
Protein Kasar (%) 16,18
Serat Kasar (%) 4,23
Kalsium (%) 1,23
Phospor Non Phytat (%) 0,56
Lysin (%) 0,89
Methionin (%) 0,51
Energi Metabolis (kkal/kg) 2.991,7
Keterangan :
*
Dalam 1 kg premix mengandung 4.000.000 IU Vitamin A, 800.000 IU Vitamin D3, 4.500 mg
Vitamin E, 450 mg Vitamin K3, 450 mg Vitamin B1, 1.350 Vitamin B2, 480 mg Vitamin B6,
6 mg Vitamin B12, 2.400 mg Ca-d-p, 270 mg Asam folat, 7.200 mg Asam nikotinat, 28.000
B
mg Kholin klorida, 28.000 mg Dl-Methionin, 50.000 mg L-Lysisn, 8.500 mg Fe, 700 mg Cu,
18.500 mg Mg, 14.000 mg Zn, 50 mg Co, 70 mg I, 35 mg Se, dan Antioksidan
1)
Hasil Analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi,
Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor
15
koran, label, gunting dan ember. Kandang dan peralatan difumigasi terlebih dahulu
untuk mencegah kontaminasi.
Prosedur
Persiapan Kandang
Persiapan kandang dilakukan tiga minggu sebelum pemeliharaan. Persiapan
kandang meliputi pembersihan kandang serta alat-alat yang digunakan seperti tempat
pakan dan air minum dengan menggunakan desinfektan. Pengapuran dilakukan
16
secara merata dan didiamkan selama dua hari. Selain itu, dilakukan fumigasi untuk
memutuskan siklus mikroba di dalam kandang dan mencegah penyakit pada ternak.
Setelah itu dilakukan penaburan sekam di atas lantai kandang serta penyemprotan
sekam dengan desinfektan.
Penggilingan
17
tepung daun jarak dalam 100 ml air, dan konsentrasi 16% didapat dengan melarutkan
16 g tepung daun jarak dalam 100 ml air.
Pemberian Anthelmintika
Pemberian anthelmintika dilakukan setelah ayam diadaptasikan selama dua
minggu dengan cara dicekok. Terdapat enam taraf perlakuan yaitu P1 (kontrol), P2
(2% larutan tepung daun jarak), P3 (4% larutan tepung daun jarak), P4 (8% larutan
tepung daun jarak), P5 (16% larutan tepung daun jarak), dan P6 (larutan Niclosol).
18
(hati, jantung, rempela, ginjal, limpa, pankreas dan usus halus) diukur panjang dan
beratnya, kemudian dilakukan pemotongan hati dan usus untuk sampel histopatologi.
19
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) yang terdiri atas 6 perlakuan dan 3 kelompok. Pengelompokan dilakukan
berdasarkan bobot badan yaitu kelompok bobot badan rendah berkisar antara 445-
640 g, kelompok bobot badan sedang berkisar antara 670-710 g, dan kelompok bobot
badan tinggi berkisar antara 695-970 g. Model matematik yang digunakan (Steel dan
Torrie, 1993) adalah:
20
5. Persentase bobot limpa (%)
Persentase bobot limpa merupakan perbandingan bobot limpa dengan bobot
hidup dikalikan dengan 100%.
6. Persentase bobot pankreas (%)
Persentase bobot pankreas merupakan perbandingan antara bobot pankreas
dengan bobot hidup dikalikan dengan 100%.
7. Persentase bobot usus halus (%)
Persentase bobot usus halus merupakan perbandingan antara bobot usus halus
dengan bobot hidup dikalikan dengan 100%.
8. Panjang relatif usus halus (cm/100g bobot hidup)
Panjang relatif usus halus merupakan perbandingan antara panjang usus halus
dengan 100 g bobot hidup.
9. Histopatologi usus
Pengamatan terhadap deskuamasi epitel villi mukosa dan proliferasi sel
radang.
10. Histopatologi hati
Pengamatan terhadap sel radang, pendarahan, kongesti (pembendungan), dan
oedema.
Analisis Data
Data organ dalam yang diperoleh dari penelitian ini ditransformasi terlebih
dahulu kemudian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of
Variance/ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan
Torrie, 1993). Data histopatologi dianalisis secara deskriptif.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Penelitian ini diawali dengan uji penapisan fitokimia pada ekstrak daun jarak
untuk mengetahui jenis-jenis metabolit sekunder di dalamnya. Golongan-golongan
senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak daun jarak dalam pelarut
air dan metanol yaitu golongan senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid,
triterpenoid, steroid, dan glikosida. Aktivitas anthelmintika ekstrak daun jarak secara
in vitro menunjukkan bahwa aktivitas anthelmintika terkuat terdapat pada ekstrak
daun jarak dengan pelarut air. Senyawa metabolit sekunder yang diduga memiliki
aktivitas anthelmintika dari fraksi air adalah saponin, triterpenoid, dan alkaloid.
Berdasarkan pengaruh zat-zat tersebut diduga bahwa senyawa metabolit sekunder
yang mempercepat aktivitas anthelmintika dari fraksi air adalah triterpenoid,
sedangkan zat-zat yang lain memberi pengaruh kematian yang lebih lama.
Penelitian selanjutnya adalah mengevaluasi pengaruh pemberian larutan
tepung daun jarak terhadap performa ayam kampung yang terifeksi cacing Ascaridia
galli. Hasil yang didapat adalah pemberian larutan tepung daun jarak dengan
konsentrasi 16% dengan cara dicekok selama tujuh hari dapat meningkatkan bobot
badan akhir serta berpengaruh nyata menurunkan konversi ransum.
Menurut Permin dan Hansen (1998), TTGT dipengaruhi oleh cacing dewasa
di dalam saluran pencernaan, umur cacing, kekebalan inang, umur inang, jenis
kelamin inang, tingkatan infeksi, kesuburan cacing, komposisi makanan dan
konsistensi feces serta waktu feces dikoleksi. Kandungan zat bioaktif dalam daun
jarak diduga dapat digunakan sebagai anthelmintika sehingga mengurangi populasi
cacing di dalam saluran pencernaan ayam.
23
Tabel 5. Rataan Bobot dan Rataan Persentase Organ Dalam Ayam Kampung
yang Terinfeksi Cacing Ascaridia galli dan Diberi Tepung Daun Jarak
Peubah Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5 P6
Bobot karkas 66,41±2,85 60,07±3,19 63,86±2,80 66,72±1,67 60,65±2,12 67,76±5,36
Hati
• (g) 24,26±4,24 23,53±0,86 26,31±4,21 24,24±4,33 30,74±12,04 25,57±3,64
• (%) 1,46±0,12 1,46±0,04 1,47±0,05 1,45±0,06 1,60±0,10 1,42±0,04
Jantung
• (g) 6,45±2,28 5,14±0,35 6,16±2,17 5,13±0,71 6,24±1,83 6,66±2,48
• (%) 0,74±0,05 0,68±0,03 0,70±0,09 0,67±0,02 0,73±0,05 0,72±0,08
Rempela
• (g) 21,31±2,48 21,49±3,57 26,43±3,80 20,60±4,14 23,28±5,18 22,01±2,59
• (%) 0,14±0,024 0,14±0,011 0,15±0,012 0,13±0,003 0,14±0,011 0,13±0,015
Ginjal
• (g) 4,89±3,28 5,92±1,28 7,69±1,36 6,59±2,19 7,92±1,75 7,47±0,50
• (%) 0,63±0,16 0,73±0,08 0,79±0,02 0,74±0,08 0,83±0,07 0,77±0,07
Limpa
• (g) 3,29±2,10 3,82±1,65 4,70±3,73 6,01±1.94 8,78±5,83 4,46±0,40
• (%) 0,05±0,01 0,05±0,01 0,06±0,02 0,07±0,01 0.08±0,02 0.06±0,004
Pankreas
• (g) 2,68±0,17 2,92±0,15 2,81±0,43 2,63±0,15 2,56±0,60 2,93±0,64
• (%) 0,05±0,010 0,05±0,001 005±0,006 0,05±0,005 0,05±0,005 0,05±0,004
Usus Halus
• (g) 56,55±6,8 59,37±7,6 68,04±8,6 48,50±4,7 70,24±25,4 62,54±10,6
• (%) 2,26±0,46 2,32±0,15 2,37±0,02 2,05±0,08 2,42±0,25 2,23±0,10
Panjang usus
halus (cm) 123,6±4,6 122,6±1,5 124,3±7.2 121,0±12,1 125,0±24,5 116,3±2,3
Panjang
Relatif Usus 37,77±6,56 36,73±1,06 38,80±2,76 37,40±4,78 38,72±11,46 38,22±2,60
Halus
(cm/100 g
BB)
Keterangan :
P1= Ransum basal (ayam tidak dicekok larutan tepung daun jarak)
P2= Ransum basal (ayam dicekok larutan tepung daun jarak 2%)
P3= Ransum basal (ayam dicekok larutan tepung daun jarak 4%)
P4= Ransum basal (ayam dicekok larutan tepung daun jarak 8%)
P5= Ransum basal (ayam dicekok larutan tepung daun jarak 16%)
P6= Ransum basal (ayam dicekok larutan Niclosol)
Rataan persentase bobot hati ayam kampung yang dihasilkan dari penelitian
ini berkisar antara 1,42%–1,60 %. Persentase bobot hati yang diperoleh berada di
bawah kisaran hasil yang direkomendasikan oleh Putnam (1991) yaitu 1,70%-2,80 %
dari bobot hidup. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian larutan tepung daun jarak
dan larutan Niclosol dengan cara dicekok tidak memberikan efek negatif terhadap
persentase bobot hati. Bobot hati meningkat apabila terdapat benda asing yang
masuk ke dalam tubuh sehingga hati bekerja lebih keras dalam upaya untuk
menyerang benda asing tersebut. Cacing Ascaridia galli merupakan salah satu benda
24
asing yang sangat berbahaya dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Spector (1993)
menyatakan bahwa kelainan hati biasanya ditandai dengan pembengkakan dan
penebalan salah satu lobi pada hati, dan hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan
bobot hati.
1,59
1,60
1,55
1,50 1,46 1,46 1,47
1,45
1,42
(%) 1,45
1,40
1,35
1,30
1 2 3 4 5 6
Nilai normal : 1,70-2,80% Perlakuan
25
bertambah. Dalam hal ini, dosis tepung daun jarak yang diberikan kepada ayam tidak
memiliki kandungan serat kasar yang tinggi.
0,74
0,74 0,72
0,71
0,72 0,70
0,70 0,68
26
0,150 0,148
0,145 0,141
0,138 0,139
0,140
(%) 0,133
0,135 0,133
0,130
0,125
1 2 3 4 5 6
Nilai normal : 1,6-2,3% Perlakuan
27
tepung daun jarak dan Niclosol tidak mengganggu sistem metabolisme dan sistem
pengeluaran urin pada ayam kampung.
Ginjal merupakan organ tubuh yang mempunyai daya saring dan daya serap
kembali (Ressang, 1986). Apabila terdapat banyak zat toksik yang masuk ke dalam
tubuh, maka ginjal akan bekerja semakin berat untuk menetralisir zat toksik tersebut.
Pemberian tepung daun jarak dengan konsentrasi tersebut diduga masih berada
dalam taraf aman karena tidak menyebabkan peningkatan bobot ginjal. Kelainan
pada ginjal dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adapun fungsi ginjal adalah 1)
mengeluarkan air yang berlebih dari darah; 2) mengeluarkan ampas-ampas
metabolisme sebagai ureum, asam kemih, alantonin, amonia, asam-asam triftofan; 3)
mengeluarkan garam-garam anorganik yang kebanyakan berasal dari makanan; dan
4) mengeluarkan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah.
28
0,08
0,09
0,08 0,07
0,06 0,06 0,06
0,07 0,052
0,06
0,05
(%) 0,04
0,03
0,02
0,01
0
1 2 3 4 5 6
Nilai normal : 0,18-0,23% Perlakuan
0,051
0,052
0,051
0,050 0,049
0,048 0,048 0,048
0,049
(%) 0,048 0,047
0,047
0,046
0,045
0,044
1 2 3 4 5 6
Nilai normal : 0,25-0,35% Perlakuan
29
pankreas yang dihasilkan diduga disebabkan oleh terganggunya proses pengeluaran
enzim akibat infeksi cacing di dalam saluran pencernaan.
Pankreas merupakan kelenjar yang mensekresikan enzim yaitu lipase,
amilase, tripsin, nuklease, dan peptidase yang membantu pencernaan pati, lemak, dan
protein. Kelainan pada pankreas dapat menyebabkan sekresi enzim-enzim yang
dibutuhkan dalam pencernaan terganggu.
Amrullah (2004) menyatakan bahwa perubahan usus yang semakin berat dan
panjang diikuti juga dengan jumlah vili usus dan kemampuan sekresi enzim-enzim
pencernaan. Berdasarkan pernyataan tersebut, diduga bahwa pemberian larutan
tepung daun jarak sebagai anthelmintika alami dan larutan Niclosol sebagai
anthelmintika buatan tidak menyebabkan adanya gangguan pada fungsi usus halus
30
dalam penyerapan nutrisi. Daya serap nutrisi pada usus halus dipengaruhi oleh luas
permukaan bagian usus halus (lipatan, vili, dan mikrovili) (Ensminger, 1992).
38,80 38,71
39,00
38,21
38,50
37,77
38,00 37,40
37,50
(%) 36,73
37,00
36,50
36,00
35,50
1 2 3 4 5 6
Nilai normal : 17,14-18,63% Perlakuan
Rataan panjang relatif usus halus yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar
antara 36,73%–38,80% dari bobot hidup. Hasil ini berada di atas kisaran hasil
Nurjanah (2007) yaitu sebesar 17,14%-18,63% dari 100 g bobot hidup. Usus halus
mempunyai fungsi yaitu sebagai tempat pencernaan dan penyerapan zat makanan.
Panjang usus bervariasi sesuai dengan ukuran tubuh, tipe makanan, dan faktor-faktor
lain (Ressang, 1986).
Amrullah (2004) menyatakan bahwa ukuran panjang, tebal, dan bobot
berbagai bagian saluran pencernaan bukan merupakan besaran yang statis. Perubahan
dapat terjadi selama proses perkembangan karena dapat dipengaruhi oleh jenis
ransum yang diberikan serta pakan alami yang didapat dari alam untuk pemeliharaan
secara ekstensif.
31
Histopatologi Usus
Usus halus merupakan tempat terjadinya proses pencernaan dan penyerapan
zat makanan. Adanya infeksi cacing Ascaridia galli menyebabkan kerusakan
jaringan pada usus halus sehingga proses penyerapan zat-zat makanan terganggu.
Pemberian larutan tepung daun jarak dengan konsentrasi 2%, 4%, 8%, dan 16%
dengan cara dicekok diduga dapat mengurangi populasi cacing Ascaridia galli
sehingga meminimalkan kerusakan jaringan. Hasil pengamatan secara mikroskopis
menunjukkan bahwa pemberian larutan tepung daun jarak dengan konsentrasi 4%
memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain dan
hal ini setara dengan pemberian larutan Niclosol (Tabel 6). Gambaran histopatologi
usus halus ayam kampung terinfeksi cacing Ascaridia galli dapat dilihat pada
Gambar 13, Gambar 14, dan Gambar 15.
b
a
c
d
Gambar 13. Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Kampung yang Terinfeksi
cacing Ascaridia galli (tingkat kerusakan 75%). Ditemukan
deskuamasi kelenjar Lieberkhun (a), proliferasi sel radang (b),
pendarahan (c), dan ketidakteraturan bentuk dari vili-vili usus (d).
Pewarnaan HE, Pembesaran obyektif 20X.
32
c
a
b
a
Gambar 14. Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Kampung yang Terinfeksi
cacing Ascaridia galli (tingkat kerusakan 50%). Ditemukan
deskuamasi kelenjar Lieberkhun (a), proliferasi sel radang (b),
pendarahan (c). Pewarnaan HE, Pembesaran obyektif 20X.
c
b
a
Gambar 15. Gambaran Histopatologi Usus Halus Ayam Kampung yang Terinfeksi
cacing Ascaridia galli (tingkat kerusakan 25%). Ditemukan
deskuamasi kelenjar Lieberkhun (a), proliferasi sel radang (b),
pendarahan (c) Pewarnaan HE, Pembesaran obyektif 20X.
Duodenum
Hasil pengamatan histopatologi duodenum (Tabel 6) menunjukkan bahwa
pada perlakuan P1 (kontrol) memiliki tingkat kerusakan sebesar 75 % yaitu
ditemukan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun berat, proliferasi sel radang berat,
pendarahan, serta ketidakteraturan bentuk dari vili-vili usus. Tingginya tingkat
kerusakan pada P1 (kontrol) disebabkan karena pada P1 tidak diberikan
anthelmintika sehingga penyerangan terhadap benda asing dalam hal ini cacing
hanya dilakukan oleh tubuh ayam saja yang secara alami memiliki reaksi tanggap
kebal terhadap cacing. Perlakuan P2 (2% larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat
kerusakan yang sama dengan perlakuan P1 yaitu sebesar 75%, dengan ditemukan
33
adanya proliferasi sel radang berat, pendarahan, dan ketidakteraturan bentuk dari
vili-vili usus. Tingginya tingkat kerusakan yang terjadi diduga disebabkan oleh
rendahnya dosis pemberian larutan tepung daun jarak sehingga proses penyerangan
terhadap cacing berlangsung lebih lama. Perlakuan P3 (4% larutan tepung daun
jarak) memiliki tingkat kerusakan yang paling rendah jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain yaitu sebesar 25% yang ditunjukkan dengan adanya deskuamasi
kelenjar Lieberkhun ringan, proliferasi sel radang ringan, dan pendarahan. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian larutan tepung daun jarak dengan dosis 4% melalui
pencekokan dapat mengurangi tingkat kerusakan pada duodenum dibandingkan
dengan kontrol.
34
dengan adanya proliferasi sel radang berat dan deskuamasi kelenjar Lieberkhun
ringan. Pada P5 (16% larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan yang
sama dengan P4 yaitu sebesar 50% yang ditunjukkan dengan adanya proliferasi sel
radang berat, deskuamasi kelenjar Lieberkhun ringan, dan pendarahan. Peningkatan
kerusakan pada P4 dan P5 diduga disebabkan oleh meningkatnya dosis pemberian
tepung daun jarak. Saponin pada daun jarak dapat menyebabkan iritasi pada saluran
pencernaan dan diduga apabila tepung daun jarak diberikan pada dosis yang tinggi
dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan ayam. Iritasi dalam jangka
waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya peradangan serta terganggunya
proses pencernaan ayam.
Perlakuan P6 (larutan Niclosol) memiliki tingkat kerusakan sebesar 25% yang
ditunjukkan dengan adanya proliferasi sel radang ringan, deskuamasi kelenjar
Lieberkhun ringan, dan pendarahan. Niclosol terdiri dari Niclosamid dan Levamisole
yang menyebabkan kelumpuhan dan kekakuan pada cacing sehingga cacing
dikeluarkan oleh gerakan usus (Permin et al., 1998). Anthelmintika yang ideal adalah
memiliki spektrum yang luas, tidak toksik, batas keamanan yang tinggi, cepat
dimetabolisme, mudah diaplikasikan, dan biaya murah.
Jejunum
Rataan hasil pengamatan histopatologi jejunum (Tabel 6) menunjukkan
bahwa pada perlakuan P1 (kontrol) memiliki tingkat kerusakan sebesar 75% yang
ditunjukkan dengan adanya proliferasi sel radang berat, deskuamasi kelenjar
Lieberkhun berat, pendarahan, dan ketidakteraturan bentuk dari vili-vili usus. Pada
perlakuan P2 (2% larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan sebesar
75% yang ditunjukkan dengan adanya proliferasi sel radang berat, pendarahan,
deskuamasi kelenjar Lieberkhun berat, dan ketidakteraturan bentuk dari vili-vili usus.
Pada perlakuan P3 (4% larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan
sebesar 50% yang ditunjukkan dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun
ringan, proliferasi sel radang berat, dan pendarahan. Pada perlakuan P4 (8% larutan
tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan sebesar 75% yang ditunjukkan
dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun berat, proliferasi sel radang berat,
pendarahan, dan ketidakteraturan bentuk dari vili-vili usus. Pada perlakuan P5 (16%
larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan sebesar 75% yang ditunjukkan
35
dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun berat, proliferasi sel radang berat,
dan pendarahan. Pada perlakuan P6 (larutan Niclosol) memiliki tingkat kerusakan
sebesar 25% yang ditunjukkan dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun
ringan, proliferasi sel radang ringan, dan pendarahan ringan.
Perlakuan P3 memiliki tingkat kerusakan paling rendah yang menunjukkan
bahwa pemberian larutan tepung daun jarak dengan dosis 4% melaui pencekokan
dapat mengurangi tingkat kerusakan pada jejunum dibandingkan dengan kontrol.
Sama halnya dengan duodenum, peningkatan kerusakan pada P4 dan P5 diduga
disebabkan oleh tingginya dosis pemberian larutan tepung daun jarak yang dapat
mengakibatkan terjadinya iritasi pada saluran pencernaan.
Ileum
Rataan hasil pengamatan histopatologi ileum (Tabel 6) menunjukkan bahwa
pada perlakuan P1 (kontrol) memiliki tingkat kerusakan sebesar 75% yang
ditunjukkan dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun berat, pendarahan,
proliferasi sel radang berat, dan ketidakteraturan bentuk dari vili-vili usus. Pada
perlakuan P2 (2% larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan sebesar
75% yang ditunjukkan dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun berat,
proliferasi sel radang berat, pendarahan, dan ketidakteraturan bentuk dari vili-vili
usus. Pada perlakuan P3 (4% larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan
sebesar 50% yang ditunjukkan dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun
ringan, proliferasi sel radang berat, dan pendarahan. Pada perlakuan P4 (8% larutan
tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan sebesar 75% yang ditunjukkan
dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun berat, proliferasi sel radang berat,
pendarahan, dan ketidakteraturan bentuk dari vili-vili usus. Pada perlakuan P5 (16%
larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan sebesar 75% yang ditunjukkan
dengan adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun berat, pendarahan, proliferasi sel
radang berat, dan ketidakteraturan bentuk dari vili-vili usus. Pada perlakuan P6
(larutan Niclosol) memiliki tingkat kerusakan sebesar 50% yang ditunjukkan dengan
adanya deskuamasi kelenjar Lieberkhun ringan, pendarahan, dan proliferasi sel
radang berat.
Persentase kerusakan yang terjadi pada ileum sama dengan persentase
kerusakan pada jejunum. Perlakuan P3 memiliki tingkat kerusakan yang paling
36
rendah dan mengalami peningkatan pada P4 dan P5. Sama halnya dengan duodenum
dan jejunum, rendahnya kerusakan pada P3 menunjukkan bahwa pemberian larutan
tepung daun jarak dengan dosis 4% dapat mengurangi tingkat kerusakan pada ileum
dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, kerusakan jaringan pada usus halus diduga
telah terjadi sebelum dilakukan pemberian anthelmintika sehingga dalam penelitian
ini tidak dapat diamati peningkatan atau penurunan kerusakan yang terjadi.
Histopatologi Hati
Hasil pengamatan mikroskopis histopatologi hati menunjukkan bahwa
pemberian larutan tepung daun jarak dengan konsentrasi 4% memberikan hasil yang
lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain dan setara dengan
pemberian larutan Niclosol (Tabel 7). Kerusakan jaringan yang ditemukan pada hati
yaitu sarang radang, pembendungan, oedema, dan pendarahan.
37
yang berat. Pada perlakuan P3 (4% larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat
kerusakan sebesar 50% yang ditunjukkan dengan adanya sarang radang,
pembendungan, oedema, dan pendarahan dengan tingkat kerusakan agak berat.
Perlakuan P4 (8% larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan
sebesar 75% yang ditunjukkan dengan adanya sarang radang, pembendungan,
oedema, dan pendarahan dengan tingkat kerusakan yang berat. Perlakuan P5 (16%
larutan tepung daun jarak) memiliki tingkat kerusakan sebesar 75% yaitu ditemukan
adanya sarang radang, pembendungan, oedema, dan pendarahan dengan tingkat
kerusakan yang berat. Pada perlakuan P6 (larutan Niclosol) memiliki tingkat
kerusakan sebesar 50% yang ditunjukkan dengan adanya sarang radang,
pembendungan, dan oedema dengan tingkat kerusakan agak berat.
Persentase kerusakan hati pada P3 paling rendah jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain menunjukkan bahwa pemberian larutan tepung daun jarak
dengan dosis 4% dapat mengurangi tingkat kerusakan pada hati dibandingkan
dengan kontrol. Peningkatan kerusakan pada P4 dan P5 diduga diakibatkan oleh
tingginya dosis pemberian larutan tepung daun jarak sehingga kerja hati dalam
mendetoksifikasi zat toksik menjadi lebih berat. Kerusakan jaringan pada hati diduga
telah terjadi sebelum dilakukan pemberian anthelmintika sehingga dalam penelitian
ini tidak dapat diamati peningkatan atau penurunan kerusakan yang terjadi.
Infeksi cacing Ascaridia galli menyebabkan terjadinya infiltrasi sel-sel
radang seperti makrofag, sel limfosit, dan eosinofil. Peningkatan jumlah ketiga sel
tersebut di hati, menunjukkan bahwa di daerah tersebut terjadi reaksi tanggap kebal
tubuh terhadap parasit cacing (Castro, 1990). Pembendungan disebabkan oleh
antigen yang dikeluarkan oleh cacing, zat aktif daun jarak, serta zat aktif dari
anthelmintika (Arnowo, 2002). Oedema terdapat pada semua perlakuan dengan
tingkat kerusakan yang hampir sama. Pendarahan terjadi karena adanya kerusakan
pada pembuluh darah yang disebabkan oleh zat toksik yang diduga berasal dari
cacing, zat aktif daun jarak, dan zat aktif anthelmintika, sehingga sel darah keluar
dari pembuluh dan menyebar di antara hepatosit. Gambaran histopatologi hati
terinfeksi cacing Ascaridia galli yang diberi tepung daun jarak dengan tingkat
kerusakan 75% disajikan pada Gambar 16 sedangkan tingkat kerusakan 50%
disajikan pada Gambar 18.
38
a
Gambar 16. Gambaran Histopatologi Hati Ayam Kampung yang Terinfeksi cacing
Ascaridia galli (tingkat kerusakan 75 %). Ditemukan sarang radang
(a), pembendungan (b), oedema (c), pendarahan (d). Pewarnaan HE,
Pembesaran obyektif 20X.
d c
Gambar 17. Gambaran Histopatologi Hati Ayam Kampung yang Terinfeksi cacing
Ascaridia galli (tingkat kerusakan 50%). Ditemukan sarang radang (a),
pembendungan (b), oedema (c), pendarahan (d). Pewarnaan HE, Pembesaran
obyektif 20X.
39
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian larutan tepung daun jarak dengan konsentrasi 2%, 4%, 8%, dan
16% dapat menurunkan TTGT dan tidak memberikan pengaruh terhadap bobot organ
dalam ayam kampung yang terinfeksi cacing Ascaridia galli. Pemberian tepung daun
jarak dengan konsentrasi 4% memberikan gambaran histopatologi usus dan hati yang
lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Zat bioaktif daun jarak
yaitu tanin, saponin, flavonoid, dan triterpenoid diduga dapat digunakan sebagai
anthelmintika. Tingkat kerusakan pada jaringan usus semakin rendah diduga
dipengaruhi oleh penurunan populasi cacing di dalam tubuh ayam.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang teknik dan taraf pemberian
tepung daun jarak yang lebih efektif pada ayam kampung. Pengamatan histopatologi
sebaiknya dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah perlakuan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
43
Ressang, A. A. 1986. Patologi Khusus Veteriner. Edisi Ke-2. N. V. Percetakan Bali,
Denpasar.
Santoso, U. and Sartini. 2001. Reduction of fat accumulation in broiler chicken by
Sauropus androgymus (daun katuk) leaf meal supplementation. Asian-Aust.
J. Anim. Sci. 14:297-446.
Sartika, T., S. Iskandar., L. H. Prasetyo., H. Takahashi., dan M. Mitsuru. 2004.
Kekerabatan genetik ayam kampung, pelung, sentul, dan kedu hitam dengan
menggunakan penanda DNA mikrosatelit. : I. Grup pemetaan pada makro
kromosom. J. Ilmu Ternak dan Veteriner 9(2):81-86
Soulsby, E. J. L. 1986. Helminthes, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animals. Bailliere Tindall, London.
Spector, W. G. 1993. Pengantar Patologi Umum. Terjemahan. Cetakan Ketiga.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Staubmann, R., M. Schubert-Zsilaveccz, A. Hiermann, and Y. Kartnig. 1997. The
anti-inflammatory effect of Jathropa curcas leaves. Proceedings of Jathropa
97 : International Symposium on Biofuel and Industrial Products from
Jathropa curcas. Managua, Nicaragua, Mexico.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan: M.
Syah. PT Gramedia, Jakarta.
Sulistia. 1987. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Taryu. 2005. Pemberian benalu teh (Scurrula oortiana) pada ayam petelur :
Gambaran histopatologi organ hati dan ginjal. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.
Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Tucker., C. A., T. A. Yazwinzi, L. Reynolds, Z. Johnson, and M Keating. 2007.
Determination of the anthelmintic efficacy of albendazole in the treatment of
chickens naturally infected with gastrointestinal helminthes. J. Appl Poultry
16:392-396.
Wahju, J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Widowati, L. 2004. Advis medis timun teman sate. http//www.warintek.ristek
go.id//pangan kesehatan/tanaman obat/pt/buku 07.pdf. [9Mei 2008].
44
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Kimia ”Vita Stress”
Kandungan Jumlah
Vitamin A 6.000.000 IU
Vitamin D3 1.200.000 IU
Vitamin E 2.500 IU
Vitamin K 3g
Vitamin B1 2g
Vitamin B2 3g
Vitamin B6 1g
Vitamin B12 2 mg
Vitamin C 20 g
Nicotinic acid 15 g
Calcium-D-pantothenate 5g
Elektrolit berupa Natrium, Kalium, 750 g
Kalsium, dan Magnesium
46
Lampiran 4. Sidik Ragam Persentase Berat Jantung
SK db JK KT F F0,05 F0,01
Total 17 0,052 0,003 0,823 3,326 5,636
Perlakuan 5 0,011 0,002
Kelompok 2 0,015 0,007
Error 10 0,026 0,003
Keterangan :
db = derajat bebas; JK = Jumlah Kuadrat; KT= Kuadrat Tengah
F hit = nilai F yang diperole dari hasil pengolahan data
F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α=0,05)
F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α=0,01)
47
Lampiran 7. Sidik Ragam Persentase Berat Limpa
SK db JK KT F F0,05 F0,01
Total 17 0,004 0,0002 1,973 3,326 5,636
Perlakuan 5 0,002 0,0004
Kelompok 2 0,001 0,0002
Error 10 0,002 0,0002
Keterangan :
Keterangan :
db = derajat bebas; JK = Jumlah Kuadrat; KT= Kuadrat Tengah
F hit = nilai F yang diperole dari hasil pengolahan data
F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α=0,05)
F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α=0,01)
48
Lampiran 10. Sidik Ragam Persentase Panjang Relatif Usus Halus
SK db JK KT F F0,05 F0,01
Total 17 435,17 25,59 0,05 3,326 5,636
Perlakuan 5 9,63 1,93
Kelompok 2 22,62 11,31
Error 10 402,92 40,29
Keterangan :
db = derajat bebas; JK = Jumlah Kuadrat; KT= Kuadrat Tengah
F hit = nilai F yang diperole dari hasil pengolahan data
F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α=0,05)
F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α=0,01)
49
Lampiran 12. Rataan Hasil Pengamatan Histopatologi Hati Ayam Kampung
yang Terinfeksi Cacing Ascaridia galli dan Diberi Tepung
Daun Jarak
Peubah Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5 P6
Sarang Radang +++ ++ ++ ++ ++ +
Pembendungan ++ ++ + ++ ++ ++
Oedema +++ +++ ++ +++ ++ +++
Pendarahan + + ++ ++ + -
% kerusakan 75 % 75 % 50 % 75 % 75 % 50 %
Keterangan:
Semakin banyak tanda (+) menunjukkan tingkat kerusakan semakin tinggi
6) Kerusakan 0 % = tidak ada kerusakan atau kelainan
7) Kerusakan 25 % = tingkat kerusakan ringan
8) Kerusakan 50 % = tingkat kerusakan agak berat
9) Kerusakan 75 % = tingkat kerusakan berat
10) Kerusakan 100 % = tingkat kerusakan sangat berat
50