i
= Efek perlakuan ke-i
ij
= Galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan sidik
ragam (Analysis of Variance/ANOVA), dan jika berbeda nyata diuji lanjut dengan
uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1995). Perhitungan ANOVA dan uji jarak
Duncan menggunakan SPSS 15.0.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah persentase berat organ dalam
(jantung, hati, limpa, kelenjar thymus, bursa fabrisius, ginjal, empedu, proventikulus,
rempela, dan pankreas,), persentase panjang dan berat saluran pencernaan
(duodenum, jejenum, ileum, sekum, dan kolon).
1. Persentase berat organ dalam
Persentase berat organ dalam (%) =
2. Panjang relatif organ dalam
Panjang relatif organ dalam (cm/100 g) =
Prosedur
Pembuatan Bungkil Biji Jarak Pagar (J atropha curcas L) Fermentasi
Bungkil biji jarak pagar ditimbang dan ditambahkan aquades hingga kadar
airnya mencapai 66%. Bungkil biji jarak pagar dimasukkan dalam kain saring dan
dikukus selama 60 menit dan kemudian didinginkan pada nampan dengan alas
plastik yang sudah dilubangi jarum. Setelah dingin ditambahkan dengan jamur tempe
18
(Rhizopus oligosporus) sebanyak 0,7% dan diratakan. Tutup dengan plastik yang
sudah dilubangi jarum, kemudian kertas dan ditindih dengan keramik. Simpan pada
suhu ruang dan diinkubasi selama 3-4 hari. Bungkil biji jarak pagar terfermentasi
Rhizopus oligosporus dipanen dan dikeringkan dalan oven suhu 60
o
C selama 48 jam
dan kemudian digiling hingga halus.
Persiapan Kandang
Persiapan kandang dilakukan dengan membuat petak kandang sebanyak 30
petak dan membersihkan seluruh petak dalam kandang dan alat- alat yang akan
digunakan seperti tempat pakan dan air minum serta digunakan desinfektan. Setelah
itu dilakukan pengapuran dan setelah kering dilakukan penyemprotan dengan
desinfektan ke seluruh ruangan, kemudian kandang dibiarkan selama tiga hari
dengan tujuan memutus siklus mikroba. Tahap akhir adalah pemberian litter dengan
sekam padi diatas lantai kandang serta dilakukan juga penyemprotan desinfektan
pada sekam tersebut.
Pemeliharaan
DOC yang baru datang, langsung diberi minum larutan gula 10% dan
kemudian pada hari berikutnya diberi Vitachik serta dilakukan vaksinasi berupa
vaksin Gumboro pada umur 3 hari dan vaksin ND pada umur 7 dan 21 hari. Ayam
umur 0-2 minggu diberi indukan. Pemberian pakan dan air minum dilakukan ad
libitum dan ditempatkan dengan cara digantung mulai umur 3 minggu. Pemeliharaan
ayam dilakukan selama 10 minggu.
Pengukuran Organ Dalam
Pengukuran organ dalam dilakukan pada saat ayam berumur 10 minggu
dengan mengambil 1 ekor ayam dari setiap ulangan dari seluruh perlakuan, sehingga
jumlah ayam yang digunakan adalah 30 ekor. Organ dalam yang sudah dikeluarkan,
kemudian diukur panjang (cm) serta berat kotor dan bersihnya (g).
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Fermentasi BBJP Terhadap Kandungan
Phorbolester dan Antinutrisi
Penelitian ini diawali dengan menguji metode fermentasi Bungkil Biji Jarak
Pagar (BBJP) yang sebelumnya dilakukan pengukusan. Hasil yang didapat adalah
pengukusan selama 60 menit sebelum fermentasi efektif menurunkan kadar
antinutrisi. Kadar antinutrisi BBJP yang tanpa diolah (kontrol) dan BBJP fermentasi
yang dikukus selama 60 menit disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kadar Antinutrisi BBJP Tanpa Diolah dan BBJP Fermentasi yang
Sebelumnya Dikukus selama 60 Menit
Antinutrisi
Perlakuan
Penurunan (%)
Tanpa Diolah Fermentasi
Phorbolester (g/g) 24,33 15,28 37,20
Tanin (%) 0,13 0,007 94,62
Saponin (%) 1,04 0,39 62,50
Asam fitat (%) 9,19 8,45 8,05
Antitripsin (%) 6,17 1,85 70,02
Pengolahan BBJP dengan kombinasi pengukusan selama 60 menit dan
fermentasi dapat menurunkan kadar antinutrisinya. Hal ini sesuai dengan Belewu dan
Sam (2010) bahwa perlakuan kombinasi pemanasan dan fermentasi dapat
menurunkan kadar antinutrisi BBJP. Pemanasan dengan cara dikukus selama 60
menit dimaksudkan untuk memastikan BBJP bersih dari mikroba atau kontaminan
yang dapat mengganggu pertumbuhan kapang yang akan ditanam. Selain itu
pemanasan dapat menurunkan kadar saponin dan antitripsin. Menurut Cheeke (1989)
kadar saponin dapat diturunkan dengan proses pemanasan. Vasconcelos dan Oliveira
(2004) menyatakan bahwa antitripsin tidak tahan terhadap panas. Antinutrisi
phorbolester dalam BBJP terikat dengan lemak, sehingga adanya lipase yang
dihasilkan oleh Rhizopus oligosporus dapat menurunkannya. Lipase berguna dalam
menghidrolisis lemak. Rhizopus oligosporus juga menghasilkan protease dan fitase.
Protease dapat meningkatkan kadar protein BBJP dan fitase dapat mereduksi
senyawa fitat dalam BBJP, sehingga meningkatkan kadar mineral posfor dan mineral
bervalensi dua.
20
Konsumsi Antinutrisi Ayam Kampung selama 7 Minggu Penelitian
Jumlah antinutrisi yang masuk kedalam tubuh ayam kampung penelitian
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Asupan Antinutrisi Ayam Kampung selama 7 Minggu Penelitian
Peubah
Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
Konsumsi
Ransum (g/e)*
2529,62
236,33
2666,29
247,40
2360,51
331,20
2589,27
243,73
2380,51
150,44
Kandungan BBJP
dalam pakan (g)
-
199,97
18,56
177,04
24,84
258,93
24,37
297,56
18,81
Phorbolester
(ug/g)
-
4865,31
451,57
2705,15
379,56
3956,40
372,37
4546,78
287,42
Tanin (g) - 0,26 0,02 0,01 0,00 0,02 0,00 0,02 0,00
Saponin (g) - 2,08 0,19 0,69 0,10 1,01 0,10 1,16 0,07
Asam fitat (g) - 18,38 1,71 14,96 2,10 21,88 2,06 25,14 1,59
Anti Tripsin (g) - 12,34 1,15 3,28 0,46 4,79 0,45 5,50 0,35
Keterangan : *Sumiati et al. (2010)
P0 : Ransum kontrol (tanpa bungkil biji jarak pagar) + selulase 400 ppm dan fitase 200
ppm
P1 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar tanpa fermentasi
P2 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
P3 : Ransum mengadung 10% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
P4 : Ransum mengandung 12,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
Konsumsi antinutrisi yang berasal dari BBJP tergantung dari konsentrasi
antinutrisi yang dikandung BBJP dan jumlah konsumsi ransum (Tabel 7). Ayam
kampung yang diberi perlakuan P1 (ransum mengandung 7,5% BBJP tanpa diolah)
mengkonsumsi antinutrisi tertinggi dibandingkan perlakuan ransum kontrol (P0),
ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3) dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi (Tabel
7). Pemberian BBJP dalam ransum pada penelitian ini masih dalam batas toleransi
bila dibandingkan Aregheore et al. (2003) yang menyatakan bahwa batas toleransi
pemakaian Jatropha curcas pada mencit adalah 16% dari jumlah pakan yang
diberikan, dengan kosentrasi phorbolester 0,13 mg/g atau 0,0208 g/ekor/hari. Pada
ayam batas toleransi kadar tanin adalah 0,5% dalam pakan (Wahju, 1985), saponin
10 g/kg dalam pakan (Cheeke, 1989), asam fitat adalah 1,38% dalam pakan
(Oberleas, 1973) dan anti tripsin adalah 42,6 TIU / 100 g (Widodo, 2010). Hal ini
21
menunjukkan bahwa asupan antinutrisi ayam kampung penelitian berada dalam
jumlah yang aman, karena masih dibawah toleransi.
Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Kampung
Rataan persentase bobot organ dalam ayam kampung umur 10 minggu
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Kampung Umur 10 Minggu
Peubah
Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
-------------------------------------------- (%) ------------------------------------------
Jantung 0,43 0,05
B
0,50 0,05
AB
0,37 0,03
AB
0,51 0,06
A
0,48 0,06
AB
Hati 2,08 0,12 2,52 0,32 2,21 0,43 2,72 0,57 2,29 0,74
Limpa 0,38 0,19
AB
0,38 0,18
AB
0,21 0,14
B
0,66 0,27
A
0,34 0,19
AB
Kelenjar
Timus
0,67 0,13
ab
0,51 0,11
b
0,76 0,15
a
0,68 0,26
ab
0,73 0,20
ab
Bursa
Fabrisius
0,16 0,11 0,10 0,06 0,10 0,07 0,11 0,08 0,14 0,13
Ginjal 0,53 0,17 0,54 0,13 0,67 0,08 0,65 0,10 0,55 0,19
Rempela 2,59 0,35 2,98 0,44 3,00 0,34 2,90 0,31 2,71 0,72
Pankreas 0,20 0,02 0,27 0,04 0,25 0,04 0,23 0,09 0,25 0,05
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda sangat nyata (P<0,01).
Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda nyat (P<0,05)
P0 : Ransum kontrol (tanpa bungkil biji jarak pagar) + selulase 400 ppm dan fitase 200
ppm
P1 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar tanpa fermentasi
P2 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
P3 : Ransum mengadung 10% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
P4 : Ransum mengandung 12,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
Persentase Bobot Jantung
Rataan persentase bobot jantung yang dihasilkan berkisar antara 0,37-0,51%
dari bobot hidup. Hal ini sesuai dengan Putnam (1991), persentase bobot jantung
ayam berkisar antara 0,42%-0,75% dari bobot hidup, kecuali pada P2 yang lebih
rendah. Pemberian BBJP fermentasi 10% dalam ransum (P3) sangat nyata (P<0,01)
meningkatkan bobot jantung dibandingkan ransum kontrol (P0) (Tabel 8).
Pembengkakan jantung pada perlakuan P3 disebabkan oleh asupan antinutrisi
kedalam tubuh lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0 (Tabel 7). Hal ini sesuai
22
dengan Ressang (1986) bahwa jika dalam darah mengandung racun dan antinutrisi
maka akan memicu kontraksi yang berlebihan sehingga menimbulkan
pembengkakan jantung.
Persentase bobot jantung perlakuan P3 tidak berbeda nyata dibandingkan
perlakuan ransum mengandung 7,5% BBJP tanpa diolah (P1), ransum mengandung
7,5% (P2) dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa
adanya antinutrisi yang berasal dari BBJP ransum perlakuan P1, P2, P3 dan P4 yang
masuk kedalam tubuh mempengaruhi kerja organ jantung.
Persentase Bobot Hati
Rataan persentase bobot hati yang dihasilkan berkisar antara 2,08-2,72% dari
bobot hidup. Kondisi ini sesuai dengan bobot hati yang dinyatakan Putnam (1991)
yaitu berkisar antara 1,70-2,80% dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah
7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap
bobot hati (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah
7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan efek negatif
terhadap kerja organ hati.
Price dan Wilson (2006) mengemukakan bahwa hati memiliki fungsi
detoksifikasi yang dilakukan oleh enzim-enzim hati, yaitu dengan mengubah zat-zat
yang kemungkinan membahayakan, menjadi zat-zat yang secara fisiologis tidak
aktif. Hati akan mengalami kerusakan apabila terdapat zat toksik yang berlebih
dalam tubuh. Spector (1993) menyatakan bahwa kelainan hati biasanya ditandai
dengan pembengkakan dan penebalan salah satu lobi pada hati, dan hal tersebut
dapat menyebabkan peningkatan bobot hati yang dihasilkan.
Persentase Bobot Limpa
Rataan persentase bobot limpa yang dihasilkan berkisar antara 0,21-0,66%
dari bobot hidup. Kondisi ini lebih tinggi dibandingkan persentase bobot limpa
menurut Putnam (1991) yaitu 0,18%-0,23% dari bobot hidup kecuali pada perlakuan
P2. Pemberian 10% BBJP fermentasi (P3) sangat nyata (P<0,01) meningkatkan
bobot limpa dibandingkan perlakuan pemberian 7,5% BBJP ferementasi (P2) (Tabel
8). Peningkatan bobot limpa pada perlakuan P3 berhubungan dengan aktivitas organ
tersebut terhadap antinutrisi dan racun yang masuk kedalam tubuh. Bobot limpa yang
meningkat mengindikasikan ternak tersebut lebih tahan terhadap antinutrisi dan
23
racun yang masuk kedalam tubuh. Hal ini dibuktikan oleh konsumsi antinutrisi
phorbolester, tanin, asam fitat, dan anti tripsin pada perlakuan P3 lebih banyak
dibandingkan P2. Limpa yang berfungsi dalam membentuk zat limfosit dan
berhubungan dengan pembentukan antibodi akan mengalami perubahan ukuran jika
terdapat toksik, zat antinutrisi maupun penyakit (Ressang, 1986).
Persentase bobot organ limpa perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan ransum kontrol (P0) (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
BBJP fermentasi pada level 10% tidak berpengaruh negatif terhadap kerja organ
limpa.
Persentase bobot organ limpa perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan ransum mengandung 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) dan 12,5% BBJP
fermentasi (P4) (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa organ limpa dapat
berkembang walaupun adanya antinutrisi yang masuk kedalam tubuh.
Persentase Bobot Kelenjar Timus
Rataan persentase bobot kelenjar timus yang dihasilkan berkisar antara 0,51-
0,73% dari bobot hidup. Pemberian 7,5% BBJP fermentasi (P2) nyata (P<0,05)
meningkatkan bobot persentase kelenjar timus dibandingkan perlakuan pemberian
ransum mengandung 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) (Tabel 8). Peningkatan bobot
kelenjar timus pada perlakuan P2 diduga karena perkembangan organ ini sebagai
respon terhadap antinutrisi dan racun dengan konsentrasi rendah yang masuk
kedalam tubuh. Peningkatan bobot kelenjar timus berhubungan dengan sistem
imunitas sel ternak. Kelenjar timus pada perlakuan P1 tidak mengalami peningkatan
bobot diduga karena antinutrisi phorbolester, tanin, saponin dan anti tripsin yang
masuk kedalam tubuh lebih tinggi dibandingkan perlakuan P2, sehingga
menghambat perkembangan organ kelenjar timus (Tabel 7).
Menurut Cooper et al. (1966) kelenjar timus bekerja untuk menghasilkan
imunitas sel bagi ternak. Kelenjar timus sebagian besar berisi sel T dengan fungsi
mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan
makrofag dalam fagositosis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi
(Abbas et al., 2000).
Persentase bobot kelenjar timus perlakuan P2 tidak berbeda nyata
dibandingkan perlakuan ransum kontrol (P0) dan ransum mengandung 10% (P3) dan
24
12,5% (P4) BBJP fermentasi (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
BBJP fermentasi pada level 7,5% tidak berpengaruh negatif terhadap kerja organ
limpa. Adanya antinutrisi yang masuk kedalam tubuh dapat merangsang
perkembangan organ kelenjar timus.
Persentase Bobot Bursa Fabrisius
Rataan persentase bobot bursa fabrisius yang dihasilkan berkisar antara 0,10-
0,16% dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi
sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot bursa fabrisius
(Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP
fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kerja
bursa fabrisius. Rataan bobot bursa fabrisius yang dihasilkan berkisar 0,10-0,16%
dari bobot hidup. Bursa fabrisius berfungsi sebagai tempat dasar pembentukan
limposit-B dewasa dan diferensiasinya dalam imunitas tubuh. Limposit-B akan
menghasilkan antibodi dan sel pengingat (sel memori) (Glick, 1988).
Persentase Bobot Ginjal
Rataan persentase bobot ginjal yang dihasilkan berkisar antara 0,53-0,67%
dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai
level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot ginjal (Tabel 8). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi
sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kerja ginjal. Rataan
bobot ginjal yang dihasilkan berkisar 0,53-0,67% dari bobot hidup. Ginjal
merupakan organ tubuh yang mempunyai daya saring dan daya serap kembali
(Ressang, 1986). Apabila terdapat banyak zat toksik yang masuk ke dalam tubuh,
maka ginjal akan bekerja semakin berat untuk menetralisir zat toksik tersebut.
Persentase Bobot Rempela
Rataan persentase bobot rempela yang dihasilkan berkisar 2,59-3,00% dari
bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level
12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot rempela (Tabel 8). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi
sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kerja rempela.
Amrullah (2004) menyatakan bahwa bobot rempela dipengaruhi oleh modifikasi
25
ukuran, pengaturan jenis ransum, dan fase pemberian pakan. Apabila ransum yang
diberikan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi, maka kerja rempela akan
semakin berat dan dapat memperbesar ukuran dan bobot rempela. Kandungan serat
kasar ransum penelitian berkisar antara 4,10 4,99%.
Persentase Bobot Pankreas
Rataan persentase bobot pankreas yang dihasilkan berkisar antara 0,20-0,27%
dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai
level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot pankreas (Tabel 8). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi
sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kerja pankreas.
Antitripsin adalah faktor antinutrisi yang berhubungan dengan proses fisiologi dari
pankreas untuk mengasilkan enzim proteolitik dan dapat menghambat pertumbuhan
(White et al., 1989). Antitripsin mempunyai sifat menghambat kerja enzim tripsin
dalam menghidrolisa protein yang diperlukan untuk tumbuh (Andajani dan Susanto,
1986).
Persentase Bobot dan Panjang Saluran Pencernaan
Rataan persentase bobot dan panjang saluran pencernaan ayam kampung
umur 10 minggu disajikan pada Tabel 9.
Persentase Bobot dan Panjang Duodenum
Rataan persentase bobot duodenum yang dihasilkan antara 0,43-0,59% dari
bobot hidup dan panjang realtifnya antara 2,88-3,57 cm/100 g dari bobot hidup.
Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) sangat nyata (P<0,05) meningkatkan bobot
dan panjang duodenum dibandingkan ransum kontrol (P0) (Tabel 9). Peningkatan
bobot dan panjang duodenum perlakuan P1 ini diduga oleh kandungan serat kasar
yang dikonsumsi oleh ternak lebih tinggi dibandingkan P0. Hal ini didukung oleh
Sumiati et al. (2010) yang menyatakan bahwa konsumsi serat kasar kasar ayam
kampung selama penelitian yang diberi ransum kontrol (P0) adalah 103,71 g/ekor
dan yang diberi 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) adalah 131,18 g/ekor.
Persentase bobot dan panjang relatif duodenum perlakuan P1 tidak berbeda
nyata dibandingkan dengan perlakuan ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3) dan
12,5% (P4) BBJP fermentasi (Tabel 9). Hal ini menunjukan bahwa serat kasar tinggi
26
dalam ransum dapat meningkatkan bobot dan panjang relatif duodenum. Konsumsi
serat kasar ayam kampung selama penelitian berturut turut adalah; P0 = 103,71
g/ekor; P1 = 131, 18 g/ekor; P2 = 106,22 g/ekor; P3 = 121,18 g/ekor dan P4 = 118,79
g/ekor (Sumiati et al., 2010).
Persentase bobot dan panjang relatif duodenum perlakuan P0 tidak berbeda
nyata dengan perlakuan P2, P3 dan P4. Hal ini diduga karena adanya bantuan
selulase pada perlakuan P2, P3 dan P4. Penambahan selulase dan hemiselulase
dalam pakan unggas mampu meningkatkan berat badan, efisiensi penggunaan pakan,
ketersediaan energi dan ketercernaan bahan kering (Campbell dan Bedford, 1992).
Selulase merupakan suatu kompleks multi enzim yang bekerja bersama-sama
menghidrolisis selulosa menjadi glukosa (Kim, 1995).
Tabel 9. Rataan Persentase Bobot dan Panjang Saluran Pencernaan Ayam
Kampung Umur 10 Minggu
Peubah
Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
Duodenum
Bobot (%)
Panjang (cm/100 g)
0,43 0,07
B
2,88 0,32
B
0,59 0,11
A
3,57 0,36
A
0,54 0,16
AB
3,10 0,44
AB
0,53 0,08
AB
3,36 0,41
AB
0,46 0,06
AB
3,07 0,38
AB
Jejunum
Bobot (%)
Panjang (cm/100 g)
0,79 0,12
b
6,07 0,76
b
0,94 0,13
ab
7,25 0,88
a
0,88 0,15
ab
6,15 0,98
b
0,97 0,15
a
7,36 0,58
a
0,78 0,11
b
6,56 0,72
ab
Ileum
Bobot (%)
Panjang (cm/100 g)
0,53 0,10
B
5,67 0,73
b
0,75 0,15
A
7,26 0,85
a
0,69 0,14
AB
6,40 1,27
ab
0,66 0,12
AB
6,98 0,90
a
0,58 0,06
AB
6,26 0,86
ab
Sekum
Bobot (%)
Panjang (cm/100 g)
0,33 0,07
1,40 0,22
B
0,42 0,06
1,92 0,24
A
0,37 0,14
1,72 0,38
AB
0,42 0,02
1,80 0,14
AB
0,36 0,07
1,64 0,28
AB
Kolon
Bobot (%)
Panjang (cm/100 g)
0,13 0,02
0,93 0,09
b
0,17 0,05
1,25 0,22
a
0,16 0,04
1,02 0,27
ab
0,14 0,01
1,13 0,11
ab
0,14 0,04
1,13 0,24
ab
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda sangat nyata (P<0,01).
Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda nyat (P<0,05)
P0 : Ransum kontrol (tanpa bungkil biji jarak pagar) + selulase 400 ppm dan fitase 200
ppm
P1 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar tanpa fermentasi
P2 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
P3 : Ransum mengadung 10% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
P4 : Ransum mengandung 12,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400
ppm dan fitase 200 ppm
27
Persentase Bobot dan Panjang Jejunum
Rataan persentase bobot jejunum yang dihasilkan antara 0,78-0,97% dari
bobot hidup dan panjang realtifnya antara 6,07-7,36 cm/100 g dari bobot hidup.
Pemberian 10% BBJP fermentasi (P3) nyata (P<0,05) meningkatkan persentase
bobot jejenum dibandingkan perlakuan ransum kontrol (P0) dan ransum mengandung
12,5% BBJP fermentasi (P4) (Tabel 9). Hal ini diduga karena tingginya level
karbohidrat (BETN) dalam ransum pada perlakuan P3. Kadar BETN perlakuan P3
lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0 dan P4 (Tabel 5).
Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) dan 10% BBJP fermentasi (P3)
nyata (P<0,05) meningkatkan panjang jejunum dibandingkan ransum kontrol (P0)
dan perlakuan ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi (P2) (Tabel 9).
Peningkatan panjang jejunum sejalan dengan peningkatan penyerapan zat makanan
kedalam darah oleh usus. Menurut Alonso et al. (2000) dan Bardocz et al. (1995),
peningkatan berat relatif jejunum dan kemampuan perenggangan usus dapat
disebabkan oleh tingginya level karbohidrat kompleks termasuk pati yang resisten,
oligosakarida, dan polisakarida non pati dan oleh persentase lektin dalam ransum.
Kadar Beta-N dalam ransum perlakuan P1 yaitu 49,98 % dan P3 yaitu 52,80% lebih
tinggi dibandingkan P0 yaitu 49,23% (Tabel 5).
Persentase Bobot dan Panjang Ileum
Rataan persentase bobot ileum yang dihasilkan antara 0,53-0,75% dari bobot
hidup dan panjang realtifnya antara 5,67-7,26 cm/100 g dari bobot hidup. Pemberian
7,5% BBJP tanpa diolah (P1) sangat nyata (P<0,01) meningkatkan bobot persentase
ileum dan nyata (P<0,05) meningkatkan panjang ileum dibandingkan perlakuan
ransum kontrol (P0) (Tabel 9). Peningkatan bobot dan panjang ileum dipengaruhi
oleh asupan serat kasar. Perlakuan P1 mengkonsumsi serat kasar lebih banyak
dibandingkan perlakuan P0. Menurut Lundin et al. (1993) serat dapat meningkatkan
densitas volume epitel dan vilus di daerah jejunum, ileum, dan usus halus.
Perlakuan ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3) dan 12,5% (P4) BBJP
fermentasi tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan P0 (Tabel 9). Hal ini diduga
karena adanya penambahan selulase pada pakan sehingga dapat membantu proses
pencernaan serat kasar. Menurut Sutardi (l997) pertumbuhan usus dan sekum dapat
dirangsang oleh serat. Penambahan selulase pada perlakuan P2, P3, dan P4 yang
28
dalam ransumnya mengandung serat kasar yang tinggi dapat membantu dalam
pencernaan serat kasar.
Persentase Bobot dan Panjang Sekum
Rataan persentase bobot sekum yang dihasilkan antara 0,33-0,42% dari bobot
hidup dan panjang realtifnya antara 1,40-1,92 cm/100 g dari bobot hidup. Pemberian
7,5% BBJP tanpa diolah (P1) sangat nyata (P<0,01) meningkatkan panjang sekum
dibandingkan ransum kontrol (P0) (Tabel 9). Peningkatan panjang relatif sekum pada
perlakuan P1 sangat berhubungan dengan serat kasar yang dikonsumsi dan pengaruh
pemberian selulase pada ransum. Perlakuan P1 mengkonsumsi serat kasar 131,18
g/e, lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0 yaitu sebanyak 103,71 g/ekor. Menurut
Pond et al. (1995) sebagian serat dapat dicerna dalam sekum yang disebabkan
adanya bakteri fermentasi tetapi jumlahnya sangat rendah dibandingkan pada
sebagian spesies mamalia.
Panjang relatif sekum perlakuan ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3),
dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan P0 dan
P1 (Tabel 9). Hal ini diduga karena adanya penambahan selulase pada perlakuan P2,
P3 dan P4. Selulase merupakan enzim pemecah selulosa menjadi glukosa (Kim,
1995).
Persentase Bobot dan Panjang Kolon
Rataan persentase bobot kolon yang dihasilkan antara 0,13-0,17% dari bobot
hidup dan panjang realtifnya antara 0,93-1,25 cm/100 g dari bobot hidup. Pemberian
7,5% BBJP tanpa diolah (P1) nyata (P<0,05) meningkatkan panjang kolon
dibandingkan ransum kontrol (P0) (Tabel 9). Peningkatan panjang kolon
berhubungan dengan fungsi kolon di unggas. Kolon berfungsi menyalurkan sisa
makanan dari usus halus ke kloaka dan tempat terjadinya penyerapan air dan
beberapa mineral. Kolon juga dapat berfungsi sebagai tempat fermentasi serat kasar
pada unggas terutama hemiselulosa selain di sekum. Perlakuan ransum mengandung
7,5% (P2), 10% (P3) dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi tidak berbeda nyata
dibandingkan perlakuan P0 dan P1. Hal ini diduga karena penambahan selulase
dalam ransum P2, P3 dan P4.
29
Pembahasan Umum
Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah cenderung menghasilkan panjang usus
halus, sekum, dan kolon yang lebih panjang dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa selulase yang ditambahkan pada perlakuan P0, P2, P3 dan P4
bekerja memecah serat kasar (selulosa) menjadi glukosa.
Asupan antinutrisi dengan konsentrasi rendah (perlakuan P2) dapat
meningkatkan kerja organ kelenjar timus. Hal ini diharapkan daya imun ayam
meningkat, karena sel T yang dihasilkan oleh kelenjar timus berfungsi untuk
mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan
makrofag dalam fagositosis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi.
Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah dan BBJP fermentasi sampai level 12,5%
tidak menimbulkan efek negatif pada organ dalam dan saluran pencernaan, tetapi
menurut Sumiati et al. (2010) pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah pada ternak ayam
kampung berpengaruh sangat nyata menurunkan pertumbuhan dan performanya,
sehingga pemberian BBJP tanpa fermentasi tidak disarankan.
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan bungkil biji jarak fermentasi dengan Rhizopus oligosporus
sampai taraf 12,5% tidak menimbulkan efek negatif terhadap organ dalam dan
saluran pencernaan ayam kampung.
Saran
Penggunaan bungkil biji jarak pagar tanpa diolah pada taraf 7,5% dalam
ransum ayam kampung umur 7-10 minggu tidak disarankan karena menurunkan
performanya.
31
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, pertolongan
dan hikmah serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Terimakasih kepada Dr. Ir. Sumiati, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc atas
segala kesabaran, perhatian, bimbingan dan dorongan semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada seluruh dosen IPB khususnya
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan yang sudah mendidik dan
membimbing.
Terimakasih dan rasa hormat kepada Ibunda Siti Aisyah dan Ayahanda Aban
Syaban atas doa, perhatian, bimbingan, pengorbanan tenaga, waktu dan biaya serta
keikhlasan yang tak ternilai. Kepada A Jijib, Teh Ipah, Teh Iis, A yazid, Jamal dan
Ita yang selalu mendoakan, mendukung dan menyemangati.
Terimakasih kepada Dr. Sri Suharti, SPt. MSi. sebagai penguji seminar dan
Maria Ulfah, S.Pt. MSc.Agr. dan Ir. Anita S. Tjakaradidjaja, M.Rur.Sc sebagai dosen
penguji skripsi yang telah membimbing dan menguji. Terimakasih kepada Ir. Widya
Hermana MSi. sebagai panitia seminar dan ujian akhir sarjana yang telah membantu
dan membimbing.
Terimakasih kepada Dewi Ratna Suminar yang setia mendukung,
menyemangati dan membantu, kepada keluarga besar Bapak Sartono dan Ibu Tati
atas dukungan dan doanya. Kepada Bu lanjar, Bu Yenni, Hendra, Ade Darmansah,
Putri, Mba Siti Mawaddah, Ade Fuziawan, Wita, Iwan dan Mas Mul atas
bantuannya. Terimakasih kepada Enggar F.J dan Ridwan Choerudin sebagai best
friend atas dukungan dan semangat. Terimakasih kepada teman teman ANTRAK 44,
keluarga besar HIMMAKA Bogor, Fapet, ISMAPETI, DPM Patriot dan FMITFB.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pihak pihak yang
memerlukan.
Bogor, Juni 2011
Penulis
32
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A. K., A. H. Lichtman, & J. S. Pober. 2000. Celluler and Molecular
Immunologi. 4
th
ed. W. B. Saunders Company. Harcourt Health Science
Company.
Aisjah, T. 1998. Pendekatan bioteknologi biji jarak melalui fermentasi dalam rangka
meningkatkan kualitas bahan pakan ternak. Jurnal Bionatura 2 (3): 151-
156.
Akoso, B. T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Alonso, R., A. Aguirre, & F. Marzo. 2000. Effects of extrusion and traditional
processing methods on antinutrients and in vitro digestibility of protein and
starch in faba and kidney beans. Food Chem. 68:159165.
Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Edisi ke-2. Satu Gunung Budi, Bogor.
Andajani, S & S. Susanto. 1986. Pengaruh penggunaan bungkil kecipir sebagai
bahan penyusun ransum terhadap penampilan ayam pedaging. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Brawijaya, Malang.
Annongu, A. A., M. A. Belewu, & J. K. Joseph. 2010. Potential of jatropha seeds as
substitute protein in nutrition of poultry. Res. J. Anim. Sci., 4 (1) : 1-4.
Anshori, R. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Aregheore, E. M., K. Becker, & H. P. S. Makkar. 1998. Assesment of lectin activity
in a toxic and a non-toxic variety of jatropha curcas using latex
agglutination and haemagglutination methods and anactivation of lectin by
heat treatment. J. Sc. Food agric. 77, 349-352.
Aregheore, E. M., K. Becker, & H. P. S. Makkar. 2003. Detoxification of a toxic
variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments, and
preliminary nutritional evaluation with rats. S. Pac. J. Nat. Sci. 21: 50-56.
Arief, D. A. 2000. Evaluasi ransum yang menggunakan kombinasi pollard dan
duckweed terhadap persentase berat karkas, bulu, organ dalam, lemak
abdominal, panjang usus dan sekum ayam kampung. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bardocz, S., G. Grant, S. W. B. Ewen, T. J. Duguid, D. S. Brown, K. Englyst, & A.
Pusztai. 1995. Reversible effect of phyto-haemagglutinin on the growth and
metabolism of rat gastro-intestinal tract. Gut 37:353360.
33
Belewu, M. A. & R. Sam. 2010. Solid state fermentation of Jatropha curcas kernel
cake: Proximate composition and antinutritional components. J. Yeast.
Fungal Res. 1(3) : 44-46.
Biotechcitylucknow. 2007. Jatropha curcas. http://www.biotechcitylucknow. [2
Desember 2010]
Brodjonegoro, T. P., I. K. Reksowardjojo, Tatang & H. Soerawidjaja. 2005. Jarak
Pagar Sang Primadona. Departemen Teknik Kimia. Lab. Termofluida dan
Sistem Utilitas. Kelompok Riset Biodiesel ITB. http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/ 2005/1005/13/cakrawala/utama02.htm. [15 Juli 2010].
Campbell, L. & M. R. Bedford. 1992. Enzyme application for monogastric feeds: a
review. Can. J. Anim. Sc. 72:449-466.
Cheeke, R. P. 1989. Toxicant of Plant Origin. Volume II: Glucosides. CRC Press,
Inc. Florida.
Cheville, N. F. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. 2
nd
ed. Iowa State
University Press. Iowa.
Cooper, M. D., R. D. A. Peterson, M. A. South, & R. A. Good. 1966. The functions
of the thymus system and the bursa system in the chicken. J. Exp. Med.
123:75102.
Cunningham, J. G. 1997. Textbook of Veterinary Physiology. 2
nd
ed. W. B. Saunders
Company. Philadelphia
Deacon, J. W. 1997. Modern Micology. Blackwell Science. New York. Pp 303.
Francis, G., H. P. S. Makkar, & K. Becker. 2006. Products from little researched
plants as aquaculture feed ingridient.
http://www.fao.org/DOCREP/ARTICLE/AGIPPA/551_EN.HTM. [15 Juli
2010].
Glick, B. 1988. Bursa of fabricius : development, growth, modulation, and endocrine
function. CRC Crit. Rev. Poult. Biol. 1:107132.
Goel, G., H. P. S. Makkar, G. Francis, & K. Becker. 2007. Phorbolesters : structure,
biological activity, and toxicity in animals. International Journal of
Toxicology. 26: 279-288.
Greiner, R., E. Haller, U. Konietzny, & K.D. Jany. 1997. Purification and
characterization of a phytase from Klebsiella terrigena. Arch. Biochem.
Biophys. 341:201-206.
34
Gunawan. 2002. Evaluasi model pengembangan usaha ternak ayam buras dan upaya
perbaikannya. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Haas, W., H. Sterk, & M. Mittelbach, 2002. Novel 12-Deoxy-16-hydroxyphorbol
Diesters Isolated from the Seed Oil of Jatropha curcas. J. Natural Product.
65: 1334-1440.
He, S., V. E. H. S. Susilowati, E. E. Purwati, & R. Tiuria. 1991. Taksiran kerugian
produksi daging akibat infeksi cacing infeksi alamiah cacing saluran
pencernaan pada ayam buras di Bogor dan sekitarnya. Hemerozoa.
73(3):56-64.
Heller, J. 1996. Physic nut. Jatropha curcas linn, Promoting the conservation and use
of underutilized and neglected crops I. Institut of Plant Genetics and Crop
Plant research Institute, Rome.
Iskandar, S., & S. Siregar. 2004. Karakter dan manfaat ayam pelung.
http://balitnak.litbang.deptan.go.id [24 Oktober 2010]
Judoamidjojo, R. M., A. A. Darwis, & E. G. Said. 1992. Teknologi fermentasi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Kim, C. 1995. Characterization and substrate specificity of an endo-b-1,4-d-
glucanase I (avicelase II) from an extracellular multienzyme complex of
Bacillus circulans. Appl Environ Microbiol. 61: 959-965.
Lin, J., F. Yan, L. Tang & F. Chen. 2003. Antitumor effects of curcin from seeds of
Jatropha curcas. College of Life Science, Sichuan University, Chengdu,
China. Acta Pharmacol Sin. 24 (3) : 241-246.
Lundin, E., J. X. Zhang, C. B. Huang, C. O. Reuterving, G. Hallmans, C. Nygren &
R. Stenling. 1993. Oat bran, rye bran, and soybean hull increases goblet cell
volume density in the small intestine of golden hamster. A Histochemical
and Stereologic Light-Microspic Study. Scandinavia Journal of
Gastroenterology. 28(1) : 15 22.
Makkar, H. P. S. & K. Becker. 1997a. Jatropha curcas toxicity: Identification of toxic
principle (s). In : 5th International Symposium on poisonous plant. May 19-
23, 1997 San Angelo Texas, USA.
Makkar, H. P. S. & K. Becker. 1997b. Potential of Jatropha curcas seed cake as a
protein supplement in livestock feed and constraints to its utilization. In :
proceding of Jatropha 97 : International symposium on Biofueland
Industrial Products from Jatropha curcas and other Tropical Oil Seed Plant.
23-27, 1997. Managua/Nicaragua, Mexico.
35
Makkar, H. P. S., A. O. Aderibigbe, & K. Becker. 1998. Comparative evaluation of a
non-toxic and toxic varieties of Jatropha curcas for chemical composition,
digestibility, protein degradability and toxic factors. Food Chem. 62, 207
215.
Makkar, H. P. S., M. Herrera, & K. Becker. 2008. Variations in seed number per
fruit, seed physical parameters and contents of oil, protein and phorbol ester
in toxic and non-toxic geno types of Jatropha curcas. J. Plant Sci. 3: 260-
265.
Makkar, H. P. S. & K. Becker. 2009. Jatropha curcas an exciting crop for generation
of biofuel and value-added products. Eur. J. Lipid Sci. Technol. 11 (8),
773787.
McLelland, J. 1990. A Colour Atlas of Avian Anatomy. Wolfe Publishing Ltd.,
England.
Merryana, F. O. 2003. Pengaruh suplementasi kholin klorida dalam ransum terhadap
bobot badan akhir, persentase organ dalam, usus halus, lemak abdominal,
dan lemak hati pada ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Nickel, R. A., A. Schummer, E. Seiferie, W. G Siller & R. A. I. Wight. 1977.
Anatomy of the Domestic Birds. Verlog Paul Parey, Berlin.
North, M. O. & D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Manual. 4
th
ed. Champman
and Hall. New York.
Nout, M. J. R. & F. M. Rombouts. 1990. Recent developments in tempe research.
Journal of Applied Bacteriology. 69: 609-633.
Oberleas, D. 1973. Phytates. 2
nd
ed. National Academy of Science. Washington, D.C.
Pond, W. G., D. C. Church & K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and
Feeding. 4
th
ed. John Wiley and Sons, New York.
Price, S. A & L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Putnam, P. A. 1991. Handbook of Animal Science. Academic Press, San Diego.
Quan, C. S., L. H. Zhang, Y. J. Wang & Y. Ohta. 2001. Production of phytase in a
low phosphate medium by a novel yeast Candida krusei. J. Biosci. Bioeng.
92 : 154-160.
Ressang, A. A. 1986. Patologi Khusus Veteriner. Edisi Ke-2. N. V. Percetakan Bali,
Denpasar.
36
Setijanto, H. 1998. Anatomi Unggas. Laboratorium Anatomi, Departemen Anatomi,
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Spector, W.G. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi Ke 3. Terjemahan : Soetjipto.
Gadjah Mada University Prees. Yogyakarta.
Steel, R. G. D & J. H. Torrie, 1995. Principles and Procedures of Statistics. Tata
McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi.
Sulandari, S., M. S. A. Zein, S. Priyanti, T. Sartika, M. Astuti, T. Widjastuti, E.
Sujana, S. Darana, I. Setiawan, & G. Garnida. 2007. Sumber daya genetik
ayam lokal Indonesia. hlm. 45104. Dalam Keanekaragaman Sumber Daya
Hayati Ayam Lokal lndonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian
Biologi, Lembaga IImu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Sumiati & A. Sudarman. 2006. Toksisitas, prosesing dan nilai hayati energi dan
protein bungkil biji jarak (Jatropha curcas L.). Laporan Akhir Hibah
Penelitian Program Due-like 1PB, Bogor.
Sumiati, A. Sudarman, I. Nurhikmawati & Nurbaeti. 2008. Detoxification of
Jathropha curcas meal as poultry feed. Proceeding of the 2
nd
International
Symposium on Food Security, Agricultural Development and Enviromental
Conversation in Southeast and East Asia. Bogor, 4 6 th September 2007.
Faculty of Forestry, Bogor Agriculture University.
Sumiati, T. Toharmat, E. Wina, & Y. Yusriani. 2010. Pemanfaatan bungkil biji jarak
pagar (Jatropha curcas) yang mengalami detoksifikasi sebagai sumber
protein substitusi bungkil kedelai 45% pada ayam kampung. Laporan Hasil
Penelitian Hibah Departemen Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Fapet IPB, Bogor.
Tjakradidjaja, A. S., Suryahadi & Adriani. 2007. Fermentasi bungkil biji jarak pagar
(Jatropha curcas L) dengan berbagai kapang sebagai upaya penurunan kadar
serat kasar dan zat antinutrisi. Proceeding Konferensi Jarak Pagar Menuju
Bisnis Jarak Pagar yang Fleksibel, Selasa, 19 Juni 2007. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Vasconcelos, I. M., & J. T. A Oliveira. 2004. Antinutritional properties of plant
lectins. Toxicon. 44: 385403.
Wahju, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
White, C. E., D. R. Campbell & G. E. Comb. 1989. Effect of moisture and
processing temperature on activities of trypsin inhibitor and urease in
soybean fed to swine. Wogeningen. Pp 230-234.
37
Widodo, W. 2010. Nutrisi dan pakan unggas kontekstual.
http://wahyuwidodo.staff.umm.ac.id/files/2010/01/Nutrisi_dan_Pakan_Ung
gas_Kontekstual.pdf [24 Agustus 2010].
38
LAMPIRAN
39
Lampiran 1. Analisis Ragam Persentase Bobot Jantung Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,028 0,007 3,691 0,018
Galat 24 0,045 0,002
Total 28 0,073
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,01
1 2 1
P0 6 -0,3717
P2 5 -0,3560 -0,3560
P4 6 -0,3200 -0,3200
P1 6 -0,3000 -0,3000
P3 6 -0,2933
Sig. 0,015 0,032
Lampiran 2. Analisis Ragam Persentase Bobot Hati Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,052 0,013 1,533 0,223
Galat 25 0,214 0,009
Total 29 0,266
Lampiran 3. Analisis Ragam Persentase Bobot Limpa Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,429 0,107 3,700 0,017
Galat 25 0,724 0,029
Total 29 1,153
40
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,01
1 2 1
P2 6 0,4183
P4 6 0,5667 0,5667
P1 6 0,6017 0,6017
P0 6 0,6033 0,6033
P3 6 0,7933
Sig. 0,096 0,043
Lampiran 4. Analisis Ragam Persentase Bobot Kelenjar Timus Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,084 0,021 1,678 0,187
Galat 25 0,314 0,013
Total 29 0,398
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,05
1 2 1
P1 6 0,7117
P3 6 0,8083 0,8083
P0 6 0,8133 0,8133
P4 6 0,8467 0,8467
P2 6 0,8650
Sig. 0,066 0,433
Lampiran 5. Analisis Ragam Persentase Bobot Bursa Fabrisius Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,052 0,013 0,632 0,644
Galat 25 0,516 0,021
Total 29 0,569
41
Lampiran 6. Analisis Ragam Persentase Bobot Ginjal Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,103 0,026 1,349 0,280
Galat 25 0,476 0,019
Total 29 0,579
Lampiran 7. Analisis Ragam Persentase Bobot Rempela Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,773 0,193 0,848 0,508
Galat 25 5,697 0,228
Total 29 6,470
Lampiran 8. Analisis Ragam Persentase Bobot Pankreas Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,064 0,016 0,975 0,439
Galat 25 0,409 0,016
Total 29 0,472
Lampiran 9. Analisis Ragam Persentase Bobot Duodenum Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,073 0,018 2,997 0,038
Galat 25 0,152 0,006
Total 29 0,225
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,01
1 2 1
P0 6 -0,3750
P4 6 -0,3367 -0,3367
P2 6 -0,2783 -0,2783
P3 6 -0,2783 -0,2783
P1 6 -0,2350
Sig. 0,059 0,047
42
Lampiran 10. Analisis Ragam Panjang Relatif Duodenum Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,136 0,034 3,112 0,033
Galat 25 0,274 0,011
Total 29 0,410
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,01
1 2 1
P0 6 1,6933
P4 6 1,7500 1,7500
P2 6 1,7550 1,7550
P3 6 1,8283 1,8283
P1 6 1,8867
Sig. 0,050 0,047
Lampiran 11. Analisis Ragam Persentase Bobot Jejunum Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,050 0,013 2,484 0,070
Galat 25 0,127 0,005
Total 29 0,177
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,05
1 2 1
P4 6 0,8817
P0 6 0,8867
P2 6 0,9367 0,9367
P1 6 0,9683 0,9683
P3 6 0,9817
Sig. 0,063 0,312
43
Lampiran 12. Analisis Ragam Panjang Relatif Jejunum Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,330 0,082 3,296 0,027
Galat 25 0,625 0,025
Total 29 0,955
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,05
1 2 1
P0 6 2,4600
P2 6 2,4733
P4 6 2,5567 2,5567
P1 6 2,6883
P3 6 2,7100
Sig. 0,327 0,124
Lampiran 13. Analisis Ragam Persentase Bobot Ileum Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,082 0,020 2,936 0,041
Galat 25 0,174 0,007
Total 29 0,256
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,01
1 2 1
P0 6 -0,2817
P4 6 -0,2417 -0,2417
P3 6 -0,1883 -0,1883
P2 6 -0,1733 -0,1733
P1 6 -0,1333
Sig. 0,048 0,048
44
Lampiran 14. Analisis Ragam Panjang Relatif Ileum Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,365 0,091 2,685 0,055
Galat 25 0,850 0,034
Total 29 1,215
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,05
1 2 1
P0 6 2,3767
P4 6 2,4950 2,4950
P2 6 2,5200 2,5200
P3 6 2,6367
P1 6 2,6900
Sig. ,215 ,105
Lampiran 15. Analisis Ragam Persentase Bobot Sekum Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,036 0,009 1,469 0,241
Galat 25 0,155 0,006
Total 29 0,191
Lampiran 16. Analisis Ragam Panjang Relatif Sekum Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,143 0,036 3,399 0,024
Galat 25 0,263 0,011
Total 29 0,406
45
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,01
1 2 1
P0 6 1,1800
P4 6 1,2750 1,2750
P2 6 1,3067 1,3067
P3 6 1,3400 1,3400
P1 6 1,3850
Sig. 0,019 0,100
Lampiran 17. Analisis Ragam Persentase Bobot Kolon Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 6,290 1,573 0,662 0,624
Galat 25 59,398 2,376
Total 29 65,688
Lampiran 18. Analisis Ragam Panjang Relatif Kolon Ayam Kampung
db Jumlah Kuadrat Rataan Tengah F Sig.
Perlakuan 4 0,083 0,021 2,282 0,089
Galat 25 0,227 0,009
Total 29 0,310
Uji Jarak Duncan
PERLAKUAN
n Subset = 0,05
1 2 1
P0 6 0,9650
P2 6 1,0000 1,0000
P4 6 1,0583 1,0583
P3 6 1,0600 1,0600
P1 6 1,1167
Sig. 0,126 0,062