Anda di halaman 1dari 27

KUALITAS FISIK DAN NILAI FLEIGH SILASE TEBON

JAGUNG (Zea mays l.) DENGAN PEMBERIAN


STARTER FERMENTASI BERBEDA

PROPOSAL PENELITIAN
FITRI ISNIA NURYANI

ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR BOGOR
2022
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS PETERNAKAN
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680
Telp: Dekan (0251) 8622841, Fax: (0251) 8622842, TU: (0251)
8423207, http://www.fapetipb.ac.id

LEMBAR PENGESAHAN
Identitas Mahasiswa
Nama Lengkap Fitri Isnia Nuryani
Nomor Induk Mahasiswa D24190067
Alamat di Bogor Jl Perwira
Beban studi yang sedang diambil pada 21 SKS
saat ini
Beban studi yang telah diambil 125 SKS
IPK sampai saat ini 3,26
Judul penelitian Kualitas Fisik dan Nilai Fleigh Silase
Tebon Jagung (Zea mays L.) Dengan
Pemberian Starter Fermentasi Berbeda

Lokasi penelitian Parakansalak, Kec. Parakansalak,


Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
43355.
Lama penelitian 3 bulan

Pembimbing utama Pembimbing Anggota Mahasiswa

Dr. Ir. Idat Galih Permana Dr. rer. nat. Nur Rochmah Fitri Isnia Nuryani
M.Sc.Agr. Kumalasari S.Pt., M.Si.
NIP. 196705061991031001 NIP. 198102142006042015 NIM. D24190067

Menyetujui,
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Prof. Dr. sc. ETH. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc.


NIP. 198306022005011001
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas ketersediaan pakan hijauan sangat
memengaruhi keberhasilan usaha peternakan ruminansia. Hal ini disebabkan,
sekitar 90% pakan ternak ruminansia berasal dari hijauan dengan konsumsi segar
per hari sebanyak 10 - 15% dari berat badan, sedangkan sisanya adalah konsentrat
dan pakan tambahan (feed supplement) (Sirait et al. 2005). Contoh pakan hijauan
ternak seperti rumput lapangan, rumput tanaman, rumput benggala, rumput
kolonjono dan rumput tuton. Kemudian dapat juga berupa leguminosa dan limbah
hasil pertanian.
Limbah hasil pertanian adalah bagian tanaman pertanian di atas tanah atau
bagian pucuk, batang yang tersisa setelah dipanen atau diambil hasil utamanya
dan merupakan pakan alternatif yang digunakan sebagai pakan ternak (Yani
2011). Sumber limbah pertanian diperoleh dari komoditas tanaman pangan, dan
ketersediaanya dipengaruhi oleh pola tanam dan luas areal panen dari tanaman
pangan di suatu wilayah. Jenis limbah pertanian sebagai sumber pakan
diantaranya limbah tanaman padi, tanaman jagung, tanaman kedelai, tanaman
kacang tanah, tanaman ubi kayu, dan tanaman ubi jalar.
Salah satu limbah hasil pertanian dapat dijadikan sebagai sumber bahan
pakan baru yang baik untuk ternak ruminansia adalah limbah tanaman jagung.
Limbah tanaman jagung ketersediaannya masih dipengaruhi oleh iklim sehingga
perlu dilakukan pengawetan agar tersedia sepanjang tahun.
Limbah tanaman jagung yang dapat dibuat silase adalah seluruh bagian
tanaman termasuk buah mudanya, buah yang hampir matang, tebon jagung, dan
kulit jagung. Tanaman jagung yang tersisa dari panen jagung masih cukup tinggi
kadar airnya. Untuk pembuatan silase, dibutuhkan kadar air sekitar 60%. Oleh
sebab itu, tanaman jagung harus dikeringkan sekitar 2 – 3 hari. Tanaman jagung
dipotong menjadi potongan-potongan kecil lalu dimasukkan sambil dipadatkan
sepadat mungkin ke dalam kantong-kantong plastik kedap udara, silo maupun
bunker (Nusio 2005).
Hal ini dapat menanggulangi berbagai masalah penyediaan pakan seperti
saat musim penghujan, petani memberikan supply hijauan pakan dalam kuantitas
yang berlebih, sehingga banyak sisa yang terbuang. Sebaliknya pada musim
kemarau hijauan pakan sangat terbatas, sehingga ransum yang diberikan tidak
dapat memenuhi kebutuhan nutrien ternak. Lebih lanjut, fluktuasi ketersediaan
hijauan pakan ini menyebabkan rendahnya produktivitas domba pembibitan di
pedesaan yang ditandai dengan jarak beranak (lambing interval) panjang (satu
tahun atau lebih) dan tingginya angka kematian anak pra sapih.
Permasalahan dalam penyediaan hijauan pakan dapat diatasi bila potensi
pertanian/industri maupun limbahnya dioptimalkan penggunaannya sebagai bahan
pakan ternak. Penggunaan bahan pakan alternatif sebaiknya mempertimbangkan
ketersediaan bahan pakan yang cukup banyak, sehingga untuk memperolehnya
tidak membutuhkan biaya yang besar. Kemudian perlu dilakukan teknis
penyimpanan pakan yang baik sehingga pakan tersebut dapat tersedia sepanjang
tahun tanpa bergantung terhadap cuaca. Salah satu upaya untuk menyimpan pakan
hijauan tersebut dengan pengawetan menjadi silase.
Silase merupakan hasil penyimpanan dan fermentasi hijauan segar dalam
kondisi anaerob dengan melalui proses pembentukan atau penambahan asam yang
berasal dari bantuan bakteri asam laktat (Kurniawan et al. 2015). Asam yang
terbentuk yaitu asam-asam organik antara lain laktat, asetat, dan butirat sebagai
hasil fermentasi karbohidrat terlarut oleh bakteri sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan derajat keasaman (pH).
Keberhasilan pembuatan silase dipengaruhi oleh kadar air hijauan, kadar
gula terlarut, jumlah bakteri penghasil laktat dan kadar oksigen. Kekurangan
kadar gula terlarut dalam proses ensilase menyebabkan bakteri asam laktat
kekurangan asupan energi untuk melakukan aktivitasnya, sehingga bakteri asam
laktat akan menggunakan zat-zat lain yang terkandung dalam hijauan yang
memungkinkan digunakan sebagai sumber energi dan menyebabkan
berkurangnya nilai nutrisi hijauan tersebut. Untuk menjamin ketersediaan gula
terlarut yang menjamin keberhasilan proses ensilase perlu dilakukan penambahan
bahan aditif (Jasin 2014).
Pada prosesnya, Bakteri Asam Laktat (BAL) memfermentasi karbohidrat
mudah larut menjadi asam laktat dan sebagian kecil diubah menjadi asam asetat
(Chen dan Weinberg 2008). Produksi asam tersebut akan mengakibatkan turunnya
nilai pH sehingga pertumbuhan mikroorganisme pembusuk akan terhambat
(Stefani et al. 2010). Proses fermentasi ini mengakibatkan perombakan bahan
pakan dari struktur yang kompleks menjadi sederhana, sehingga daya cerna ternak
menjadi lebih efisien.
Prinsip dasar pembuatan silase adalah fermentasi hijauan oleh mikroba
yang banyak menghasilkan asam laktat. Mikroba yang paling dominan adalah dari
golongan bakteri asam laktat homofermentatif yang mampu melakukan fermentasi
dari keadaan aerob sampai anaerob. Asam laktat yang dihasilkan selama proses
fermentasi akan berperan sebagai zat pengawet sehingga dapat menghindarkan
dari bakteri pembusuk seperti clostridia dan enterobakteria. Bakteri asam laktat
sangat membantu dalam proses pembuatan silase.
Secara alami pada hijauan terdapat BAL yang hidup sebagai bakteri epifit,
tetapi jumlahnya tidak dapat dipastikan mencukupi untuk mengendalikan proses
fermentasi yang akan berlangsung. Bakteri asam laktat tumbuh dengan baik
dengan bantuan starter atau akselerator yang mengandung gula sehingga proses
pembuatan silase dapat berlangsung optimal. Akselerator dapat berupa inokulum
bakteri asam laktat ataupun karbohidrat mudah larut. Bahan-bahan tersebut
mengandung gula- gula sederhana seperti dedak padi dan molases yang
dibutuhkan oleh bakteri asam laktat sehingga akan membantu dalam proses
peningkatan kualitas silase. Sedangkan akselerator yang berupa inokulum bakteri
asam laktat yaitu
Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus
buchneri, Pediococcus acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH
silase cepat turun (Nusio 2005).
Karakter BAL yang perlu diketahui dalam kaitannya sebagai inokulan
adalah bersifat fakultatif anaerob, artinya dapat hidup baik dengan maupun tanpa
adanya oksigen. Walaupun demikian, untuk fermentasi silase harus dicapai
suasana anaerob sehingga adanya oksigen dapat dianggap sebagai racun dan
penyebab kegagalan.
Menurut Schroeder (2004), akselerator berfungsi menambahkan bahan
kering, mengurangi kadar air silase, membuat suasana asam pada silase,
mempercepat proses ensilase, menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan
jamur, merangsang produksi asam laktat, dan meningkatkan kandungan nutrisi
dari silase. Dengan kata lain, akselerator ini dapat menghindari kegagalan pada
saat proses fermentasi silase berlangsung.
Banyak jenis dalam menambahkan starter bakteri asam laktat antara lain
dapat menggunakan cairan rumen, EM4-Peternakan, dan EM4-Peternakan yang
dikembangbiakkan sebagai biodekomposernya. Selain itu dapat pula dengan cara
menambahkan starter fermentasi. Perbedaan dari kandungan karbohidrat mudah
larut dan bakteri inokulan memengaruhi kualitas silase yang dihasilkan, maka dari
itu untuk mengetahui bagaimana pengaruh penambahan berbagai macam
akselerator terhadap silase perlu dilakukan pengujian kualitas silase tersebut.
Kualitas silase dapat dinilai secara fisik, kimiawi dan biologis. Kualitas
fisik dari silase dapat diketahui dari bau, tekstur, warna, dan keberadaan jamur)
yang dapat dilakukan dengan uji organoleptik dengan menggunakan indera
manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap objek.
Indera yang digunakan pada uji ini yaitu indera penglihatan, peraba, dan pembau
(Suryono et al. 2018). Kemudian terdapat kualitas kimiawi (kandungan nutrien,
nilai Fleigh dan pH silase). Berdasarkan hal diatas maka dilakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh macam akselerator terhadap kualitas fisik dan
kimiawi dari silase tebon jagung.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik yang ditinjau dari
aroma, tekstur, warna dan keberadaan jamur, serta kualitas kimia yang ditinjau
dari kandungan nutrien, keasaman pH dan nilai Fleigh dari silase yang telah
ditambahkan pemberian starter fermentasi.


TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Jagung

Tanaman jagung salah satu tanaman pangan utama kedua setelah padi
yang sangat berguna bagi kehidupan manusia dan ternak, hampir keseluruhan
bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan. Selain sebagai komoditas pangan, jagung
dibutuhkan sebagai penyusun utama bahan pakan ternak terutama unggas. Di
Indonesia, jumlah kebutuhan jagung meningkat dari tahun ke tahun dalam jumlah
yang cukup tinggi karena adanya permintaan dari industri pakan ternak
(Departemen Pertanian 2007). Oleh sebab itu, Pemerintah berusaha keras untuk
meningkatkan produksinya melalui perluasan penanaman tanaman jagung.
Tanaman jagung dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Astawan dan Wresdiyati
2004):
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L
Seiring berjalannya waktu, penelitian dan pemanfaatan limbah dari
tanaman jagung sebagai hasil sampingan dilakukan untuk ternak ruminansia
maupun non ruminansia. Beberapa limbah dari tanaman jagung yaitu:
● Tebon jagung adalah seluruh tanaman jagung termasuk batang, daun dan
buah jagung muda yang umumnya dipanen pada umur tanaman 45 – 65
hari (Soeharsono dan Sudaryanto 2006). Ada yang menyebut tebon jagung
tanpa memasukkan jagung muda ke dalamnya. Biasanya petani jagung
seperti ini bekerja sama dengan peternak besar; petani hanya menanam
jagung sebagai hijauan dan pada umur tertentu (masih dalam tahap baru
berbuah atau tahap buah muda) seluruh tanaman jagung dipangkas dan
dicacah untuk diberikan langsung ke ternak dan atau dimasukkan ke dalam
tempat tertutup untuk dibuat silase.
● Jerami jagung/brangkasan adalah bagian batang dan daun jagung yang
telah dibiarkan mengering di ladang dan dipanen ketika tongkol jagung
dipetik. Jerami jagung seperti ini banyak diperoleh di daerah sentra
tanaman jagung yang ditujukan untuk menghasilkan jagung bibit atau
jagung untuk keperluan industri pakan; bukan untuk dikonsumsi sebagai
sayur (Mariyono et al. 2004).
● Kulit buah jagung/klobot jagung adalah kulit luar buah jagung yang
biasanya dibuang. Kulit jagung manis sangat potensial untuk dijadikan
silase karena kadar gulanya cukup tinggi (Anggraeny et al. 2005).
● Tongkol jagung/janggel adalah limbah yang diperoleh ketika biji jagung
dirontokkan dari buahnya. Akan diperoleh jagung pipilan sebagai produk
utamanya dan sisa buah yang disebut tongkol atau janggel (Rohaeni et al.
2006b).
● Tumpi, hasil sampingan yang dihasilkan pada saat pemipilan/perontokan
biji jagung selain tongkol dan merupakan bagian pangkal dari biji jagung.
Tumpi bersifat kamba (bulky) (Pamungkas et al. 2004).
● Homini (empok) adalah hasil samping dari industri jagung semolina yaitu
hasil samping dari penggilingan jagung secara kering (dry milling). Terdiri
dari germ yang sudah diekstrak minyaknya, endosperm dan kulit luar yang
masih menempel pada fraksi ini (Umiyasih dan Wina 2008).

Adapun hasil samping dari industri jagung yang ada di luar negeri (Sauvant et
al. 2004) adalah:
● Corn distiller’s adalah hasil samping dari proses distilasi jagung yang
terdiri dari biji-biji sisa dan bahan terlarut dalam proporsi yang bervariasi.
● Corn gluten feed (CGF) adalah hasil samping dari industri pati jagung
yang dihasilkan dari proses penggilingan basah (wet milling). Terdiri dari
campuran dedak, gluten dan kadang-kadang tercampur dengan bahan
konsentrat terlarut dan corn germ. Bahan ini mengandung serat yang
mudah tercerna cukup tinggi.
● Corn gluten meal (CGM) adalah hasil samping dari industri pati jagung
yang dihasilkan dari proses penggilingan basah (wet milling). Terdiri dari
gluten yang diperoleh ketika pati dipisahkan. Mempunyai warna yang
sangat kuning karena mengandung kadar xantofil yang cukup tinggi untuk
pewarna kuning telur. Proteinnya merupakan bypass protein yang tinggi.
● Maize/corn bran (dedak jagung) adalah hasil samping dari industri tepung
jagung atau semolina. Terdiri dari bagian luar biji jagung sebagai
komponen utama yang tercampur dengan beberapa fragmen germ dan
partikel endosperm.
● Maize feed flour adalah hasil samping dari industri tepung jagung atau
semolina. Terdiri dari endosperm sebagai komponen utama, fragmen germ
dan kulit luar.
● Maize germ meal, expeller adalah hasil samping dari industri minyak
jagung. Terdiri dari bungkil (minyak diekstrak secara mekanik) yang
masih ada endosperm dan kulit luarnya.
● Maize germ meal, solvent extracted adalah hasil samping dari industri
minyak jagung. Terdiri dari bungkil (minyak diekstrak dengan pelarut
organik) yang masih ada endosperm dan kulit luarnya.
● Distiller’s dried grains with solubles (DDGS) adalah hasil samping dari
industri bioetanol. Merupakan campuran dari bahan terlarut dan bahan
padatan yang dikeringkan. Fraksi terlarut adalah fraksi cairan setelah
alkohol dipisahkan dengan penguapan dan bahan padatan adalah sisa
padatan yang dipisahkan setelah fermentasi perubahan pati menjadi
alkohol berlangsung.

Tanaman jagung memiliki kandungan, yaitu Bahan Kering (BK) 31,2%,


Abu 7,43%, Protein Kasar (PK) 7,80%, Serat Kasar (SK) 23,55%, Lemak
Kasar (LK) 2,34%, dan BETN 55,66% (Mustika Lisa dan Hartutik 2021).
Tanaman jagung yang baik untuk dibuat silase bagian daun, batang, tongkol
dan kulit tongkol.

Ensilase (Fermentasi Silase)

Silase merupakan hijauan yang telah diawetkan, diproduksi atau dibuat


dari tanaman atau limbah industri pertanian yang dicacah dengan kandungan air
rendah melalui proses ensilase. Ensilase merupakan salah satu teknik pengawetan
hijauan pakan dengan prinsip dasar secepat mungkin membuat kondisi asam dan
anaerob di dalam silo (Chen dan Weinberg 2009). Proses ensilase merupakan
proses pengantar dengan menggunakan bakteri asam laktat. Silase yang terbentuk
sebagai akibat fermentasi asam laktat dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Silase dapat digunakan sebagai pakan alternatif pada musim kering ketika hijauan
sulit diperoleh (Rukmantoro et al. 2001). Penambahan bakteri asam laktat dan
enzim pendegradasi sel pada rumput legum dapat meningkatkan kecernaan dan
kelarutan N, sehingga inokulasi bakteri asam laktat pada silase akan mempercepat
proses fermentasi (Harrison dan Blauwiekel 1994).
Untuk pembuatan silase, dibutuhkan kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu,
tanaman jagung harus dikeringkan sekitar 2 – 3 hari. Limbah dipotong menjadi
potongan-potongan kecil lalu dimasukkan sambil dipadatkan sepadat mungkin ke
dalam kantong-kantong plastik kedap udara atau dalam silo-silo yang berbentuk
bunker (Nusio 2005). Bila dalam proses pembuatan silase suasana kedap udara
tidak 100% maka bagian permukaan silase sering terkontaminasi dan ditumbuhi
oleh bakteri lain yang merugikan seperti bakteri Clostridium tyrobutyricum yang
mampu mengubah asam laktat menjadi asam butirat (Driehuis dan Giffel 2005).
Bila seluruh tanaman jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase maka
karbohidrat terlarut yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sudah
mencukupi. Bila yang dibuat silase hanya jerami jagung atau kulit jagung, maka
perlu ditambahkan molases sebagai sumber karbohidrat terlarut atau dapat pula
ditambahkan starter (bakteri atau campurannya) untuk mempercepat terjadinya
silase (Umiyasih dan Wina 2008).
Sebagian bakteri pada proses ensilase memecah selulosa dan hemiselulosa
menjadi gula sederhana. Sebagian lagi bakteri menggunakan gula sederhana
tersebut menjadi asam asetat, laktat atau butirat. Proses fermentasi yang sempurna
harus menghasilkan asam laktat sebagai produk utamanya, karena asam laktat
yang dihasilkan akan berperan sebagai pengawet pada silase yang berfungsi
sebagai pelindung hijauan dari kerusakan atau serangan mikroorganisme
pembusuk.
Proses fermentasi diawali dengan menghilangkan oksigen atau membuat
suasana anaerob melalui pengepakan secara rapat. Saat suasana anaerob tercapai,
bakteri yang jumlahnya sedikit mulai berkembang dan mengkonversi karbohidrat
tanaman menjadi asam, CO2 dan panas (Pioneer 2004). Proses fermentasi silase
memakan waktu sedikitnya 21 hari untuk mencapai hasil yang optimal (Schroeder
2004). Menurut Elferink (2010), proses fermentasi pada silase terdapat 4 tahapan,
yaitu:
1. Fase aerobik, normalnya fase ini berlangsung sekitar beberapa jam
yaitu ketika oksigen yang berasal dari atmosfir dan berada diantara
partikel tanaman berkurang. Oksigen yang berada diantara partikel
tanaman digunakan untuk proses repirasi tanaman, mikroorganisme aerob,
dan fakultatif aerob seperti yeast dan Enterobacteria.
2. Fase fermentasi, fase ini merupakan fase awal dari reaksi anaerob. Fase
ini berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa minggu tergantung
dari komposisi bahan dan kondisi silase. Jika proses ensilase berjalan
sempurna maka bakteri asam laktat sukses berkembang. Bakteri asam
laktat pada fase ini menjadi bakteri predominan dan menurunkan pH silase
sekitar 3,8-5.
3. Fase stabilisasi, fase ini merupakan kelanjutan dari fase kedua. Fase
stabilisasi menyebabkan aktivitas fase fermentasi menjadi berkurang
secara perlahan sehingga tidak terjadi peningkatan atau penurunan nyata
pH, bakteri asam laktat, dan total asam
4. Fase feed-out atau aerobic spoilage phase. Silo yang sudah terbuka dan
kontak langsung dengan lingkungan maka akan menjadikan proses aerobik
terjadi. Hal yang sama terjadi jika terjadi kebocoran.
Lama waktu fermentasi berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri asam
laktat, dimana semakin lama fermentasi maka semakin banyak waktu yang
diperlukan oleh bakteri asam laktat untuk berkembang di dalam substrat, sehingga
populasi bakteri asam laktat semakin meningkat.
Namun sampai saat ini proses adopsi teknologi ini tetap saja rendah di
tingkat peternak padahal di Indonesia terutama di daerah Indonesia bagian Timur
sering terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan kekurangan pakan
berkualitas. Kendala yang dihadapi kemungkinan adalah tidak adanya ruang
penyimpanan yang memadai. Bila silase dibuat dalam kantong plastik, dibutuhkan
suasana kedap udara dan plastik tidak boleh robek atau bocor. Gigitan tikus
biasanya merupakan penyebab utama kantong plastik robek/bocor. Kendala lain
adalah tidak adanya tambahan modal untuk menyediakan/membeli kantong
plastik atau ember/drum plastik. Kurangnya waktu untuk membuat silase karena
petani biasanya sibuk untuk mengeringkan hasil panen biji-biji jagung terlebih
dahulu.
Bakteri Asam Laktat

Hal yang perlu diperhatikan pada proses fermentasi silase adalah


mengupayakan secepat mungkin produksi asam sehingga akan semakin sedikit
kehilangan nutrien yang terkandung pada hijauan yang dibuat silase, karena pada
saat pembentukan asam ini terjadi kehilangan BK hijauan. Namun, silase yang
berkualitas tinggi di daerah tropis sulit dihasilkan karena rendahnya bakteri asam
laktat (BAL) dan karbohidrat yang larut dalam air (WSC) pada hijauan tropis
(Pholsen et al. 2016). Selain itu, umumnya hijauan di daerah tropis memiliki
kandungan air yang cukup tinggi (>80%) yang menyebabkan asam butirat
menjadi produk fermentasi utama sehingga proses ensilase tidak berhasil (Pholsen
et al. 2016). Untuk itu perlu dilakukan pelayuan dan penambahan zat aditif dan
BAL dalam proses ensilase.
Penambahan Bakteri asam laktat (BAL) pada pembuatan silase
dimaksudkan untuk mempercepat peningkatan populasi mikroba di dalam silo
sehingga dengan demikian dapat diharapkan terjadinya proses fermentasi
karbohidrat (CHO) dengan cepat, yang selanjutnya akan mempercepat
dihasilkannya kondisi asam dan anaerob di dalam silo (Harrison dan Blauwiekel
1994). BAL sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan pembuatan silase.
Secara alami pada hijauan terdapat BAL yang hidup sebagai bakteri epifit, tetapi
jumlahnya tidak dapat dipastikan mencukupi untuk mengendalikan proses
fermentasi yang akan berlangsung. Oleh karena itu, untuk menghindarkan
kegagalan fermentasi sangat dianjurkan untuk melakukan penambahan inokulan
BAL agar fermentasi berlangsung dengan sempurna.
Karakter BAL yang perlu diketahui dalam kaitannya sebagai inokulan
adalah bersifat fakultatif anaerob, artinya dapat hidup baik dengan maupun tanpa
adanya oksigen. Dapat dikatakan BAL fleksibel terhadap oksigen. Walaupun
demikian, untuk fermentasi silase harus dicapai suasana anaerob sehingga adanya
oksigen dapat dianggap sebagai racun dan penyebab kegagalan.
Bila yang dibuat silase hanya jerami jagung atau kulit jagung, maka perlu
ditambahkan molases sebagai sumber karbohidrat terlarut atau dapat pula
ditambahkan starter (bakteri atau campurannya) untuk mempercepat terjadinya
silase. Mikroba yang ditambahkan biasanya bakteri penghasil asam laktat seperti
L. plantarum, L. casei, L. lactis, L. buchneri, Pediococcus acidilactici,
Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun (Nusio 2005).
Salah satu jenis bakteri asam laktat yang baik digunakan sebagai aditif
dalam silase adalah Lactobacillus plantarum. Bakteri ini ditambahkan dengan
tujuan untuk mempercepat proses penurunan pH silase. Rendahnya pH akan dapat
meningkatkan daya simpan dari silase tersebut, sehingga diharapkan silase dapat
bertahan lebih lama jika disimpan. Saat hijauan di ensilase, BAL akan meningkat
jumlahnya dan memfermentasi water soluble carbohydrate (WSC) menjadi asam
organik serta menghambat pertumbuhan bakteri lain. Pada pH 3,8 – 4,0 aktivitas
mikroba akan berhenti dan material yang di ensilase menjadi stabil (Chalisty et al.
2017).
Yakult mengandung Lactobacillus casei strain Shirota (LcS) di dalamnya.
Strain terpilih dan inokulan yang digunakan dalam penelitian Pholsen et al.
(2016),
L. plantarum, L. rhamnosus dan L. casei. Mereka dapat tumbuh dengan baik pada
kondisi pH rendah, mendorong fermentasi asam laktat dan menghambat
pertumbuhan bakteri aerob dan koliform (Cai et al. 1999). Lactobacilli sering
ditemukan hidup berasosiasi dengan silase, dan beberapa yang diisolasi dari
tanaman hijauan dan silase telah diidentifikasi sebagai L. plantarum dan L. casei
(Cai et al. 1998). Semua strain BAL adalah gram positif, pembentuk batang
pendek, katalase-negatif, dan lactobacillus anaerob fakultatif yang tidak
menghasilkan gas dari glukosa dan mampu tumbuh pada suhu dari 15°C hingga
45°C. Semua strain dapat hidup dalam keadaan aerob maupun anaerob atau
keduanya.
Ada beberapa laporan tentang lactobacilli yang menyusun populasi
mikroba utama tanaman hijauan dan silase, di mana mereka dapat berkontribusi
pada fermentasi silase. Beberapa laktobasilus terkait silase telah dicirikan oleh
fitur fenotipik dan urutan gen 16S rRNA dan telah dideskripsikan sebagai spesies
baru: misalnya, L. paraplantarum, L. brevis, L. buchneri, L. acidophilus, L.
plantarum,
L. fermentum, L. casei dan L. pentosus (Moon 1984). Penambahan BAL pada
ensiling dimaksudkan untuk memastikan fermentasi cepat dan kuat yang
menghasilkan lebih cepat produksi asam laktat, nilai pH lebih rendah pada tahap
awal fermentasi silase, dan penghambatan pertumbuhan beberapa bakteri
berbahaya (Cai et al. 1999).
Strain terpilih TH 14 diisolasi dari silase tropis diidentifikasi sebagai spesies
L. casei berdasarkan analisis 16 Urutan gen S rRNA dan keterkaitan DNA-DNA.
Strain ini mampu tumbuh pada pH rendah dan inokulasi herba dengan TH 14
menghasilkan akumulasi asam laktat selama ensilase dibandingkan untuk semua
inokulan lain yang digunakan dalam penelitian ini. Karena itu, L. casei TH14
dianggap cocok sebagai inokulan potensial untuk pembuatan silase (Pholsen et al.
2016).

Feed Additive

Kualitas silase diantaranya dipengaruhi oleh jenis aditif. Imbuhan pakan


atau feed additive adalah suatu bahan yang dicampurkan ke dalam pakan yang
dapat mempengaruhi kesehatan, produktivitas maupun keadaan gizi ternak,
meskipun bahan tersebut bukan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi. Imbuhan
pakan yang sudah umum digunakan dalam industri perunggasan adalah antibiotik,
enzim, prebiotik, probiotik, asam organik, flavor, pewarna dan antioksidan. Hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pakan tambahan adalah spesifikasi
pakan tambahan yang dibutuhkan ternak. Tujuan produksi ternak adalah
pertimbangan utama untuk memberikan feed additive. Banyak tanaman yang
terdapat di Indonesia yang mempunyai potensi untuk dijadikan imbuhan pakan
(Sulistyoningsih et al. 2014).
Bahan aditif berupa water soluble carbohydrate (WSC) bisa ditambahkan
pada proses pembuatan silase dengan tujuan mempercepat ensilase. Keberhasilan
pada pembuatan silase dipengaruhi oleh kandungan WSC, kadar air hijauan yang
digunakan, jumlah bakteri asam laktat (BAL), dan kadar oksigen. Apabila saat
ensilase berlangsung, terjadi kekurangan WSC, maka dapat menyebabkan BAL
kekurangan asupan energi untuk pertumbuhannya, sehingga dapat menyebabkan
kandungan asam laktat menjadi rendah dan penurunan pH yang lambat. Maka,
untuk menjamin ketersedian kandungan WSC yang baik untuk keberhasilan
proses ensilase perlu dilakukan penambahan bahan aditif (Jasin 2015). Salah satu
contoh aditif untuk silase yaitu, molases, dedak, EM-4 peternakan.
Dalam proses ensilase menurut Sahid et al. 2022, semakin lama waktu
fermentasi dengan penambahan dedak fermentasi, akan terjadi penurunan derajat
keasaman (pH) silase yang akan meningkatkan kecepatan hidrolisis secara
kimiawi beberapa polisakarida seperti hemiselulosa dan menurunkan kandungan
lignin di dalamnya. Lignin merupakan komponen dinding sel yang tidak dapat
dicerna dan berikatan kuat dengan selulosa dan hemiselulosa. Ikatan lignin dengan
selulosa dan hemiselulosa dapat diregangkan oleh adanya asam atau basa,
sehingga memudahkan bakteri dalam mendegradasi zat-zat makanan yang
terdapat dalam isi sel tanaman. Salah satu asam yang dapat melonggarkan ikatan
lignoselulosa adalah asam laktat yang dihasilkan pada proses ensilase, dengan
demikian selulosa mudah dicerna oleh mikroba rumen. Selain itu, pada awal
proses ensilase diharapkan terjadi peregangan ikatan lignoselulosa yang dilakukan
oleh mikroorganisme seperti jamur lignoselulolitik yang berasal dari SOC isi
rumen dalam dedak fermentasi. Selulosa merupakan komponen utama penyusun
dinding sel pada tanaman. Pada dinding sel tanaman tingkat tinggi kandungan
selulosa berkisar antara 35% sampai dengan 50% dari berat kering tanaman (Lynd
et al. 2002). Pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia
sangat tergantung pada ikatan yang memproteksi selulosa tersebut. Selulosa dan
hemiselulosa pada lignoselulosa dapat dihidrolisis oleh enzim selulase dan
hemiselulase, jika lignin yang ada pada substrat sudah dihilangkan atau
dilonggarkan terlebih dahulu.

Molases

Selain bakteri asam laktat, bahan aditif lainnya yang biasa ditambahkan
pada silase yaitu molases. Molases berguna sebagai sumber karbohidrat mudah
larut atau WSC (Chalisty et al. 2017). Molases (tetes tebu). yaitu hasil samping
dari pengolahan tebu menjadi gula yang masih mengandung gula dan asam-asam
organik cukup tinggi. Kandungan sukrosa dalam molases adalah 48-55%
(Sebayang 2006) sehingga sering digunakan peternak untuk sumber makanan
mikroorganisme dalam proses pembuatan pakan fermentasi.
Molases banyak mengandung karbohidrat mudah larut dan merupakan
aditif yang umum ditambahkan sebanyak 3-5% dari bahan yang difermentasi
(Mcllroy 1976). Jumlah karbohidrat mudah larut yang terdapat dalam molases
adalah 650 g/kg bahan kering, atau sekitar 65 %, sebagian besar terdapat dalam
bentuk sukrosa (Mc Donald et al. 1991), dan kandungan sukrosa berkisar antara
40 sampai 60 % (Dumbre Patil et al. 2008). Menurut Sukria dan Krisnan (2009),
molases mengandung kadar air 23%, bahan kering 77%, protein kasar 4,2%,
lemak kasar
0,2%, serat kasar 7,7%, Ca 0,84%, P 0,09%, BETN 57,1%, abu 0,2. Molases
merupakan sumber energi bagi mikroba selama proses fermentasi berlangsung,
penambahan molases dalam proses fermentasi memberikan sumbangan bagi
ketersediaan karbohidrat terlarut yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
bakteri, seperti kelompok bakteri asam laktat (Dhalika T et al. 2021). Penambahan
molases pada silase dapat meningkatkan populasi bakteri asam laktat,
meningkatkan kualitas silase dan menghindari berkurangnya bahan kering pada
silase (McDonald et al. 2002).

EM-4 Peternakan

Bioteknologi EM-4 atau Effective Microorganism-4 merupakan cairan


yang berwarna coklat kekuning-kuningan yang berisi berbagai macam
mikroorganisme yang menguntungkan hasil fermentasi dari bahan-bahan organik
yang ditemukan oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryukyu Okinawa
Jepang sekitar tahun 1980-an. Mikroorganisme dalam EM-4 berupa bakteri seperti
bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat seperti Lactobacillus plantarum,
actinomycetes, ragi, dan jamur fermentasi. Penambahan EM-4 dalam silase
diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan kualitas silase selama proses
fermentasi (Sayuti et al. 2019).
Dalam bidang peternakan teknologi ini dapat digunakan untuk
memperbaiki nilai nutrisi hasil sampingan pertanian, dan bahan yang kurang
berdaya guna untuk dijadikan bahan pakan (Telew C et al. 2013). EM-4 memiliki
empat warna dengan fungsi yang berbeda, warna biru untuk pengolahan hasil
sampingan, warna coklat kemerahan untuk peternakan, warna kuning untuk
tanaman, dan warna merah muda untuk perikanan dan tambak. EM-4 merupakan
Effective microorganism-4 yang yang mengandung mikroba Lactobacillus casei
1.5x106 cfu/ml, Saccharomyces cerevisiae 1.5x106 cfu/ml, dan
6
Rhodopseudomonas palustris 1.0x10 cfu/ml. Menurut Satria dan Nurhasanah
(2010), kandungan bakteri Lactobacillus dan Actinomycetes dalam EM-4 dapat
mendegradasikan kandungan serat dan lignin, karena kedua bakteri tersebut dapat
memproduksi enzim selulase dan ligninase. EM-4 sangat berpengaruh terhadap
penguraian zat yang akan menjadikan bahan fermentasi tersebut lebih berkualitas.
Hasil penelitian Winedar (2006) penggunaan pakan yang difermentasi dengan
EM- 4 menyebabkan peningkatan daya cerna dan kandungan protein bahan.

Kualitas Fisik dan Kimia

Kualitas silase dapat ditentukan secara organoleptik maupun kimiawi,


secara organoleptik ciri-ciri silase yang baik: 1) Tekstur tidak berubah, 2) tidak
menggumpal, 3) warna hijau seperti daun direbus, 4) rasa dan bau asam, tetapi
tidak terdapat asam butirat, 5) tidak berlendir dan tidak berjamur (Soenarto 1976).
Menurut Anjalani R et al. (2017), faktor penentu keberhasilan ensilase, yaitu
kualitas bahan yang meliputi umur, kadar air, dan kandungan karbohidrat mudah
terfermentasi pada hijauan. Faktor selanjutnya adalah proses penyimpanan bahan
baku meliputi proses pengurangan kadar air dan pemotongan bahan. Faktor yang
terakhir adalah proses pembuatan silase, meliputi ada atau tidaknya penambahan
bahan aditif, cara dalam pengisian silo, cara pemadatan silo, dan cara penutupan
silo.
Produk silase jagung yang baik atau sudah jadi ditandai dengan bau yang
agak asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar 4) dan berwarna coklat muda
karena warna hijau daun dari klorofil akan hancur sehingga limbah menjadi
kecoklatan. Bila ditambah molases, silase yang dihasilkan agak berbau sedikit
harum. Walaupun baunya agak asam, akan tetapi cukup palatabel bagi ternak.
Warna silase merupakan salah satu penilaian dari kualitas fisiknya. Hasil
yang diperoleh dari analisis yaitu silase yang dibuat memiliki warna hijau
kecoklatan. Warna coklat pada silase disebabkan karena adanya pigmen
phatophitin suatu derivate chlorophyl yang tidak ada magnesiumnya (Hidayat
2014). Warna silase yang berwarna hijau cerah atau hijau kecoklatan merupakan
warna yang normal untuk silase rerumputan Wati et al. (2018). Sehingga silase
yang dibuat memiliki kualitas yang baik karena memiliki warna hijau kecoklatan.
Sedangkan warna silase yang tidak normal yaitu berwarna kehitaman hal ini
dikarenakan adanya respirasi yang panjang. Respirasi yang panjang disebabkan
karena terdapat oksigen sehingga proses fermentasinya tidak anaerob. Jika
didapatkan silase yang memiliki warna kehitaman maka silasi tersebut kurang
baik. Aroma yang dihasilkan dari silase adalah aroma asam seperti asam tapai.
Aroma asam pada silase ini normal, sedangkan aroma yang tidak normal berbau
busuk. Aroma asam dikarenakan adanya pertumbuhan bakteri asam laktat selama
proses fermentasi. Selain itu penambahan molases dan suplemen organik cair
(SOC) berfungsi sebagai starter untuk mengoptimalkan kualitas silase menjadi
lebih baik. Dengan penambahan molases dan suplemen organik cair (SOC) dapat
mempermudah dan mempercepat proses fermentasi pakan ternak. SOC sangat
cocok digunakan untuk fermentasi pakan ternak. Fermentasi menggunakan
produk SOC juga menguntungkan dari sisi produksi hewan ternak yaitu membuat
ternak cepat gemuk (Jaelani et al. 2018). Tekstur silase yang dihasilkan yaitu
masih utuh berbentuk rumput dan lebih lunak jika dibandingkan dengan rumput
segar. Tekstur rumput masih terlihat jelas karena proses fermentasi hanya sebentar
yaitu 2 minggu. Selain itu teksturnya basah dan mengandung lebih banyak air
dibandingkan dengan hijauan segar. Hal ini dikarenakan penambahan air yang
terlalu banyak. Sedangkan menurut Hidayat et al. (2012) silase dikatakan berhasil
jika proses pembuatan silase menghasilkan tekstur silase yang remah.
Hijauan yang baik memiliki ciri-ciri pH < 4.5, kandungan asam laktat yang
tinggi vs asam asetat, kandungan N-amonia < 1% BK dan kandungan asam butirat
dalam BK < 0.5% (Harrison dan Blauwiekel 1994). Gunawan et al. (1988)
menyatakan bahwa kualitas silase dikategorikan baik jika pH 3,5-4,5. Aktivitas
ensilase yang dilakukan oleh bakteri asam laktat akan mengakibatkan pH menjadi
rendah. Bakteri asam laktat akan memecah substrat karbohidrat menjadi asam
laktat sehingga pH menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Hristov dan
McAllister (2002) yang menyatakan bahwa penambahan inokulan bertujuan
mempercepat turunnya pH lingkungan dalam proses ensilase sehingga bakteri
yang mampu hidup adalah bakteri yang tahan kondisi asam.
Nilai Fleigh
Untuk menentukan kualitas silase, salah satunya cara yang dapat dilakukan
yaitu dengan menghitung nilai fleigh silase tersebut. Nilai fleigh ditemukan oleh
Killic pada tahun 1984. Nilai fleigh merupakan angka yang diperoleh dari
perhitungan pH dan bahan kering silase yang dapat digunakan untuk menentukan
kualitas silase. Tingginya nilai fleigh disebabkan oleh tingginya BK silase dan
rendahnya nilai pH silase yang dicapai, seperti yang diperlihatkan dari rumus
perhitungan.
Nilai fleigh dihitung berdasarkan formula Killic (1984) yaitu:

NF = 220 + (2 x % BK – 15) – (40 x


Penambahan tepung gaplek pada pembuatan silase limbah sayuran
menyebabkan pengaruh yang nyata terhadap nilai fleigh yang disebabkan oleh
persentase kadar bahan kering dari tepung gaplek, sehingga berpengaruh pada
kualitas silase berdasarkan nilai fleigh (Bangsa et al. 2015).

Lactobacillus Plantarum
Lactobacillus plantarum mampu menghasilkan jumlah BAL lebih tinggi
dibandingkan dengan fermentasi yang dilakukan oleh Lactobacillus casei. Habitat
Lactobacillus plantarum yaitu pada fermentasi tanaman dan sayuran (Axelsson L
dan Ahrné S 2000). Lactobacillus plantarum merupakan BAL yang diisolasi
produk fermentasi sayuran juga buah-buahan sehingga mampu tumbuh lebih baik
dibandingkan Lactobacillus casei pada medium fermentasi tepung kulit pisang.
Lactobacillus plantarum mampu tumbuh lebih optimal dan memproduksi asam
lebih tinggi pada fermentasi sayuran dan buah dibandingkan bakteri asam laktat
lainnya (Kusuma dan Zubaidah 2016).
Penurunan total gula pada medium fermentasi yang difermentasi oleh
Lactobacillus plantarum memiliki penurunan nilai total gula tertinggi yakni
sebesar 0.54%. Penurunan total gula terjadi seiring dengan peningkatan total BAL
setelah proses fermentasi terjadi. Semakin banyak BAL yang tumbuh pada produk
maka semakin banyak gula yang dipecah menjadi asam laktat dan energi (Sari
2007). Sukrosa yang merupakan disakarida akan diurai terlebih dahulu menjadi
monosakarida-monosakarida penyusunnya yaitu fruktosa dan glukosa, selanjutnya
glukosa akan dimanfaatkan oleh Lactobacillus casei dan Lactobacillus plantarum
sebagai sumber energi dan sebagian lagi akan dimetabolisme lebih lanjut menjadi
asam-asam organik terutama asam laktat (Yusmarini dan Efendi 2004).
Medium fermentasi tepung kulit pisang kepok yang difermentasi oleh
Lactobacillus plantarum mengalami penurunan pH lebih besar dibandingkan
Lactobacillus casei. Lactobacillus plantarum dapat mempercepat penurunan pH
dibandingkan mikroorganisme lain (Khasanah dan Wikandari 2014). Penurunan
pH dipengaruhi oleh total asam produk. Asam laktat yang diproduksi akan
terdisosiasi
menghasilkan H+ dan CH3CHOCOO- sehingga semakin tinggi asam laktat maka
memungkinkan semakin tinggi ion H+ yang terbebaskan dalam medium (Singleton
dan Sainsburry 1988).
Penurunan kadar pati dapat terjadi karena kedua bakteri Lactobacillus
casei dan Lactobacillus plantarum yang memiliki kemampuan amilolitik dimana
mampu memecah sumber pati untuk digunakan sebagai sumber energi dengan
menghasilkan enzim amilase ekstraseluler untuk mem fermentasi pati menjadi
asam laktat (Ryan et al. 2006). Penurunan serat kasar dapat terjadi karena kedua
bakteri Lactobacillus casei dan Lactobacillus plantarum dapat memfermentasi
serat kasar menjadi senyawa SCFA (Short Chain Fatty Acid) yang berupa asam
propionat, asam butirat, asam laktat, juga asam asetat walaupun laju
pemecahannya lebih lambat daripada pemecahannya terhadap serat pangan larut
(Karpinnen 2003).

Nanas
Kulit nanas berpotensi untuk diolah menjadi minuman probiotik.
Komponen terbesar limbah kulit nenas selain air adalah karbohidrat sehingga kulit
nenas dapat menjadi substrat yang baik untuk pertumbuhan mikroba (Sidharta
1989). Kulit buah nenas dapat mencapai 47% dari total buah dan menurut Yulita
(1989) komposisi kimiawi kulit nenas adalah air sebesar 87,80%, total gula
sebesar 8,60% dan gula pereduksi sebesar 1,35%.
Kulit nanas memiliki kandungan gizi yang baik yaitu bahan kering
88,95%, protein kasar 8,78%, serat kasar 17,09%, lemak kasar 1,15%, abu 3,82%
dan BETN
66,89% (Nurhayati 2008). Sedangkan menurut Ramadhan (2016), kandungan gizi
kulit nanas yaitu protein kasar 8,86%, serat kasar 19,49%, lemak kasar 1,88%, abu
4,52%, BETN 65,68% dan metabolisme energi 1995,35 kkal/kg. Lebih lanjut
Ginting et al. (2005) menyatakan kulit nanas mengandung nutrien yang cukup
tinggi yaitu bahan kering 14,22%, bahan organik 81,90%, abu 8,1%, protein kasar
3,50%, serat kasar 19,69%, lemak kasar 3,49% dan neutral digestible fiber (NDF)
57,27% dan merupakan sumber energi dengan kandungan bruto 4.481 kkal.
Sruamsiri et al. (2007) menyatakan bahwa kulit nanas kaya akan karbohidrat yang
mudah dicerna dan enzim bromelin yang berguna untuk membantu dalam
pencernaan protein.
Menurut Wulandhari et al. (2017), penambahan kombinasi ekstrak nanas
pada pakan buatan dan probiotik pada media pemeliharaan menunjukkan hasil
yang signifikan terhadap laju pertumbuhan relatif dan efisiensi pemanfaatan pakan
pada ikan tawes. Faktor ekstrak nanas ini lebih berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan karena dapat dimanfaatkan dengan baik oleh ikan tawes. Hal ini
diduga enzim bromelin yang terdapat dalam ekstrak nanas dapat menghidrolisis
protein pakan menjadi unsur yang lebih sederhana. Penambahan dosis yang tepat
mempengaruhi pertumbuhan. Pertumbuhan dapat meningkat seiring dengan
bertambahnya dosis lalu menurun saat dosis sudah melampaui batas keefektifan
kerja enzim dalam tubuh ikan. Hasil penelitian Noviandi et al. (2018)
mengungkapkan bahwa
penggunaan limbah kulit nanas tidak mempunyai efek dalam meningkatkan bobot
badan ayam dan juga persentase karkas.
Tabel 1. Komposisi kimia buah nanas segar.
Komponen Kandungan
Total padatan terlarut (%) 10.8 - 17.5
Abu (%) 0.3 - 0.42
Serat (%) 81.2 - 86.2
Nitrogen (%) 0.3 - 0.61
Eter (%) 0.2
Ester (ppm) 1.0 - 250
Pigmen (mg/100 gr bahan)
Karoten 0.13 - 0.29
Xantophyl 0.03
Karbohidrat (%)
Glukosa 1.0 - 3.2
Fruktosa 0.6 - 2.3
Sukrosa 5.9 - 12.0
Pati < 0.002
Selulosa 0.43 - 0.54
Heksosan 0.10 - 0.15
Pentosan 0.33 - 0.43
Pektin 0.06 - 0.16
Asam Organik (%)
Asam Sitrat 0.32 - 1.22
Asam Malat 0.10 - 0.47
Asam Oksalat 0.005
Total asam tertitrasi 0.62 - 1.62
Vitamin (μg/100gr)
p-aminobenzoat 17.0 - 22.0
Asam Folat 2.5 - 4.8
Niacin 200.0 - 280.0
Asam pantotenat 75.0 - 163.0
Vitamin A 0.02 - 0.04
Thiamin 69.0 - 125.0
Vitamin B6 10.0 - 140.0
Asam Askorbat (mg/100gr) 10.0 - 25.0
Sumber: Samson (1982).

Susu Sapi Segar


Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar
susu mamalia. Secara kimiawi susu mempunyai susunan sebagai berikut: air
(87,20%), lemak (3,70%), protein (3,50%), laktosa (4,90%), dan mineral (0,07%)
(Suwito 2012). Produk susu fermentasi yoghurt, yakult dan minuman susu laktat
lainnya tergolong produk pangan fungsional yang mengandung mikroba hidup
yang
bermanfaat terhadap kesehatan. Mikroba tersebut adalah bakteri asam laktat
(BAL). Diketahui beberapa dari genus BAL merupakan bakteri probiotik.
Makanan dan minuman probiotik memiliki manfaat kesehatan yaitu: membantu
proses sistem pencernaan (enzim laktase, merangsang fungsi dinding usus) dan
penyerapan zat gizi, menghambat dan membunuh bakteri patogen dalam saluran
pencernaan seperti
E. coli, S. aureus, S. typhimurium, v. cholerae, dan M. tubercolusis, mencegah
konstipasi, sebagai anti kanker, menurunkan kolesterol darah, mencegah Lactose
intolerant, meningkatkan respon imuno tubuh (Azria 1986). Bakteri probiotik
merupakan bakteri yang dapat meningkatkan kesehatan. Bakteri kandidat
probiotik harus bertahan hidup dalam saluran pencernaan setelah dikonsumsi.
Bakteri ini tahan terhadap lisozim, enzim di air liur, asam lambung, garam
empedu dan memiliki aktivitas antibakteri. Serta mampu melekat pada sel
epithelia, berkolonisasi dan menjaga keharmonisan komposisi bakteri saluran
pencernaan (Inggrid 2016).

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Ananta Farm sukabumi untuk pembuatan silase


kemudian dilajutkan pengujian sample di IPB University, Dramaga, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat pada bulan Maret 2023 - Mei 2023. Analisis kualitas pakan
akan dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan serta Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.

Materi

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, plastik kedap udara,
penyiram tanaman, timbangan digital, buku, pulpen, borang penilaian panelis, pH
meter, oven, toples plastik, blender, mesin chopper, tabung reaksi, gelas ukur,
labu erlnmeyer, serta mortar dan pastel.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tebon jagung, molases,
EM-4, aquadest, starter fermentasi Ananta, konsentrat. Bahan pengujian
digunakan MRS-B, bacto agar, NaCl, CaCO3, dan aquadest. Pembuatan silase
tebon jagung menggunakan dua jenis starter fermentasi yaitu starter fermentasi
rumahan dan starter fermentasi komersial. Starter fermentasi rumahan dibuat
dengan bahan susu sapi segar, molases, buah nanas, yakult dan air. Starter
fermentasi komersial yang digunakan, yaitu EM-4 Peternakan dan molases.
Prosedur Penelitian

Persiapan Starter Fermentasi


Persiapan starter fermentasi yang dibutuhkan adalah molases, EM-4, dan
starter fermentasi Ananta. Ketiga jenis tersebut akan digunakan dalam pembuatan
silase tebon jagung. Pembuatan starter menggunakan susu sapi segar dengan suhu
normal, molases yang telah dicairkan, nanas yang telah dibuat menjadi jus nanas,
serta diberikan penambahan yakult. Komposisi pembuatan starter sebagai berikut.

Tabel 1. Komposisi Starter Ananta Farm.


Bahan Jumlah (g) Jumlah (%)
Susu Sapi Segar 19.61 49.02
Molases 5.88 14.71
Yakult 1.18 2.94
Nanas 1.57 3.92
Air 11.76 29.41
Total 40 100
*Untuk (1 kg) silase tebon jagung

Kemudian starter dimasukkan sebanyak 8 ml ke dalam jerigen kecil


berukuran 10 ml. Terdapat 5 kali pengulangan dengan 13 hari masa penyimpanan.
Sehingga terdapat 5 total sample yang diuji secara kuantitatif menggunakan
Teknik Total Plate Counting menggunakan media MRS-B dengan bacto agar.
Pengujian ini dilakukan selama 13 hari (sebanyak 4 kali).

Tabel 3. Perhitungan total kuantitatif bakteri starter Ananta Farm.


Sample Jumlah bakteri
hari ke- 0 2 4 7 10 13
3
5
11
12

Pengujian kuantitas bakteri strater fermentasi Ananta


Pengujian dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Counting), teknik
pour plate selama 4 kali pengujian (13 hari).

Gamb
ar 1. Skema pengenceran sampel untuk uji total sel bakteri (Madigan et al. 2011).
Pembuatan Pakan Silase Tebon Jagung
Tebon jagung dilayukan selama kurang lebih 2 - 3 hari untuk menurunkan
kadar air hingga 60%, kemudian dicacah menggunakan mesin chopper. Tebon
jagung yang sudah di chopper disiram dengan starter fermentasi secara bertahap
kemudian dimasukkan ke dalam plastik hingga padat. Lalu, silase akan
disimpan di tempat yang terhindar cahaya matahari selama 30 hari.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan setiap perlakuan
diulang sebanyak tiga kali sehingga jumlah satuan percobaan ada 12 unit. Adapun
faktor dalam penelitian ini yaitu penambahan starter fermentasi (tanpa starter
fermentasi dan dengan starter fermentasi) sebagai berikut:

R0 = Tebon jagung
R1 = Tebon jagung + Molases 3%
R2 = Tebon jagung + EM-4 Peternakan 3%
R3 = Tebon jagung + Starter Fermentasi Ananta 3%

Model persamaan linear RAL dengan faktor tunggal (Steel et al. 1993):
YIj = μ + τi + €ij
Keterangan:
Yij : Peubah yang diamati pada perlakuan yang diberikan (R1, R2, dan R3) ke-i
dan ulangan ke-j
μ : Rataan nilai tengah pengamatan
τ : Pengaruh perlakuan (R1, R2, dan R3) ke-i
€ij : Galat pada perlakuan (R1, R2, dan R3) ke-i dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan


analisa ragam (Analysis of Variance, ANOVA). Apabila terdapat perbedaan yang
nyata antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.

Tabel 2. Asumsi penilaian uji kualitas fisik silase.


Asumsi nilai warna Asumsi nilai aroma Asumsi nilai tekstur
1: Coklat 1: tidak khas silase 1: basah (menggumpal,
2: Hijau ke 2: agak khas silase berlendir dan berair)
3: Hijau (seperti tape/agak asam) 2: agak basah (agak
3: khas silase menggumpal dan terdapat
lendir)
3: kering (tidak
menggumpal, tidak
berlendir dan remah)

Tabel 3. Score (Nilai Fleigh) dari kualitas silase berdasarkan BK dan pH.
Nilai Fleigh Keterangan
> 85 Baik sekali
60 – 80 Baik
40 – 60 Cukup Baik
20 – 40 Sedang
< 20 Kurang Baik
Idikut et al. (2009).
Peubah yang diamati

Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik silase tebon jagung meliputi aroma, tekstur, warna dan
keberadaan jamur pada silase. Pengamatan dilakukan dengan pengujian sensori
dan dianalisis secara deskriptif.
Karakteristik Kimia (pH dan kandungan nutrisi)
Karakteristik kimia yang diuji pada penelitian ini diamati melalui analisis
proksimat meliputi kandungan bahan kering (BK), abu, protein kasar (PK), serat
kasar (SK), lemak kasar (LK) dan BETN. Kemudian terdapat nilai pH yang
diukur dengan menggunakan pH meter digital. Alat ini sebelum digunakan
dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan.
Nilai Fleigh
Nilai fleigh atau fleigh point merupakan nilai yang digunakan untuk
menentukan kualitas fermentasi pada silase ditinjau dari nilai bahan kering (BK)
dan pH.
Nilai fleigh dihitung berdasarkan formula Killic (1984) yaitu:

NF = 220 + (2 x % BK – 15) – (40 x

Prosedur Pengukuran Peubah


1. Kandungan nutrisi
Kualitas nutrisi silase diamati dengan analisis proksimat menggunakan
metode AOAC (1980) setelah masa penyimpanan 1, 2, 3, hingga 4
minggu. Kandungan nutrisi meliputi kandungan bahan kering (BK).
Sedangkan kandungan abu, protein kasar (PK), serat kasar (SK), lemak
kasar (LK) dan BETN diujikan ketika nilai pH sudah stabil yang
menandakan bahwa silase sudah jadi.

2. Nilai pH
Sebanyak 10 g sampel silase direndam dengan aquadest sebanyak 50 ml.
Setelah itu diaduk dan diamkan selama 15 menit, nilai pH diukur
menggunakan pH meter. Pengukuran pH meter dilakukan setiap 1, 2, 3
hingga 4 minggu.

3. Uji Organoleptik
Sebanyak 5 panelis dengan kemampuan indra yang baik dan mengetahui
karakter silase yang baik. Berdomisili di Bogor dan bersedia untuk datang
pada pengujian berikutnya yaitu sebanyak 4 kali.
Analisis Income Over Feed Cost (IOFC)
Analisis IOFC dilakukan dengan pengurangan harga jual dengan harga beli dan biaya pakan
kemudian dilanjutkan dengan analisis secara deskriptif.

Analisis IOFC (Rp) = (Harga jual - Harga beli) - Biaya pakan


DAFTAR PUSTAKA

Anggraeny, Y.N., U. Umiyasih Dan D. Pamungkas. 2005. Pengaruh Suplementasi


Multinutrien Terhadap Performans Sapi Potong Yang Memperoleh Pakan
Basal Jerami Jagung. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan
Veteriner. 2005 Sep 12-13. Bogor, Indonesia. Bogor: hlm 147-152.
Anjalani R, Silitonga L, Astuti MH. (2017). Kualitas silase rumput gajah yang
diberi tepung umbi talas sebagai aditif silase. Jurnal Ilmu Hewani Tropika.
6(1): 29–34.
Astawan M, Wresdiyati T. 2004. Diet Sehat Dengan Makanan Berserat. Solo (ID):
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Axelsson L, Ahrné S. 2000. Lactic Acid Bacteria. In Applied Microbial
Systematics. pp. 365–386. Edited by F. G. Priest & M. Goodfellow.
Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, The Netherlands (NL).
Azria. 1986.Mikrobiologi dalam Pembuatan Dadih Susu Sapi. [Skripsi].
Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Cai Y, Benno Y, Ogawa M, Kumai S. 1999. Effect of applying lactic acid bacteria
isolated from forage crops on fermentation characteristics and aerobic
deterioration of silage. Journal of Dairy Science. 82: 520–526.
Cai Y, Benno Y, Ogawa M, Ohmomo S, Kumai S, Nakase T. 1998. Influence of
Lactobacillus spp. from an inoculant and of Weissella and Leuconostoc
spp. from forage crops on silage fermentation. Applied and Environmental
Microbiology. 64: 2982–2987.
Chalisty V, Utomo R, Bachruddin Z. (2017). Pengaruh penambahan molasses,
lactobacillus plantarum, trichoderma viride dan campurannya terhadap
kualitas total campuran hijauan. Buletin Peternakan. 411(4): 4311–4318.
Chen Y, Weinberg ZG. 2008. Changes during aerobic exposure of wheat silages.
Anim. Feed Sci and Tech. 154:76-82.
Driehuis F, Giffel MC. 2005. Butyric acid bacteria spores in whole crop maize
silages. In: Silage Production and Utilization. Park RS, Stronge MD
(Eds.). Wageningen Academic Publ. The Netherlands (NL). pp 271.
Elferink, SJWHO, Driehuis F, Gottschal JC, Spoelstra SF. 2010. Silage
Fermentation Processes and Their Manipulation. Netherlands. Food
Agriculture Organization Press.
Ginting SPR, Krisnan, Tarigan. 2005. Substitusi hijauan dengan limbah nanas
dalam pakan komplit. Makalah and performance of broiler chickens.
Global Veterinaria. 5 (3): 184-186.
Gunawan, Tangendjaya B, Zainuddin D, Darma J, Thalib A. 1988. Laporan
Penelitian Silase. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Harrison JH, Blauwiekel R. 1994. Fermentation and utilization of grass silage. J.
Dairy Science. 77: 3209-3235.
Hidayat N, Widiyastuti, Suwarno T. 2012. The Usage of Fermentable
Carbohydrates and Level of Lactic Acid Bacteria on Physical and
Chemical Characteristicts of Silage Prosiding Seminar Nasional
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal
Berkelanjutan II” Purwokerto, 27 – 28.
Hristov AN, McAllister TA. 2002. Effect of inoculants on whole-crop barley
silage fermentation and dry matter disappearance in situ. J. Anim. Sci. 80:
510- 516.
Ingrid S. 2016. Probiotik, Mikrobiome dan Pangan Fungsional. Yogyakarta(ID):
Grup Penerbitan CV Budi Utama.
Jaelani A, Rostini T, Misransyah. 2018. Pengaruh penambahan suplemen organik
cair (SOC) dan lama penyimpanan terhadap derajat keasaman (pH) dan
kualitas fisik pada silase batang pisang (Musa paradisiaca L). ZIRAA’AH.
43 (3): 312-320.
Jasin I. (2014). Pengaruh penambahan dedak padi dan inokulum bakteri asam
laktat dari cairan rumen sapi peranakan ongole terhadap kandungan nutrisi
silase rumput gajah. Jurnal Peternakan. 11(2): 59–63.
Karpinnen S. 2003. Dietary Fibre Components Of Rye Bran And Their
Fermentation In Vitro. Faculty of Scienc, Departement of Bioscience.
University of Helsinski. Finland
Khasanah N, Wikandari P. 2014. Pengaruh lama fermentasi dan penambahan
bakteri asam laktat terhadap mutu produk tape singkong. UNESA Journal
of Chemistry. 3(1):
Kurniawan D, Erwanto, Fathul F. 2015. Pengaruh penambahan berbagai starter
pada pembuatan silase terhadap kualitas fisik dan ph silase ransum
berbasis limbah pertanian. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 3(4): 191-
195.
Kusuma VJM, Zubadah E. 2016. The evaluation of lactobacillus casei and
lactobacillus plantarum growth in the fermented banana peel flour
medium. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 4(1): 100-108.
Mariyono, U Umiyasih, Y Anggraeny, M Zulbardi. 2004. Pengaruh Substitusi
Konsentrat Komersial Dengan Tumpi Jagung Terhadap Performans Sapi
Po Bunting Muda. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan
Veteriner; 2004 Agu 4-5; Bogor, Indonesia. Bogor: Hlm 97-101.
Mcdonald P, Edward RA, Greenhalgh JFO. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. New
York (NY): John Willey & Sons. Inc.
Mcdonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage.
Second Edition. Marlow (UK): Chalcombe Publication.
Mcllroy RJ. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. S Susetyo,
Soedarmadi, I Kismono, S Harini IS, penerjemah. Jakarta (ID): Pradnya
Paramita.
Mustika Lisa, Hartutik. 2021. Kualitas silase tebon jagung (Zea Mays L.) dengan
penambahan berbagai bahan aditif ditinjau dari kandungan nutrisi. Jurnal
Nutrisi Ternak Tropis. 4(1): 55-59.
Nurhayati. 2008. Pengaruh tingkat penggunaan campuran bungkil inti sawit dan
onggok yang difermentasi dengan Aspergilus niger dalam pakan terhadap
bobot dan bagian-bagian karkas broiler. J. Anim .Prod. 10:55-59.
Nusio LG. 2005. Silage production from tropical forages. In: Silage Production
and Utilization. Park RS, Stronge MD (Eds.). Wageningen Academic
Publisher. the Netherlands (NL): 97 – 107.
Pamungkas D, Umiyasih U, Anggraeny YN, Krishna NH, Affandhy L, Mariyono,
Zulbandi M. 2004. Teknologi Peningkatan Mutu Biomas Lokal untuk
Penyediaan Pakan Sapi Potong. Laporan Akhir. Loka Penelitian Sapi
Potong, Grati.
Pholsen S, Khota W, Pang H, Higgs D, Cai Y. 2016. Characterization and
application of lactic acid bacteria for tropical silage preparation. Anim.
Sci. J. 87(10): 1202 – 1211.
Pioneer. 2004. Pioneer ® Brand Silage Innoculants. Technical Insights No 101.
Des Moines, Iowa, USA.
Ramadhan R. 2016. Pengaruh dosis dan lama inkubasi multi enzim natura
terhadap kualitas protein dari kulit nanas (Ananas comosus (L. Merr).
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang (ID):
Rohaeni, E.S., N. Amali Dan A. Subhan. 2006a. Janggel Jagung Fermentasi
Sebagai Pakan Alternatif Untuk Ternak Sapi Pada Musim Kemarau. Pros.
Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung –
Sapi; 2006 Agu 9-10; Pontianak, Indonesia. Bogor: hlm 193-196.
Rukmantoro S, Irawan B, Amirudin, Hendrawan H, Masayoshi N. 2001. Produksi
dan Pemanfaatan Hijauan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen
Pertanian, Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat dan Japan International
Cooperation Agency (JICA). PT. Sony Sugema Presindo. Bandung.
Ryan SM, Fitzgerald GF, Sinderen. 2006. Screening For And Identification of
Starch, Amylopectin, and Pullulan-Degrading Activities in Bifidobacterial
Strains. Department of Microbiology, University College Cork, Western
Road, Ireland
Sahid SA, Ayuningsih B, Hernaman I. 2022. The effect of fermentation time on
the content of lignin and cellulose at whole corn plant (zea mays) silage
with rice bran fermented additives. Jurnal Nutrisi Ternak Tropis dan Ilmu
Pakan. 4(1): 1 – 9.
Sari MI. 2007. Glikolisis sebagai Metabolisme Karbohidrat untuk Menghasilkan
Energi.
Satria H, Nurhasanah. 2010. Degradasi lignin oleh isolat lokal actinomycetes pada
substrat hasil sampingan jerami padi. Jurnal Sains MIPA. 16 (3): 135-142.
Sauvant D, Perez JM, Tran G. 2004. Tables of Composition and Nutritional Value
of Feed Materials. 2 nd Edition, INRA. Wageningen Academic Publishers.
pp. 118 – 133.
Sayuti M, Ilham F, Nugroho TAE. 2019. Pembuatan silase berbahan dasar biomas
tanaman jagung. Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat. Vol
3(no 2): 299 – 307.
Schroeder JW. 2004. Silage Fermentation and Preservation. AS-1254: 1-7.
Sebayang F. (2006). Pembuatan etanol dari molase secara fermentasi
menggunakan sel saccharomyces cerevisiae yang terimobilisasi pada
kalsium alginat. Jurnal Teknologi Proses. 5(2): 68–74.
Singleton P, Sainsburry D. 1988. Dictionary of Microbiology and Molecular
Biology, 2nd. John Willey and Sons, Ltd. Singapore
Sirait J, Purwantari ND, Simanihuruk K. 2005. Produksi dan serapan nitrogen
rumput pada naungan dan pemupukan yang berbeda. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner. 10 (3): 175 - 181.
Soeharsono, Sudaryanto. 2006. Tebon jagung sebagai sumber hijauan pakan
ternak strategis di Lahan Kering Kabupaten Gunung Kidul. Pros.
Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung –
Sapi. 2006 Agu 9-10; Bogor (ID): 136 – 141.
Soenarto SH. 1976. Ilmu Bahan Makanan Ternak. Semarang (ID): Fakultas
Peternakan Diponegoro.
Sriagtula R, Martaguri I, Hellyward J, Sowmen S. 2019. Pengaruh inokulan
bakteri asam laktat dan aditif terhadap kualitas dan karakteristik silase
sorgum mutan brown midrib (Sorghum bicolor L. Moench). Jurnal
Pastura. 9(1): 40 – 43.
Sruamsiri S. 2007. Agricultural wastes as dairy feed in Chiang Mai. Anim. Sci. J.
78: 335-341.
Stefani JWH, Driehuis F, Gottschal JC, Spoelstra SF. 2010. Silage fermentation
processes and their manipulation: Electronic Conference on Tropical
Silage. FAO: 6 – 33.
Sulistyoningsih M, Dzakiy MA, Nurwahyunani A. 2014. Optimalisasi feed
additive herbal terhadap bobot badan, lemak abdominal dan glukosa darah
ayam broiler. Jurnal Bioma. 3(2):1-16.
Suryono C, Ningum L, Dewi TR. 2018. Uji kesukaan dan organoleptik terhadap
lima kemasan dan produk kepulauan seribu secara deskriptif. Jurnal
Pariwisata. 5(2): 95-106.
Suwito W. (2012). Teknologi penanganan susu yang baik dengan mencermati
profil mikroba susu sapi di berbagai daerah. Jurnal Penelitian Pascapanen
Pertanian. 9(1): 35-44.
Telew C, Kereh V, Untu I, Rembet B. 2013. Pengayaan nilai nutritif sekam padi
berbasis biotenologi “Effective Microorganism” (EM4) sebagai bahan
pakan organik. Jurnal Zootek. 32(5): 1-8.
Umiyasih U, Wina E. 2008. Pengolahan dan nilai nutrisi limbah tanaman jagung
sebagai pakan ternak ruminansia. WARTAZOA. 18(3): 127 – 136.
Wati, Mashudi SW, Irsyammawati A. 2018. Kualitas silase rumput odot
(pennisetum purpureum cv. Mott) dengan penambahan Lactobacillus
Plantarum dan molasses pada waktu inkubasi yang berbeda. Jurnal Nutrisi
Ternak Tropis. 1(1): 45 – 53.
Widyastuti Y.2008. Silage Fermentation and Probiotics Benefit of Silage to the
Ruminants. Media Peternakan. 31(3): 225 – 232.
Winedar H, Listyawati S, Sutarno. 2006. Digestibility of feed protein, meta
protein content and increasing body weight of broiler chicken after giving
feed fermented with Effective Microorganisms-4 (EM-4). Jurnal
Bioteknologi. 3(1): 14-19.
Wulandhari PS, Rachmawati D, Susilowati T. 2017. Pengaruh kombinasi ekstrak
nanas dalam pakan buatan dan probiotik pada media terhadap efisiensi
pemanfaatan pakan dan pertumbuhan ikan tawes (Puntius javanicus).
Journal of Aquaculture Management and Technology. 6(4): 157-166.
Yani Y. Desember 2011. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan ternak
ruminansi. Pertanian 29. Blog.com.
Yusmarini, Efendi. 2004. Evaluasi Mutu Soygurt yang Dibuat dengan
Penambahan beberapa Jenis Gula. Jurnal Natur Indonesia. 6(2): 104-110.

Anda mungkin juga menyukai