Anda di halaman 1dari 10

Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014

ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

Fermentasi Ampas Tahu Dengan Aspergillus niger Untuk Meningkatkan Kualitas


Bahan Baku Pakan Ikan
Dini Siswani Mulia1*, Miftakhul Mudah1, Heri Maryanto1, Cahyono Purbomartono1
1
Program Studi Penddikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Jl. Raya Dukuh Waluh PO BOX 202 Purwokerto 53182 Tel. 0281-636751, Fax. 0281-637239,
*
E-mail: dsiswanimulia@yahoo.com, dinisiswanimulia@ump.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fermentasi ampas tahu dengan Aspergillus niger untuk
meningkatkan kualitas bahan baku pakan ikan. Penelitian menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) 4 perlakuan dan 3 kali ulangan, yaitu P0 = non fermentasi; P1 = fermentasi dengan 2,5 ml
inokulum A. niger; P2 = fermentasi dengan 3,0 ml inokulum A. niger; P3 = fermentasi dengan 3,5 ml inokulum
A. niger, masing-masing untuk ampas tahu sebanyak 50 g. Parameter yang diamati yaitu uji proksimat (kadar
air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, kadar serat kasar) dan parameter pendukung, yaitu uji
organoleptik (warna, tekstur dan bau). Data berupa hasil uji proksimat dianalisis menggunakan Analisis of
Variance (ANAVA) pada taraf uji 5%, dan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada
taraf uji 5%, sedangkan untuk data hasil organoleptik dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa fermentasi ampas tahu dengan A. niger dapat meningkatkan kualitas bahan baku pakan
ikan. Pada uji proksimat, penurunan kadar air terendah ditunjukkan pada perlakuan P3, peningkatan kadar
abu tertinggi ditunjukkan pada perlakuan P1, peningkatan kadar protein ditunjukkan pada perlakuan P1 dan
P2, sedangkan penurunan serat kasar dan lemak kasar ditunjukkan pada perlakuan P3. Perlakuan P1 adalah
perlakuan yang paling efektif karena menghasilkan protein yang tinggi dengan menggunakan inokulum yang
paling rendah, dengan kadar protein 27, 00 % dibandingkan non fermentasi sebesar 14,93 %.
Kata Kunci: ampas tahu, Aspergillus niger, fermentasi, uji organoleptik, uji proksimat

PENDAHULUAN
Berbudidaya ikan, khususnya ikan air tawar merupakan salah satu kegiatan yang prospektif,
menjanjikan keuntungan cukup besar apabila mampu mengelolanya dengan baik. Namun, beberapa
permasalahan sering muncul dalam berbudidaya, dan hal ini patut diwaspadai oleh para petani ikan. Selain
faktor penyakit, faktor pengadaaan pakan ikan juga dapat menjadi kendala. Hal ini dikarenakan dalam budidaya
intensif, diperlukan alokasi biaya mencapai sekitar 60-70 % dari keseluruhan biaya produksi (Erfanto et al.,
2013). Di sisi lain, harga ikan cukup tinggi dan cenderung mengalami kenaikan, sementara harga penjualan
ikan relatif stabil. Delapan puluh persen bahan pakan yang digunakan untuk menyusun pakan ikan adalah
berasal dari impor yang mengakibatkan harga pakan menjadi mahal (Melati et al., 2010).
Selain ketersediaan pakan ikan dalam jumlah cukup, faktor penting lainnya adalah ketersediaan pakan
dengan nilai gizi yang baik (Lestari, 2001) sehingga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi ikan yang mendukung
dalam pertumbuhannya. Pakan buatan adalah pakan yang diformulasikan sendiri dari beberapa macam bahan,
kemudian diolah menjadi bentuk khusus sebagaimana yang dikehendaki (Mudjiman, 2004). Pakan buatan
disusun menurut kebutuhan ikan, oleh karena itu formulasi dan bentuk pakan disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing jenis dan tingkat pertumbuhan serta perkembangan ikan. Penyusunan formulasi pakan ikan perlu
memperhatikan nilai kandungan protein dan kandungan nutrisi lainnya. Kandungan nutrisi yang diperlukan ikan
pada umumnya terdiri dari lima kelompok, yaitu protein, karbohidrat, lemak, mineral, dan vitamin (Agustono et
al., 2007). Pakan buatan merupakan pakan yang sengaja dibuat untuk menggantikan sebagian besar atau
keseluruhan pakan alami. Salah satu bahan baku yang potensial untuk dijadikan bahan baku pakan ikan adalah
ampas tahu (Kalsum & Sjofjan, 2008).
Ampas tahu merupakan hasil sampingan dari proses pembuatan tahu. Industri pengolahan tahu banyak
terdapat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, karena tahu termasuk bahan makanan yang digemari
masyarakat. Ampas tahu adalah bahan sisa dalam bentuk padatan dari bubur kedelai yang diperas pada saat
pembuatan tahu. Ampas ini memiliki sifat yang cepat basi dan berbau tidak sedap kalau tidak segera ditangani
dengan cepat. Ampas tahu akan mulai menimbulkan bau yang tidak sedap, 12 jam setelah dihasilkan (Suprapti,
2005).

336
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

Ampas tahu masih layak dijadikan bahan pangan karena masih mengandung protein sekitar 5%
(Nugraheni, 2007). Untuk meningkatkan kualitas ampas tahu, dapat dilakukan proses fermentasi. Secara
sederhana fermentasi dapat diartikan sebagai peningkatan nilai tambah suatu bahan melalui bantuan mikroba
yaitu jamur, ragi atau bakteri. Contohnya, perubahan kacang kedelai menjadi tempe karena aktivitas ragi tempe
(Bintartih, 2009). Fermentasi merupakan proses perombakan struktur secara fisik, kimia, dan biologi sehingga
bahan dari struktur yang komplek menjadi sederhana, sehingga daya cerna ternak menjadi lebih efisien (Nista et
al., 2007). Pada fermentasi terjadi proses yang menguntungkan, di antaranya dapat mengawetkan,
menghilangkan bau yang tidak diinginkan, meningkatkan daya cerna, menghilangkan daya racun yang terdapat
pada bahan mentahannya dan menghasilkan warna yang diinginkan (Lestari, 2001).Fermentasi ampas tahu
menghasilkan bahan pakan sumber protein kasar yang cukup tinggi berdasarkan bahan kering, yaitu 28,36% dan
kandungan nutrien lainnya adalah lemak 5,52% serat kasar 17,06 dan BETN 45,44% (Nuraini et al., 2007).
Salah satu mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi adalah Aspergillus. Aspergillus
niger merupakan salah satu spesies Aspergillus yang tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak
membahayakan (Gras, 2008 dalam Maryanty, 2010). Aspergillus merupakan mikroorganisme yang
menghasilkan enzim hidrolitik seperti amilase, pektinase, protease, dan lipase yang dapat menyebabkan kapang
dapat tumbuh pada makanan yang mengandung pati, pektin, protein, dan lipid (Fardiaz, 1992). Enzim yang
dapat dihasilkan oleh A. niger di antaranya adalah lipase, acid protease, xilanase, dan cellulase. (Maryanty et
al., 2010). A. niger dapat menghasilkan enzim-enzim yang dapat membantu pencernaan seperti selulase,
amilase, protease, fitase, dan mananase yang dapat membantu mencerna makanan ternak (Erika, 2010). Dengan
demikian maka A. niger merupakan organisme proteolitik yang dapat mendegradasi serat kasar dan
menghasilkan enzim protease.
Pemanfaatan mikroba A. niger dalam proses fermentasi limbah sawit (bungkil inti dan lumpur sawit)
mampu meningkatkan kadar protein dari 15,40% menjadi 23,40%, dan meningkatkan daya cerna bahan jika
dimanfaatkan oleh ternak unggas (Mirwandono & Siregar, 2004). Pemanfaatan ampas tahu terfermentasi
sebagai substitusi tepung kedelai dalam formulasi pakan ikan yang menggunakan A. niger menunjukkan
terjadinya kenaikan protein yang cukup signifikan dari 15,40 menjadi 35,36% yang diduga kenaikan protein
tersebut disebabkan kenaikan jumlah massa A. niger (Melati et al., 2010).

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fermentasi ampas tahu dengan Aspergillus niger untuk
meningkatkan kualitas bahan baku pakan ikan.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), 4
perlakuan dan 3 kali ulangan. Ampas tahu yang digunakan adalah 50 g, dengan penambahan inokulum sebagai
berikut sebagai perlakuan, antara lain : P0 : non fermentasi, P1 : inokulum 2,5 ml, P2 : inokulum 3,0 ml P3 :
inokulum 3,5 ml.
1. Prosedur Penelitian
a. Peremajaan Biakan Murni A. niger
Biakan murni A.niger diambil dari stok culture dengan menggunakan jarum ose, kemudian dipindah ke
dalam tabung reaksi yang berisi medium PDA miring secara aseptis dan diinkubasi pada suhu ruang.
b. Pembuatan Inokulum
A.niger pada medium PDA miring umur 5×24 jam ditambahkan 40 ml aquades steril kemudian
dikerok sampai semua spora kapang lepas dan divortek sehingga diperoleh suspensi. Suspensi digunakan untuk
proses fermentasi medium ampas tahu, dan untuk penghitungan jumlah spora kapang menggunakan metode
TPC. Untuk keperluan perhitungan tersebut dilakukan pengenceran suspensi kapang dari 10-1 sampai dengan
107.
c. Menghitung kepadatan A.niger
Kepadatan A.niger dapat dihitung dengan cara pengenceran. Sebanyak 1 ml kultur diencerkan dalam
beberapa kali tingkat pengenceran (7 kali). Pengenceran dilakukan dengan menggunakan aquadest steril 9 ml.
Sebanyak 1 ml dari pengenceran 10-5 sampai 10-7 dituangkan pada cawan petri steril. Selanjutnya, ditambahkan

337
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

medium PDA ke dalam cawan petri dan diinkubasi selama 48 jam kemudian dilakukan perhitungan jumlah
koloni dengan menggunakan metode TPC.
d.Fermentasi Ampas Tahu
Media fermentasi dibuat dengan menyiapkan ampas tahu (± 600 g), dicuci menggunakan air bersih,
kemudian ampas tahu ditiriskan atau diperas sampai kadar airnya berkurang dan diremas agar tidak
menggumpal, mengukus ampas tahu selama 30 menit, mendinginkan sampai suhu 35℃ dan mempunyai pH 6.
Setiap 50 g dari ampas tahu dimasukan ke dalam cawan petri, kemudian diinokulasi dengan kapang A.niger
sesuai perlakuan dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2-3 hari.
2.Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi kandungan senyawa kimia yang terdapat pada
ampas tahu sebelum difermentasi dan sesudah difermentasi melalui uji proksimat (uji kadar air, uji kadar abu,
uji protein kasar, uji lemak kasar, dan uji serat kasar) dan parameter pendukung, yaitu uji organoleptik (warna,
tekstur, dan bau).
3.Analisis Data
Data berupa hasil uji proksimat dianalisis menggunakan Analisis of Variance (ANAVA) pada taraf uji
5%, dan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%. Data hasil organoleptik
dianalisis secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada ampas tahu non
fermentasi dan fermentasi. Kandungan gizi yang diuji dalam penelitian ini adalah kadar air, kadar abu, kadar
protein kasar, kadar lemak kasar, dan kadar serat kasar.
1.Kadar Air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat mempengaruhi
penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam makanan ikut menentukan acceptability,
kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Kadar air yang tinggi akan mempengaruhi
keawetan bahan pangan dan mempercepat umur simpan serta memudahkan pertumbuhan mikroba (Winarno,
2008).
Berdasarkan Tabel 1. perlakuan ampas tahu non fermentasi (P0) mempunyai kadar air yang tinggi
yaitu, 91,28 ± 0,15%, P1 (inokulum 2,5 ml) sebanyak 89,25 ±0,73%, P2 (inokulum 3,0 ml) yaitu 89,42 ±
0,17%, dan P4 (inokulum 3,5 ml), yaitu 88,28 ± 0,13%.
Tabel 1. Kadar air ampas tahu fermentasi dan ampas tahu non fermentasi
Kadar Air (%) Rata-rata Kadar Air± Standar
Perlakuan
U1 U2 U3 deviasi (%)
P0 91,43 91,12 91,29 91,28 ± 0,15c
P1 89,98 88,51 89,26 89,25 ±0,73b
P2 89,25 89,59 89,43 89,42 ± 0,17b
P3 88,15 88,41 88,29 88,28 ± 0,13a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
DMRT dengan taraf uji 5%. P0 : non fermentasi (kontrol), P1: inokulum 2,5 ml, P2: inokulum 3
ml, P3: inokulum 3,5 ml

P0 berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3, akan tetapi antara P1 dan P2 tidak berbeda nyata. P0 memiliki
kadar air tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan P3 memiliki kadar air terendah. Tingginya kadar
air pada P0 dikarenakan pada perlakuan tersebut ampas tahu tidak diberi inokulum A.niger sehingga tidak ada
penggunaan air oleh mikroorganisme tersebut. Oleh karena itu, kadar air tetap tinggi. Namun, berbeda dengan
P1, P2, dan P3 yang menggunakan inokulum A.niger sebagai mikroba untuk fermentasi. P3 menggunakan
inokulum yang paling banyak, yaitu 3,5 ml dalam 50 g ampas tahu, sehingga kadar air pada ampas tahu banyak
dimanfaatkan oleh mikroba tersebut, yang berdampak pada menurunnya kadar air ampas tahu setelah
fermentasi. Penurunan kadar air terjadi untuk setiap proses fermentasi yang disebabkan adanya perubahan
senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana (Melati et al., 2010).

338
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

2.Kadar Abu
Kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat dalam ampas tahu. Penentuan
kadar abu adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-6000C
dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Menurut
Winarno (2008) dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak dan
disebut abu.
Tabel 2. Kadar abu ampas tahu fermentasi dan ampas tahu non fermentasi
Kadar Abu (%)
Perlakuan Rata-rata KadarAbu ± Standar deviasi (%)
U1 U2 U3
P0 0,20 0,17 0,20 0,19 ± 0,17a
P1 2,00 2,27 2,14 2,13 ± 0,13c
P2 0,90 0,90 0,90 0,90 ± 0,00b
P3 1,02 0,91 0,97 0,96 ± 0,05b
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
DMRT dengan taraf uji 5%. P0 : non fermentasi (kontrol), P1: inokulum 2,5 ml, P2: inokulum 3
ml, P3: inokulum 3,5 ml
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian inokulum dengan konsentrasi yang berbeda pada tiap
perlakuan memberi pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu ampas tahu baik non fermentasi maupun ampas
tahu fermentasi (Tabel 2). P0 berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3, akan tetapi antara P2 dan P3 tidak berbeda
nyata. Kadar abu pada P0 mengalami penurunan bila dibandingkan P1, P2 dan P3.
Jumlah kapang yang banyak akan menyebabkan produksi enzim dari kapang semakin tinggi, sehingga
jumlah zat-zat organik yang dirombak juga semakin banyak. Hal ini sesuai dengan Mildayani (2007), bahwa
bahan-bahan organik yang mengalami penurunan selama fermentasi adalah pati dan lemak karena digunakan
untuk memenuhi kebutuhan energi pertumbuhan kapang.
Perlakuan P1 mengalami kenaikan kadar abu yang cukup signifikan, hal ini disebabkan karena
pertumbuhan kapang yang ikut menyumbangkan serat kasar yang berasal dari miselium. Seluruh unsur utama
pembentuk senyawa organik akan habis terbakar dan berubah menjadi gas, dan sisa unsur yang terbakar adalah
abu, hal ini merupakan kumpulan mineral-mineral.
3. Kadar Protein Kasar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari perlakuan dengan konsentrasi inokulum yang berbeda
menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap kadar protein ampas tahu fermentasi dan ampas tahu non
fermentasi (Tabel 3). P0 berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3, akan tetapi antara P1 dan P2 tidak berbeda nyata.
P0 mengandung protein kasar sebesar 14,93%. Kadar protein kasar tersebut meningkat setelah ampas tahu
difermentasi menggunakan inokulum kapang A.niger. Peningkatan kadar protein kasar untuk tiap perlakuan
masing-masing adalah P1 sebesar 27,00%, P2 sebesar 27,05%, dan P3 sebesar 24,04%.
P0 memiliki kadar protein kasar yang paling rendah di antara perlakuan lainnya, karena P0 merupakan
ampas tahu tanpa inokulum atau ampas tahu non fermentasi, sehingga tidak ada aktivitas A.niger dalam
merombak senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana.
Tabel 3. Kadar protein kasar ampas tahu fermentasi dan ampas tahu non fermentasi
No. Protein Kasar (%) Rata-rata Protein Kasar ±Standar
Perlakuan
U1 U2 U3 deviasi (%)
1 P0 14,46 15,40 14,94 14,93 ± 0,47a
2 P1 27,72 26,28 27,00 27,00 ± 0,72c
3 P2 26,48 27,63 27,06 27,05 ± 0,57c
4 P3 23,43 24,65 24,05 24,04 ± 0,61b
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
DMRT dengan taraf uji 5%. P0 : non fermentasi (kontrol), P1: inokulum 2,5 ml, P2: inokulum 3
ml, P3: inokulum 3,5 ml
Peningkatan kadar protein kasar pada perlakuan yang difermentasi dikarenakan fermentasi dapat
mengubah zat yang bersifat kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana. Senyawa yang dapat dipecah dalam
proses fermentasi adalah karbohidrat dan asam amino. Fermentasi dapat menghasilkan produk yang lebih baik
dari bahan aslinya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Melati et al. (2010), kandungan protein pada ampas

339
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

tahu 22,89% dan setelah difermentasi meningkat menjadi 31,17%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan
protein pada fermentasi ampas tahu lebih besar daripada ampas tahu yang tidak difermentasi.
Pada hasil penelitian ini, perlakuan P1 dan P2 menunjukkan kadar protein yang tinggi dibandingkan
dengan perlakuan yang lain yang disebabkan karena perkembangan misseliumnya cepat sehingga jumlah
misseliumnya lebih banyak. Wang et al. (1979) mengemukakan bahwa kenaikan protein pada proses fermentasi
dapat disebabkan oleh kenaikan jumlah massa kapang. Peningkatan kadar protein kasar disebabkan karena
kemampuan selulolitik dan amilolitik A.niger dalam mengkonversi substrat kompleks menjadi lebih sederhana
dan digunakan untuk pertumbuhannya. Desi (2002) menyatakan bahwa dalam proses fermentasi, mikroba
memperoleh energi melalui perombakan bahan yang memberikan zat-zat hara atau mineral seperti hidrat arang,
protein, vitamin, dan zat lainnya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin banyak inokulum kapang A.niger yang
digunakan dalam fermentasi ampas tahu menghasilkan kadar protein kasar yang semakin rendah. Hal tersebut
diduga karena besarnya inokulum berpengaruh terhadap populasi kapang A.niger yang menggunakan sumber
energi dalam ampas tahu. Terbatasnya sumber energi yang tersedia dalam bahan akan menghambat aktivitas
pertumbuhan mikroorganisme tersebut sehingga akan berpengaruh juga terhadap produksi protein. Pengaruh
perbedaan volume inokulum terhadap kadar protein dilaporkan Kumalasari (2012) yang menyatakan bahwa
kadar protein menurun dengan semakin banyaknya penambahan inokulum pada fermentasi tempe.
Peningkatan kadar protein akibat adanya kerja dari mikroba dan adanya penambahan protein yang
terdapat dalam sel mikroba itu sendiri. Peningkatan kandungan protein kasar pada fermentasi substrat terjadi
karena hasil dari hidrolisis pati menjadi gula selama kapang mendegradasi dan melarutkan substrat yang
digunakan oleh kapang sebagai sumber karbohidrat untuk mensintesis biomasa kapang yang kaya akan protein
(Yuliastiyani et al., 2012). Aktifitas proteolitik selama fermentasi mencapai maksimum pada waktu 72-96 jam.
Dengan adanya aktifitas enzim proteolitik, maka protein komplek yang bersifat tidak larut akan diubah menjadi
protein yang bersifat larut dan mengalami kenaikan sebesar setengah dari jumlah total protein. Penambahan
konsentrasi bahan baku menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi yang nyata, akan tetapi jika konsentrasi
bahan baku terus diperbesar peningkatan reaksi dapat menurun disebabkan karena bagian enzim yang aktif telah
jenuh (Istiana, 2007).
Hasil penelitian Mirwandono & Siregar (2004) tentang pemanfaatan mikroba A.niger dalam proses
fermentasi limbah sawit (bungkil inti dan limbah sawit) mampu meningkatkan kadar protein dari 15,40%
menjadi 23,30%. Penelitian Miskiyah et al. (2006) terhadap ampas kelapa dari industri minyak kelapa mencatat
penggunaan A. niger dan penambahan mineral dalam proses fermentasi secara aerob dan kemudian anaerob
mampu meningkatkan kadar protein kasar dari 11,35% menjadi 26,09%.
4. Kadar Lemak Kasar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai perlakuan dengan konsentrasi inokulum A.niger yang
berbeda memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak ampas tahu non fermentasi dan ampas
tahu fermentasi (Tabel 4). Antara perlakuan P0, P1, dan P2, tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan
perlakuan P3. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan P3 mampu menurunkan lemak yang paling baik
dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan P3 memiliki konsentrasi inokulum kapang A. niger yang
paling tinggi sehingga kadar lemak menurun. A. niger dapat memproduksi enzim lipase yang berfungsi untuk
menghidrolisis lipid, mengikat ester dalam trigliserida menjadi asam lemak bebas, sehingga lemak yang
terkandung dalam bahan hasil fermentasi dapat menurun (Miskiyah et al., 2006).
Dalam fermentasi, setelah kapang memanfaatkan karbohidrat untuk sumber energi, selanjutnya kapang
memanfaatkan lemak dan protein. Semakin banyak penggunaan bahan pakan yang mengandung glukosa pada
substrat, semakin memacu pertumbuhan biomassa kapang yang mengakibatkan produksi enzim lipase semakin
banyak (Nurhayati et al., 2006).
Faktor yang mempengaruhi perbedaan penurunan lemak kasar antara lain produksi enzim lipase yang
dipengaruhi oleh pertumbuhan biomassa kapang, karena semakin banyak pertumbuhan biomassa kapang A.niger
maka aktifitas enzim lipase dalam memecah lemak akan meningkat, sehingga kadar lemak menurun. Menurut
Kusumaningrum et al. (2012) penurunan kandungan lemak kasar disebabkan oleh perombakan lemak enzim
lipase kapang A.niger yang digunakan sebagai energi untuk pertumbuhannya. Hasil penelitian penggunaan
A.niger dan penambahan mineral terhadap kelapa dari industri minyak kelapa mampu menurunkan lemak dari
28,70% hingga 11,39%, sedang uji kecernaan bahan kering memperlihatkan peningkatan dari 78,99% menjadi
95,10% (Miskiyah et al., 2006).

340
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

Tabel 4. Kadar lemak kasar ampas tahu fermentasi dan non fermentasi
Kadar Lemak (%) Rata-rata Kadar Lemak ± Standar deviasi
No.
Perlakuan U1 U2 U3 (%)

1 P0 10,04 9,71 9,89 9,88± 0,16b


2 P1 10,03 9,66 9,86 9,85 ± 0,18b
3 P2 9,80 9,74 9,78 9,77 ± 0,03b
4 P3 9,54 9,24 9,40 9,39 ± 0,15a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
DMRT dengan taraf uji 5%. P0 : non fermentasi (kontrol), P1: inokulum 2,5 ml, P2: inokulum 3
ml, P3: inokulum 3,5 ml
5. Kadar Serat Kasar
Serat kasar adalah semua zat organik yang tidak dapat larut dalam H2SO4 0,3N dan dalam NaOH 1,5N
yang berturut - turut dimasak selama 30 menit (Anggorodi, 1994). Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa
serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa adalah komponen dinding
sel tanaman dan tidak dapat dicerna oleh hewan - hewan monogastrik.
Tabel 5. Kadar serat kasar ampas tahu fermentasi dan ampas tahu non fermentasi
No. Serat Kasar (%) Rata-rata Serat Kasar ± Standar deviasi
Perlakuan
U1 U2 U3 (%)
1 P0 23,36 24,69 24,04 24,03 ± 0,66b
2 P1 0,11 0,22 0,17 0,16 ± 0,05a
3 P2 0,15 0,16 0,17 0,16 ±0,01a
4 P3 0,03 0,05 0,05 0,04 ± 0,01a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
DMRT dengan taraf uji 5%. P0 : non fermentasi (kontrol), P1: inokulum 2,5 ml, P2: inokulum 3
ml, P3: inokulum 3,5 ml
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan inokulum A.niger yang berbeda-beda menunjukkan
perbedaan nyata (P<0,05) terhadap kadar serat kasar ampas tahu baik non fermentasi maupun ampas tahu
fermentasi (Tabel 5). P0 berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3, tetapi antar P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata.
Berdasarkan analisis proksimat diketahui bahwa kandungan serat kasar pada ampas tahu sebelum difermentasi
yaitu sebesar 24,03% dan kandungan serat kasar pada ampas tahu setelah di fermentasi antara 0,04 sampai 0,16
%. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Melati et al. (2010), bahwa kandungan serat kasar pada ampas tahu
21,29% dan setelah difermentasi menurun menjadi 17,29%.
Penurunan kadar serat kasar ampas tahu terjadi karena kapang memiliki kemampuan memecah
lignoselulosa secara aerob. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno & Fardiaz (1979) bahwa penurunan kadar
serat pada setiap perlakuan setelah difermentasi disebabkan karena enzim yang dihasilkan oleh A.niger mampu
memecah selulosa selama poses fermentasi menjadi glukosa. Enzim selulase merupakan enzim kompleks yang
bekerja secara bertahap untuk memecah selulosa menjadi glukosa, selanjutnya glukosa yang dihasilkan dari
substrat akan dipergunakan sebagai sumber karbon dan energi.
Perlakuan P3 memiliki kandungan serat kasar yang lebih rendah dibandingkan P1 dan P2. Hal ini
dikarenakan konsentrasi inokulum A.niger lebih tinggi di antara perlakuan lainnya sehingga memiliki
kandungan serat kasar yang lebih rendah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Liyani (2005) terhadap ampas
sagu yang difermentasi dengan A.niger. Penurunan serat kasar ini dapat terjadi karena dengan peningkatan
jumlah konsentrasi A.niger maka kemampuan mendegradasi serat menjadi lebih tinggi.
Hasil penelitian Suparjo et al. (2003) pada dedak yang difermentasi dengan A.niger dengan lama
pemeraman 72 jam, menunjukkan adanya peningkatan kadar protein kasar dan penurunan serat kasar. Hal
tersebut dapat terjadi karena A. niger dapat menghasilkan enzim selulase yang mampu menghidrolisis selulosa
(Tampoebolon, 2009). A.niger memanfaatkan bahan organik berupa serat kasar melalui degradasi oleh enzim
sehingga menghasilkan senyawa-senyawa untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Kusumaningrum et al.,
2012).

341
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

6. Hasil Uji Organoleptik


Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui perbedaan sifat fisik yang tampak, pada ampas tahu yang
difermentasi dan non fermentasi. Perbedaan sifat fisik di antaranya adalah warna, tekstur, dan bau. Hasil uji
organoleptik disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Organoleptik
Sifat fisik sampel
No. Jenis Sampel Tekstur Warna Bau
LMB LB L PK H HP KAT ATK AK
1. P0U1 √ √ √
2. P0U2 √ √ √
3. P0U3 √ √ √
4. P1U1 √ √ √
5. P1U2 √ √ √
6. P1U3 √ √ √
7. P2U1 √ √ √
8. P2U2 √ √ √
9. P2U3 √ √ √
10. P3U1 √ √ √
11. P3U2 √ √ √
12. P3U3 √ √ √
Keterangan: P0 : non fermentasi (kontrol), P1: inokulum 2,5 ml, P2: inokulum 3 ml, P3: inokulum 3,5 ml, LMB:
Lembek Berair, LB : Lunak Berair, L: Lunak, PK: Putih Kekuningan, H : Hitam, HP: Hitam
Pekat, KAT : Khas Ampas Tahu, ATK:Amoniak Tidak begitu Kuat, AK : Amoniak
Kuat.

a. Tekstur Ampas Tahu


Tekstur merupakan sifat fisik pada ampas tahu non fermentasi dan ampas tahu fermentasi yang dapat
diamati melalui panca indra dan perabaan dengan jari. Ampas tahu non fermentasi pada setiap ulangannya (U1,
U2, U3) memiliki tekstur yang lembek berair. Hal ini dikarenakan ampas tahu memiliki kadar air yang cukup
tinggi, yaitu 90% dari bobot ampas tahu. Namun, ampas tahu yang telah difermentasi (P1, P2, dan P3) untuk
setiap ulangannya memiliki tekstur yang lunak berair dan mengalami penurunan kadar air dari bahan asalnya.
Hal ini dikarenakan ampas tahu yang telah difermentasi mengalami perombakan media oleh kapang A.niger
menjadi energi untuk pertumbuhannya dan sebagian lain dilepas menjadi CO2 dan H2O (Melati et al., 2010).
Makanan yang telah difermentasi memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dan menjadi lunak, daya cerna
tinggi sehingga memungkinkan diserap oleh tubuh lebih banyak dan energi yang tersedia pada tubuh ikan akan
lebih tinggi (Suwarsito & Anggoro, 2005). Deliani (2008) menyatakan bahwa fermentasi menyebabkan
perubahan sifat bahan pakan termasuk tekstur sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan pangan oleh
mikroorganisme yang berada di dalamnya. Proses fermentasi cenderung menyebabkan tekstur bahan menjadi
lunak. Adanya aktivitas enzim akan memecah ikatan yang ada pada protein, lipid, maupun amilase. Terurainya
komponen-komponen tersebut membuat tekstur menjadi lunak.
b. Warna Ampas Tahu
Pada uji organoleptik, warna merupakan sifat produk pangan yang paling menarik perhatian konsumen
serta paling cepat pula memberi kesan produk tersebut disukai atau tidak dan warna memegang peranan penting
dalam menentukan mutu suatu produk. Selain faktor yang menentukan mutu, warna juga mempunyai banyak
arti yaitu dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan, indikator kerusakan, serta baik
tidaknya cara pengolahan (Ridayanti et al., 2010).
Tabel 6. menunjukkan bahwa perlakuan non fermentasi (P0U1, P0U2, P0U3) berwarna putih
kekuningan. Namun, ampas tahu fermentasi memiliki warna hitam sampai hitam pekat. Warna hitam pada
permukaan ampas tahu fermentasi disebabkan oleh pengaruh pigmen warna yang dimiliki oleh kapang yang
digunakan yaitu, A. niger. Raper & Fennel (1977) menyatakan bahwa A. niger merupakan kapang multiseluler
berfilamen yang memiliki tubuh tampak berserabut seperti kapas yang disebut dengan hifa. A. niger
mempunyai kepala pembawa yang besar dan bulat, konidia berwarna hitam, coklat kehitaman atau ungu
kecoklatan, dengan konidiofor yang banyak mengandung pigmen.

342
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

Jadi warna hitam pekat pada substrat ampas tahu yang telah difermentasi disebabkan oleh pigmen
warna spora A. niger. Namun warna putih kekuningan yang dimiliki oleh ampas tahu non fermentasi adalah
warna alami kedelai yang digunakan dalam proses pembuatan tahu, karena ampas tahu merupakan limbah padat
sisa pembuatan tahu.
c. Bau Ampas Tahu
Bau dapat didefinisikan sebagai suatu yang dapat diamati dengan indra pembau. Selain itu, bau juga
dapat dipakai sebagai indikator terjadinya kerusakan pada produk akibat kehadiran mikroba pembusuk yang
tidak diinginkan (Ridayanti et al., 2010). Bau khas ampas tahu merupakan bagian penting untuk menarik hewan
khususnya ikan pada bahan pakan ikan, sehingga memberikan ciri tertentu.
Tabel 6 menunjukkan bahwa ampas tahu non fermentasi (P0U1, P0U2, P0U3) memiliki bau khas
ampas tahu. Hal ini dikarenakan ampas tahu yang digunakan adalah ampas tahu hasil limbah industri pembuatan
tahu yang baru dibuat dan belum mengalami perubahan. Pada perlakuan P1 (konsentrasi inokulum 2,5 ml) dan
P2 (konsentrasi inokulum 2,5 ml) memiliki bau amoniak kuat yang disebabkan karena terjadinya
pendegradasian yang kuat oleh kapang A. niger, sedangkan pada perlakuan P3 (konsentrasi inokulum 3,5 ml)
untuk setiap ulangannya memiliki bau amoniak yang tidak begitu kuat diduga karena pendegradasian yang
lemah yang disebabkan oleh padatnya pertumbuhan kapang. Menurut Puastuti (2007), waktu hidrolisis
berpengaruh terhadap meningkatnya kadar NH3 (amoniak). Selain itu, pada waktu proses fermentasi
berlangsung terjadi perubahan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, pH, kelembaban, dan juga
aroma dalam bahan (Sonjaya, 2001).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. fermentasi ampas tahu dengan kapang Aspergillus niger dengan konsentrasi yang berbeda-beda dapat
meningkatkan kualitas bahan baku pakan ikan;
2. P1 (perlakuan dengan fermentasi inokulum A.niger 2,5 ml) adalah perlakuan yang paling efektif karena
menghasilkan protein yang tinggi dengan penggunaan inokulum yang paling rendah.

DAFTAR PUSTAKA
Agustono, W. P. Lokapirnasari, H. Setyono & T. Nurhajati. 2007. Pengantar Teknologi Pakan Ikan. Universitas
Airlangga. Surabaya.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Cetakan ke-5. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Bintartih, S. 2009. Pemanfaatan ampas dari berbagai jenis kacang-kacangan pada pembuatan tempe gembus.
Skripsi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Jawa Timur.
Deliani. 2008. Pengaruh lama fermentasi terhadap kadar protein, lemak, komposisi asam lemak, dan asam fitat
pada pembuatan tempe. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Desi, M. 2002. Aktifitas keratinase Bacillus licheniformis dalam memecah keratin bulu ayam. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Erika, P. 2010. Perlakuan penyeduhan air panas pada prose fermentasi singkong dengan Aspergilus niger.
Laporan Penelitian. Universitas Katolik Indonesia. Jakarta.
Erfanto, F., J. Hutabarat, & E. Arini. 2013. Pengaruh substitusi silase ikan rucah dengan persentase yang
berbeda pada pakan buatan terhadap efisiensi pakan, pertumbuhan dan kelulushidupan benih ikan mas
(Cyprinus carpio). Journal of Aquaculture Management and Technology. 2(2): 26-36.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Cetakan Pertama. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Istiana, T. A. D. 2007. Pengaruh isolat Aspergillus niger dan Aspergillus oryzae terhadap produksi glukosa pada
fermentasi tepung biji nangka (Artocaprus integra) dan tepung biji durian (Durio zibethinus murr).
Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto.
Kalsum, U & O. Sjofjan. 2008. Pengaruh waktu inkubasi campuran ampas tahu dan onggok yang difermentasi
dengan Neurospora sitophila terhadap kandungan zat makan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Universitas Islam Malang. Malang.

343
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

Kumalasari, R. 2012. Pengaruh konsentrasi inokulum terhadap kualitas tempe kedelai (Glycine max (L.) Merr)
Var. Grobogan. Tugas Akhir. Fakultas Sains dan Matematika. Universitas Kristen Satya Wacana.
Salatiga.
Kusumaningrum. M, C. I. Sutrisno, & B.W.H.E. Prasetiyono. 2012. Kualitas kimia ransum sapi potong berbasis
limbah pertanian dan hasil samping pertanian yang difermentasi dengan Aspergillus niger. Animal
Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2.
Lestari, S. 2001. Pengaruh kadar ampas tahu yang difermentasi terhadap efisiensi pakan dan pertumbuhan ikan
mas (Cyprinus carpio). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Liyani, I. 2005. Pengaruh perbedaan lama peram fermentasi ampas sagu (Metoxylon sp) menggunakan A. niger
terhadap komponen proksimat. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Maryanty, Y., Hesti, P & Paulina, Ruliawati. 2010. Produksi crude lipase dari Aspergillus niger pada substrat
ongok menggunakan metode fermentasi fasa padat. Politeknik Negeri Malang. Malang.
Melati, I., Zahril, I. A & Titin, K. 2010. Pemanfaatan ampas tahu terfermentasi sebagai substitusi tepung
kedelai dalam formulasi pakan ikan patin. Laporan Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar. Bogor.
Mildayani. 2007. Pengaruh imbangan ampas tahu dan onggok yang difermentasi dengan ragi oncom terhadap
kandungan zat makanan. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. Malang.
Mirwandono, E. & Siregar, Z. 2004. Pemanfaatan hidrosat tepung kepala udang dan limbah kelapa sawit yang
difermentasi dengan Aspergillus niger. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Sumatera Utara.
Sumatera.
Miskiyah, I. Mulyawati, & W. Haliza. 2006. Pemanfaatan ampas kelapa limbah pengolahan minyak kelapa
murni menjadi pakan. Prosiding Seminar Nasional Tekhnologi Peternakan dan Verteriner.
Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan. Edisi revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nista, D., H. Natalia, & A. Taufik. 2007. Teknologi Pengolahan Pakan Sapi. Balai Pembibitan Ternak Unggul
Sapi Dwiguna dan Ayam, Sumbawa.
Nugraheni, M. 2007. Pengaruh ekstrak kecambah kacang hijau sebagai sumber nitrogen pada pemanfaatan
limbah tahu terhadap karakteristik nata de soya mentah dan limbahnya. Jurnal Tekhnologi Dan
Kejuruan. Vol. 30. No. 2
Nuraini, Sabrina & Suslina A. Latief. 2007. improvingthe quality of tapioka by produck thurgh fermentation by
Neurospora crasa to produce β carotene rich feed. Pakistan Journal of Nutrition. Vol. 8. No. 4.
Nurhayati, O. Sjofjan dan Koentjoko. 2006. Kualitas nutrisi campuran bungkil inti sawit dan onggok yang
difermentasi menggunakan Aspergilus niger. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang. J.
Indon. Trop. Animal. Agriculture. Vol. 31. No. 3.
Puastuti, W. 2007. Tekhnologi pemroresan bulu ayam dan pemanfaatannya seabagai sumber protein pakan
ruminansia. Laporan Penelitian. Balai penelitian ternak. Bogor.
Raper, K. B. & D. I. Fennel. 1977. The Genus Aspergillus. The William & Wilkins Co. Baltimor.
Ridayanti, A. Patmawati & E. Lisnawati. 2010. Pembuatan abon ampas tahu sebagai upaya pemanfaatan limbah
industri pangan. Laporan Penelitian. Universitas Djuanda Bogor. Bogor.
Sonjaya, T. 2001. Nilai retensi nitrogen dan kandungan energi metabolis tepung bulu ayam yang mendapat
perlakuan kimiawi, biologis, dan enzimatis. Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Suparjo, S. Suhessy & Raguati. 2003.Pengaruh penggunaan pakan berserat tinggi dalam ransum ayam pedaging
terhadap organ dalam. Journal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan Vol. 6. No. 1.
Suprapti, L. 2005. Kecap Air Kelapa. Edisi Tekhnologi Pengolahan Pangan. Kanisius. Yogyakarta.
Suwarsito & S. Anggoro. 2005. Pemanfaatan ampas tahu dengan metode fermentasi untuk bahan baku ikan lele.
Laporan penelitian. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto.
Tampoebolon, B. I. M. 2009. Kajian perbedaan aras dan lama pemeraman fermentasi ampas sagu dengan
Aspergillus niger terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar. Prosiding Seminar Nasional
Kebangkitan Peternakan – Semarang, 20 Mei 2009 . pp. 235-243.

344
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-3-8
Purwokerto, 20 Desember2014

Tillman, A.D. Hartadi, S. Reksodiprojo, S. Prawirokusumo & Lebdosoekojo, 1998. Ilmu Makanan Ternak
Dasar. Cetakan Keenam. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Wang, D.I.C, C.I Cooney., & A.L Demein,. 1979. Fermentation and Enzymes Technology. John and Sons Inc.,
p.
Winarno. FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi Terbaru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno. FG & S. Fardiaz. 1979. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Angkasa. Bandung.
Yulistiyani, D., W. Puastuti., E. Wina & Supriati. 2012. Pengaruh berbagai pengolahan terhadap nilai nutrisi
tongkol jagung, komposisi kimia dan kecernaan in vitro. Balai Penelitian Ternak, Bogor. JITV Vol. 17
No. 1.

345

Anda mungkin juga menyukai