Anda di halaman 1dari 23

NILAI, NORMA, MORAL, DAN ETIKA

A. Nilai
1. Pengertian Nilai

Secara etimologi, nilai berasal dari kata value (inggris) dan yang berasal dari
kata value (Latin) yang berarti kuat, baik, berharga. Dengan demikian secara
sederhana nilai adalah sesuatu yang berharga baik menurut standart logika (baik-
jelek), estetika (bagus-buruk), etika (adil-tidak adil), agama (haram dan halal), dan
hukum (sah-absah), serta menjadi acuan dan atau system keyakinan diri maupun
kehidupan. Menilai berarti menimbang-nimbang dan membandingkan sesuatu
dengan yang lain untuk kemudian di jadikan dasar mengambil sikap atau keputusan.
Hasil pertimbangan dan perbandingan yang dibuat itulah yang disebut nilai.

Karena ada unsur pertimbangan dan perbandingan, berarti sesungguhnya objek


yang diberi penilaian tersebut tidak tunggal. Objek disini dapat berupa suatu yang
bersifat jasmaniah atau rohaniah, misalnya benda, sikap, dan tindakan tertentu.
Disini berarti subjek berhadapan dengan objek, dan pada dasarnya subjknya yang
pada akhirnya memerlukan keputusan tentang nilai, misalnya; apakah nilai itu positif
atau negative. Dalam memberikan penilaian itu subjek dapat menggunakan segala
alat/ kelengkapan, analisis yang ada pada diri orang itu (si penilai):

1) Indera yang dimilikinya (akan menghasilkan nilai nikmat dan sebaliknya nilai
kesengsaraan),
2) Rasa etis (menghasilkan nilai baik dan buruk atau adil tidak adil),
3) Rasio (ini menghasilkan nilai benar dan salah),
4) Rasa estetika (akan menghasilkan nilai indah dan tidak indah), dan yang ke
5) Iman (menghasilkan nilai suci-haram dan halal).

2. Klasifikasi Nilai menurut Pendapat Ahli


Para ahli mengkalisifikan nilai dengan beberapa pandangan

1
a. Menurut Lois O Kattsoft antara lain membedakan nilai dalam dua macam
yaitu nilai instrinsik dan nilai instrumental. Nilai Instrinsik adalah nilai dari
sesuatu yang sejak semula sudah bernilai, sedangkan nilai Instrumental
adalah nilai dari sesuatu karena dapat dipakai sebagai sarana untuk
mencapai tujuan sesuatu menjelaskan hal ini Kattsaft memberikan contoh
sebelah pisau, suatu pisau dikatakan bernilai instrinsik baik apabila pisau
tersebut mengandung kualitaskualitas pengirisan didalam dirinya (pisau itu).
Disisi lain, ia (pisau) dikatakan bernilai instrumental yang baik apabila pisau
itu dapat digunakan oleh si subjek untuk mengiris.
b. Menurut Radbruch ketika menjelaskan tentang tiga tujuan hukum yaitu
kepastian hokum, keadilan, dan daya guna, menguraikan pada tujuan ketiga
(daya guna) yaitu bahwa hokum perlu menuju pada tujuan yang penuh harga.
Menurut Radbruch ada tiga nilai yang penting bagi hukum yaitu;
1) Individualwerte, nilai-nilai pribadi untuk mewujudkan kerpibadian manusia,
2) Gemeinsckaftwerte, nilai-nilai masyarakat yaitu nilai yang hanya dapat
diwujudkan dalam masyarakat manusia, dan
3) Werkwerte, nilai-nilai dalam karya manusia (ilmu, kesenian) dan pada
umumnya dalam kebudayaan. Selanjutnya nilai juga mengandung
harapan sesuatu yang diingunkan, misalnya; nilai keadilan, nilai
kesederhanaan.

Orang hidup mengharapkan mendapatkan keadilan, begitu juga kemakmuran


adalah suatu keinginan setiap orang. Jadi nilai bersifat normative suatu
keharusan (das sollen) yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku.
Disamping itu nilai juga menjadi pendorong/ sebagai motivator hidup
manusia. Tindakan manusia digerakkan oleh nilai. Misalnya; kepandaian
setiap manusia (siswa) berharap/ menginginkan pandai/ pintar. Karena
mengharapkan nilai itu setiap manusia/ siswa tergerak untuk melakukan
berbagai perilaku supaya menjadi pandai.
c. Menurut Prof. Notonegoro, nilai ada 3 macam yaitu nilai materiil adalah
segala sesuatu yang berguna bagi unsure jasmani manusia. Sesuatu
dikatakan bernilai vital jika berguna bagi manusia untuk mengadakan

2
kegiatan (beraktifitas). Sesuatu dikatakan bernilai kerohanian apabila ia
berguna bagi rohani manusia, Nilai kerohanian ini selanjutnya dapat
dibedakan menjadi
1) Nilai kebenaran atau kenyataan yang bersumber pada unsur akal (rasio)
manusia.
2) Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa (estetis) manusia, nilai
kebaikan moral yang bersumber pada kehendak (karsa) manusia,
3) Nilai kebaikan (nilai moral) yang bersumber pada kehendak karsa, karsa
hati nurani manusia dan
4) Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai
penghayatan melalui akal dan budi manusia.
d. Max Scheler membagi nilai dalam empat tingkat, mulai dari yang menurutnya
paling rendah sampai yang paling tinggi. Tingkat nilai pertama adalah nilai
keselamatan. Dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang menyebabkan
orang senang ataupun tidak senang. Kedua nilai kehidupan. Termasuk
kelompok ini adalah nilai kesehatan, kesegaran jasmani, dan kesejakteraan
umum, Tingkat ketiga adalah nilai kejiawaan, seperti keindahan, kebenaran,
dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat. Tingkat keempat adalah
nilai-nilai kerohanian, yang didalamnya terkandung nilai suci dan tidak suci.
e. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai dala delapan kelompok yaitu nilai
1. Ekonomis (harga dalam jual-beli), 2. Kejasmanian (kesehatan), 3. Hiburan,
4. Sosial (dari bentuk-bentuk perserikatan manusia), 5. Watak/ integritas
kepribadian, 6. Estetis (nilainilai keindahan dalam alam dan karya seni), 7.
Intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan penyampaian kebenaran), dan 8. Nilai
keagamaan. Dalam ilmu filsafat nilai dibedakan menjadi tiga jenis yaitu nilai
logika yaitu nilai tentang benar-salah, nilai etika yaitu nilai tentang baik-buruk,
dan nilai estetika yaitu nilai tentang indah-buruk.

Nilai merupakan masalah yang penting yang dibahas oleh filsafat tepatnya oleh
cabang filsafat aksiologi. Tidaklah mengherankan apabila aksiologi sebagai problem
of human value Oleh Lois O Kattsoft mengartikan aksiologi sebagai ilmu yang
menyelidiki hakekat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang

3
kefilsafatan. Cabang filsafat ini merupakan salah satu dari tiga cabang pokok filsafat,
dua yang lainnya yaitu ontologi dan epistimologi. Sesuatu dikatakan mempunyai
nilai apabila ia bermanfaat dalam kaca mata manusia yang memberikan penilaian.
Jadi nilai tidak lain sebenarnya adalah kualitas dari sesuatu. Jika dikatakan lukisan
(sesuatu) itu indah, maka yang dimaksud dengan nilai “indah” adalah kualitas dari
lukisan tersebut, bukan benda lukisannya. Jadi ukuran dari kualitas itu adalah
bermanfaat atau tidak, bermanfaat bagi kepentingan manusia, baik kepentingan itu
bersifat lahiriah atau batiniah.
Dalam ilmu filsafat nilai dibedakan menjadi tiga jenis yaitu;
1. nilai logika yaitu nilai tentang benar-salah,
2. nilai etika yaitu nilai tentang baik-buruk, dan
3. nilai estetika yaitu nilai tentang indah-buruk.
Mengingat banyaknya klasifikasi nilai yang diutarakan diatas, maka nilai akan
diklasifikasikan secara sederhana dalam lima pasangan nilai yaitu;

1. Nilai Obyektif dan Nilai Subyektif,


Nilai Objektif dan Subjektif Diatas telah disebutkan, bahwa nilai tidak lain
adalah kualitas dari sesuatu, sesuatu yang dimaksud disini adalah sesuatu
objek yang tertentu. Apabila kualitas tersebut dilihat berdsarkan kondisi
senyatanya dari objek tersebut, maka nilai yang demikian itu disebut nilai
objektif. Nilai objektif tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari subjek
yang memberikan penilaian. Subjek ini dapat berupa individu, kelompok,
masyarakat suatu bangsa atauuniversal. Nilai yang diberikan oleh subjek
disebut nilai subjektif karena subjeklah yang memberikan keputusan tentang
nilai itu. Secara teoritis kedua macam nilai ini dapat dibedakan tetapi dalam
prakteknya sangat sulit untuk menentukan mana nilai objektif dan subjektif.
Walaupun kriteria nilai objektif dilihat dari objeknya tetap saja yang
menentukan ada;ah nilai dari objek itu adalah si subjek. Itulah sebabnya ada
pendapat yang menyatakan bahwa nilai yang sama pada satu objek, maka di
katakana semakin bernilai objektiflah objek yang bersangkutan.
2. Nila Positif dan Nilai Negatif,

4
Nilai Positif dan Negatif Nilai positif adalah nilai yang bermanfaat bagi
kepentingan manusia. Nilai-nilai kebaikan, keindahan, kesusilaan adalah
contoh dari nilai-nilai positif. Sebaliknya, nilai-nilai kejahatan, keburukan,
ketidak susilaan adalah contoh dari nilai-nilai negatif. Pasangan nilai positif
dan negative tersebut merupakan antinomy, yakni pasangan nilai yang
kontradiktif tetapi satu sama lain tidak dapat saling meniadakan. Sesuatu
dikatakan bernilai indah apabila ada perbandingan dengan nilai yang tidak
indah, demikian seterusnya
3. Nilai Instrinsik dan Nilai Ekstrinsik,
Nilai Instrinsik dan Ekstrinsik Setiap objek sebenarnya sejak semula sudah
mengandung kualitas tertentu. Kualitas atau nilai demikian disebut dengan
nilai instrinsik. Nilai instrinsik dengan demikian adalah nilai yang berdiri
sendiri. Suatu tindakan misalnya dikatakan yang betnilai susila adalah
semata-mata karena tindakan itu memang baik. Katakanlah tindakan itu
adalah tidakan yang dianjurkan oleh norma-norma kesusilaan, terlepas dari
apakah dilihat tindakan itu baik atau buruk bagi orang yang bersangkutan.
Lain halnya dengan nilai ekstrinsik, yang berarti nilai susila itu harus
dihubungkan dengan hal-hal lain diluar tindakan itu yakni konskwensinya atau
akaibat dari tindakan itu. Jika tindakan itu dikatakan bernilai susila. Dengan
kata lain, nilai ekstrinsik suatu objek pada akhirnya bergantung pada nilai
instrinsik dari akibat-akibatnya
4. Nilai Transender dan Nilai Imanen
Nilai Transender dan Imaner Nilai imaner adalah nilai yang terikat dengan
pengalaman dan pengetahuan manusia. Nilai transender sebaliknya adalah
nilai yang melampaui batas-batas pengalaman dan pengelakuan manusia.
Nilai yang diperoleh berdasarkan pengetahuan inderawi dan rasio manusia
merupakan nilai imaner. Rasa manis, asin, luas, sempit adalah nilai imaner.
Nilai-nilai yang diperoleh melalui pengetahuan murni yang mengatasi
pengalaman manusia dan rasio manusia adalah nilai transender. Salah satu
contohnya adalah nilai ketuhanan. Nilai ini merupakan postulat atau aksioma
epistimologis dan berada diluar pembuktian teori empiris.

5
5. Nilai dasar dan Nilai Instrumental.
Nilai dasar adalah nilai yang dipilih untuk akhirnya diwujudkan sebagai
kenyataan (praksis). Nilai dasar yang dipilih itu pada umumnya adalah
refleksi dan berhubungan dengan nilainilai objektif, positif, instrinsik, dan
transender. Nilai dasar dipilih karena cenderung bersifat tetap. Nilai
instrumental merupakan usaha kongkritisasi dari nilai dasar, yang biasanya
telah dituangkan dalam bentuk norma. Dalam kongkritisasi itu tidak sekedar
digunakan materi awal berupa nilai dasar, tetapi juga diperlukan startegi dan
kebijaksanaan dalam perwujudannya.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Nilai


Nilai dan kepentingan yang diberikan oleh subjek (manusia) setelah
melakukan pertimbangan (penilaian) tersebut dapat saja berbeda tergantung
pada sudut pandang si subjek dan sudut pandang ini berkaitan dengan
kepentingan manusia baik lahir maupun batin. Sistem Nilai Sekumpulan nilai
yang dianut oleh seseorang dapat diistilahkan system nilai. Artinya tiap orang
memiliki sistem nilainya sendiri. Sistem nilai ini terbentuk setelah melalui proses
yang panjang dengan menerima berbagai factor yang otonom maupun
heteronom.
a. Faktor Otonom adalah factor dari dalam dirinya, misalnya unsure genetic,
juga kesehatan fisik dan rohaninya. Sebaliknya factor heteronom adalah
factor dari luar dirinya seperti latar belakang keluarga, lingkungan, tempat
tinggal, pendidikan disekolah agama dan ideology Negara.
b. Factor Heteronom, berarti untuk lingkup satu masnyarakat yang memiliki
factor heteronomy an sama, besar kemungkinan memiliki factor system nilai
yang sama. Artinya, diluar system nilai individu terdapat pula system nilai
social. Jadi setiap orang mempunyai system nilai sendiri-sendiri. Dalam
kontek yang lebih luas, bahkan disadaari atau tidak tiap-tiap kelompok orang
(masyarakat) itupun mempunyai system nilainya masing-masing. ketertiban
social dan kekacauan social serta keimanan dan kedurhakaan kepada
Tuhan. 2. Norma

6
Agar system nilai yang ada pada orang (masyarakat) itu dapat diangkat
kepermukaan, sehingga tidak menghasilkan sikap dan perilaku yang
diskriminasif, perlu ada wujud nilai yang kongkrit. Konkritisasi ini menghasilkan
norma.

B. Norma
1. Pengertian Norma

Ditinjau dari segi etimologi, kata “norma” berasal dari bahasa Latin
sedangkan kata “kaidah” berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata
nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma
hukum. Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab berasal dari kata qo’idah yang
berarti ukuran atau nilai pengukur. Namun jika ditinjau dari kamus bahasa Indonesia
maka kedua kata tersebut memiliki arti yang berlainan namun tetap merujuk pada
satu pokok bahasan yakni aturan. Kata “norma” dalam Kamus Bahasa Indonesia
diartikan sebagai aturan atau ketentuan yang mengikat semua atau sebagaian
warga masyarakat; aturan yang baku, ukuran untuk menentukan sesuatu.
Sedangkan kata “kaidah” dalam kamus berarti perumusan asas-asas yang menjadi
hukum; aturan tertentu; patokan; dalil.

2. Norma Menurut Pendapat Para Ahli

Beberapa ahli hukum menganggap kata “norma” sinonim dengan kata “kaidah”.

1. Menurut Purnadi Purbacarakan dan Soerjono Soekanto, norma atau


kaidah adalah ukuran ataupun pedoman untuk perilaku atai bertindak dalam
hidupnya.
2. Menurut Maria Farida, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi
seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya.
3. Menurut Kelsen, yang dimaksud dengan norma adalah “…… that something
ought to be or ought to happen, especially that a human being ought to
behave in a specific way” (sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya

7
terjadi, khususnya bahwa manusia seharusnya berperilaku dengan cara
tertentu).
4. Menurut Sudikno Mertokusumo kaidah diartikan sebagai peraturan hidup
yang menetukan bagaimana manusia itu seyogyanya berperilaku, bersikap di
dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain
terlindungi, atau dalam arti sempit kaidah hukum adalah nilai yang terdapat
dalam peraturan konkret.
5. Menurut Jimmly Asshiddiqie, norma atau kaidah merupakan pelembagaan
nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan,
anjuran atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang
bersifat positif atau negatif mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau
anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk
melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.

3. Pembagian Norma

Norma atau kaidah pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu;

1. Norma Etika
Norma etika meliputi norma susila, norma agama, dan norma kesopanan.
Ketiga norma atau kaidah tersebut dibandingkan satu sama lain dapat
dikatakan bahwa norma agama dalam arti vertikan dan sempit bertujuan
untuk kesucian hiudp pribadi, norma kesusilaan bertujuan agar terbentuk
kebaikan akhlak pribadi, sedangkan norma kesopanan bertujuan untuk
mencapai kesedapan hidup bersama antar pribadi. Dilihat dari segi tujuannya
maka norma hukum bertujuan kepada cita kedaiman hidup antar pribadi,
keadaan damai terkait dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan
keseimbangan anatara ketertiban dan ketentraman. Tujuan kedamaian hidup
bersama dimaksud dikaitkan pula dalam perwujudan kepastian, keadilan dan
kebergunaan. Dari segi isi norma hukum dapat dibagi menjadi tiga, pertama,
norma hukum yang berisi perintah yang mau tidak mau harus dijalankan atau
ditaati

8
2. Norma Hukum
Norma Hukum yang berisi larangan, dan ketiga, norma hukum berisi
perkenaan yang hanya mengikat sepanjang para pihak yang bersangkutan
tidak menentukan lain dalam perjanjian.
a. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, norma hukum
memiliki sifat antara lain:
1) Imperatif, yaitu perintah yang secara apriori harus ditaati baik
berupa suruhan maupun larangan;
2) Fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib dipatuhi.
Sifat imperatif dalam norma hukum biasa disebut dengan
memaksan (dwingenrecht), sedangkan yang bersifat fakultatif
dibedakan antara norma hukum mengatur (regelendrecht) dan
norma hukum yang menambah (aanvullendrecht). Terkadang
terdapat pula norma hukum yang bersifat campuran atau yang
sekaligus memaksa dan mengatur. Norma hukum dapat pula
dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak dan yang
bersifat konkret dan individual. Norma hukum bersifat abstrak
karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa
menunjuk atau mengaitkan dengan subjek konkret, pihak dan
individu tertentu. Sedangkan norma hukum yang konkret dan
individual ditujukan kepada orang tertenu, pihak atau subjek-subjek
hukum tertentu atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.
b. Menurut Maria Farida mengemukakan ada beberapa kategori norma
hukum dengan melihat bentuk dan sifatnya, yaitu:
1) Norma hukum umum dan norma hukum individual. Norma hukum
umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang
banyak (addressatnya) umum dan tidak tertentu. Sedangkan
norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan pada
seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu.
2) Norma hukum abstrak dan norma hukum konkret. Norma hukum
abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan

9
seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak konkret.
Sedangkan norma hukum konkret adalah suatu norma hukum
yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkret).
3) Norma hukum yang terus-menerus dan norma hukum yang
sekaliselesai. Norma hukum yang berlaku terus menerus
(dauerhaftig) adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi
oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus menerus,
sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang
baru.
Sedangkan norma hukum yang berlaku sekali-selesai (einmalig)
adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan
setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja sehingga
dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut selesai.
4) Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan. Norma
hukum tunggal adalah norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak
diikuti oleh suatu norma hukum lainnya jadi isinya hanya
merupakan suatu suruhan tentang bagaimana seseorang
hendaknya bertindak atau bertingkah laku. Sedangkan norma
hukum berpasangan terbagi menjadi dua yaitu norma hukum
primer yang berisi aturan/patokan bagaimana cara seseorang
harus berperilaku di dalam masyarakat.
norma hukum sekunder yang berisi tata cara penanggulangannya
apabila norma hukum primer tidak dipenuhi atau tidak dipatuhi.

C. Moral
1. Pengertian Moral

Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi
pekerti, atau susila.

10
Moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan
adalah tuntutan kodrat manusia, memahami pengertian moral dengan tiga cara:
1. Moral sebagai tingkah laku manusia yang mendasarkan diri padakesadaran
bahwa a terkait oleh keharusan mencapai yang baik menurut nilai dan norma
yang berlaku di lingkunganya.
2. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup dengan warna
dasar tertentu yang di pegang teguh oleh sekelompok manusia dalam
lingkungan tertentu.
3. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan
pandangan hidup tau agama tertentu. Moral sebagai kesusilaan, yaitu
keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk
melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar.

2. Objek Moral
Sebelum melakukan perbuatan, manusia menentukan sendiri apa yang akan
dikerjakan. la telah menentukan sikap, mana yang harus dilaksanakan, mana yang
tidak boleh dilaksanakan. Sikap ini ditentukan oleh kehendak yang merupakan sikap
batin manusia, yang mengamati perbuatan apa yang dilakukan. Perbuatan yang
akan dilakukan merupakan obyek yang ada dalam suara hati manusia yang dalam
diri manusia ada dua;
a. Suara hati yang mengarah ke kebaikan.
b. Suara was-was yang mengajak ke keburukan.
Meskipun pada dasarya manusia itu selalu cenderung berbuat baik, tetapi
kesadaran seperti di uraikan di atas tidaklah datang dengan sendirinya. Kesusilaan
harus di ajarkan dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah
terbentuk manusia susila lahir dan bathin.
Kesimpulan dari uraian di atas, bahwa obyek moral adalah tingkah laku manusia,
perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun secara
kelompok. Dalam melakukan perbuatan tersebut manuisia di dorong ole tiga unsur,
yaitu:

11
1) Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan pada
manusia untuk melakukan perbuatan.
2) Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam
segala situasi dan kondisi
3) Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang
memberikan corak dan warna perbuatan tersebut.

3. Sumber Moral

Sumber moral yang berupa ketentuan-ketentuan yang berlaku dan mengikat


kehidupan manusia tau masyarakat tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut
adalah:

1) Ketentuan agama yang berdasarkan wahyu


2) Ketentuan kodrat dalam diri manusia termasuk ketentuan moral universal,
yaitu moral yang seharusnya.
3) Ketentuan adat istiadat buatan manusia termasuk ketentuan moral yang
berlaku pada suatu waktu.
4) Ketentuan hukum buatan manusia baik hokum adat maupun hokum
negara Ketentuan-ketentuan tersebut merunakan norma-norma dalam
suatu masyarakat sebagai sumbe moral, yaitu norma agama, norma
hukum, adat istiadat. Jika melanggarnya akan di kenai sanksi yang
berupa hukuman oleh negara, diri sendiri, masyarakat atau tuhan.

4. Sifat-sifat Moral
Sama halnya dengan nilai, sifat dari moral pun ada yang memiliki
pandangan yang bertentangan dari para filosof. Sebagian dari mereka

12
mengatakan bahwa moral bersifat objektifvistik-universal dan sebagian
mengatakan bahwa moral it bersifat relatifvistik-kontekstual.
Moral bersifat objektivistik, artinya baik dan buruk itu bersifat pasti dan
tidak berubah. Perilaku yang baik akan tetap baik, bukan kadang baik dan
kadang tidak baik. Dalam pandangan absolut, baik buruk itu mutlak,
sepenuhnya, dan tapa syarat. Mencuri sepenuhnya tidak baik dalam keadaan
apapun dan kapanpun. Dalam pandangan universal, prinsip-prinsip moral yang
bersifat obyektifvistik-universal dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip Moral selalu
mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaiknya sebagai manusia.

5. Aliran-aliran moral

Adanya bermacam pendapat tentang filsafat moral atau filsafat kesusilaan


menyebabkan timbulnya aliran-aliran. Ada yang berpendapat bahwa kesusilaan
itu ditentukan oleh tujuan manusia/hidup terutama hidup yang mengutamakan
kenikmatan hidup. Suatu perbuatan dipandang memenuhi kesusilaan apabila
perbuatan tadi ditujukan untuk mencapai kenikmatan. Ada pula yang
berpendapat bahwa kesusilaan it berdasarkan pada manfaat perbuatan tersebut
dan ada yang berpendapat bahwa yang dikatakan susila ialah yang sesai
dengan agama. Adapun aliran-aliran filsafat moral di antaranya ialah:
a. Hedonisme.
Ukuran baik dan buruk bagi aliran in ialah segala perbuatan membawa
kebahagiaan dan kenikmatan yang merupakan tujuan manusia. Yang
dimaksud dengan kebahagiaan ialah suatu keadaan yang tanpa menderita,
yang dapat dicapai dengan akal manusia. Hedonisme dapat digolongkan
dalam dua macam golongan, yaitu:
1) Hedonisme yang egoistik.
Aliran in merupakan bahwa manusia harus mencari kenikmatan yang
sebesar-besarnya untuk diri sendiri. Sesuatu perbuatan yang dipilih
harus di pertimbangkan apakah perbuatan tersebut mengandung

13
kenikmatan yang lebih besar bagi dirinya sendiri. Kalua memang
demikian, maka perbuatan tersebut sebaiknya dikerjakan.
2) Hedonisme yang universalistik.
Aliran ini orang dalam hidupnya harus berusaha untuk mencapai
kebahagiaan dan kenikmatan bagi seluruh umat manusia. Baik dan
buruk berdasarkan pada adanya manfaat dan kesenangan bagi
semua orang. Baik apabila membawa kenikmatan semua manusia
dan buruk, apabila membawa penderitaan bagi manusia seluruhnya.

b. Utilitarisme.
Aliran in mengatakan bahwa yang baik ialah yang ada manfaatnya atau
"utility". Semua perbuatan manusia harus diarahkan kepada kemanfaatan,
jadi baik dan buruk diukur dari adanya manfaat. Jhon Stuart Mill, tokoh aliran
ini mengatakan:" Kemanfaatan adalah kebahagiaan untuk jumlah manusia
sebanyak-banyaknya".
c. Naturalisme.
Menurut aliran ini kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan menuruti
panggilan "natur" atau panggilan alam. Sesuatu perbuatan dikatakan
bermoral apabila sesai dengan panggilan alam. Tugas manusia di dunia in
adalah memenuhi kebutuhanya untuk memenuhi panggilan alam, ialah
kelangsungan hidup. Gangguan terhadap kelangsungan hidup akan
mengakibatkan hilangnya kebahagiaan.
d. Vitalisme.
Perbuatan manusia di anggap bermoral ialah apabila perbuatan tersebut
menunjukan daya hidup. Seseorang yang bermoral tinggi ialah yang dapat
menunjukan kekuatanya sebagai seorang yang kuat, seorang yang istimewa,
seorang "ubermensch". Tokoh dari aliran ini ialah seorang ahli filsafat jerman
Friedrich Nietzsche (1844-1900). la mengatakan ada dua macam moral,
yaitu herrenmoral dan Sklaven-moral.

14
1) Herrenmoral
Nietzsche mengatakan bahwa Herrenmoral adalah moral yang dipunyai
oleh "tuan-tuan besar" atau moral kepunyaan "orang yang kuat" "moral
penguasa", moral Ubermensch. Seseorang Ubermensch adalah
seseorang yang dapat menentukan hidupnya sendiri dengan aturan-
aturan yang berlaku bag kelompoknya sendiri. Ubermensch tidak perlu
merasa bersalah dan berdosa dan berdosa hanya patut bagi anak-anak
dan budak. Jadi yang dikatakan moral penguasa, yaitu moral bag tuan-
tuan ialah semua tindakan yang disukai, tidak tergantung pada ukuran
atau norma yang ada.

2) Sklaven-moral
Pada dasarya menurut Nietzsche masyarakat itu hanya dua golongan,
yaitu Herren dan Sklaven, tuan dan budak, si kuat dan si lemah.
Golongan lemah hanya patut menjadi budak dari golongan penguasa
dan segala sesuatu yang baik bagi si kuat merupakan larangan bagi si
lemah. Perbuatan baik bagi si lemah atau si budak-budak ialah selalu
mengabdi kepada yang kuat, kepada penguasa.
Golongan Sklaven tidak dibenarkan berbuat yang menentang Herren,
yang boleh bertindak sekehendak sendiri.
e. Theologi
Aliran moral in mengatakan, bahwa sesuatu perbuatan dikatakan bermoral
yang baik apabila perbuatan tersebut sesuai dengan agama.
Artinya: perbuatan tersebut sesai dengan perintah Tuhan dan menjauhi
laranganya. Tuntutan kesusilaan dalam hal in telah di gariskan oleh agama
dan tertulis dalam kitab suci masing-masing agama. Tentunya bagi masing-
masing agama, norma-norma tersebut tidak sama, tetapi dalam garis
besarnya tuntutan kesusilaan dalam agama ada kesamaan.
Orang dikatakan bermoral jika tingkah lakunya sesuai dengan norma- norma yang
terdapat dalam masyarakat, baik norma agama, adat istiadat,hukum dan sebagainya.

15
D. Etika
1. Pengertian Etika
Secara bahasa kata ‘etika’ lahir dari bahasa Yunani ethos yang artinya
tampak dari suatu kebiasaan. Dalam hal ini yang menjadi perspektif objeknya
adalah perbuatan, sikap, atau tindakan manusia. Pengertian etika secara khusus
adalah ilmu tentang sikap dan kesusilaan suatu individu dalam lingkungan
pergaulannya yang kental akan aturan dan prinsip terkait tingkah laku yang
dianggap benar.
Sedangkan pengertian etika secara umum adalah aturan, norma, kaidah,
ataupun tata cara yang biasa digunakan sebagai pedoman atau asas suatu
individu dalam melakukan perbuatan dan tingkah laku. Penerapan norma ini
sangat erat kaitannya dengan sifat baik dan buruknya individu di dalam
bermasyarakat.
Dengan begitu, Etika adalah ilmu yang mempelajari baik dan buruknya
serta kewajiban, hak, dan tanggung jawab, baik itu secara sosial maupun moral,
pada setiap individu di dalam kehidupan bermasyarakatnya. Atau bisa dikatakan
juga bahwa etika mencakup nilai yang berhubungan dengan akhlak individu
terkait benar dan salahnya.
Etika tentunya harus dimiliki oleh setiap individu dan sangat dibutuhkan
dalam bersosialisasi yang mana hal itu menjadi jembatan agar terciptanya suatu
kondisi yang baik di dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Pengertian Etika Menurut Para Ahli


Berikut ini adalah penjabaran secara singkat mengenai pengertian etika dari
beberapa ahli.
1) Aristoteles
Aristoteles merupakan seorang filsuf asal Yunani dan murid dari Plato
berpendapat dengan membagi etika menjadi 2 pengertian, yakni Terminius
Technicus dan Manner and Cutom.
Terminius Technicus merupakan etika sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari problema tingkah laku atau perbuatan individu (manusia),

16
sedangkan Manner and Cutom merupakan pengkajian etika berkaitan
dengan tata cara dan adat yang melekat dalam diri individu, serta terkait
dengan baik dan buruknya tingkah laku, perbuatan, ataupun perilaku individu
tersebut.
2) W. J. S. Poerwadarminta
Wilfridus. J. S Poerwadarminta merupakan salah satu tokoh sastra
Indonesia, mengemukakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan terkait
perbuatan dan perilaku manusia dilihat dari sisi baik dan sisi buruknya yang
ditentukan oleh manusia pula.

3) Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja


Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja merupakan salah satu tokoh
pendidikan di Indonesia, memberikan definisi bahwa etika adalah suatu ilmu
yang memberikan arahan, acuan, dan juga pijakan pada suatu perilaku atau
perbuatan manusia.
4) Louis O. Kattsoff
Kattsoff memberikan pandangan bahwa etika pada hakikatnya lebih
cenderung berkaitan dengan asas-asas pembenaran dalam relasi tingkah
laku antarmanusia.
5) H. A Mustafa
H. A. Mustafa mengemukakan pengertian etika adalah ilmu yang menelaah
suatu tingkah laku atau perbuatan manusia dari segi baik dan buruknya
dengan memperhatikan perilaku manusia tersebut sejauh yang diketahui
oleh akal pikiran manusia.
6) K. Bertens
Menurut K. Bertens, pengertian etika, yakni:
 Etika adalah nilai moral dan norma yang menjadi pedoman, baik bagi
suatu individu maupun suatu kelompok, dalam mengatur tindakan atau

17
perilaku. Dengan kata lain, pengertian ini disebut juga sebagai sistem nilai
di dalam hidup manusia, baik perorangan maupun bermasyarakat.
 Etika berarti ilmu mengenai baik dan buruknya manusia (moral).
 Kemudian, etika juga diartikan sebagai kumpulan nilai moral dan asas
(kode etik).
7) Prof. Robert Salemon
Menurutnya, etika adalah karakter atau kepribadian suatu individu atau
hukum sosial yang mengendalikan, mengatur, juga membahas terkait
perilaku individu.
8) Sumaryono
Sumaryono mendefinisikan etika sebagai studi yang membahas mengenai
suatu kebenaran dari tindakan atau perilaku manusia atas kodrat atau fitrah
yang memang sudah melekat pada diri manusia itu.
Etika Kehidupan Berbangsa Prinsip-Prinsip Etika dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara Berdasarkan Pancasila
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan suku, bangsa, agama,
adat istiadat, dan lainnya. Selain itu, beragam pula pandangan antarindividu
yang satu dengan lainnya. Pancasila lahir sebagai pedoman bangsa
Indonesia yang mana di dalamnya memuat 5 sila sebagai petunjuk dalam
bermasyarakat.

3. Ciri-Ciri atau Karakteristik Etika


Berikut akan dijabarkan ciri-ciri ataupun karakteristik dari etika.
1) Etika Bersifat Mutlak atau Absolut
Etika mempunyai sifat mutlak atau absolut berarti sebuah etika berlaku untuk
siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Etika sebagai prinsip yang tidak
dapat dinegosiasikan dan tidak pula tergantung dengan dasar moral yang
berubah-ubah.
Sebagai contoh, membunuh dan merampas hak atau milik orang lain
merupakan perbuatan dan tindakan yang tidak bermoral apapun itu
alasannya.

18
2) Etika Tetap Berlaku Meskipun Tanpa Disaksikan oleh Orang Lain
Umumnya, etika tetap berlaku meskipun tidak disaksikan oleh siapapun. Hal
itu karena etika berkaitan dengan hati nurani dan prinsip hidup manusia yang
baik.
Sebagai contoh, apabila ada individu yang mencuri meskipun tak diketahui
oleh orang lain, tetap saja itu itu merupakan suatu tindakan yang telah
melanggar etika dan norma yang berlaku. Sehingga bagaimanapun juga
moral dari individu tersebut akan buruk, meski tidak dijerat oleh aparat
penegak hukum sekalipun.
3) Etika Berhubungan dengan Cara Pandang Batin Manusia
Etika, yakni cara perspektif batin yang berhubungan dengan baik dan
buruknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia atau individu.
Pada hakikat, setiap manusia tentu diajarkan berbagai hal yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Maka lambat laun manusia akan mengetahui perkara
yang baik dan buruk sehingga akan terbentuk dan tertanam di hatinya.
Hal ini tentunya akan memunculkan perdebatan dalam diri manusia apabila
ingin melakukan perbuatan yang buruk atau jahat.
4) Etika Berhubungan dengan Perbuatan, Perilaku, dan Tingkah Laku
Manusia
Etika sangat erat kaitannya dengan perilaku, perbuatan, dan tingkah laku
suatu individu. Dengan begitu, umumnya, etika akan terbentuk secara alami
akibat adanya perilaku, perbuatan, dan tingkah laku dari individu tersebut.
Perilaku dan perbuatan yang buruk dianggap sebagai etika yang buruk,
sedangkan perilaku dan perbuatan yang baik maka dianggap sebagai etika
yang baik pula.
Intinya, bagaimanapun juga etika sangat amat berkaitan dengan perilaku dan
perbuatan yang dilakukan oleh individu itu sendiri.
5) Etika Profesi
Etika bukan hanya diperlukan di lingkungan bermasyarakat saja, melainkan
juga di lingkungan profesi. Setiap profesi pasti erat kaitannya dengan etika

19
terkait nilai, norma, dan kewajiban moral. Maka dari itu, setiap anggota suatu
profesi harus sadar bahwa pekerjaannya memiliki keterlibatan moral tertentu.

4. Macam-Macam Etika
Berikut ini merupakan pembahasan mengenai apa saja macam-macam etika
berdasarkan jenisnya, cakupannya, lingkungannya, dan sumbernya. Simak
penjelasan di bawah ini.
a. Etika Berdasarkan Jenisnya
Menurut jenisnya, ada dua jenis-jenis etika di antaranya etika normatif dan
etika deskriptif. Berikut penjabarannya secara singkat.

1. Etika Normatif
Etika normatif adalah jenis etika yang berusaha menentukan dan
menetapkan berbagai perilaku, perbuatan, sikap ideal yang
seharusnya dimiliki oleh tiap individu di dalam hidup ini.
2. Etika Deskriptif
Etika deskriptif adalah jenis etika yang berusaha memandang
perilaku dan sikap individu, serta apa yang individu itu kejar di
dalam hidup ini atas perkara yang memiliki nilai.
b. Etika Berdasarkan Cakupannya
Menurut cakupannya, ada dua jenis-jenis etika, yaitu etika khusus dan
etika umum. Berikut penjabarannya secara singkat.
1. Etika Khusus
Etika khusus merupakan jenis etika yang menjadi suatu
implementasi dari prinsip atau asas moral di dalam kehidupan
individu secara khusus.
2. Etika Umum

20
Etika umum merupakan jenis etika yang berkaitan dengan situasi
dan kondisi dasar mengenai perilaku dan tindakan individu secara
etis.
c. Etika Berdasarkan Lingkungannya
Berdasarkan lingkungannya, ada dua jenis etika, yaitu etika individual dan
etika sosial. Berikut penjabarannya secara singkat.
1. Etika Individual
Etika individual merupakan etika yang memiliki kaitannya
dengan sikap dan kewajiban dari individu atas dirinya sendiri.
2. Etika Sosial
Etika sosial merupakan jenis etika yang memiliki kaitannya
dengan sikap dan kewajiban, serta perilaku suatu individu
sebagai umat manusia.

d. Etika Berdasarkan Sumbernya


Menurut sumbernya, ada dua jenis etika, di antaranya etika teologis dan
etika filosofis. Berikut penjabarannya di bawah ini.
1. Etika Teologis
Etika teologis adalah jenis etika yang berhubungan dengan agama
juga kepercayaan suatu individu, tanpa adanya batasan pada suatu
agama tertentu. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam etika
teologis ini.
Pertama, etika teologis tidak dibatasi oleh satu agama saja, hal itu
karena mengingatnya banyaknya jumlah agama di dunia ini. Pada
hakikatnya, setiap agama pastinya memiliki etika teologisnya
masing-masing berbeda dan juga spesifik.
Kedua, etika ini merupakan lingkupan dari etika umum yang
sebagian besar individu telah menerapkan dan mengetahuinya.
Etika umum ini condong luas dan banyak dengan bagian-bagian
yang tak terbatas. Sehingga secara tak langsung, seorang individu

21
memahami etika teologis dengan cara mengetahui dan memahami
pula dari etika umum, dan sebaliknya.
2. Etika Filosofis
Etika filosofis adalah jenis etika yang lahir dari kegiatan berpikir
atau berfilsafat yang dilakukan oleh individu dan termasuk dalam
bagian dari filosofis (berdasarkan filsafat).
Filsafat sebagai suatu bidang ilmu yang salah satunya mempelajari
pikiran manusia. Adapun etika filosofis dibagi menjadi dua sifat,
yakni empiris dan non-empiris.
Empiris merupakan jenis filsafat yang erat kaitannya dengan
sesuatu yang nyata, berwujud, atau konkret. Contohnya, apabila
suatu individu mengambil salah satu bidang filsafat hukum, akan
membahas terkait hukum
Kemudian, non-empiris merupakan bagian yang berupaya melebihi
suatu yang nyata, berwujud, atau konkret sebelumnya. Sifat non-
empiris ini cenderung menanyakan gejala konkret yang
menyebabkannya.
5. Fungsi Etika
Tentu etika memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Sebagai tempat untuk mendapatkan pandangan atau perspektif kritis yang
berhadapan langsung dengan berbagai suatu moral yang
membingungkan.
2. Guna pandangan atau orientasi etis ini perlu adanya mengambil suatu
sikap yang wajar dalam situasi dan kondisi masyarakat yang majemuk
(pluralisme).
3. Guna memperlihatkan suatu keterampilan berpikir jernih, yaitu suatu
kebolehan untuk berargumentasi secara kritis dan rasional.
4. Berfungsi sebagai pembeda mana yang boleh diubah dan mana yang
tidak dapat diubah.
5. Berfungsi menyelidiki suatu konflik atau permasalahan hingga ke akar-
akarnya.

22
6. Berfungsi untuk membantu sebuah konsistensi.
7. Berfungsi untuk menyelesaikan konflik, baik konflik moralitas maupun
konflik sosial lainnya, dengan bentuk gagasan yang tersistematis juga
kritis

23

Anda mungkin juga menyukai