Anda di halaman 1dari 13

KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA

DALAM MENANGANI KASUS HUMAN TRAFFICKING DI


KAWASAN ASIA TENGGARA TAHUN 2010-2012

MUHAMMAD TAUFIQ RAZALI


Dosen Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora
Universitas Karimun
Email: taufiqrazali09@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini merupakan kajian politik dan keamanan yang menganalisis
mengenai aspek sekuritisasi Indonesia dalam upaya menangani kasus human
trafficking di kawasan Asia Tenggara tahun 2010-2012. Perkembangan kasus
human traficking di Kawasan Asia Tenggara terus meningkat dan saat ini lebih
dari 200.000 orang menjadi korban dari kasus human traficking.
Perkembangan human trafficking di kawasan Asia Tenggara juga berdampak
pada Indonesia. Sampai saat ini Indonesia telah termasuk karegori negara
tier 2 baik sebagai negara pengirim, transit dan tujuan dari perdagangan
manusia. Sehingga harus ada kebijakan dari Pemerintah Indonesia untuk
mengantisipasi meningkatnya kasus human trafficking di Kawasan Asia
Tenggara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif deskriptif dengan menggambarkan kondisi empiris. Teknik
pengumpulan data penelitian dari beberapa buku-buku, jurnal, media massa,
website dan protokol Palermo. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa
kebijakan sekuritasi pemerintah Indonesia dalam upaya menangani human
trafficking di kawasan Asia Tenggara adalah dengan membentuk Satuan
Tugas khusus menangangi perdagangan manusia dan melakukan kerjasama
dengan negara lain dan organisasi internasional untuk menanggulangi kasus
human traficking di Kawasan Asia Tenggara. Beberapa bentuk kebijakan
Indonesia adalah sebagai berikut: Pemerintah Indonesia membentuk Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Pemerintah Indonesia merativikasi perjanjian internasional anti human
trafficking, Pemerintah Indonesia melakukan kerjasama anti human traficking
dengan negara ASEAN dan Pemerintah Indonesia melakukan kerjasama
dengan International Labour Organization dalam mengantisipasi kasus human
trafficking di Indonesia.

Kata Kunci: kebijakan, sekuritisasi, human trafiicking

VI. Pendahuluan

Penelitian ini merupakan sebuah kajian politik dan keamanan yang


menganalisis mengenai kebijakan sekuritisasi Indonesia dalam upaya
menangani kasus human trafficking di kawasan Asia Tenggara tahun 2010-
2012.

105
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang diawali dengan
menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi berkaitan kasus human
traficking di kawasan Asia Tenggara. Setelah itu akan dilanjutkan dengan
menganalisa mengenai kebijakan sekuritisasi Indonesia dalam upaya
menangani kasus human trafficking di kawasan Asia Tenggara.
Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan (library research) dan wawancara bersama informan penelitian.
Pada metode ini, data- data yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas merupakan data-data sekunder yang didapatkan dari buku-buku,
majalah-majalah, jurnl, surat kabar, buletin, laporan tahunan dan sumber-
sumber lainnya. Peneliti juga menggunakan sarana internet dalam proses
pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang akan
dibahas.
Dalam rangka memberikan fokus yang lebih tajam terhadap
permasalahan yang dibahas, maka peneliti merasa perlu untuk memberikan
batasan waktu dalam penelitian ini. Adapun rentang waktu yang akan peneliti
maksud adalah antara tahun 2010-2012. Tahun 2010 dipilih karena pada saat
itu merupakan peningkatan kasus perdagangan manusia di Kawasan Asia
Tenggara. Namun begitu batasan tahun pada penelitian ini bukan merupakan
suatu hal yang mutlak, tahun-tahun sebelum dan sesudahnya juga akan
menjadi bagian dari kajian penelitian ini.

VII. Tinjauaun Pustaka


Kerangka teori dibutuhkan untuk penelitian untuk menelaah permasalahan
penelitian dengan lebih terperinci. Selain itu kerangka teori juga berguna bagi
peneliti untuk menyimpulkan hasil penelitian dan menemukan hipotesis
penelitian ini. Kerangka teori yang digunakan yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian ini adalah konsep sekuritisasi dan konsep keamanan
kolektif.
Tingkat analisa yang digunakan adalah negara bangsa (nation state)
dengan alasan bahwa objek utama dalam hubungan internasional adalah
perilaku negara bangsa, dengan asumsi bahwa semua pembuat keputusan,
dimanapun berada, pada dasarnya berperilaku sama apabila menghadapi
situasi yang sama.

106
Perdagangan manusia atau trafficking in persons dalam Fact Sheet no.
14 yang diterbitkan oleh Kantor Komisi Tinggi HAM PBB (Office of the High
Commissioner of Human Rights), dirumuskan sebagai: “…The recruitment,
clandestine transport and exploitation of women as prostitutes, and the
organized prostitution of children of bots sexes. Sedangkan Pasal 3 Protocol to
Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and
Children, A/55/383 merumuskannya sebagai berikut:
…The recruitment, transportation, transfer, harbouring or
receipt of persons, by means of the threat or use of force or other
forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of
power or of a position of vulnerability or of the giving orreceiving of
payments or benefits to achieve the consent of a person having control
over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall
include, at a minimum, the exploitation of the prostitution ofothers or
other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or
practices similar to slavery, servitude or the removal of
organs…………….…”

Sekuritisasi dipahami sebagai sebuah proses politik untuk menjadikan


suatu masalah/isu yang sebelumnya bukan masalah/isu militer menjadi
masalah keamanan dengan melihat isu tersebut dari sudut pandang kemanan
(security), sehingga isu tersebut dijadikan sebagai agenda nasional suatu
negara (bahkan agenda global).
Teori sekuritisasi dalam kajian hubungan internasional tergolong
konsep baru yang berkaitan dengan power of idea yang dipahami sebagai
kemampuan untuk memproduksi ide dan menghasilkan sebuah discourse
untuk mempengaruhi pihak lain. Selain unsure power of idea, unsure yang
juga berperan dalam sekuritisasi adalah speech act, yaitu kemampuan
melakukan sosialisasi ide untuk menentukan tipologi ancaman suatu negara.
Dalam pandangan Buzan dan Weaver.

“A speech act is interesting because it holds the insurrecting


potential to break the ordinary, to establish meaning that is not
already in the context. It reworks or produces a context by the
performative success of the act”.

107
Merupakan produk speech act atau dalam istilah Weaver, “it is by
labeling something a security that is becomes one” oleh pelaku sekuritisasi
atau biasa disebut actor sekuritisasi. Aktor sekuritisasi dapat menyatakan
sebuah obyek tertentu (referent object) dalam kondisi terancam sehingga
dibutuhkan tindakan untuk menjamin kelangsungan hidup obyek tersebut.
Kemudian isu tersebut berpindah dari isu biasa menjadi isu darurat yang
harus segera ditangani secepatnya. Itu sebabnya speech act merupakan
elemen terpenting dalam sekuritisasi sebuah isu. Dalam memahami speech
act, terdapat tiga unit analisis, yaitu:
1. Referent objects : things that are seen to be existentially
threatened and that have a legitimate claim to survival
2. Securitizing actors : actors who securitize issues by declaring
something- a referent object – existentially threatened
3. Fuctional actors : actors who affect the dynamics of a sector.
Without being the referent object or the actor calling for security on
behalf of the referent object, this is an actor who significantly
influences decisions in the field of security.

Securitization gap adalah adanya perbedaan antara konsep/ gagasan


yang diusung dalam penanganan human trafficking dengan praktek lapangan.
Menurut Rizal Sukma, terdapat empat factor yang menyebabkan terjadinya
securitization gap, yaitu masalah kesejahteraan penduduk, meningkatnya
budaya bekerja khususnya bagi perempuan, budaya korup dari pejabat
negara serta masih marginalnya isu human trafficking dibandingkan dengan
isu keamanan negara lainnya. Dalam uraian Sukma, dapat diindikasikan
bahwa sekuritisasi human trafficking yang dilakukan Indonesia tidak berjalan
seperti yang diharpkan.
Salah satu alasan mendasar untuk menjelaskan ini adalah kembali lagi
pada pendefinisian human trafficking sebagai sebuah isu keamanan. Hal ini
berkaitan dengan motivasi yang nantinya dijalankan oleh pemerintah
Indonesia dalam men – sekuritisasi human trafficking. Dilihat dari segi
penerimaan gagasan atau ide tentang perlunya keamanan bagi manusia
(individu), dalam kasus ini Indonesia telah sepakat. Tetapi ketika dihadapkan
pada pelaksanaannya, Indonesia masih memiliki agenda yang lebih
diprioritaskan.

108
Menurut Sukma, terdapat beberapa motivasi yang menjelaskan
kenapa Indonesia melakukan sekuritisasi human trafficking diantaranya
adalah untuk meningkatkan harga diri bangsa, untuk memperoleh bantuan
dan juga karena tekanan dari luar. Dari sini kita dapat melihat bahwa
motivasi dalam upaya memerangi human trafficking tereduksi oleh
kepentingan negara yang lebih diprioritaskan.
Keamanan kolektif, menurut Inis Claude dari artikel "Keamanan
Kolektif sebagai Pendekatan untuk Perdamaian", dilihat sebagai kompromi
antara konsep dunia dan pemerintah negara-negara berbasis keseimbangan
daya sistem, di mana yang kedua adalah dianggap sebagai merusak atau
bukan cukup baik untuk menjaga perdamaian, dan yang pertama dianggap
tidak dapat dilaksanakan saat ini.
Ketika keamanan kolektif adalah memungkin, ada beberapa prasyarat
yang harus dipenuhi untuk bekerjanya keamanan kolektif. Kolektif keamanan
adalah salah satu jenis strategi dalam membangun koalisi yang sekelompok
negara yang setuju untuk tidak saling menyerang dan saling membela satu
serangan terhadap salah satu dari yang lain, jika serangan itu dilakukan.
Dimana "satu serangan terhadap satu pihak, ini adalah satu serangan
terhadap semua. "Ini berbeda dari" pertahanan kolektif "yang merupakan
koalisi dari berbagai negara yang setuju untuk mempertahankan kelompok
mereka sendiri terhadap serangan dari luar.Oleh karena itu NATO dan Pakta
Warsawa adalah contoh pertahanan kolektif, sedangkan PBB merupakan
keamanan kolektif.
Pendukung dari keamanan kolektif mengatakan ini jauh lebih efektif
daripada pendekatan keamanan negara yang mencoba untuk bertindak
sendiri, sebagai negara yang lemah mungkin tidak dapat membela diri
mereka sendiri, dan negara-negara yang mencoba menjadi sering tidak
pernah terlibat dalam perlombaan senjata yang sebenarnya memperkecil,
daripada meningkatkan, keamanan mereka selama jangka panjang.
Pasca berakhirnya perang dingin, studi keamanan internasional
mengalami banyak perkembangan. Salah satu parameternya adalah subjek
studi keamanan internasional sekarang mengalami pergeseran yang awalnya
hanya seputar isu-isu militer dan keamanan nasional, kini bergeser ke isu-isu
yang lebih luas yang selama ini jarang tersentuh seperti keamanan manusia,

109
keamanan lingkungan, dan struktur sosial (perekonomian dunia dan berbagai
jenis identitas kolektif).
Studi keamanan dengan pilihan objek yang luas inilah banyak
disumbang oleh pemikir-pemikir mahzab Copenhagen dimana sangat kental
dipengaruhi pendekatan konstruktivis. Selain itu Buzan dan Wilde secara
umum melihat studi keamanan dari sudut pandang yang lain yaitu dengan
melihat bahwa semakin kompleksnya permasalahan keamanan serta perlunya
sekuritisasi terhadap masalah keamanan kontemporer. Dalam hal ini penulis
mencoba menggunakan salah satu karya mereka sebagai referensi dalam
melihan permasalahan human trafficking yang terjadi di Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh Walt tentang studi keamanan adalah
merupakan fenomena perang yang didefinisikan sebagai “the study of threat,
use, and control of military force”. Namun pandangan yang berbeda
ditunjukkan oleh Buzan dan Weaver dalam studi keamanan. Buzan melihat
bahwa keamanan merupakan persepsi yang dibentuk oleh negara dalam
mendefinisikan sebuah isu keamanan. Sedangkan Weaver, menambahkan
perlu adanya sekuritisasi terhadap permasalahan keamanan.

VIII. Pembahasan

Permasalahan human trafficking telah menjadi salah satu isu penting


yang diangkat dalam agenda keamanan internasional. Sampai dengan saat ini
kawasan Asia Tenggara dinilai masih tergolong dalam kawasan yang negara –
negaranya belum maksimal dalam penanganan terhadap isu human
trafficking. Berdasarkan data ASEAN tercatat bahwa hanya lima negara yang
memiliki perundang undangan mengenai anti trafficking yaitu: Filipina, Brunei
Darussalam, Myanmar, Indonesia dan Kamboja.
Menurut data dari IOM (International Organization of Migration) sekitar
lebih dari 200.000 orang menjadi korban human trafficking di Asia Tenggara.
Laporan setiap negara dalam kasus human trafficking tiap tahunnya
mengalami kenaikan dengan kasus kasus baru yang ditemukan. Sebagai
acuan lainnya adalah laporan yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri
AS tahun 2010 tentang human trafficking diseluruh dunia.
Human trafficking adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan
terhadap anak dan perempuan dalam bentuk kejahatan yang terorganisir

110
maupun tidak terorganisir yang menyangkut kekerasan secara fisik, mental
ataupun seksual. Saat ini Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat
kasus perdagangan orang yang tinggi. Sebagai salah satu negara anggota
ASEAN, maka isu perdagangan orang menjadi isu regional utama yang
mempengaruhi hubungan negara ASEAN.
Menurut Protokol Palermo yang merupakan Protokol untuk
Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan Manusia. Khususnya
Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir bahwa tindakan-tindakan
efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, terutama
perempuan dan anak-anak, membutuhan sebuah pendekatan internasional
yang komprehensif di negara asal, negara transit dan negara tujuan yang
mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan, untuk
menghukum para pelaku perdagangan dan untuk melindungi korban-korban
perdgangan manusia, termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui
secara internasional.
Kasus human trafficking di Indonesia dari tahun ketahun selalu
mengalami peningkatan yang signifikan. Data dari IOM (International
Organization for Migration) sampai pada bulan April tahun 2006 menunjukkan
bahwa perdagangan orang di Indonesia mencapai 1022 kasus. Sementara itu
berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri bahwa jumlah perdagangan
orang di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 807 kasus dengan melibatkan
sebanyak 857 pelaku. Para korban dalam kasus tersebut terdapat 1.570
orang dewasa (76,4%) dan 485 anak-anak (23,6%). Korban yang
diperdagangkan, dieksploitasi secara seksual dilakukan dengan modus
pengiriman tenaga kerja Indonesia keluar negeri. Berikut ini merupakan data
korban human trafficking di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

Tabel 1.1
Korban Human Trafficking di Indonesia
Age of Trafficked Persons
Sex Total %
Children Adults

111
Female 837 3323 4160 85,37%
Male 162 551 713 14,63%
Grand Total 999 3874 4873 100.00%
Sumber: Trafficking Database 2005-2012 CTIM Unit, IOM Indonesia

Selain itu, menurut Data International Organization for Migration (IOM)


di Indonesia, maka berikut ini adalah data korban-korban perdagangan orang
di dunia, terutama di kawasan Asia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.2
Korban Human Trafficking Berdasarkan Kewarganegaraan
Frequence
Nationality Female Male Total %
Children Adults Children Adults
Indonesia 837 3295 160 376 4668 95,79%
Cambodian 0 1 1 111 113 2,32%
Myanmar 0 0 1 64 65 1,33%
Uzbekistan 0 10 0 0 10 0,21%
Colombia 0 11 0 0 11 0,23%
Ukraina 0 5 0 0 5 0,10%
Maldova 0 1 0 0 1 0,02%
Grand Total 837 3323 162 551 4873 100%
Sumber: Counter Trafficking Database 2005-2012, CTLM Unit, IOM Indonesia
Berdasarkan data tabel diatas, maka dapat digambarkan bahwa tindak
perdagangan orang di kawasan Asia Tenggara terutama Indonesia merupakan
salah satu negara yang memiliki tindak korban perdagangan orang yang
paling besar. Oleh karena itu diperlukan tindakan dan respon yang cepat
dalam menangani kasus human trafficking di kawasan Asia Tenggara.
Semakin meningkatnya tingkat angka kejadian perdagangan manusia
di Indonesia mengakibatkan masyarakat dan pemerintah harus lebih cermat
dalam mengantisipasi hal tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah
dengan menggunakan konsep common security. Adapun beberapa bentuk
kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi perkembangan human
trafficking di kawasan Asia Tenggara adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.

112
Komitmen yang tinggi dan keseriusan pemerintah terhadap
permasalahan perdagangan orang ini telah meningkatkan Indonesia dari
posisi “Tier 3” berdasarkan standar penanganan korban perdagangan orang
menjadi “Tier 2” yang berarti pemerintah Indonesia telah memenuhi standar
minimum pencegahan dan penanganan perdagangan orang seperti yang
ditetapkan oleh ketentuan internasional.
Selain itu ada banyak peraturan perundangan yang telah ditetapkan
termasuk adanya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang yang menetapkan Kemenko Kesra sebagai Ketua Umum
Gugus Tugas dan KPP-PA sebagai Ketua Harian. Sebagai lembaga koordinatif
Gugus Tugas ini berperan:

a. Mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan perdagangan


orang

b. Melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerjasama


c. Memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi
d. Rehabilitasi Kesehatan, Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan
Reintegrasi Sosial

e. Memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum


f. Melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
Saat ini telah terbentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan
perdagangan orang di 20 provinsi dan 72 Kabupaten/Kota. Sebagai acuan dan
guna kelancaran pelaksanaan koordinasi pencegahan dan penanganan
perdagangan orang, telah diterbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat No.25 Tahun 2009 Tentang Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual
Anak.

2. Pemerintah Indonesia Menyepakati Kerjasama Internasional terkait


Human Trafficking
Selain pada upaya nasional, pemerintah juga mengupayakan
mekanisme kerjasama internasional, antara lain dengan melakukan hal-hal
sebagai berikut:

a. Indonesia menjadi anggota Working Group dari Senior Official Meeting


on Trans Organized Crime (SOM TOC).

113
b. Indonesia bersama dengan Australia menjadi Co-Chairs Bali Process,
guna membahas solusi permasalahan peneyelundupan orang dan
trans-organized crime termasuk TPPO.

c. Melakukan Workshop antara Indonesia dengan Malaysia dalam rangka


kerjasama PTPPO lintas batas negara antara Sabah dan Kalimantan
Timur. Ditindaklanjuti dengan Koordinasi antara Gugus Tugas PPTPPO
Indonesia dengan Majelis Anti Pemerdagangan Orang (MAPO) Malaysia
guna rintisan MOU Pemberantasan TPPO.

d. Indonesia mengikuti pertemuan global tentang melawan TPPO (Global


Meeting To Fight Trafficking in Persons) yang diselenggarakan oleh
United Nation Office of Drug and Crime (UNODC).

e. Indonesia menjadi anggota Working Group on Protocol To Prevent,


Suppress and Punish Trafficking in Persons especially Women and
Children yang dikoordinasikan oleh UNODC.

f. Indonesia menjadi peserta pertemuan the 3rd World Conference


Against Sexual Exploitation of Children and Youth di Rio de Janeiro,
Brasil.

g. Indonesia menjadi peserta pertemuan Konferensi PBB melawan


Kejahatan Transnasional di Wina pada 18-22 Oktober 2010
Dalam hal Koordinasi dan Kerjasama, upaya pemberantasan
perdagangan orang telah dilakukan oleh Indonesia dalam forum regional
seperti menjadi anggota Working Group dari Senior Official Meeting on Trans
Organized Crime (SOM TOC). Selain itu, Indonesia bersama dengan Asutralia
menjadi Co-Chairs Bali Process yang bekerjasama membahas solusi
permasalahan penyelundupan orang dan trans organized-crime, yang
termasuk didalamnya yaitu perdagangan orang.

3. Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan ASEAN dalam Menangani


Perdagangan Orang
Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan
Perdagangan Orang Di Indonesia dalam memerangi kejahatan transnasional
dimulai pada Declaration of ASEAN Concord pada 24 Februari 1976 oleh
negara-negara anggota yang menyerukan adanya kerjasama intensif untuk
mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan narkotika dan perdagangan
obat bius.

114
Pada perkembangannya, kerjasama permasalahan kejahatan
transnasional pertama kali diangkat pada pertemuan Menteri Dalam Negeri
ASEAN di Manila tahun 1997 yang mengeluarkan ASEAN Declaration on
Transnational Crimes. Dengan semakin meluasnya kejahatan transnasional,
pada pertemuan ASEAN Summit ke-6 pada Dember 1998 di Hanoi, Vietnam,
para kepala negara ASEAN mengesahkan Hanoi Plan of Action (HPA) guna
merealisasikan visi ASEAN 2020 yang telah disahkan sebelumnya yang
diantaranya menuntut penguatan kemampuan regional untuk memberantas
kejahatan transnasional.
Pada pertemuan ASEAN tahun 2002, perjanjian ASEAN Plan of Action
to Combat Transnational Crimes (ASEAN-PACTC) menyebutkan bahwa
perdagangan orang merupakan salah satu dari 8 jenis kejahatan lintas negara
selain pemberantasan terorisme, perdagangan obat terlarang, pencucian
uang, bajak laut, kejahatan internet dan kejahatan ekonomi internasional.
Sejumlah badan ASEAN telah dilibatkan dalam memberantas
kejahatan transnasional, antara lain:

a. ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC), yang


menegaskan upaya ASEAN memberantas kejahatan transnasional
melalui kerjasama regional dan internasional yang lebih luas.
Pertemuan tersebut merupakan pertemuan para Menteri yang
menangani kejahatan lintas negara yang bertemu setiap dua tahun.
AMMTC adalah badan pengambil keputusan tertinggi dalam
kerjasama ASEAN memberantas kejahatan transnasional

b. ASEAN Finance Ministers Meeting (AFMM), yaitu kerjasama para


pimpinan kepolisian ASEAN yang memperkuat kerjasama ASEAN
dalam kegiatan bea cukai dan AFTA serta memperkokoh kerjasama
dalam memberantas perdagangan narkotika, penyelundupan, dan
pengawasan bea cukai. ASEAN Chiefs of National Police
(ASEANAPOL), yang menangani aspek-aspek preventif, penegakan
hukum dan operasional dari kerjasama pemberantasan kejahatan
transnasional

c. ASEAN Senior Officials on Drugs Matters (ASOD), yang mempunyai


rencana aksi pada permasalahan obat bius dan narkotika.

IX. Kesimpulan Dan saran

115
Berdasarkan penjelasan bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa kebijakan sekuritasi pemerintah Indonesia dalam upaya menangani
human trafficking di kawasan Asia Tenggara adalah dengan membentuk
Satuan Tugas khusus menangangi perdagangan manusia dan melakukan
kerjasama dengan negara lain dan organisasi internasional untuk
menanggulangi kasus human traficking di Kawasan Asia Tenggara. Adapun
beberapa bentuk kebijakan yaitu sebagai berikut:
1. Pemerintah Indonesia membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang
2. Pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia merativikasi perjanjian
internasional anti human traffficking.
3. Pemerintah Indonesia melakukan kerjasama anti human traficking
dengan negara ASEAN.
4. Sejak tahun 2007 Pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan
International Labour Organization dalam mengantisipasi kasus human
trafficking di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

ASEAN Selayang Pandang”. 2007. Departemen Luar Negeri Republik


Indonesia.

Buzan, Barry and Lene Hansen. The Evolution Of International Security


Studies.

Buzan, Barry. People, States & Fear an Agenda For International Security
Studies in The Post-Cold War Area 2nd.

Buzan,Weaver,Wilde. Securitization A New Framework For Analysis.

Situation Report on International Migration in East an South East asia,


Regional Thematic Working Group on International Migration including
Human Trafficking. Tahun 2009

Sukma, Rizal. The Securitization Of Human Trafficking In Indonesia.

116
Weaver,Ole. The UE as a Security Actors : Reflection from Pessimistic
Contructivist On Post Sovereign Security Orders.

Jurnal
http : //ecosoc monitor.com/2008/02/ conquering-human-trafficking-in-
asean.html. Verona, Rossy. Qonquering Human Trafficking in ASEAN,
RI.

http//www.satuportal.net.Kasus perdagangan anak meningkat. Diakses pada


tanggal 28 Januari 2011

http://www.colorado.edu/conflict/peace/treatment/collsec.htm

Website
Jurnal Perempuan. 2010. “trafficking dan Kebijakan”. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan

Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan


Manusia. Khususnya Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang
Terorganisir Ditetapkan olehMajelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa pada tanggal 15 Nopember 2000

Trafficking in Person Report, June 2009.pdf.

117

Anda mungkin juga menyukai