Anda di halaman 1dari 29

BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Corporate Governance

Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), secara umum istilah good

corporate governance merupakan system pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat

dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard

definition), maupun ditinjau dari "nilai-nilai" yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu

sendiri (soft definition). Tim GCG BPKP mendefinisikan GCG dari segi soft definition yang

mudah dicerna, sekalipun orang awam, yaitu: "Komitmen, Aturan Main, Serta Praktik

Penyelenggaraan Bisnis Secara Sehat Dan Beretika”. Forum for Corporate Governance (FCGI)

dalam publikasi yang pertamanya mempergunakan definisi Cadbury Committee, yaitu:

"seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola)

perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan

ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain

suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan." Disamping itu FCGI juga

menjelaskan, bahwa tujuan dari corporate governance adalah "untuk menciptakan nilai tambah

bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)." Prinsip-prinsip utama dari good

corporate governance yang menjadi indikator,sebagaimana ditawarkan oleh Organization for

Economic Cooperation and Development (OECD) (Diah Kusuma Wardhani, 2008: 9) adalah :

a) Fairness (Keadilan)

Prinsip keadilan (fairness) merupakan prinsip perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham.

Keadilan yang diartikan sebagai perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama
kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dari kecurangan, dan kesalahan

perilaku insider. Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan

kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran

dan kesetaraan.

b) Disclosure/Transparency (Keterbukaan/Transparansi)

Transparansi adalah adanya pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta

transparansi atas hal penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta pemegang kepentingan.

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi

yang material dan relevan dengan cara yangmudah diakses dan dipahami oleh pemangku

kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah

yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga halyang penting untuk

pengambilan keputusan oleh pemegang saham,kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

c) Accountability (Akuntabilitas)

Akuntabilitas menekankan pada pentingnya penciptaan system pengawasan yang efektif

berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi, dan pemegang saham yang meliputi

monitoring,evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa

manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak

berkepentingan lainnya. Perusahaan harusdapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai

dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham

dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk

mencapai kinerja yang berkesinambungan.

d) Responsibility (Responsibilitas)
Responsibility (responsibilitas) adalah adanya tanggung jawab pengurus dalam manajemen,

pengawasan manajemen serta pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para pemegang

saham. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggung jawab

merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggung jawab

sosial, menghindari penyalahgunaan wewenang kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung

etika dan memelihara bisnis yang sehat.

e) Independency (Independen)

Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen

sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat

diintervensi oleh pihak lain.Independen diperlukan untuk menghindari adanya potensi konflik

kepentingan yang mungkin timbul oleh para pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini

menuntut adanya rentang kekuasaan antara komposisi komisaris, komite dalam komisaris, dan

pihak luar seperti auditor. Keputusan yang dibuat dan proses yang terjadi harus obyektiftidak

dipengaruhi oleh kekuatan pihak-pihak tertentu. Dalam Corporate governance terdapat tiga

komite yang memiliki peranan penting, yaitu:

1) Komite Kompensasi/Remunerasi (Compensation/Remuneration Committe)

2) Komite Nominasi (Nomination/Governance Committee)

3) Komite Audit (Audit Committee)(FCGI Booklet, Jilid II: 11)

2.1.1 The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG)

IICG adalah lembaga independen yang didirikan pada tanggal 2 Juni 2000 dengan tujuan

untuk memasyarakatkan konsep, praktik, dan manfaat tata kelola perusahaan yang baik (Good

Corporate Governance) kepada dunia usaha khususnya dan masyarakat luas pada umumnya

Lembaga ini mempunyai kegiatan melakukan riset dan kajian mengenai penerapan CG di
Indonesia dan manfaat, dampak, serta praktik GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia

selain itu riset dan rating praktik GCG pada perusahaan publik dan BUMN di Indonesia. IICG

juga melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran, pendidikan, workshop, seminar,benchmarking,

dan pelatihan dalam upaya menciptakan pemahaman dan perhatian yang baik terhadap praktik

GCG di kalangan pelaku bisnis, melakukan diseminasi GCG melalui penerbitan buku, paper,

booklet, dan media publikasi lainnya, menyediakan jasa konsultasi bagi perusahaan yang ingin

menerapkan konsep corporate governance termasuk layanan compliance assurance. Menurut

CGPI, 2008 konsep corporate governance dapat didefinisikan sebagai serangkaian mekanisme

yang mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan

sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan (stakeholder). Good corporate governance

dapat didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ

perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan

dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,

berlandasarkan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku.

1) Baik (good) adalah tingkat pencapaian terhadap suatu hasil upaya yang memenuhi

persyaratan, menunjukkan kepatutan dan keteraturan operasional perusahaan sesuai dengan

konsep corporate governance

2) Sistem adalah prosedur formal dan informal yang mendukung struktur dan strategi operasional

dalam suatu perusahaan

3) Proses adalah kegiatan mengarahkan dan mengelola bisnis yang direncanakan dalam rangka

mencapai tujuan perusahaan, menyelaraskan perilaku perusahaan dengan ekspektasi dari

masyarakat, serta mempertahankan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham


4) Struktur adalah (a) susunan atau rangka dasar manajemen perusahaan yang didasarkan pada

pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab di antara organ perusahaan (dewan komisaris,

direksi dan RUPS/ pemegang saham) dan stakeholder lainnya, dan (b) aturan-aturan maupun

prosedur-prosedur untuk pengambilan keputusan dalam hubungan perusahaan (CGPI, 2008,IICG

2009 : 3).

2.1.2 Implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia

GCG di Indonesia secara implisit maupun eksplisit telah diatur dalam beberapa undang-

undang dan peraturan, sehingga implementasi prinsip-prinsip GCG di Indonesia salah satunya

telah di dorong oleh kepatuhan terhadap regulasi. Ada beberapa produk hukum dan peraturan -

peraturan dari lembaga - lembaga terkait (seperti BEI, BAPEPAM-LK) yang mengatur

pelaksanaan GCG di Indonesia. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007

diantaranya telah memperhatikan perkembangan terkini dunia usaha dan juga memperhatikan

praktik GCG sebagai nilai dan konsep yang terkandung dalam undang-undang tersebut. Selain

itu skema pelaksanaan GCG di perusahaan publik (emiten) yang terdaftar pada BEI juga tunduk

pada aturan BAPEPAM-LK dan BEI. Di sektor perbankan, Bank Indonesia telah mempunyai

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate

Governancedi Bank Umum, serta peraturan Bank Indonesia Nomor 8/ 14/ 2006 tentang

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/ 4/ PBI/2006. Untuk Badan Usaha Milik

Negara (BUMN), Kementrian Negara BUMN berperan sebagai pengawas pelaksanaan GCG

berdasarkan Keputusan Menteri BUMN Nomor. KEP-117/M-MBU/2002 Tentang Penerapan

Praktik Good Corporate Governancepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peraturan Bank

Indonesia dan Keputusan Menteri BUMN tersebut telah cukup lengkap mengatur tentang

kewajiban pelaksanaan GCG di perbankan dan BUMN (CGPI, 2008: 3-4)


2.2 Firm Value (Nilai Perusahaan)

Nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti

oleh tingginya kemakmuran pemegang saham (Bringham Gapensi,1996 dalam Rika Susanti,

2010: 32). Semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan

yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi

menunjukan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan

perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari

keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen asset.

Menurut Andri dan Hanung (2007) dalam Nica Febrina (2010: 5) nilai perusahaan adalah

nilai jual perusahaan atau nilai tumbuh bagi pemegang saham, nilai perusahaan akan tercermin

dari harga pasar sahamnya.

Nilai perusahaan menurut Rika dan Islahudin (2008: 7) didefinisikan sebagai nilai pasar.

Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila

harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi

kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal

menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai

manajer ataupun komisaris.

MenurutVinola Herawati (2008: 7) salah satu alternatif yang digunakan dalam menilai

nilai perusahaan adalah dengan menggunakan Tobin’s Q. Rasio ini dikembangkan oleh Profesor

James Tobin (1967). Rasio ini merupakan konsep yang berharga karena menunjukkan estimasi

pasar keuangan saat ini tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dolar investasi inkremental.

Jika Tobin’s Q diatas satu, ini menunjukkan bahwa investasi dalam aktiva menghasilkan laba

yang memberikan nilai yang lebih tinggi daripada pengeluaran investasi, hal ini akan
merangsang investasi baru. Jika Tobin’s Q dibawah satu, investasi dalam aktiva tidaklah

menarik.Jadi Tobin’s Q merupakan ukuran yang lebih teliti tentang seberapa efektif manajemen

memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomis dalam kekuasaannya.

Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek salah satunya adalah harga

pasar saham perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian investor

atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006).

Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar perusahaan. Rasio

tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai penilaian investor terhadap

kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk

mengukur nilai pasar perusahaan, salah satunya Tobin’s Q. Rasio ini dinilai bisa memberikan

informasi paling baik,karena dalam Tobin’s Q memasukkan semua unsur utang dan modal

saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang

dimasukkan namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan

berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk

saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan

hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja,

2004 dalam Wien Ika Permanasari, 2010). Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukkan

bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena

semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan

maka semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk

memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004 dalam Wien Ika Permanasari, 2010: 25).

Dalam perspektif teori agensi, agen yang risk adversedan cenderung mementingkan

dirinya sendiri akan mengalokasikan resources(berinvestasi) dari investasi yang tidak


meningkatkan nilai perusahaan ke alternatif investasi yang lebih menguntungkan. Permasalahan

agensi akan mengindikasikan bahwa nilai perusahaan akan naik apabila pemilik perusahaan bisa

mengendalikan perilaku manajemen agar tidak menghamburkan resources perusahaan, baik

dalam bentuk investasi yang tidak layak maupun dalam bentuk shirking. Corporate governance

merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang diharapkan dapat

memberikan dan meningkatkan nilai perusahaan kepada para pemegang saham. Dengan

demikian, penerapan ood corporate governance dipercaya dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Black et al. (2003) dalam Sri Rahayu (2010: 20-21) berargumen bahwa pertama,

perusahaan yang dikelola dengan lebih baik akadapat lebih menguntungkan sehingga dapat

dividen yang lebih tinggi. Kedua, disebabkan oleh karena investor luar dapat menilai earnings

atau dividen yang sama dengan lebih tinggi untuk perusahaan yang menerapkan corporate

governance yang lebih baik. Hasil menunjukan bahwa tidak ditemukan bukti bahwa perusahaan

dengan corporate governance yang baik lebih menguntungkan atau membayardividen lebih

tinggi, tetapi ditemukan bukti bahwa investor menilai earnings atau arus dividen yang sama

dengan lebih tinggi untuk perusahaan yang menerapkan corporate governance yang lebih baik.

Silveira dan Barros (2006) dalam Vinola Herawati (2008: 9) meneliti pengaruh kualitas

CG terhadap nilai pasar atas 154 perusahaan Brazil yang terdaftar di bursa efek pada tahun 2002.

Mereka membuat suatu governance index sebagai ukuran atas kualitas CG. Sedangkan ukuran

untuk market value perusahaan adalah dengan menggunakan dua variabel yaitu Tobin’s Qdan

PBV. Temuan yang diperoleh menunjukkan adanya pengaruh kualitas CG yang positif dan

signifikan terhadap nilai pasar perusahaan

Perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut dapat

meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan dapat menggunakan informasi tanggung jawab sosial
sebagai keunggulan kompetitif perusahaan. Perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan dan

sosial yang baik akan direspon positif oleh investor melalui peningkatan harga saham. Apabila

perusahaan memiliki kinerja lingkungan dan sosial yang buruk maka akan muncul keraguan dari

investor sehingga direspon negatif melalui penurunan harga saham (Almilia dan

Wijayanto, 2007 dalam Ni Wayan Rustiarini, 2010:4-5).

Pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan

paradigma enlightened self-interest yang menyatakan bahwa stabilitas dan kemakmuran ekonomi

jangka panjang hanya dapat dicapai jika perusahaan melakukan tanggung jawab sosial kepada

masyarakat (Hartanti, 2006 dalam Ni Wayan Rustiarini, 2010). Menurut Ni Wayan Rustiarini

(2010: 12) beberapa hal yang dapat menyebabkan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan yaitu:

(1) manajemen menyadari arti penting CSR sebagai investasi sosial jangka panjang, (2)

manajemen memahami bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya untuk pemegang saham

tetapi juga pihak-pihak lain yang berkepentingan, (3) pengungkapan CSR merupakan sinyal

positif bahwa perusahaan telah menerapkan good corporate governance, (4) informasi tanggung

jawab sosial perusahaan telah direspon baik oleh investor, (5) perusahaan telah melakukan

pengkomunikasian pesan CSR secara tepat sehingga makna CSR dapat diterima dengan baik

oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Barnea dan Rubin (2006) dalam Sri Suranta (2008: 8) menemukan bahwa investor dalam

menanamkan investasinya lebih tertarik terhadap perusahaan yang melaporkan informasi sosial

dalam laporan keuangannya daripada perusahaan yang tidak mencantumkan informasi sosial.

Informasi tersebut berupa keamanan dan kualitas produk serta aktivitas lingkungan. Selain itu

mereka menginginkan informasi mengenai etika, hubungan dengan karyawan dan masyarakat.
2.3 Corporate Social Responsibility

Banyak teori yang menjelaskan mengapa perusahaan cenderung untuk mengungkapkan

informasi yang berkaitan dengan aktivitasnya dan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan

tersebut. Gray et al.(1995b) dalam Muhamad Rizal Hasibuan (2001: 16-17) menyebutkan tiga

studi yaitu:“Pertama, Dicision-usefulness studies; penelitian yang dilakukan oleh beberapa

peneliti menemukan bukti bahwa informasi sosial dibutuhkan oleh users seperti; para analis,

banker, dan pihak lain yang terlibat. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa informasi aktivitas

sosial perusahaan adalah pada posisi “Moderately important” Kedua, Economic theory study;

studi dalam corporate responsibility reporting ini mendasari pada economic agency theory dan

accounting positive theory yang menganalogikan manajemen adalah agen dari suatu prinsipal.

Prinsipal diartikan sebagai pemegang saham atau traditional users lain, namun pengertian users

tersebut telah berkembang menjadi seluruh interest group perusahaan yang bersangkutan.

Sebagai agen, manajemen akan berupaya mengoprasikan perusahaan sesuai dengan keinginan

publik (stakeholder) Ketiga, Social and political theory studies. Bidang ini menggunakan teori

stakeholder, theory legitimasi organizes dan theory economy public. Teori stakeholder

mengasumsikan bahwa perusahaan berusaha mencari pembenaran dari para stakeholder dalam

menjalankan operasi perusahaanya. Semakin kuat posisi stakeholder semakin besar pula

kecenderungan perusahaan mengadaptasi diri terhadap keinginan para stakeholdernya”.

Becchetti et al. (2007) dalam Sri Suranta(2008: 8) mengungkapkan bahwa arti penting CSR

sebagai suatu komponen inti dari strategi perusahaan semakin terasa, terutama setelah

banyak kerugian yang dirasakan masyarakat dari perkembangan bisnis sekarangini. Mereka

melakukan penelitian tentang dampak dan keterkaitan antara CSR yang diungkapkan perusahaan

terhadap pasar modal. Mereka menemukan bahwapengungkapan lebih terhadap tanggung jawab
sosial yang dilakukan perusahaan akan meningkatkan reaksi pasar dan ketertarikan investor

dalam menanamkan modalnya di perusahaan tersebut sehingga harga saham yang beredar

meningkat. Hal ini mengindikasikan tanggung jawab sosial yang diungkapkan perusahaan dalam

laporan tahunannya dapat meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Sembiring (2005: 381)

Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai social

disclosure, corporate social reporting, social accounting (Mathews,1995) atau corporate social

responsibility (Hackston dan Milne, 1996) merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial

dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasiterhadap kelompokkhusus yang berkepentingan

terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi

(khususnya perusahaan), di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan

kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi

bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba

untuk pemegang saham (Gray et. al.,1987). Setiap pelaku ekonomi, selain berusaha untuk

kepentingan pemegang saham dan konsentrasi pada pencapaian laba, juga punya tanggung jawab

sosial, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 paragraph kesembilan:Perusahaan dapat

pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai

tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup

memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok

pengguna laporan yang memegang peranan penting. Menurut Belkaoui (2000) dalam Basuki

Rakhmad Saputro (2006: 13-14) mengemukakan tujuan pengungkapan ada enam yaitu:

1) Untuk menjelaskan item-item yang diakui dan untuk menyediakan ukuran yang relevan

bagi item-item tersebut, selain ukuran dalam laporan keuangan


2) Untuk menjelaskan item-item yang belum diakui dan untuk menyediakan ukuran yang

bermanfaat bagi item-item tersebut

3) Untuk menyediakan informasi yang dapat membantu investor dan kreditor dalam

menentukan resiko dan item-item yang potensial untuk diakui dan yang belum diakui

4) Untuk menyediakan informasi penting yang dapat digunakan oleh pengguna laporan

keuangan untuk membandingkan antar perusahaan dan antar tahun

5) Untuk menyediakan informasi mengenai aliran kas masuk dan aliran kas keluar di masa

mendatang

6) Untuk membantu investor dalam menetapkan return dan investasinya

2.3.1 Prinsip-prinsip Social Responsibility

Crowther David (2008) dalam Nor Hadi (2011: 59) mengurai prinsip-prinsip tanggung jawab

sosial (social responsibility) menjadi tiga, yaitu:

1) Sustainability, berkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam melakukan aktivitas

(action) tetap memperhitungkan keberlanjutan sumberdaya di masa depan.

Sustainabilityberputar pada keberpihakan dan upaya bagaimana society memanfaatkan

sumberdaya agar tetap memperhatikan generasi masa datang.

2) Accountability, merupakan upaya perusahaan terbuka dan bertanggung jawab atas

aktivitas yang telah dilakukan. Konsep ini menjelaskan pengaruh kuantitatif aktivitas

perusahaan terhadap pihak internal dan eksternal. Akuntabilitas dapat dijadikan sebagai

media bagi perusahaan membangun image dan network terhadap para pemangku

kepentingan.

3) Transparency, merupakan prinsip penting bagi pihak ekternal. Transparansi

bersinggungan dengan pelaporan aktivitas perusahaan berikut dampak terhadap pihak


ekternal. Transparansi merupakansatu hal yang amat penting bagi pihak ekternal,berperan

untuk mengurangi asimetri informasi, kesalahpahaman, khususnya informasi dan

pertanggungjawaban berbagai dampak dari lingkungan.Post (2002) dalam Nor Hadi

(2010: 61) menyatakan bahwa ragam tanggungjawab perusahaan terdiri dari tiga dimensi,

yaitu:

1) Economic responsibility, keberadaan perusahaan ditujukan untuk meningkatkan nilai

bagi shareholder. Di samping itu, perusahaan juga perlu meningkatkan nilai bagi para

kreditur, yaitu kepastian perusahaan dapat mengembalikan pinjaman berikut interest yang

dikenakan.

2) Legal responsibility, sebagai bagian anggota masyarakat, perusahaan memiliki tanggung

jawab mematuhi peraturan perundangan yang berlaku. Termasuk, ketika perusahaan

sedang menjalankan aktivitas operasi, maka harus dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum dan perundangan.

3) Social responsibility, merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan

para pemangku kepentingan.

Menurut Ricky W. Griffin (2007: 68-69) Model Tanggung Jawab terhadap Pihak yang

Berkepentingan adalah sebagai berikut: Sebagian korporasi yang bertanggung jawab kepada

pihak yang berkepentingan atas mereka, pertama tama berfokus pada lima kelompok utama:

pelanggan, karyawan, investor, pemasok, dan komunitas lokal tempat mereka menjalankan

bisnisnya. Kemudian mereka dapat memilih pihak berkepentingan lainnya yang relevan atau

penting bagi organisasinya dan mencoba memenuhi kebutuhan dan harapan mereka.

1) Pelanggan. Bisnis yang bertanggung jawab terhadap pelanggan mereka berusaha

melayani pelangganya secara wajar dan jujur. Mereka juga mencari cara untuk
menetapkan harga secara wajar, menghargai garansi, memenuhi komitmen pengiriman

pesanan, dan mempertahankan kualitas produk yang mereka jual.

2) Karyawan. Bisnis yang bertanggung jawab sosial terhadap pekerjaanya memperlakukan

karyawan dengan adil, menganggap pekerja sebagai bagian dari tim, dan menghormati

harga diri dan kebutuhan dasar manusiawi mereka.

3) Investor. Untuk mempertahankan sikap mental dan tanggung jawab sosial terhadap para

investor, para manajer harus mengikuti prosedur akuntansi yang pantas, memberikan

informasi yang tepat kepada pihak berkepentingan mengenai kinerja keuangan

perusahaan, dan mengelola perusahaan untuk melindungi hak-hak dan investasi para

pemegang saham.

4) Pemasok. Hubungan dengan pemasok harus dikelola dengan hati-hati.

5) Komunitas Lokal. Terakhir, sebagian besar bisnis berusaha untuk bertanggung jawab

secara sosial kepada komunitas lokal mereka.

Bidang Tanggung Jawab Sosial

1) Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan

a) Polusi Udara. Polusi udara terjadi apabila beberapa faktor bergabung bersama sehingga

menurunkan kualitas udara.

b) Polusi Air. Air terkena polusi terutama akibat pembuangan bahan-bahan kimia dan sampah.

c) Polusi Tanah. Terdapat dua masalah utama dalam polusi tanah. Yang pertama, adalah

bagaimana mengembalikan kualitas tanah yang telah rusak. Masalah kedua adalah bagaimana

cara mencegah terjadinya kontaminasi di masa mendatang.

d) Pembuangan Limbah Beracun. Limbah beracun merupakan produk sampingan berbahaya dari

proses manufaktur yang mengandung zat-zat kimia dan/ atau radioaktif.


e) Daur Ulang. Pengubahan sampah menjadi produk produk yang berguna telah menjadi masalah

tidak hanya bagi pemerintah negara bagian dan kotamadya tetapi juga bagi perusahaan-

perusahaan yang kegiatanya banyak menghasilkan limbah.

2) Tanggung Jawab terhadap Pelanggan.

a) Hak Konsumen. Banyaknya perhatian bisnis terhadap tanggung jawab kepada konsumen saat

ini dapat ditelusuri dari peningkatan konsumerisme: aktivitas sosial yang ditujukan untuk

melindungi hak-hak konsumen dalam persetujuan (jual-beli) dengan dunia bisnis.

b) Penetapan Harga yang Tidak Wajar. Mencampuri persaingan dapat juga menjadi bentuk

praktek penetapan harga yang ilegal. Kolusi terjadi apabila dua atau lebih perusahaan setuju

untuk bekerja sama dalam tindakan yang salah seperti kolaborasi penetapan harga (price fixing).

c) Etika dalam Periklanan.

3) Tanggung Jawab terhadap Karyawan

a) Komitmen Hukum dan Sosial. Perilaku tanggung jawab secara sosial terhadap para karyawan

memiliki komponen hukum dan sosial.

b) Komitmen Etis; Kasus Khusus Para Pengadu (Whistle-Blower). Menghargai karyawan

sebagai manusia juga berarti menghargai perilaku mereka sebagai individu yang bertanggung

jawab secara etis.

4) Tanggung Jawab terhadap Penanam Modal

a) Manajemen Finansial yang Tidak Wajar

b) Cek Kosong

c) Insider Trading

d) Penyimpangan Laporan Keuangan


2.4 CSR dan Firm Value

Informasi pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan telah digunakan oleh para

investor sebagai salah satu pertimbangan sebelum berinvestasi dalam sebuah perusahaan

sehingga semakin baik atau lengkap sebuah laporan CSR perusahaan dapat menimbulkan reaksi

positif dari investor untuk berinvestasi di perusahaan yang nantinya akan berdampak terhadap

peningkatan permintaan saham perusahaan (Rustriarini, 2010). Para investor lebih memilih untuk

berinvestasi di perusahaan yang memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekonomi,

sosial, lingkungan dan masyarakat yang diungkapkan dalam laporan CSR tersebut (Nurlela dan

Islanudin, 2008). Perusahaan yang telah melaporkan CSR secara lengkap dapat menimbulkan

kepercayaan dan minat dari para investor untuk berinvestasi di perusahaan sehingga nantinya

akan berdampak terhadap peningkatan permintaan saham perusahaan (Rustriarini, 2010). Ketika

permintaan terhadap saham perusahaan semakin meningkat maka semakin tinggi harga

sahamnya sehingga akan berdampak terhadap peningkatan nilai perusahaan. Perusahaan yang

menerapkan CSR dipandang sebagai perusahaan yang memiliki resiko yang rendah dimasa

mendatang (Hosana dan Juniarti,2016). Namun, berbeda dengan hasil penelitian Retno dan

Danies (2012) serta Nurlela dan Islanudin (2008) menyatakan bahwa CSR tidak berpengaruh

terhadap nilai perusahaan karena rendahnya pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan

sehingga tidak dapat mempengaruhi dalam peningkatan nilai perusahaan.

Penelitian empiris sebelumnya mengenai hubungan antara CSR dan nilai perusahaan

menunjukkan hasil yang beragam. Banyak studi empiris yang menemukan bahwa aktivitas CSR

perusahaan efek positif terhadap kinerja keuangan mereka. Studi sebelumnya seperti Bowman

dan Haire (1975), Heinze (1976), dan Sturdivant dan Ginter (1977) menyajikan hasil

meningkatkan kinerja keuangan dari aktivitas CSR perusahaan. Cochran dan Kayu (1984)
menyelidiki kinerja keuangan 36 perusahaan dari tahun 1979 sampai 1975 dandari 39 perusahaan

dari tahun 1970 sampai 1974. Mereka menemukan korelasi positif antara aktivitas CSR dan

kinerja keuangan, yang diproksikan oleh variabel keuangan seperti return on aset (ROA), return

on sales, dan valuasi pasar. Preston dan O'Bannon (1997)

menganalisis data pada 67 perusahaan besar di Amerika Serikat dari tahun 1982 sampai 1992

dan menemukan hubungan positif yang kuat antara aktivitas CSR dan kinerja keuangan,

termasuk ROA dan return on equity (ROE). Pada 1990-an, Waddock dan Graves (1997)

menyelidiki data tentang perusahaan S & P 500 dan temukan bahwa baik sebelum dan masa

depan perusahaankinerja keuangan, seperti yang ditunjukkan oleh rasio hutang terhadap ekuitas,

ROA,dan tingkat pengembalian ekuitas, secara positif terkait dengan aktivitas kinerja sosial

perusahaan yang diukur menggunakan indeks KLD menggunakan data perusahaan Korea, Kim

(2009) menunjukkan bahwa nilai perusahaan yang melakukan aktivitas CSR lebih tinggi. Dia

berpendapat bahwa, meski CSR kegiatan menghasilkan biaya dalam jangka pendek,

meningkatkan reputasi perusahaan,meningkatkan penjualan, dan menurunkan biaya dalam

jangka panjang. Sebaliknya, klaim telah dibuat bahwa aktivitas CSR berpengaruh negatif

terhadap kinerja keuangan perusahaan. Bragdon dan Marlin (1972) berpendapat bahwa CSR

perusahaan kegiatan memiliki dampak buruk pada persaingan karena peningkatan perusahaan

'biaya dibandingkan dengan pesaing. Vance (1975) mengukur kinerja keuangan perusahaan

dengan menggunakan persentase perubahan harga saham dan ukurannya CSR menggunakan

peringkat tanggung jawab sosial Milton Moskowitz. Dia menemukan bahwa harga saham

korporat dengan tingkat CSR yang lebih tinggi sebenarnya lebih rendah. Tambahan biaya yang

dikeluarkan untuk memenuhi tanggung jawab sosial menurunkan keuntungan perusahaan.

Beberapa penelitian mengambil sikap netral. Berbeda dengan penelitian di atas, Ullmann(1985)
berpendapat bahwa menemukan alasan mengenai hubungan sosial perusahaan tanggung jawab

dan kinerja keuangan yang sulit. Zheng Li (2006) mempelajari hubungan tersebut antara CSR

dan nilai perusahaan dengan menganalisis 521 perusahaan China yang terdaftar di Bursa Saham

Shanghai pada tahun 2003. Dengan menggunakan teori pemangku kepentingan dan modal sosial

teori, dia menyimpulkan bahwa, walaupun nilai perusahaan lebih terlibat dalam tanggung jawab

sosial kegiatan yang lebih rendah dalam jangka pendek, kegiatan CSR tidak mengurangi nilai

perusahaan jangka panjang. Secara keseluruhan, klaim hubungan negatif antara CSR dan nilai

perusahaan sangat ditekankan biaya tambahan yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan CSR,

yang bisa menjadi kompetitif kerugian. Sebaliknya, klaim hubungan positif berpendapat bahwa

biaya kegiatan CSR relatif kecil dibandingkan dengan manfaatnya. Lebih banyak kegiatan CSR

meningkatkan citra perusahaan dan memperbaiki hubungan antara karyawan dan lainnya

stakeholder-akhirnya menghasilkan nilai perusahaan yang lebih tinggi. Kami berharap investasi

dalam kegiatan CSR di bidang-bidang seperti hubungan kerja, lingkungan isu, dan

pengembangan masyarakat akan membantu dalam memperbaiki perusahaan citra, menjaga

kelancaran hubungan antara masyarakat dan karyawan, dan menarik pekerja yang lebih baik

dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika perusahaan menghindari keterlibatan kegiatan CSR

untuk mengurangi biaya jangka pendeknya, mungkin gagal memenuhi harapan pemangku

kepentingan. Perusahaan semacam itu mungkin menghadapi lebih banyak masalah dan tuntutan

hukum dalam jangka panjang. Misalnya, denda untuk polusi yang berlebihan atau biaya untuk

mengingat produk cacat bisa lebih besar tanpa aktivitas CSR. Kerusakan citra dan reputasi

perusahaan juga lebih signifikan (Tsoutsoura 2004). Yang terpenting, perusahaan secara sukarela

terus melakukan kegiatan CSR hanya jika mereka memiliki dampak positif pada jangka panjang

nilai perusahaan (Guk dan Gang 2011). Dalam tulisan ini, kami mengembangkan hal berikut
hipotesis mengenai dampak kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap perusahaan

nilai.

H1: Kegiatan tanggung jawab social perusahaan meningkatkan nilai perusahaan

2.5 Pengaruh corporate governance terhadap dampak kegiatan CSR terhadap nilai

perusahaan

Jika kegiatan CSR perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaannya, kegiatan CSR

bisa jadi dianggap sebagai strategi bisnis dan manajer dapat memilih tingkat dan tingkatnya

kegiatan. Dalam hal ini, biaya agensi yang terkait dengan aktivitas CSR dapat terjadi. Eksekutif

dapat menyalahgunakan hak mereka dengan memilih kebijakan CSR yang tidak sesuai dengan

kepentingan pemegang saham namun, sebaliknya, meningkatkan kepentingan pribadi. Dengan

kata lain, jika manajer dapat menikmati keuntungan pribadi, seperti meningkatkan reputasi

mereka sendiri dengan tampil kegiatan CSR, mereka memiliki insentif untuk terlibat dalam

kegiatan seperti itu tanpa memperhatikanefek pada nilai perusahaan (Jensen dan Meckling 1976).

Karena itu, kami mengharapkan dampaknya aktivitas CSR perusahaan bervariasi tergantung

pada tata kelola perusahaan, termasuk kepemilikandan struktur papan.

Dalam Laporan CGPI 2014 menjelaskan bahwa tujuan pelaksanaan tata kelola

perusahaan tidak hanya sebagai kepatuhan terhadap peraturan, tetapi juga menunjukan kinerja

serta komitmen dalam menciptakan nilai (value). Penerapan corporate governance diharapkan

dapat menjaga keberlangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang dan memberikan nilai

tambah kepada para stakeholder. Para investor akan memberikan premium yang tinggi kepada

perusahaan yang menerapkan prinsip corporate governance secara konsisten dan para investor di

pasar menganggap keterbukaan mengenai informasi penerapan corporate governance sama

pentingnya dengan informasi keuangan yang dipublikasikan perusahaan (Luhukay dalam


Nuswandari, 2009). Oleh karena itu, pelaksanaan corporate governance yang baik dan sesuai

dengan peraturan yang berlaku akan membuat investor merespon secara positif terhadap kinerja

perusahaan sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Luhukay dalam Nuswandari, 2009).

Dalam penelitian Rustriarini (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang

menyebabkan corporate governance mempengaruhi dalam nilai perusahaan, yaitu perusahaan

semakin menyadari bahwa penerapan corporate governance dilakukan bukan karena mematuhi

regulasi yang ada melainkan merupakan sebuah kebutuhan dalam meningkatkan kepercayaan

dari investor dan penerapan corporate governance dapat memberikan manfaat jangka panjang

bagi perusahaan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Sukamulja (2004) yang

menyatakan bahwa corporate governance tidak mempengaruhi nilai perusahaan karena

kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya penerapan corporate governance oleh pihak yang

berwenang sehingga prinsip corporate governance kurang dilaksanakan dengan baik oleh

manajemen dan corporate governance belum menjadi dasar dalam pertimbangan investor dalam

pengambilan keputusan berinvestasi.

Jika kegiatan CSR perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaannya, kegiatan CSR

bisa jadi dianggap sebagai strategi bisnis dan manajer dapat memilih tingkat dan

tingkatnyakegiatan. Dalam hal ini, biaya agensi yang terkait dengan aktivitas CSR dapat terjadi.

Eksekutifdapat menyalahgunakan hak mereka dengan memilih kebijakan CSR yang tidak sesuai

dengankepentingan pemegang saham namun, sebaliknya, meningkatkan kepentingan pribadi.

Dengan kata lain, jika manajer dapat menikmati keuntungan pribadi, seperti meningkatkan

reputasi mereka sendiri dengan tampil kegiatan CSR, mereka memiliki insentif untuk terlibat

dalam kegiatan seperti itu tanpa memperhatikanefek pada nilai perusahaan (Jensen dan Meckling
1976). Karena itu, kami mengharapkan dampaknya aktivitas CSR perusahaan bervariasi

tergantung pada tata kelola perusahaan, termasuk kepemilikan dan struktur papan.

H2: Dampak kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap nilai perusahaan berbeda

tergantung pada tingkat tata kelola perusahaan.

Teori pemantauan berpendapat bahwa pemegang saham mayoritas yang mengharapkan

pengembalian yang tinggiinsentif yang kuat untuk memantau manajer dan mencegah perilaku

yang dapat membahayakan pemegang saham minat. Hasil empiris Morck et al. (1988)

menunjukkan bahwa, sebagai yang terbesar Rasio kepemilikan pemegang saham meningkat,

biaya agensi cenderung menurun karena pemegang saham mayoritas mengurangi konflik

kepentingan antara manajer dan pemegang sahamdengan mengawasi perilaku oportunistik

manajer. Sebaliknya, penelitian empiris lainnya memberikan hasil yang berbeda dan menemukan

efek negatif dari konsentrasi pemilikan terhadap nilai perusahaan. Leech dan Leahy (1991)

memperoleh hasil bahwa konsentrasi kepemilikan berpengaruh signifikan terhadap nilai

perusahaan. Shleifer dan Vishny (1986) berpendapat bahwa, di beberapa negara, masalah

keagenan terjadi lebih banyak konflik antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham

minoritas daripada antara manajer dan pemegang saham. Dalam hal ini, kepentingan mayoritas

pemegang saham dan pemegang saham minoritas tidak selaras. Dalam hal ini, pemegang saham

mayoritas dapat menyalahgunakan hak mereka dan mengalokasikan sumber daya perusahaan

secara tidak efektif, dan biaya kepemilikan saham bisa sangat besar bagi pemegang saham

minoritas. Karena itu, jika rasio kepemilikan pemegang saham terbesar tinggi, atau jika selisih

antara rasio terbesar kepemilikan pemegang saham dan kepemilikan pemegang saham terbesar

kedua cukup memadai besar, pemegang saham terbesar mungkin dapat melanjutkan kegiatan

CSR untuk manfaat pribadi, yang mungkin memiliki efek negatif pada nilai perusahaan.
H2-1: Rasio yang lebih rendah dari kepemilikan pemegang saham terbesar menghasilkan

nilai perusahaan yang lebih tinggi.

H2-2: Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan menghasilkan nilai perusahaan yang

lebih tinggi jika selisihnyadalam rasio kepemilikan antara pemegang saham terbesar dan

terbesar kedua kecil, dan mengarah ke nilai perusahaan yang lebih rendah jika perbedaan

ini besar.

Kepemilikan saham oleh manajemen dapat memberi insentif bagi eksekutif untuk

memaksimalkannya nilai saham dan meningkatkan kontrol perusahaan oleh pemegang saham

dengan menyelaraskan eksekutif dan pemegang saham. Banyak penelitian sebelumnya

mengklaim hubungan positif antara kepemilikan manajemen dan nilai perusahaan, dan

menggambarkan hubungan ini sebagai mekanisme untuk menyelaraskan kepentingan eksekutif

dan pemegang saham (Demsetz 1983; Hill dan Snell 1989; Morck dkk. 1988; Cho 1998). Saham

yang dimiliki oleh para eksekutif dapat menyebabkan kepentingan manajer dan pemegang saham

bertemu. Berle dan Gardiner (1932) menyatakan bahwa potensi konflik kepentingan muncul dari

pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Kemudian,Jensen dan Meckling(1976)

mengajukan hipotesis keselarasan insentif: seiring kenaikan saham manajer,kepentingan manajer

dan pemegang saham menyatu dan, oleh karena itu, biaya agensi menurun. Terkadang, manajer

mengalokasikan sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadi mereka, yang

menciptakannya konflik dengan pemegang saham eksternal. Namun, pemilik-pemilik perusahaan

memiliki insentif untuk memenuhi kebutuhan pemegang saham ini karena insentif kedua belah

pihak adalah lebih selaras sebuah studi empiris baru-baru ini terhadap perusahaan Inggris oleh

Florackis (2008) menyimpulkan bahwa rasio kepemilikan manajemen yang tinggi mengurangi

biaya agensi. Namun, hipotesis pengelolaan manajemen (Stulz, 1990) menyatakan bahwa,
sebagai saham manajer meningkat, di luar ancaman dari penurunan pasar dan utilitas untuk

mencari keuntungan pribadi melebihi utilitas dari kenaikan nilai perusahaan. Ini Efeknya

mengarah pada kekuatan manajerial. Dalam penelitian ini, kita memilih hipotesis keselarasan

insentif dan mengharapkan yang lebih tinggi rasio kepemilikan saham manajemen eksekutif

menunjukkan keselarasan yang lebih baik kepentingan dengan pemangku kepentingan eksternal,

sehingga mengurangi konflik kepentingan isu. Artinya, rasio kepemilikan manajemen yang lebih

tinggi menunjukkan bahwa kegiatan CSR lebih diarahkan pada kepentingan pemegang saham

daripada kepentingan pribadi eksekutif.

H2-3: Kegiatan CSR memiliki efek positif terhadap nilai perusahaan jika rasio manajer '

sahamnya tinggi, tapi efeknya negatif jika rasionya rendah.

Cara lain untuk mengurangi biaya agensi adalah meningkatkan direktur atau komite audit

kepemilikan saham, yang merupakan konsep yang sama dengan kepemilikan saham eksekutif,

dengan menyelaraskan kepentingan mereka dengan pemegang saham (Jensen 1993). Jika

eksekutif hanya menerima gaji tetap, mereka dapat bertindak untuk meningkatkan kepentingan

pribadi jangka pendek mereka daripada pemegang saham. Sebaliknya, jika direksi atau anggota

komite audit memiliki saham dari perusahaan, mereka akan lebih aktif memantau perilaku dan

usulan manajer strategi manajemen yang menguntungkan baik pemegang saham maupun mereka

sendiri. Menurut klaim oleh Mace (1986), efisiensi pemantauan dapat meningkat saat direksi

atau audit Anggota komite memiliki saham yang cukup. Kren dan Kerr (1997) menunjukkan

bahwa rasio kepemilikan saham direktur berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.Kami

berharap hasil keputusan anggota dewan direksi atau komite audit menghasilkan insentif dan

motivasi yang lebih kuat untuk mengawasi perilaku CEO. Dengan demikian, strategi CSR adalah
dilakukan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Kami juga berharap gagasan ini berlaku untuk

saham diselenggarakan oleh anggota komite audit.

H2-4: Jika rasio saham direksi tinggi (rendah), CSR bersifat positif (negatif) efek pada

nilai perusahaan

H2-5: Jika rasio bagian komite audit tinggi (rendah), CSR memiliki nilai positif (negatif)

berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

Klaim apakah CEO dan ketua dewan direksi seharusnya Orang yang berbeda saling

bertentangan - sering disebut sebagai masalah CEO-dualitas. Agen teori memprediksi bahwa

ketika kepemilikan perusahaan dan hak pengelolaan dipisahkan, Masalah agensi terjadi karena

(i) konflik kepentingan antar manajer, termasuk CEO, dan pemegang saham dan (ii) informasi

yang tidak lengkap (atau informasi asymme try). Teori agensi mengasumsikan bahwa agen

bersifat egois dan pemantauan diperlukan untuk mencegahnya eksekutif membuat keputusan

sendiri. Dewan direksi perlu memainkan peran pengawasan ini. Namun, jika CEO dan ketua

dewan direksi adalah Orang yang sama, teori agensi memprediksi bahwa direktur eksekutif

sangat mungkin untuk dikejar manfaat pribadi daripada memaksimalkan kepentingan pemegang

saham.Sebaliknya, teori penatalayanan (Donaldson dan Davis 1991) mengasumsikan bahwa

individu berorientasi organisasi dan pro-organisasional dan berpendapat bahwa eksekutif lebih

baik memilih untuk melayani kepentingan organisasi dan memaksimalkan nilai pemegang saham

dari mengejar kepentingan pribadi mereka Demikian pula, Boyd (1995) mengklaim bahwa

eksekutif mungkin terjadi untuk mencari kepuasan diri dan pemenuhan lebih dari sekedar

keuntungan pribadi. Secara keseluruhan, jika penatagunaan Teori itu benar, ia memprediksi

bahwa CEO-dualitas memberikan lebih banyak kebebasan kepada eksekutif dan mengarah pada

pengambilan keputusan yang cepat, yang mengarah pada nilai perusahaan yang lebih tinggi.
Kami memilih teori pandangan-agen yang lebih konvensional - yang menunjukkan bahwa

individu egois. Kami berasumsi bahwa ada kemungkinan bahwa CEO-direktur tampil Kegiatan

CSR untuk keuntungan pribadi.

H2-6: Jika CEO dan ketua dewan bukan orang yang sama, CSR memiliki efek positif

terhadap nilai perusahaan.

Fama dan Jensen (1983) menekankan pentingnya peran dewan pengawas dan kontrol atas

manajemen. Untuk mengurangi pengelolaan keuntungan pribadi, mendirikan lembaga seperti

dewan direksi dan komite audit diperlukan untuk memantau perilaku eksekutif. Peran utama

dewan direksi dan komite audit adalah untuk mengurangi konflik kepentingan antara pemegang

saham dan manajemen, meminimalkan biaya agensi, dan melindungi kepentingan pemegang

saham. Beasley dkk Al. (2000) menunjukkan bahwa kecurangan laporan keuangan kurang lazim

antar perusahaan dengan komite audit yang kuat.Selanjutnya, menurut teori ketergantungan

sumber daya (Pfeffer amd Salancik 2003), organisasi seperti dewan direksi atau komite audit

dapat membantu mengakses informasi perusahaan dan memberikan umpan balik penting untuk

pengaturan arah perusahaan. Zahra dan Pearce (1989) juga mengklaim bahwa direktur atau audit

panitia dapat memberikan koneksi kepada pesaing dan pemangku kepentingan lainnya dan

membantu perusahaan memperoleh informasi penting, keterampilan, reputasi, dan sumber daya

lainnya. Jadi, jika dewan direksi atau komite audit besar, peran pengawasnya akan dilakukan

ditingkatkan dan CSR akan dilakukan untuk memperbaiki nilai perusahaan daripada memberi

keuntungan pemegang saham atau CEO utama perusahaan. Pendapat dan pandangan direksi atau

Anggota komite audit juga diharapkan dapat membantu kegiatan CSR yang efektif.

H2-7: Jika dewan direksi besar (kecil), kegiatan CSR bersifat positif (negatif) efek pada

nilai perusahaan
H2-8: Jika komite audit besar (kecil), kegiatan CSR bersifat positif (negatif) efek pada nilai

perusahaan

Independensi direktur luar sangat diperlukan untuk pemerintahan yang efektif dan

disiplin. Kita dapat dengan mudah menemukan bukti untuk mendukung hubungan berikut: yang

lebih tinggi proporsi direktur luar pada perusahaan menghasilkan disiplin yang diberikan secara

lebih efektif alih manajemen dan, dengan demikian, dalam kinerja perusahaan yang lebih baik.

Artikel review oleh Hermalin dan Weisbach (2003) juga mendukung kausalitas yang telah

disebutkan sebelumnya. Kesimpulan utama mereka adalah proporsi yang lebih tinggi dari direksi

luar mengarah ke kemungkinan lebih tinggi bahwa CEO akan diganti saat kinerja perusahaan

menurun dan kompensasi CEO yang lebih rendah, yang konsisten dengan hipotesis yang

dipertimbangkan di makalah ini.4 Namun, bagi perusahaan China, pemegang saham atau chief

executive terbesar Petugas sering menunjuk direktur perusahaan besar lainnya sebagai direktur

dari luar negeri perusahaan mereka sendiri. Proses pengangkatan semacam itu mungkin salah

satu alasan terjadinya kerusakan untuk independensi direksi luar di China. Karena pemegang

saham mayoritas atau manajer dapat menunjuk direksi luar, hubungan mereka bukan untuk

pengawasan dan pemantauan tapi untuk kerja sama dan sesuai (Ma Qingyun, 2013). Westphal

(1998) juga menunjukkan bahwa para eksekutif menggunakan kekuatan mereka untuk

mempengaruhi proses tersebut memilih direktur dan pengambilan keputusan mereka. Mereka

terlibat dalam penunjukan direktur yang terutama mendukung keputusan manajerial mereka.

Kami berharap pemegang saham terbesar dan eksekutif lebih bersedia tampil Kegiatan CSR

untuk kepentingan mereka sendiri. Dalam hal ini, perusahaan dengan proporsi lebih tinggi dari

direksi luar yang terutama mendukung para eksekutif (yang disebut abu-abu direksi) diharapkan

memiliki nilai perusahaan yang lebih rendah dari aktivitas CSR.


H2-9: CSR memiliki efek positif (negatif) terhadap nilai perusahaan jika proporsi di luar

direksi di sebuah perusahaan rendah (tinggi).

Sejumlah besar perusahaan China adalah milik negara. Ada yang saling bertentangan

klaim tentang efek pada nilai perusahaan ketika pemegang saham terbesar adalah pemerintah di

China. Tian (2005) menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan milik negara pada

umumnya lebih rendah dari pada perusahaan swasta. Penjelasannya adalah,meskipun pemerintah

memberikan berbagai perlakuan istimewa bagi perusahaan milik negara,Mereka juga mengambil

keuntungan signifikan dari perusahaan-perusahaan ini. Chen Xinyuan danHuang Jun (2007)

berpendapat bahwa pemerintah lebih menekankan pada realisasi tujuan politik dan fungsi sosial

daripada kepentingan perusahaan dan, dengan demikian, Interferensi yang lebih besar diamati

dalam pengelolaan perusahaan milik negara. Xu Xiaodong dan Chen Xiaoyue (2003) mengklaim

bahwa perusahaan swasta memiliki perusahaan yang lebih tinggi nilai karena mereka menerima

lebih banyak pengawasan eksternal dan membuat keputusan lebih agresif dibanding perusahaan

milik negara untuk bertahan dalam persaingan pasar. Sebaliknya, beberapa ilmuwan berpendapat

bahwa kepemilikan negara dapat meningkatkan nilai perusahaan. Liu Yuanyuan dkk. (2011)

menunjukkan bahwa rasio kepemilikan suatu perusahaan negara menunjukkan korelasi positif

yang signifikan dengan kinerja keuangan. Liao Guan Min dan Chen Yan (2007) berpendapat

bahwa ketika perusahaan milik negara menghadapi tekanan keuangan,pemerintah mengurangi

biaya modal perusahaan-perusahaan ini melalui dukungan dari anggaran pemerintah, yang

berdampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Sun et al. (2002) menggunakan data

perusahaan China dari tahun 1994 sampai 1997 dan menemukan rasionya kepemilikan saham

negara memiliki efek positif terhadap nilai perusahaan.Karena tujuan akhir dari pemerintah

adalah memaksimalkan kesejahteraan sosial Dari keuntungan perusahaan, kegiatan CSR dapat
dianggap sebagai realisasi nasional kebijakan jika pemegang saham pengendali perusahaan

adalah pemerintah. Kami berharap jika pemegang saham terbesar perusahaan adalah pemerintah,

kegiatan CSR berpengaruh positif nilai perusahaan karena biaya agensi tidak dikeluarkan sebagai

hasil pelaksanaannya.

H2-10: Kegiatan CSR menunjukkan efek positif (negatif) terhadap nilai perusahaan jika

yang terbesar pemegang saham adalah (bukan) pemerintah

Hubungan antara tata kelola perusahaan dan kegiatan CSR

Tata kelola perusahaan adalah mekanisme untuk melindungi investor eksternal, membaik

nilai perusahaan, dan memaksimalkan nilai pemegang saham (Beltratti, 2005). Jika CSR

Kegiatan meningkatkan nilai perusahaan, perusahaan dengan tata kelola perusahaan yang baik

lebih cenderung lebih terlibat dalam kegiatan CSR. Guk dan Gang (2011) menganalisa hubungan

antara corporate governance dan CSR dengan data perusahaan Korea dan menunjukkan bahwa

perusahaan dengan tata kelola perusahaan yang lebih baik lebih aktif dengan CSR kegiatan. Choi

(2013) mengkaji hubungan antara variabel tata kelola perusahaan dan biaya modal dan

menyimpulkan bahwa rasio yang lebih tinggi dari hasil kepemilikan saham terbesar dalam

kegiatan CSR yang lebih rendah. Wang dan Bu (2012) mempelajari produsen makanan China

dan menemukan bahwa rasio pemegang saham terbesar perusahaan memiliki dampak negatif

terhadap aktivitas CSR. Mereka juga menemukan bahwa ukuran dewan berkorelasi positif

dengan aktivitas CSR. Xie(2011) juga menemukan hubungan yang kuat antara struktur tata

kelola perusahaan dan Kegiatan CSR, menunjukkan bahwa rasio kepemilikan pemegang saham

terbesar memiliki nilai negatif Efek pada aktivitas CSR dan kepemilikan negara memiliki efek

positif. Oleh karena itu, perusahaan dengan tata kelola perusahaan yang lebih baik, yaitu
perusahaan denganBiaya agen yang lebih rendah, diharapkan dapat melibatkan lebih banyak

kegiatan CSR

H3: Struktur dan praktik tata kelola yang baik berhubungan positif dengan CSR kegiatan.

2.6 KERANGKA KONSEPTUAL

Berdasarkan landasan teori serta penelitian terdahulu mengenai Corporate Governance,

Nilai Perusahaan dan Corporate Social Responsibility, diperoleh gambaran untuk menyusun

kerangka pikir penelitian, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada

gambar berikut:

VARIABEL INDEPENDEN: VARIABEL DEPENDEN:

Corporate Social
Responsibility
Firm Value

Corporate Governance

1. SIZE
2. EPS
3. LEV
4. GRW

VARIABEL KONTROL:

Anda mungkin juga menyukai