Anda di halaman 1dari 150

Bab 1: Menantu Tak Diinginkan

Edwald Fedrick Aldebaron. Pria tampan berumur 27 tahun. Diberkati dengan kesempurnaan

fisik, mata elang hijau giok yang luar biasa membuat Edwald tampil sangar dan berkharisma.

Edwald memiliki sifat yang dingin, tertutup dan misterius. Edwald adalah seorang pebisnis muda yang
namanya tak asing lagi di kalangan atas. Dia adalah CEO perusahaan ACIAN yang sangat terkenal dan
meraja di Milan, Italia. Siapa-pun ingin menjatuhkan diri di bawah kakinya untuk sekadar menjadi budak
asal bisa dekat dengan miliuner kaya-raya itu.

Edwald telah menikah dengan seorang wanita berparas dewi. Baru saja mereka menikah badai

rumah tangga sudah hadir sejak hari pertama pernikahan. Tak pernah diduga sebelumnya

perusahaan yang dia pimpin mengalami kebangkrutan hingga kekayaan yang dia punya dalam

satu malam ludes tanpa sisa.

Perusahaanya diumumkan gulung tikar tepat di hari pertama pernikahan hingga suasana

menjadi berubah. Kedua orang tua istrinya yang semula bersikap begitu baik bahkan nyaris

menerbangkannya ke langit ketujuh sekarang seperti monster yang kapan saja akan

melenyapkan nyawanya.

Lalu bagaimana dengan Shireen Velly Harmon? Yah, wanita cantik seperti porselen mahal itu

masih tetap mencintai Edwald dengan penuh tanpa minus sama sekali.

Tak ada rasa sesal di dalam hatinya atau enggan untuk menerima keadaan Edwald yang

sekarang memang tengah mencari pekerjaan.

"Suamimu masih belum punya pekerjaan?" tanya Colins wanita paruh baya dengan tatapan

rendah langsung menghentikan sendok Edwald yang tengah makan.

Pria berwajah tampan dengan garis rahang tegas berbulu tipis dan tatapan tajam itu hanya bisa

diam tak lagi melanjutkan suapannya.

Melihat sang suami yang lagi-lagi terpojok, Shireen segera ambil posisi mengusap paha Edwald

di bawah meja dengan senyum hangat mekar di bibir merah mungil natural itu.

"Mom! Kami baru saja menikah, urusan pekerjaan bisa diselesaikan nanti," ujar Shireen membuka suara.
"Yang benar saja. Biaya pernikahanmu itu sangat besar dan semuanya kita yang

membayar," ketus Nyonya Colins dengan emosi menyembur bahkan dia sudah tak berminat

menyentuh piring di atas meja mahal ini.

Yah, keluarga Harmon memang cukup terpandang dan bisa dikatakan kaya raya. Mereka punya

perusahaan yang bergerak di dalam bidang kosmetik, diharap makin maju bersama

perusahaan milik Edwald yang dahulu begitu besar melebihi mereka, tetapi sialnya pria ini sudah

jatuh miskin dan tak berdaya sekarang.

"Jika seperti ini terus kau akan hidup sengsara. Shireen!" pancingnya lagi dan itu membuat

Shireen mulai merasa jengkel. Dia menatap tegas Nyonya Colins seraya masih memeggang

paha kekar Edwald di bawah sana.

"Mom! Aku akan membayar kerugian itu dan jangan lagi merendahkan suamiku!"

"Ouh. Sudah mulai kau melawan-ku. Ha?" geram Nyonya Colins mengobarkan api marah yang

menyala-nyala di netra cokelat miliknya.

Shireen tak lagi menjawab. Dia sangat menghormati kedua orang tuanya tetapi ini sudah seminggu dan
Edwald masih direndahkan oleh mereka.

"Aku tak ingin tahu apa pun alasan suamimu ini. Bosan rasanya melihat dia di rumah ini."

"Mom!" lirih Shireen sesak menatap Nyonya Colins yang sudah melangkah pergi keluar dari

ruang makan.

Seketika tatapan sendu manik hitam legam bak boneka milik Shireen merangkum wajah

tampan Edwald. Pria itu sudah mengukir tempat di hatinya.

"Jangan pedulikan ucapan Mommy, ya? Dia tak berniat menyakitimu. Sayang!" ucapnya

selembut mungkin.

Edwald diam sejenak. Dia beradu tatapan dengan manik cantik wanita baru seminggu dia

nikahi ini dan rasanya inilah bentuk bidadari dan malaikat yang sama.

"Kau keberatan denganku?" pertanyaan penuh jebakan perasaan dan suaranya begitu datar

tetapi lembut.
"Tidak. mengapa harus keberatan?" tanya Shireen berbalik tetapi masih dengan kehangatan

begitu damai terpancar di wajah teduhnya.

"Aku tak bisa memberimu uang dan kekayaan seperti yang ku janjikan pada mommy-mu."

Seketika sudut bibir merah muda itu tertarik menunjukkan senyum indah yang menghipnotis

mata Edwald. Dia memang reinkarnasi malaikat dan bidadari yang sebenarnya, pikir Edwald

begitu.

"Ayolah. Aku tak kekurangan uang, Sayang! Lagi pula pekerjaanku masih ada dan aku akan

membantumu. Hm? Jangan dipikirkan lagi dan kau harus fokus pada rumah tangga kita.

Paham?"

"Mommy dan daddymu mungkin akan terus membuatmu sakit hati. Maafkan aku!" ucap Edwald

mengusap pipi mulus agak chubby Shireen yang seketika memerah.

Pipinya terlihat sepertu tomat dengan porsi rahang dan hidung mungil mancung. Siapa

yang tak akan terkesima melihatnya?!

"Abaikan saja. Hari ini kau mau menemaniku-kan?" tanya Shireen menurunkan tangan kekar

Edwald yang tadi di pipinya.

"Shireen!!"

Suara keras Nyonya Colins terdengar dari arah ruang depan. Seketika Edwald diam ikut berdiri

kala Shireen juga bangkit dari duduknya.

"Sayang! Aku ke depan sebentar dan kau lanjutkan makan mu!"

"Aku akan membersihkan ini," gumam Edwald seperti biasa harus membersihkan meja makan

ini setiap selesai menggunakannya.

Melihat itu Shireen segera menahan tangan Edwald untuk mengangkat piringnya.

"Biarkan pelayan yang bekerja. Kau lanjutkan makan mu!"

"Tetapi aku.."
"Ed! Mommy tak ada di sini. Kau bisa lanjut makan, Sayang!" bujuk Shireen tetapi suara panas

dari kerongkongan Nyonya Colins nyatanya kembali terdengar di ambang pintu masuk sana.

Wanita berpakaian mahal dan rambut digulung bak keluarga bangsawan itu menatap tajam

Edwald. Pria bermanik giok itu memakai kaus lengan pendek, menunjukkan kekekaran tubuhnya
ditambah celana jogger yang membuatnya tambah jenjang dan gagah.

"Biarkan dia bekerja!"

"Mom!" decah Shireen tetapi Edwald segera memeggang bahunya. Tatapan manik kehijauan itu

mengayomi Shireen agar jangan berdebat lagi

"Tak apa. Aku bisa melakukannya."

" Tetapi--"

"Biarkan saja dia menjadi berguna sedikit," sela Nyonya Colins membuat Shireen meredam

emosi. Tanpa bicara lagi Shireen membantu Edwald membersihkan meja makan dan itu

makin menambah sumbu api yang terus terkobar setiap melihat Edwald menumpang hidup di

rumah ini.

"Kau ini memang keras kepala. Apa yang mau kau banggakan dari pria seperti itu. Ha? Anak

saja tak cukup mendirikan kerajaan. Shireen!!" cecar Nyonya Colins tetapi Shireen terus mengajak
Edwald bicara dengan sengaja menumpuk setiap piring itu dengan suara yang diharap bisa meredam
omelan kasar Nyonya Colins.

"Sayang! Aku yang cuci piring kau cukup pandangi aku saja."

"Aku bisa sendiri," decah Edwald mengambil alih tumpukan piring di tangan Shireen yang tak

mau memberikannya.

Alhasil pemandangan ini lebih pada momen romantis membuat Nyonya Colins bertambah

ingin menghancurkan Edwald.

"Kau sama sekali tak berguna. Lebih baik aku menikahkan putriku dengan lelaki yang lebih

berpengaruh di luaran sana," gumam Nyonya Colins menyimpan penyesalan yang teramat
dalam.

Para pelayan yang tadi hanya melihat itu seketika terdiam. Mereka begitu mengagumi

ketampanan seorang Edwald tetapi sayangnya pria itu bernasib malang padahal sebelumnya

selalu disanjung-sanjung oleh Nyonya Corlin dan suaminya Walter yang tengah bekerja di luar

kota.

Mungkin jika Shireen tak bersikeras membela Edwald dengan berbagai alasan, bisa saja saat

di malam pernikahan itu Nyonya Colins dan Tuan Walter akan menceraikan mereka dan

menikahkan Shireen dengan pria yang berbeda.

Begitu juga adiknya Shireen yang pernah ingin merebut Edwald saat pertama kali datang

dengan kekayaan masih diduduki pria itu. Tetapi, saat mengetahui Edwald tak lagi punya

kekayaan dan harta berlimbah seperti sebelumnya dia berubah benci bahkan sering

meledek Shireen yang begitu idiotnya menerima Edwald dalam keadaan seperti itu.

Menantu yang sangat malang, bukan?!

.....

Setelah puas menerima hinaan dari Nyonya Colins akhirnya Edwald memilih untuk menemani

Shireen ke perusahaan ayahnya. Tentu tak merasa canggung lagi menginjak lantai perusahaan

berbentuk balok dua penjuru ini tetapi, yang menjadi permasalahan adalah Edwald tengah di kejar-
kejar oleh media. Mereka begitu haus akan informasi tentang kebangkrutan perusahaanya secara tiba-
tiba.

Alhasil Shireen disangkut pautkan bahkan mereka sudah memenuhi gerbang gedung besar itu,

sedangkan Edwald berdiri di dekat lobby bersama Shireen yang tampak cemas karena media

begitu banyak berdatangan.

"Ya tuhan. Mengapa mereka tak pernah bisa berhenti menggali privasi orang lain?!" gumam

Shireen kesal karena mobil mereka tadi terjepit di antara kerumunan media tak

memberikan jalan.

Untung para keamanan di sini sigap melerai hingga mereka bisa berdiri di sini. Edwald hanya
diam menjadi tontonan para karyawan yang tampaknya juga menatapnya aneh, ada

ketidakpercayaan dan keraguan di mata mereka.

"Nona!"

Sekretaris Amber mendekati Shireen yang memang akan melakukan beberapa meeting dengan

klien mereka hari ini. tetapi, Shireen berencana untuk memasukan Edwald ke dalam

perusahaanya.

"Sayang! Bagaimana kalau kau bekerja di perusahaan ini?" tanya Shireen menggandeng

lengan kekar Edwald yang tengah memakai jaket dan celana jeans, membuat pesona

mudanya keluar.

Mendengar tawaran Shireen yang menarik Edwald tak langsung menyetujuinya. Dia sudah

mengirim beberapa lamaran di perusahaan lain karena tak mau bergantung pada wanita cantik

ini.

"Jika kau bekerja di sini kita akan sering bertemu, Itu sangat menyenangkan."

"Aku tak ingin menyusahkan mu," gumam Edwald mengusap punggung tangan Shireen yang

begitu halus seperti tidak berpori-pori.

Mendengar jawaban Edwald helaan napas berat Shireen meruak. Dia kasihan melihat Edwald

yang ke sana-kemari mencari pekerjaan yang sesuai dengan keluarganya tetapi karena liputan

media malam itu membuat paradigma miring tentang kinerjanya, berdampak pada

perusahaan-perusahaan lain meragukan keahlian Edwald.

"Aku tak merasa disusahkan. Sayang! Bahkan aku sangat senang," jawab Shireen terdengar

tulus dan sangat lembut. sekretaris Amber dapat melihat jika nonanya begitu mencintai pria

tampan ini.

Tetapi, berbeda dengan Shireen yang bersemangat mencarikannya pekerjaan, Edwald justru

lebih memilih untuk tak melibatkan Shireen.


"Pergilah meeting. Aku akan menunggumu."

"Ayolah!" lirih Shireen tetapi pendirian Edwald bak karang di lautan, dia masih bertahan walau

gempuran ombak rumah tangganya terus menggoyangkan air yang mendorong kakinya.

"Kita bicarakan lain kali. Pergilah!"

"Haiss--Kalau ada apa-apa kau langsung bicara denganku. Hm?"

Edwald mengangguk memandangi wajah cantik Shireen yang tanpa dia duga melayangkan

kecupan ringan ke pipinya dengan malu-malu. Hal itu membuat sekretaris Amber menoleh ke

arah lain.

"Tunggu aku!"

"Hm."

Edwald hanya mengangguk membiarkan Shireen pergi masuk ke pintu gedung besar ini. Saat

wanita itu sudah ditelan pintu kaca sana pandangan datar Edwald menyapu beberapa

karyawan yang lewat di sekelilingnya.

"Tuan!"

safa beberapa diantaranya karena aura Edwald masih belum berubah. Walau tak ada pijakan

kekuasaan tetapi kharismanya mampu membuat orang lain menundukan kepalanya.

"Siapa yang akan menerima lamaranku?!" gumam Edwald dengan makna yang hanya dia yang

tahu.

Manik tajam kehijauan itu membidik ke arah gerbang di mana masih banyak media yang

mengincarnya. Dia tak akan bisa keluar dari sini tanpa dicecer pertanyaan hina itu.

Setelah beberapa lama kemudian Edwald berdiri di depan lobby, tiba-tiba saja dia merasakan

ada yang keluar dari pintu perusahaan dan orang itu tak asing bagi Edwald. Dia adalah tuan Yettly.
Seorang pengusaha yang dulu tidak mendapat persetujuan kontrak dari perusahaannya.

Keduanya sempat bertatap-tatapan dalam beberapa detik tetapi pria paruh baya berstelan jas itu sadar
jika ini adalah Edwald.

"Aku hampir melupakanmu!" decah tuan Yettly penuh cemo'oh. Dapat dilihat jika dia orang pertama
yang menyukai kondisinya sekarang.

"Aku baru tahu jika kau mengirim surat lamaran ke perusahaan ku. Apa yang terjadi?" tanyanya

bernada misterius mendekati Edwald yang masih diam di tempat.

Tatapan pria gempal berperut buncit ini seperti mengolok-ngolok Edwald dalam nada safa dan

cara memandang dirinya.

....

Bab 2: Hanya menjadi sopir

"Mengapa kau ke sini? Bukankah kau punya perusahaan sendiri?" tanya tuan Yettley lagi.

Edwald tetap diam, tetapi dia tak menunduk sama sekali bahkan tatapannya sangat intens

membuat pria itu agak menjaga jarak.

"Dan tunggu, aku sepertinya melupakan sesuatu," gumamnya mencoba mengingat-ingat.

beberapa hal. Saat sudah mendapatkannya dia langsung menunjuk Edwald dengan tangan

kirinya.

"Perusahaan mu bangkrut?"

tebak tuan Yettly tetapi itu hanya kepalsuan. Senyum puas yang merekah itu ingin berteriak senang jika
tak ada halangan lagi.

"Perusahaan-mu bangkrut seminggu yang lalu, bukan? Aku sangat sedih saat

mendengarnya," nada berempati tetapi dia segera terkejut kala Edwald mencengkram telunjuknya yang
tadi mengacung dengan berani. Keberanian yang semula berkobar sekarang tak lebih seperti kerupuk
terkena air.

"K--kau.."

"Kau menerima lamaran ku?" tanya Edwald dengan suara berat datarnya tetapi tangan kekar itu

mencengkram kuat telunjuk tuan Yettlyi hingga terasa mau patah.

"L--Lepass!!"

Edwald hanya diam. dia menjadi batu terus menekan jari pria ini hingga wajah tua itu sudah

pucat dan mengeluarkan bulir keringat menahan sakit.

Saat mulai banyak orang di lobby ini Edwald segera melepaskan cengkramannya. Tuan Yettly
mendesis mengibas jarinya yang sudah terkulai pucat bahkan sangat sakit.

"Kau pantas di posisi ini. Akan ku pastikan tak akan ada yang mau menerimamu. Cuih!"

kasarnya meludah ke arah samping dan berlalu pergi ke mobilnya.

Edwald tak ambil pusing. Dia masih setia menunggu Shireen tanpa ingin masuk. Pasti nanti akan jadi
perbincangan saat kakinya menginjak lantai mahal itu.

Sekarang Edwald mulai dihantui ucapan Nyonya Colins. Tiba-tiba saja kepalannya menguat merasa jika
wanita itu sudah terlalu lancang merendahkannya.

Ternyata manusia seperti itu memang ada. Isi kepalanya hanya harta dan kekuasaan padahal

tak ada yang bisa di banggakan dari itu.

Ponsel Edwald berbunyi. Dia segera melihatnya hingga ada notif email yang mengkonfirmasi

tentang lamarannya beberapa hari yang lalu.

"Sopir?" gumam Edwald menyeringit kala membaca balasan ini. dia diterima tetapi hanya menjadi sopir
di salah satu perusahaan yang yang menyediakan jasa ini.

Helaan napas Edwald muncul. Nyonya Colins tak akan setuju dengan pekerjaan ini karena wanita itu
hanya ingin kursi CEO yang dahulu dia duduki. Mengapa jadi begitu rumit?!

batin Edwald mengabaikan pesan ini. dia berniat untuk melamar di perusahaan lain tetapi karena
namanya sudah buruk maka tak ada yang mau menerimanya.

tetapi, siapa sangka jika ada yang merekam Edwald secara diam-diam. dia menyebarkan berita

baru tentang 'MENANTU KELUARGA HARMON MELAMAR MENJADI SOPIR' menarik bukan?

Ntah bagaimana murkanya Nyonya Colins saat hal ini menyebar mempermalukan keluarga

mereka. Sungguh pemandangan yang indah untuk di saksikan.

Sudah hampir malam menunggu Shireen menyelesaikan pekerjaan, akhirnya tepat jam 8

malam ini barulah mereka bisa kembali ke kediaman. Edwald dengan sangat sabar menemani

sang istri pergi ke mana pun termasuk jalan-jalan di mall kota Milan yang nyatanya juga tak ada

barang yang di beli.


tetapi, di sela kesendiriannya Edwald selalu diam dengan pikiran melayang. Ada rasa sesal yang

tampak di wajahnya setiap kali melihat Shireen sedang mengunjungi tempat mewah.

Seandainya perusahaan ku tak bangkrut mungkin aku bisa membawa apa pun ke pangkuan mu.

Begitulah raut yang terpancar di wajah tampan Edwald dan sangat mengganggu Shireen yang

kadang kala juga merasakan ketidaknyamanan Edwald.

"Emm--Ed!" gumam Shireen menatap wajah tampan Edwald yang tengah fokus menyetir ke

arah jalan pulang tetapi dia tahu pikiran pria ini tengah melayang buana.

Satu panggilan tak ada jawaban dari Edwald yang masih melamun. Saat dia mengulangi lagi

barulah Edwald tersentak menatap hangat ke arahnya.

"Iya, Sayang?"

"Mengapa melamun?" tanya Shireen menggandeng lengan kekar Edwald yang tengah menyetir

stabil. Edwald menjawab pertanyaan Shireen dengan senyuman ringan yang tipis.

"Tidak ada."

"Kau memikirkan sesuatu?"

Edwald menggeleng. Walau tak bicara Shireen bisa tahu dari raut wajah Edwald yang

terkadang pasti tak fokus.

"Jangan terlalu dipikirkan. Bangkrut itu hanya bahasa kasarnya. Perusahaan mu hanya tidur

sejenak untuk mengguncang dunia bisnis. Hm?"

"Kau bisa saja, Shi!" gumam Edwald mengelus kepala Shireen yang mulai membawa ke topik

lain. Dia ingin menanyakan sesuatu yang cukup intim tetapi agak canggung.

Pandangannya berubah nanar dan sungguh Shireen sangat tidak tega melihat tekanan di mata

pria ini.

"Aku akan berusaha mencari pekerjaan yang layak untukmu. tetapi--"

kalimatnya di jeda. Keadaan sekarang benar-benar sulit untuk bangkit dari masa sulitnya.
"Ed!"

"Tetapi, hanya satu lamaran yang menerimaku. Itupun hanya menjadi ----sopir!" ucapnya penuh

pertimbangan dan sesal.

Shireen diam. Dia tahu betapa banyak orang yang ingin Edwald terpuruk karena kebangkitan pria ini
akan membuat bencana bagi para penguasa lainnya.

"Namaku sudah di black-list dan mungkin kau akan malu jika berjalan bersama seorang sopir

nantinya."

"Sopir?" tanya Shireen lembut. Edwald mengangguk lemah menurunkan pandangannya ke

gelang berlian yang ada di pergelangan tangan Shireen.

Aku belum bisa memberimu perhiasan yang lebih mahal dari itu. Pantas jika mereka ingin

memisahkan kita, Shi!

"Apa kau tak suka aku menjadi seorang sopir?"

"Kau nyaman dengan pekerjaan itu?" tanya Shireen mendalami perannya sebagai seorang istri.

Edwald kira Shireen akan menanyakan gajinya tetapi tak di sangka dia lebih mengejutkan.

"Gajinya kecil. Sayang!" gumam Edwald jujur.

Helaan napas Shireen muncul menepuk bahu kokoh Edwald yang sangat tak cocok jadi sopir

tetapi dia mendukung semua keputusan pria ini.

"Tak masalah. Yang penting kau nyaman dan aman. Aku akan selalu mendukungmu. Hm?"

"Benarkah?" tanya Edwald mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Yah. Kapan kau akan mulai bekerja? Aku akan memasak untukmu," semangat Shireen

mengalahkan akal sehatnya.

"Besok pagi."

"Em--baiklah. Kau harus bekerja yang rajin dan ingat kau punya istri secantik aku untuk di

manjakan," kelakar Shireen mengedipkan matanya yang seketika melebar saat Edwald

mengecup kilas bibirnya.


Timbul semangat ingin bangkit di diri Edwald yang merasa lebih tenang setelah membicarakan

hal ini dengan Shireen.

"Ed!"

"Hm?"

"Kalau aku boleh tahu. mengapa bisa perusahaanmu mengalami hal itu?" tanya Shireen hati-hati

takut menyinggung Edwald yang tampak santai.

"Aku memiliki banyak musuh. Hanya saja saat pernikahan kita itu ada konflik internal

perusahaan. Aku tak sempat menyelesaikannya karena fokus pada hari pernikahan kita."

"Lalu bagaimana dengan keluargamu?" tanya Shireen. Edwald diam sejenak membingkai wajah

cantik selalu menenagkannya ini.

"Kedua orang tuaku kembali ke kota mereka. Daddy sangat marah dengan kinerjaku yang

tersebar buruk sampai sekarang dia belum mengabariku," Jawab Edwald dengan suara rendah

pertanda ini masa-masa paling berat.

Apalagi akibat kebangrutan perusahaan Edwald terjadi perubahan sangat drastis dari pihaknya.

Nyonya Colins yang semula mendewakan Edwald sekarang berubah menjadi musuh yang

nyata.

"Apa perlu kita pergi menemui orang tuamu?"

"Sekarang bukan waktu yang tepat. Apalagi, mereka pasti masih marah kepadaku," jawab Edwald tak
mau memperburuk. Alhasil Shireen mengangguk mendukung keputusan Edwald yang tak punya rekan
untuk masih bertahan di posisi ini.

Karena merasa suasana begitu suram, Shireen mengambil inisiatif mencium Edwald sebagai

bentuk dukungan dan rasa sayang yang tak akan pernah meninggalkan pria ini.

Mau bagaimanapun keadaanmu, aku akan tetap bertahan selagi kau masih membutuhkanku.

Ed!

Berbeda dengan Shireen yang berpikiran lurus, benak Edwald justru berkata sebaliknya. Hanya
dia dan tuhan yang tahu apa yang tengah dirancang dalam kepalanya.

Dreet..

Ponsel Shireen berbunyi tetapi keduanya acuh. Mereka sama-sama menginginkan satu sama lain

tak peduli lagi tempat atau suasana malam yang begitu dingin.

.....

Di tempat yang berbeda. Nyonya Colins benar-benar murka mengetahui bagaimana gemparnya

media menyiarkan tentang Edwald yang di gadang-gadang akan menjadi sopir profesional.

Bahkan, perusahaan yang menerima lamaran pria malang itu membeberkan langsung surat

lamaran Edwald yang tampak menjadi bahan olok-olokan di kalangan pengusaha.

"Apa-apaan ini. Haa?? Sampai kapan dia akan mempermalukan keluarga ini??" geram Nyonya

Colins hampir ingin memecahkan televisi di hadapannya.

Dia sudah menelpon Shireen tetapi wanita keras kepala itu sama sekali tak mengangkat

panggilannya.

"Benar-benar pria pembawa siaal!! Mengapa aku bisa menerimanya di keluarga ini?!"

"Ada apa? Mom!" tanya seorang gadis berumur 19 tahun yang memiliki wajah bulat dan rambut

sebahu.

Dia datang dari arah tangga karena tergganggu akan suara berisik Nyonya Colins.

"Lihat suami tak berguna kakakmu ini!! Dia hanya selalu mempermainkan keluarga kita," umpet

Nyonya Colins terduduk dk sofa depan televisi hingga para pelayan langsung mengipasinya.

Freya menatap layar LED itu. Dia sempat terkejut tetapi senyum remehnya mekar merasa

beruntung dan puas melihat nasib kakaknya yang sangat malang.

Untung saja dahulu dia tak menikah denganku. Shireen terlalu nai'f.

"Itu masalahnya. Dia seperti buta dan hilang akal. Ingin rasanya aku menceraikan mereka
berdua," umpet Nyonya Colins dan Freya si adik kandung tak tahu diri itu mulai tercetus niat

buruknya.

"Mom! mengapa kau tak menikahkan Shireen dengan lelaki lain yang lebih kaya saja?! Edwald

sudah tak berguna dan hanya menumpang hidup di sini."

Nyonya Colins diam sejenak. Ide Freya itu brilian dan cukup membuatnya lega.

"Kita hanya cukup terus menekan Edwald agar meninggalkan Shireen. Lagi pula dia juga tak

punya apa pun lagi."

"Kau benar. Nyatanya otakmu lebih berguna daripada sebelumnya," jawab Nyonya Colins akan

menyusun rencana perjodohan Shireen. dia tak bisa terus menampung menantu tak berguna

dan parasut itu lebih lama.

....

Bab 3 Aku Milikmu

Karena tak bisa membendung hasrat lagi akhirnya Edwald membawa Shireen kembali ke

kediaman karena jarak yang tak terlalu jauh untuk pulang. Jika ingin pergi ke hotel atau

penginapan, dia tak punya uang yang cukup karena harga tempat mewah di kota ini sangat

mencekik dompet tipisnya.

Tentu jika Shireen tahu Edwald sudah tak memiliki uang yang cukup maka pasti wanita cantik

ini akan sukarela saja memberinya uang pribadi. tetapi, Edwald tak sepicik itu untuk

memanfaatkan kebaikan hati istrinya.

Saat sudah sampai di kediaman. Edwald menggendong Shireen ala bridal style masuk kedalam

bangunan besar mewah ini dengan langkah tegas nan lebar.

Deru napas keduanya saling memburu dan jelas terlihat jika mereka menahan hasrat dan

untungnya tak ada siapa pun di kediaman ini, bisa jadi karena faktor tengah malam.
"E--Ed!" lirih Shireen kala sudah mencapai puncak tangga. Edwald yang juga tengah dikuasai

berahi dengan cepat menyambar bibir basah bengkak Shireen yang juga mengeratkan pelukan

ke lengannya seraya membalas pangutan liar Edwald.

Ntah apa yang merasuki keduanya tak lagi sadar akan dunia. Edwald membawa Shireen

menuju kamar mereka yang tak begitu jauh dari arah tangga hingga dia menurunkan Shireen

yang sigap memeluk pinggang kokoh sang suami.

"E--Ed ehmm!" lenguh Shireen kala ciuman Edwald beralih ke lehernya.

Hasrat Edwald sudah tak terbendung membuat kepalanya pusing dan batinnya juga

menggebu-gebu. Didorongnya pintu di belakang Shireen yang dia iring masuk dengan posisi

masih saling merapat.

"Sayang!" serak Edwald dengan deru napas bak di kejar satu kota. dia menatap penuh puja

Shireen yang juga menyerahkan seluruh tubuh dan jiwanya pada seorang Edwald.

"Aku milikmu!"

Mendengar kalimat itu Edwald tak lagi membuang waktu. Dia melepas kaus dan jaket yang

sudah berantakan itu hingga tubuh kekar atletisnya membuat semrawut merah di pipi Shireen.

"T--tutup pintunya!" Lirih Shireen mencoba baik-baik saja padahal dia tengah ingin berteriak

melarikan diri.

Edwald dengan cepat menutup pintu kembali dan segera mendekati Shireen yang tampak

gugup tetapi dari wajahnya dia juga mau.

"Apa boleh?"

"B--boleh, tetapi.."

"Akan sakit tetapi hanya sedikit. Hm?" bujuk Edwald karena dia juga tak untuk berhenti.

Shireen mengangguk terus menunduk tak berani menatap tubuh Edwald yang memang

tergolong sempurna. dia termasuk wanita yang anti dalam dunia seksual.
"B--bisa kau pelan-pelan?"

"Tentu!" jawab Edwald seadanya. dia perlahan mendorong bahu Shireen untuk duduk di tepi

ranjang king size berwarna putih awan ini.

Kedua kaki dan tangan Shireen rapat pertanda ini pertama untuknya. Edwald-pun tahu itu

hingga perlahan memberi kecupan lembut ke kening, hidung, pipi dan dagu Shireen yang

perlahan berani menatapnya.

"Mengapa kau sangat pemalu. Hm?" lirih Edwald memegang dagu lancip Shireen yang selalu

kaku saat bersamanya sedangkan di luar sana dia menjelma menjadi wanita tangguh.

"A--aku.."

"Tatap aku dan jangan palingkan wajahmu!" pinta Edwald dan Shireen memberanikan diri.

Manik hitam dan netra hijau elang itu beradu dan Edwald bisa melihat bagaimana lembut dan

bersihnya pandangan wanita ini.

"Cantik!"

Itu yang keluar dari bibir Edwald. dia perlahan mendorong Shireen setengah berbaring di atas

ranjang. Pergerakannya sangat halus dan membuai sampai Shireen mengira jika Edwald

adalah pemain yang andal.

Edwald beralih mengungkung Shireen yang terhipnotis dengan wajah tampan Edwald yang

benar-benar membuatnya jatuh cinta. Begitu pandai-nya Edwald bermain Shireen tak sadar

jika tangan Edwald sudah menarik resleting belakang dress-nya turun sampai ke dekat pinggul

seksinya.

"E..Ed!" sentak Shireen saat merasakan tangan besar hangat Edwald meraba punggungnya.

Saat pria itu menarik dress-nya turun Shireen sontak langsung menutupi area dada.

"Jangan di tutup. Aku ingin melihatnya!"

Shireen perlahan menurunkan kedua tangannya. Edwald dengan tenang dan agak terburu-buru

menurunkan pakaian Shireen sampai terlepas dari tubuh jenjang ini.


Tatapan kagum Edwald tak bisa di sembunyikan. Kedua bukit kembar yang sekang dan putih

mulus dibaluti bra merah kontras dengan kulit beningnya di tambah bentuk perut rata dan

pinggang seksi melengkapi keindahan visual Shireen yang layak menjadi model.

"J--jangan melihatnya begitu!" malu Shireen menutupi dada dan bagian intinya yang masih

memakai underwear.

Edwald hanya diam. dia belum puas memandangi keindahan tubuh istrinya yang tak ada lecet

sedikitpun.

"E--Ed!" gugup Shireen saat Edwald mengelus garis perut sampai ke pinggangnya. Sentuhan

itu bagai sengatan bervoltase tinggi membuat Shireen menutup mulutnya rapat agar tak

bersuara.

"Berapa uang yang kau keluarkan untuk mendapatkan tubuh seperti ini?"

"Ha?" tanya Shireen tak begitu dengar gumaman Edwald yang masih memandangi keindahan

tubuhnya.

Senyum hangat Edwald muncul tetapi ada binaran puas di dalam manik hijaunya.

"Aku sudah tak sabar melakukannya!"

"A---jangan bicara begitu," gumam Shireen melupakan pertanyaannya tadi.

Edwald hanya tersenyum kecil. Dia mulai membuka balutan pakaian terakhir hingga sontak

Shireen langsung memejamkan mata.

"Eeed!!" pekiknya merasa ini terlalu intim.

"Buka matamu!"

Shireen tetap diam. Ntah apa yang merasuki Edwald dia merobek underwear merah yang di

kenakan Shireen dan sontak wanita itu terkejut.

Edwald tersenyum kala Shireen menatapnya berbeda dan ada tanda tanya dan kebingungan di

netra cantiknya.

"Maaf. Aku sedikit tak sabaran, Sayang!" lembutnya kembali mengungkung tubuh Shireen yang
masih fokus ke wajah tampan merah Edwald.

"K--kau baik-baik saja?" tanyanya mencoba memastikan.

"Maaf, aku mengejutkanmu," hangat Edwald perlahan memangut bibir bengkak Shireen

karena ulahnya.

Seperti biasa Edwald selalu bisa membuat Shireen tenang. Wanita itu mengikuti ritme

permainan Edwald yang sesekali juga kelepasan untuk memberi sentuhan sedikit kasar pada

dada sekang Shireen yang sempurna.

Edwald mabuk kepayang. dia bermain di dada Shireen tetapi di bawah sana dia berusaha masuk.

Shireen yang tak begitu paham soal permainan ranjang hanya bisa menerima dan sesekali dia

melenguh antara sadar atau tidak itu menggelikan.

tetapi, berbeda dengan Edwald yang menyukai rintihan nikmat dan sakit Shireen saat dia

mencoba masuk lebih dalam.

Sudah mengambil posisi yang pas dan dalam sekali dorongan dia membuat Shireen memekik

tetapi bibirnya langsung di bungkam Edwald yang menahan sensasi hebat yang belum pernah dia
dapatkan sebelumnya.

Rasa sakit yang menjalar di tubuh Shireen tak sebanding dengan kesedihan di hatinya. dia tulus

memberikan itu pada Edwald tetapi rasanya sangat berat melepas mahkota yang sudah dia jaga

selama bertahun-tahun di negara yang termasuk bebas.

Hanya saja Shireen menuruni keluarga sebelah neneknya yang merupakan orang timur dan dia
masih menjaga kesucian itu di tengah kebebasan ranjang di negara ini.

"E--Ed!" Lirih Shireen dengan air mata turun. Edwald menatap itu dengar pandangan yang sulit

dijabarkan karena dia juga sangat-sangat tak bisa menyangka jika Shireen benar-benar masih

disegel.

"Jangan tinggalkan aku!" imbuh Shireen menggantungkan hidupnya pada Edwald yang seketika

merasakan beban berat di bahunya.

Shireen benar-benar mempercayainya sampai menyerahkan apa pun padanya.

Di kamar lain ada seorang gadis muda yang tampak kesal menatap pantulan wajahnya di

cermin. Walau bagaimana-pun keadaan Edwald yang tak lagi memiliki kekayaan tetapi

ketampanan dan karisma pria itu tak bisa dia tepis.

"Mengapa?? Mengapa kau selalu mendapatkan lelaki yang nyaris sempurna?!!" tanya Freya

menatap penuh amarah pada kaca di hadapannya.

Dia membenci Shireen karena memang jauh lebih cantik dan cerdas darinya. Bahkan, kekasih

Freya sering mendekati gadis malang ini tetapi targetnya adalah Shireen yang menjadi daya tarik para
lelaki.

"Apa yang kurang dariku? Aku juga bisa bekerja dan mandiri seperti dia. tetapi, mengapa semua

orang selalu membanggakan Shireen!! Shireen dan selalu diaa!!"

Freya memukul kaca itu dengan vas bunga yang ada di samping meja rias hingga retak bahkan

tepat di wajahnya yang memang terlalu jauh dari Shireen.

"Shireen! Apa yang kau punya aku juga harus memilikinya. Kita saudari, bukan?" desis Freya

menyeringai. dia tadi melihat Edwald san Shireen yang bermesraan sampai tak tahu tempat

apalagi Freya tak pernah bisa memungkiri jika Edwald memang tipe pria idamannya.

"Apa yang menjadi milikmu berarti juga milikku. Aku juga ingin merasakan tubuh suamimu,"

imbuh Freya lalu tertawa keras segera mencari pakaian seksi untuk menjalankan rencananya.

dia tak akan membiarkan Shireen terlalu beruntung sampai ingin menguasai setiap keindahan di
dunia ini.

....

Bab 4 Dia ingin melecehkan aku!

Bayang-bayang matahari di atas sana masih samar-samar terlihat. Hawa dingin dinihari ini terasa

lebih menusuk membuat seorang wanita yang tadi tak lagi punya energi untuk bangun dari

tempat tidur besarnya hanya bisa meringkuk seperti bayi di dalam balutan selimut yang

menutupi bahu mulusnya.

Mata itu terpejam tak menyadari pintu kamar mandi yang terbuka. Seorang pria dengan tubuh

kekar atletis dibaluti bathrobe itu keluar dengan rambut berpotongan Long Trim basah yang dia

usap dengan handuk kecil di tangannya.

Manik hijau elang itu menatap ke arah ranjang. Wajah damai lelah Shireen terlihat sangat cantik

di antara remangan kamar membuatnya betah memandang lebih lama.

Dia sama sekali belum disentuh orang lain.

Yah, itulah yang sedari tadi menghantui Edwald. Ntah apa yang dia pikirkan siapa pun tak akan

bisa menebaknya.

"Eed!"

suara Shireen membuat Edwald berjalan mendekati ranjang. Kelopak mata hitam itu masih

tertutup dan hanya erangan kecil pertanda dia mengigau.

"Eed!"

"Aku akan siapkan makanan untukmu," gumam Edwald lalu bergegas pergi ke walk in kloset.

Setelah beberapa lama dia keluar dengan balutan kaus santai lengan pendek dan celana longgar

seperti biasa.

Hal itu tampak sangat maskulin di tubuhnya dan yakinlah Edwald punya pesona yang kuat.
Pria bernetra hijau itu keluar dari kamar dan berjalan tegas turun dari tangga menuju dapur. dia

berencana membuat makanan untuk Shireen yang pasti akan lapar setelah bangun nanti.

"Tuan!"

Beberapa pelayan di bawah sana tersentak kala melihat Edwald turun padahal masih dini hari.

Edwald hanya menatap mereka datar berlalu menuju dapur. Setibanya di sana Edwald tanpa

canggung lagi memilih beberapa sayuran dan daging ikan tuna tanpa tulang yang dia hancurkan

bersama telur.

Para pelayan yang tadi tengah bekerja seketika saling pandang. Ada rasa iri di mata mereka

melihat suami yang begitu cekatan seperti Edwald di kediaman ini.

"Tak hanya tampan dan berkharisma. Tuan juga pandai memasak."

"Aku pernah melihatnya mencuci piring bersama nona Shireen. Mereka sangat romantis!"

Desas-desus para pelayan mengagumi Edwald secara diam-diam. Namun, mereka segera

mengurai kerumunan kala ada seorang wanita yang baru turun menatap penuh amarah pada

mereka.

"Nona!"

"Apa yang kalian lihat. Ha?" geram Freya yang turun dari tangga dengan balutan gaun tidur

di atas paha dan tergolong tipis.

Bagian dadanya cukup rendah dibaluti blazer itupun sangat transparan. Para pelayan wanita

di sini yang melihat hal itu hanya bisa diam melanjutkan pekerjaan mereka.

Senyum di wajah Freya mengembang melihat Edwald yang tengah merebus telur di dalam

panci dengan serius.

"Akhirnya kau turun juga," batin Freya melepas tali gaunnya lalu berjalan masuk ke area dapur.

Kehadiran Freya tak begitu terasa oleh Edwald yang hanya fokus pada masakan sederhana

yang dia buat. Tangan kekarnya lincah memanggang ikan tuna yang sudah di hancurkan
bersama telur ditambah bumbu yang harum membuat Freya terkagum.

"Ehmm!"

dehem Freya pura-pura lewat di dekat counter table di mana Edwald tengah memunggunginya.

Edwald diam sejenak. dia mencium aroma parfum wanita yang memang khusus untuk memikat

para laki-laki. Ini tak mungkin Shirren, pikirnya begitu.

dia hafal aroma tubuh Shireen selembut mawar sedangkan ini lebih menyengat dan cukup

memusingkan.

"Kau sedang memasak apa?" tanya Freya mengambil air di dalam kulkas.

Edwald tak menjawab. dia masih sedia menata steak daging ikan di atas piring yang sudah dia

hias dengan selada dan tomat.

Merasa di acuhkan oleh Edwald membuat Freya geram. dia minum seteguk gelas air di

tangannya lalu menjatuhkan benda kaca itu.

"Astaga!!"

dia terpekik kala pecahan beling di lantai berserakan dengan air yang merebak. Edwald menatap

datar Freya yang tampak pucat dan ketakutan melihat banyaknya beling di dekat kakinya tanpa

alas.

"Astaga! Kacanya pecah. Apa bisa kau membantuku?" cemasnya mengibas rambut hingga

leher jenjang itu terlihat.

Edwald menatap tak berminat tubuh kurus Freya yang jauh dari keseksian Shireen si royal gold

miliknya itu.

"Aku takut pecahan kaca ini akan melukai kakiku."

"Kau yang memecahkannya, bukan aku!" santai Edwald tak peduli. dia melanjutkan kegiatannya

yang hampir selesai membuat darah Freya mendidih hebat.

"Kau memang sangat angkuh. Lihat saja, tak akan ku biarkan kau lolos."
Benak Freya berkata-kata licik. dia menatap serakan beling di bawahnya dengan penuh rencana

lalu memijakkan satu kakinya di antara benda tajam itu hingga pekikannya menerobos telinga

semua orang.

"Aaaa!!!"

dia jatuh ke arah Edwald yang refleks menjauh hingga tubuh Freya menghantam meja dapur

dengan keras.

Freya menggeram sakit karena benturan di kepala dan pinggangnya membuat dia tergeletak di

lantai dengan kaki berdarah dan keadaan menyedihkan.

Niatnya ingin menjebak Edwald tetapi malah mencium counter table.

"M--Mommy!!!" teriak Freya memekik sampai para pelayan yang tadi ada di depan langsung

berlari kebelakang.

Seketika mereka syok melihat Freya yang tergeletak dalam keadaan seperti itu sedangkan

Edwald lebih menyelamatkan piring yang susah payah dia tata rapi.

"N--Nona, tuan kau..."

"Ada apa ini?" suara Nyonya Colins datang dari arah depan.

Edwald hanya diam setia dengan exspresi dinginnya. Pakaian minim yang di kenakan Freya

tersingkap bahkan dadanya hampir menyembul keluar tanpa malu. dia juga sengaja menyibak

bagian bawahnya.

"M--Mommy hiks!"

"Ada apa ini?" tanya Nyonya Colins mendekat dan alangkah terkejutnya dia melihat Freya

terduduk di lantai dengan kaki berdarah dan ada pecahan kaca di dekat betisnya.

Tatapan penuh amuk itu bergulir pada Edwald yang sebenarnya tak salah apa-apa tetapi lagi-lagi

dia akan kena makian.

"Apa yang kau lakukan pada putriku. Ha??"


Bukan urusanku!" datar Edwald ingin pergi tetapi Freya langsung memeggang kakinya dengan

tangis pecah bak dilecehkan olehnya.

"M--mom hiks! Mommy!!"

"Mengapa?? Apa yang bajingan ini lakukan kepadamu. Ha??" heboh Nyonya Colins enggan

mendekat dan lebih memilih menghakimi Edwald yang sungguh geram melihat tingkah

menjijikan Freya.

Air mata bombay itu meluncur dengan satu tangan menutupi bagian dadanya menangis

tersedu-sedu, sangat licik.

"M--Mom! A--aku jatuh karena.. Aku sempat ditarik oleh kakak ipar."

"Apaa???" syok nyonya Colins melihat wajah Freya yang sudah sembap bahkan dia seperti

begitu takut menekuk tubuhnya.

Para pelayan di sini saling pandang. Jujur mereka tak percaya itu karena belum pernah mereka

melihat tatapan nakal Edwald pada wanita di kediaman ini selain pada Shireen.

"K--kak! Kau--kau mengapa melakukan itu kepadaku. Ha?" isaknya tetapi Edwald segera menyentak
kakinya kasar dari cengkraman Freya.

"Aku tak pernah mengusik putrimu."

"K--kak! Jelas-jelas kau yang menarik lenganku saat aku minum tadi. Gelasnya pecah dan dia

berusaha untuk merobek pakaianku. Mom! Aku--aku memberontak dan jatuh seperti ini. Kakak

mengapa melakukan ini. Haa??" histerisnya seperti gadis belia yang dilecehkan secara brutal.

Mendengar itu emosi Nyonya Colins naik mengubun. dia meraih teko air kaca yang ada di meja

pantry di sampingnya lalu menyiramkan benda itu ke wajah Edwald yang seketika basah kuyup.

"Dasar menantu tak bergunaa!!!"

makinya keras dengan emosi melahap isi kepalanya. Edwald mengepal bahkan piring yang dia

peggang sudah retak karena cengkraman tangan kekarnya.


"Sudah kau tak punya pekerjaan dan hanya menumpang hidup di rumah ini tetapi kau masih tak

tahu diri. mengapa tak dari dahulu saja aku menceraikan Shireen dari pria sepertimu?!"

Sungguh. Makian itu benar-benar menusuk bagi Edwald yang masih berusaha tenang walau

penghinaan ini tak akan dia lupakan sampai seumur hidupnya.

"Apa yang kau berikan pada kami hingga leluasa makan dan tidur di sini? Pria menjijikan!!"

"Cukuup!!!" Sambar seorang wanita yang tadi terganggu dari alam mimpinya karena mendengar
keributan di

bawah. Dia turun dengan susah payah memakai bathrobe cokelat yang indah di tubuhnya tetapi

sangat terkejut melihat apa yang terjadi di sini.

"Shireen! Lihat apa yang sudah suami miskin tak berguna-mu ini lakukan?! Lihat ke sini!"

Shireen berjalan pelan menahan sakit di bagian intinya. Langkah kaki jenjang itu terhenti di

dekat Edwald yang tampak basah dan berantakan.

"Sayang! mengapa kau seperti ini?" cemas Shireen mengusap wajah Edwald yang basah dengan

tangannya.

Tatapan Shiren beralih pada Freya dan dia cukup heran dan kebingungan dengan semua ini.

"Mom! Mengapa kau lagi-lagi memaki suamiku? Dan Freya mengapa kau seperti ini?"

"K--kak!" lirih Freya menangis menutupi bagian dadanya.

Mata Shireen menajam ke arah Edwald yang tahu dengan pandangan penuh tanya itu.

"Aku tak melakukan apa pun!" datarnya tetapi Freya terlihat sangat tak berdaya.

"Kak! Kakak ipar bohong. Dia mencoba melecehkan aku!" bantah Freya keras.

Nyonya Colins tak lagi punya kesabaran untuk melihat wajah Edwald di kediaman ini.

"Aku tak ingin tahu. Ceraikan Shireen atau kau pergi dari kediaman ini!!"

"Mom! Edwald tak mungkin melakukan itu. Aku tahu bagaimana suamiku," keras Shireen

menjadi garda terdepan bagi Edwald yang juga malas berdebat dengan ibu mertuanya.

"Kak! Suamimu ingin melecehkan aku dan kau masih membelanya?? Ini yang kau sebut

saudariku. Ha??" Isak Freya membuat Shireen serba salah.


dia percaya pada Edwald tetapi dua manusia ini juga orang yang penting baginya.

"Kak! Apa kau memang tak pernah menyayangiku. Ha? Aku minta maaf jika aku tak

menghargai mu dahulu tetapi sekarang percayalah kepadaku. Kak!" imbuhnya memelas. Di samping
tangisan lemahnya dia menyeringai puas melihat kemarahan Mommy nya yang pasti tak akan menerima
Edwald lagi. Mereka akan bercerai dan semuanya selesai, pikirnya begitu.

"Jika aku tak bisa memilikinya maka kau juga tidak. Shireen!" batinnya menatap puas Shireen yang
masih mempertahankan kepercayaannya pada Edwald.

Bahkan ibu dan anak itu saling berdebat hingga amarah Nyonya Colins tak terkendalikan lagi, dia
menampar Shireen yang seketika menjadi objek keegoisan ibunya.

"Ceraikan dia atau kau pergi dari sini!!!"

.....

Bab 5: Biarkan aku yang pergi

Pertengkaran antara nyonya Colins dan Shireen tadi berujung pada tangisan wanita itu.Awalnya Shireen
begitu tegas menolak ucapan mommy-nya tetapi mau bagaimanapun perkataan kejam nyonya Colins
sukses membuatnya menangis melarikan diri ke dalam kamar seraya mengemasi pakaiannya.

Edwald sedari tadi menatap Shireen yang tak mau memandangnya. Air mata itu disembunyikan seraya
membuka koper di dekat lemari pakaian lebar yang tampak tersusun rapi.

Saat Shireen sibuk memasukan pakaiannya ke dalam benda itu. Edwald langsung memeluknya erat dan
penuh kehangatan.

"Menangis saja!" bisik Edwald mengusap kepala Shireen yang seketika tak bisa menahan lagi, dia
mencengkram pinggang kokoh Edwald dengan isakan meluncur dan terdengar sangat

menyakitkan.

"E..Eed hiks! mengapa mommy mengatakan itu? mengapa dia terus menindasmu? mengapa?"

isak Shireen sangat merasa sakit di hatinya.


Tak terbayang bagaimana sesaknya mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut ibunya sendiri.
Bahkan, adiknya-pun berusaha untuk menghancurkan rumah tangganya.

"Maafkan aku!"

"K--mengapa harus seperti ini. Ha? Apa tak bisa mereka menerimamu tanpa memandang status

dan kekayaan? mengapa selalu ini yang jadi permasalahan? Aku sudah lelah mendengarnya!!

Aku sudah muaak. Eed hiks!" racau Shireen meledakan emosinya.

Jelas semua ini sudah dia tahan-tahan sejak lama agar tak keluar tetapi hari ini dia benar-benar melawan
Nyonya Colins sampai menyanggupi makian wanita itu.

"A--aku lelah. Semua di mata mereka tak cukup. Sampai kapan aku harus dijadikan pion penarik
kekayaan lagi?! Apa-- Apa aku-"

"Susstt!! Sudah, jangan bicara seperti itu," sela Eswald mengusap punggung Shireen yang bergetar, dia
tak pernah melihat Shireen menangis seperti ini karena biasanya Shireen cukup bisa mengendalikan diri.

"Bahkan adikku--" lirih Shireen beralih menatap Edwald dengan mata berkaca-kaca. Manik hitam legam
ini seperti kucing yang terluka bahkan sangat menusuk hati siapa pun yang melihatnya.

"Adikku sendiri ingin menghancurkanku. Untuk apa dia berpakaian seperti itu di hadapanmu? Dan
mengaku-ngaku di lecehkan. Sebenarnya apa salah-ku pada mereka? Ed! Apaa??" imbuhnya masih
sangat sakit hati kala tahu jika Freya hanya bersandiwara. dia sangat percaya pada Edwald dibanding
siapa pun karena dia tak pernah merasakan cinta dari orang lain kecuali pria ini.

"Kau tak bisa pergi dari rumah ini!" ucap Edwald menangkup kedua pipi Shireen yang

menatapnya sulit.

"K--kau.."

"Biar aku yang pergi. Hm?"

Shireen menggeleng, dia beralih memeluk erat Edwald yang tak ingin Shireen keluar dari rumah

untuk sengsara dengannya sementara di luar sana kejahatan mengincar kelengahannya.

"TIDAK."
"Sayang! Jika kau keluar dari sini kau akan kehilangan pekerjaanmu. Kau hanya akan sengsara

hidup denganku dan--"

"Ap--apa kau ingin bercerai?" tanya Shireen bergrtar dan sontak Edwald menggeleng. dia tak

berencana untuk melakukan itu.

"Bukan seperti itu. Aku akan keluar dari sini untuk membangun sumber kuanganku. Saat sudah

bisa memenuhi keinginan keluargamu maka aku akan datang lagi untuk menjemputmu.

Bagaimana?"

Tanpa pikir panjang Shireen menggeleng tak setuju. Lebih baik dia kehilangan pekerjaanya dari

pada masih di sini tanpa ada satu orang-pun yang mencintainya.

"Aku ikut! Aku tak ingin sendirian."

"Aku akan terus menghubungimu. Aku barzanj!" tegas Edwald serius tetapi seketika bibir Shireen
bergetar dengan air mata yang lagi-lagi turun.

Bayangkan saja suaminya pergi dari rumah hanya karena tak di terima ibunya. Sudah jelas

sekarang masa sulit Edwald dan dia tak bisa membantu apa pun. Istri macam apa itu, pikirnya.

"A.--aku ikut. Aku ikut ke mana-pun kau pergi!" desak Shireen tak mau di tinggal.

Edwald menghela napas dalam. Mereka berpelukan sangat lama bahkan tak ada yang mau

mengendurkan pelukan ini.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan di depan pintu. Shireen saling pandang dengan Edwald yang

mengurai pelukannya.

"Aku akan membukanya!"

Shireen mengangguk. Wanita polos dan cerdas di dunia kerja itu memandangi bahu lebar

Edwald yang melenggang ke luar ruang pakaian.

karena takut mommynya datang lagi, Shireen segera menyusul Edwald yang tengah membuka

pintu kamar.

"Siapa sayang?" tanya Shireen dengan suara parau dan bengapnya.


Edwald diam menatap sesosok pria paruh baya yang berdiri di depannya. Pria dengan tubuh

agak kurus dan rambut setengah memutih berkacamata.

"Dad!"

lirih Shireen terkejut antara syok dan juga tak menyangka Tuan Walter akan pulang pagi ini.

Dari exspresi Tuan Walter dia tampak tak menyukai Edwald yang hanya diam di tempat.

"Aku ingin bicara denganmu!"

"Dad! Kapan kau pulang?" tanya Shireen sesekali memandang Edwald yang mengusap sisa air

mata di pipinya.

Hal itu tak luput dari perhatian Tuan Walter yang berjalan pergi agak menjauh dari pintu kamar.

Shireen mau tak mau mengikutinya sampai ke perbatasan tangga.

"Dad!"

"Aku dengar kau bertengkar lagi dengan ibu dan adikmu!" suara Tuan Walter terdengar sangat

datar tetapi menyimpan rasa geram di setiap intonasinya.

"Dad! Hanya karena masalah harta dan kekayaan mommy terus menghina Edwald. Kami kerap

bertengkar karena aku tak ingin suamiku terus di rendahkan. Dad! Aku-"

"Apa kau buta? Shireen!" tanya Tuan Walter dan itu mencegat leher Shireen yang tak lagi bisa

melanjutkan perkataanya.

"Yang mommy-mu itu katakan benar! Keluarga kita diterpa berita miring hanya karena suamimu

yang tak becus mengurus pekerjaanya sendiri. Bahkan, proyek yang-ku tangani sampai gagal

karena mereka tahu Edwald adalah menantuku!! Paham!!"

Shireen diam. Dia meremas pinggiran bathorbenya seraya mengigit bibir dengan mata yang

kembali berkaca-kaca.
"Jika seperti ini terus satu per satu klien akan pergi! Perusahaan bahkan akan ikut bangkrut

karena penolakan semua klien atas suamimu."

"A..aku mencintainya!" lirih Shireen sakit bahkan sangat sakit. Antara hidup dan mati dia

mempertahankan keluarganya tetapi Edwald adalah hidup dan harapannya yanh baru.

"Nak! Sekali ini saja korbankan hidupmu. Ha? Aku janji tak akan ikut campur lagi dalam urusan

pernikahanmu," lembut Tuan Walter menyesal telah mempertemukan Edwald dan Shireen

yang kala itu hanya menurut saja.

Tak di sangka keadaan akan berbalik dan hati wanita ini sudah terpaut dengan jantung pria

miskin itu.

"D--Dad! Aku--Aku mohon. Sekali ini saja biarkan aku bersama Edwald! Aku mohon!" pinta

Shireen tak mau keluarganya hancur karena keinginanya.

Melihat Shireen yang begitu mempertahankan pernikahannya rasa marah di dalam hati Tuan

Walter tak dapat di sembunyikan.

"Apa kau tak peduli dengan keluarga ini?"

"Peduli!! Aku sangat peduli tetapi biarkan SATU kali ini saja aku memilih keputusan untuk

hidupku. Dad! Aku mohon!" pinta Shireen sangat menghormati ayahnya.

Wajah Tuan Walter mengeras. Jelas dia tak akan setuju tetapi sialnya Shireen adalah hoki

baginya. Wanita ini memiliki otak yang cerdas dan hawa mahal untuk menarik berbagai investor

ke perusahaan mereka.

"Kau pilih saja. Masih ingin tinggal di sini dan menjadi anakku atau pergi tetapi bukan lagi anggota

keluarga ini!"

Degg..

Lagi dan lagi nyawa Shireen seakan di cabut dari tubuhnya. dia menatap nanar kepergian Tuan

Walter yang nyatanya menambah luka yang tadi sudah menganga lebar.
K..kau menyuruhku memilih? Kau ingin memutuskan hubungan darah denganku?

.....

Bab 6 Sosok misterius

Di tempat yang berbeda. Terlihat seorang pria paruh baya berdiri di antara gelapnya lilin kamar,

dengan pencahayaan minim hanya memperlihatkan jambang tipis yang sedikit memutih itu.

Cincin-cincin giok mahal di jarinya yang memeggang ponsel tampak mengkilap dengan suara

bariton bicara dengan seseorang.

"Sudah sampai di mana rencanamu? Anakku!"

"Dad! Ini baru permulaan. Tunggu tanggal mainnya."

suara berat khas seorang pria di seberang sana. Seringaian pria paruh baya ini mekar persis

menyatakan rasa puas dan bangga akan kinerja putra angkatnya ini.

"Jangan membuatku lama menunggu. Segeralah selesaikan!"

"Kau ingin aku menghancurkan sampai ke akar-akarnya. Bersabarlah sampai kemenanganmu

datang!" jawaban itu sangat memuaskan pria ini. Seperti biasa dia tak pernah di kecewakan dengan
tangan kanan sekaligus anak angkatnya itu. Pekerjaan sangat smoot dan tanpa ada cela sedikitpun.

.....

Shireen terduduk diam di balkon kamarnya. Sedari tadi dia menangis sampai air matanya tak lagi

mau keluar hingga tubuhnya pasrah tertimpa cahaya matahari yang lagi-lagi menyadarkannya

jika waktu makin berputar.

Sudah jadi kebiasaanya untuk menyendiri jika ada masalah yang memenuhi pikirannya. Shireen

lebih banyak diam mempertimbangkan semua keputusan yang bahkan membuat kepalanya

pusing.

"Ayo makan!" seru Edwald yang datang membawa nampan makanan. Shireen hanya melirik

dari ekor matanya tanpa ada suara yang keluar.

Melihat hal itu, Edwald segera mengambil tempat di dekat Shireen yang duduk di sofa Balkon.
"Makanlah. Nanti kita cari jalan keluarnya. Hm?" seraya meletakan nampan di paha Shireen

yang hanya diam.

Matanya sudah sembap dan hidung mungilnya merah, dia lagi-lagi menghindari kontak mata

dengan Edwald yang mendengar perdebatan Shireen dan Tuan Walter tadi.

"Turuti saja kemauan kedua orang tuamu!"

Shireen tak menyahut. dia lebih banyak diam pertanda kebimbangan itu masih membelit

benaknya.

"Kau tak bisa melawan mereka yang sudah membesarkan-mu dari kecil. Aku akan menerima

setiap keputusan yang kau ambil. Shi!" imbuh Edwald mengusap kepala Shireen yang langsung

membekap wajahnya.

Terdengar hembusan napas sendat yang lagi-lagi memenuhi dada Shireen, sungguh sudah

putus asa.

"A--aku tak ingin kita bercerai!" lirihnya menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi wajah

sembabnya.

"Shi! Aku lebih tak ingin itu terjadi tetapi aku tak sanggup melihatmu menangis setiap hari. Aku

merasa tak berguna menjadi suamimu," sesal Edwald membuat Shireen terhanyut. Shireen

menundukan pandangannya beralih menggenggam tangan kekar Edwald yang membuatnya

tenang.

"Jangan bicara begitu. Semua ini bukan salahmu!"

"Sayang! Aku akan bereskan barang-barangku. Biarkan aku pergi dan kau tetap di sini!"

Shireen menggeleng. dia sudah memutuskan untuk keluar dari kediaman ini dan meninggalkan

semua pekerjaannya.

"Kita mulai semuanya dari nol. Aku ingin bekerja bersamamu dan membangun rumah tangga

kita sendiri." jawaban Shireen sungguh di luar dugaan. Edwald diam menatap manik hitam indah ini
intens dan keseriusan Shireen untuk memulai hidup dengannya sangat besar dan yakin.
"Kau yakin?"

"Yah. Lagi pula aku juga bisa melamar di perusahaan lain dan kau tekuni saja pekerjaanmu

sendiri. Kita akan memulai semuanya dari awal. Ed!" jawab Shireen sangat tulus dan polos.

Tak pernah Edwald melihat wanita seperti Shireen yang sulit di jabarkan.

"Kau percaya kepadaku?" Tanya Edwald dan Shireen mengangguk. Pada siapa lagi dia akan

percaya selain suaminya sendiri? Pikir Shireen begitu.

"Aku sangat percaya kepadamu. Aku yakin kita bisa buktikan kepada mommy dan daddy jika kita

bisa kembali ke posisi seperti dahulu. Hm?"

Mendengar itu sudut bibir Edwald tertarik. Senyuman yang menyimpan banyak makna tetapi bagi

Shireen itu adalah senyuman hangat yang tak pernah dia dapatkan dari siapa pun.

"Kau harus percaya kepadaku. Aku tak akan meninggalkanmu."

"Aku percaya!" lugas Shireen beralih menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh Edwald yang

mengusap kepalanya lembut.

Wajah tampan datar itu menatap lurus kedepan dengan sorot mata yang sulit di jabarkan.

Hanya ialah yang tahu isi kepalanya sendiri.

"Shi!"

"Yah?" sahut Shireen memainkan tali celana Edwald dibagian pinggang kekar ini.

"Aku bisa menyelesaikan masalah perusahaan mu!"

Shireen diam lalu mengadah. dia menatap wajah tampan Edwald yang tersenyum lembut

membelai pipi mulusnya.

"Maksudmu?"

"Aku bisa membantumu bekerja di sana dan mengembalikan para klien yang ingin mengambil

sahamnya," jawab Edwald dan sontak Shireen langsung menegakkan duduknya. Nampan di

pahanya tadi dia letakan di meja sofa lalu segera memeggang paha Edwald dengan tatapan

serius.
"Kau punya solusinya?"

"Hm. Aku yakin daddy-mu akan setuju jika kau yang mengambil alih perusahaan. Aku akan

membantumu dari belakang tanpa memperlihatkan identitas ku. Bagaimana?"

Shireen seketika langsung sadar. dia menepuk jidatnya karena baru ngeh jika Edwald adalah

seorang pebisnis andal sebelumnya. Perusahaan Edwald dahulu juga begitu besar dan jaya, dia

lupa jika suaminya adalah raja bisnis yang sempurna.

"Sayang! mengapa kau tak bilang dari tadi?! Aku menghabiskan air mataku di sini," decah

Shireen merenggut dengan bibir manyun terlihat menggemaskan.

Edwald melayangkan kecupan singkat di sana hingga pipi Shireen memerah seperti biasanya.

"Kau--"

"Jangan menangis lagi. Habiskan makananmu!"

"Aku akan bicara pada daddy!" sambar Shireen bersemangat ingin berdiri tetapi seketika dia

terpekik kala bagian intinya terasa begitu nyeri dan sakit.

Aass ...Eeed!!"

"Kau sudah banyak bergerak. Duduklah dahulu!" decah Edwald mendudukan Shireen kembali. dia
menyibak bathrobe kecoklatan halus ini melihat Shireen masih belum memakai celana dalam.

"J--jangan dilihat!" Malu Shireen menutupi bagian intinya yang bengkak. Wajahnya sudah

seperti kepiting rebus tetapi Edwald lebih santai seperti biasanya.

"Biarkan aku memeriksanya. Nanti bisa infeksi!"

"T--tapi.."

"Mengapa malu? Aku sudah menikmati semuanya," sela Edwald makin membuat Shireen ingin

menghilang.

Edwald mengangkat kedua kaki Shireen ke atas sofa lalu dia turun duduk di lantai balkon melihat

ke area inti Shireen yang begitu seksi dan segar dengan rona merah muda yang mulus bak

bayi.
Helaan napas Edwald turun karena harus menahan hasratnya. Dia akui Shireen memang sangat

candu tetapi dia masih ada akal sehat.

"Aku akan keluar membeli salepnya. Kau istirahatlah dan jangan pakai daleman dahulu. Hm?"

Shireen mengangguk malu-malu. Edwald beralih menggendong ringan Shireen yang dengan

manis mengalungkan kedua lengannya ke tengkuk kokoh Edwald seraya menyembunyikan

wajahnya di ceruk leher pria ini.

"Jangan lama-lama keluarnya!"

"Aku belum pergi. Sayang!" jawab Edwald mengecup kening Shireen yang dia baringkan di atas

ranjang. Tempat ini sudah dia bersihkan sebelumnya bahkan Edwald mengganti sprei yang ada

darah kesucian sang istri dan dia simpan di lemari.

Setelah memosisikan Shireen dengan nyaman barulah Edwald pergi ke walk in kloset

mengganti pakaiannya.

Saat dia sudah keluar Shireen menatap kagum pada pesona Edwald yang sangat tampan dan

penuh karisma. Balutan jaket dan celana jeans itu membuatnya tampil sangat muda.

"Mengapa dia sangat tampan?!" tanya Shireen merasa cemas jika Edwald keluar sendirian.

Akan banyak wanita yang terpikat oleh pesona sang suami tetapi dia juga tak bisa egois.

"Aku pergi! Jaga dirimu sampai aku pulang!"

"Kiss!" manja Shireen dan Edwald tak segan mendekat melayangkan kecupan hangatnya ke

bibir pink segar ini.

Jika dilihat keduanya benar-benar seperti makhluk yang saling mencintai.

"Aku pergi dahulu!"

"Cepat pulang," gumam Shireen memandangi kepergian Edwald yang sempat mengangguki

ucapannya.

Saat pria itu pergi seketika Shireen merasa kosong. dia kembali pada hari-harinya dahulu di manahanya
ada pekerjaan di benaknya.
"Terima kasih sudah mempertemukan aku dengan Edwald!" gumam Shireen bersyukur pada

sang Mahakuasa.

Setidaknya dia punya semangat hidup dan sandaran yang tak pernah dia temukan sebelumnya.

Sementara di luar sana. Edwald tak menemukan keberadaan para penjilat itu di kediaman ini. dia

dengan bebas keluar berjalan lebar dan tegas melewati para pelayan dan penjaga kediaman.

Wajahnya begitu dingin bahkan para pelayan yang melihat dari kejahuan merasa sering

merinding jika Edwald melewati mereka tanpa keberadaan Shireen di sampingnya.

Hawa dan pembawaannya bisa berubah-ubah. Ntah itu hanya perasaan mereka atau memang

pria ini hanya bisa damai jika bersama nonanya saja.

Tepat di halaman kediaman menuju gerbang, Edwald mendapat pesan dari ponselnya. dia

menatap datar layar benda pipih itu lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan kokohnya.

"Aku sudah menunggumu sedari tadi, Sayang!"

Isi pesan bermakna manja dan intim. Edwald tak membalasnya. Pria misterius itu keluar dari

gerbang dan masuk kedalam taksi yang kebetulan lewat atau memang sudah menunggu sedari

tadi.

....

Bab 7 Balas dendam

Restoran Bullgart. Tujuan yang paling tepat bagi kalangan orang dewasa maupun remaja yang

berpacaran. Resto ini sangat kental dengan gaya Italia karena memang negara pizza ini selalu

bercita-rasa klasik yang hangat.

Jika di luarnya tampak seperti resto biasa dengan banyak pengunjung yang makan, maka mata

kalian akan tertipu besar. Di dalam tempat yang mengusung 3 lantai ini ada bar bahkan klub
dimasing-masing tempat yang sudah di rancang.

"Sayang!!" panggil seorang wanita berambut pirang dan bermata cokelat tajam melambaikan

tangannya pada sosok pria tampan yang baru memasuki bar.

dia yang tadi duduk di meja seraya bicara dengan bartender di sini segera bangkit menyusul

sosok itu dengan membawa satu gelas wine.

"Aku sudah menunggumu sedari tadi. Apa ada masalah?" tanyanya tetapi pria ini tak langsung

menjawab.

Dia membiarkan Kimmy menggandeng lengannya seraya berjalan kembali ke meja bar di mana

tempat ini ramai seperti biasa.

Yah, Kimmy wanita cantik berkulit eksotis tetapi seksi yang suka memamerkan bentuk tubuhnya.

dia sering memakai pakaian ketat bahkan seperti biasa gaun maron ketat di atas paha tanpa

lengan itu menjadi pilihannya.

"Minumlah!" Kimmy menyodorkan gelas wine bekasnya pada pria yang justru mengambil gelas

lain.

"Ada perintah baru?" suara datarnya sangat khas dan begitu seksi di telinga para wanita liar

di sini.

tetapi, mereka tak ingin mengganggu sosok itu karena termasuk berbahaya untuk di dekati.

"Untuk sekarang belum. Mereka menunggu berita darimu maka baru bisa bergerak," jawab

Kimmy menegguk wine di gelasnya.

dia menatap penuh puja wajah tampan pria bermanik kehijauan ini sampai tenggelam di

dalamnya.

"Sudah lama tak bertemu ketampanan-mu masih saja tak berkurang. Edwald!"

Yah, dia adalah Edwald Fedrick Aldebaron. Suami dari Shireen si wanita malang yang sialnya

adalah putri dari Walter yang menjadi buronan dari Suma ayah angkatnya.

Kekayaan yang sekarang mengelilingi Walter adalah hasil pengkhianatan-nya pada Suma yang
menjadi pemimpin organisasi GYUF. Walter melarikan diri ke Milan setelah memberi tahu tempat

persembunyian GYUF pada pemerintahan negara lain hingga mereka jadi guyonan para militer

di beberapa negara yang dahulu sempat menjadi markas untuk melakukan bisnis ilegal.

Sementara Walter, pria sialan itu dengan leluasa menikmati hasil pengkhianatan-nya sampai

membina rumah tangga di Milan.

Tentu Edwald di perintahkan oleh Suma untuk menjatuhkan Walter sampai tak bisa hidup lagi.

Rencana Edwald tertuju pada Shireen yang merupakan pusat kekayaan dari keluarga Harmon.

Wanita cantik bak porselen mahal itulah yang harus dimanfaatkan untuk membenamkan semua

orang di keluarganya ke dalam lumpur pengkhianatan.

"Bagaimana dengan pernikahanmu? Apa wanita itu lebih hebat dariku?" tanya Kimmy

menyimpan makna merendahkan Shireen.

Edwald hanya diam. dia fokus menegguk gelasnya tampak sangat tenang seperti gayanya biasa.

"Atau kau sama sekali belum menyentuhnya?"

"Itu tak penting!" jawab Edwald memainkan gelas di atas meja bar. Kimmy menghela napas

dalam. dia segera menegguk tandas minumannya lalu mengisyaratkan bartender di hadapannya

untuk mengisi minuman baru.

"Aku dengar wanita itu sangat cantik. tetapi, aku yakin dia bukan seleramu. Bukan?"

"Kurangi bicaramu," gumam Edwald menatap datar Kimmy yang seketika tersenyum. dia

langsung naik ke paha kokoh Edwald yang hanya membuka diri bahkan tak menolak keliaran

Kimmy padanya.

"Aku tak akan bicara lagi karena kau tak suka menunggu. Hm?" bisik Kimmy mengecup rahang

tegas Edwald yang tampak juga tak tahan lagi.

dia berdiri dari duduknya membuat Kimmy hampir mau jatuh tetapi seperti biasa Edwald menyukai

permainan yang kasar.


"Aku sudah menyiapkan kamar untuk kita. Sayang!"

"Hm."

Kimmy menggandeng Edwald menuju tangga menuju kamar atas. di sini memang tempat bebas

melakukan perbuatan apa pun bahkan sudah sering didatangi oleh banyak miliuner kaya.

Saat tiba di dalam kamar yang tak begitu luas tetapi selayaknya hotel bintang 5 itu Kimmy mulai

melucuti setiap pakaian di tubuhnya. dia tanpa malu menunjukkan setiap lekuk tubuhnya yang

memang memenuhi standar kecantikan.

Dadanya yang besar bukanlah hal alami. Itu dia dapatkan dari operasi sekaligus bokongnya.

Edwald tak masalah karena dia tak pernah melayani Kimmy dalam artian wanita inilah yang

menawarkan diri menjadi pemuas sekaligus anak buah Suma.

"Edwald! Sesekali kau harus memuaskan ku. Sayang!"

"Kerjakan saja tugasmu," serak berat Edwald menarik rambut Kimmy kasar dan mendorongnya

untuk duduk.

Edwald berdiri di hadapan Kimmy yang tersenyum nakal kala Edwald sudah memosisikan

pusaka perkasa itu tepat di hadapan mulutnya.

Dan tentu Kimmy sudah tahu apa yang Edwald inginkan. dia segera membuka resleting celana

pria ini dan mulai melakukan hal yang menjadi keahliannya.

"Kau sangat seksi. Sayang!" gumaman Kimmy melihat Edwald terpejam menikmati hisapan

lembut mulutnya yang penuh.

Tangan Edwald hanya diam. dia sama sekali tak menyentuh Kimmy yang hanya bisa bermain

solo dengan dirinya sendiri.

"S--sayang!" erang Kimmy membelai dirinya sendiri, dia sangat ingin dilayani oleh Edwald yang

sayangnya tak pernah sama sekali membiarkannya berbuat lebih.

Jika hanya bermain mulut maka itu yang harus dilakukan.

"S--shiit!!" umpet Edwald kesal karena wajah Shireen-lah yang terlintas di kepalanya. Walau
yang memanjakan pusakanya adalah Kimmy tetapi yang membekas di tubuhnya adalah sensasi

bercinta dengan Shireen yang menggebu-gebu.

Saat permainan Kimmy makin intens bahkan hampir mendorong Edwald ke puncak birahinya

tiba-tiba ponselnya berdering. Sontak Edwald mendorong kepala Kimmy kasar hingga wanita itu

tersungkur ke lantai.

"E..Edwald!" lirih Kimmy sudah kepalang basah. dia melihat pusaka seksi kekar sempurna itu

sudah hampir menyembur di mulutnya seperti biasa tetapi Edwald memilih melanjutkan solo.

"EHMM!!" geraman Edwald mencapai puncak hasratnya hingga menjatuhkan diri di sofa tepat

di sampingnya.

"Edwald! Apa tak bisa kau memuaskanku dengan cara yang sama?" serak Kimmy terdengar

memohon karena dia dalam keadaan sudah dikuasi oleh berahi yang tinggi.

Edwald hanya diam. dia dengan napas tak stabil itu melihat layar ponselnya dan ada panggilan

dari Shireen yang juga memberi pesan padanya.

"Siapa? Tiba-tiba sekali kau memotong durasi permainan kita."

Tak ada jawaban dari Edwald. dia melihat jam di pergelangan tangannya dan sudah 1 jam dia

keluar. Tentu Shireen akan mencarinya.

"Jangan sampai ada yang tahu identitas ku dan Kau urus orang di sekitar sini!" tegas Edwald

meraih tisu di atas sofa lalu membersihkan pusaka-ny, dia merapikan pakaian dan segera pergi
meninggalkan Kimmy yang seketika membuang napas

kasar.

"Kapan Edwald akan menyentuhku? Dia hanya ingin dipuaskan tetapi tak ingin memuaskan orang lain.
Cih." Kimmy langsung menelpon seseorang untuk datang ke kamarnya. dia tak ingin mati sia-sia

menahan hasrat yang sedang tinggi bahkan tak bisa di abaikan begitu saja.

..

Bab 8 Ada aroma parfum wanita di sini!


Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang dan belum ada tanda-tanda kepulangan Edwald. Hal itu

sangat membuat Shireen khawatir karena takut terjadi suatu hal yang buruk di luar sana karena

mengingat banyak sekali yang tak menyukai pria itu.

"Ke mana dia?!" gumam Shireen terus mencoba menghubungi ponsel Edwald yang tak aktif. dia

perlahan bangkit dari ranjang lalu berjalan ke arah pintu kamar.

Saat tangan lentik Shireen ingin menekan gagang pintu tiba-tiba saja benda itu sudah di buka

dari luar.

"Sayang!" lemah Shireen antara senang dan lega melihat Edwald sudah berdiri di depan pintu

membawa plastik kecil berisi kotak salep yang tadi dia beli.

"Ke mana saja? Aku pikir terjadi sesuatu di luar sana sampai kau tak menjawab panggilanku."

"Aku lupa mengisi daya ponselku," jawab Edwald masuk ke dalam kamar seraya kembali

menutup pintu. Edwald meraih pinggang ramping Shireen kedalam pelukannya, lalu mengiring wanita
itu duduk di tepi ranjang dengan dia yang berjongkok di lantai.

Wajah tampan Edwald seperti biasa datar tetapi sangat hangat. dia membuat Shireen nyaman

dengan perlakuannya yang manis setiap saat.

"Mengapa kau bisa lama? Sayang!" tanya Shireen mengusap rambut Edwald dengan jemari

lentiknya membuat helaian rambut kecoklatan Edwald agak berantakan tetapi tampak seksi.

"Ada sedikit masalah."

"Masalah apa?" tanya Shireen menghentikan kegiatannya. Manik hitam bening itu beralih

melihat Edwald yang tengah membuka kotak salep di tangannya.

"Media tadi mengejar-ku. Jadi, aku harus mencari jalan lain!"

"Benarkah?" tanya Shireen tersentak. Edwald hanya mengangguk mendorong bahu Shireen ke

atas ranjang hingga posisi wanita ini setengah berbaring dengan kedua kakinya yang menjuntai

Edwald naikan ke atas ranjang.


"Apa kau terluka?" imbuhnya sangat cerewet. Edwald sebenarnya tak suka dengan wanita

rumit seperti Shireen yang apa-apa harus dia tanyakan dan diperhatikan. Cih, begitu

memusingkan.

Saat Edwald tak menjawab, Shireen mengulang pertanyaannya lagi. Edwald mengepal tetapi dia

berusaha untuk tetap lembut.

"Aku baik-baik saja. Shi!"

"Ed! Lain kali kau tak usah keluar sendirian. Apalagi membeli benda itu. Kau bisa menyuruh

pelayan di bawah. Sayang!" ucap Shireen cemas jika sampai nama Edwald menjadi bualan

media lagi. dia tak pernah tenang membiarkan Edwald keluar sendirian apalagi banyak musuh

yang mengintainya.

Kekhawatiran Shireen nyatanya hanya angin lalu bagi Edwald yang tetap memasang topeng

suami idaman. dia sebenarnya malas melakukan semua ini apalagi mendengar ocehan Shireen

yang bukan termasuk tipe wanitanya.

"Apa kau sudah makan?"

"Belum. Aku mau makan dengan-mu," jawab Shireen menatap ke bawah. Edwald tampak

memakaikan salep itu ke bagian intinya dan agak terasa geli tetapi Shireen menahan agar jangan

mengeluarkan suara yang memalukan.

Berbeda dengan Shireen yang malu-malu, Edwald justru tak bisa menahannya. dia melabuhkan

kecupan lembut ke bibir pink segar bawah Shireen yang seketika menggelinjang.

"E--Eed!"

"Boleh aku memintanya lagi?" tanya Edwald membuat wajah Shireen pucat, dia mau tetapi bagian

intinya masih sakit untuk melayani kebuasan Edwald yang memang bermain lembut tetapi ukuran

pusaka itu cukup membuatnya lupa diri.

Melihat kegugupan Shireen yang tampak sulit menjawab menarik senyuman Edwald yang
segera mengakhiri pengobatannya.

"Aku hanya bercanda. Shi!"

"K--kau.." gagap Shireen sudah kepalang malu langsung menutupi wajahnya dengan tangan.

Edwald berdiri merapikan bathrobe Shireen lalu meletakan kotak salep itu di atas nakas

ranjang. dia beralih membuka jaketnya kemudian di letakan di tepi ranjang.

Shireen segera meraih jaket itu kepelukannya sementara Edwald membuka sepatunya seraya

duduk di samping paha Shireen.

Niat hati ingin mencium aroma musk tubuh Edwald di jaket ini tetapi tiba-tiba saja Shireen

mencium aroma parfum lain.

Ini aroma Sandalwood.

"Sayang!" panggil Shireen beralih duduk di samping Edwald yang tak menoleh.

"Hm? Apa?"

"Parfum-mu Musk-kan?"

Edwald mengangguk melirik Shireen dari ekor matanya. Saat dia melihat Shireen memeluk

jaketnya sontak Edwald langsung menoleh sempurna.

"Shi!"

"Ada aroma parfum wanita di sini," gumam Shireen mengendusnya kembali. Edwald diam tetapi

raut wajahnya masih tenang. Apa Shireen akan tahu? Atau mungkin wanita ini curiga padanya?

"Jika sampai dia tahu aku akan membunuhmu. Kimmy!"

batin Edwald geram kala mengingat parfum Kimmy menempel di jaketnya. Shireen menatap

Edwald dengan pandangan biasa tak ada raut curiga apa pun di manik hitam indahnya.

"Apa kau--"

"Saat di kejar media tadi aku menelusup di keramaian agar mereka tak menemukanku. Mungkin

ada parfum mereka yang menempel," kilah Edwald tenang seakan-akan itulah yang terjadi.
"Syukurlah kau lolos. Bisa saja nanti mereka membuat berita baru. Ed!" gumam Shireen

memercayai karangan bebas Edwald yang seketika lega.

Shireen memang wanita berpikiran positif bahkan jika itu wanita lain mungkin dia akan diintrogasi
sampai ke akar-akarnya.

"Apa kau berpikir aku akan bersama wanita lain?" tanya Edwald dengan mata menyipit.

Senyum Shireen mengembang memukul pipi Edwald pelan dengan satu tangannya.

"Itu tidak mungkin."

"Mengapa tidak mungkin?" tanya Edwald padahal dia sudah melakukan itu lebih dahulu. Shireen

begitu lugu dan bersih sampai tak mencurigai apa pun tentangnya.

"Aku rasa kau tak akan tega menyakitiku. Benarkan?" tanya Shireen mengedipkan matanya

sepolos mungkin hingga senyum palsu Edwald tertuai ringan menarik pinggang Shireen

merapat ke tubuhnya.

"Hm. Kau hanya boleh percaya kepadaku. Shi!"

"Aku percaya," jawab Shireen menyandarkan kepalanya ke dada bidang Edwald yang

menyeringai iblis. dia membelai surai panjang lembut ini dengan rencana yang sudah dia susun

sedari awal.

Kau wanita yang sangat mudah di manfaatkan. Teruslah percaya kepadaku sampai kau tak berani

lagi menatap mataku.

Jiwa iblis Edwald muncul mencium kening mulus Shireen. dia akan meratukan wanita ini sampai

dia berada di puncak kebahagiaan lalu siaplah untuk jatuh ke alam nyata yang menyakitkan.

...

Bab 9 Dia akan bangkit kembali

"Ed! Aku akan bicara pada daddy. Kau temani aku, ya?"
"Sekarang?"

Shireen mengangguk. Edwald ingat tadi Tuan Walter dan yang lainnya tak ada di kediaman.

Percuma membawa Shireen keluar hanya akan menyusahkannya.

"Mereka tak ada di sini. Mungkin nanti malam akan pulang!"

"Benar juga aku--" kalimat Shireen terhenti kala dia ingat jika hari ini ada janji temu dengan

Kliennya di perusahaan.

"Eeed!! Astaga mengapa aku lupa??"

"Ada apa?" tanya Edwald melihat Shireen yang langsung meraih ponselnya. Benar saja, sudah

ada panggilan tak terjawab dari sekretaris Amber yang pasti tengah menghandle pekerjaannya.

"Meetingku sudah terlewat 2 jam yang lalu. Aku harus ke perusahaan sekarang!" ucap Shireen

buru-buru bangkit dari ranjang lalu berjalan pelan ke kamar mandi.

"Hati-hati. Sayang!"

"Bisa tolong siapkan pakaianku? Ed!" sopan Shireen agak segan berdiri di depan pintu kamar

mandi. Edwald mengangguk segera berdiri memandangi Shireen yang masih meracau di dalam

kamar mandi.

Wajah Edwald yang tadi lembut berubah dingin. dia mengumpat meraih jaketnya di atas ranjang

seraya mencengkeramnya erat.

"Cih, telingaku sakit mendengar ocehanmu," gumam Edwald pergi ke kamar ganti. dia

sebenarnya sangat tak suka di atur-atur oleh orang lain tetapi Shireen pengecualiannya

sekarang.

....

Shireen tampak fasih dan elegan memimpin rapat yang berjalan dengan lancar. Nyatanya klien

mereka yang seharusnya sudah pergi itu menunggu kedatangan Shireen bahkan rela

berjam-jam menantikan wanita cantik itu untuk memulai kesepakatan.


Bukan tanpa alasan mereka menunggu begitu saja. Aura Shireen yang elegan dan cara

penyampaiannya yang lugas dan penuh arahan membuat mereka mudah paham dan tertarik.

Apalagi perusahaan HARMON CORP BEAUTY(HCB) yang tengah dia pimpin telah

mengeluarkan prodak baru berupa lipstik Nude Lips.

"Prodak lipstik merek ini akan di pasarkan sesuai kesepakatan kita. tim marketing juga akan

selalu berusaha untuk mempromosikan prodak dengan model-model yang populer saat ini.

Bagaimana Mr?" tanya Shireen duduk dengan berwibawah dan elegan di atas kursi

kepemimpinannya menatap tegas Mr Parker yang mangut-mangut mengerti.

Pria paruh baya dengan rambut pirang dan tubuh agak kurus itu tampak puas menatap Shireen

yang tersenyum ramah menunjukkan jiwa mahalnya.

"Anda tenang saja. Masalah keamanan pengguna itu tak perlu di pusingkan. Aku sendiri telah

mencoba prodak itu dalam satu minggu ini dan tak ada efek samping. Kami juga sudah

memasukannya ke lab untuk di uji dan hasilnya murni mengandung bahan yang baik untuk

bibir."

"Jika nona Shireen sudah berkata begitu, tak ada alasan bagi kami untuk meragukannya,"

jawab Mr Parker membuat Shireen makin lega.

sekretaris Amber-pun ikut menghela napas karena awalnya dia cemas investor pertama mereka

akan menolak kerja sama padahal sudah membuat kesepakatan sebelumnya.

"Baiklah. Apa kita bisa menandatangani kontrak?" tanya Shireen dan tanpa banyak bicara lagi

Mr Parker segera meraih dokumen kontrak di meja mahal ini seraya menggoreskan tanda

tangannya di beberapa lembar yang sudah dia baca sebelumnya.

Mr Parker dan Shireen berdiri segera saling berjabat tangan sebagai bukti jika hubungan kerja

mereka sudah terjalin baik.

"Terima kasih atas kerjasamanya. Mr!"


"Jika Nona yang memimpin siapa yang tak akan mau bergabung?!" kelakar Mr Parker tak

terkesan nakal tetapi dia sangat mengagumi Shireen sebagai wanita karier yang multitalenta.

"Anda terlalu memuji. Mr!" segan Shireen menurunkan tangannya.

"Tentu tidak. Saya sudah banyak mendengar soal nona Shireen dan buktinya anda tak hanya

cantik dan memesona tetapi juga bisa di andalkan."

"Saya merasa terhormat," gumam Shireen dengan senyum malu khasnya, dia mengantar Mr Parker
keluar ruangan meeting di mana asisten pria ini tadi tengah menelpon di

luar. Shireen segera mendekati Mr Parker dan menatap segan Shireen yang mengangguk ramah.

"Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik. Mr!"

"Yah. Lain kali luangkan waktu untuk sekadar bersantai tetapi--"

Mr Parker diam berjalan beriringan dengan Shireen yang membawanya ke lantai bawah

memasuki lift bersamaan dengan asisten masing-masing.

"Tetapi apa? Mr!"

"Aku turut senang dengan pernikahanmu. tetapi, apa benar perusahaan Tuan Edwald mengalami

kebangkrutan?" tanya Mr Parker melihat wajah cantik Shireen mulai dirundung rasa tak

nyaman.

dia mulai merasa bersalah hingga akhirnya minta maaf.

"Maaf. Aku tak bermaksud untuk.."

"Tak apa. Berita itu memang benar tetapi suamiku pasti akan bangkit kembali. Dia pria yang

cerdas," jawaban bijak Shireen begitu dikagumi oleh Mr Parker yang tak bisa lagi meragukan

kebaikan hati peri wanita ini.

"Baiklah. Semoga kalian baik-baik saja dan tak ada masalah apa pun lagi. Aku juga yakin berita

yang beredar itu tak sepenuhnya benar."

Shireen tersenyum dan mengangguk. Lift ini membawa mereka turun ke lantai pertama di mana

sekretaris Amber juga sedia mendampingi Shireen.


Setelah beberapa lama pintu lift terbuka. Mereka keluar dari lift dan sesekali menjawab sapaan

para karyawan yang tampak keluar masuk dari pintu utama karena urusan tertentu.

"Sepertinya akan hujan. Cuaca akhir-akhir ini sangat tak menentu," gumam Mr Parker setelah

keluar dari pintu menatap langit kota Milan yang mendung.

Shireen juga memandang ke arah yang sama dan dia tahu dan tak asing lagi dengan semua ini.

"Iya. Mr! Semoga istrimu juga cepat sembuh!" jawab Shireen tahu jika istri Mr Parker sedang

sakit jadi pria ini datang sendiri.

karena keramah-tamahan Shireen yang hangat dan selalu menebar senyuman membuat siapa

saja nyaman. Mr Parker sampai menggeleng heran seraya pamit pergi menuju lobby

perusahaan.

"Nona!"

"Yah? Apa ada jadwalku lagi?" tanya Shireen membenahi dress selutut dengan lengan panjang

yang dia pakai. Rambut hitam kecoklatan itu digerai dengan pita cantik di atas kepalanya

menambah kesan manis dan feminim.

"Ada anggota dari devisi tiga ingin pindah ke devisi 2 perusahaan. Mungkin dia tak nyaman ada

di sana, Nona!"

"Mengapa?" tanya Shireen serius. Perusahaan ini memang memiliki 5 devisi dan Shireen

memimpin devisi 2 karena direktur utamanya adalah Tuan Walter dan direksi yang sudah di

bagi-bagi sebelumnya.

"Ntahlah. Dia selalu takut bicara saat menemuiku!"

"Suruh dia menemuiku langsung. Dan selidiki apa yang membuat dia sampai tak nyaman!"

Tegas Shireen dan diangguki cepat oleh sekretaris Amber yang segera pergi.

Shireen menghela napas dalam. dia terlalu fokus pada tim devisinya sampai lupa jika ada

bagian lain yang harus di pantau.


"Kau begitu sibuk. Hm?"

"Astaga!" sentak Shireen terkejut tiba-tiba saja ada yang memeluknya dari belakang. dia sudah

tahu bisikan suara berat datar khas ini dari siapa dan pemilik tubuh yang tengah memeluknya

ini sangat familier.

"Sayang! Kau mengejutkanku."

"Dan kau melupakan aku," bisik Edwald yang tadi keluar dengan alasan pergi ke tempat

kerjanya. dia menerima pekerjaan sebagai sopir dan Shireen tak keberatan atau menentangnya

sama sekali.

"Bukan begitu. Hanya saja hari ini ada masalah sedikit tetapi tak begitu memusingkan," Gumam

Shireen mengusap punggung tangan kekar Edwald yang pulang sore hari.

"Apa kau sudah pulang kerja?"

"Penumpang-ku tak terlalu banyak. Apalagi aku memakai masker jadi mereka tak tertarik

dengan ketampanan-ku," jawab Edwald dan sukses membuat Shireen terkekeh geli mengusap

rahang tegas Edwald yang benar tengah memakai masker.

"Shi!" bisik Edwald saat Shireen menggandengnya masuk.

"Yah?"

"Apa kau sudah bicara dengan daddymu?" tanya Edwald ingin tahu soal rencananya saat itu.

Shireen menggeleng dan seketika Eswald sangat kesal tetapi dia masih mempertahankan

pandangan hangatnya.

"Belum. Daddy masih ada di luar tetapi aku bisa menelponnya dahulu agar dia tak terkejut."

"Aku hanya ingin meringankan beban mu. Sayang!" jawab Edwald beralih merangkul bahu

Shireen yang paham dan segera mengeluarkan ponselnya.

Mereka masuk ke lift menuju lantai ruangan Shireen yang biasa menjadi tempat mereka

istirahat.
"Emm--Tadi aku baru saja selesai menandatangani kontrak dengan Mr Parker."

"Lalu?" tanya Edwald ingin tahu apa saja yang sudah Shireen lakukan untuk memekarkan

perusahaan ini

"Dia adalah klien pertamaku tetapi kami sudah sangat akrab. Orangnya juga hangat dan

pengertian. Dan kau tahu--seharusnya dia marah saat aku terlambat tadi tetapi saat tahu aku

ada kendala dia langsung mengerti," jelas Shireen bersemangat menceritakan hal itu pada

Edwald yang sebenarnya tak ingin tahu detailnya.

Edwald hanya perlu mengetahui siapa saja yang ikut bekerjasama dengan perusahaan. Bukan

kecerewetan Shireen yang begitu memusingkan kepala.

"Sayang! Bagaimana kalau kau ambil alih saja perusahaan ini?"

"Ha?" tanya Shireen yang tadi tak begitu fokus. dia tengah memeriksa panggilannya yang tadi

tidak terjawab.

"Perusahaan ini sangat besar dan kau mengurusnya dengan baik. Aku rasa kau pantas memiliki

sepenuhnya."

"Dan aku juga tak perlu melanjutkan drama ini dengan wanita aneh sepertimu," batin Edwald

menyahut ucapannya sendiri.

"Ed! Perusahaan ini bukan hanya milikku. Semuanya ikut bekerja dan saling membutuhkan.

Lagi pula aku tak mungkin mengambil alih jabatan daddyku," jawab Shireen menolak sopan.

tetapi, di balik kacamata seorang Edwald yang tak pernah tahu yang namanya BAIK HATI hanya

memandang perilaku Shireen sebagai bentuk kebodohan.

Jawaban seperti apa itu? Cih, penuh dengan kemunafikan dan emosional. Pikir Edwald bengis.

"Kau jangan terlalu baik. Orang belum tentu seperti itu kepadamu. Shi!" sangga Edwald

memainkan rambut halus Shireen yang tanpa sadar memang sangat harum dan lembut. Jarinya

tiba-tiba ingin menyisir surai hitam kecoklatan ini.


Namun, jawab Shireen lagi-lagi membuat jiwa iblis Edwald memberontak. Sebenarnya dia sudah

mual tetapi telinganya masih bertahan di sini.

"Tak apa. Aku tak minta di balas," gumam Shireen menyimpan kembali ponselnya karena tak

ada jawaban dari Tuan Walter.

"Aku lihat daddymu sangat tertekan dengan proyeknya. Mungkin aku bisa membantu walau

sedikit."

"Hm. Aku juga kasihan pada daddy tetapi mau bagaimana lagi. Ini pekerjaannya," gumam

Shireen memainkan resleting celana Edwald yang sialnya selalu ons setiap berdekatan dengan

Shireen.

Apa dia memang polos atau pura-pura polos?!

umpatan batin Edwald terkadang sulit menahan diri karena Shireen sering menyentuh sesuatu

melalui perantara dengan sangat santai. Wajahnya juga tak menunjukkan pengetahuannya

dalam bidang tubuh pria.

tetapi, Edwald akan membuat Shireen menggantikan Tuan Walter lalu dia akan mudah

memperbudak wanita ini untuk mengakusisi perusahaan ke bawah kekuasaan perusahaannya.

....

Bab 10 Aku menunggumu di tempat biasa

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Seharusnya perusahaan akan di tutup tetapi masih ada

karyawan yang lembur terutama sepasang pasutri yang tadi menghabiskan waktu untuk

bercinta di ruangan Shireen.

Keduanya masih terbaring dengan wajah sama-sama lelap di atas sofa panjang tanpa busana
bahkan bagian inti mereka masih menyatu intens. Baik Shireen maupun Edwald keduanya tak

lagi sadar akan dunia.

Serakan pakaian di lantai dan wajah lelah keduanya membuktikan betapa dahsyatnya

pertempuran kali ini.

Dreet..

Ponsel Edwald berbunyi. Panggilan pertama tak bisa membangunkan Edwald yang sudah

terlalu nyaman memeluk tubuh molek Shireen dari belakang.

Saat panggilan kedua berbunyi, sontak dahinya langsung berkerut mulai terganggu dengan

suara benda pintar itu.

"Emm--Eed!" lirih Shireen menggeliat karena mulai tak nyaman. Edwald yang tadi baru

setengah sadar segera membuka matanya.

dia meraih ponsel di atas lengan sofa dengan santai membukanya tanpa melihat nama si

penelpon.

"Hm."

"Sayang! Kau di mana?"

Suara Kimmy sedikit meninggi hingga Edwald tersentak menjatuhkan ponselnya ke area dada

sekang Shireen yang ikut terbangun.

"Ehmm--Ed!"

"Shi!" gumam Edwald tenang walau jantungnya sedikit berpacu. Shireen terkesiap kala melihat

ada ponsel Edwald yang jatuh ke tubuhnya hingga dia menghela napas.

"Lain kali hati-hati," gumam Shireen mengambil ponsel itu. Edwald masih tenang membelit

perut datar Shireen dan menghujami bahu polos mulus ini dengan kecupan bertubi darinya.

Sialan! Aku harap Kimmy tak berbicara.

Umpatan batin Edwald membiarkan Shireen melihat ponselnya. Dahi wanita itu menyeringit
melihat sambungan nomor seseorang yang tak di beri nama.

"Mengapa tak ada nama? Sayang!"

"Ntahlah. Mungkin orang-orang di tempat kerjaku tadi," gumam Edwald bersuara serak berat

mengendus leher jenjang Shireen yang sudah banyak label darinya.

"Emm--jangan mulai lagi," resah Shireen menggerutu tetapi suaranya yang lembut dan sangat

halus lebih menyerupai desahan yang sahdu.

Bukannya berhenti Edwald justru mendorong senjatanya makin masuk lebih dalam di bawah

sana hingga Shireen melenguh kecil mere**emas lengan kekar Edwald di perutnya.

"Sss...E..Eed!"

Edwald-pun sama. Jepitan ketat liang kesat Shireen membuatnya hampir hilang akal ingin

melakukannya terusmenerus. Di sela kesempatan ini Edwald meraih ponsel di tangan Shireen

yang tak lagi ingat soal si penelpon tadi.

"Aku ingin lagi. Shi!"

"A--apa?" lirih Shireen mengigit bibir bawahnya. Edwald tak tahan melihat wajah lemah

pasrah Shireen yang langsung dia angkat ringan berubah posisi menjadi duduk.

"P--Ponselmu Ed-" Shireen melihat ponsel Edwald masih menyala. Edwald segera

mematikan sambungan itu karena akan bahaya jika Shireen sampai mendengar suara wanita di

sana.

"Shi! mengapa tubuhmu sangat nikmat, hm?" bisik Edwald mengigit daun telinga Shireen yang

makin hari begitu memberi kejutan. Awalnya dia kira kenikmatan di malam pertama untuk

Shireen itu hanya sampai di waktu yang sama tetapi tak di sangka.

Makin dia mencoba setiap saat maka dia begitu merasakan kuasa bahkan pesona tubuh

Shireen yang tak pernah dia dapatkan dari wanita mana pun.

Terkadang Edwald berniat untuk menjadikan Shireen budak nafsunya. Sekali mendayung dua
tiga pulau terlampaui, pepatah yang benar bukan?!

Setelah beberapa lama bermain keduanya segera mencapai puncak yang ntah sudah beberapa

kali mereka daki.

"Shitt!" umpet Edwald tersigap kala dia mengeluarkan di dalam.dia segera melepas penyatuan ini

dengan wajah bermandikan keringat. Edwald baru sadar jika mereka tak memakai pengaman

dan dia sering kebobolan.

"E-Ed!"

"B--bukan apa-apa," elak Edwald yang membuat Shireen bingung saat Edwald tiba-tiba

menarik diri darinya.

Edwald mengambil napas dalam memejamkan matanya dengan deru napas yang agak

memburu. Shireen mulai tahu kebiasaan Edwald setiap selesai bercinta maka dia akan diam

dengan mata terpejam meresapi sensasinya.

Wajah cantik Shireen seketika memerah melihat senjata andalan Edwald sudah mulai menyusut

kembali normal karena tadi sempat menyengkang dan seksi.

"Aku mau ke kamar mandi!"

"Hm," gumam Edwald tak membuka matanya. Shireen berdiri dengan kaki mengigil dan

berjalan sedikit hengkang ke kamar mandi ruangan ini. Dia sangat malu tetapi juga senang karena bisa
memuaskan suaminya. Shireen memang wanita

yang tak begitu paham soal ranjang tetapi dia selalu ingin belajar.

Sementara di luar sana Edwald kembali mendapat pesan. Manik hijau elang itu mengeras

membaca isi pesan dari Kimmy.

AKU MENUNGGUMU DI TEMPAT BIASA.

....

Bab 11 Maaf untuk ini

Nuansa pesan ini seperti menyimpan kemarahan dan emosi. tetapi, Edwald sangat malas
bepergian karena dia mulai mengantuk sekarang. Alhasil Edwald mengabaikan pesan itu dan

beralih menatap pintu kamar mandi.

Nyatanya aku tak terlalu rugi menikahimu.

batin Edwald menghela napas tenang. dia meraih pakaiannya yang berserakan di atas lantai

bersamaan dengan pakaian Shireen yang dia letakan di atas sofa.

"Eed!! Aku sudah memesan pakaian. Kau coba buka pintu di depan. Sayang!!"

suara Shireen dari dalam sana. Edwald memakai boxernya lalu berjalan ke arah pintu ruangan.

dia membuka benda itu hingga terlihat dua paper-bag di depan pintu dan ada nota yang

bertuliskan nama Shireen sebagai pemesan.

"Dia cukup berpengaruh," gumam Edwald mengambil dua paper-bag itu seraya membaca nota

yang diantarkan oleh penjaga di luar.

Belum sempat Edwald menjauh dari pintu, tiba-tiba saja mata tajam dan telitinya melihat ada

satu orang yang bersembunyi di dekat lift yang berpakaian serba hitam.

"Tuan!"

Sosok itu mendekati Edwald di balik pintu yang tadi masih tertutup renggang bahkan separuh

bahu kekar Edwald terlihat dari luar.

"Hm."

"Tuan besar ingin kau segera menghabisi keluarga Harmon."

Edwald diam. Wajah tampan tanpa exspresi itu tak menunjukkan emosi apa pun kecuali

ketenangan.

"Dia mengubah rencana?"

"Tuan besar ingin segera memberi tugas baru. Selesaikan segera masalah keluarga ini karena

ada masalah di pabrik senjata kita. Tuan!"

"Berikan tugas itu pada Cooper!" tegas Edwald karena tak mungkin baginya pergi ke luar dari
kota ini sementara Shireen masih belum mau mengambil alih perusahaan.

"Tuan Cooper tak bisa menanganinya. Tuan Suma memberi waktu 2 minggu untukmu!"

"Aku mengerti," ujar Edwald hingga sosok itu langsung pergi.

Tatapan tajam Edwald beralih pada meja kerja Shireen. Sepertinya dia harus memajukan

rencana ini karena dia tak bisa berlama-lama bersandiwara.

Ntah manusia atau bukan Edwald berniat untuk menghancurkan kerja keras Shireen. dia pergi

melihat laptop wanita itu lalu melihat rancangan pemasaran di file yang sudah seharian Shireen

buat.

"Maaf untuk ini," Gumam Edwald menghapus semua proposal dan rancangan yang Shireen

buat untuk meeting dengan klien lainnya.

dia membuat semua pekerjaan Shireen tadi menjadi kacau bahkan tak ada lagi rincian prodak

yang besok akan dia bicarakan dengan klien besarnya.

Jika perusahaan ini bangkrut maka itu akan menjadi berita bahagia bagi Suma. Bukan itu saja,

keluarga Harmon akan menderita dan mati secara mengenaskan.

"Sayang!" panggil Shireen dari arah kamar mandi.

Edwald tersentak segera menutup laptop Shireen yang tadi tak memandangnya sekarang mulai

berjalan mendekat dengan balutan bathrobe abu yang elegan dan cantik.

"Sudah selesai?"

"Sudah. Pergilah bersihkan dirimu. Mana pakaiannya?" tanya Shireen tak menaruh curiga pada

Edwald yang begitu tenang mendekat. Dua paper-bag itu dia sodorkan pada Shireen yang

mengambilnya ringan.

"Aku sudah siapkan air hangat. Handuk mu juga ada di dalam."

"Hm. Aku mandi dahulu!" Edwald mengecup kening Shireen yang mengeluarkan pakaian
mereka dari dalam paper-bag. Di begitu telaten menata pakaian itu di atas sofa lalu mengambil pakaian
kotor mereka untuk di

bawa pulang.

"Kebiasaan pintunya tak di tutup," decah Shireen mendekati pintu ruangan itu. tetapi, saat tiba di

depan sana dia mencium aroma lain.

Ntahlah. Penciuman Shireen memang sangat tajam dan itu salah satu kelebihannya.

"Ini seperti aroma wood. Haiss, mengapa aku jadi mencium parfum setiap orang?! Pasti penjaga

di depan yang mengantarkan paper-bag tadi," gumam Shireen terlalu positif. dia menutup pintu

dan berganti pakaian.

...

Bab 12 Kau yakin dia bisa dipercaya

Pagi ini Shireen bergegas menemui Tuan Walter yang kebetulan ada di kediaman bersama

Nyonya Colins. Keduanya tengah makan di meja makan begitu juga Shireen yang agak ragu

menyampaikan ini depan Nyonya Colisn yang sudah memasang wajah suram bahkan, tampak

sekali tak menyukai keberadaan Edwald yang baru keluar dari dapur membawakan juz mangga

manis untuk Shireen yang menerima dengan senyuman.

"Ini sayang!"

"Terima kasih," jawab Shireen segera meneguknya sampai setengah lalu menyodorkan piring

yang sudah dia isi makanan tadi pada Edwald yang duduk di sebelahnya.

Keduanya mengabaikan raut tak suka Tuan Walter dan Nyonya Colins.

"Bagaimana dengan keputusanmu? Shireen!" tanya Tuan Walter tanpa menatap ke arah

Shireen yang melirik Edwald.


Pria berwajah tampan dingin ini mengangguki itu hingga Shireen mulai membuka pembicaraan.

"Dad! Aku punya jawaban sendiri."

"Cih, dia tak akan mau meninggalkan suami tak bergunanya itu. Apa yang bisa di banggakan

darinya? Ketampanan tak akan mengubah nasib," ketus Nyonya Colins membuat Shireen sakit

tetapi Edwald segera menggenggam jemari lentik itu hangat.

Dirasa sudah tenang barulah Shireen kembali bicara dan kali ini dia berusaha menghindari

pertikaian di pagi hari.

"Dad! Kau ada masalah di proyek barumu dan akhir-akhir ini kita juga mulai sulit mengimbangi

keadaan. Aku rasa Edwald-"

"Jangan mulai lagi, Shireen!" tekan Tuan Walter menjatuhkan garpu kasar di atas piring mahal

itu.

Shireen menghela napas dalam segera menegaskan kalimatnya.

"Edwald hanya akan membantu kita, dad! Aku yakin suamiku bisa menyelesaikan masalah

proyek-mu dan membantu perusahaan kita menjadi lebih baik. Daddy ingatkan, jika Edwald

dahulu juga membuat perusahaanya meluas dan maju?"

"Tetapi bangkrut," ledek Nyonya Colins melirik rendah Edwald yang hanya diam sedia dengan

wajah datarnya.

"Hal itu belum tentu murni kesalahan Edwald. Yang kita lihat sekarang itu bagaimana dia bisa

memperluas jangkauan perusahaan, bukan kebangkrutannya. Mom!"

Nyonya Colins hanya diam. dia tergesa-gesa menghabiskan makananya lalu berdiri bersiap

untuk pergi.

"Ayo dad! Kita pergi. Pandanganku di sini makin sempit saja!"

"Mom! Percayalah, Edwald tak akan mengecewakan kita. Aku jamin, Mom!" tegas Shireen

mengambil keputusan besar.


Tuan Walter menatap Edwald dengan rumit. Memang dia akui Eswald punya potensi dan bahkan

dia terlihat begitu ahli tetapi ntah mengapa saat menatap manik hijau elang itu dia seperti ingin di telan

di dalamnya.

"Dad! Aku juga sudah mendapatkan klien besar. Hari ini kami akan bertemu dan Edwald juga

sangat membantuku. Dad!" imbuh Shireen seakan tak membiarkan mereka untuk bernafas.

Hal itu sangat menaburi bumbu kesenangan di hati Edwald yang tak perlu repot

menjerumuskan keluarga ini karena ada malaikat cantik yang bisa dia manfaatkan.

"Kau yakin dia bisa di percaya?"

"Aku yakin!" jawab Shireen tanpa berpikir panjang. Mendengar itu Nyonya Colins langsung

menggeram.

"Shireen! Kau ini baru saja mengenal laki-laki. Jangan terlalu menggantungkan kepercayaan

padanya karena kalian baru kenal 3 minggu," sarkasnya ketus.

karena ucapan Nyonya Colins terlalu berbahaya, Edwald mulai buka suara mencegah Shireen

untuk berpikir jauh.

"Aku tahu jika kami baru saling mengenal. tetapi, aku tak mungkin menyakiti istriku sendiri. Aku

tulus dan benar-benar mencintai Shireen!"

Mendengar itu hati suci Shireen serasa di sirami banyak bunga. dia tak pernah merasakan jatuh

cinta sebelumnya dan ternyata persepsi beberapa orang yang mengatakan cinta itu

MENYAKITKAN nyatanya hanya bualan, pikirnya begitu.

"Dia ini hanya wanita haus kasih sayang. Sudah didik keras untuk bekerja dari kecil dan mana

tahu dia dengan hubungan asmara."

"Mom!" lirih Shireen tergores dengan kalimat Nyonya Colins

Yah, dia akui hidupnya selama ini hanya tentang pekerjaan tetapi apa salah dia mencoba

merasakan cinta dari orang lain? dia hanya tahu cinta seorang nenek bukan seorang ibu atau
ayahnya sendiri.

"Aku tak ingin mendengar alasanmu. Ceraikan dia dan mulailah hidupmu seperti biasa."

"Tetapi-"

"Cukup!" sela Tuan Walter sudah mengambil keputusan. dia menatap tegas Edwald tetapi dia tak

kuat berlama-lama beradu pandang dengan sosok misterius ini.

"Aku menerima Edwald untuk membantu urusan perusahaan."

"Benarkah? Jadi Edwald tak perlu pergi-kan, Dad?" tanya Shireen girang. Saat Tuan Walter

mengangguk dia langsung memeluk Edwald yang tersenyum kecil mengusap kepala Shireen.

"Terima kasih. Dad!"

"Aku tak ingin mendengar dia berbuat masalah. Cepat selesaikan masalah perusahaan dan

akan ku pikirkan hubungan kalian seterusnya," tegas Tuan Walter berdiri dan pergi

mengabaikan Nyonya Colins yang tak percaya itu.

"Apa-apaan ini?? Walteeer!!!"

Shireen hanya diam tak menggubris Nyonya Colisn yang terlihat sangat tak setuju.

"Shireen!! Aku sudah merencanakan pertemuan-mu dengan putra temanku. Jika kalian tak

bercerai bagaimana bisa kalian akan menikah??"

Degg..

Seketika Shireen terkejut. Edwald hanya pura-pura tersentak karena jujur dia tak peduli.

"M--mom!"

"Dia lebih berpengaruh dan sangat baik. Jauh dari suamimu ini. Shireen!" geram Nyonya Colins

menatap ketus Edwald yang segera berdiri diikuti Shireen yang masih syok.

"Shireen adalah istriku. Sampai kapan pun aku tak akan membiarkan siapa pun mengambilnya!"

"Ouh, benarkah? Dengan apa kau akan menghidupi istrimu? Batu? Kertas atau kayu?" sarkas

Nyonya Colins mengambil gelas di atas meja lalu menyiramkan itu ke wajah Edwald.
"Mommy!!" Shireen menatap Nyonya Colins tajam. Wajah wanita paruh baya ini tiba-tiba

berubah pias kala bersitatap dengan netra mematikan Edwald yang tampak menyimpan bara

api di dalam manik hijau itu.

mengapa dia sangat mengerikan?

batin Nyonya Colins merinding. dia melihat jiwa ibslis bergejolak di ubun-ubun Edwald yang

seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.

Namun, wajah tampan penuh kebekuan itu berubah lembut kala tangan Shireen mulai

mengusap tetesan air di pipinya dengan tisu.

"Sayang! Duduklah dan Mommy pergi dari sini!!" tegas Shireen beralih pada Nyonya Colins

yang tak tahan lagi dengan hawa membunuh Edwald yang membuat tubuhnya mengigil.

Tak berselang lama Nyonya Colins pergi maka turunlah Freya dari anak tangga dengan

seragam sekolah yang dia pakai.

Langkah gadis berambut pendek itu masuk ke dalam ruang makan. Namun, dia terhenti kala

melihat Shireen mengusap leher dan dada Edwald dengan lembut membereskan sisa air ini.

"Mengapa selalu saja seperti ini?!" umpet Freya yang masih merasakan sakit di kakinya yang di

perban. Untung saja luka itu tak begitu dalam hingga dia masih bisa berjalan normal.

Saat Freya mematung di depan sana, tatapan mata Shireen mulai menangkap keberadaanya.

Seperti biasa Shireen akan menawarkan makan tetapi Freya sudah pergi lebih dahulu.

"Dia terus saja tak mau makan di pagi hari," gumam Shireen menghela napas berat. Edwald

tahu jika Freya tak menyukai hubungannya dan Shireen tetapi itu tak terlalu penting.

"Aku akan berangkat kerja!"

"Makanlah dahulu. Aku juga akan pergi setelah mengurus-mu," Shireen duduk kembali.

Edwald memperlihatkan jam di pergelangan tangannya seakan-akan dia sudah terlambat.

"Sayang! Aku tak ada waktu lagi."


"Emm--tunggu. Aku siapkan bekal saja. Ya?" tanya Shireen bergegas ke dapur mengambil

kotak makanan.

Edwald diam. Antara tak mungkin membawa kotak makanan ke luar dan juga malas untuk

menentengnya.

Dia mulai lagi. Decah Edwald tetapi hanya pasrah sampai Shireen datang dan menyiapkan kotak

makananya tak lupa botol air yang terisi penuh di masukan ke dalam tas khusus yang tampak

mudah di tenteng.

"Ini! Jangan sampai kau telat makan. Aku tak suka ada Freya yang kedua di sini."

Edwald hanya meraih tas itu dengan senyuman kecil. dia melihat Shireen mengambil jaket yang

tadi dia letakan di kursi makan dan memakaikannya dengan rapi.

"Sudah. Ada yang ingin di bawa lagi?" tanya Shireen benar-benar menjadi istri.

"Tidak ada. Sayang!"

"Kau mau buah? Akan ku siapkan jika kau mau?" Shireen sangat bersemangat. Edwald

hanya mengulum senyum membelit pinggang ramping Shireen yang belum bersiap-siap

kekantor dan masih cantik dengan dress santai lengan pendek berpotongan anggun ini.

...

Bab 13 Edwald mengkhianati Shireen?

"Aku hanya pergi menjadi sopir. Bukan seorang direktur tetapi kau sudah sangat heboh. You're

so cute. Shi!" pujji Edwald tetapi bermaksud yang lain.

"Tak apa. sopir juga butuh tenaga dan aku harus terus memberimu energi. Hm?"

"Terserah kau saja. Shi! Yang penting kau senang," gumam Edwald di antar keluar oleh

Shireen yang berdiri di teras.


Wanita cantik bermata hitam bak boneka itu mencium bibirnya sebelum melepas pergi.

"Hati-hati bekerjanya. Jika butuh sesuatu kau hubungi aku."

"Hm," Edwald berjalan pergi menjahui kediaman menuju gerbang di depan sana.

Shireen hanya memandangi dari kejahuan. dia tadi sudah ingin mengantar Edwald tetapi pria itu

kekeh tak mau merepotkan-nya. Alhasil Shireen menurut walau dengan berat hati melepas

sang suami.

"Indahnya pemandangan pagi ini!"

Shireen tersentak kala ada kepala pelayan yang menyeru dari belakang. Pelayan Anne

tersenyum geli melihat Shireen malu karena tahu arti ucapan darinya.

"Bik. Jangan seperti itu."

"Mengapa? Tuan dan nona masih pengantin baru dan wajar. Bibik juga sangat senang melihat

kalian akur setiap saat. Tuan juga sangat tampan dan kalian cocok," Ujarnya penuh

kebahagiaan.

Shireen hanya bisa tersenyum tetapi di balik lengkungan bibir indahnya itu, ada harapan dan

kebahagiaan yang sangat besar.

"Shireen masuk, Bik!"

"Iya. Nona! Semoga selalu bahagia Beautiful angle!" godanya hingga Shireen bergegas pergi.

...

Di tempat yang lain. Freya baru saja menghentikan mobilnya di tepi jalan menghadap ke dua

jalur berbeda di depannya. Keadaan jalanan tak begitu ramai jadi dia punya kesempatan untuk

merias diri di dalam mobil.

"Aku tak punya ketenagan jika melihat mereka," umpet Freya merapikan alas bedaknya. Saat dia

asyik memanjakan wajahnya tiba-tiba saja dia melihat ada mobil taksi yang berhenti tak begitu

jauh darinya.
Awal-awal Freya tak begitu peduli tetapi saat melihat siapa yang keluar dengan jaket dan pakaian

yang familier itu matanya mulai menajam.

"Bukankah itu Edwald?" Freya melirik kaca spion.

Edwald tampak turun dengan topi dan masker menutupi wajahnya. dia menunggu di samping

taksi lalu Freya terkejut kala ada satu mobil mewah bermerek melaju pelan dan berhenti di

dekat pria itu.

"Shiit. What happened??" gumam Freya kala Edwald masuk ke mobil itu dan pergi padahal

seharusnya dia tak memiliki mobil.

Seperti biasa Edwald akan datang ke resto Bulgart yang jadi tempat pertemuan gelapnya.

Langkah tegasnya masuk ke dalam Bar di mana seorang pria bertubuh lebih pendek dengan

pakaian santai bak pengunjung biasa mendekatinya dengan masker yang menutupi wajahnya.

"Steen!"

Edwald hanya diam duduk di kursi bar seraya melepas maskernya. dia mengacuhkan aktivitas

di sini karena tujuannya hanya ingin membahas soal keadaan di markas mereka.

Yang jadi pertanyaan mengapa Edwald dipanggil Steen? Padahal nama aslinya adalah Edwald,

bukan?

"Katakan!"

"Aku tak bisa menyalurkan pasokan senjata kita ke klien tetap karena jalur yang biasa kita pakai

sudah di ketahui oleh aparat pemerintahan di sana. Akan sulit untuk mengirim senjata jika kita di

awasi. Steen!" jelas Cooper yang memang satu anggota dengan Edwald.

tetapi, Edwald bekerja sendiri dan tak suka di kuntit. Hanya saja kecerdasan dan pemahaman

Edwald dalam menjual bisnis haram ini terlalu di luar nalar.

"Jalur mana saja yang di awasi?" tanya Edwald menerima gelas dari bartender tetapi tetap

tenang selayaknya berbincang biasa.


"Sebelah timur Leebie Milan dan utara hutan Aldres. Mereka selalu berpatroli di sana. Steen!

Sulit untuk mengalihkan perhatiannya."

Mendengar itu Edwald diam sejenak. Di kepalanya sudah terbayang rute Leebie dan Aldres

yang dahulu menjadi tempat bermainnya. Pegunungan di sekitar tempat itu cukup curam dan

hanya ada satu jalur tikus yang bisa dilewati mobil.

tetapi, benak teliti Edwald tahu betul kalau ada sungai kecil yang menghubungkan Leebie dan

kota Asoks yang memang tak punya hukum di sana.

"Berapa senjata yang ingin di kirim?"

"Ada 3 mobil dan masing-masing 1.000 item. Sulit mengirim barang sebanyak itu tanpa di

ketahui oleh mereka," Cooper agak berbisik karena pekerjaan mereka ini ilegal bahkan

sudah menjadi buronan.

Edwald menghela napas dalam meneguk tandas gelas wine di genggamannya. dia sudah

mendapatkan jalan terang tetapi tergantung bagaimana anggota lain bertindak.

"Tunda sementara pengiriman ini dalam dua hari dan pada masa itu kalian alihkan perhatian

mereka ke daerah lain. Buat seakan-akan sudah terjadi penyelundupan di pinggiran kota dan

saat mereka membagi tim keamanan dan konsentrasinya pecah, kalian segera mengirim

senjata itu."

"Mereka pasti akan tahu karena area itu sudah di pantau. Steen!"

"Apa aku mengatakan area yang sama?" Edwald melirik tajam Cooper yang seketika

tersadar.

"Shitt. Apa kau punya tempat lain?" binarnya tampak senang dan berharap.

Saat pria yang dia panggil Steen ini mengangguk barulah Cooper bersorak kegirangan di dalam

hatinya.
"Ada sungai kecil penghubung antara kota Leebie dan Asoks. Kalian lewati itu tetapi melalui tali

dari atas. Bukan menyelam. Jangan tinggalkan jejak apa pun dan jangan menggunakan mobil.

Bawa secara manual lebih baik."

"Kau memang anak kesayangan Suma. Aku bangga kepadamu. Steen!" decah Cooper menepuk

bahu Edwald yang seketika memberi sorot membunuh.

Cooper menurunkan tangannya dengan kegugupan yang mulai naik. Bisa-bisanya dia bersikap

friendly pada pria berjulukan seribu wajah di GYUF ini, pikirnya ngeri.

Steen adalah julukan bagi Edwald yang dikenal di semua jagat ilegal. Dia tak menggunakan

nama aslinya saat menjalankan misi gelap karena akan berakibat fatal jika Edwald muncul di

tengah-tengah masyarakat. Steen dapat diartikan SERIBU WAJAH dalam bahasa anggota

mereka. Suma sendiri yang memberikan nama itu pada Edwald yang juga menerima dengan

baik.

"Baiklah. Sebelum aku pergi ada yang perlu-ku bantu?" tanya Cooper cukup penasaran dengan

istri Edwald yang belum pernah dia temui.

"Steen! Apa kau tak ingin berganti posisi denganku?"

"Kau bosan hidup. Hm?" tekan Edwald kembali mencekik leher Cooper dengan intonasi

bekunya. Alhasil Cooper mengangguk paham seraya mengangkat kedua tangannya meminta

ampun.

"Baiklah. tetapi, lain kali jika kau bosan kita bisa bergantian dan--iyaa, Aku pergi!!" pekik Cooper

di akhir kalimat kala Edwald sudah mengeluarkan pistol dari balik jaketnya.

dia bergegas pergi belagak seperti biasa keluar dari bar ini. Tak berselang lama Cooper pergi

barulah Freya yang tadi bersembunyi di antara orang yang minum di sudut sana keluar.

Untung Freya memakai hoodie menutupi seragam sekolahnya. dia juga memakai topi, masker

dan kacamata menyelidiki Edwald yang masih duduk di sana menikmati wine yang selalu di
tuangkan oleh bartender.

"Mengapa dia jadi ke sini? Siapa pria tadi dan apa yang mereka bicarakan?!"

batin Freya tak mengerti. Setelah terus mengamati dari sini tiba-tiba datang seorang wanita

cantik berkulit sawo matang dari arah pintu masuk. Sosok itu melenggang liar dibaluti busana

minim bahkan buah dadanya hampir mau jatuh.

Namun, mata Freya langsung membuka lebar kala wanita itu bergelantungan manja di lengan

Edwald yang juga tak menolaknya.

"I..INI.. ASTAGAA!!"

Teriakan batin Freya nyaris ingin memekik keluar tetapi masih terperangkap di dalam maskernya.

Bagaimana mungkin? Edwald mengkhianati Shireen? Apa aku bermimpi?

Freya benar-benar syok sampai dia berkeringat dingin. Jantungnya berdebar melihat wanita itu

seperti merengek dan mengadu pada Edwald yang tampak hanya acuh tetapi dia tak menepis

tangan nakal wanita itu untuk membelai bawahannya.

"Shireen! Aku sangat kasihan kepadamu. Suami yang kau cintai ini ternyata bermain api di luar.

Apa kau tak bisa memuaskannya. Hm?!"

binar kebahagiaan di batin Freya membayangkan wajah hancur Shireen dan tangisan wanita itu

jika sampai melihat suami tercintanya tak seperti yang dia lihat.

Saat wanita itu mencium liar bibir Edwald maka Freya dengan cepat mengeluarkan ponselnya.

dia merekam adegan panas ini dengan hati berbunga-bunga tak sabar melihat kehancuran

Shireen dan pernikahan kebanggaannya itu.

"Heyyy kauu!!"

Degg..

Freya terkejut langsung menyimpan ponselnya kala ada penjaga di belakang melihat dia

merekam kejadian tadi.


"Apa yang dilakukan wanita itu??"

Edwald yang mendengar keributan langsung mendorong kasar Kimmy dari pahanya hingga

ciuman wanita itu terlepas paksa. dia menatap ke arah sumber ricuh di mana ada seorang wanita

yang berlari keluar dengan tergesa-gesa tetapi sayang ada dua penjaga di depan pintu yang

menghadang.

"Berikan ponselmu!!"

Freya diam. dia mundur karena banyak orang yang tengah mengerumuninya. Jantung Freya

bahkan sudah tak terhitung ritme detakannya nyaris ingin meledak.

"Berikan ponselmu!! Kau sudah membaca peraturan di sini, bukan? DILARANG MEREKAM!!!"

"B..baik. A..aku baru pertama ke sini. Maaf!" gugup Freya menyembunyikan ponsel itu ke dalam

saku rok pendeknya.

Edwald menajamkan matanya. Saat dia melihat rok seragam sekolah yang di tutupi hoodie itu,

Edwald langsung berdiri.

"JANGAN BIARKAN DIA PERGI!!!" tegas Edwald tetapi Freya yang memiliki tubuh kecil bisa

menyalip di antara para penjaga bertubuh besar yang langsung mengejarnya.

Kimmy diam melihat kemarahan sekaligus ada raut gugup di wajah Edwald yang tersembunyi.

"Mengapa kau sampai semarah ini?"

"Jika Shireen tahu apa yang terjadi rencanaku gagal total!!" geram Edwald meraih maskernya

di atas meja bar lalu pergi dari tempat ini.

Senyum remeh Kimmy naik. dia semalam sangat panas mendengar suara lembut khas Shireen

dari sambungan ponsel. tetapi, saat Edwald masih datang ke sini dan menerima sentuhannya dia

jadi kasihan pada wanita itu.

"Cih, istri yang malang!"

.....
Bab 14 A-aku tak tahu apapun!

Mobil yang dikendarai Freya tadi diburu oleh anggota Edwald yang dengan mudah memotong

jalannya. Freya membanting setir ke pinggir hampir menabrak pembatas jalan.

Beberapa mobil di sekelilingnya sampai terkejut dan nyaris berteriak melihat bagian belakang

mobil Freya berasap dengan dua mobil full hitam di belakangnya berhenti.

Gelagat mereka seperti ingin menolong agar tak ada yang curiga di sini. Edwald keluar dari

mobilnya berjalan sedikit terburu-buru belagak cemas memastikan mobil yang berhenti di

pinggir ini baik-baik saja.

"Apa kau terluka?" tanya Edwald mengetuk kaca jendela mobil. Dua anggotanya keluar berdiri

di kedua sisi baja mewah ini membuat Freya yang tadi nyaris mati di dalam sana pucat pasih.

Tangannya dingin bahkan mengigil karena tahu Edwald bukanlah pria yang baik. Dia jelmaan

iblis yang tak segan merenggut nyawanya.

"Nona!! Kau dengar aku?"

"Mungkin dia terluka. Aku akan memecahkan kaca ini!" timpal salah satu anggotanya meninju

kaca jendela dekat kemudi hingga Freya berteriak kencang.

Pintu itu di buka dengan mudah oleh Edwald yang masuk ke dalam mobil duduk bersampingan

dengan Freya yang sudah berkeringat dingin.

"K--kau-"

"Ranah bermain mu terlalu jauh adik ipar," Edwald membuka maskernya hingga wajah

tampan santai tak terduga itu membuat Freya membeku.

Jantungnya berpacu kencang, kakinya menggigil kala melihat Edwald mengeluarkan pistol dari

balik jaketnya. Apa dia akan membunuhku? Apa aku akan berakhir di sini?!

"Ceritakan kepadaku apa saja yang kau lakukan hari ini? Ayo!"

"Aku- aku tak mendengar apa pun aku-" napas Freya tercekat kala ujung pistol di tangan Edwald sudah
membidik ke arah keningnya.
Freya benar-benar mati di tempat bahkan bernafas saja dia tak leluasa.

"Kau ingin mengakhiri masa muda mu. Hm?" desis Edwald memberi sorot membunuh pada

Freya yang sudah berkaca-kaca.

"Aku mohon maafkan aku. Aku tak tahu apa pun. Aku tak tahu!!"

"Benarkah? Lalu mengapa kau lari?"

Degg..

Jantung Freya makin tak aman. dia meremas pinggiran roknya dengan kacamata sudah jatuh

sedari tadi ke bawah kursi mobil.

"Kau melihat sesuatu?"

"T--tidak."

"Kau mendengarkan?"

"T-tidak. Hiks! Aku mohon jangan bunuh aku," isak Freya menggeleng dan sudut bibir Edwald

tertarik. Lengkungan itu lebih pada seringaian psychopat yang sangat mengerikan.

"Kau begitu takut mati. tetapi, sangat berani MEMBUNTUTIKU" geramnya menekan kuat ujung

pistol itu sampai membekas ke kening Freya yang mati kutu.

"A--ampun--ampuni aku!"

"Apa saja yang kau lihat dan dengar?" tanya Edwald ingin tahu dan dari gelagat Freya yang

benar-benar ketakutan dia mengerti jika gadis ini melihat segalanya.

"Tak ingin menjawab-ku. Hm?"

"Kau berciuman dengan seorang wanita dan.."

"Dan kau ingin memberi tahu istri CANTIKKU?" sela Edwald dengan suara makin

menakutkan. Freya sudah menangis tetapi Edwald tak menunjukkan raut kasihan sama sekali.

"T-tidak, aku tak akan melakukannya aku-"

"Siapa pun yang tahu salah satu wajahku dia tak layak hidup," tekan Edwald ingin menarik
pelatuk pistolnya tetapi tiba-tiba saja ponsel Freya berbunyi.

Edwald mengurungkan niatnya dengan tatapan tajam mengisyaratkan Freya untuk mengangkat

panggilan itu.

Dengan penuh rasa takut Freya mengeluarkan ponsel dari saku roknya. Jari lentik itu mengigil

tak stabil memeggang ponsel di mana ada nama Shireen di sana.

"Angkat!" titah Edwald dan Freya menurut. Saat panggilan tersambung suara lembut khas

Shireen terdengar cemas menanyai Freya yang masih gemetar.

"Kau di mana? Gurumu menelpon-ku, katanya kau tak masuk sekolah hari ini. Ada apa? Apa

terjadi sesuatu?" cecar Shireen tetapi Freya menatap takut Edwald yang hanya diam pertanda dia

bisa menjawab.

"A--aku-"

"Mengapa dengan napas mu? Apa yang terjadi?" intonasi suaranya makin cemas dan gelisah.

Edwald mengisyaratkan agar jangan bicara jujur hingga Freya mulai membuka suara dengan

napas yang tak stabil karena pistol yang ditekan Edwald di keningnya makin terasa mendesak.

"Aku ada urusan. Kau tak perlu mencemaskan ku!"

"Lain kali kau pamit dahulu. Jika begini aku tak bisa tenang, Freya!"

"Kerjakan saja urusanmu," ketus Freya mengakhiri panggilan. Nafasnya tercekat kala Edwald

menyeringai dan ini mimpi buruk baginya.

"Kau dan dia berbeda jauh. Sangat di sayangkan."

"Kau-"

Belum sempat Freya bicara ponsel itu sudah ada di tangan Edwald. Benda itu digenggam kuat

sampai retak dan remuk membuat wajah Freya pucat.

"Tutup mulutmu atau kau akan bernasib sama seperti benda ini," desis Edwald meremas

ponsel itu di tangan kekarnya. Ada darah yang keluar membuat Freya membeku dengan mata
tak berkedip.

"Kau ingin seperti ini. Hm?" santai dan mengancam.

"T-Tidak."

"Bagus. Tutup mulutmu dan bersikaplah seakan tak tahu apa pun atau aku tak bisa menjamin,

berapa lama tarikan napas-mu setelahnya," Edwald melepaskan tembakan ke arah topi

yang dipakai Freya.

Wanita itu terpekik mengira kepalanya akan lepas tetapi untung saja Edwald hanya

mempermainkannya. Pria tampan bermanik hijau gila itu turun dari mobil kembali memakai

maskernya.

Freya menghela napas lega bahkan dia sampai benar-benar bisa mengedipkan matanya kala

Edwald dan para anggotanya sudah pergi. Mereka bergerak sangat mulus bahkan tak seperti

penjahat kelas kakap.

"Siaall!! Dari mana Shireen mendapatkan iblis seperti itu?! Dia sangat mengerikan," umpet

Freya mengelus dadanya dengan tatapan takut yang teramat pada topi yang sudah bolong

karena timah tadi. Bahkan, bagian atas mobilnya juga membekas tembakan tadi.

tetapi tunggu. Freya mulai kembali panik saat dia ingat jika saat dalam pengejaran tadi Freya

mengirim rekaman itu pada Shireen.

Bagaimana ini? Apa dia akan membunuhku setelah perbuatannya di ketahui Shireen?

......

Bab 15 File-Nya hilang

Di dalam perusahaan tepatnya di ruangan meeting yang baru saja di mulai terjadi masalah

besar bagi Shireen. dia ingin melakukan presentasi kerja tetapi power poin dan semua file yang
sudah dia rancang kemarin tiba-tiba hilang.

"Ada apa? Nona!" bisik sekretaris Amber melihat Shireen mengotak-atik Laptop dengan tatapan

heran.

"Semua filenya hilang. Aku tak tahu mengapa bisa begini?"

"A--apa??" gumam sekretaris Amber terkejut. Shireen seperti biasa tenang dan sangat elegan

membuat Tuan Charlos ikut tenang dan tak tahu jika Shireen mengalami masalah yang besar.

"Nona! Bagaimana ini?" lirih sekretaris Amber tetapi tersenyum pada beberapa klien mereka

yang saling menatap karena sudah cukup lama.

"Nona Shireen! Apa ada masalah?"

"Tentu tidak. Tuan! Aku hanya merasa sangat senang jadi agak gugup," elak Shireen memberi

senyum indah nan membuat siapa saja jatuh hati.

Mereka ikut nyaman di sini merasa tersanjung dengan apa yang Shireen katakan.

"Anda terlalu merendah. Nona! Kami justru sangat merasa terhormat bisa bertemu dengan

wanita muda, cantik dan elegan seperti anda. Sayang sekali kau sudah menikah," kelakar Tuan

Carlos dan di jawab anggukan oleh klien lain yang mengakui pesona seorang Shireen.

"Anda bisa saja. Tuan!"

"Tidak. Saya serius dan sangat mengagumi nona. dahulu saya pikir bisa mempertemukan anda

dengan putra saya tetapi nyatanya kami terlambat."

Shireen hanya tersenyum malu dengan sekretaris Amber yang sudah berkeringat dingin.

Bagaimana mereka bisa melakukan presentasi ini sedangkan bahan yang menjadi acuan sudah

hilang.

Namun, seperti biasa Shireen selalu bisa menangani masalah. File itu hilang tetapi tidak dengan

materi yang ada di otaknya. dia yang membuat rancangan itu maka dia juga pasti bisa
menunjukkan tanpa perlu membuat power poin ulang.

"Nona!" lega sekretaris Amber melihat Shireen fasih mengayomi semua klien dengan gaya

bicaranya yang lembut tetapi tegas.

dia memilih metodenya sendiri dan tak ada yang tahu masalah yang terjadi bahkan Shireen

membuka forum untuk menunjukkan pesona dan jiwa multitalenta yang dia punya.

Sementara ponsel miliknya habis daya setelah menelpon Freya tadi. Alhasil Shireen tinggalkan

di ruangannya.

...

Setelah meeting mendebarkan tadi selesai akhirnya Shireen bisa beristirahat di ruangannya.

Hari ini jadwalnya sangat padat apalagi dia harus mengurus karyawan yang ingin pindah dari

beberapa divisi ke tempat yang dia pimpin saat ini.

Tentulah Shireen harus bertemu mereka satu-satu dan menanyakan apa alasan keinginan

mereka. Jika itu pimpinan lain mungkin akan menolak karena menyebabkan masalah baru

nantinya.

tetapi, Shireen terlalu baik hati. dia rela mengambil jam istirahatnya untuk bertemu dengan para

karyawan yang tampak santai dan tenang setiap mengadu padanya.

"Nona!"

"Mengapa kau ingin pindah? Bukankah di sana divisi khusus yang terpilih?" Tanya Shireen duduk

di kursi kerjanya dengan elegan menatap hangat seorang wanita muda yang tampak mulai

gugup membahas itu.

"Ada apa? Kau bisa katakan di sini?"

"Nona! Aku takut bekerja di sana," Cicitnya nyaris tak terdengar. Shireen diam melihat gestur

wanita ini seperti diancam atau mungkin ada orang yang mengganggunya.
"Apa yang membuatmu takut?"

"Kepala divisi itu terus menggangguku!"

sontak Shireen terkejut. dia tahu makna mengganggu dari pernyataan wanita ini tetapi mengapa

bisa? Sebelumnya juga ada yang memundurkan diri tetapi alasannya tak seperti ini.

"Dia melecehkanmu?"

"I-iya, Nona! Sebenarnya sejak awal saya bekerja sudah mulai merasa aneh. Beberapa wanita

yang ada di sana seperti memandangku dengan tatapan ambigu. Setelah seminggu aku di sana

tiba-tiba satu per satu mereka memundurkan diri. Ternyata-"

"Permisi!!"

Seseorang menerobos masuk dengan tergesa-gesa. Wanita yang tadi Shireen tanyai seketika

terkejut melihat Morren, pria paruh baya dengan wajah oval dan perut agak buncit.

dia menatap tajam ke arah wanita tadi hingga rasa takut menjalar di permukaan tulangnya.

"N-nona! Saya permisi!"

"Tetap di sini!" tegas Shireen merasakan gelagat aneh di wajah Morren ketika melihat karyawan

wanita ini.

"Nona Shireen! maaf aku mengganggumu."

"Memang sangat mengganggu. Apalagi kau masuk tanpa mengetuk lebih dahulu," jawab Shireen

dengan tatapan menohok bagi kepala divisi Morren yang gelisah.

"Nona! Aku hanya merasa cemas kau memanggil karyawanku. Jadi, aku ke sini untuk

menemuimu jika ada masalah yang belum selesai."

"Kebetulan sekali. Duduk dan dengarkan masalahnya," Shireen mengisyaratkan wanita

itu agar duduk dan Morren tampak gugup duduk di sebelah wanit ini.

Tatapan hangat Shireen selalu melindungi wanita di hadapannya tetapi manik hitam itu berubah

penuh intimidasi kala bersitatap dengan mata gugup Morren.


"Apa masalah yang terjadi di divisi 5 sampai karyawanmu memundurkan diri begitu

banyak?Tuan Morren!"

"Bukankah sudah jelas. Mereka punya kepentingan pribadi dan tak layak untuk divisiku. Apa

kau menyalahkanku? Nona Shireen?" sarkas Morren dan Shireen tentu mulai mencurigainya.

"Tidak. tetapi, aku ingin kau memilih karyawan yang memang niat bekerja. Bukan hanya berhenti

di tengah jalan. Atau ada yang membuatnya tak nyaman di sana?"

"Mengapa dia jadi menghakimiku?! Dasar wanita sok berkuasa," maki Morren mengepal dan

terlihat sorot matanya membenci Shireen yang harus melindungi semua karyawan perusahaan.

"Aku sudah mengumpulkan semua karyawan yang pernah mengundurkan diri dari divisimu."

"N.-nona!" Panik Morren terlihat jelas.

"Aku juga sudah menyuruh badan firma hukum perusahaan untuk menyelidiki ini. Siapa tahu

mereka mendapat tekanan dari ORANG DALAM," ucap Shireen penuh penekanan.

Merasa tak terima dengan ucapan Shireen barusan. Morren berdiri dan menggebrak meja

membuat wanita di sampingnya memekik segera bangkit.

"KAU MENUDUHKU. HAA??"

"Apa aku menyebut namamu?" tanya Shireen masih duduk tenang di kursinya. dia sudah

melihat wajah lain tuan Morren yang selama ini pasti bermain kotor.

"JANGAN KAU PIKIR, KAU PUTRI DIREKTUR UTAMA di sini KAU BISA SEENAKNYA!!"

"Aku hanya bertanya dan bukan menuduh. Jika kau merasa tersinggung berarti memang ada

hubungannya denganmu," Shireen membuat Morren naik pitam. dia menggenggam vas

bunga di samping meja Shireen dan ingin memukulkan benda itu ke arah Shireen yang berdiri.

"KAU MEMANG SIALAAN!!"

....
Bab 16 Jika aku bukan orang baik. Bagaimana?

Belum sampai tangannya menghantamkan benda itu, tiba-tiba saja ada tangan kekar

seseorang yang menahan lengan Morren.

"Sayang!" gumam Shireen mematung melihat Edwald yang berdiri di belakang Morren dengan

cengkraman menguat. Bahkan, Morren bisa merasakan tulangnya bergesekan dan ingin patah.

"K-kau-"

Edwald hanya diam. makin lama cengkramannya begitu kuat sampai tangan Morren pucat

begitu juga wajah pria itu. Alhasil Shireen mendekati Edwald dalam mode wajah dinginnya.

"Ed!" Lirih Shireen mengelus dada bidang Edwald yang lembut hingga barulah Edwald

melepaskan cengkramannya.

Morren memeggangi tangannya yang sakit dan kesemutan lalu menatap ngeri ke arah Edwald

yang beralih membelit pinggang ramping seksi Shireen posesif.

"Kau baik-baik saja?"

"Yah. Aku baik," Shireen tersenyum lalu menatap tajam Morren yang tak menyangka

Shireen akan memiliki pawang sekuat itu.

"Pergi dari sini. Kau tak diperbolehkan menginjak divisi 5 sebelum keputusan direktur keluar!"

"Siall!!" umpet Morren bergegas keluar sedangkan wanita tadi diam tanpa sadar dia terpesona

akan ketampanan Edwald yang memang begitu memikat.

Sadar jika dia sudah keterlaluan, kepala itu dia tundukan karena Shireen sudah sangat baik

padanya.

"Nona!"

"Kau tak perlu pindah. Aku akan mengurus mereka!" ucap Shireen yang di angguki wanita itu.

dia pergi dengan perasaan lega dan senang karena pria tua cabul itu sudah di tindak lanjuti.
Sementara Edwald dia hanya diam. tetapi, jauh dari sorot mata tajamnya dia mengaggumi

profesionalisme dan pesona Shireen dalam melakukan pekerjaanya.

"Ku pikir kau tak akan berani menindak orang seperti itu. Shi!"

"Mengapa? Apa aku begitu penakut. Hm?" Shireen mengalungkan kedua tangannya ke

leher kekar Edwald yang sudah tak lagi memakai masker atau topinya hingga Shireen bisa

menikmati visual tampan suaminya.

"Bukan penakut, tetapi cara bicaramu yang begitu lembut tidak akan mengguncang semut

sekalipun."

jawaban Edwald terdengar manis tetapi itu memang bentuk pemikiran Edwald selama ini pada

Shireen.

"Lembut bukan berarti lemah. Hanya saja aku lembut jika pada orang yang tepat. Sepertimu,"

Shireen agak malu-malu berjinjit mengecup bibir sensual Edwald yang lebih tinggi

darinya. Shireen hanya sebatas dada Edwald yang mudah memeluknya.

"Benarkah?"

"Hm. Aku tak mungkin marah pada orang yang baik-baik. Tergantung orangnya juga. Sayang!"

jelas Shireen tetapi timbul keinginan di benak Edwald untuk menanyakan sesuatu.

"Jika aku bukan orang baik. Bagaimana?"

"Kau kurang baik apanya? Kau bukan orang baik tetapi PRIA TERBAIK," jawab Shireen lalu

tersenyum geli padahal dia sudah membuat Edwald mematung.

Edwald terjebak dalam galaksi manik hitam bening Shireen yang menenggelamkannya jauh

seakan-akan hawa di dalam mata ini menghipnotisnya untuk melihat lebih intens.

Hangat, damai dan ketenagan. Itu hal yang asing tetapi tiba-tiba dia bisa merasakannya. Siapa

sebenarnya Shireen? mengapa perasaan asing ini ada padanya?


"Ed!" panggil Shireen karena Edwald melamun. Pandangan pria ini terkunci bahkan tak berkedip

pada matanya hingga Shireen menepuk pelan pipi Edwald.

"Sayang!"

"A-apa?" sentak Edwald tersadar. dia jadi gugup sendiri melihat Shireen menatapnya lekat.

"Ada apa?"

"Tidak ada. Aku hanya sedikit lelah karena hari ini cukup banyak penumpang," elak Edwald dan

Shireen langsung berempati.

"Kau menghabiskan bekalmu-kan? Sayang!"

"Shitt!"

batin Edwald mengumpat. dia tadi membuang makanan itu ke pembuangan sampah resto

sekalian dengan kotak makananya karena terlalu kesal. Tak dia sangka Shireen akan

menanyakan hal itu padanya.

"Apa kau tak suka masakanku?"

"Bukan seperti itu. Aku menghabiskannya tetapi aku lupa menaruh kotaknya. Sayang! maaf, ya?"

Shireen mengangguk tenang. dia tak mempermasalahkan itu sama sekali. Shireen menarik

Edwald duduk di kursi kerjanya lalu melepaskan jaket yang pasti sangat panas.

"Rileks! Aku akan memijatmu!"

"Tak perlu. Kau lanjutkan saja pekerjaanmu. Shi!" tolak halus Edwald karena dia tak biasa.

"Kau lelah menyetir mobil dan berkeringat di luar sana. Aku hanya bekerja di dalam gedung.

Jadi kau lebih lelah dariku," Shireen melepas kedua sepatu pria itu lalu menaikan kedua

kaki kokoh ini ke atas meja kerjanya.

Edwald hanya diam pasrah membiarkan Shireen memijat lengannya dengan telaten. dia

memperhatikan senyum indah dan wajah cantik bahagia Shireen yang begitu aneh dan

sederhana.
Apa yang memijat memang sebahagia itu?!

Pikir Edwald heran melihat Shireen yang selalu senang hati mengurusnya. Wanita ini terlalu

ambigu dan sulit di jelaskan dengan kata-kata.

Lama-kelamaan pijatan Shireen begitu terasa nyaman. Jari lentik itu nyatanya sangat lihai dan

paham cara merilekskan otot tubuh hingga tanpa sadar Edwald memejamkan matanya

bersandar ke punggung kursi.

Dia tidur?

Benak Shireen bertanya melihat wajah datar tenang Edwald yang seperti sangat menikmati

pijatannya.

Dirasa bagian lengan kekar ini sudah cukup. Shireen beralih ke bahu dan kepala Edwald yang

tak bergerak sama sekali. Pijatan tangan hangat Shireen di kepalanya terasa seperti belaian

tetapi membawa ketenagan. Bak di tepi pantai dengan semilir angin menyapu segar dan tubuh

terasa ringan.

Disela aktivitas memijatnya. Shireen memanfaatkan momen ini untuk menikmati visual wajah

suaminya. Saat tidur Edwald benar-benar sangat tampan bahkan semua porsi wajah dan

tubuhnya begitu sempurna.

"Apa aku begitu tampan?"

Degg..

...

Bab 17 Rekaman

Wajah Shireen langsung memerah tomat. dia menunduk kala Edwald membuka mata penuh

daya pikat itu sampai Shireen ingin menarik kedua tangannya dari kepala Edwald yang malah
menariknya kembali.

Alhasil Shireen terkejut kala bibirnya di raup lembut oleh Edwald yang membawa Shireen dalam

pangkuannya.

Awalnya Shireen masih malu tetapi saat dirasa ciuman ini begitu memabukan barulah Shireen

membalas. Tak sekaku sebelumnya tetapi ini lebih candu dan menggairahkan.

Shitt. Aku lebih ingin menyiksamu dengan keringat setiap harinya. Aku tak pernah merasa

secandu ini pada wanita.

umpatan batin Edwald merasa dia akan hilang akal jika tak menikmati tubuh Shireen sehari saja.

Ntah apa yang wanita ini lakukan padanya sampai di benak Edwald hanya ada momen-momen

panas dan ingin terus melakukan hal itu.

Malam ini Edwald pulang dengan membawa Shireen yang tak lagi mampu membuka matanya.

Wanita cantik itu hanyut dalam pelukan kekar Edwald yang membawanya masuk ke kediaman

melewati para manusia fana di dalamnya.

Awalnya Edwald hanya menjumpai tuan Walter yang tengah duduk sofa ruang ruang tamu lebar

lantai dasar tetapi, saat dia sudah mendekati tangga tepat dari atas ada nyonya Colins dan Freya

yang baru turun.

Bedanya tatapan nyonya Colins begitu tak bersahabat tetapi Freya penuh dengan rasa takut.

"Cih, merusak pemandangan mataku," umpet Nyonya Colins melewati Edwald begitu saja.

tetapi, tidak dengan Freya yang justru membeku di atas tangga dengan tubuh gemetar dan wajah

pucat pasih.

"Apa Shireen pingsan karena melihat rekaman itu? Atau mungkin mereka bertengkar hebat tadi.

Bagaimana ini? Dia bisa membunuhku," batin Freya mengigil tak berani menatap manik hijau

misterius Edwald yang justru santai naik ke atas membuatnya gelisah.


"A--aku-"

Langkah Edwald terhenti tepat di pertengahan tangga. Tak ada raut keberatan yang tampak di

wajah tampannya saat menggendong Shireen yang seperti bayi di lengannya.

"Kau mengapa?" tanya Edwald datar tetapi maknanya sangat dalam.

Freya diam menunduk meremas pinggir rok pendek yang dia pakai. Jantungnya kembali tak

stabil harap-harap cemas jika Edwald akan menembaknya.

"A-aku tak sengaja tadi me-"

"Kau melakukan apa?" Edwald mulai mengintimidasi. Keringat dingin di kening Freya

makin menetes deras bahkan wajahnya seperti seorang terkena anemia.

"A-ku-"

"Emm-" gmaman Shireen merasa terganggu dengan suara percakapan ini. Matanya mulai

terbuka sayu tetapi masih linglung menatap ke langit-langit tinggi kediaman.

Tatapan Shireen tertuju pada wajah tampan datar Edwald yang juga memandangnya lalu

beralih pada Freya yang mengejutkannya.

"Astaga!" sentak Shireen segera turun dari gendongan Edwald yang beralih membelit pinggang

Shireen agar tak jatuh ke bawah.

"Freya!"

Freya benar-benar takut, dia mengigit bibir bawahnya langsung memeluk Shireen yang

tersentak bahkan dia refleks membatu.

"Ada apa? Kau baik-baik saja-kan?"

Freya hanya diam. dia sangat takut jika benar Shireen melihat rekaman itu dan nasibnya akan

habis detik ini juga. Tentu gelagat Freya bisa di baca oleh Edwald yang memberi sorot

membunuh setiap Freya mencuri pandang padanya.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu kepadamu?"


"Apa kalian bertengkar?" cicit Freya berbisik hanya didengar oleh Shireen yang beralih

menatap bingung Edwald yang hanya diam.

"Tidak. Memangnya mengapa?"

"Syukurlah!" lega Freya membuat dahi Shireen mengernyit. Saat Freya melepas pelukan itu dia

mulai sedikit tenang.

"Ada apa?"

"Aku hanya merasa bersalah jika kau dan kakak ipar bertengkar," elak Freya lalu turun ke

bawah. Shireen tertegun dengan mata mengikuti langkah Freya menjahuinya.

Apa aku bermimpi? mengapa anak itu tiba-tiba jadi aneh?

"Apa terjadi sesuatu?"

"Sudahlah. Jangan terlalu di pikirkan," ujar Edwald beralih mengiring Shireen kembali ke atas

dengan membawa tas wanita itu di tangan satunya.

Shireen masih tampak bingung tetapi saat tiba di depan pintu kamar dia tak lagi memusingkan

perubahan Freya.

"Shi!" panggil Edwald meletakan tas Shireen di atas ranjang sedangkan wanita itu duduk di

pinggir kasur putih empuk ini.

"Ada apa?"

"Aku ada urusan di luar. Mungkin malam ini tak akan sempat pulang," jelas Edwald ikut duduk di

samping Shireen yang tampak murung segera menyandarkan kepalanya ke bahu Edwald yang

beralih memainkan jemari lentiknya.

"Urusan sepenting apa sampai tak sempat pulang?"

"Masalah perusahaan-ku. Ada beberapa hal yang harus-ku urus. Shi!" jawab Edwald mendapat

helaan napas lemah Shireen yang memang begitu manja padanya.


"Boleh?"

"Baiklah. tetapi, pagi ini kau pulang-kan? Maksudku, aku akan membuatkan bekal untukmu."

Shireen menatap wajah tampan Edwald yang juga terlihat berat meninggalkannya.

Ntah itu kepalsuan atau sebuah sandiwara Shireen tak mengerti.

"Aku akan pulang pagi ini."

"Em-baiklah! Aku akan menyiapkan semuanya," Shireen menegakkan cara duduknya

lalu beralih mengambil ponsel yang sudah terisi penuh di dalam tas.

Edwald membiarkan Shireen sibuk dengan ponselnya sementara dia bersiap untuk pergi keluar

lagi.

Saat Shireen membuka aplikasi chatting hijau yang ada di ponselnya. Banyak notif yang masuk

bahkan Shireen sampai menunggu beberapa saat karena dia punya banyak klien terutama wanita.

"Sepertinya kau sangat sibuk. Shi!" seru Edwald mendengar suara ponsel Shireen dari dalam

walk in kloset.

"Yah. Biasanya Amber yang membantuku tetapi hari ini banyak pekerjaan. Jadi aku segan

membebaninya."

"Ada dari laki-laki?" tanya Edwald sudah keluar dari walk in kloset dengan memakai topi dan

jaket baru.

Shireen tersenyum lalu mengangguk kecil. dia belum sadar jika ada pesan dari Freya yang

terselip di antara notif yang menumpuk.

"Ada! Bahkan banyak."

"Benarkah?" selidik Edwald mendekat seraya memperbaiki jam tangannya yang baru. Saat

sudah di dekat Shireen dia ingin merampas benda itu tetapi Shireen segera menjauhkan

ponselnya.

"Mengapa?"
"Berikan!" paksa Edwald tetapi senyum geli Shireen tak terhindarkan. Hal itu memantik

ketidaksabaran Edwald yang kembali ingin merebutnya. Lagi-lagi Shireen menghindar hingga

kedua lutut Edwald naik ke atas ranjang mengunci paha Shireen dengan kedua tangan meraih

ponsel yang Shireen peggang.

"Ed! Kau-"

"Kau jangan menguji kesabaran-ku. Shi!" decah Edwald mendorong Shireen hingga telentang.

Edwald juga jatuh mengungkung tubuhnya dengan mata terpaut dalam.

"Kau kuat untuk seranganku lagi?" tanya Edwald menyeringai tetapi mendapatkan hadiah gigitan

Shireen ke bahunya. Tentu itu tak menyakitkan karena hanya gigitan kasih sayang.

"Sudah cukup. Lanjut besok saja!"

"Besok?" Menaikan satu alisnya.

Shireen tersenyum malu berusaha melepas kuncian Edwald ke kedua tangannya di atas

kepala.

"Ed! Aku hanya bercanda. Yang memberi pesan itu biasanya klien wanita yang ingin berteman.

tetapi, aku jarang membukanya karena tak sempat," jelas Shireen membiarkan Edwald

mengambil ponselnya.

Tatapan tajam Edwald menangkap nama Freya di sana dan ada satu pesan masuk bertepatan

dengan jam yang sama saat pengejaran tadi.

"Tak ada-kan?" tanya Shireen melihat Edwald diam ingin menghapus pesan itu tetapi Shireen

lebih dahulu mengambil alih.

"Shi!"

"Pergilah! Nanti kau terlambat. Pokoknya pagi ini kau harus pulang," ucap Shireen mematikan

ponselnya lalu menarik tengkuk Edwald untuk mendaratkan kecupan selamat malam di bibir
sensual pria ini.

"Selamat malam!"

Edwald diam. dia masih memandangi ponsel Shireen karena yakin ada sesuatu yang Freya

lakukan sebelum berhenti di tepi jalan tadi.

Melihat Edwald yang terfokus pada ponselnya, seketika Shireen menghela napas berat.

"Sayang! Aku hanya bercanda. Tak ada pesan pria mana pun di sini."

"Aku tak peduli itu. tetapi, gadis sialan itu sangat mengganggu," umpatan batin Edwald harus

menanyakan ini pada Freya. Jika sampai dugaannya benar maka dia tak akan segan

melenyapkan gadis itu.

"Ed!"

"Hm. Aku percaya kepadamu," Edwald mengecup kening mulus Shireen dan bangkit dari

kungkungannya.

dia melirik jam di pergelangan lengan kekarnya. Masih ada waktu 30 menit untuk menunggu

Shireen tidur.

"Istirahatlah. Aku pergi dahulu!"

"Kau juga. Sayang!"

Edwald hanya mengangguk. Shireen memandang sang suami keluar pintu kamar barulah dia

mengalihkan pandangan ke arah langit-langit kamar yang tinggi.

"Malam ini akan sangat dingin," gumam Shireen memeluk bantal di sampingnya. dia tersenyum

tipis kala membayangkan hidupnya 180° berubah saat setelah menikah, rasanya masih seperti

mimpi.

.....

Bab 18 Jangan bermain denganku. ADIK IPAR!

Sementara di luar sana Edwald turun ke bawah melihat Freya yang tengah menelpon di dekat
teras depan. Tuan Walter dan nyonya Colins ada di ruang tamu terdengar berbincang kecil.

Lirikan mata Edwald tertuju pada cctv di area sudut ruangan. dia keluar dari kediaman berdiri di

belakang Freya yang tadinya menelpon seketika terkejut setengah mati melihat Edwald.

"Astaga!! Kau-"

"Tak baik bagi seorang wanita menelpon terlalu larut," ucap Edwald.

Jarak dengan Freya

bahkan dia seperti memperingatkan Freya agar cepat masuk karena dingin. Itulah ilusi yang dia

ciptakan dari sisi lensa cctv yang memantau.

Freya masih membeku di tempat. dia tak percaya Edwald bisa mengatakan itu lalu pergi ke arah

luar.

"Dia mengapa?" gumam Freya heran. dia seketika kesal saat sambungannya dan sang kekasih

yang tadi asyik mengobrol tiba-tiba terputus hanya karena pria iblis itu.

"Tak hanya misterius dia juga sangat tak berguna," umpatan Freya ingin masuk kembali ke

kediaman. tetapi, tiba-tiba saja ada pesan masuk dan itu dari kekasihnya yang tadi mematikan

sambungan secara sepihak. Biasanya tak seperti itu, pikir Freya heran.

AKU MENUNGGUMU DI TAMAN KOTA

"Malam-malam begini? Haiss.. Apa dia memberiku kejutan?!" gumam Freya yang tadi kesal

seketika bersemangat. dia setengah berlari masuk ke dalam kediaman untuk bersiap-siap.

....

Taksi yang tadi melaju stabil ke arah taman yang tak jauh dari lingkungan kediaman Harmon itu

seketika terhenti di tepi jalan yang bersebelahan dengan taman kota di sampingnya.

Seorang gadis muda yang memakai kardigan rajut maron dengan celana jeans panjang itu

keluar dari taksi. dia heran karena jalanan ini sepi dan taman yang tadi menjadi tujuan
mereka-pun lengang.

Hanya lampu jalan dan penerangan dari dalam taman bunga yang tampak menyeramkan dari

sini.

"Nona! Apa saya harus menunggumu?"

"Tidak usah. Aku dengan temanku," jawab Freya pada sopir taksi yang mengangguk segera

pergi membawa bayaran yang sudah dari pertama Freya berikan.

Sekarang tinggallah dia seorang diri bagai tunggak di tengah hutan meresapi alam yang makin

misterius.

Freya melihat kiri kanan. Sepi, sunyi tanpa deru kendaraan. dia menelpon pacarnya dengan

perasaan mulai tak enak.

"Mengapa dia tak menjawab panggilanku?!" Freya meredam rasa paniknya dengan terus

memulai panggilan.

Setelah 5 kali ini mencoba, suara operator sangat rajin membalasnya. Alhasil Freya kesal

segera memberanikan diri masuk ke area taman.

"Dia bilang menungguku di sini. tetapi, tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain,"

Freya makin masuk kedalam.

Kiri kanannya ada lampu membuat penerangan. dia terus melewati banyak rumpun bunga dan

beberapa tempat yang dingin sampai akhirnya Freya berdiri di dekat kursi yang ada di samping

kolam air pancur mini di dekat kakinya.

"Sayang!! Kau tadi bilang menungguku. Kau di mana??" tanya Freya menatap kiri kanan tetapi

tak jua ada jawaban.

Freya duduk di kursi taman ini seraya mengirim pesan ke kontak kekasihnya. Hawa di sini begitu

merayap dan berangin. Tak khayal Freya sering terperanjat karena ada beberapa pohon yang

berguncang ntah kerena angin atau hal lain Freya tak ingin tahu.
Jam terus bergulir. Freya gelisah dan tak bisa diam. Kadang dia berdiri lalu duduk dan mencoba

berkeliling lagi tetapi kembali ke tempat yang sama.

karena merasa di bohongi, Freya segera bangkit dari duduknya mengeratkan kardigan yang

melindunginya dari hawa menusuk ini.

"Sialan!! Dia membohongiku," Freya bangkit dari duduknya. Saat dia sudah berdiri ingin

berbalik pergi, tiba-tiba saja lampu di taman ini mati total.

"I--ini.."

Freya terkejut. Antara takut dan gugup bercampur aduk memenuhi batin dan fisiknya. Freya

tergesa-gesa segera menyalakan senter ponsel sampai cahaya itu muncul membuatnya lega.

"Tempat ini terasa sangat menakutkan," lirih Freya mengusap lengan pakaiannya lalu

berjalan kembali ke tempat tadi.

Belum sempat dia menjahui kursi taman, Freya di kejutkan dengan tetesan darah yang

memenuhi jalan yang tadi dia lalui.

"Astaga!! D-darah."

panik Freya mundur. Tubuhnya gemetar begitu juga ponsel yang dia pegang sudah tak stabil.

Wajahnya sampai pucat bahkan sudah seperti mayat hidup.

makin dia lihat darah ini makin banyak dan menyebar. Padahal tadi dia tak melihatnya.

"D-darah-" Freya ketakutan setengah mati. dia berlari menerobos jalan ini dengan sisa

keberanian yang dia punya.

Namun, seakan tak mau melepaskannya dari sini tiba-tiba saja Freya berteriak kencang.

"Aaaaaa!!!" jeritnya hebat dengan ponsel jatuh ke tanah kala melihat ada mayat seorang pria

yang digantung di atas pohon di samping jalan kecil ini.

napas Freya memburu dengan bibir pucat pasih terduduk di rerumputan lembap taman.

Matanya masih lebar terbuka begitu syok melihat dari remangan cahaya sosok yang di gantung
di sana.

"I-itu-"

Freya mengigil hebat meraih ponsel yang tadi dia jatuhkan tak jauh darinya. Perlahan Freya

menggenggam benda itu lalu dengan takut-takut mengarahkan senter ponselnya kearah

gantungan mayat ini dan...

Duaar..

"Deeeoon!!!!" jerit Freya keras kala melihat wajah berlumuran darah Deon. Air mata Freya

tumpah dengan tangan gemetar masih bertahan menyinari sosok tak bernyawa ini sampai

Freya tak bisa berkata-kata atau bergerak dari duduknya.

"T-tidak-Deon!! Deooon!!" teriak Freya antara ketakutan tetapi juga sangat syok. Jelas wajah

dan tubuh pria ini sama walau setengah wajahnya hancur seperti di hantam benda tumpul,

Freya masih bisa mengenaili dari bentuk wajahnya.

Ini gila!! Siapa yang melakukan ini?!!

Freya menjerit ketakutan. dia bergegas bangkit dengan kedua tungkai gemetar berlari

sekencang-kencangnya keluar dari area taman.

karena dia tak punya keberanian lagi Freya sampai terjatuh ke tengah jalan aspal ini. Tampilannya

sudah berantakan dengan wajah pucat bahkan keringat dingin itu membanjiri keningnya.

"Tolooong!!! Tolooong!!" histeris Freya melihat kiri kanan tetapi tak ada siapa pun. dia menangis

tetapi air matanya tak akan berguna.

Jangan berharap kendaraan akan lewat, satu manusia saja tak ada yang melintas menambah

dosis rasa takut dan kepanikan yang menyelubungi tubuhnya.

"T-tidak. Aku- aku harus pergi dari sini. Aku tak mau mati!" racau Freya kembali berdiri lalu

berjalan sempoyongan tak tentu arah menyusuri aspal ini.

dia berteriak terus minta tolong tetapi yang dia dapatkan hanya rasa takut karena bayang-bayang
mayat kekasihnya tadi masih membekas di kepala Freya.

"T-toloong hiks!!! Tolong akuu!!" jeritnya tak bisa mengontrol kesadarannya. dia berlari tak tentu

arah memasuki area yang mulai ramai pengendara.

Saat Freya sudah menapaki aspal yang berbeda dengan beberapa mobil melewati dirinya, dia

mendapat panggilan.

tetapi, yang membuat Freya makin mengigil adalah nama si penelpon. Sudah jelas Deon

sudah tewas tetapi siapa yang memanggilnya.

Dengan takut-takut Freya mengangkat panggilan itu. Awalnya tak ada suara apa pun dan hanya

terdengar riuh kendaraan yang tak asing.

"Diseberangmu!"

Degg..

Mata Freya hampir saja mau keluar mendengar suara ini. Jantungnya seakan terhenti

mendadak seakan ingin lari dari kejaran ibslis yang terus menghantuinya.

Dan benar saja. Saat Freya melihat ke-sebarang jalan disela lalu-lalang kendaraan. dia bisa

menangkap sesosok pria berpakaian serba hitam memakai topi, kacamata dan masker tengah

berdiri dengan ponsel di tangannya.

"K-kau-"

"Jangan bermain denganku, ADIK IPAR!"

suara berat khas pria yang sontak membuat ponsel di tangan Freya terjatuh beriringan dengan

datangnya sebuah mobil yang melaju kencang dari arah samping Freya yang baru sadar jika dia

ada di tengah jalan.

"Aaaa!!!!"

....
Bab 19 Kecelakaan

"Aaaaa!!"

Teriaknya sampai mobil itu menabraknya keras. Tubuh Freya terpental jauh ke pinggir jalan

sampai menabrak beton pembatas yang mendapat cipratan darah segar malam ini.

Bukannya menolong, sosok yang berdiri tak jauh dari tempat itu hanya diam. dia memandangi

orang-orang di sekitar jalanan yang berhenti sekaligus terkejut melihat kecelakaan maut yang

tak bisa di duga siapa pun.

"Kau sangat kejam. Steen!"

Seorang pria berpakaian hampir sama dengannya tetapi lebih santai dan bersahabat. dia

berdiri di belakang makhluk tak punya hati ini dengan tatapan jenuh sekaligus iba pada Freya

yang sudah dikerumuni banyak orang.

"Kau urus sisanya! Aku tak menerima masalah baru," tegas pria itu lalu pergi begitu saja.

Cooper hanya mengangguk patuh tetapi tak heran lagi dengan cara kerja bengis pria yang dia

panggil Steen itu.

"Kau bahkan lebih berbahaya dari Suma," gumam Cooper sangat ngeri jika berhadapan

dengan makhluk biadap ini. Rencananya terlalu brutal dan tak manusiawi.

....

Tangis nyonya Colins pecah mendengar kabar kecelakaan Freya yang sekarang sudah kritis di

rumah sakit. Walau dia sering di buat kesal oleh kebodohan Freya tetapi anak tetaplah seorang

anak dan tak bisa di pungkiri kekhawatiran itu langsung membongkem dadanya.

"Freyaa!!" Isak nyonya Colins terduduk di depan ruang IGD yang masih mengurung para tim

medis untuk menangani gadis malang itu.


Tuan Walter yang juga duduk mendampingi nyonya Colin juga merasakan hal yang sama. dia

tak menyangka jika Freya akan mengalami kecelakaan yang begitu besar sampai darah segar

itu masih lumer di permukaan aspal tadi.

"Dia pasti akan baik-baik saja."

"B-baik kau bilang. Ha? Mereka mengatakan jika Freya tak sadarkan diri dan ada retakan di

tulang kepalanya. Dia kritis Walter!! Dia mengalami benturan yang keras!!" frustrasi nyonya

Colins tak bisa menahan diri.

Tuan Walter hanya bisa diam karena dia juga tahu persentase keselamatan Freya hanya 5%

menurut keterangan pihak kepolisian yang tadi mengabari mereka.

Setelah beberapa lama terdengar suara Shireen dari lorong rumah sakit. Wanita cantik dengan

tubuh semampai itu berlari menapaki lantai ruang IGD di mana sudah terlihat kedinginan di sini.

"M-momyy!!" panggil Shireen dengan mata berkaca-kaca pucat pasih. dia tadi baru tahu kabar

kecelakaan Freya dari pelayan di kediaman tepat jam 3 dinihari.

Melihat kedatangan Shireen yang tampak syok, nyonya Colins bangkit dari duduknya. dia

mendekati Shireen dengan wajah marah dan kelap.

"Kau senang-kan??"

"M-mom!" lirih Shireen dengan air mata yang turun di pipi mulusnya. Nyonya Colins tampak

murka dengan sorot mata benci menyalahkannya.

"Kau senang karena Freya kecelakaan dan kritis!! Ini yang kau mau-kan?"

"M-mom! Aku-Aku tak seperti itu. Aku-"

"Mengapa bukan kau saja yang mengalami ini? Shireen!! Mengapa??"

Degg..

...
Bab 20 Anak dari selingkuhan

Jantung Shireen seakan terhenti di tempat. Dadanya terasa nyeri bahkan sangat sakit

mendengar kalimat menohok yang di keluarkan oleh nyonya Colins padanya.

Melihat ucapan nyonya Colins sudah terlalu jauh, tuan Walter berdiri menatap tegas wanita di

sampingnya ini.

"Jaga bicaramu. Colins!"

"Mengapa?? Mengapa aku harus menjaga ucapanku. Ha? JIKA SAJA DIA TAK MEMUSUHI

FREYA MAKA FREYA AKAN HIDUP TENANG! DIA YANG SELALU KAU BANGGAKAN tetapi

BAGAIMANA DENGAN PUTRIKU FREYA!!"

"COLIIINS!!" bentak tuan Walter menggema membuat nyonya Colin terdiam begitu juga

Shireen yang juga membisu.

Manik hitam bening berair itu menatap kosong wajah keras nyonya Colins padanya bahkan itu

terasa seperti tatapan permusuhan dan penuh kebencian.

"Hentikan ocehanmu dan tutup mulutmu!"

"Cih, sejak kapan kau bisa memerintahku. Ha? Semua ini terjadi karena kau lebih

memedulikan Shireen daripada Freya."

Ketus nyonya Colins belum juga mau menyudahi makiannya. Tuan Walter tampak marah tetapi dia

segera beralih pada Shireen yang hanya diam tanpa suara.

tetapi percayalah. Hatinya sakit bahkan air mata itu terus mengalir menggambarkan luka

batinnya.

"Shireen! Tenangkan dirimu dahulu. Pergilah!"

Shireen tetap diam. Dia masih memandang wajah Nyonya Colins yang terpaku pada pintu ruang

IGD tanpa mau memandangnya.

"Shireen!" tegas Tuan Walter dan barulah Shireen memaksakan kakinya berbalik pergi menjahui

ruangan itu.
Pijakan heels terasa berat seakan tubuhnya tak punya tenaga lagi. dia hanya berjalan dengan

pandangan yang kosong tak tentu arah.

Belum sempat dia melangkah jauh dari pusat keributan tadi. Shireen kembali mendengar

perdebatan nyonya Colins dan tuan Walter secara jelas dan lantang.

"Mengapa kau harus pilih kasih? Walter!! Kau mendidik Shireen hingga menjadi wanita yang

cerdas dan bisa dalam segala hal. Dia juga bisa memimpin perusahaan mu tetapi tidak dengan

Freya!"

"Apa kau pikir karakter Shireen dan Freya sama? Shireen rela mengorbankan dunianya hanya

untuk keluarga ini tetapi Freya menuruni sikapmu!!"

"Ouh. Jadi kau mengatakan jika anak dari SELINGKUHANMU itu lebih baik dari putrimu

sendiri!!"

Duaarr...

Bagai tersambar petir di dini hari ini Shireen terkejut setengah mati.

S--slingkuhan? Aku-

"Dia juga putriku Colins! Selama ini aku bersikap tak adil padanya itu karena dirimu!! Kau hanya

ingin menerima Shireen jika dia berguna dan lihat!! Dia lebih berharga dari apa yang kau

bayangkan."

"Tetapi dia bukan anakku."

Lagi-lagi Shireen merasa dilempar dengan batu besar. dia tak punya tenaga untuk berdiri sampai

tersandar di dinding tak jauh dari tuan Walter dan nyonya Colins yang masih bersitegang.

Shireen membekap mulutnya sendiri dengan air mata terus keluar membuktikan betapa sakit

dan sesak dadanya sekarang.

J-jadi selama ini aku hanya hasil dari perselingkuhan. Aku sama sekali tak diharapkan

olehnya.
batin Shireen meremas dadanya yang terasa sangat sakit. Bahkan, bernafas saja Shireen

tersendat tak lagi punya tenaga.

Setelah beberapa lama bertengkar di depan sana, barulah tuan Walter menyadari keberadaan

Shireen yang tersandar lelah dengan mata sembap tanpa energi.

"S..Shireen!" Lirihnya nanar meraup sosok rapuh itu dengan keterkejutan.

Sementara nyonya Colins hanya acuh. dia tak peduli Shireen tahu atau tidak masalah keluarga

mereka yang diredam selama bertahun-tahun.

"Bagus kalau dia sudah tahu."

"Kau memang sialan," umpet tuan Walter berjalan mendekati Shireen di ujung sana.

Wanita malang itu hanya diam menatap lurus kedepan. Jelas Shireen terpukul hebat sampai tak

peduli jika dia terduduk di lantai sekarang.

"Shireen!"

Sosok itu hanya diam. Tak ada suara yang keluar selain air mata dari manik hitam yang biasa

menguarkan keceriaan sekarang sudah terpaku kosong.

"Shireen! Ini tak seperti yang kau bayangkan," Gumam tuan Walter berjongkok di dekat tubuh

lemah putrinya.

Sudut bibir Shireen tertarik miris. dia ingin menjerit sekuat tenaga tetapi pikirannya tak

memperbolehkan hal itu.

"Shireen!"

"A-apa karena itu aku di b-bedakan?" Shireen tersenyum nanar tetapi air matanya terus

turun. Bibir tuan Walter terkunci tak sanggup menjawab pertanyaan yang dia takutkan selama ini.

dia bersikap keras dan tak adil pada Shireen karena tak ingin berdebat dengan nyonya Colins

yang tak ingin Shireen dimanjakan.

Kebisuan tuan Walter sudah memberi jawaban yang sangat pasti. Shireen terkekeh pelan tetapi
itu tawa kecil yang sangat menyedihkan.

"Ini sangat lucu, Dad! Sungguh!" gumam Shireen seperti kehilangan akal sehatnya. dia

berusaha berdiri walau berpeggangan ke dinding di sampingnya.

"Shireen!!"

lirih tuan Walter menatap sendu Shireen yang berjalan tak tentu arah. Sesekali dia ingin terjatuh

tetapi segera berdiri lagi tanpa menghentikan langkahnya.

Padahal, tuan Walter tak melihat wajah Shireen yang berusaha menahan isakan. dia tak mau

menangis tetapi air matanya terlalu mendesak sampai dadanya mau terkoyak di dalam sana.

"L-lucu, I-ini sangat lucu," racau Shireen dengan bibir bergetar mencoba tertawa tetapi

tangisnya yang sendat mencuat tertahan.

Shireen membekap mulutnya lalu bergegas pergi menuruni tangga yang ada di sampingnya.

karena tak punya tenaga dan kekuatan lagi kaki Shireen mulai oleng tak mampu menahan bobot

tubuhnya.

dia terhuyung ke depan nyaris menghantam anak tangga tetapi sekilas bayangan tubuh kekar

seseorang langsung menyambut ringan pinggangnya.

"Shireen!"

suara itu sangat familier. Manik hitam berair Shireen menatap nanar wajah tampan pria yang

mengemban jiwanya.

"E-ed!"

"Kau bisa menggunakan lift, bukan?? Mengapa kau-"

ucapan Edwald terhenti saat melihat kehancuran di mata Shireen. Keduanya bersitatap sangat

dalam bahkan Edwald mulai merasakan apa yang tengah menggerogoti hati wanita ini.

"Shi!"

"Eeed!! Hiks!" isak Shireen berhambur memeluk Edwald yang juga langsung mendekapnya
erat. Tangis wanita ini pecah menusuk dadanya yang mulai terasa sesak dan perih.

"S-sakiit hiks! Ini sangat sakit!" Shireen mencengkram erat punggung kekar Edwald

yang tanpa sadar mengusap kepala Shireen yang terbenam di dadanya.

"S-sakiit hiks!"

"Susst!! Aku di sini. Kau akan baik-baik saja," bisik Edwald menenagkan Shireen yang masih

membutuhkan sandaran tubuhnya.

Bahu wanita ini bergetar pertanda dia benar-benar terluka. Seharusnya jika hanya masalah

Freya respons Shireen tak akan serapuh ini. Pasti sesuatu telah terjadi sebelum dia datang ke sini.

Setelah menangis cukup lama dan beberapa Suster yang lewat hanya bisa diam saja melihat

mereka, tiba-tiba saja Shireen tak sadarkan diri.

"Shireen!" panggil Edwald menepuk pipi sembap Shireen yang tak menjawab. Kedua matanya

tertutup dan tubuhnya dingin tak bergerak.

Ada rasa cemas di lubuk hati Edwald yang segera menggendong ringan Shireen dan

membawanya turun dari tangga ini. Beberapa orang yang melihatnya terpaku kosong tetapi wajah

Edwald seperti tak menunjukkan emosi apa pun.

....

Bab 21 Lumpuh total

Edwald tengah sibuk bicara dengan Cooper yang dia suruh mengirim rekaman cctv yang ada di

lantai ruangan IGD tadi. Suaranya seperti biasa sangat datar tetapi memerintah.

dia agak menjauh dari ranjang rawat Shireen yang tadi masih belum sadar dari pingsannya.

"3 menit kau berikan kepadaku!"

"Steen! Aku kau suruh memalsukan kematian kekasih adik iparmu itu dan sekarang kau beri

tugas baru. Apa aku tak bisa bernafas se-"

"Kau tak akan bernafas setelah ini!" tegas Edwald dan sontak Cooper langsung setuju. Edwald
mematikan sambungannya dengan helaan napas yang ringan.

Sudah 1 jam Shireen belum bangun sampai banyak yang menelpon ke ponselnya tetapi mau tak

mau Edwald harus menjawab walau hanya satu kata datar dan tak berminat banyak.

Seharusnya aku senang melihat keluarga ini hancur. tetapi, mengapa rasanya tak nyaman sama

sekali?!

Pikir Edwald terganggu dengan perasaan asing ini. dia berbalik kembali mendekati ranjang rawat

Shireen yang tadi sudah di periksa dan tak ada gejala berbahaya.

dia hanya lelah dan mengalami tekanan darah rendah.

Ada rasa gelisah yang tak bisa Edwald mengerti. Saat mendengar tangisan dan mata penuh

luka Shireen dia seakan-akan ikut bergabung di dalamnya.

Apa aku terbawa suasana? Cih, aku tak mungkin membawa perasaan dalam rencanaku.

Bantah batin Edwald berkecamuk sendiri. dia duduk di pinggir ranjang lalu memandangi wajah

cantik sedikit pucat Shireen.

Raut wajah yang lelah tetapi tampak ingin melawan kerasnya dunia.

Drett..

Suara pesan dari ponselnya menyita perhatian Edwald yang segera melihat kiriman dari

Cooper. Manik hijau elang itu menatap tajam dan intens pada rekaman cctv yang

memperlihatkan percekcokan antara Shireen dan nyonya Colins.

Terlihat jelas wanita paruh baya ini memakai Shireen sampai istrinya serapuh itu. Edwald

sampai mengepal kala nyonya Colins terang-terangan seperti membentak di lantai itu.

"Sialan!!" geram Edwald bertambah murka dengan wanita itu. dia sudah lama ingin segera

menghabisinya tetapi keberadaan Shireen membuatnya berpikir dua kali.

PERDEBATAN ITU didengar OLEH DOKTER YANG ADA DI DALAM RUANGAN. MEREKA

MENGATAKAN JIKA SHIREEN ADALAH BUAH PERSELINGKUHAN WALTER.


Pesan Copper tertera di bawah rekaman itu. Edwald mematung diam beralih menatap wajah

cantik Shireen yang wajar sampai terpuruk seperti ini. dia paham bagaimana Shireen di posisi

itu.

"Aku ingin membunuhnya!" Edwald meremas ponselnya sendiri. Sorot mata berubah

membunuh dengan rahang mengetat hebat.

Namun, dia segera mengubah raut wajahnya saat kelopak mata Shireen berkerut tampak sudah

mau sadar.

"Ehmm!!" Shireen perlahan membuka matanya. Sayu-sayu dia melihat samar wajah

tampan Edwald yang setia mendampinginya di sini.

"E-ed!"

"Hm? Aku di sini," jawab Edwald menggenggam tangan halus Shireen yang menormalkan

kesadarannya. dia diam sejenak mencoba tenang dan rileks seraya mengerijabkan matanya

agar tak terlalu pusing.

"Apa yang terjadi?"

"Tadi kau menangis lalu pingsan. Aku membawamu ke sini karena cemas jika terjadi sesuatu

yang buruk," Edwald mulai bermain peran. Padahal, jika Shireen tahu sifat aslinya yang

bertolak belakang pasti dia akan merasa sangat di permainkan. tetapi, itulah keahlian Edwald.

Tak langsung menanggapi ucapan Edwald, Shireen justru memilih diam. Ada kabut di matanya

yang tak bisa di jelaskan dengan kata-kata.

"Apa yang terjadi? mengapa kau tadi menangis?" tanya Edwald pura-pura tak tahu.

Shireen membisu lalu memandangnya sendu. Sedetik kemudian dia tersenyum sangat manis

tetapi ada pedih dan sakit yang dia tutupi.

"Aku hanya ingin."


"Kau bisa katakan apa pun yang menyakitimu. Shi! Aku akan bantu menyelesaikannya," tegas

Edwald tetapi caranya menyelesaikan sangat berbeda. dia lebih suka langsung menghabisi tanpa basa-
basi.

"Akau baik-baik saja. Bagaimana dengan pekerjaanmu, Hm?" Shireen seperti tak terjadi

apa pun.

Edwald diam merasa heran tetapi dia pendam agar membuat Shireen lebih nyaman.

"Tak ada yang spesial. Bertemu banyak orang yang melelahkan."

"Apa urusanmu semalam sudah selesai?" tanya Shireen dan sontak Edwald membisu. Dia tak

bisa salah-salah jawab karena sekarang polisi masih menyelidiki kasus kematian misterius

kekasih Freya dan kecelakaan maut malam tadi.

"Maaf aku tak sempat menyiapkan bekal untukmu dan kau harus menemaniku di sini," sesal

Shireen tampak tulus.

Edwald mengangguk ringan. dia mengusap punggung tangan Shireen di genggamannya

mencari jawaban aman.

"Perusahaan tak bisa beroperasi lagi. Jadi, aku mengurus beberapa surat dan masalah

karyawan. tetapi, semuanya sudah selesai."

Shireen akhirnya ikut lega. Walau dia punya masalah yang berat tetapi Edwald tak harus

mengemban semua itu. Sudah cukup masalah kebangkrutannya dan jangan di tambah lagi.

Setelah beberapa diam dengan pikirannya masing-masing. Shireen segera mengambil napas

dalam tampak sekuat mungkin untuk tetap tak ingin mengenang kejadian beberapa jam lalu.

"Ada apa?"

"Bisa kita keluar dari rumah sakit?" tanya Shireen tampak lelah dan cukup depresi. Edwald

diam sejenak lalu mengangguki hal itu.

"Kau ingin pulang?"

"Tidak untuk sekarang."


"Maksudmu?" tanya Edwald kala Shireen menolak. Wanita bermata hitam bening dan kulit

seputih porselen ini memejamkan matanya sejenak lalu kembali menatapnya.

"Aku ingin ke mana saja asal jangan pulang. Boleh?"

"Tentu," jawab cepat Edwald yang tiba-tiba saja tak menolaknya. dia membantu Shireen duduk

lalu merapikan pakaian wanita ini.

Shireen yang masih merasakan lemas di sekujur tubuhnya berusaha berdiri dan berpeggangan

ke lengan kekar Edwald.

"Jika masih pusing aku bisa menggendong-mu."

"Aku baik-baik saja," Shireen tersenyum lembut. Dia melihat heels dan tasnya ada di

nakas. Saat Shireen ingin mengambilnya, barang-barang itu sudah lebih dahulu berpindah ke

tangan Edwald yang siaga.

"Aku yang akan membawanya!"

"Kau yakin?" Shireen karena lagi-lagi membuat pria ini kesusahan.

Edwald tak menjawab. dia mengiring Shireen keluar tanpa menggunakan sepatu hak tingginya

karena akan sangat berbahaya nanti. Lantai rumah sakit ini terasa dingin tetapi tak akan menyakiti

kaki Shireen yang sudah memakai kaus kaki.

Ntah dari mana Edwald mendapatkannya Shireen juga tak tahu.

Di sela langkah mereka ingin turun. Ada salah satu dokter yang tadi menangani Freya melihat

Shireen dipapah Edwald dengan mesra.

dia berhenti untuk menyapa Shireen tetapi agak ragu kala melihat wajah dingin Edwald.

"Nona! Kau baik-baik saja?"

"Yah. Bagaimana dengan adikku? Dia selamat dan baik-baik saja-kan?" cecar Shireen masih

saja peduli. Dokter itu diam tetapi dari raut wajahnya mereka sudah tahu jika ada hal buruk yang

terjadi.
"A-apa yang terjadi?"

"Nona Freya memang selamat. Tetapi-"

Jantung Shireen serasa di remas-remas di dalam sana. Genggaman tangan Edwald yang ada

di pinggangnya juga mengerat karena mulai merasakan kekhawatiran Shireen.

"T-tetapi apa?"

"Dia mengalami kelumpuhan total dan komplikasi saraf!"

Degg..

Bab 22 Kita kemana?

Shireen langsung tersandar ke tubuh Edwald yang siaga memeluknya. Tatapan mata itu penuh

dengan ketidakpercayaan karena Freya pasti tak akan menerima hal itu.

"Dia masih belum sadar. tetapi, kita harus bersyukur karena nona Freya bisa di selamatkan dari

masa kritisnya."

Shireen tak bisa berkata apa pun. Dokter itu pamit pergi karena juga ada urusan yang penting.

"Sudahlah. Ini bukan salahmu. Tak semua kejadian di dunia ini adalah tanggung jawabmu.

Shireen!" tegas Edwald bermakna cukup tajam bagi Shireen yang menurutnya terlalu naif.

"Aku hanya merasa jika dunia ini tak akan senang jika tak menyalahkan-ku, Ed!" lirih Shireen

sudah tahu jika nanti Freya akan membencinya.

Apalagi yang bisa terjadi selain perdebatan, makian sekaligus sumpah serapah yang belum

tentu itu salahnya.

Mendengar itu Edwald tak punya sanggahan. Jika di pikir-pikir memang benar. Dunia ini terlalu
kejam atau mungkin Shireen yang jadi sasaran paling empuk untuk menyiksa manusia.

"Aku ingin ke toilet sebentar. Tunggu aku di sini!"

"Hati-hati!"

Shireen mengangguk. dia pergi ke arah toilet wanita di lantai ini dengan langkah masih terlihat

memilah. Edwald diam memandangi Shireen tetapi terlintas sebuah pikiran asing.

"Aku harus melakukan apa?!" gumam Edwald membeku. dia selama ini selalu sempurna dalam

memerankan karakter yang dia perankan tetapi, mengapa sekarang dia jadi bingung harus melakukan

apa?!

"Aku akan mengurus wanita ular itu nanti. Sial!! Jika melihat wajahnya terus murung seperti itu,

Otakku sama sekali tak berjalan," Edwald mengusap wajahnya kasar.

Sedetik kemudian dia sadar menatap tak percaya pada heels abu yang ada di jarinya dan tas

yang dia bawa. Seharusnya ini tak berlebihan bukan? Aku hanya membawakan

barang-barangnya dan bukan berarti dia menguasaiku.

Pikir Edwald menyeringai. Sayangnya seringaian itu hanya bertahan dua detik. dia kembali

seperti semula beralih menghubungi Cooper.

"Ada apa? Jangan bilang kau merindukan aku, Steen!"

suara Cooper seperti menahan jengkel tetapi dia tak berani memarahi Edwald yang terlalu

mengerikan di ajak bermusuhan.

"Tempat yang damai dan tenang!"

"Kuburan?"

"Kauuu.." geram Edwald dan barulah Cooper menyahut dengan gelagapan. Hanya dia yang

berani seperti itu karena termasuk dekat dan biasa dengan Edwald yang emosian..

"Baiklah. Akan ku siapkan."


"Hm."

Edwald mematikan sambungan. dia harap Shireen akan lebih baik jika di ajak ke tempat yang

menenangkan.

"Demi rencanaku berjalan lancar. Hanya itu!" gumam Edwald merasa lebih lega. dia menyusul

Shireen yang belum juga terlihat padahal sudah lama.

.....

Milan merupakan kota utama di sebelah utara Italia dan terletak di hamparan Lombardia,

sebuah wilayah yang dikatakan paling maju di Italia. Milan sendiri merupakan sesuatu wilayah

yang memiliki pesona mengesankan dan mengagumkan. Karena itulah, tidak sedikit wisatawan

lokal maupun asing yang akhirnya memilih berlibur ke Milan. Di musim gugur kali ini semuanya

tampak menakjubkan.

Bahkan, sedari tadi Shireen yang ada di dalam mobil yang di kendarai oleh Edwald tak

henti-hentinya melihat keluar jendela mobil.

"Kita mau ke mana?" Tanya Shireen karena ini termasuk asing baginya.

"Kau tak ingin pulang. Jadi aku berkeliling sebentar."

"Tanpa tujuan?" tanya Shireen tersentak. Dia pikir Edwald tahu ke mana akan membawanya dan

jalanan ini tak buruk. tetapi, nyatanya..

"Kau keberatan?" sahut Edwald dengan santainya padahal dia hanya malas untuk mengatakan

tempat yang sudah di tunjukan Cooper.

Shireen agak diam tetapi setelah dia tersenyum tipis. Senyumnya cukup mengatakan jika ini sedikit

konyol tetapi sayang untuk di lewatkan.

"Kau ingin ke mana? Aku akan menemanimu."

"Tidak ada. Seperti ini juga bagus," jawab Shireen beralih menyandarkan kepalanya ke bahu

kokoh Edwald dengan tangan ada di atas paha pria ini.


Sebenarnya posisi ini sangat nyaman bagi Shireen tetapi tidak dengan Edwald yang cukup

merasa jika makin ke sini Shireen terlalu berbahaya.

"Ed!"

"Hm?"

"Bagaimana kalau kita menginap?" tanya Shireen menatap wajah tampan fokus Edwald yang

membiarkan Shireen memainkan resleting celananya seperti biasa.

"Kau tak ingin pulang?"

Shireen menggeleng. Dia kembali memangku dagunya ke bahu Edwald yang mengangguk saja.

Mobil mereka sudah memasuki area pantai Deamon ski yang memang cukup jauh dan agak

terpencil.

Shireen yang melihat panorama langit mendung tetapi segar ini segera menatap Edwald yang

tak bersuara.

"Kau ingin ke sini?"

"Hanya tersesat," gumam Edwald menarik kerutan di dahi Shireen yang tak mengerti. Jika

tersesat mengapa wajahnya terlihat santai? Dan jelas-jelas dia yang membelokan mobil saat ada

dua jalur di jalan tadi.

"Ed! mengapa kau jadi aneh?" Shireen seperti tak melihat Edwald yang begitu perhatian

dan hangat tetapi terkesan menutupi.

Terkadang dia menangkap raut canggung Edwald kala dia menanyakan tujuan mereka.

Sadar jika dia mengambil karakter aslinya, Edwald mulai tersenyum tipis. dia tak perlu takut

menunjukkan perhatiannya karena sekarang dia adalah SUAMI seorang Shireen.

"Kejutaan!!" ucap Edwald menghentikan mobil di dekat pohon rindang yang tak jauh dari pantai.
Bahkan, Shireen bisa melihat keindahan tempat ini dengan suasana mendung tetapi segar.

"Kau sudah menyiapkannya?"

"Hm. Bagaimana? Kau suka?" tanya Edwald sok terbuka padahal dia malas mengakui itu.

Shireen segera turun dari mobil barulah Edwald bernafas lega.

"Bukan aku. Cih, aku tak akan menyiapkan apa pun untukmu," sangkal Edwald menjaga harga

dirinya. dia keluar dari mobil mendekati Shireen yang tampak sangat bahagia.

Angin segar pantai menderu cukup kuat tetapi tak menyurutkan semangat Shireen kala melihat

hamparan laut di depan sana.

"Ini luar biasa!!" pekik Shireen segera melepas kaus kakinya dan berlari menyongsong bibir

lautan.

Pantai ini memiliki tebing kapur dengan pasir pantai yang lembut juga air laut berwarna biru

yang sangat jernih. Hal itu menambah kesan romantis dan juga sangat hangat bagi siapa pun

yang melihatnya.

Shireen yang asyik merendam kakinya di bibir pantai sana dan sesekali memainkan pasir yang

terasa sangat halus. Edwald hanya memandang dari kejahuan dengan tatapan lekat seakan

mengurung tawa kecil itu erat.

"Sayang!!" panggil Shireen melambaikan tangannya pada Edwald yang tersentak dari

lamunanya.

"Kau butuh sesuatu?"

"Ke sini!" pinta Shireen menunggu Edwald yang melepas sepatunya dan segera berjalan

mendekati Shireen yang tampak sangat cantik dengan rambut panjang terkibar indah oleh

belaian angin.

Tubuh seksinya juga terbentuk akibat dress lengan panjang dengan bawahan hanya sepaha itu

melekat karena tekanan dari udara segar pantai.


"Ke sini!" menarik lengan kekar Edwald untuk berdiri di sampingnya.

Edwald menurut bahkan dia tak menolak sedikitpun. Shireen mengubur kaki Edwald dengan

pasir yang tadi menimbun kakinya hingga rasa sejuk itu menjalar.

"Airnya dingin. Kau bisa merasakannya?"

"Lalu?" tanya Edwald agak heran. Apa ada yang spesial dari air laut yang dingin dan pasir

lembut ini?!

Pikiran Edwald memang terlalu rasional. Shireen mulai mengerti mengapa yang heboh itu hanya

perempuan, karena laki-laki berpikir terlalu lurus dan tak emosional.

"Airnya dingin dan segar-kan?"

"Yah, segar," singkat Edwald beralih merentangkan tangannya hanya untuk menyenagkan

Shireen. dia berbuat seakan-akan tempat ini seluarbiasa itu walau dari kacamata seorang Steen

ini biasa saja.

karena melihat Edwald juga menikmati ini, Shireen-pun tak segan untuk membawa Edwald untuk

menjelajahi pantai ini.

Dari mulai merendam kaki di air dingin ini lalu berjalan bersama menyusuri bibir pantai dengan

tangan saling bergandengan.

..

Bab 23 Masa kecil Shireen

Shireen terlihat nyaman bercerita tentang masa kecilnya yang selalu ingin ke pantai tetapi

sayangnya hanya sendirian.

"Dulu aku tinggal dengan Nenekku di Casthillo. Aku menghabiskan waktu sekitar 10 tahun

di sana dan hampir setiap hari aku ke pantai yang kebetulan ada di perkebunan Kakekku. Itu

masa-masa paling menyenangkan karena nenek selalu mendampingiku," jelas Shireen terus
berjalan pelan dengan tatapan terlempar jauh ke laut di sampingnya.

"Mengapa kau bisa sendirian?" tanya Edwald tiba-tiba saja ingin bertanya padahal itu tak penting

baginya.

Sebelum menjawab, Shireen mengiring Edwald untuk duduk di bawah pohon kelapa yang tak

begitu tinggi tetapi buahnya cukup lebat meneduhi mereka.

"Saat umurku sudah 11 tahun daddy membawaku ke Milan! Aku sempat menolak karena akan

berpisah dari kakek dan Nenek tetapi, ... Nenek bilang jika banyak teman di perkotaan, ada

gedung-gedung tinggi dan banyak mainan di pantai lain. Aku sangat senang, Ed!"

Shireen tersenyum tipis menggenggam tangan Edwald di pahanya.

Sayangnya senyum itu hanya bertahan 5 detik. dia kembali murung seperti kecewa dan tak

menyangka.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Saat tiba di Milan aku melihat apa yang Nenek katakan kepadaku. Banyak gedung-gedung tinggi

dan pantai tetapi aku baru sadar satu hal.." Jeda Shireen lalu tersenyum lagi.

"Di sini tak ada teman, tak ada permainan bagi bocah sekecil itu dan tak ada kasih sayang. Hari

itu aku langsung di bawa ke sekolah yang besar tetapi bagiku di sana penjara," Imbuh Shireen

meremas pinggiran dressnya.

"Wajar jika kau harus sekolah-kan?"

pertanyaan Edwald benar tetapi posisinya salah. Shireen menghela napas seperti

mempersiapkan diri.

Aku tak dibolehkan keluar selama aku bisa menguasai setiap materi yang di ajarkan. Mereka

mengantarkan makanan di dalam ruangan yang banyak disusun buku dan buku dan aku tak

boleh bermain karena harus membantu daddy bekerja. Itu wajar-kan?" tanya Shireen tersenyum

kecut tetapi Edwald hanya membisu.


Jika Shireen di paksa secara batin maka dia mengalami keduanya. Hanya saja Edwald tahu

segala bentuk kepedihan di atas dunia ini tetapi sangat pandai menyembunyikannya.

"Jika aku jadi kau, mungkin aku akan membuat sejarah."

"A-apa?" Tanya Shireen tak mengerti. Edwald hanya diam mengusap kepala Shireen yang

terlalu suci dan jernih untuk mencemari hidupnya.

"Jika bukan kau yang mencintai dirimu sendiri. Lalu siapa lagi?"

"Maksudmu kau tak mencintaiku?" sinis Shireen hingga Edwald langsung memalingkan wajah.

"Kau haus?"

"Kau tak mencintaiku?" desak Shireen memojokan Edwald yang terlihat gagu untuk menjawab.

"Sepertinya air kelapa ini segar," gumam Edwald menatap ke atas pohon pura-pura tak

mendengar. Shireen kesal segera mencubit paha bagian dalam Edwald yang tersentak.

"Kauu-"

"Menyebalkan!" rutuk Shireen bangkit lalu kembali berjalan ke arah tepi pantai. dia tampak

mencari-cari kerang yang mungkin terdampar di sini dengan ranting kayu di sela-sela bebatuan.

Edwald diam menatap lekat Shireen yang kembali sibuk dengan keinginanya. Helaan napas

Edwald muncul meraba bagian yang di cubit Shireen tadi sampai sudut bibirnya tertarik kecil.

"Apa peranmu sangat menyenangkan, Steen?"

"Hm. Luma.."

Degg..

Edwald tersentak dengan suara di pinggir telinganya. Wajah tampan itu mengeras melihat

Cooper menyamar menjadi petugas pantai tengah duduk di belakangnya menatap penuh

kagum pada Shireen.

"Jadi ini istrimu, Steen? Dia terlalu seksi dan sempurna!" decah Cooper menjilati air liurnya

yang mau keluar melihat paha putih dan bokong seksi Shireen yang tengah berjongkok.
Sedetik kemudian Cooper terkejut kala Edwald berdiri di hadapannya dengan sorot mata

membunuh yang menyeramkan.

"A-aku-"

Tanpa banyak bicara Edwald segera menyeret kasar Cooper yang gelagapan berjalan

pontang-panting mengikuti langkah lebar Edwald yang dengan kejam mendorongnya ke balik

batu besar agak jauh dari Shireen.

Jantung Cooper terasa mau pecah merapat ke batu dingin ini. dia menggeleng panik kala

Edwald melepas tali pinggangnya.

"S-Steen! Aku bercanda. Serius aku bercanda dan-Aaaaa!!"

Jeritan Cooper membuat Shireen terkejut dan burung-burung di pepohonan dekat ini

beterbangan.

"Suara apa itu?!" gumam Shireen bingung. Dia tak melihat Edwald di bawah pohon kelapa tadi

hingga Shireen memutuskan untuk kembali ke mobil.

slang beberapa lama Edwald keluar dari balik batu besar tadi. Wajah dinginnya begitu

mendominasi sampai mengalahkan dosis air yang ikut ciut melihat apa yang baru saja terjadi.

"S..Steen!" Cooper yang sudah tak berdaya tumbang ke atas pasir ini. Mulutnya di

sumpal dengan kemeja dengan tubuh sudah merah bekas cambukan panas tali pinggang

Edwald yang dengan santai berjalan meninggalkannya.

Jauh dari dalam lubuk hati Cooper, dia mengutuk Edwald yang tak tahu terima kasih. tetapi,

keberaniannya sudah sedari tadi melarikan diri.

"D-dasar tak-tahu diri," maki Cooper lalu merangkak dengan sisa tenaganya melarikan diri.

Jika tetap di sini bisa saja pria seribu wajah itu akan menenggelamkannya di lautan.

Sementara Shireen, dia seketika lega melihat Edwald sudah berjalan ke sini.

"Sayang!! Kau ke mana saja?" tanya Shireen menyongsong kedatangan Edwald yang tampak
memasang tali pinggangnya.

"Kau lapar?"

"Iya, tetapi kau dari mana saja?" bingung Shireen beralih memakaikan benda itu ke pinggang

kokoh Edwald yang bicara asal.

"Buang air kecil!"

"Ouh, yaudah! Ayo kita cari makanan," Shireen merapikan jaket Edwald yang hanya

menurut. Tak ada rasa bersalah sama sekali karena memukuli Cooper yang memang sudah

menyulut amarahnya.

....

Bab 24 Aku akan membunuhmu

Hari mulai gelap. Karena permintaan Shireen yang tak mau pulang akhirnya Edwald membawa

wanita itu ke penginapan yang tak jauh dari pantai Deamon ski tadi. Bahkan, mereka bisa

melihat pemandangan pantai itu dari atas tebing karena memang Edwald memilih penginapan

yang bernuansa seperti pegunungan.

Jika ditanya mengapa? Mungkin Edwald akan menjawab, 'Hanya Ingin'.

Pria tampan itu tengah ada di balkon kamar yang berbahan kayu mahal. dia tengah menelpon

seraya menunggu Shireen yang ada di atas ranjang dengan laptop menyala dan sorot mata

fokus.

"Sejauh apa kelumpuhan gadis itu?" tanya Edwald ingin memantau Freya. dia harus bergerak

dengan halus karena mereka tengah di kelilingi aparat kepolisian.

"Steen! Dia dinyatakan lumpuh total dan kemungkinan besar dia juga tak mampu bicara. Aku

juga sudah memalsukan kematian kekasihnya hingga 5 hari lagi kasus ini akan di tutup."

jelas Cooper yang masih saja berani bicara dengan Edwald. tetapi dia sudah biasa dan tak heran

lagi dengan Edwald. Itu karnanya Cooper selalu tahan karena sifat Edwald memang begitu.
"Hm. Buat wanita ular itu depresi dengan keadaan putrinya. Untuk proyek kau bisa

mengalihkannya pada perusahaan ku!"

"Aku mengerti. Proyek perusahaan Walter akan berpindah ke tangan-mu, kau cukup awasi

istrimu agar tak ikut campur dalam proyek ayahnya."

"Hm."

gumam Edwald lalu mematikan sambungan. Sepertinya dia bisa memanfaatkan momen ini

untuk menghancurkan beberapa proyek besar tuan Walter hingga perusahaan itu bangkrut.

Lihat kekacauan apa yang akan menanti.

Lama Edwald menikmati angin malam di balkon sampai dia mulai bosan segera berbalik masuk

ke kamar. Tatapan datarnya langsung mengurung Shireen yang tampak mengalami masalah

hingga tak melihat kiri kanan.

Bahkan, piring buah yang tadi sudah dia letakan di samping paha mulus memakai gaun malam

maron cantik itu-pun tak di sentuh.

"Makanlah dahulu. Baru lanjutkan nanti!"

"A-emm-Iya," jawab Shireen seadanya. dia tengah melihat hasil pemasaran prodak lipstiknya

beberapa hari ini. Lumayan bagus tetapi dia tak puas dengan penjualannya, ini masih belum

sempurna.

"Apa yang salah? Biasanya tak begini," Shireen mengigit bibir bawahnya. Tanpa sadar

itu exspresi yang hot di mata Edwald yang menatap lekat visual indah di hadapannya.

Shireen biasa memakai gaun malam tipis dengan dua tali kecil di bahunya. Pakaian nyaris

transparan itu juga tak begitu menutupi paha mulus dan dada besarnya yang terlihat kencang

menyembul dari balik kain tipis itu. Aass.. Pemandangan yang nikmat.

"Besok kau ingin pulang?"


"Amber!" gumam Shireen kala mendapat panggilan dari sekretaris Amber. Dia tak begitu

memedulikan Edwald karena memang sangat fokus sekarang.

Berbeda dengan Shireen yang fokus pada pekerjaannya, Edwald justru menarik sofa singel di

sampingnya lalu duduk bertopang kaki. Dia menatap Shireen yang diumpamakan bak lukisan

mahal yang bisa dia lihat sesuka hati. dia bahkan tak berkedip menonton boneka barbie itu.

"Kau kirim rentetan hasil penjualan itu kepadaku. Jika Mr Parker menelpon langsung kau katakan

secepatnya!"

"Iya, nona! Aku sudah mengirimnya."

Shireen memeriksa dengan teliti. dia melihat persentase penjualan dan bagaimana respons

konsumen. Semuanya baik-baik saja tetapi Shireen belum puas. Ini tak sesuai dengan target

pabriknya.

Karena sedikit gerah Shireen menggulung rambut panjang hitam kecoklatan itu ke atas. dia tak

peduli jika sekarang Edwald hanya bisa menelan ludah melihat leher jenjang dan bahu putih

itu.

"Sempurna!" gumam Edwald jadi berkeringat dingin. Sadar dengan tatapan Edwald yang

sangat intens dan penuh arti, Shireen segera mengangkat pandangan ke arah Edwald yang

masih seperti itu.

"Ed!" lirih Shireen tak fokus jika di pandangi seperti itu. Edwald tak menjawab. dia masih saja

memandang ke arah bibir Shireen yang ranum bak cherry yang segar.

"Sayang!! Jangan memandangku seperti itu!!"

"Ekhem," Edwald tersentak dan segera berdehem. dia menormalkan raut wajahnya kembali

seperti biasa menyembunyikan raut konyol itu.

"Pergilah tidur duluan. Kau besok bekerja-kan?"

"Hm."
Edwald mengangguk dan bangkit dari duduknya. dia yang memakai kaus pendek tanpa lengan

itu melangkah mendekati ranjang di mana Shireen duduk di sebelahnya.

Edwald membuka kaosnya karena cukup gerah tetapi malah membuat Shireen malu akan tubuh

atletis seksi itu.

"Kau jangan berpikiran kotor, jangan!!"

batin Shireen menggeleng keras. dia kembali fokus pada layar laptopnya sedangkan Edwald

berbaring di sisi kiri pahanya dengan kedua tangan melipat di belakang kepala.

"Apa masalahnya?"

"A-aku bisa," gumam Shireen dengan jari lentik lincah di papan kyboard laptop. Matanya

mengikuti arah tulisan yang di buat sampai Edwald mulai berpikir soal file yang dia rusak dahulu.

Apa klien yang dia tangani masih ingin bekerja sama? Sepertinya Shireen tak terlalu panik saat

itu.

"Apa ada klien mu yang bermasalah? Shi!"

"Tidak. Ini masalah pemasaran. Mereka tak menemukan strategi yang bagus. Aku merasa ini

masih kurang," jawab Shireen tanpa menatap Edwald yang seketika langsung duduk kembali.

dia merapat ke dekat Shireen melihat apa masalah yang terjadi. Tentu tatapan teliti dan genius

Edwald langsung bisa mengambil kesimpulan.

"Strateginya sudah tepat!"

"A-apa? Tetapi, mengapa bisa hanya terjual segini. Seharusnya bisa lebih-kan?" bingung Shireen

menunjuk data totalnya.

Edwald mengangguk tetapi dia segera menunjukkan bagian mana yang seharusnya ditingkatkan

dan di kurangi.

"Kau terlalu fokus pada pemasarannya. Kepercayaan konsumen itu nomor satu dan kau harus
lebih menekankan kualitas prodak mu. Shi!"

"Aku sudah mencobanya sendiri dan hasilnya bagus. Bibirku sehat dan tak kering. Lihat

bibirku!" Shireen memanyunkan bibirnya untuk menunjukkan rona merah muda tetapi

basah.

Jarak mereka yang tipis membuat bibir Shireen menyentuh pipi Edwald. Keduanya sama-sama

diam tetapi Shireen lebih mematung karena dia terlalu panas.

"Kau menggodaku, hm?"

"A-tidak. Aku hanya ingin menunjukkan bibirku. Apa sehat atau -"

"Aku akan jadi konsumen pertama," bisik Edwald segera menekan tengkuk Shireen hingga

ciuman mereka bertaut mesra.

Shireen tak menolak. dia memejamkan matanya membalas ciuman lembut Edwald yang

perlahan menutup laptop itu lalu membaringkan tubuh Shireen ke atas ranjang.

Keduanya larut dalam bumbu-bumbu gairah sampai kamar yang tadi terasa lumayan dingin

sekarang mulai menjalar panas.

Edwald menikmati setiap rasa yang ada di bibir Shireen. Manis dan kenyal begitu nikmat dan

candu. Dengan bibir yang saling mencumbu, tangan Edwald sudah turun masuk ke sela gaun

tidur Shireen yang melenguh kecil di sela ciuman mereka merasakan satu tangan besar Edwald

meresahkan di bagian dadanya.

Puas menikmati bibir ini Edwald beralih mengecup setiap inci wajah cantik Shireen dengan

lembut turun ke rahang dan leher jenjang itu. dia tak pernah bermain selembut ini atau melayani

seseorang.

"Kau sengaja menggodaku setiap hari, hm?" desis Edwald menarik turun kedua tali gaun di

bahu putih Shireen yang sudah memerah dengan napas memburu.


Wajah Edwald bertambah meradang melihat dua gundukan sintal ini terlalu seksi dan

menggemaskan. dia jadi tak sabar hingga langsung mencumbunya gemas.

"A-Ee-d!!" erang Shireen mere**emas rambut Edwald yang suka menjadi bayi besarnya. Pria

ini tak pernah mau absen bercinta setiap malam maupun bangun tidur di mana pun dia mau.

"S-Shi!" serak Edwald mengigit kecil puncak ranum itu membuat Shireen tersengat dengan

tubuh menggeliat.

Keduanya saling tatap dalam beberapa saat hingga ntah setan apa yang merasuki jiwanya,

mereka jadi brutal.

Shireen menurunkan gaun tidurnya dengan cepat sedangkan Edwald melepas celananya dan

bagian terakhir penutup senjata perkasa itu.

Wajah Shireen memerah melihat pusaka itu sudah tegak berdiri menantang badai. Urat-urat

kegagahan dan rona merahnya membuat bagian intinya berdenyut.

"Kau ingin mencoba sesuatu?" tanya Edwald mengusap bibir Shireen dengan jempolnya. dia

selalu mendambakan hal ini karena pasti sangat nikmat.

"A..apa?"

"Dia juga ingin merasakan bibirmu," gumam Edwald langsung membuat Shireen pucat. dia

menatap milik Edwald yang tampak sangat seksi. tetapi, apa dia bisa melakukannya?

Membayangkan saja sudah membuat Shireen mual.

tetapi, melihat wajah panas Edwald yang begitu menatap penuh permohonan Shireen jadi tak

tega menolak.

"Ajari aku!"

"Hm," Edwald menarik pelan Shireen untuk turun dari ranjang. Dia duduk di tepi kasur

empuk ini sedangkan Shireen dia suruh berjongkok.

"E-ed!" gugup Shireen sudah berhadapan dengan benda pusaka ini.


"Bayangkan saja ini permen. Hm?"

"Permen!" gumam Shireen menguatkan mental. dia benar-benar membayangkan itu dengan

jantung memompa keras dan sangat gugup.

Saat Shireen mulai melakukannya Edwald langsung merasakan sensasi yang begitu hebat dan

penuh euforia.

"Y..yeaahh Shii.. Begitu, Sayang!" racau Edwald mengadah dengan satu tangan mengelus

kepala Shireen yang hanya menjilat saja. Dia heran tetapi menyukai exspresi wajah Edwald yang

sangat-sangat menikmatinya. Shireen jadi tertantang untuk melakukan lebih hingga mulai

sedikit liar membuat Edwald lupa dengan sensasi masa lalu yang dahulu pernah dia lakukan.

Sementara di luar sana. Ada seorang wanita yang terbakar api dan bara mendengar suara di

dalam kamar ini. dia tadi membuntuti Edwald sedari siang dan cukup sabar menunggu sampai

pria itu meninggalkan Shireen.

tetapi, sudah lama dia menelpon dam memberi pesan menyuruh Edwald keluar dari kamar, dia

malah mendengar suara-suara laknat ini.

"Kau mulai jarang menemuiku karena DIA," geramnya penuh dengan kebencian segera pergi

dari tempat ini.

"Ku pastikan aku akan membunuhmu."

dia bersumpah akan membalas wanita sialan itu karena berani mengambil KEKASIHNYA.

...

Bab 25 Kemarahan Tuan Walter

Pagi ini Shireen harus ke perusahaan. Sementara Edwald, dia sudah pergi dari dini hari tadi

berpamitan pada Shireen karena urusan mendadak. Tentu Shireen yang tak pernah mengekang
pria itu hanya membiarkan Edwald asal terus mengabarinya.

Saat sampai ke perusahaan, Shireen langsung di sambut wajah tegang sekretaris Amber yang

menunggunya di depan pintu utama.

"Ada apa?"

"Nona! Tuan besar menunggumu di ruangannya," jawab sekretaris Amber membuat Shireen

heran. Apa ada masalah? Tak biasanya Tuan Walter datang sepagi ini apalagi hadir khusus

memanggilnya.

"Mengapa wajahmu tegang?"

"Nona! Tuan besar terlihat marah dan tak bersahabat. Aku cemas jika ada masalah dari divisi

kita," resah sekretaris Amber mengikuti langkah Shireen menuju lift di lantai satu.

Para karyawan yang berjalan di sekitar mereka menyapa Shireen yang hanya tersenyum

hangat seperti biasa.

"Apa dia memarahimu?"

"Tidak, Nona! tetapi, wajahnya seperti menahan amarah dan bertanya tentangmu dengan nada

ketus. di sana juga ada Nyonya besar!"

"Mommy?" gumam Shireen terdiam sejenak masuk ke dalam lift. Baja besi ini tertutup

membawa mereka ke lantai tujuan dengan pikiran Shireen melayang ke arah Freya. Apa gadis

itu baik-baik saja?

Setibanya di lantai direktur utama. Shireen keluar begitu juga dengan sekretaris Amber yang tak

mau meninggalkan Shireen sendirian.

"Kau pergilah ke tim kita!"

"tetapi, Nona.."

"Aku akan mengurus ini!" sela Shireen membuat sekretaris Amber pasrah. dia kembali masuk ke

lift seraya menatap Shireen yang berjalan elegan dengan balutan dress manis selutut dengan

bagian lengan panjang tetapi transparan.


Langkah Shireen terhenti di depan pintu. Samar-samar angin membawa suara di dalam sana

ke telinganya sampai terdengar cukup jelas.

"Sudah-ku katakan, bukan? Pria itu hanya ingin memanfaatkan Shireen. Lihat! Apa dia

membantumu atau tidak?"

"Ini tanggung jawab Shireen dan dia yang harus menyelesaikan hal ini," tegas tuan Walter

sampai umpatan nyonya Colins terdengar.

"Cih, anak tak tahu di untung!"

Mendengar itu Shireen diam, dia memejamkan matanya seraya menarik napas dalam

menormalkan raut wajahnya.

"Tak apa. Kau masih punya suami yang mencintaimu, Shi!" gumam Shireen menguatkan

dirinya.

Shireen membuka pintu ruangan tuan Walter. Pandangannya langsung tertuju merja kerja pria

paruh baya itu tengah duduk berhadapan dengan nyonya Colins yang segera memberi sorot

tajam padanya.

"ke mana saja kau?? Freya mempertaruhkan nyawa di rumah sakit sana dan kau

bersenang-senang!!"

"Colins!" sergah Tuan Walter tetapi Nyonya Colins hanya memiringkan bibirnya kecut.

Tak ingin berlama-lama di dalam sini Shireen segera mendekati tuan Walter.

"Ada apa? Dad!"

"Proyek yang ku tangani itu gagal. Suamimu sama sekali tak membantuku!"

Mendengar itu Shireen tersentak. kemarin Edwald mengatakan jika dia akan membantu

daddynya untuk memenangkan proyek itu tetapi mengapa bisa gagal?!

"Maksud daddy?"

"Aku sudah memberikan rincian proyek itu padany tetapi, sampai sekarang dia tak
mengerjakan apa pun hingga proyek itu di ambil alih perusahaan lain. Apa-apaan ini? Ha?"

Shireen membisu, dia tak tahu mengapa bisa begini karena sebelumnya Edwald mengatakan dia

akan mengerjakan semua itu.

Melihat respons bingung Shireen makin memantik amarah di dada tuan Walter yang

mengalami kerugian besar dan kehilangan kesempatan emas.

"Proyek ini sangat penting bagi perusahaan. Kerugian yang suamimu buat sudah menguras

aset berharga kita, Shireen!! Mereka tak akan lagi memercayai kita!!"

"Dad! Pasti ada kesalahpahaman. Aku--"

"Lihat! Dia begitu egois, Walter! Ini putri yang kau bangga- banggakan itu, ha?" ketus nyonya

Colins langsung sampai ke ulu hati Shireen yang tetap mempertegas raut wajahnya.

"Dan akibat proyek ini gagal jatuh ke tangan kita, investor lain mulai ragu untuk menanamkan

saham."

"Dad! Aku juga tengah memasarkan prodak baru perusahaan. Keuntungannya juga pasti akan

membantu untuk mengembalikan--"

"Kita punya pinjaman," sela Tuan Walter tampak gelisah. Shireen mengernyit kala mendengar

kata PINJAMAN.

"Maksudnya?"

"Aku sempat meminjam sejumlah uang ke Bank besar untuk proyek itu dengan jaminan

perusahaan ini!"

"Apaa??" syok Shireen sekaligus Nyonya Colins yang terkejut.

"Kau mempertaruhkan perusahaan hanya untuk proyek itu? Apa kau gila? Walter!!" bentak

Nyonya Colins membuat kepala Tuan Walter terasa mau pecah.

"Aku bisa apa?? Keuntungan pembangunan Malll fashion itu sangat besar apalagi tempatnya

sangat strategis. Aku tak bisa membuang-buang kesempatan emas itu tetapi SUAMIMU
MENGACAUKANNYA!!" geram Tuan Walter beralih menohok pada Shireen yang cukup sesak

di sini.

"D--Dad! Kalau memang proyek itu bernilai besar, seharusnya mereka bisa membantu

perusahaan untuk membangunnya. Bukan memberatkan-mu."

"Ouh, jadi kau merasa pintar, ha?"

Shireen menggelen, dia merasa aneh dengan proyek ini karena janji-janji dan kesepakatannya

sangat tak masuk akal. tetapi, tuan Walter bersikeras untuk mengambilnya.

"Proyek itu sudah jatuh ke tangan orang lain. Uang dan semua proposal itu sudah tak ada

gunanya lagi!!!"

"Ya tuhan. Perusahaan ini akan bangkrut sedangkan putriku masih ada di rumah sakit. Apa

yang harus aku lakukan?!!" Lirih nyonya Colins sudah lemas di tempat duduknya.

Tuan Walter sudah pusing memikirkan perusahaan ini padahal dia yang terlalu ceroboh tetapi yang

jadi pelampiasan pasti Shireen.

"Siapa yang mengambil proyek itu?" Tanya Shireen pada tuan Walter yang menggeleng lemah.

"Aku tak tahu. Mereka hanya mengatakan jika proyek ini akan lebih sukses di tangan

perusahaan yang lebih besar."

"Perusahaan siapa?!" Batin Shireen lalu bertolak pergi. dia harus menemui langsung pemilik

perusahaan itu untuk bernegosiasi tentang proyek ini.

Bab 26 Ada apa dengan hari ini?!

Shireen masuk ke lift. dia berpikir cepat mengingat perusahaan besar mana saja yang ada di

negara ini. Hanya ada perusahaan Mediation Crop dan MIT Fashion yang bergerak di bidang

kecantikan dan style.


"Mungkin perusahaan Mediation yang mengambil alih," lirih Shireen lalu keluar saat lift

sudah terbuka. dia berjalan pergi ke ruangannya dan sesekali di safa para karyawan yang

seperti biasa menghormatinya.

Meja sekretaris Amber ada di depan ruangan Shireen. Wanita itu berdiri mendekati Shireen

dengan wajah siap menerima perintah.

"Hubungi perusahaan Mediation Corps dan MIT!"

"Baik," jawab sekretaris Amber langsung menghubungi perusahaan yang pertama. Shireen

menunggu di depan mejanya sampai sambungan itu terhubung.

"Kami dari perusahaan Harmon. Bisa bicara dengan pimpinan?" tanya sekretaris Amber sopan

dan tegas.

Setelah beberapa lama terdengar suara seorang laki-laki paruh baya di sana. Amber

memberikan ponsel itu pada Shireen yang segera bicara.

"Maaf mengganggu anda Direktur. Saya Shireen dari perusahaan Harmon. Saya hanya ingin

bertanya, apa perusahaan anda yang mengambil alih proyek dari Greuatema?" sopan Shireen

tetapi sangat elegan, dia kenal dengan pria ini karena sempat menjalin beberapa kerja sama dahulu.

"Nona Shireen. Saya tak tahu soal proyek itu dan kalau tidak salah Greuatema adalah cabang

dari perusahaan Aldebaron."

"Aldebaron?" sentak Shireen bingung. Aldebaron adalah nama perusahaan Edwald, tetapi,

bukannya perusahaan itu sudah bangkrut?!

"Ada apa? Nona!"

"Bukankah perusahaan itu sudah tak beroperasi, direktur?" tanya Shireen tak mengerti.

"Yah. Rumornya memang begitu. Tetapi, aku tak begitu yakin. Perusahaan ACIAN milik mereka

sangat besar. Mustahil bisa bangkrut."

Mendengar itu Shireen tertegun. dia tiba-tiba mulai berpikir jauh tentang masalah perusahaan itu.
"Nona? Kau baik-baik saja?"

"A--iya. terima kasih atas waktunya, Direktur! Maaf mengganggu anda!" ucap Shireen

mengakhiri sambungan ini,

dia diam memberikan ponsel itu pada sekretaris Amber yang bingung dengan raut wajah kosong

Nonanya.

"Apa yang kau pikirkan, Nona?"

"Tunda dahulu jadwalku hari ini. Aku ada urusan," pinta Shireen lalu melangkah pergi. dia

langsung menghubungi Edwald untuk memperjelas semua ini.

Edwald yang mengatakan sendiri jika perusahaannha bangkrut. Lalu, proyek apa ini? mengapa

jadi sulit di mengerti?!

Benak Shireen bertanya-tanya. Sudah 3 kali Shireen menghubungi Edwald tetapi tak ada

jawaban sama sekali. mengapa setiap dia keluar dia tak akan mengangkat panggilan lagi?!

........

Restoran Bullgart. Tempat ini kembali menjadi titik pertemuan Edwald bersama dua anak buah

Suma selain Cooper yang juga ada di sini.

Mereka ada di ruangan privat jauh dari keramaian Bar di luar sana. Cooper tengah menjelaskan

bagaimana kondisi perusahaan Harmon setelah gagal menjalankan proyek besar itu.

"Waktu kehancuran total mereka hanya tinggal 3 hari. Perusahaan keluarganya sudah di ancam

kebangkrutan jika sampai uang yang mereka pinjam itu tak berhasil di kembalikan dan banyak

investor yang akan menarik diri dari kerja sama perusahaan."

"Jadi, apa tuan Steen akan kembali malam ini?" tanya salah satu pria berbadan kekar dan

berjas itu. Mereka memang masuk dengan identitas sebagai seorang bodyguard agar tak di

intai kepolisian.

"Aku rasa kau bisa menyudahi ini sekarang, Steen!" timpal Cooper duduk berhadapan dengan
Edwald yang sedari tadi diam,

dia membiarkan Cooper bicara memberikan data situasi pada anak buah Suma yang akan

kembali ke markas setelah ini.

"Kita hanya perlu mengakusisi perusahaanya. Apalagi rencana tuan Steen sangat licik

membuat seakan-akan proyek itu ada. Padahal, tak nyata sama sekali," decah kagum para

anggotanya tetapi Edwald tetap diam.

Seperti biasa dia tak pernah terlihat berlebihan dalam segi exspresi yang akan di tunjukan.

"Berapa kerugian mereka sekarang?" tanya Edwald baru buka suara terdengar datar.

"50%. Aku yakin mereka akan bertahan hanya sampai 2 hari. Rencana-mu terus berjalan

memengaruhi semua orang agar tak berinvestasi di sana. Lambat laun perusahaan itu tak

akan bisa berdiri lagi, Steen!"

jelas Cooper tampak puas. tetapi, di balik wajah sumringahnya dia tengah menyelidiki Edwald

yang terlihat tak mau membahas jawaban dari satu pertanyaan barusan. Apa dia akan pulang ke

markas malam ini?

Aku ingin lihat. Apa masih ada jalan untuk menikung istrimu?!

Batin Cooper tertawa jahat. dia menunggu Edwald pergi dan melepaskan wanita cantik itu

hingga mereka akan berpesta.

Tahu akan pikiran mesum Cooper yang terlihat sudah lemah membayangkan hal itu, Edwald

langsung menatapnya dengan sorot membunuh hingga Cooper tersentak.

"A--jangan berburuk sangka. Aku tak sedang memikirkan itu, Steen!" gugup Cooper mengusap

tengkuknya yang dingin.

Dua bawahan Suma di sampingnya saling pandang tak mengerti dengan percakapan dua pria

ini.
"Bagaimana, Tuan? Apa kau akan pulang malam ini? Tuan besar sudah menunggu anda dan

dia juga menjanjikan pesta penyambutan," ucap pria itu tetapi Edwald masih belum bicara.

Cooper jadi menaikan satu alisnya. Biasanya Edwald tak akan mau berlama-lama menuntaskan

misinya dan ini adalah misi terlama dalam sejarah dia bekerja.

"Jangan bilang kau ingin tinggal di sini!"

"Omong kosong!" ketus Edwald kasar. dia beralih meminum wine di gelas yang dia genggam

dengan pikiran berkelana.

Aku rasa sekarang belum waktunya. Mereka masih ada harapan untuk bangkit.

Pikir Edwald menjadikan itu alasan untuk tetap tinggal. Yah, dia hanya menebak penyebab dari

lidahnya keluh untuk menjawab pertanyaan tadi.

"Bagaimana? Sebaiknya kau kembali ke markas. Aku akan mengurus sisanya di sini, Steen!"

"Ini misi-ku!" tegas Edwald pada Cooper. Sorot mata tajam nan menikam dan raut wajah tak

bisa ditebak. Cooper cukup kewalahan mencari tahu apa isi di balik wajah pria ini.

"Aku tak suka melakukan hal setengah-setengah. Kau bisa katakan pada Suma jika aku akan

kembali 2 hari lagi membawa keinginannya," imbuh Edwald yang tak lagi bisa di bantah.

Dua pria itu mengangguk tetapi tidak dengan Cooper yang justru menyipitkan matanya. dia

meneropong cela yang bisa saja dia dapatkan dari sikap totalitas pria tampan ini.

"Jika begitu kami akan pergi, tuan!"

"Hm," gumam Edwald membiarkan anak buah Suma itu pergi. dia kembali minum dan agak lebih

banyak dari biasa seraya menaikan lengan jaket ini tanpa mencoba rileks.

"Ada apa?" tanya Cooper bersandar ke punggung sofa. dia mengamati tingkah Edwald di tengah

ruangan tertutup ini.

"Kau sudah bosan bicara?" tekan Edwald tetapi itu sebuah peringatan.
Cooper sontak menelan ludah. dia menggeleng cepat agar Edwald tak mengeksekusinya seperti

di pantai Chastillo kemarin. Bahkan, rasa cambukan itu masih menjalar di kulit Cooper yang

mengeriput.

"Aku hanya heran. Kau jadi gelisah setiap ingin di ajak kembali. Apa nyaman di sini?"

Tanpa menegur lagi Edwald langsung mengeluarkan pistol di balik jaketnya.

"K--KAU-"

Cooper terkejut bukan main tetapi karena dia sangat lincah dan penuh energi, Cooper berlari pergi

walau tembakan Edwald nyaris mengenai kakinya.

Setelah melepas satu tembakan, Edwald melempar pistolnya ke sembarang arah. Gelas yang

tadi dia peggang juga sudah di buang asal.

"Ada apa dengan hari ini?!" geram Edwald mengusap wajahnya kasar. Edwald membuang

napas kasar seraya bersandar ke punggung sofa.

Pandangannya menembus langit-langit ruangan sampai pertanyaan asing dan tak ada jawaban

itu mulai memenuhi kepalanya.

mengapa aku masih di sini? Apa yang-ku cari? Bukankah misi ini sudah mau selesai?

Cecar benak Edwald bingung sendiri. dia terus mencari jawaban itu tetapi sampai matanya panas

menelan langit-langit itu tetap saja tak menemukan jawaban.

karena kesal tanpa alasan yang jelas ini, Edwald ingin melampiaskan semuanya dengan minum, tetapi
tiba-tiba ponsel dalam jaketnya berdering samar.

Bab 27 Mengapa kau berbohong?!

Edwald mengurungkan niatnya untuk menegguk botol wine itu. dia melihat ponsel dengan dada

berdegup melihat nama Shireen di sana. Ternyata sudah 7 kali berbunyi bahkan ada pesannya

juga.
"Shi!" panggil Edwald mengangkat sambungan.

"Sayang! Kau di mana? Mengapa tak menjawab pesan dan panggilanku?" cecar Shireen

terdengar khawatir di seberang sana.

Edwald diam sejenak. dia tak mungkin jujur dan alasan utamanya akan meluncur seperti biasa.

"Kau di mana? Kirimkan nama tempatnya! Aku akan ke sana sekarang."

"Aku di tempat kerjaku. Shi!" jawab Edwald tetapi tak ada jawaban dari Shireen. Wanita itu tak

menyahut seperti diam.

"Aku di tempat kerjaku. Sekarang banyak sekali penumpang. Aku akan menemui mu nanti,

Sayang!"

"Kau sedang membawa mobil?" tanya Shireen terdengar memastikan.

"Iya, Sayang! Ada apa?"

"Aku menunggumu di perusahaan!"

"Hm. Baiklah!" jawab Edwald mematikan sambungan. dia mengambil napas dalam karena

energinya sudah terasa full sekarang.

"Kau masih harus bersenang-senang, Steen!" gumam Edwald menegguk gelas terakhir lalu

bergegas pergi.

Di luar sana sudah ada Kimmy yang tadi sudah menunggu Edwald keluar agar bisa bermain

panas siang ini.

"Edwald! Kau sudah selesai?" tanya Kimmy manja menggandeng lengan kekar Edwald yang

menyentak kasar lengannya.

Hal itu memantik kekecewaan Kimmy yang sudah menunggu sangat lama.

"Mengapa? Urusanmu sudah selesai-kan?"

"Aku tak punya waktu," dingin Edwald bergegas pergi tampak terburu-buru. Kimmy

mengepalkan kedua tangannya dengan amarah meledak-ledak.


"Dia seenaknya datang dan pergi. Apa aku harus menjebak mu hingga kau baru bisa

menyentuhku?!" geram Kimmy tetapi dia tak punya keberanian untuk membuat Edwald marah.

Pria itu sangat mengerikan dan begitu kasar menanggapi hal yang tak sesuai dengan

keinginannya.

.....

Di tempat yang berbeda. Shireen terpaku diam berdiri depan gedung yang menyediakan jasa

sopir taksi. Bahkan, manajer tempat ini baru saja bicara dengan Shireen yang menanyakan

keberadaan Edwald tetapi dia terkejut saat wanita muda ini menjawab.

Edwald memang melamar bekerja di sini tetapi dia tak pernah datang. Bahkan, mereka tak pernah

melihat wajah tampannya selintas-pun.

Sontak Shireen kebingungan. dia menelpon Edwald tetapi Shireen makin heran saat Edwald

mengatakan jika dia bekerja sedangkan namanya tak terdaftar di sini.

"Nona! Ada yang bisa saya bantu lagi?"

"A--tidak. Terima kasih!" ucap Shireen tersadar dari lamunannya. dia berjalan kembali ke arah

mobil dengan beribu tanda tanya di benaknya. Mengapa kau berbohong?

.....

Sudah 30 menit Shireen menunggu akhirnya Edwald sudah datang ke perusahaan. Pria itu

tampak keluar dari taksi lalu berjalan masuk ke dalam gerbang langsung melihat Shireen yang

berdiri di dekat mobilnya.

Senyum Shireen mengembang. Walau dia ingin mencecer Edwald dengan ribuan pertanyaan

tetapi Shireen masih tetap bersikap tenang.

"Ed!"

"Sudah lama menunggu?" tanya Edwald mendekati Shireen.

Wanita cantik dengan tatapan teduh ini tetap tersenyum mengandeng lengan kekar Edwald
yang gemar memakai jaket.

"Aku sudah mau pulang. tetapi, kita jalan-jalan dahulu, bagaimana?"

"Sesuai keinginanmu," Jawab Edwald membukakan pintu mobil untuk Shireen yang masuk.

Setelah memastikan wanita ini aman barulah Edwald masuk ke pintu dekat kemudi seraya

memasang seatbelt begitu juga Shireen.

"Kau sudah makan? Ed!" tanya Shireen menatap Edwald yang menyalakan mesin mobil dan

segera memutar arah untuk keluar dari area perusahaan.

"Kau lapar?"

"Sedikit," jawab Shireen tersenyum tipis. Edwald mengerti itu hingga dia segera memikirkan

restoran mana yang harus di datangi.

Di tengah perjalanan mereka. Shireen diam dan tak mengoceh banyak seperti biasanya. dia

bahkan hanya fokus melihat keluar jendela dengan tangan memainkan tas kecilnya di atas

paha.

Tentu Edwald merasa aneh. Biasanya wanita ini akan cerewet dan membicarakan apa pun yang

dia lihat.

"Ada apa? mengapa diam?"

"A--ha?" tanya Shireen yang tadi melamun dan kurang fokus. Edwald menghela napas ringan

dengan satu tangan yang bebas meraih jemari lentik Shireen untuk di genggam.

"Ada masalah perusahaan?"

"Hm. Daddy tadi marah-marah kepadaku," gumam Shireen mengusap punggung tangan berurat

Edwald yang sangat jantan dan dia menyukainya.

"Mengapa?"

"Dia bilang kau tak melakukan apa pun untuk proyek itu. Aku yakin ini salah paham, kan?" tanya
Shireen hanya memperlembut niatnya saja. Shireen takut Edwald tersinggung walau

permasalahan ini masih ngambang.

Mendengar penuturan Shireen yang menggunakan kalimat sehalus mungkin, Edwald pura-pura

terlihat murung dan merasa bersalah.

"Maafkan aku sayang!"

"Maksudnya?" bingung Shireen menatap lekat wajah tampan penuh rahasia ini. Edwald

sesekali melihat Shireen dengan tatapan yang sendu.

"Aku tak sempat membantu daddymu karena aku harus mengurus beberapa masalah karyawan

lamaku. Bukankah sudah ku katakan kemarin, Shi?"

"Kau memang mengatakan itu tetapi kau tak menjelaskan, apa perusahaanmu memang bangkrut

total dan tak beroperasi atau tidak?! Ed!"

batin Shireen merasa bingung sendiri. dia tak mau menuduh Edwald begitu saja dan sekarang

Shireen harus lebih teliti.

"Apa dia mengatakan sesuatu yang buruk kepadamu? Aku akan menemuinya jika kau tak senang,
Sayang!"

"Apa perusahaanmu masih beroperasi?" tanya Shireen akhirnya meloloskan hal itu. dia

tersenyum masih tenang memberikan waktu untuk Edwald menjawab.

"Ada apa?" tanya Edwald kembali fokus ke depan tetapi satu tangannya masih di paha Shireen.

"Tidak ada. Aku pikir jika perusahaanmu masih beroperasi pasti daddy akan senang," elak

Shireen sudah pandai berkilah.

"Sayangnya perusahaanku sudah berhenti dan belum di olah oleh pemiliknya yang baru."

jawaban Edwald makin tak masuk akal. Sudah jelas yang membuat tender proyek itu adalah

Greautema cabang dari ACIAN. Jika memang perusahaan itu di ambil alih, lalu mengapa tak ada

sidang khusus direksi atau penyerahan jabatan?!

Shireen tak bodoh soal seperti itu. dia sudah menyuruh sekretaris Amber untuk mencari tahu
siapa yang memiliki perusahaan ACIAN sekarang dan bagaimana kondisi saat ini?!

"Memangnya siapa yang mengambil alih perusahaanmu? Ed!"

"Mengapa kau sangat ingin tahu, hm?"

Edwald menatap Shireen dengan raut heran tetapi Shireen segera tersenyum tipis menunjukkan

ketenangannya.

"Aku hanya penasaran. Siapa tahu perusahaanmu belum bangkrut dan kau hanya ingin menguji

istrimu ini," kelakar Shireen terkekeh kecil seakan-akan dia bercanda tetapi jujur itu sedikit

menohok bagi Edwald yang diam.

Raut wajah Edwald mulai berubah datar dan itu tak luput dari lirikan ekor mata Shireen yang

merasakan perbedaan hawa di mobil ini. Merasa Edwald mulai tak nyaman, Shireen segera

mengalihkan pembicaraan.

"Sayang!"

"Hm?" Tanpa menoleh dan tetap melihat ke jalan depan.

"Kita makan di mana? Aku sudah lapar," manja Shireen memanyunkan bibirnya seraya melihat

area di sekitar mobil.

Ini restoran cina di mana ada banyak desain dan furniture khas di luar bangunan 2 lantai ini.

Cukup ramai tetapi terlihat segar.

"Kau suka makanan cina?"

"Suka. Aku sering mengunjungi resto mereka saat perjalanan bisnis ke negara itu dahulu," jawab

Shireen semangat kala Edwald memarkirkan mobil di tempat yang sudah di siapkan.

dia turun lebih dahulu untuk membukakan pintu mobil Shireen yang selalu menikmati sikap manis

sang suami.

Beberapa orang yang sudah keluar dari resto menatap mereka dengan pandangan kagum

karena keduanya sama-sama memesona. Edwald menggenggam tangan Shireen memasuki


resto seraya mengabaikan pandangan setiap orang di dalam sini.

"Apa ada yang salah dengan riasanku?" Shireen berbisik pada Edwald seraya

melangkah menuju meja yang ada di sudut dan cukup menjahui keramaian.

"Abaikan saja!"

"Mungkin aku terlalu cantik, ya?" celetuk Shireen tetapi justru Edwald langsung menghentikan

langkahnya.

Wajah Edwald berubah masam menatap Shireen dengan tak suka.

"Jangan menanggapi mereka, Hm?"

"Ouh. oke!" singkat Shireen duduk di kursi berhadapan dengan Edwald yang sudah tak punya

mood lagi melepas jaketnya karena gerah.

Tentu Edwald mempertontonkan lengan kekarnya membuat Shireen kesal tetapi itu tujuan

Edwald.

Jika tahu Shireen akan jadi objek perhatian, dia akan membanting setir pergi ke gua tersembunyi.

"Cosa vuoi ordinare? Signore e signorina!" tanya waiters menanyakan, apa yang ingin mereka

pesan?

Pelayan laki-laki itu menunjukkan buku menunya ke arah Shireen tetapi Edwald yang segera

merampasnya. Tentu pelayan di samping Shireen tersentak pucat merasa kalah dengan

ketampanan pria italia ini.

"Sanbeiji, La ji zi ..."

"Minumannya Baiju!" sela Shireen memotong ucapan Edwald yang sedang kesal pasti akan

memesan banyak makanan secara asal.

"Solo quello( hanya itu)?"

"Yah," Shireen mengulum senyum melihat Edwald menutup buku menu itu lalu duduk
bertopang kaki angkuh dengan kedua tangan melipat di depan dada.

Terlihat jelas jika dia sedang benar-benar kesal dan tak berminat untuk menggubris tatapan para

wanita di sekitarnya.

"Kau kesal?"

"Menurutmu?" tanya Edwald menaikan alisnya. Di mata Shireen itu terlihat menggemaskan tetapi

di mata seseorang yang tadi baru datang dan duduk di area yang agak jauh dari mereka

terbakar bara cemburu.

Seorang wanita yang memakai kacamata dengan topi bundar di atas kepalanya menatap penuh

kebencian pada Shireen.

"Bahkan, aku sulit membedakan antara acting dan sungguhan, EDWALD!" geramnya meremas

buku menu yang dia gunakan untuk menutupi setengah wajahnya

Puas menggoda Edwald di sela menunggu makanan, Shireen akhirnya berbinar saat pesanan

mereka datang. Meja yang tadi kosong sudah terisi dengan piring-piring cantik dengan banyak

makanan yang lezat.

"Apa ini terlalu pedas?" tanya Shireen menunjuk piring berisi Lu Ji Zi dengan sumpitnya.

Tanpa menunggu pelayan itu menjelaskan, Edwald sudah lebih dahulu mencicipi makanan ini.

Wajah datarnya tak berubah segera mengambil alih piring itu dari hadapan Shireen.

"Ini pedas. Makan yang lain!"

"Tetapi aku ingin itu," gumam Shireen memang sangat ingin. dia tak bisa mekan pedas tetapi liurnya

seakan mau menetes melihat potongan kecil ayam La ji Zi.

La ji zi ini memiliki arti yaitu ayam pedas kering. la ji zi ini terdiri dari potongan daging ayam

yang di potong dadu lalu di goreng sampai kering dengan beberapa bumbu yaitu cabai sichuan.

Sangat menggugah selira.


Melihat Shireen yang mengiba akhirnya Edwald memesan yang baru.

"Buatkan yang tak terlalu pedas!"

Pelayan itu mengangguk dan bergegas pergi. Senyum Shireen mengembang segera mencicipi

makanan yang lain. Tentu seperti biasa Edwald memastikan dia makan dengan benar.

karena tak bisa menahan letupan api cemburu di jiwanya. Wanita yang sedari tadi melihat

kemesraan itu segera merobek buku menu di tangannya.

"Kau sudah keterlaluan, Edwald!" geram Kimmy. Yah, dia tadi membuntuti Edwald dengan

dugaan yang memenuhi isi kepalanya

makin dia melihat pasutri itu maka dadanya seakan di cabik-cabik. Bahkan, Edwald tak segan

menyuapi Shireen sambil senyam-senyum sendiri.

"Aku ke toilet dahulu. Habiskan makananmu!" pamit Edwald berdiri dari duduknya. Shireen

mengangguk membiarkan Edwald pergi.

Melihat kesempatan ini. Kimmy segera menelpon ponsel Edwald hingga Shireen yang tengah

makan tersentak.

Edwald meninggalkan jaketnya di kursi tetapi ponsel itu ada di dalamnya.

"Jika tak di angkat bisa saja itu penting," Shireen yang tadi segan tetapi segera berdiri

mencari ponsel Edwald yang berbunyi.

Saat dia sudah menemukannya. Dahi Shireen berkerut saat nomor ini tak asing di manik

hitamnya.

"Nomor yang sama? Mengapa Edwald tak memberinya nama?" Shireen kebingungan.

Melihat Shireen yang heran Kimmy-pun ikut bingung. Seharusnya Shireen terkejut melihat

nama perempuan di sana, bukan?

"Angkatlah sialan!" umpatan Kimmy menunggu hingga Shireen menerima panggilan itu.

"Hello!"
"Kau bilang akan datang ke resto Bullgart, Ed!"

Degg..

Shireen terkejut mendengar suara wanita terkesan manja. Jantungnya mulai tak baik-baik saja

di sana bahkan Shireen mematung diam.

"B--Bullgart?"

"A--ini bukan Edwald?" tanya si pemanggil.

"Kua siapa dan--"

Panggilan itu dimatikan sepihak. Shireen yang masih bingung dan terkejut secara bersamaan

mulai gelisah dan tak lagi bisa tenang.

"Ini sudah tak masuk akal," gumam Shireen segera menyalin nomor ini ke ponselnya lalu

kembali meletakan benda itu ke tempat semula.

dia berusaha bersikap normal saat Edwald sudah kembali. Walau dugaan yang menyakitkan itu

muncul, Shireen tetap ingin mencari tahu dahulu agar tak ada kesalahpahaman apa pun.

"Aku berusaha mempercayaimu, Ed! Aku mohon jangan rusak hal itu. Aku mohon!"

batin Shireen menjerit tetapi wajahnya masih memaksa senyum agar Edwald tak menyadari

kegelisahannya.

Bab 28 Aku hanya menipumu!

....

Setelah menghabiskan waktu berdua akhirnya Edwald membawa Shireen pulang. Tak ada yang

berubah dari Shireen bahkan dia masih cerewet seperti biasa. Walau sempat saat di perjalanan

resto tadi jadi pendiam tetapi sekarang humornya kembali bagus.


Saat tiba di kediaman tentu mereka harus mengahadapi hawa tak bersahabat dari tuan Walter

sedangkan nyonya Colins sudah ada di rumah sakit.

"Shireen!!" Panggil tuan Walter duduk di sofa ruang tamu menatap tajam Edwald yang

bergandengan dengan putrinya.

Shireen yang paham maksud daddynya segera mendekat tetapi mengisyaratkan Edwald untuk

pergi ke kamar lebih dahulu.

Saat Edwald ingin pergi, Tuan Walter segera menyerukan suara cukup lantang.

"Kau tetap di sini!!!"

Seketika Edwald terhenti, dia bersitatap dengan Shireen yang menghela napas dalam berdiri di

depan tuan Walter.

"Dad!"

"Kau sudah menemukan solusinya?" tanya tuan Walter penuh hawa penghakiman. Lirikan ekor

matanya terlihat jelas menguliti Edwald yang tahu respons mertuanya akan seperti apa.

"Dad! Aku masih mencari solusinya dan-"

"Orang Bank itu sudah menelfonku seharian ini, Shireen!" Tuan Walter memijat-mijat

pelipisnya.

Shireen diam beralih menatap Edwald yang mendekat kearahnya. Pria bermanik hijau tajam itu

juga berhadapan langsung dengan Tuan Walter yang mengepal.

"Kau masih berani berhadapan denganku?!" sarkasnya kasar.

"Aku tak sempat mengurus perusahaanmu. Jika kau ingin, aku akan mengerjakan yang lain."

"Beraninya kau??!!" bentak Tuan Walter membuat Shireen bertambah kacau. Edwald bukannya

menenagkan suasana tetapi justru menambah bubuk amarah di ubun-ubun pria tua ini.

"Ed!" lirih Shireen pada Edwald yang menggeleng.

"Shi! Aku harap kau bisa mengerti situasi-ku."


"Situasi seperti apa, ha?? Kau mengurus hal kecil seperti ini saja tak bisa. Aku sangat menyesal

menikahkan Shireen dengan pria sepertimu!!"

ucapan Tuan Walter benar-benar sukses membuat wajah Edwald kelap. Kedua tangannya

mengepal dengan urat mata penuh emosi tetapi masih terbentengi.

Apa aku bisa memenggal kepalanya detik ini juga?!

Itulah yang dia pikirkan sekarang. Bukannya mengerti, Tuan Walter berdiri dengan wajah

mendongak karena Edwald memang lebih tinggi darinya.

"Aku tak ingin tahu apa pun. Kau selesaikan semua ini atau kau akan menyesal seumur

hidupmu."

"Dad! Aku yang akan menanganinya. Kau--"

"Kau diaam!!" geram tuan Walter mencekik kalimat di leher Shireen yang seketika bungkam.

"Karena kau selalu membelanya dia jadi terus berlindung di belakang-mu!!"

"Jangan membentaknya," desis Edwald masih menahan intonasi mengerikan itu. Shireen

sungguh takut jika Tuan Walter makin marah hingga keduanya akan bertengkar hebat.

"Dad! Sudahlah. Kita bicarakan ini nanti. Aku janji akan mencari jalan keluarnya," ucap Shireen

mencoba menengahi.

Tuan Walter diam. dia tak berhenti memandang penuh kemarahan pada Edwald yang di tarik

Shireen untuk pergi ke kamar atas.

"Kau pergilah duluan, Sayang!"

"Ed! Daddyku sangat marah. Dia tak akan mendengarkan siapa pun," lirih Shireen tetapi

Edwald tetap ingin di sini.

Shireen akhirnya pasrah pergi lebih dahulu ke lantai atas meninggalkan Edwald yang masih

memunggungi tuan Walter.

Wajahnya seketika berubah dingin. dia meneggaskan pandangannya tak lagi menahan seperti
semula.

"Pantas perusahaanmu bisa bangkrut. Nyatanya kau bekerja begitu buruk."

Mendengar itu seringaian Edwald tertarik sinis. Kedua tangan beralih masuk kedalam saku

celana tak menyembunyikan keangkuhannya.

"Sungguh kau berpikir seperti itu, hm?" tanya dwald berbalik.

Seketika Tuan Walter terkejut melihat wajah penuh kejahatan Edwald yang sangat berbeda dari

yang tadi.

"K--kau.."

"Apa kau pikir aku benar-benar bangkrut?" tanya Edwald mendekat. Langkah lebarnya pelan

tetapi meraup jarak yang ada membuat tuan Walter mundur kebingungan.

"Yah. Kau tak punya apa pun."

"Kau yakin?" Edwald terus memojokan tuan Walter ke arah meja kaca di depan sofa

sampai pria itu tertahan di sana.

Wajah tuan Walter sudah pucat pasih bahkan nafasnya yang tadi memburu beralih sendat. Ntah

mengapa dia sangat takut dengan tatapan manik hijau elang ini dan hawa membunuh yang Edwald

sebarkan.

"K--kau-"

"Aku hanya MENIPUMU," bisik Edwald mengejutkan tuan Walter. Mata pria itu melebar dengan

mulut terbuka sangat syok.

"M--maksudmu?"

"Ayah mertuaku tersayang," lirih Edwald merapikan pakaian tuan Walter dengan

menepuk-nepuk pundak pria ini.

Setiap sentuhannya bagaikan pisau menukik tajam bahkan mampu memberi getaran hebat.

"K--kau-"
"Kau ingin tahu aku ke sini karena siapa, hm? tanya Edwald dengan sorot mata mengurung

tuan Walter dalam hawa intimidasinya. Keringat dingin muncul di kening pria ini pertanda dia

sangat terancam.

"S-U-MA!"

Deegg...

Bab 29 Jauhi Shireen

Tuan Walter langsung meneggang di tempat. Nama itu masih jelas membekas di ingatannya

bahkan nama itulah yang selama ini Walter hindari.

"Aku utusan Suma yang akan mengambil semua yang kau bawa. Dan perlu kau ketahui satu

hal," ucap Edwald lalu mendekatkan bibirnya ke telinga tua Walter yang sudah terpaku kosong.

"Aku juga yang membuat putrimu KRITIS!"

"K-KAU-"

Tiba-tiba saja tuan Walter mengalami sesak napas. dia kejang luruh ke lantai dengan dada terasa

sakit dan terasa sangat nyeri.

"A-ak-ku-"

Edwald hanya diam. dia tetap berdiri tegap menatap datar tuan Walter yang sudah seperti ikan di

daratan. dia mencengkram dadanya seraya memberontak cukup kuat sampai kepalanya

mengenai ujung meja kaca di dekatnya.

"Tenanglah di alam sana!" tekan Edwald beralih duduk di sofa yang tadi tuan Walter gunakan.

dia bertopang kaki angkuh tersenyum puas melihat tuan Walter mengalami anfal.

Yah, tuan Walter memang menderita sakit jantung dan semua orang juga tahu itu. Hanya saja,

kedatangan Edwald makin memperparah penyakitnya.


"T..to..lo.. ng!!" gagapnya sudah tak sanggup dengan tangan berusaha terangkat meminta

pertolongan pada Edwald yang justru tak menggubrisnya.

Edwald tak peduli. Seperti biasa dia tak punya empati atau bermain-main dengan ucapannya.

"Apa kau ingin mati dengan sangat tenang, hm?" tanya Edwald tersenyum licik. dia mengangkat

tuan Walter yang sudah kejang-kejang dan memukul-mukul dadanya yang sakit ke atas sofa

panjang ini.

"K-kau- j-ja-hui--Shi-reen, Uhuukk!!"

Mendengar itu kesabaran Edwald tak lagi bisa bertahan. dia mengarahkan kedua tangan tuan

Walter ke lehernya sendiri lalu tersenyum iblis.

"Sampai jumpa di neraka!" bisik Edwald lalu mencekik tuan Walter dengan tangan pria itu

sendiri. Kaki tuan Walter menerjang dengan mata terbelalak dan cukup melakukan perlawanan.

tetapi, Edwald menyentak lehernya kuat hingga dalam sekejap tuan Walter mengejang dengan

mata terbuka lebar.

Nafasnya berhenti. Kedua kakinya tergeletak begitu saja bahkan detakan jantungnya sudah tak

terdengar.

"Ini penghormatan langsung dariku, ayah mertua!" Edwald mengusap wajah Tuan Walter

yang seketika terpejam. Edwald meletakan kedua tangan pria malang itu di atas dadanya

dengan kedua kaki lurus seperti sedang tidur.

Setelah menyelesaikan ini Edwald bangkit. dia harus pergi bertemu Cooper untuk segera

mengambil alih perusahaan Harmon. Malam ini akan dia pastikan keluarga ini akan hancur.

"Aku pergi. Tunggulah kabar istrimu," gumam Edwald melangkah tegas keluar dari kediaman.

dia harus mengurus nyonya Colins dan akan dia pastikan wanita itu menyusul suaminya.

Setelah beberapa lama kepergian Edwald, Shireen turun dari tangga. Sepertinya wanita itu baru
selesai mandi terbukti dengan gaun tidur dilapisi cardigan dan rambutnya masih basah.

Dahinya mengernyit melihat tuan Walter tidur di sofa sedangkan Edwald sudah tak ada.

"Edwald!!" Panggil Shireen menuruni anak tangga. dia memeggang ponsel hingga segera

menghubungi Edwald.

Belum sempat suara operator menjawab, satu pesan masuk datang dari Edwald.

AKU TAK SEMPAT BICARA DENGAN DADDYMU, SHI!

ADA PANGGILAN DI TEMPAT KERJAKU.

"Jelas-jelas kau tak bekerja di sana, Ed!" Shireen tak lagi membendung rasa

gelisahnya. Apalagi dia masih terganggu dengan wanita tadi siang.

"Jangan-jangan dia pergi ke resto Bullgart. Yah, tempat itu."

Shireen bergegas pergi keluar kediaman. dia lupa jika sekarang dia hanya memakai gaun tidur

dengan cardigan yang untung saja menutupi sampai kelutut dan menjaga pemandangan indah

itu.

Shireen masuk ke mobil dan segera melajukan baja mewah itu melewati penjaga gerbang yang

membiarkan kepergian Shireen.

Bab 30 Keterkejutan Shireen

"Aku harap duggaanku salah, Ed! Kau bukan pria seperti itu," gumam Shireen terus

meyakinkan dirinya,

dia memacu agak cepat seraya mencari daerah resto itu dengan ponselnya. Hanya perlu 30

menit Shireen sampai ke wilayah resto itu dan tak ada yang mencurigakan sama sekali.

Shireen memarkirkan mobil di luar area resto yang seperti biasa ramai. Tempat khas Italia ini

tergolong mewah dan nyaman.

"Aku harus menutupi wajahku," Shireen memakai masker.


dia keluar dari mobil dan mulai masuk ke dalam resto di mana banyak pengunjung di sini.

Beberapa orang menatap Shireen dengan aneh karena memakai cardigan tidur tetapi tak

dimungkiri betis mulus itu sangat menggoda.

"Dia tak ada di sini," gumam Shireen tak melihat Edwald, dia risih dengan pandangan para lelaki

yang kebanyakan sudah memiliki pasangan tetapi mereka masih menatap penuh minat pada

Shireen yang terus menelisik masuk.

"Ada yang perlu kami bantu, nona?" tanya Waitress mendekati Shireen.

"A--apa di sini tak ada ruang privat?"

Pelayan itu diam sejenak, dia berpikir maksud Shireen adalah bar atau klub yang tersembunyi

di sini.

"Ikuti saya, nona!"

"Yah," Shireen mengikuti wanita ini. dia masih memakai sandal kamar mandi berbulu

menjadi bahan perhatian beberapa orang yang melihatnya.

Shireen acuh tetapi dia sungguh tak menyangka saat pelayan ini membawanya masuk ke sebuah

pintu yang menunjukkan suasana bar besar dengan banyak wanita dan lelaki sedang bercumbu

di sini.

"Silakan, Nona!"

Shireen menelan ludah kasar, dia sangat jijik masuk ke sini tetapi dia ingin tahu apa Edwald ke sini

atau tidak.

Tak mau membuang-buang waktu lagi Shireen masuk ke dalam. Saat kakinya menginjak lantai

bar tiba-tiba saja tatapan para pria di sini langsung terkunci pada Shireen.

Suara musik masih mendentum tetapi mereka seakan menemukan ikan emas yang tersesat di

lumpur.

"Siapa dia?"

"Sangat cantik. Kakinya indah!"


Decah mereka sampai membuat Shireen tak nyaman. dia merapatkan cardigannya menatap jijik

pada setiap pria berbagai bentuk di sini.

Tak bisa menahan ketidaknyamanan ini lagi akhirnya Shireen ingin pergi. tetapi, matanya tak

sengaja melihat ke arah meja bar di mana seseorang yang familier dengan jaket yang sama

tengah duduk berhadapan dengan seorang pria lebih oendek darinya.

"E..Edwald?" Shireen terkejut. Edwald terlihat berbeda dari apa yang dia lihat selama ini.

Pria itu minum dengan wajah menyimpan kemisteriusan.

Bukan itu saja. Yang makin membuat Shireen nyaris tumbang adalah kedatangan seorang

wanita berpakaian minim mendekati Edwald dan duduk di paha pria itu.

"I--ini-"

Mata Shireen berkaca-kaca dengan tubuh terasa lemas dan tak lagi bertulang. Kedua

tangannya mengepal saat wanita itu ingin mencium Edwald yang tak menghindar sama sekali.

"Sialaan!!!" geram Shireen mendekati meja bar itu. Tak bisa membendung rasa sakitnya lagi

Shireen menarik rambut Kimmy yang seketika syok begitu juga dengan Edwald dan Cooper.

"Wanita ja**lang!!" maki Shireen menarik rambut Kimmy kuat dan menampar wanita itu keras

sampai tubuh Kimmy tersungkur di lantai.

Suasana seketika mendingin dengan Edwald yang mematung seakan tak percaya jika Shireen

di sini dan melihat segalanya.

Cooper yang biasa berwajah konyol sekarang tiba-tiba pucat pasih dan berkeringat melihat

Shireen tiba-tiba datang. Lalu bagaimana dengan Edwald?

Pria itu jangan ditanya lagi. dia diam membeku di tempat dengan jantung berdegup sangat

kencang bahkan Edwald tak pernah merasakan kekhawatiran sekuat ini.


Bab 31 AKU MEMBENCIMU

Masih di tempat yang sama. Shireen tak bisa mengendalikan dirinya sendiri bahkan dia merasa

tubuhnya akan meledak di hantam amarah, sakit dan kekecewaan.

Matanya seakan menelan Kimmy yang berdiri dengan keadaan rambut berantakan dan pakaian

ketat makin menyedihkan.

"Apa-apaan? Kau haa??" hardik Kimmy tak terima. Mereka jadi tontonan semua orang di bar ini

sampai Cooper mengarahkan mereka keluar agar tak makin rumit.

"Beraninya kau menarik rambutku!!!"

"Aku bahkan ingin mencabik wajahmu!!" Shireen mencakar pipi Kimmy yang seketika

terpekik keras. dia mulai tak tinggal diam ingin menampar Shireen yang ntah dikuasai roh jahat

mana dia menangkap lengan Kimmy lalu mendorong wanita itu kembali tersungkur ke lantai.

Dada Shireen naik turun menahan emosi. Air matanya selalu mengalir dengan kedua tangan

terkepal.

"Kau siapa? Wajahmu di tutupi seperti wanita buruk rupaa!!" makian Kimmy seraya memegangi

pipinya yang berdarah.

"Aku buruk rupa," Hm?" desis Shireen segera melepas maskernya. Sontak dia terkejut saat

menyadari jika wajah cantik sembap Shireen adalah visual memesona yang dia lihat di resto

tadi.

Edwald hanya diam. Lidahnya keluh menatap wajah penuh luka Shireen bahkan manik hitam

indah itu mengigil merah.


"Kau bahkan wanita paling buruk yang pernah aku temui!" desis Shireen benar-benar penuh

dengan kebencian.

Bukannya merasa malu, Kimmy justru tertawa keras berdiri dengan keadaan menyedihkan. dia

menatap rendah Shireen bahkan nyaris mengasihaninya.

"Kau sangat percaya diri. Aku begitu kasihan pada wanita yang menyedihkan sepertimu,

Shireen! Kau sangat memprihatinkan."

"Oh yah? Apa seperti itu?" tanya Shireen beralih menatap Edwald yang seketika merasakan

sakit di dadanya.

Mata yang biasa teduh dan lembut sekarang diselubungi kekecewaan. Air matanya terus keluar

mengaliri pipi mulus itu untuk kesekian kalinya.

"Mengapa diam? K--kau tak ingin menjelaskan apa pun, Hm?" tanya Shireen dengan suara

bergetar.

Sedetik kemudian dia tersenyum nanar dengan bibir bergetar Shireen meremas dadanya sendiri.

dia benar-benar terlihat kacau dan hancur sampai di kepalanya sekarang semuanya buyar.

"M-mengapa?" lirih Shireen bersitatap dalam dengan Edwald yang segera membuang

pandangan ke arah lain. Kedua tangannya mengepal menahan gejolak perasaan di dadanya.

"Mengapa KAU MELAKUKAN INI?? APA SALAHKU, HAA?? APAA??" teriak Shireen dengan

tangis yang pecah.

Kakinya tak kuat menopang tubuhnya lagi hingga Shireen terduduk di lantai masih meremas

dadanya yang terasa sangat sakit.

Seketika ruangan ini menjadi pilu akan tangisan Shireen yang benar-benar seperti kehilangan

nyawanya.

"K..kau.. Kau mengapa? Hiks. Kau mengapa?" lirih Shireen seperti masih tak percaya jika ini
terjadi. Ketakutan terbesarnya semenjak tadi siang terbukti dan itu sangat menyakitinya.

Melihat Edwald yang membisu tak mau memandang Shireen yang tengah menderita karena

perbuatannya seketika memantik niat jahat Kimmy.

"Sayang! Kau tak ingin menjelaskan tentang misi balas dendam mu, hm?"

"Kimmy!!" geram Cooper yang melihat arah pintu. Cooper tahu ini akan terjadi tetapi melihat

Edwald yang seperti menahan sesuatu dan menghindari pandangan Shireen, dia jadi tak mau

memperburuk.

"Edwald sama sekali tak mencintaimu, Shireen!! Dia menikahimu karena ingin menghancurkan

keluargamu!!"

"Ikut aku!!" Cooper beralih menyeret Kimmy untuk pergi dari ruangan ini.

Kimmy memberontak meneriaki Shireen yang terpaku kosong mendengar semua kalimat yang

di lontarkan wanita itu.

"Dia juga yang sudah membuat adikmu hampir mati!!"

Seketika Shireen bertambah syok. Suara Kimmy sudah tak terdengar tetapi makna ucapan

wanita itu sampai ke benak Shireen yang beralih menatap Edwald.

"K-kau-"

"Itu benar!"

Duaarr..

Jantung Shireen hampir saja meledak bahkan matanya melebar terkejut. T..tidak, tidak mungkin

Freya..

"Kau yang me-merencanakan i-itu?"

"Hm. Aku yang melakukannya!" tegas Edwald tetapi tak menatap Shireen yang mengepal

dengan mulut terkatup rapat segera berdiri dan menarik kerah jaket Edwald kuat.

"AKU SUDAH PERCAYA kepadamu!! Mengapa KAU LAKUKAN INI, HAA?? MENGAPAA? HIKS."

"Kau yang terlalu na'if," jawab Edwald dan itu langsung membongkem dada Shireen yang
seketika melepas cengkramannya ke jaket Edwald.

"K-kau-"

"Kau wanita yang haus akan cinta dan kasih sayang. Kau sendiri yang membuatku mudah

menghancurkan keluargamu," desis Edwald bengis menatap tajam Shireen yang benar-benar

merasa hancur dengan kalimat itu.

A-apa dia masih orang yang sama? A-apa ini masih suamiku?

Batin Shireen menatap lekat wajah tampan dingin Edwald seakan memastikan apa ini suaminya

atau bukan. tetapi, makin Shireen memandangnya rasa sakit itu naik menjadi-jadi.

"Lihat dirimu, Shireen!" sarkas Edwald masih tetap begitu kejam menjatuhkan luka yang

makin besar untuk Shireen.

"Aku sama sekali tak serius dengan pernikahan ini. tetapi, kau seperti wanita yang haus akan

laki- la-"

Plaakkk..

Tamparan keras yang dilayangkan Shireen sampai wajah Edwald tertolak kuat ke arah

samping. Pipinya panas dan merah tetapi tak sebanding perihnya hati Shireen yang merasa

sangat jijik dengan kalimat yang di lontarkan Edwald.

"Kau menunjukkan sifat kasarmu, hm?" Edwald mengusap sudut bibirnya yang berdarah

dengan jempolnya.

Seakan belum puas dengan satu tamparan. Shireen lagi-lagi melakukan hal yang sama dengan

air mata selalu keluar dan mata penuh dengan luka dan kekecewaan.

"Aku- Aku MEMBENCIMUUU!!!" teriak Shireen memukul-mukul dada Edwald bahkan wajah

pria itu sudah merah membekas jari lentiknya

Untuk sesaat Edwald diam tak menghindari hal itu. tetapi, saat melihat Shireen sudah pucat dan

kacau dia segera menahan kedua lengan wanita malang ini kebelakang tubuhnya sendiri lalu
mengunci pergerakan Shireen agar tak melukai dirinya sendiri.

"Aku membencimuu!!! Hiks, aku membencimu!!" isak Shireen terus berteriak memberontak tetapi

Edwald tak melepaskannya.

Wajah pria itu berpangku ke bahu Shireen yang sudah sangat lemah bahkan dia tak ada tenaga

untuk berdiri dengan benar.

"Aku tak peduli dengan kebencian-mu, Sayang!" bisik Edwald tetapi sudah tak lagi indah di

telinga Shireen.

Suara itu lebih seperti pedang yang menusuk ulu hati Shireen yang seperti di sampah selama

ini.

"Terima kasih untuk tubuhmu. Aku menyukainya," imbuh Edwald tanpa rasa bersalah

mendorong Shireen kembali jatuh ke lantai.

dia seperti mencampakkan pakaian yang selama ini sudah melindungi tubuhnya tetapi sekarang

sudah tak berguna lagi.

Mata Shireen menggigil menatap kecewa, marah dan menahan luka bercampur dengan cinta

yang sudah hangus seperti abu di matanya.

"Kau tak perlu mencintaiku. Aku sama sekali tak membutuhkanmu, ISTRIKU!" gumam Edwald

berjalan pergi meninggalkan Shireen yang sudah dia hancurkan sehancur-hancurnya.

Mata sembap Shireen menatap kepergian Edwald dengan perasaan yang sudah tak hancur tak

berbentuk.

"I--istri? A-aku istrimu-"

Shireen tertawa kecil membayangkan kata itu. Tatapannya beralih ke jari manisnya di mana ada

cincin pernikahan yang selalu dia pakai ke mana pun.

Bibir Shireen bergetar dengan isakan mulai tak bisa dia tahan.
"AKU BUKAN ISTRIMUU!!" teriak Shireen melepas cincin itu dan melemparnya ke arah

kepergian Edwald yang nyatanya masih ada di depan pintu,

dia menatap datar benda kecil bulat yang terlempar keluar beriringan dengan kehancuran

hubungan palsu ini.

Shireen menangis di dalam sana sedangkan dia tersandar ke dinding depan bar. Tak ada wajah

sendu atau menyesal dari wajah datar Edwald yang seperti batu dan tak punya hati.

tetapi, Cooper yang berdiri tak jauh dari Edwald hanya bisa diam, dia tak menyangka jika suasana

ini akan sangat berbeda.

Dia kira tangisan Shireen adalah sebuah bukti kemenangan tetapi, hatinya cukup tergores oleh

kehancuran wanita ini.

Steen tak membunuhmu. Biasanya dia selalu menghabisi segalanya tanpa sisa.

Anda mungkin juga menyukai