Anda di halaman 1dari 154

Azakiel 01

Hujan lebat terdengar bersamaan dengan gemuruh yang


menggelegar. Angin pun bertiup kencang, hingga kaca
jendela berdecit, sebelum akhirnya membuka. “Adelia…
Adel! Tolong, buka pintunya, Nak!” Terdengar suara
ayahnya dari luar.
Adelia tetap menyembunyikan wajahnya, lalu
menangis terisak. Ia benar-benar tidak terima dengan
keputusan ayahnya yang ingin menikahkannya dengan
pria bajingan. Untuk itu, selama tiga hari ini, Adelia
mengurung diri di kamar. Ia mengira ayahnya akan
merubah keputusan itu, tapi pagi tadi, pelayan membawa
info bahwa ayahnya menerima lamaran itu tanpa
mempertimbangkan penolakan Adelia.
“Sayang…” Suara Duke Zeroes kembali
terdengar. Pria itu kini membuka pintu kamar dengan
kunci cadangan. “Maafkan Ayah. Kau tahu sendiri,
Ayah tidak bisa menolak permintaan Yang Mulia Ratu.”
Adelia menggeleng. “Adel tahu Ratu Julian
orang yang baik. Jika Ayah menolak, Yang Mulia tidak

1
akan mengambil tindakan apa-apa. Beliau tidak
memaksa, Ayah. Kita bisa menolaknya.”
Duke Zeroes mengusap rambut anaknya itu,
“Adel, dengar… Ini pertama kalinya Yang Mulia Ratu
meminta sesuatu pada kita. Bagaimana bisa Ayah
menolaknya?”
Adel mengusap air matanya, “Apa Ayah tidak
kasihan padaku? Dia pria bajingan, Ayah!”
“ADEL!”
“Apa? Memang benar dia bajingan! Kita semua
tahu dia membantai keluarganya sendiri, lalu menjadi
Duke. Ayah tega menikahkanku dengan pria seperti
itu?” Adelia kini menatap ayahnya dengan marah, “Dia
berbeda dengan Ratu Julian. Aku tidak akan sudi
menikahi pria—“
Plak!
Sebuah tamparan melayang ke pipi Adelia,
membuatnya terdiam sebentar. “Sekarang Ayah
menamparku?” Adelia menatap Duke Zeroes nanar,
“Belum cukup menjualku ke Duke bajingan itu,
sekarang Ayah menamparku?” teriaknya.
“Adel, bukan begitu. Maksud Ayah—“

2
“KELUAR!” Adelia berteriak, sembari
melempar bantal dan barang-barang di meja. Bibi
pengasuh yang menjaganya langsung berusaha
menenangkan Adelia, tapi gadis itu tetap mengamuk dan
berteriak histeris.
“Tuan, sebaiknya Anda keluar,” ujar bibi
pengasuh, sebelum Duke terluka.
Duke Zeroes hanya menghela nafas, “Keputusan
Ayah tidak berubah,” ujarnya, sebelum menutup pintu
dengan rapat.
“Hiks… Bibi!” Kini Adelia yang ditinggalkan
berdua memeluk bibi pengasuh dengan erat. “Aku lebih
baik mati, daripada menikahi pria itu,” isaknya.
Ella menepuk-menepuk sosok gadis yang sudah
ia rawat dari kecil. “Iya, Bibi mengerti,” ujarnya.
Adelia Vione Pollin, seorang Lady bangsawan
yang diagung-agungkan. Wajahnya cantik dengan mata
biru dan rambut segelap malam. Sejak dilahirkan, ia
sudah mendapatkan segalanya. Kaya, bermartabat,
punya banyak teman. Kehidupan selalu berpusat pada
Adelia, sehingga ia sangat manja dan sulit
mengendalikan amarah. Jika tidak suka, maka Adelia

3
akan mengatakannya dengan terang-terangan. Seperti
sekarang, tidak peduli jika itu Yang Mulia Ratu yang
meminta, Adelia tidak berubah pikiran.
“Nona… Apa Anda tidak pernah mendengar
rumor kalau Yang Mulia Ratu sangat menyayangi
adiknya?”
Adelia mendongak.
“Dulu, Yang Mulia Ratu pernah pergi ke wilayah
selatan, meninggalkan Raja. Semuanya demi Duke
Azakiel.” Ella merapikan rambut nonanya itu. “Anda
tahu sendiri‟kan, memperoleh kepercayaan Yang Mulia
Ratu sangat sulit? Jika Yang Mulia Duke seburuk itu,
tidak mungkin dia dipercaya untuk memimpin wilayah
selatan. Tidak mungkin juga Yang Mulia Ratu
memilihkan Tuan Azakiel pasangan sebaik Anda.”
Adelia merenggut, “Tapi, Bi… Dia itu
pembunuh. Kata orang-orang wajahnya juga jelek! Aku
tidak bisa menikah dengan pria jelek.” Adelia
menenggelamkan tubuhnya di pelukan pengasuhnya itu.
Ella hanya bisa meringis. Karena wilayah selatan
Vien sangat jauh, maka Yang Mulia Duke tidak pernah
menginjakkan kakinya ke wilayah lain. Untuk itu,

4
sampai sekarang tidak ada yang tahu seperti apa
wajahnya.
“Tapi, Nona… Bisa saja calon suami Anda mirip
dengan Ratu Julian. Beliau kan adiknya.”
“Mereka beda ibu,” bantah Adelia. “Bagaimana
jika seperti babi? Mendiang Duke Hugoth pernah dilukis
dengan Ayah. Wajahnya seperti babi.”
“Ssssttt… Nona!” Ella langsung meraih pundak
nonanya itu. “Tidak boleh menghina wajah orang lain.”
“Ck! Bibi tidak mengerti,” Adelia merengek,
“Apa Bibi rela aku hidup di wilayah selatan? Di sana
katanya hanya ada hutan, tidak ada tempat belanja. Dan
juga… dia pria miskin. Aku tidak bisa hidup miskin,
Bi.”
“Nona, tenanglah… Anda menikahi seorang
Duke penguasa wilayah besar. Bukan gelandangan.”
“Tapi, tetap saja wilayahnya jauh dari kata
makmur.”
Ella menghela nafas berat, “Nona… Apa Anda
ingat dulu Delion pernah jatuh? Sewaktu wabah besar,
kita kehilangan banyak penduduk, ekonomi hancur dan
ketakutan masyarakat masih menyelubungi Delion. Jika

5
tidak disokong oleh istana, mungkin sekarang Delion
masih terpuruk. Itu kenapa Ayah Anda tidak bisa
menolak permintaan Yang Mulia Ratu. Beliau telah
banyak membantu Delion sampai memperoleh kembali
masa kejayaan.”
Tangan Adelia meremas selimut dengan kuat.
“Tapi, tetap saja, bagaimana bisa Ayah menjual anaknya
sendiri? Aku takut dipukul…” Adelia mendongak, “Bibi
tahu‟kan Adel seperti apa? Jika dia kesal, mungkin Adel
bisa dipukul, Bi…”
“Apa Bibi lupa dia pembunuh?” keluh Adelia.
Air matanya jatuh lagi. “Dari sekian banyak pria yang
melamar, kenapa Ayah memilih orang itu?”
Tidak terhitung sudah berapa lamaran yang
datang pada Adelia, ketika ia menginjak usia dewasa. Ia
hanya perlu menunjuk pria yang mana dan Adelia akan
mendapatkannya. Untuk itu, selama ini Adelia tidak
pernah khawatir. Ia bisa menikah kapan saja, karena
kesempatannya sangat besar. Ia seorang primadona dan
hanya orang-orang pilihan yang bisa masuk kriteria
seorang Adelia Vione Pollin.

6
Namun, semua itu dipupuskan begitu saja ketika
ayahnya—Duke Zeroes mendatangi pesta dansa
kerajaan. Di sana, Ratu Julian meminta Adelia untuk
dijodohkan dengan Azakiel Elvein Pollin, adiknya yang
menjadi Duke di wilayah Vien.
Rumor tentang pria itu sudah tersebar di
kalangan bangsawan maupun rakyat biasa. Untuk
meraih posisi Duke, Azakiel membantai keluarganya
sendiri. Pria itu seharusnya tidak diterima di kalangan
penguasa wilayah. Namun, karena dukungan dari
kerajaan, sampai sekarang Azakiel masih tetap
memimpin Vien.
Setelahnya, tidak banyak kabar yang beredar
tentang pria itu. Dia benar-benar menjalani kehidupan
yang sangat tertutup. Bahkan wajahnya pun tidak
diketahui oleh orang lain.
“Pasti karena mirip babi. Aku yakin…”
“Nona, sudah Bibi bilang tidak boleh berkata
seperti itu.”
“Adel tidak suka, Bi…” Wanita itu kembali
mengerang. “Jika saja kemarin Adel menerima lamaran

7
orang lain, pasti sekarang tidak perlu terjebak dengan
Duke Vien.”
Ella hanya mengusap kepala gadis yang sudah ia
anggap sebagai anaknya sendiri. “Doa saya selalu
menyertai, Nona. Entah kenapa Bibi yakin ini keputusan
yang terbaik. Bibi juga berharap Duke wulayah Vien
orang yang baik. Setidaknya, memperlakukan Nona
dengan layak dan penuh kasih.”
Adelia memijat keningnya, tidak tahu lagi apa
yang harus ia lakukan. Dengan tidak keluar dari kamar
selama tiga hari pun, tidak meruntuhkan niatan ayahnya.
Pria itu terlihat sangat yakin dengan keputusan yang dia
ambil.

***

Dua minggu terlewati. Rumor tentang


perjodohan Adelia sudah menyebar luas di seluruh
penjuru Manuala. Banyak teman-temannya
menyayangkan keputusan Adelia, tapi ia tidak bisa
berbuat apa-apa. Pernikahan akan segera dilaksanakan
ketika Azakiel sampai di istana. Bahkan yang Mulia

8
Ratu sendiri yang akan mendampingi adiknya itu.
Adelia hanya bisa mengikuti alur yang disiapkan
untuknya.
Kereta kuda kini membawanya ke istana.
Katanya, Azakiel sudah sampai pagi tadi, sehingga
keberangkatan pun dipercepat. Tubuh Adelia lemas. Ia
tahu seseorang sepertinya tidak akan bisa lepas dari
pernikahan politik. Hanya saja, ini terlalu berlebihan.
Ada puluhan pasangan potensial untuknya, tapi kenapa
ia harus berakhir dengan Azakiel?
Adelia menoleh ke arah kaca jendela. Di depan,
ayahnya memacu kuda dengan cepat, sedangkan ia
hanya sendirian di kereta. Mereka sedang perang dingin
gara-gara masalah ini. Karena wilayah Delion ada di
timur, membutuhkan waktu enam hari untuk sampai di
istana. Selama itu, Adelia sama sekali tidak berbicara.
“Nona, Tuan Duke meminta Anda
membersihkan diri. Sebentar lagi kita sampai. Ini sudah
di penghujung perbatasan wilayah Sireya,” ujar salah
satu pengawal ayahnya.
Mereka berhenti di sebuah penginapan kecil.
Adelia mengedarkan pandangannya, lalu turun dari

9
kereta. Seluruh tubuhnya pegal dan ia merasa sangat
kotor, karena perjalanan terus-menerus.
“Silakan masuk, Lady.” Seorang pelayan dari
penginapan pun langsung menyambutnya untuk
membantu membersihkan diri. Ia pun menurut.
Sampai di tempat pemandian, Adelia keramas,
luluran dan didandani dengan sangat cantik. Gaun merah
melekat sempurna di tubuhnya, begitu juga dengan
perhiasan yang sangat gemerlap. Ia menatap pantulan
wajahnya di cermin. Bibirnya penuh, lembab, sedangkan
matanya terlihat seperti kucing. Banyak orang
memujinya, begitu juga dengan pelayan yang ada di
penginapan ini. Wajahnya dikatakan seperti kecantikan
seorang dewi.
“Betapa beruntungnya orang yang menikahi
Anda,” ujar mereka.
Adelia hanya diam. Jika orang itu beruntung,
bagaimana dengan Adelia? Ia juga menginginkan laki-
laki tampan yang bermartabat. Bukan seorang monster
pembunuh.
“Ayo, cepat masuk. Semua orang sudah
menunggu.” Duke Zeroes membuka pintu kamar.

10
Adelia semakin cemberut. Ia jalan lebih dulu.
“Sayang…” Suara Duke bergumam lirih.
“Percaya pada Ayah, Tuan Duke Azakiel tidak seburuk
itu. Dia juga masih muda, tidak seperti yang kau
pikirkan.”
“Aku tidak mau bicara.”
“Kalian hanya beda 3 tahun. Duke Azakiel baru
berusia 23 tahun.”
“Bagaimana jika wajahnya tua? Ayah juga
belum pernah melihat wajahnya‟kan?” Adelia membalik
tubuhnya, “Jika sampai di istana kita melihat sosok laki-
laki urakkan, bertubuh gempal, pendek, jelek… Ayah
masih berpikir menikahkanku dengannya?”
“Adelia…”
“Jawab aku!”
Zeroes menghela nafas, “Maaf, keputusan Ayah
sudah bulat. Ayah percaya dengan pilihan Yang Mulia
Ratu.”
Adelia benar-benar tidak habis pikir. Pria itu
memperlakukan Yang Mulia Ratu lebih penting dari
apapun. “Adel menyesal pernah bangga dengan Ayah.”
“Adelia…”

11
Suara panggilan Zeroes tidak ia dengarkan.
Adelia langsung masuk ke kereta, lalu mengunci pintu
rapat-rapat. Pria itu bahkan menamparnya untuk pertama
kali dan itu membuat Adelia kesal.
Sampai di istana, hari sudah malam. Mereka
disambut oleh beberapa orang. Adelia dapat melihat
sosok tinggi yang duduk di singasana. Orang itu, Raja
dari negeri ini, Jeffrey Narenth Felipe. Adelia cukup
tahu diri. Ia tidak mengharapkan calon suami seperti
Yang Mulia Raja Jef—mengingat pria itu terlalu
sempurna untuk diraih. Dia tampan, pintar, suami yang
baik. Bahkan karena tidak ingin Ratu meninggalkannya
dalam waktu yang lama, Raja Jef merancang sebuah
teknologi baru dari kereta kuda. Namanya Mouju.
Kereta itu memakai mesin dan hanya ada satu di
Manuala. Sampai sekarang, Raja Jef belum berpikir
untuk memperbanyak teknologi itu, meskipun
permintaannya sangat besar. Adelia sangat iri. Kenapa
pria seperti itu tidak ada sepuluh saja?
“Yang Mulia… perkenalkan, ini Putri saya,
Adelia Vione Pollin.”

12
Adelia membungkuk, “Hormat saya, Yang
Mulia.”
“Senang bertemu denganmu. Kami sudah
mempersiapkan kamar. Istirahatlah dengan nyaman.”
Tidak ada nada keramahan, tapi justru itu membuat
Adelia meleleh. Seseorang yang hanya ramah pada
istrinya. Bukankah itu sangat manis?
“Terima kasih, Yang Mulia.” Ayahnya
membungkuk, begitu juga dengan Adelia. Sebelum
mengikuti pelayan, Adelia mengedarkan pandangannya.
Sosok Duke Azakiel tidak terlihat, membuatnya semakin
penasaran dengan wajah pria itu.
“Adel, Ayah mohon, kendalikan dirimu. Jangan
sampai menyinggung keluarga kerajaan.”
Adelia diam. Mereka sampai di Istana Rosem—
tempat dimana tamu menginap ketika berkunjung di
istana.
“Apa kau mendengar Ayah?” ujar Duke Zeroes
lagi.
Adelia mengangguk. Ia pun sampai di kamarnya.
“Ayah sayang padamu,” ujar Duke. “Maaf, soal tempi
hari.”

13
Adelia menggigit bibirnya, lalu menutup pintu
kamar. Jika sayang… kenapa Ayah tidak mau
mendengarkannya?
Jika menikah dengan orang itu, ia harus pergi ke
wilayah selatan. Itu saja sudah mimpi buruk untuknya.

***

Azakiel Elvein Pollin menatap sosok perempuan


bergaun merah yang melangkah didampingi ayahnya.
Dari balkon, ia memandang perempuan itu. Raut
wajahnya jelas menunjukkan dia terpaksa menerima
perjodohan ini.
“Batalkan saja. Saya juga tidak
menginginkannya.”
“Azakiel…” Julian meraih pundak adiknya itu.
“Sampai kapan kau ingin sendiri? Kakak tidak bisa
bersamamu di Selatan. Tolong, kali ini saja… dengarkan
kakakmu.”
“Yang Mulia… Menikah bukan hal yang sepele.
Kami bahkan tidak saling kenal.”
“Dulu, aku dan Jeffrey pun tidak saling kenal.”

14
“Ini situasi yang berbeda.” Azakiel menatap
kakaknya lekat-lekat, “Seseorang yang seperti itu tidak
bisa hidup di Selatan.”
Julian menggeleng, “Vien sudah jauh lebih baik.
Apa kau masih tidak percaya diri? Sejauh ini, kau sudah
melakukannya dengan baik.”
“Yang Mulia…”
Ratu Julian menepuk pundak adiknya itu.
“Kakak ingin yang terbaik untukmu. Kau harus mulai
membuka diri, Kiel… Jangan hanya diam di Selatan.
Ingat, pergaulan kelas atas sangat penting. Itu kenapa
kakak memilih Lady wilayah Delion.”
“Jika kau menikah dengan Adelia, pelabuhan
akan cepat dibuka. Kau bisa memperkuat bisnis
perdagangan. Ini akan sangat bagus untukmu.” Julian
pun tersenyum, “Ingat besok pagi kau harus menyambut
tunanganmu. Kita harus menentukan tanggal
secepatnya.”
Azakiel tidak menjawab. Ia menatap ke bawah.
Terlihat wanita itu sudah memasuki Istana Rosem.
“Seseorang sepertiku apa pantas mendapatkannya?”

15
Julian mengangguk, “Tentu saja. Kau seorang
Duke, seorang bangsawan Pollin. Kau lebih dari pantas.”
Azakiel menyandarkan tubuhnya, lalu menatap
kakaknya itu. Sudah 7 tahun ia menjabat sebagai Duke
dan ini kedua kalinya Ratu Julian menawarkannya
pernikahan. Yang pertama, Azakiel bisa menolak,
karena ia masih terlalu muda. Tapi, sekarang… umurnya
sudah cukup dan mau tidak mau, ia harus menikah.
Hanya saja… dengan seseorang seperti Adelia
Vione Pollin, rasanya tidak adil bagi wanita itu.
Pernikahan politik ini hanya menguntungkan wilayah
Vien.
„Bagaimana lagi, ini bagian dari nasibmu yang
buruk.‟ Azakiel berujar dalam hati, sembari menatap
wanita itu yang kini menghilang dalam pandangannya.

16
Azakiel 02

Keesokan paginya, Adelia demam. Seluruh tubuhnya


sakit, karena perjalanan jauh tempo hari, membuatnya
sangat kelelahan. Dokter yang datang ke kamarnya
meminta Adelia untuk istirahat, sehingga ia tidak bisa
menghadiri pertemuan pagi ini. Ia hanya duduk di
kamar, ditemani oleh seorang perawat wanita.
“Apa Nona sedih?” tanyanya.
Adelia menggeleng. Tidak ada gunanya juga dia
sedih. Pernikahan sudah diatur. Dua hari lagi akan
diadakan pesta pertunangan yang mengikat status
keduanya. Lalu, dilanjutkan dengan pemberkatan
pernikahan. Setelah pemberkatan selesai, Azakiel akan
membawanya ke wilayah Selatan, Vien, dengan status
sebagai seorang Duchess. Semuanya sangat cepat,
seolah ia tidak diberikan waktu untuk berpikir.
Tok… tok… tok…
Suara pintu yang diketuk, membuat Adelia
menoleh. Perawat pun langsung ke depan dan membuka
pintu.

17
“Yang Mulia…” Perawat itu langsung
membungkuk, begitu juga dengan Adelia. Ia langsung
beranjak, tapi Ratu Julian menyuruhnya tetap berbaring.
“Istirahat saja, Lady. Saya tidak lama.”
Deg! Adelia merasakan raganya terhempas. Apa
Yang Mulia Ratu marah?
“Maafkan saya, karena tidak bisa menghadari
undangan Anda.” Adelia sedikit membungkuk.
“Tidak apa-apa. Kesehatanmu lebih penting.”
Yang Mulia Ratu pun langsung duduk di
samping Adelia. Tatapannya terkesan teduh dan lembut.
Tapi, aura yang ia pancarkan sangat tegas. Adelia
sampai tidak berani menatap wajahnya.
“Saya kemari untuk bertanya sesuatu.”
“Silakan, Yang Mulia.”
Ratu Julian memperbaiki posisi tangannya untuk
duduk dengan anggun. “Apa Anda memang bisa
menerima pernikahan ini? Mengingat Anda sampai
sakit, membuat saya khawatir. Apakah Duke Zeroes
memaksa putrinya? Meskipun besar harapan saya pada
Anda, tapi saya memaklumi jika Anda menolaknya hari
ini.”

18
Adelia menunduk. Jika ia menuruti egonya, ia
bisa menolak. Tapi, melihat Ratu yang bertanya,
layaknya orang yang tidak bisa berkutik, Adelia
mengangguk. “Saya bersedia, Ratu.” Apakah ini yang
dirasakan ayahnya?
“Saya sakit, karena kelelahan pasca perjalanan
panjang. Ini pertama kalinya saya berpergian sejauh ini.
Maafkan saya, karena tidak bisa menghadiri
pertemuan.”
Ratu Julian memandangnya, “Azakiel sangat
berharga bagi saya. Saya mohon maaf, karena keegoisan
saya, Anda harus berada di posisi yang sulit.”
Setidaknya Ratu tahu permintaannya
menyulitkan Adelia. Adelia mengangkat wajahnya,
tersenyum tipis. Bagaimana bisa ia marah pada Ratu dari
negeri ini? “Tidak apa-apa, Ratu.” Adelia menunduk.
“Saya akan mencobanya perlahan.”
“Terima kasih.” Ratu Julian sedikit beranjak dari
tempat duduknya. Bersamaan dengan itu, seorang
pelayan masuk sembari membawa beberapa hidangan.
“Anda harus cepat sehat. Saya sangat menyanjung
kedewasaan Anda dalam mengambil keputusan.”

19
“Terima kasih, Yang Mulia.”
Ratu Julian pun pergi, mengingat hari itu beliau
ada kunjungan ke tempat lain. Sebelum menyantap
hidangan itu, Adelia menoleh ke depan. Ternyata
ayahnya ada di luar. Mungkin, karena tahu Ratu
berkunjung, pria itu menyusul kemari. Nafasnya pun
masih terengah-engah. “Adel tidak bicara aneh-aneh.”
“Iya, Ayah tahu.” Duke Zaroes tersenyum.
Adelia cemberut. Ia pun menyuap makanan
pemberian Yang Mulia Ratu. “Itu masakan Yang
Mulia,” ujar pelayan yang menuangkannya air minum.
Adelia mengernyit. Benarkah? Ia pun menatap
sup dan beberapa tumisan daging. Ia seharusnya merasa
terhormat, karena seorang Ratu sampai memasak
untuknya. Azakiel Elvein Pollin, meskipun hanya
saudara satu ayah, rupanya pria itu sangat berharga
untuk Ratu Julian.

***

Hari pertunangan pun tiba. Adelia melakukan


perawatan sejak pagi-pagi buta, demi pesta pertunangan

20
yang akan diadakan sore hari. Hingga waktunya tiba, ia
masuk ke dalam aula ditemani oleh ayahnya. Karena
berada jauh dari kawasan Delion, tidak banyak orang
yang Adelia kenal. Jadi, ia hanya ikut menyapa orang-
orang yang mengenal ayahnya.
Pandangan Adelia pun berakhir ke seorang pria
yang ada di samping Yang Mulia Ratu. Perutnya
langsung mulas saat melihat pria itu. Tubuhnya gempal,
pendek dan botak. “Ya Tuhan…” Adelia memijat
keningnya. Tidak ia sangka ternyata calon suaminya
juga botak.
“Ayo, kita temui dulu calon suamimu,” ujar
ayahnya. Adelia langsung tercekat. Ia menatap sosok itu
sekali lagi. “Ayah… sebentar, perut Adel mulas.”
“Adel!”
“Nanti aku menyusul.” Adelia langsung melepas
tangan ayahnya, lalu keluar dari aula. Jantungnya
berdetak sangat kencang. Ia sudah mengumpulkan
keberaniannya untuk menghadapi situasi ini, tapi
rupanya ia masih tidak bisa mengatasinya.
Jika membatalkan perjodohan itu sekarang,
hubungan Delion dan kerajaan bisa renggang. “Matilah

21
aku.” Adelia menyandarkan tubuhnya pada pohon yang
ada di belakang aula. Ditatapnya kembali calon
suaminya dari luar. “Astaga, giginya emas!” Pria itu
memakai gigi palsu di depan, sehingga ketika tersenyum
gigi itu tampak mencolok.
Adelia semakin merinding. Ia berjalan ke arah
kursi yang ditaruh di taman, lalu kemudian duduk di
sana. Ia tidak berekspektasi tinggi tentang wajah.
Kemarin, ia masih bisa menerima calon suaminya tidak
terlalu tampan. Tapi ini… ini sungguh kelewatan. Apa
benar dia berusia 23 tahun? Kenapa seperti orang yang
sudah punya anak?
Adelia pun menepuk-nepuk jantungnya,
berusaha untuk menenangkan diri. Baik, nanti kalau
malam pertama, ia hanya perlu mematikan lentera.
Jangan sampai membiarkan bibirnya dicium, karena
Adelia tidak menyukai gigi itu. Ya, semuanya masih
bisa diatasi. Adelia pasti akan baik-baik saja.
Pikiran Adelia pun berkelana. Karena pernikahan
hanya sekali seumur hidup, maka nanti ia akan
melahirkan seorang anak dari pria itu. Bagaimana ya
caranya supaya anaknya mirip Adelia saja?

22
“Aku bisa gila…” Adelia meremas rambutnya
yang tergerai, lalu kemudian mendongak ketika melihat
sosok tinggi berdiri di depannya. “Lady…”
“Huh?” Adelia memantung. Karena gelap, ia
tidak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas.
“Acaranya akan dimulai. Ayah Anda telah
menunggu.”
Adelia mengangguk. Ternyata orang itu suruhan
ayahnya. Adelia pun akhirnya beranjak, lalu mengikuti
sosok itu. Ia hanya bisa melihat sekilas. Ketika masuk ke
aula, cahaya ruangan kini menyorot wajah mereka. Baru
saat itu Adelia bisa melihat wajah orang yang
menjemputnya.
Tidak ada senyum. Ekspresi pria itu terlihat
dingin. Rahangnya tegas dan caranya berjalan terlihat
seperti ia adalah seorang kesatria. Adelia mengerucutkan
bibirnya. Andai wajah pria yang ia nikahi 50% saja dari
orang ini, maka Adelia akan sangat bersyukur.
“Kau ke mana saja?” bisik Duke Zeroes.
Kini, mereka sudah ada di samping Yang Mulia
Ratu dan pria yang akan menjadi suaminya. Orang itu

23
tersenyum ramah ke arah Adelia. Ya, setidaknya dia
ramah—tidak begis ataupun seram.
“Maafkan Putri saya, Yang Mulia,” ujar Duke
Zeroes.
Adelia pun langsung berdiri di samping pria
yang akan menjadi calon suaminya. “Saya Adelia.”
“Hem, saya telah banyak mendengar tentang
Anda.” Pria itu tersenyum. Lagi-lagi, gigi emasnya
terlihat. Keringat dingin langsung melanda Adelia. Ia
harus membiasakan diri melihat wajah ini.
“Azakiel, ayo… gandeng calon istrimu. Kita
lakukan pertukaran cincin.” Suara Ratu Julian terdengar
tegas.
Adelia menatap tangan orang itu. Dia diam saja,
sehingga Adelia berinisiatif untuk menggengam
tangannya. Ya, Yang Mulia Ratu tidak boleh menyangka
kalau Adelia menghina keluarganya, karena tadi sempat
pergi ke luar.
“Lady?” Pria itu menatapnya, begitu juga
dengan yang lain.
“Huh?”

24
“Adel?” Duke Zeroes langsung melotot ke
arahnya. Ia yang bingung melepaskan tangan pria itu.
Karena kelakuan Adelia, Yang Mulia Ratu tertawa,
begitu juga dengan calon suaminya. “Maaf, tapi saya
bukan calon suami Anda.” Pria itu berujar, diikuti
dengan permohonan maaf ayahnya.
Karena sangat bingung, tanpa ia sadari,
tangannya digenggam oleh seseorang. Adelia
mendongak, menatap pria itu. “Saya Azakiel Elvein
Pollin, calon suami Anda.” Pria itu berujar dengan nada
datar. Adelia melotot. Orang itu yang tadi
menjemputnya di taman belakang.
Jadi, bukan pria bergigi emas itu yang namanya
Azakiel?
Adelia dengan cepat membungkuk, “Maafkan
saya.” Jantungnya terasa berhenti berdetak. Apa yang
telah ia lakukan?
“Ternyata putri Anda sangat menggemaskan,
Tuan Zeroes.” Ratu Julian berkata sembari mengusap
lengan suaminya.

25
“Dia belum mengenal calon suaminya, Yang
Mulia.” Ayahnya membungkuk ke arah Duke Azakiel.
“Maafkan kesalahan Adel, Tuan Duke.”
“Bukan sepenuhnya salah Adel.” Ratu Julian
tersenyum ke arah adiknya. “Itu kenapa kakak
menyuruhmu untuk datang ke pergaulan kelas atas. Kau
perlu bersosialisasi.”
Azakiel terlihat tidak nyaman. “Kita mulai
pestanya, Yang Mulia?”
Yang Mulia Ratu mengangguk, “Mulailah.”
Pria itu pun mengajaknya ke tempat peresmian.
Pikiran Adelia kosong. Ia bahkan tidak menatap wajah
itu, karena keterkejutan berlebih. Seharusnya sekarang
ia senang, mengingat wajah ini benar-benar di luar
ekspektasinya—ia tidak menyangka bentukannya akan
seperti ini. Tapi, karena terlampau kaget, Adelia lupa
mensyukurinya.
Sepanjang acara, Adelia sangat kikuk. Mereka
melakukan tukar cincin, lalu kemudian berdansa
sebanyak dua lagu. Sepanjang dansa, Adelia terus-
terusan menginjak kaki pria itu. Namun, wajah Azakiel
sama sekali tidak terlihat kesakitan.

26
„Ya Tuhan, apa dia tidak akan bicara?‟ Adelia
meminta maaf ketika menginjak kaki pria itu, akan
tetapi Duke Azakiel sama sekali tidak menanggapi.
Sampai akhirnya acara benar-benar selesai. Hari
sudah larut malam dan mereka berdua pun diberikan
kesempatan untuk berdua. Ayahnya menitipkan Adelia
ke Azakiel. Jadi, selepas dari aula, pria itu yang
mengantarkannya ke Istana Rosem.
“Tuan Duke… bukankah banyak yang harus kita
bahas?” Adelia berusaha memulai percakapan terlebih
dahulu.
“Ada yang Anda ingin ketahui tentang saya?”
Pria itu menoleh ke arahnya.
Adelia terdiam. Di kepalanya hanya ada
pertanyaan tentang betapa buruk kepribadian Duke
Azakiel. Apa benar dia membantai keluarganya sendiri?
Tapi, karena tahu itu tidak sopan, Adelia menahannya di
ujung lidah. “Tidak.”
“Pernikahan seperti apa yang ada dalam
bayangan Anda?” Kali ini Azakiel yang memulai.

27
“Tidak tahu.” Ya, Adelia belum pernah
membayangkan ia akan menikah di usia muda. “Kalau
Tuan Duke sendiri? Sudah ada bayangan?”
“Sudah.”
“Pernikahan yang seperti apa?”
“Hanya menikah, lalu selesai. Anda tidak perlu
menjalankan kewajiban sebagai istri jika tidak suka.”
“Maksudnya?” Adelia berhenti berjalan.
“Anda masih muda. Anda bebas melakukan
apapun yang Anda inginkan. Saya tidak mengekang
Anda, tidak meminta Anda menjalankan kewajiban
suami-istri. Bahkan untuk keturunan, saya tidak
memintanya jika Anda tidak ingin.”
Adelia terhenyak, “Apa pernikahan politik
memang seperti itu?” gumamnya.
“Saya menginginkan pernikahan yang seperti
itu,” ujar Azakiel, lalu kemudian jalan mendahuluinya.
Adelia yang ditinggalkan di belakang menatap
punggung itu dengan sorot marah. Apa maksudnya?
Kata-katanya jelas tidak menginginkan Adelia sebagai
seorang istri. Emosi yang Adelia tahan meluap.

28
“Tuan Duke!” Adelia berjalan kembali, “Apa
Anda tahu apa yang saya korbankan untuk ini?”
Pria itu diam.
“Masa muda, kastil Duke Delion, teman, uang,
martabat, harga diri. Saya menurunkan standar untuk
Anda. Tapi, bagaimana bisa Anda memperlakukan saya
seperti ini? Jelas-jelas Anda yang lebih diuntungkan
dalam pernikahan kita.”
Azakeil menyeringai, “Lalu, apa yang kau
inginkan? Pembatalan pertunangan?”
Adelia mengepalkan tangannya.
“Baik, saya akan memintanya ke Yang Mulia
Ratu.”
Dada Adelia bergemuruh. “Pembatalan
pertunangan setelah pesta? Anda bercanda?”
“Orang-orang akan tertawa di belakang.
Aaaah… Adelia? Wanita itu terlalu sombong, menolak
semua lamaran hanya untuk Duke Azakiel. Tapi, apa
yang dia dapat? Akhirnya dia dicampakkan!” Adelia
menunjuk dada pria itu sekali lagi. “Mereka akan
meragukan kualitas saya, alih-alaih kualitas Anda.”

29
“Lalu, apa yang kau inginkan? Pernikahan ini,
kau juga tidak menyukainya, Lady.”
“Saya bisa menahannya meski tidak suka.”
Adelia menatap pria itu, “Harga diri saya nomor satu,
Tuan Duke. Seperti yang Anda katakan, kita jalani hidup
masing-masing.”
Ya, mungkin itu menguntungkan Adelia. Ia
hanya perlu diam di kastil Vien sampai nafasnya
menghebus. Tidak perlu berpura-pura ramah pada
suaminya yang dirumorkan memiliki tempramen buruk.
Selama di sana, Adelia bisa berpesta dan melakukan
apapun yang ia inginkan.
“Ada harus pegang kata-kata Anda.”
“Tentu.” Pria itu melanjutkan kembali
langkahnya.
Adelia tidak percaya ada manusia bentukannya
seperti ini. Raut wajahnya sungguh tidak ramah. Nada
bicaranya datar dan tatapannya pun tidak enak dilihat.
Sejak dilahirkan sampai hari ini, semua pria sangat
ramah padanya. Mulai dari memelankan nada bicara
ataupun memasang ekspresi antusias, penuh kekaguman.

30
Tapi, pria ini… Apa wanita di selatan sangat cantik,
sampai dia berani menatapnya dengan raut seperti ini?
“Anda seharusnya sujud syukur, karena berhasil
menikahi wanita paling cantik di Delion.” Adelia
bersedekap dada, “Di sana, ada tidak yang secantik
saya?”
Alis Azakiel menyernyit.
“Tidak ada‟kan? Jujur saja, wanita paling cantik
yang Anda temui, itu saya‟kan?”
“Tidak juga.” Pria itu sedikit membungkuk,
“Istirahatlah, Lady. Kita sudah sampai. Wajah Anda
pucat.”
Adelia menoleh ke depan dan menemukan
mereka sudah di depan Istana Rozem. Tanpa
mengatakan apa-apa lagi, Duke Azakiel langsung
berbalik untuk pergi ke kamarnya. Adelia terperangah.
Ia menyisir rambutnya dengan jari tangan. Kekesalannya
sudah di ubun-ubun. Seharusnya ia yang bersikap
sombong seperti itu. “Arrgghhh… Aku tidak suka dia!”
Adelia menghentakkan kakinya, lalu berbalik untuk
masuk ke dalam.

31
Azakiel Elvein Pollin, Adelia tidak menyukai
orang itu. Dia benar-benar tidak cocok dengannya.
Bukan pasangan seperti ini yang Adelia impikan.

32
Azakiel 03

Pernikahan dilaksanakan saat pagi hari secara tertutup,


lalu kemudian dilanjutkan dengan pesta minum teh
dengan kerabat kerajaan. Banyak bangsawan Pollin yang
hadir, mengingat kali ini mereka menikahkan dua orang
dengan gelar kasta yang sama.
Di Manuala, terdapat empat gelar kasta menurut
asal-usul kelahiran. Felipe yang berasal dari keluarga
kerajaan, Weldon dengan darah biru yang terhormat,
Pollin yang berasal dari keluarga kesatria, dan Selda
yang merupakan rakyat biasa. Azakiel dan Adelia
termasuk ke dalam bangsawan Pollin, dimana dulu
nenek moyangnya adalah seorang kesatria yang
terhormat. Untuk itu, ada ritual khusus nanti malam
ketika mereka menikahkan dua orang yang sama-sama
dari klan bangsawan Pollin.
Adelia sangat lelah, terutama dengan sikap
Azakiel yang benar-benar tidak membaur dengan orang
lain. Pria itu seperti patung. Ketika ditanya, ia akan
mengangguk atau menjawab sekenanya. Bahkan ketika

33
pertanyaannya tidak berbobot, pria itu akan diam. Adelia
benar-benar tidak tahan dengan tingkah suaminya itu.
Terlebih, Azakiel mengabaikannya, sehingga Adelia
terlihat seperti seorang wanita yang tidak dicintai suami.
Adelia sebenarnya tidak peduli. Tapi, karena ada
ayahnya, keluarga kerajaan dan beberapa tamu yang
mengenalnya secara langsung, Adelia sangat malu.
Untuk itu, sebelum ritual penyucian raga, Adelia
menarik lengan Azakiel, lalu membawanya ke belakang
kuil.
“Anda serius akan bertingkah seperti ini?”
Pria itu menaikkan alisnya.
“Semua orang memandang saya dengan tatapan
menyedihkan.”
“Ada yang salah?”
Adelia mengangkat dagunya, “Sikap Anda yang
salah! Dengar, Duke... setidaknya, ajak saya mengobrol.
Jangan hanya diam.”
“Kau selalu peduli dengan orang lain. Kita
masuk saja.”
Azakiel menyuruhnya jalan, tapi Adelia tetap
diam, sehingga pria itu menarik tangannya untuk

34
memasuki kuil. Karena mereka bergandengan, semua
orang kini memandang mereka dengan tatapan tertarik.
Adelia benar-benar tidak nyaman.
“Siapkan dirimu. Nanti airnya akan sangat
dingin.”
“Iya, sudah tahu.” Ayahnya telah memberitahu
tadi.
Ritual penyucian raga biasanya dilakukan bagi
mereka yang melakukan pernikahan satu gelar kasta.
Karena konon katanya… zaman dulu pernikahan satu
gelar tidak boleh dilakukan, karena masih dianggap
keluarga—meskipun tidak ada ikatan darah. Namun,
seiring berjalannya waktu, pernikahan satu gelar boleh
dilakukan, dengan penyucian raga terlebih dahulu.
Yang pertama kali disiram adalah Azakiel. Pria
itu kini basah kuyup. Dia sedikit merapikan rambutnya,
lalu menoleh ke arah Adelia. „Gila…‟ Pria itu terlihat
maskulin dengan rambut basah
“Ayo, jalan ke arah suamimu,” ujar Duke Zeroes.
Adelia pun menurut. Karena mereka sudah suami
istri, maka yang menyiram Adelia bukan lagi ayahnya,
melainkan Duke Azakiel yang kini memegang hak atas

35
Adelia. Pria itu mengambil air suci, lalu kemudian
mengguyurnya di kepala sampai seluruh tubuh.
Benar kata orang-orang. Air ini sangatlah dingin.
Apalagi mereka melakukan proses penyucian saat
tengah malam. Setelah selesai, Adelia diselimuti, lalu
kemudian berpamitan secara simbolis dengan ayahnya.
“Duke Azakiel, tolong… jaga putri saya.”
Ayahnya menepuk pundak Azakiel.
“Tentu.” Pria itu meraih tangan Adelia, lalu
berpamitan pada Ratu Julian yang menjadi wali Azakiel.
Setelah selesai, ayahnya kembali berbicara pada
Azakiel. Kali ini, hanya berdua saja, sedangkan Adelia
kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Karena
sangat dingin, tubuhnya sampai menggigil.
Tok… tok… tok…
“Nona, Anda diminta untuk istirahat.”
Adelia menoleh.
“Tuan Duke meminta Anda langsung tidur.
Besok, Anda harus menempuh perjalanan panjang.”
“Duke yang mana?” tanya Adelia.
“Duke Zeroes.”

36
Adelia menaruh pakaian pestanya. Ya, tentu saja
ayahnya yang akan menyuruh. Mengingat pria yang ia
nikahi tidak akan repot-repot menunjukkan perhatian
padanya. Adelia pun menyisir rambutnya, lalu
mengambil gaun tidur. Syukurlah ia tidak perlu kembali
ke sana. Tubuhnya sudah sangat lelah.
Lagipula, hari sudah sangat larut. Mereka akan
berangkat nanti siang untuk kembali ke Delion. Azakiel
akan ikut bersamanya, mengambil barang-barang
Adelia, sebelum berangkat ke selatan, Vien.
Adelia menghela nafasnya. Tidak ia sangka,
semuanya benar-benar terjadi. Ia seorang Duchess,
bukan lagi seorang Lady. Rasanya baru kemarin ia
menjadi dewasa, tapi sekarang ia sudah akan mengurus
sebuah wilayah bersama Azakiel. Apakah ia mampu?
Adelia merasa semuanya sangat cepat dan dia tidak tahu
apapun.
Adelia pun menenggelamkan wajahnya pada
bantal. Ia benar-benar tidak ingin berangkat ke selatan.
Kenapa seorang wanita harus meninggalkan keluarganya
ketika menikah? Rasanya sangat berat, apalagi ia putri
satu-satunya dari keluarga ini.

37
***

Setelah melewati enam hari perjalanan ke


Delion, akhirnya mereka sampai di kastil. Adelia
langsung jalan ke kamarnya, meninggalkan Azakiel
yang dipandu oleh Duke Zeroes.
“Adel, pamit dulu dengan suamimu.”
Adelia tidak bergeming. Dia mengangkat
gaunnya, lalu menaiki tangga. Sikap Adelia membuat
Duke Zeroes meringis, “Anak itu kadang tidak tahu
etika.”
“Tidak apa-apa, Duke.” Azakiel membalik
badannya, “Saya juga akan beristirahat. Terima kasih
sudah mengundang saya kemari.”
“Tentu, nikmati waktu Anda.”
Azakiel menganggukkan kepalanya, lalu jalan ke
kamar yang sudah disiapkan untuknya. Ia pun terpaku
sejenak. Bahkan ruang tamu di sini lebih bagus dari apa
yang telah ia siapkan di Vien.

38
Apakah gadis itu akan menyukainya? Atau di
hari pertama, dia ingin kembali ke ayahnya? Azakiel
merebahkan tubuhnya di ranjang. Seberapa kerasnya ia
berusaha, rasanya ia masih berjalan di genangan lumpur.
Vien masih belum bisa bersanding dengan 5
wilayah besar lainnya. Azakiel pun membuka tirai,
melihat pemandangan kastil Delion dari atas. Cahaya
dari lentera memenuhi setiap sudut kastil. Ada banyak
pelayan yang terlihat. Mereka pasti memperlakukan
Adelia dengan baik tanpa membiarkan wanita itu
menyisir rambutnya sendiri.
Apakah Azakiel bisa memberikan semua itu
pada istrinya? Berlian yang berkilauan seperti
perhiasaannya saat di Delion, mengadakan pesta agar
dia bahagia. Di tengah kesulitan yang masih melanda
Vien, seharusnya dia tidak berpikir untuk membawa
orang lain masuk dan membuatnya menderita.
Tok… tok… tok…
Pintu yang diketuk, membuat Azakiel menoleh.
Tanpa suara, terlihat pintu kini dibuka.
“Ayah memaksaku kemari.”
Azakiel menghela nafas. “Masuklah.”

39
Duke Zeroes ternyata lebih tegas dari apa yang ia
bayangkan. Kini, Adelia terlihat seperti seseorang yang
sudah membersihkan diri. Rambutnya digerai, lalu
gaunnya sudah diganti menjadi gaun tidur. Tak lupa
ekspresi wajahnya terlihat sangat kesal. Sepertinya Duke
memang memaksanya datang kemari.
“Kau bisa pakai ranjang. Aku akan tidur di sofa.”
“Mulai tidak formal, huh?” ujar wanita itu.
Azakiel melepas jubahnya, “Mengingat Duke
sampai memaksamu, itu artinya dia tidak ingin kita
bersikap formal.”
Adelia mencebikkan bibirnya, lalu merebahkan
tubuhnya di ranjang. Azakiel yang belum membersihkan
diri, langsung jalan ke tempat pemandian. Mereka hanya
membersihkan diri sebnayak satu kali dari enam hari
perjalanan.
“Panggil pelayan kalau mau air hangat,” seru
Adelia.
“Tidak perlu.” Azakiel menanggalkan atasannya,
membuat gadis itu langsung memalingkan wajah.
“Lepas di tempat pemandian, jangan di sini!”

40
Azakiel menaikkan alisnya, lalu kemudian
berlalu ke tempat pemandian. Ia mandi cukup lama,
hingga langit sepenuhnya gelap. Setelah selesai, Azakiel
mengeringkan rambutnya, lalu kemudian jalan untuk
memilih baju yang sudah disiapkan di sana.
Ia memakainya dengan cepat, lalu jalan ke arah
tempat tidur. Di sana, gadis itu sudah terlelap sembari
memeluk bantal guling. Wajahnya terlihat sangat lelah.
Padahal dari Istana ke Delion hanya membutuhkan
waktu enam hari—yang tergolong cukup singkat. Tapi,
Adelia sudah kehabisan energi. Apa dia akan baik-baik
saja saat menempuh perjalanan ke Vien? Dari Kastil
Delion ke Vien, membutuhkan lebih dari 15 hari
perjalanan. Itupun jika mereka tidak banyak istirahat.
Azakiel menaikkan selimut untuk membungkus
tubuh itu. Jika gadis itu memilih kabur, apa Azakiel bisa
melepaskannya? Vien bukanlah tempat yang indah.
Tempat itu tidaklah pantas untuk seorang Adelia Vione
Pollin.

***

41
Adelia bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat
ke Vien. Ada dua kereta yang dibawa. Satu untuk
barang-barang dan satu lagi kereta untuk dinaiki oleh
Adelia. Ia ingin sekali menunda perjalanan, tapi Azakiel
tidak bisa, mengingat ia sudah meninggalkan Vien
selama hampir 2 bulan. Itu pun dikarenakan Vien sangat
jauh. Mereka memerlukan belasan hari di jalan.
Saat sampai di dermaga, ayahnya terlihat
mengusap air mata. Adelia pun jalan ke arah Duke yang
mengantarkan mereka. “Sudah, jangan menangis. Ayah
sendiri yang menikahkanku,” omelnya.
Duke Zeroes kini benar-benar sendiri, mengingat
istrinya sudah tiada. Itu juga yang menjadi alasan Adelia
enggan menikah semuda ini. Ia tidak tega meninggalkan
ayahnya sendirian. Apalagi ia pergi ke tempat yang
sangat jauh, yang tidak pernah ia bayangkan.
“Lebih baik Ayah menikah lagi.”
“Adelia…” Zeroes mengintrupsi perkataannya.
Adelia cemberut. Setiap diminta menikah lagi,
pria itu selalu bersikap seperti ini. Percuma memiliki
gelar Duke, untuk penerus pun Delion tidak punya,

42
karena Adelia adalah anak satu-satunya. Ia pun terlahir
sebagai wanita yang tidak bisa mewarisi gelar itu.
Tatapan Adelia kini beralih ke bibi pengasuh.
Wanita itu telah merawatnya sejak kecil, karena Ibunya
meninggal pasca melahirkan. “Titip Ayah, Bi,” ujar
Adelia. Ia tidak ingin menangis juga, jadi dengan cepat
Adelia menarik jubah Azakiel.
“Tuan Duke Zeroes, kami pamit,” ujar Azakiel.
“Hati-hati. Kirimkan surat jika sudah sampai.”
Azakiel mengangguk. Mereka pun akhirnya naik
ke atas kapal bersama pengawal yang lain. Angin cukup
kencang, hingga Adelia mengeratkan jubah yang
melekat pada tubuhnya. Ketika kapal berangkat, tubuh
ayahnya terlihat kecil. Pria itu melambai ke arahnya,
membuat mata Adelia basah.
Tangis yang ia tahan keluar begitu saja. Ayahnya
yang bodoh. Tidak pernah memikirkan kebahagiaannya
sendiri. Ia tahu Duke tidak menikah lagi, karena takut
ibu tiri tidak cukup baik untuk Adelia. Pria itu memilih
melajang bertahun-tahun dan mengusahakan semuanya
untuk Adelia. Mungkin, jika bukan karena Yang Mulia

43
Ratu Julian yang meminta, Adelia tidak akan menikah
semuda ini.
“Anda tidak boleh memperlakukan saya dengan
buruk.”
Azakiel mengernyit, “Aku sudah berjanji dengan
ayahmu.” Pria itu mengeluarkan sapu tangan dan
memberikannya pada Adelia.
Pria itu mungkin tidak sebengis apa yang
dirumorkan orang-orang. Tapi, tetap saja Adelia
khawatir. Azakiel Elvein Pollin adalah teka-teki yang
tidak mudah ia baca. Tatapannya yang seolah tidak
menginginkan Adelia, membuatnya bingung. Dulu, ia
membayangkan orang yang namanya Azakiel
menyukainya, lalu Adelia akan terpaksa menikahi orang
itu.
Ketika mereka menikah, Azakiel memaksanya
untuk tidur bersama. Ia akan hidup seolah dalam
penjara. Ia akan dikekang dan harus menurut pada pria
itu. Jika tidak menurut, mungkin saja ia akan dipukul,
karena Azakiel sangat bengis. Selalu seperti itu
bayangannya tentang orang yang namanya Azakiel.
Tapi, sekarang… realitanya tidak seperti itu. Laki-laki

44
ini tidak terlihat seperti tipe yang pemaksa. Bisakah
nanti ia hidup di selatan tanpa dipukul?
Pandangan Adelia mengarah ke atas. Layar pun
dibentangkan dan kapal yang mereka naiki berlayar
semakin jauh. Karena angin cukup kencang, mereka
jalan ke dalam. Azakiel membukakannya pintu kamar.
“Istirahat di sini. Perjalanannya cukup panjang.”
“Berapa lama kita di kapal?”
“Tiga hari.”
Adelia cemberut. Ia benar-benar tidak suka
berpergian jauh. “Kalau mandi bagaimana?”
“Ada, di sebelah selatan.”
“Air laut?“
“Air sulingan.”
Adelia langsung masuk ke dalam, lalu duduk di
ranjang. “Pasti airnya lengket.”
Azakiel memandangnya dengan bosan, lalu
menutup pintu. Tidak ada perhatiannya sama sekali.
Prilakunya buruk, kepribadiannya pun membosankan.
Tidak ada yang menarik dari pria itu. Untung wajahnya
masih enak dilihat.
“Ugghhh… menyebalkan!”

45
Padahal, Adelia ingin sedikit akrab dengan pria
itu. Tapi, sepertinya Azakiel tidak berpikir demikian.
Dengan menyuruhnya untuk mengurus diri masing-
masing, bukankah artinya dia tidak ingin terlibat lebih
jauh dengan Adelia?
Sama sepertinya, mungkin pria itu terpaksa
menerima perjodohan ini. “Bisa saja, di Selatan dia
sudah punya wanita lain.”
Adelia pun merebahkan tubuhnya. Guncangan
dalam kapal membuatnya sedikit tidak nyaman. Bisakah
ia bertahan selama tiga hari? Karena baru beberapa
menit pun rasanya sudah mual.

46
Azakiel 04

Hari pertama berlayar, hujan turun dengan sangat deras.


Azakiel naik ke atas, sembari memantau arah layar.
Karena serbuan burung tadi pagi, ujung layar robek dan
akhirnya diganti di tengah hujan. Bunyi petir terdengar
menggelegar dan ombak kali ini sangat tinggi, sehingga
pergerakkan kapal terasa cukup keras.
Cukup lama Azakiel diam di atas dengan awak
kapal yang lain. Ia baru turun ketika hari menginjak
subuh dan hujan pun berhenti. “Kerja bagus,” ujarnya,
lalu kembali ke kamar. Karena pakaiannya basah kuyup,
Azakiel berniat membersihkan diri dan mengganti
pakiannya sebelum tidur.
“Sepertinya beberapa hari ini akan hujan.
Perjalanannya kita tunda saja, Tuan? Saya takut kita
kehujanan di tengah hutan.” Setelah menyeberangi laut,
mereka akan bertemu dengan desa kecil. Setelah itu,
perjalanan dilanjutkan ke hutan yang cukup panjang.
Hutan inilah yang ditakutkan ketika hujan datang.

47
“Kita lihat situasi nanti.” Azakiel sedikit
menyapukan rambutnya, “Adelia… bagaimana
keadaannya?”
“Nyonya Duchess hanya makan sedikit. Beliau
jarang ke luar kamar.”
Azakiel pun mengangguk, ia langsung
membersihkan diri, lalu jalan ke kamar utama yang ada
di dalam kapal. Kamar itu ditempati oleh Adelia.
Ayahnya mengatakan gadis itu tidak terbiasa berlayar,
jadi harus sering diawasi.
Hari masih subuh. Kemungkinan Adelia tidur.
Jadi, Azakiel masuk tanpa memberitahu. Lentara yang di
kamar menyala, mengingat kata Duke Zeroes Adelia
benci gelap. “Kau tidak tidur?” Azakiel berbicara,
setelah melihat wanita itu terlihat memijat keningnya.
Ketika dia mendongak, Azakiel melihat mata Adelia
memerah.
“Kenapa menangis?”
Gadis itu langsung mengerucutkan bibirnya.
Azakiel pun jalan ke ranjang. “Kita tidak bisa kembali
ke Delion. Ini masih di laut.”

48
“Perutnya sakit. Aku ingin muntah, tapi tidak
mau keluar.” Adelia semakin menangis. Dia meremas
rambutnya, lalu menyandarkan kembali tubuhnya di
ranjang.
Azakiel pun meraih tangan gadis itu. Sepertinya
masuk angin. Dilihat dari kuku jarinya, pencernaannya
juga tidak bagus. “Lain kali jangan diam. Cari aku.”
Mereka tidak membawa dokter ataupun pelayan.
Terlebih yang ikut ke istana hanya kesatria. Itupun
hanya lima belas orang dan semuanya laki-laki. Azakiel
pun mencari jarum, lalu kemudian memijat tangan
Adelia. Lalu, setelah rileks, Azakiel menusuk ujung jari
gadis itu. Darahnya hitam. “Masih sakit?”
Adelia mengusap air matanya, lalu mengangguk.
Di selatan, Azakiel sama sekali tidak dilayani
dan melakukan semuanya sendiri. Hanya ada satu
pengawal dan satu sekretaris. Jadi, keberadaan pelayan
wanita tidak terlalu diperlukan, sehingga ia tidak
membawanya ketika pergi jauh. Tidak terpikir, bahwa
seorang Lady bangsawan tidak bisa lepas dari seorang
pelayan. Seperti sekarang, seharusnya, Adelia ada yang

49
menemani dan memastikan kondisinya. Tapi, karena
mereka semua laki-laki, gadis itu tidak terlalu dirawat.
“Nanti akan hilang. Kau tidurlah, aku tunggui.”
“Tidak bisa tidur.”
“Lalu, aku harus apa?” Azakiel tidak terlalu
mengerti wanita.
“Tidak tahu.” Adelia membaringkan tubuhnya,
lalu menghadap ke arah Azakiel. Pipi gadis itu dipenuhi
air mata.
Azakiel pun meraih tangan Adelia lagi. Dia
memijat-mijat tangan itu. Cukup lama Azakiel
melakukannya, tapi gadis itu masih bergerak tidak
nyaman. Azakiel pun meraih kepala Adelia, lalu sedikit
merapikan rambutnya. Sepertinya dia pusing, hingga
tidak bisa tidur. Azakiel mengusap rambut Adelia, lalu
memijat kepalanya. Dia tidak marah ataupun protes.
Malah, ia bersin beberapa kali.
Azakiel pun menaikkan selimut, lalu kemudian
menepuk punggungnya agar cepat tertidur. Hingga tak
beberapa lama kemudian, dia terlelap. Bersamaan
dengan itu, matahari terlihat naik yang artinya hari telah

50
pagi. Azakiel yang sejak tadi duduk beranjak untuk
mengistirahatkan tubuhnya. Ia belum tidur dari kemarin.
Karena ruangan cukup terang, Azakiel
mematikan lentera, lalu menatap gadis itu sekali lagi. Ia
tahu… perjalanan kali ini, akan sangat panjang. Adelia
Vione Pollin tentunya tidak akan mudah untuk dibuat
nyaman. Hari ini, dia bahkan menangis.

***

Lautan yang sangat luas akhirnya berhasil


dilewati. Adelia memegang tangan Azakiel erat-erat
ketika akan turun dari kapal. Perutnya tidak enak, dan ia
bahkan kesusahan untuk jalan. Gerimis mulai mendera
dan kapal kecil yang di bawah goyang, sehingga Adelia
ragu untuk turun.
“Cepat, aku tangkap,” seru Azakiel.
Adelia memejamkan matanya, lalu melemparkan
tubuhnya di depan pria itu. Kesatria dari selatan yang
menemani Azakiel langsung bersorak. “Kalian tinggal
dulu di kapal. Turun ketika hujan reda.”

51
Azakiel memberikan arahan pada pengawalnya.
Barang-barang yang dibawa sangat banyak. Ada kuda
dan kereta yang perlu dipindahkan ke darat. Karena
hujan mulai deras, semuanya akan basah. Untuk itu,
hanya Adelia yang turun lebih dulu, karena ia sudah
sangat oleng. Melihat laut saja, ia sudah mual.
“Anda akan meneduh di mana?” tanya kesatria
yang paling dekat dengan Azakiel.
“Di pulau, sekitar satu kilo dari sini. Turunkan
satu kuda.” Azakiel mengambil pedang miliknya, lalu
menatap Athalas. “Kau lindungi barang-barang. Setelah
sedikit reda, langsung susul aku ke penginapan. Kita
akan bermalam di sini.”
Athalas mengangguk. Ditatapnya Adelia yang
terlihat pucat. “Hati-hati Tuan, sepertinya Nyonya akan
pingsan.”
“Dia kuat,” ujar Azakiel. Adelia merenggut.
Kuat dari mananya? Belum ada seperempat jalan, ia
sudah merasa akan meninggal. Jarak yang jauh ini
membuatnya benar-benar tidak bisa membayangkan
suatu saat ia akan balik lagi ke Delion ataupun kerajaan.

52
Ketika mereka sampai di darat, hujan sudah jatuh
sampai membuat rambut Adelia basah kuyup. “Anda
yakin tidak ditemani pengawal?”
“Tidak perlu. Aku akan bergerak cepat.”
Setelah kuda sampai di darat, Azakiel
mengangkat tubuh Adelia agar naik ke atas kuda.
“Azakiel… aku tidak suka.”
“Kita tidak bisa pakai kereta. Tahan sebentar
saja,” ujarnya, lalu kemudian naik ke atas kuda. Tubuh
Azakiel menyelimutinya di belakang. “Aku berangkat.
Ingat, jangan sampai lengah. Kita tidak tahu kapan
perompak datang.”
“Baik, serahkan pada saya,” ujar Athalas.
Azakiel pun langsung memacu kudanya dengan
cepat. Mereka melewati dermaga yang sudah mati itu,
lalu kemudian masuk ke sebuah pulau kecil yang berisi
sedikit penduduk. Ada penginapan kecil di sana, terbuat
dari kayu dan tampak usang. Adelia yang sudah
kehujanan menutup rambutnya, karena sangat lepek. Ia
pun basah kuyup, meskipun sudah berlindung di balik
mantel.

53
Setelah mengurus semuanya, Azakiel meraih
tangannya untuk dibawa masuk. Hanya ada beberapa
kamar di dalam. “Cukup untuk pengawalmu yang lain?”
tanya Adelia.
“Mereka bisa satu kamar berlima. Cepatlah.”
Azakiel sedikit menarik tangannya untuk masuk.
Kamarnya terlihat cukup bersih, tapi karena ia terbisa
hidup di tengah kemewahan, rasanya lebih mirip kamar
pelayan.
Tak beberapa lama setelahnya, baju bersih
diantarkan untuk Adelia, begitu juga dengan air panas.
“Bersihkan diri terlebih dahulu.”
Adelia menurut. Tidak ada yang membantunya
mandi ataupun membuka pakaian. Ia melakukan
semuanya seorang diri. Rasanya benar-benar tidak
diurus, hingga Adelia sangat tertekan. Biasanya ada
yang menyabuninya atau membersihkan punggungnya.
Tapi sekarang, semuanya ia lakukan seorang diri.
Adelia pun keluar dari tempat pemandian.
Azakiel terlihat sudah bersih. “Dimana kau mandi?”
“Di bawah,” ujar laki-laki itu. Pakaian yang dia
pakai hanya potongan kain sederhana berwarna abu.

54
Tidak ada sedikitpun kemewahan, tapi karena wajahnya,
pakaian itu tertolong. Adelia pun mengambil gaun
miliknya. Cukup cantik. Di mana dia memesan pakaian
ini?
“Hanya ada satu ranjang, apa kau ingin aku tidur
di lantai?” ujar Azakiel.
“Tidur saja di sebelahku.” Adelia juga tidak tega
menyuruhnya tidur di lantai kayu. Ia pun dengan cepat
berpakaian. Gaun sutera ini cukup lembut untuk dipakai
tidur. “Azakiel… tolong bantu keringkan.” Adelia
benar-benar tidak nyaman mengeringkan rambutnya
sendiri. Ia hampir tidak pernah melakukannya.
Pria itu pun melakukannya untuk Adelia tanpa
banyak bertanya. Selalu seperti itu. Di kapal pun
meskipun banyak diam, tapi Azakiel selalu
mengurusnya dengan baik. Ketika dia tidak mau makan,
karena tidak enak, Azakiel tidak marah. Dia menyuruh
petugas mengganti makanan Adelia.
“Apa masih jauh?”
“Kita akan memasuki hutan. Sekitar 12 sampai
14 hari lagi.”
Adelia melotot. “Hutan?”

55
“Hem, kita di hutan sekitar 3 hari. Masuk ke
wilayah kekuasaan Viscount Pugon, lalu naik ke kapal.
Setelah itu, jalan dengan kereta beberapa hari lagi
sebelum sampai kastil.”
Adelia terperangah. Mendengarkannya saja
sudah mau pingsan.
“Sepertinya aku akan melapuk di selatan.” Di
tatapanya Azakiel, “Kalau kau sendiri, biasanya liburan
kemana?”
“Kau tidak perlu tahu.”
Adelia berdecak. Rambutnya sudah setengah
kering, tapi Azakiel tidak berhenti mengeringkannya.
“Nanti kalau sampai, jangan merengek meminta
pulang ke Delion.”
“Memangnya aku anak kecil?”
“Menurutmu?”
Adelia tidak bisa membantah, mengingat tiga
hari ini ia memang sangat merepotkan. Tapi, itu semua
bukan tanpa alasan. Ia tidak pernah berpergian jauh
dengan situasi tanpa pelayan dan orang yang bisa
diandalkan.

56
Ketika rambutnya kering, Azakiel mengambil
sisir dan menyisirkannya untuk Adelia. Tentu tanpa
bicara sepatah kata pun. Ekspresinya pun datar,
membuat orang yang melihat pasti berpikir Azakiel
tidak iklas mengerjakannya. Padahal Ratu Julian sangat
lembut, tapi kenapa adiknya berbeda jauh?
“Sudah.”
“Hem, terima kasih.” Adelia membaringkan
tubuhnya, lalu menarik selimut. “Ini salahmu karena
tidak membawa pelayan.”
Pria itu tidak menjawab. Hujan di luar telah
berhenti, hanya ada gerimis tipis. Azakiel menggulung
kemejanya, lalu beranjak dari ranjang. “Mau kemana?”
Pria itu terlihat akan ke luar.
“Menunggu pasukan yang lain. Kau tidurlah.”
Pria itu pun berlalu dari kamar. Adelia yang
melihatnya tersadar. Ternyata beban kerja Azakiel
cukup berat. Dia mengurus semuanya, mengatur
pasukan, lalu kemudian direpotkan oleh Adelia. Apalagi
saat badai tempo hari. Adelia baru tahu kalau Azakiel
tidak tidur, karena mengurusnya.

57
“Dia tidak terlalu buruk,” ujarnya, lalu
menyelimuti diri rapat-rapat.
Pria itu seorang bangsawan dengan gelar Duke
yang kedudukannya sangat tinggi. Ia juga pria berkasta
dan cukup enak dipandang mata. Jika dipikir-pikir,
Azakiel memang tidak seburuk itu. Hanya wilayah
tempat tinggalnya yang cukup membebani Adelia. Dia
tinggal di wilayah yang tidak terlalu bergengsi jika
disandingkan dengan Delion, Sireya, ataupun wilayah
lain yang dekat dengan Istana. Seolah Vien hanya
sebuah pedesaan dengan mayoritas hutan. Kata orang-
orang… rakyat di sana bau, dekil dan miskin. Tidak ada
barang-barang mewah. Kotanya pun hanya ada tempat
judi yang dipenuhi kriminalitas. Adelia menggigit
bibirnya. Bisakah ia bertahan di sana?
Coba dia tinggal di Ibukota, pastinya pria itu
akan menjadi bujangan yang paling diminati. “Tapi aku
harus belajar menerima!” seru Adelia.
Ya, tidak apa-apa. Wilayah miskin pun belum
tentu akan terus-terusan miskin. Tidak apa-apa. Siapa
tahu nanti Azakiel suatu saat akan mengalahkan
Sireya—sebagai salah satu wilayah paling maju di

58
Manuala. Tidak ada yang tahu dunia berputar seperti
apa.
Ya, selama Azakiel merawatnya dengan baik,
tidak apa-apa ia menjadi istri pria itu. Adelia akan
belajar menerima nasibnya.

***

Hari keberangkatan memasuki hutan pun tiba,


setelah istirahat selama dua hari di penginapan. Hujan
sudah mulai berhenti dan matahari terlihat naik.
Diramalkan kalau tiga hari tidak akan ada hujan lagi.
Jadi, mereka harus bergegas dan jalan secepat mungkin.
Adelia mengganti gaunnya dengan celana
panjang. Mereka akan melewati medan yang sulit, jadi
Adelia tidak mau merepotkan Azakiel lagi. Ia harus bisa
tahan di kereta kuda. Orang yang mengawal pun
pastinya memiliki penderitaan lebih besar dari Adelia.
Di hutan ia tidur di kereta, sedangkan orang-orang itu
tidur berlasan dedaunan. Termasuk suaminya, Azakiel.
Dia tidur di tanah dengan pengawal yang lain.

59
“Nyonya, makan malamnya.” Seorang laki-laki
muda memberikan Adelia ubi bakar. Adelia pun
mengambilnya. “Awas, masih panas.”
Adelia pun menatap ubi itu. Tidak ada piring,
pisau dan garpu untuk makan secara elagan. Ia pun
menatap ke arah Azakiel. Pria itu terlihat berbicara
dengan bawahannya. Mereka duduk bergerombol, lalu
bawahannya tertawa dan bercanda satu sama lain.
Masing-masing orang membawa ubi. Tidak ada yang
makan seperti etiket bangsawan.
“Ini, airnya, Nyonya,” ujar orang itu, lalu izin
kembali ke teman-temannya.
Adelia masih menatap ke arah Azakiel. Kali ini,
pandangan mereka bertemu. Adelia pun kembali
memalingkan wajahnya, berusaha mengupas ubi. Tak ia
sangka, Azakiel jalan mendekat, lalu masuk ke dalam
kereta. “Aku tidak memanggilmu. Sudah… sana.”
Pria itu tidak berkata apa-apa. Dia mengambil
ubi, lalu mengupaskannya untuk Adelia. “Aku bisa
mengupas ubi.” Adelia cemberut. Meskipun tidak suka,
ia memakannya tanpa banyak protes.

60
“Hutan ini penuh binatang buas. Jadi, kita tidak
boleh membawa daging. Tahan sebentar. Nanti kita beli
setelah bertemu pasar.”
“Aku tidak berniat makan daging.”
“Ekspresimu itu, ketara sekali,” ujar Azakiel,
lalu membersihkan mulut Adelia dengan tangannya.
Adelia cemberut. Tak terasa, satu potong ubi
habis dengan cepat. “Kau tidur di kereta saja. Kemarin
tidur di tanah, apa tidak pegal?”
“Tidak. Hanya nona bangsawan yang mengeluh
pegal.” Pria itu berkata seperti mengejeknya. Adelia
merenggut. Azakiel memberinya selimut, lalu kemudian
jalan ke arah bawahannya yang masih bersenda gurau.
Dilihat dari ekspresi mereka semua, sepertinya
perjalanan ini tidak terlalu berat.
Apa karena mereka pasukan kesatria? Pastinya
mereka pernah perang, mengikuti ekspedisi dengan
medan berat. Tentunya tidur di tanah bukan masalah
besar untuk tubuh kekar itu. Adelia mengeratkan
selimut. Dalam mimpinya pun ia tidak pernah berpikir
akan tidur dalam hutan, ditemani nyamuk dan udara
dingin yang mendera.

61
62
Azakiel 05

Akhirnya, setelah perjalanan panjang, mereka sampai di


wilayah Vien. Jantung Adelia berdegup kencang. Ketika
gerbang perbatasan dibuka, ia menahan nafas saat
melihat sebuah bukit yang cukup luas. Mereka
menyusuri jalan setapak itu, lalu turun ke wilayah yang
ada penduduknya. “Wahh…” Rasanya seperti melihat
sebuah pedesaan. Ada sapi, domba, lalu banyak dari
mereka yang memakai pakaian terusan yang berbeda
dengan kebanyakan bangsawan ibu kota.
“Tuan bekerja sangat keras untuk wilayah ini.”
Seorang pengawal yang menunggang kuda di
sampingnya berseru kecil. Senyumnya mengatakan
seolah ia bangga dengan Azakiel. “7 tahun lalu, kastil
kita bahkan tidak mempunyai uang kas. Rumah sakit
hanya ada satu buah, aliran air macet, terus jalanan
nyaris tidak ada. Selama tujuh tahun, Tuan Azakiel
membangunnya mati-matian.”

63
Pria itu tersenyum tipis, mengingat masa lalu.
“Kita bahkan harus membantu wilayah Lobelian yang
sedang bentrok. Tuan Azakiel dijanjikan 10.000 batang
emas jika Putra ketiga berhasil meneruskan gelar Duke.”
“Lobelian?” tanya Adelia.
“Iya, Nyonya… tidak jauh dari sini.”
Adelia tidak menyangka Azakiel sampai rela
membantu pemberontakan demi uang.
“Apa kalian tidak memungut pajak dari rakyat?”
“Pembukuan pajak berantakan karena korupsi,
terus uang kas disalahgunakan oleh Duke yang dulu.
Jadi, ketika Tuan Azakiel menjabat, itu sama sekali
tidak ada uang.”
Adelia tidak bisa membayangkan semua itu.
Bukankah waktu itu dia baru berusia 16 tahun? Adelia
pernah mendengar bahwa Duke Azakiel adalah Duke
termuda yang pernah ada. Adelia menggigit bibirnya,
ingin bertanya apakah benar Azakiel membunuh
keluarganya sendiri? Tapi, suara itu terhenti di ujung
lidah. Jika itu Adelia, ia pasti tidak suka ditanyai topik
yang sensitive.

64
Pandangan Adelia teralih ke arah pria itu.
Azakiel memimpin jalan dengan kudanya yang
berwarna hitam besar. Ketika mereka sampai di bawah,
orang-orang langsung bergerumul dan memberi selamat
padanya. Sepertinya, seluruh rakyat di sini tahu bahwa
Azakiel datang ke istana untuk menikah.
Senyum mereka tulus sekali. Adelia pun gugup.
Apalagi kini orang-orang memandang kereta kudanya
untuk melihat wajah Adelia. Ia pun membuka kaca
jendela lebih lebar untuk menatap orang-orang itu.
“Anda sangat cantik, Yang Mulia!” Orang-orang
berseru. Tidak ada tanda penolakan sama sekali.
Ya, memang seharusnya seperti itu. Adelia
adalah putri Duke dengan gelar kasta Pollin di belakang
namanya. Orang sepertinya tidak seharusnya ditolak.
Kereta kuda pun melaju dengan cepat sampai di
gerbang sebuah kastil yang terlihat besar, dengan
tembok batu yang tinggi menjulang. Berbeda dengan
Delion yang dikelilingi oleh taman bunga, kastil Vien
lebih mirip kastil yang ada di tengah hutan. Ada banyak
sekali pohon tinggi. Kereta pun masuk lebih jauh, lalu
berhenti di sebuah tempat yang sepertinya bangunan

65
utama. Pilar besar berdiri kokoh dengan nuansa yang
sedikit suram.
Adelia pun turun, mengedarkan pandangannya
menatap ke sekeliling. Sepertinya ornamen bangunan
beberapa diantaranya diganti. Adelia dapat melihat
banyak sesuatu yang baru dimasukkan ke dalam
bangunan ini.
“Hormat saya, Yang Mulia.” Para pelayan
membungkuk ke arahnya.
Adelia mengangguk kecil. Mereka semua terlihat
sangat gugup. Azakiel pun menoleh, “Memang tidak
seberapa dibandingkan kastilmu yang mewah. Jadi,
tahan saja meski tidak suka.”
Adelia merenggut. Bisa-bisanya dia berbicara
seperti itu?
“Selama tidak bocor, aku tidak masalah,” balas
Adelia jengkel. Seberapa manja sebenarnya ia di mata
Azakiel?
Para pelayan semakin gugup. Adelia pun
menatap mereka. “Saya Adelia Vione Pollin. Mohon
bantuannya.”

66
“Saya Eli, kepala pelayan di sini. Jika Nyonya
membutuhkan sesuatu, silakan hubungi saya kapan
pun.” Wanita itu tersenyum, “Suatu kehormatan bagi
kami melayani Anda.”
Azakiel mengambil alih. Mereka kini jalan
masuk lebih jauh ke dalam kastil. “Yang itu pelayan
yang akan mengurusmu.” Azakiel menunjuk dua orang
yang berdiri di dekat tangga. “Urus dia dengan baik. Dia
tidak bisa mandi sendiri dan mengeringkan rambut.”
Dua orang itu tersenyum ramah, “Baik, Tuan.”
Adelia langsung menarik jubah Azakiel,
mempelototinya ketika pria itu menunjukkan dengan
jelas ke orang-orang di sini bahwa ia tidak bisa apa-apa.
“Tempat pemandian dan kudapan sudah kami
siapkan, Tuan.”
Mereka pun sampai di lantai tiga dari kastil
tersebut. “Yang di depan kamarmu.”
Adelia pun membuka kamar itu. Tampak mewah
dan mirip dengan kamarnya di Delion. Adelia pun
mengernyit, “Kamarmu di mana?”
Azakiel menunjuk kamar di seberang yang tidak
jauh dari kamar miliknya. Adelia dengan segera jalan ke

67
kamar itu, lalu membuka pintunya. Ia menatap ke
sekeliling. Kamar ini lebih sempit dari miliknya.
“Punyaku yang kamar utama?” tanya Adelia.
Azakiel tidak menjawab. “Kembali ke kamarmu.
Istirahat di sana. Biar pelayan yang mengantarkan
kudapan ke kamar.”
Adelia langsung menghadang Azakiel. “Apa kau
kira aku semanja itu? Kau tidak perlu memberiku kamar
utama!”
Jelas-jelas kamar yang Adelia tempati adalah
kamar utama dari kastil ini. Pria itu mengubahnya
seperti kamar milik wanita. Sontak saja, sikap itu
membuat Adelia kesal. Ia sadar diri bahwa ia terbiasa
hidup mewah. Tapi, sikap Azakiel membuatnya terkesan
seperti orang yang tidak tahu malu. Ia baru masuk ke
kastil ini, menjadi bagian dari keluarga Elvein Pollin.
Tindakan Azakiel bisa memperburuk citranya di Vien.
“Aku mau tukar!”
“Aku tidak punya waktu untuk ini.” Azakiel
memandangnya dengan sorot lelah, “Jika kau tidak
nyaman dan merengek ingin pulang, aku tidak punya
waktu mengantarmu kembali ke Delion.”

68
Adelia pun menarik Azakiel, mengajaknya
berbicara empat mata di kamar. Di luar ada pelayan
yang hendak membantunya untuk mandi. Mereka bisa
mendengar suaranya dengan jelas. “Dengar, Tuan
Duke… apa kau lupa aku seorang wanita? Aturan sialan
kerajaan ini bahkan menyuruh wanita untuk angkat kaki
dari keluarganya ketika menikah. Menurutmu, apa aku
bisa kembali ke Delion? Aku sudah menjadi bagian dari
kastil Vien. Aku seorang Duchess!”
“Itu hanya sekedar kamar.”
“TUKAR KAMARNYA!”
“Adelia…”
“Apa kata orang nanti? Kau mau aku digosipkan
yang tidak-tidak? Nyonya Duchess memakai kamar
utama, karena dia harus hidup dalam kemewahan. Kau
ingin aku digunjing seperti itu?”
“Semua pakaianku sudah dipindahkan kemari.
Pakai saja, tidak ada yang berani menggunjingmu.”
“TIDAK MAU!” Adelia menggigit bibirnya,
sorot matanya sampai berair, menahan tangis. Azakiel
menghela nafas, benar-benar tidak habis pikir gadis itu

69
akan bereaksi berlebihan. “Setidaknya pakai untuk hari
ini.”
Azakiel pun meraih tangan Adelia yang
sepertinya merajuk. Perlahan, ia menuntunnya kembali
ke kamar utama. “Kau bersihkan diri dulu, makan, lalu
istirahat.”
“Mari Nyonya…” Pelayan yang sejak tadi
menunggu langsung mempersilakan Adelia masuk.
“Istirahat, masalah ini kita omongkan nanti,”
jelas Azakiel lagi.
Adelia pun masuk ke kamarnya, “Sudah selesai.
Tidak perlu omongan lebih lanjut. Aku mau tukar
kamar. Titik.”
Para pelayan sedikit mengulum senyum. Tanpa
membiarkan Azakiel menyanggah, Adelia langsung
menutup pintu kamarnya.

***

Surat dari ayahnya, Duke Zeroes datang satu


minggu kemudian. Pria itu hanya mengatakan kalimat
untaian yang harus Adelia patuhi ketika menjadi seorang

70
Duchess. Berkali-kali, ayahnya meminta Adelia untuk
menjaga diri dengan baik, menurut dengan suami dan
hormat pada pria itu. Semuanya ditulis di sana, dengan
beberapa aturan dan kewajiban suami-istri yang dulu
Adelia pelajari di akademi. Seolah, ayahnya tidak yakin
Adelia mampu melakukan semua itu.
Ia pun kembali melipat surat dari ayahnya.
Bukan Adelia yang seharusnya dinasehati, tapi Azakiel.
Bisa-bisanya pria itu tidak menunjukkan batang
hidungnya selama satu minggu. Kata pelayan, Azakiel
meninjau Vien bagian barat, lalu kemudian melatih
pasukan untuk keperluan ekspedisi. Dia benar-benar
memegang ucapannya tempo hari, yang mengatakan
bahwa mereka harus menjalani hidup masing-masing.
Adelia pun menatap kaca jendela. Untuk pertama
kali dalam hidupnya, ia merasakan kesepian.
“Nyonya… Apa Anda mau berkeliling?”
Adelia menatap pelayannya yang sejak tadi
berdiri di dekat jendela. Wanita itu terlihat ragu-ragu
untuk mengajaknya bicara.
Adelia menoleh, “Ke mana?”

71
“Mengelilingi kastil? Saya akan menunjukkan
tempat yang bagus.”
Mungkin dia sadar bahwa Adelia sangat bosan.
“Hem, ayo.”
Wanita itu terlihat sangat antusias. “Pakai
mantelnya, Nyonya. Udara di sini sedikit berangin.”
Adelia pun menurut. Ia memakai mantel yang
dipilihkan pelayan. Rasanya benar-benar suntuk
mendekam di sini. Tidak ada hiburan ataupun kegiatan
yang harus ia lakukan. Urusan kastil pun tidak
dilimpahkan padanya, mengingat sebelum menikah
Azakiel pernah mengatakan bahwa Adelia tidak harus
memenuhi kewajibannya sebagai Duchess. Bisa dibilang
ia hanya pajangan di sini.
“Apapun yang Anda kenakan sangat cantik,” puji
pelayan. Adelia tidak menanggapi. Ia sedikit merapikan
rambutnya, lalu menatap orang itu. “Ayo, aku sudah
siap.”
“Baik, mari Nyonya.”
Wanita itu pun mengajaknya turun ke lantai
bawah. Mereka ke arah utara, lalu kemudian jalan ke
sebuah bangunan yang tampak sibuk. Katanya itu dapur

72
kastil. Ada juga tempat penyimpanan anggur dan bahan
makanan. Tidak buruk, semuanya tampak baik. Bahkan
bahan makanan yang Adelia makan selalu berkualitas.
Dari segi rasa, tampilan, semuanya enak.
“Sejak Duke Azakiel menjabat, kami sangat
senang.”
“Bukannya dia monster?” Banyak rumor buruk
yang beredar tentang Azakiel.
“Monster? Tentu saja tidak.” Mereka pun jalan
ke arah lain, “Tuan Duke memang tidak banyak bicara.
Tapi, beliau orang yang hangat.” Adelia dapat melihat
senyum tulus itu. Sepertinya Azakiel melakukan
pekerjaannya dengan baik. “Oh, ya… Tuan sekarang
sedang latihan. Nyonya ingin lihat?”
“Tidak.”
Tanpa menunggu jawabannya, orang itu
langsung jalan ke gedung seberang. Sontak saja, Adelia
langsung mengikutinya. “Mau kemana?” Dari jarak
yang cukup jauh terdengar suara orang yang sedang
latihan. Ada banyak pasukan yang lari mengelilingi
lapangan. Ketika Adelia lewat, mereka langsung
membungkuk.

73
Tentu saja Adelia sangat kaget. Sepertinya
mereka semua tahu ia Duchess. “Lanjutkan saja, aku
hanya melihat,” ujar Adelia. Mereka langsung lari lagi.
Di depan sana, Azakiel sedang duduk sembari
mengamati pertarungan antar prajurit. Sebagian besar
dari mereka tidak memakai atasan. Keringatnya
bercucuran, hingga Adelia tidak nyaman.
“Kita pergi saja,” ujarnya cepat-cepat.
Namun, belum sempat Adelia berbalik, orang
yang bertarung melihat ke arahnya. Mereka semua
berhenti, lalu memberi salam dengan semangat. Adelia
hanya mengangguk, sedangkan Azakiel langsung
bangun dari tempat duduk pria itu.
“Latihannya selesai. Kalian bubar!” ujarnya.
Pria itu pun jalan ke arahnya. “Untuk apa
kemari?”
“Saya mengantarkan Nyonya Duchess melihat
kastil, Tuan.”
Adelia menatap pria itu yang masih memakai
baju besi. “Kau lanjutkan saja, jangan pedulikan aku.”

74
“Latihannya sudah selesai.” Azakiel melepas
sarung tangannya, lalu menatap ke arah pelayan, “Biar
saya yang antarkan Duchess.”
“Baik, Tuan.” Pelayan itu membungkuk, lalu
mundur dari tempat itu. Adelia sedikit merapikan
mantelnya. Karena Azakiel yang akan
mengantarkannya, Adelia mengikuti pria itu berganti
pakaian. Tentunya, ia menunggu di depan pintu, sembari
ditatap oleh prajurit yang lain.
Adelia menggaruk lehernya. Jelas, mereka sangat
malu-malu menatap wajahnya. Mungkin, karena ia
cantik?
“Ayo…” Azakiel langsung meraih tangannya.
“Cih…” Bisa-bisanya dia bersikap seperti ini
setelah mengabaikannya selama satu minggu? Sekalipun
pria itu tidak pernah menunjukkan batang hidungnya.
Selama beberapa menit, Azakiel menemaninya
mengunjungi bangunan yang bersejarah di kastil ini.
Ada tempat minum teh, tempat perjamuan, aula yang
cukup besar—tapi sangat suram. Katanya, tidak pernah
ada pesta sejak Azakiel menjabat. Terus, mereka jalan
lagi ke arah danau. “Di hutan sana ada menara.” Azakiel

75
menatapnya, “Melihat gaunmu, kita tidak mungkin ke
sana. Jadi, kita akhiri sampai di sini.”
Adelia mendongak, “Aku lapar.”
“Aku akan menyuruh pelayan menyiapkan
makanan.”
“Aku ingin makan di luar.”
“Tidak ada tempat yang istimewa.”
“Di mana saja, terserah.” Adelia sedikit menarik
jubah itu. “Aku sangat suntuk.”
Ya, ketika masih di Delion, Adelia jarang sekali
di kastil. Ia pergi belanja, ke toko kue, ke pasar,
mengadakan pesta. Jika hari libur, ia menginap di rumah
temannya dan melakukan apapun itu. Acara amal,
perjamuan, piknik, menonton pertunjukan… Adelia
benar-benar sibuk dengan pergaulan kelas atas.
Sekarang, di Vien ia diam saja dan itu membuat
kepalanya pusing.
“Ayo…” Adelia menarik jubah pria itu sekali
lagi.
Azakiel menghela nafas, lalu kemudian
mengajak Adelia untuk kembali ke bangunan utama.
Pria itu terlihat berbicara dengan kusir, lalu setelah itu

76
memberikan Adelia topi besar yang menutupi wajahnya.
“Pakai ini.”
“Kita ke mana?”
Azakiel tidak menjawab, membuat Adelia
kembali mendengus. Apa sesusah itu bicara? Ia pun
memperbaiki topi itu, lalu naik ke kereta kuda. Berbeda
dari bayangannya, mereka hanya berdua tanpa
pengawal. Hanya ada kusir yang melajukan kereta.
“Kau sibuk? Nanti kalau sudah lebih lama di
sini, aku akan jalan-jalan sendiri.”
“Tidak terlalu.”
Adelia menyandarkan tubuhnya di kereta,
“Bangun pukul berapa?” tanyanya. Setiap ia bangun
ataupun tidur, ia tidak pernah berjumpa dengan pria itu.
“5 pagi.”
Adelia terperangah. Pantas saja, ia bangun pukul
sembilan. Kereta kuda pun melaju dengan cepat. Mereka
sampai di kawasan pertokoan. Ada banyak penjual
pakaian, toko roti, kue, dan daging bakar. Adelia
menyusuri jalan itu sambil berjalan kaki. Topinya
terlihat mencolok. Adelia pun menoleh, “Kenapa harus
pakai topi besar?”

77
“Wanita bangsawan di sini memakai topi besar
jika sudah menikah.”
“Padahal aku ingin seperti wanita lajang,” keluh
Adelia. Ya, mengingat bagaimana pernikahan mereka, ia
seperti seorang lajang.
Pria itu hanya menatapnya, lalu kemudian jalan
ke arah toko kue. Adelia menatap toko itu. Banyak
makanan manis di sana. Mereka pergi ke tempat khusus
yang dekat dengan jendela.
“Ada makanan berat juga. Pesan makanan berat
dulu sebelum makanan manis.”
“Aku tidak selera makan berat.” Adelia
menunjuk sebuah kue cokelat dan kue blueberry.
“Minumannya peach. Kau pesan apa?”
“Kopi.”
“Tidak pesan kue?”
“Aku tidak suka makanan manis.”
Adelia mencebik. Bahkan selera makanannya
pun membosankan. Setelah memesan, Azakiel terlihat
berdiri dari tempat duduknya. Ia pergi ke arah dapur,
lalu kemudian berbicara dengan seorang pria yang
sedang membuat roti.

78
Adelia menatap Azakiel. Sepertinya dia sering ke
sini, meskipun tidak suka makanan manis. Pria pembuat
roti kemudian masuk ke dalam untuk mencari seseorang.
Adelia hanya menatap apa yang dilakukan suaminya itu.
Sebelum akhirnya seorang wanita muda datang,
menyambut Azakiel dengan senyum yang sangat ramah.
Adelia mengerjap. Siapa dia?
Azakiel terlihat berbicara dengan wanita itu. Kali
ini, ekspresi wajahnya terlihat lembut, dia berbicara
dengan sorot mata teduh yang membuat Adelia
mengernyit. Sejak kapan Azakiel bisa berekspresi
seperti itu? Yang ia tahu pria itu selalu memasang wajah
tanpa ekspresi. Tatapan matanya pun tidak ramah,
berbeda sekali dengan apa yang ia tunjukkan sekarang.
Adelia mengalihkan pandangannya. Apa-apaan
ini? Apa Azakiel mengajaknya makan ke tempat orang
yang dia suka? Mereka berbicara cukup lama, sampai
akhirnya wanita itu menoleh ke arahnya, lalu
membungkuk ramah.
Adelia berdecih. Sial! Apa-apaan ini?

79
Azakiel 06

Malam harinya, Adelia tidak bisa tidur. Ia membetulkan


selimut, lalu kemudian bangkit lagi untuk menyalakan
lilin aromaterapi. Helaan nafas panjang terdengar,
membuatnya sangat frustasi. Apa-apaan ini? Kenapa dia
tidak bisa tidur?
Pikiran Adelia terus-terusan tertuju pada gadis
yang ia lihat di toko kue. Apa dia kekasih Azakiel? Pria
itu tidak mungkin meminta hubungan seperti ini, jika
tidak punya kekasih. Ya, pasti ada wanita lain. Adelia
pun beranjak. Padahal wanita itu tampak biasa saja.
Tidak ada yang istimewa. Apa yang Azakiel suka
sampai dia tidak melirik Adelia sedikit pun?
“Hu‟uh?” Adelia terdiam sebentar, “Tunggu…
Untuk apa juga aku peduli?” Adelia terperangah,
“Lagipula, aku tidak suka padanya!” Terserah Azakiel
punya wanita lain atau tidak. Adelia pun membaringkan
tubuhnya, memejamkan matanya dan mencoba untuk
tidur.

80
Otaknya yang berharga tidak seharusnya
memikirkan dua orang brengsek itu. Seharusnya jika
mereka ingin bersama, berjuang sejak awal. Sekarang
yang menjadi korban tentu saja Adelia. Ayahnya
berpikir mereka menjalani pernikahan yang normal,
padahal tidak sama sekali.
“Seharusnya dulu aku tolak saja lamarannya!”
Ya, dia telah diberikan kesempatan oleh Ratu
Julian untuk menolak, tapi ia malah tidak
melakukannya. Sekarang, Adelia harus menerima nasib
terjebak seumur hidup di sini, dengan suami yang suka
dengan wanita lain. Sungguh, sial sekali!
Pagi harinya, karena begadang, Adelia bangun
dengan mata yang sedikit hitam. Ia pun langsung
mengompress matanya, lalu duduk di balkon. Sudah ada
pembicaraan bahwa urusan kastil akan dipegang
olehnya. Namun, terlebih dahulu, ia harus belajar,
karena mata uang di sini sedikit berbeda dengan Delion.
Baiklah, setidaknya, ia dibiarkan untuk melakukan
sesuatu.
“Nyonya, ini perhitungan uang yang bisa Anda
pakai.”

81
Adelia pun mengambil map yang diberikan oleh
pelayan. Karena Azakiel suami dan kepala keluarga, pria
itu memiliki kewajiban untuk menafkahinya. Adelia pun
membaca rincian dari uang itu. “Ini tidak salah?”
tanyanya. Nominal yang ada di sini benar-benar mirip
dengan uang yang diberikan oleh ayahnya ketika ia
masih di Delion.
“Iya, Tuan Azakiel memberikannya pada saya
saat Anda tidur. Katanya, jika kurang atau mau membeli
sesuatu tinggal minta ke Tuan.”
Adelia terperangah. Ini serius? Kalau iya,
Azakiel benar-benar tidak melarangnya untuk hidup
mewah. Kenapa pria itu melakukannya? Adelia tahu,
dari segi kemampuan… tidak seharusnya Azakiel
melakukan hal ini.
“Apa wilayah kita baik-baik saja?” tanya Adelia.
“Bagaimana dengan pajak, gelandangan dan—“
“Kita hampir tidak punya gelandangan, Nyonya.
Sudah dari beberapa tahun yang lalu, gelandangan tidak
terlihat.”
“Benarkah?” Rumor yang beredar, wilayah Vien
penuh dengan gelandangan.

82
“Hem.” Pelayan tersebut mengangguk yakin.
“Meski tidak banyak industri besar, tapi ekonomi Vien
cukup naik. Ada orang yang tidak mampu, tapi mereka
masih bisa makan dengan layak, kesehatan yang
ditanggung dan pendidikan dengan bantuan
pemerintah.”
Sepertinya rumor tentang Vien banyak yang
dilebih-lebihkan. Adelia pun menatap buku keuangan
yang diberikan Azakiel. Kalau saja pria itu mau
menerimanya, Adelia pasti akan senang.
“Tunggu… Pikiran dari mana itu?” Adelia
langsung tersadar. Kenapa dia jadi seperti ini?
“Sepertinya karena lama tidak bergaul, aku sedikit
sinting.”
“Nonya mau mengadakan pesta tidak? Sekitar 7
tahun lebih kastil ini tidak mengadakan pesta. Jika
Nyonya mau, Tuan Duke pasti mengizinkan.”
Adelia pun berpikir. Ya, tentu saja ia harus
mengadakan pesta atau paling tidak perjamuan kecil.
Mereka harus mengenal Adelia. Semua orang harus
tahu ia seorang Duchess. “Tolong, berikan aku orang-
orang yang harus diundang.”

83
“Baik, saya akan segera membuatkannya.”
Pelayannya tersenyum senang.
Adelia pun berpangku tangan, “Ngomong-
ngomong, siapa namamu?”
“Margareth, Nyonya.”
Adelia mengangguk. Pekerjaannya bagus juga.
Setidaknya, bukan pelayan menyebalkan yang Azakiel
berikan padanya.

***

Azakiel mengusap peluhnya setelah latihan


hampir tujuh jam. Ia mengambil handuk, lalu kemudian
menatap seorang pria yang kini berdiri di belakangnya.
“Bagaimana Duchess? Apa ada keluhan?”
“Tidak, Tuan. Nyonya tidak banyak mengeluh.
Sekarang ini, beliau sibuk memilih siapa saja yang akan
diundang ke pesta.”
“Pesta?”
“Iya, beliau berniat mengundang setidaknya lima
puluh orang.”

84
Azakiel mengangguk. Wanita itu belum meminta
izin padanya. Ia pun meraih air minum, lalu kemudian
menoleh ke arah Athalas. “Beritahu padaku jika
Duchess membutuhkan sesuatu.”
Athalas tersenyum kecil, ia jalan mengikuti
tuannya itu. “Waahh… Anda benar-benar suami yang
pengertian.”
“Jangan banyak omong. Kau gantikan aku, awasi
yang lain.”
“Baik.”
Azakiel pun menaruh handuknya di tempat yang
sudah disiapkan pelayan. Ia jalan ke kamarnya. Karena
semua pekerjaannya telah selesai, ia pun bisa istirahat
lebih awal. Ketika sampai di lorong, Azakiel melihat
Adelia jalan dengan pelayannya.
“Mau kemana?” tanya Azakiel. Wanita itu
memakai gaun kuning yang hanya cocok dengan
tubuhnya yang putih bercahaya.
“Makan di luar. Aku berangkat dengan
Margareth.”
“Ini sudah sore.”
“Tidak apa-apa. Aku biasa pulang malam.”

85
Azakiel tentu saja tidak setuju. Ia langsung
menghadang tangan Adelia. “Bahaya.”
“Katanya ada pasar malam. Aku ingin ke sana.”
Adelia menatapnya kesal, “Bukannya kita sudah janji
hidup masing-masing? Sekarang jangan coba-coba
melarangku!”
Azakiel menghela nafas, ditatapnya Margareth.
“Saya akan membersihkan diri sebentar. Jangan biarkan
Duchess pergi.”
“Hei…”
Azakiel tidak merespon pekikan gadis itu. Ia
langsung masuk ke kamarnya. Suara Adelia terdengar
membuka pintu, tapi Azakiel tidak merespon. Ia
membuka pakaiannya, sehingga Adelia dengan cepat
memalingkan wajahnya. “Apa-apaan kau ini?”
“Tunggu saja, aku tidak akan lama.”
“Kau ikut ke pasar malam?”
“Kau tidak tahu apapun. Di luar sangat gelap jika
sudah malam.” Gadis itu bahkan tidak berani dengan
gelap. Bisa-bisanya ingin berangkat sendiri dengan
pelayan.

86
Adelia menghela nafas. Ditatapnya sekeliling
kamar Azakiel. Karena mereka tukar kamar, kamar ini
tetap bernuansa cerah—layaknya kamar perempuan.
Pria itu tidak mengubahnya. Hanya sprei dan gorden
yang diganti. Mungkin, dia terlalu malas.
Tak membutuhkan waktu lama, Azakiel sudah
selesai membersihkan diri. Adelia memalingkan
wajah—tidak ingin menatap pria itu. Bisa-bisanya dia
bertelanjang dada seperti itu. Setelah beberapa saat,
Azakiel datang dengan setelan santai. Adelia menatap
pakaian Azakiel. Berbeda dengannya yang suka
memakai gaun glamour, Azakiel terlihat sederhana. Pria
itu selalu mamakai pakaian yang minim aksesoris.
“Ayo…” Azakiel mempersilakan wanita itu jalan
lebih dulu, lalu kemudian menyusulnya. Pelayan yang
menunggu di luar mengangkat kepalanya, “Tuan, apa
saya perlu ikut?”
“Tidak. Bawakan dia topi.”
“Aaahhh… Baik.” Adelia menatap Margareth
yang tersenyum seolah menggodanya karena jalan
berdua dengan Azakiel. “Aku tidak suka pakai topi.

87
Tatanan rambutku sudah bagus.” Adelia mendelik,
“Tidak usah diambilkan,” tekannya tegas.
Adelia langsung menarik Azakiel untuk jalan.
Pria itu terlihat tidak suka, tapi tidak juga melarangnya.
Mereka pun jalan ke kereta kuda. Karena mau berangkat
sampai malam, lentera yang dikereta ditambah. Adelia
menatap Azakiel. Ada banyak pria tampan akhir-akhir
ini, apalagi dulu dia tinggal di wilayah yang cukup
strategis. Banyak pria yang ia temui terlihat baik-baik
saja dari segi penampilan. Jadi, saat melihat Azakiel
yang juga tampan, Adelia seharusnya biasa saja.
Tapi, kenapa sekarang pria itu terlihat seperti
tipenya? Adelia sedikit memijat keningnya. „Jelas-jelas
kau tidak suka pernikahan ini, Adel.‟
Ia ingat, dulu sampai mengurung diri di kamar
hanya untuk menolak Azakiel Elvein Pollin, tapi kenapa
ia malah bertingkah seperti ini? „Dasar tidak jelas!‟
Adelia benci dirinya sendiri.
Pria itu terlihat duduk santai sembari membaca
surat kabar yang disediakan di kereta. Rasanya sangat
gerah. Seorang Adelia Vione Pollin tidak pernah
menyukai pria lebih dulu. Ia tidak akan pernah

88
melakukannya, apalagi mengemis cinta di hadapan laki-
laki. Tapi, Azakiel yang di depannya, membuat Adelia
benar-benar pusing. Kenapa pria itu tidak juga
menatapnya?
Tidakkah Azakiel tahu betapa susahnya memiliki
dirinya? Bahkan Grand Duke Reymond—pria dengan
pangkat yang sangat tinggi, selain anggota kerajaan
tertarik dengan Adelia. Seharusnya Azakiel bersyukur,
bukannya dengan pria itu, Adelia berakhir di sini.
Menjadi Duchess of Vien.
Adelia cemberut. “Mungkin kau sudah dengar.
Beberapa minggu lagi, aku akan mengadakan pesta.”
“Hem, ada yang kau butuhkan?”
“Tidak.”
“Apa aku perlu datang?”
“Tidak.” Adelia menghela nafas berat, membuat
Azakiel menaruh surat kabarnya. “Ada apa? Kau terlihat
tidak senang.”
Jelas, Adelia tidak senang. Kejadian kemarin,
tingkah Azakiel… semuanya membuatnya kesal.
“Kau mengatakan jalani hidup masing-
masing‟kan?”

89
“Lalu?” Azakiel mengernyit.
“Sepertinya aku tidak suka.” Suara Adelia sedikit
tertahan. “Bukan maksudku melarangmu hidup bebas.
Tapi, aku tidak yakin bisa menegakkan kepalaku jika
kau memiliki selingkuhan atau wanita lain.”
Azakiel menatapnya.
“Begini… Mungkin kau tidak tahu, tapi di
Delion… Aku benar-benar primadona. Tidak pernah ada
laki-laki yang berani menduakan aku. Mereka berlomba-
lomba mendapatkan aku dan menjadikan aku satu-
satunya.” Adelia sedikit merapikan rambutnya untuk
menyembunyikan kegugupan dari nada suaranya, “Jadi,
aku tidak akan bisa keluar rumah jika suamiku
selingkuh. Membayangkan aku digosipkan atau
dikasihani oleh orang lain, itu benar-benar mengerikan.”
Jeda sejenak, Adelia menatap wajah Azakiel, “Kau
mengerti‟kan? Kau mungkin tidak peduli tentang hal ini,
tapi aku sangat peduli. Martabat, kehormatan, itu benar-
benar tidak terpisahkan dari hidupku.”
Azakiel sedikit menyeringai, “Siapa juga yang
selingkuh?”

90
“Siapa tahu kau punya wanita lain.” Adelia
berdehem, mengangkat dagunya tinggi-tinggi, “Aku
sebenarnya tidak peduli kau punya wanita atau tidak,
tapi—“
“Katanya peduli.”
“Tunggu dulu…” Adelia berdecak, “Maksudnya,
aku tidak peduli dengan kisah cintamu di luaran sana.
Terserah kau suka dengan siapapun itu, tapi tidak
dengan menemuinya atau kencan. Itu sangat beresiko.
Siapa tahu ada yang lihat? Rumor selingkuh sekarang ini
sangat mengerikan.”
Azakiel mengernyit, “Sepertinya apa yang kau
dapat di pergaulan kelas atas Delion, selalu tentang
gosip dan rumor.”
“Ck! Dengar tidak?” Adelia menatap pria itu
kesal, “Kalau kau menemui orang lain, kembalikan saja
aku ke rumah orang tuaku di Delion! Aku anak satu-
satunya, tidak masalah jika aku kembali ke sana.”
Azakiel hanya geleng-geleng kepala.
“Hu‟uhh? Dengar tidak? Aku turun kalau kau
tidak merespon!” Adelia sudah akan membuka pintu

91
kereta, tapi Azakiel dengan cepat menahannya. “Iya, aku
dengar.”
“Awas, kalau kau menemui wanita lain dan
mempermalukan aku!”
“Justru sepertinya kau yang ingin menemui pria
lain.”
“Apanya? Aku bahkan tidak kenal siapa-siapa di
sini.”
“Itu, kau tidak mau memakai topi.” Azakiel
bersedekap dada, “Jelas-jelas wanita yang tidak
memakai topi saat keluar adalah wanita lajang. Kau
ingin terlihat seperti wanita lajang?”
“Hem, memang lajang.” Adelia memutar bola
matanya.
Azakiel mengangkat tangannya, lalu menyentil
dahi Adelia. Sontak saja, Adelia langsung melotot,
“Sakit!”
Azakiel diam, benar-benar tidak merasa bersalah.
Adelia pun mengambil cermin dari balik gaunnya, lalu
memeriksa dahinya yang disentil. Pria itu benar-benar…
Padahal dia tidak disentil dengan kekuatan penuh, tapi
ini saja sudah merah.

92
***

Setelah ke pasar malam hari itu, Adelia lebih


sering melihat Azakiel. Mereka beberapa kali
berpapasan, karena kamar yang berdekatan. Pria itu kini
bangun pukul enam pagi, sedangkan Adelia pukul
delapan. Saat ia akan turun untuk sarapan, ia akan
melihat Azakiel baru kembali dari latihan pagi hari. Pria
itu akan membersihkan diri, lalu bekerja seharian.
Adelia juga akhir-akhir ini sibuk. Karena Vien
baru pertama kali menyiapkan pesta setelah tujuh tahun,
banyak hal yang perlu Adelia perhatikan. Prabotan
pesta, makanan, minuman, musik, desain undangan.
Bahkan ia menghias aula dalam waktu kurang dari
seminggu. Pencahayaannya pun Adelia perbaiki,
sehingga kini aula perjamuan lebih baik dari tempo hari.
Adelia benar-benar tidak sabar untuk pesta
minggu depan. Ia ingin sekali orang-orang
mengenalnya. Jika ada yang cocok, Adelia bisa memilih
teman agar kehidupannya di Vien tidak terlalu sepi.

93
Tidak mungkin juga Adelia terus-terusan merecoki
Azakiel jika ingin keluar. Pria itu sangat sibuk dan
sepertinya tidak terlalu suka dengan keramaian.
Karena ingin semuanya berjalan dengan
sempurna, Adelia mengecek beberapa makanan yang
akan dihidangkan. Katanya, sudah ada staff dan koki
yang datang. Adelia hanya perlu mencicipi makanan,
lalu memilih yang mana yang harus mereka hidangkan
untuk nanti.
Ketika ia jalan ke ruangan yang telah disiapkan,
tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan pelayan. Ada
Margareth juga yang terlihat memeluk seorang gadis
muda dengan baju koki. Adelia mendongak, menatap
siapa orang itu. Kenapa bisa para pelayan
mengerumuninya?
“Huh?” Adelia merasa siluet itu tidak asing.
Ingatannya pun melayang ke kejadian beberapa minggu
yang lalu. Kalau tidak salah ingat, dia gadis yang
berbicara dengan Azakiel di toko roti. Melihat dia di
sini, itu artinya toko roti itu berpartisipasi dalam
penentuan hidangan untuk perjamuan.

94
Padahal suasana hatinya sangat bagus sejak tadi
pagi, tapi pemandangan itu membuatnya sedikit kesal.
Margareth yang melihatnya langsung membungkuk,
membuat Adelia berjalan kembali ke ruangan itu.
“Yang Mulia… Maaf, tadi saya lupa menjemput
Anda.”
“Tidak masalah, memangnya aku anak kecil?”
Adelia berdecak, lalu kemudian jalan ke hidangan yang
ada di sana. Para koki langsung membungkuk ke
arahnya. Adelia tidak membalas, ia jalan ke hidangan
itu.
Semuanya ada di sana, mulai dari olahan daging,
ikan, makanan penutup, minuman… semuanya sangat
banyak. Sebelum Adelia menyicipi, Margareth
mencobanya terlebih dahulu. Jika wanita itu tidak mati
keracuanan, itu artinya aman. Jadi, Adelia bisa mencoba
setelahnya.
Karena makanannya tidak banyak dan tidak ada
nama si pembuat, maka Adelia menilainya dengan
netral. Ia pun memilih berdasarkan apa yang dia suka.
Dan sialnya, gadis itu berhasil. Dia dan temannya

95
menutup mulutnya terharu, karena makanannya
sepertinya dipilih oleh Adelia.
Margareth yang melihatnya mengacungkan
jempol pada gadis itu. Adelia mendengus. Semuanya
terasa menyebalkan sekali. Jadi, setelah ia selesai
memberikan arahan, Adelia langsung keluar dari
ruangan itu. Margareth pun mengikutinya.
“Siapa dia?” gumam Adelia. Ia sudah mencoba
untuk tidak terlalu penasaran dengan gadis itu, tapi…
tanpa bisa dicegah, ia ingin tahu kenapa pelayan di sini
sangat akrab dengannya.
“Aaahhh… itu, Nona Celina. Nyonya pernah
melihatnya?”
“Ya, kalau tidak salah,” ujar Adelia malas.
Margareth mengangguk, “Beliau besar di istana
ini. Mendiang ibunya seorang dayang yang mengabdi
seumur hidup di kastil Vien.”
Adelia terdiam. Mungkin, karena itu dia kenal
dengan Azakiel. “Kenapa dia tidak jadi dayang saja?”
Margareth terlihat sedih, “Sepertinya tragedi
tujuh tahun yang lalu masih meninggalkan luka.”
“Tragedi apa?”

96
“Tuan Azakiel memberontak, karena
ketidakadilan yang Nona Celina dapat. Ceritanya cukup
panjang, Nyonya.” Margareth enggan untuk bercerita,
tapi Adelia menatapnya dengan menuntut. “Aku punya
banyak waktu untuk mendengarkannya.”
“Anda jangan bilang, ya?” Wanita itu
mengecilkan volume suaranya. “Ibu dari Nona Celina
disiksa oleh Duke Hugouth, sedangkan Nona Celina
sendiri dilecehkan oleh saudara Tuan Azakiel. Dulu,
beliau mempunyai 5 saudara laki-laki. Gosipnya, Nona
digilir sampai mau bunuh diri. Tuan Azakiel yang
menghentikannya dan berjanji pada Nona Celina, bahwa
dia akan membunuh orang itu.”
“Azakiel melakukannya demi Celina?”
Margareth mengangguk, “Padahal beliau tidak
tertarik dengan posisi Duke.”
Adelia terdiam. Ia hanya tahu rumor Azakiel
menempati posisi Duke dengan cara membantai
keluarganya sendiri. Namun, ia tidak tahu di balik itu
semua adala Celina. Ketika seseorang berani membunuh
keluarganya sendiri hanya untuk seorang gadis,
bukankah cinta yang dia miliki sangat besar?

97
Betapa sakit hati Azakiel saat wanita yang dia
cintai dilecehkan oleh saudaranya sendiri? Adelia pun
membuka pintu kamarnya. Entah kenapa, ia menjadi
tidak bersemangat. Ia tahu, ia tidak bisa masuk ke celah
itu.

98
Azakiel : 07

Akhirnya, hari yang ia nantikan datang juga. Setelah


sekian lama, pesta di kastil Vien akhirnya diadakan. Ada
banyak bangsawan yang datang. Bahkan ada yang
tinggal di luar Vien, pulang kembali ke kampung
halamannya, ketika mendengar Adelia mengundang
keluarga mereka. Sehingga, kini aula benar-benar ramai.
Adelia pun turun seorang diri ke lantai dasar.
Karena ini pertama kalinya ia muncul sebagai istri
penguasa wilayah, semua yang di bawah membungkuk,
memberikan penghormatan padanya. Adelia tersenyum
ketika musik dihentikan. “Selamat datang di kastil Vien.
Saya Adelia Vione Pollin, Duchess of Vien.”
Mereka kembali membungkuk. Adelia pun
mengangkat gelas wine, “Saya harap kalian semua
menikmati pestanya.”
Semua orang mengangkat gelas mereka, lalu
minum mengikuti Adelia. Sontak saja, pemandangan itu
membuatnya teringat kenangan masa lalu. Dulu, ketika
ia di Delion, Adelia selalu mengadakan pesta dan

99
membuat ayahnya marah. Sekarang, sepertinya ia hanya
bisa melakukan ini paling tidak satu tahun sekali.
Suaminya bahkan tidak datang. Kata Margareth, Tuan
mereka tidak suka pesta. Selain tidak pernah
mengadakan pesta, Azakiel tidak pernah hadir di setiap
undangan yang ia dapat.
Ketika sampai di lantai dasar, Adelia langsung
dihampiri oleh beberapa Lady dan Nyonya bangsawan.
Mereka memberikan penghormatan padanya, lalu
memperkenalkan diri satu persatu.
“Anda sangat cantik, Duchess. Saya terkejut saat
pertama melihat Anda di tangga.” Lady Welio dari
kediaman Marquess Aestra menyapa Adelia ramah.
“Benar, rumor mengatakan Anda mirip permata
ruby. Saya terkejut, ketika melihat aslinya. Permata ruby
pun kalah bersinar dari Anda.”
“Anda secantik jantung delima,” ujar mereka.
Jantung delima adalah pertama paling langka di
Manuala. Adelia hanya pernah melihatnya sekali. Itu
pun di musium dalam bentuk mahkota.

100
“Berhentilah. Tentunya banyak yang lebih
cantik,” seru Adelia merendah. Meski dalam hati ia
merasa paling cantik di sini.
Tujuh orang itu langsung mengajaknya untuk
jalan ke meja. Mereka menceritakan banyak hal dan
benar-benar menyanjung Adelia habis-habisan.
Sepertinya mereka sangat ingin dekat dengannya.
Bahkan ia diundang untuk berkuda pekan depan. Ya,
mengingat sekarang Adelia adalah pimpinan tertinggi
wanita bangsawan di Vien, tentunya, bergaul dengan
Adelia adalah suatu kehormatan bagi mereka.
Adelia pun mengalihkan pandangannya. Karena
terus-terusan disanjung, kepalanya pusing. “Saya akan
ke belakang sebentar, kalian nikmati pestanya.”
“Ah, baik Nyonya.”
Adelia pun segera pergi dari sana. Mereka baik,
tapi karena terlampau baik, rasanya sangat tidak
nyaman. Ia pun jalan mengambil air, lalu kemudian
menatap ke arah tempat makanan. Di sana, ia melihat
Celina berdiri melayani tamu yang ingin mencicipi kue.
Adelia hanya menatap dari jauh sembari meminum air
putih yang dia ambil tadi.

101
Gadis itu terlihat sangat rajin. Melihat
senyumnya, Adelia tidak menyangka dia pernah berniat
bunuh diri. Adelia pun menyandarkan tubuhnya, karena
perhatian berpusat padanya, ia kesusahan hanya untuk
bersantai. Untung saja tempat ini ada di balik dinding
dan cukup sepi. Jadi, ia bisa melihat semuanya dari sini
sembari mengistirahatkan punggungnya yang sejak tadi
harus berdiri tegak.
“Itu… Celina‟kan?” Suara beberapa perempuan
terdengar. Adelia mengernyit, ternyata gadis itu terkenal
juga.
“Pernah ada rumor dia berkencan dengan Duke
Azakiel. Sepertinya sekarang dia dicampakkan.”
“Kau tidak lihat bagaimana penampilan
Duchess? Jelas, dia tidak selevel dengan Celina.”
Beberapa wanita terkekeh, “Tapi, banyak yang
mendengar Duke bahkan membantai keluarganya demi
Celina. Aku kira Duke akan menikahi wanita itu.”
Wanita yang memakai baju merah mendekat,
“Aku pernah melihat Yang Mulia Duke dengan Celina
beberapa hari yang lalu. Sepertinya menjalin hubungan
di belakang Duchess.”

102
Adelia yang mendengarnya mengerjap. „Gila!‟
Berani-beraninya Azakiel mengingkari janjinya.
“Ssst… sudah, tidak baik membahas masa lalu
Tuan Duke. Bagaimana kalau ada yang dengar?”
Gerombolan perempuan itu pun akhirnya lewat,
meninggalkan Adelia yang diam di balik dinding.
Jika itu beberapa hari yang lalu, apa Azakiel
menemui Celina untuk memutuskan hubungan?
Entahlah, Adelia juga tidak yakin. Ia memijat
keningnya, apa karena suka dengan Azakiel dia
bertingkah seperti ini?
Tapi, Adelia bukan tipe orang yang suka dengan
orang lebih dulu. Tidak mungkin juga secepat ini. Pria
itu juga tidak ramah terhadapnya. Sekarang saja, dia
tidak datang ke pesta yang diadakan istrinya sendiri.
„Aku pasti sudah gila!‟ Adelia sedikit memukul
kepalanya sendiri. Ia pun jalan ke arah tempat makan.
Beberapa pelayan membungkuk ke arahnya,
mengajukan diri melayani Adelia. Tapi, ia dengan cepat
mengangkat tangannya, berniat untuk pergi sendiri. Ia
pun mengambil cemilan, lalu memakannya di tempat.

103
Cukup lama ia menikmati waktunya sendiri,
sebelum akhirnya sebuah suara membuatnya
membalikkan tubuh.
“Hormat saya, Nyonya Duchess.” Adelia
mengernyit. Gadis itu datang ke arahnya. “Saya Celina
Loren. Apa Anda ingin kue?”
“Tidak.” Adelia tidak terlalu menyukai wanita
itu. Tapi, dia juga tidak benci.
“Aaahh, baik.” Wanita itu menatapnya ramah,
“Selamat atas pernikahan Anda. Tolong, jaga Tuan
Duke. Saya harap kalian berbahagia.”
“Dia bukan anak kecil. Tidak perlu dijaga.”
Wanita itu tersenyum, “Tapi, kadang Tuan Duke
bisa bersikap seperti anak kecil.”
Nada suaranya seperti memamerkan bahwa dia
dekat dengan Azakiel. Adelia tidak menanggapi, karena
malas sekali berurusan dengan Celina. Ia kasihan
dengan musibah yang menimpa gadis itu, tapi untuk
bergaul lebih jauh sepertinya mereka tidak cocok.
Adelia hanya mengangguk sekilas, berniat pergi.
Tapi, tangan Celina menyentuhnya, hingga Adelia
refleks menyentak tangan wanita itu. Sentakannya cukup

104
keras, hingga Celina yang kaget dengan cepat
membungkuk. “Maafkan saya!”
Namun, ketika ia membungkuk dan bergerak,
siku Celina tidak sengaja menyentuh tempat makan yang
digunakan koki untuk memindahkan sup panas. Karena
kaget, wanita itu memekik, lalu menghindar. Tapi,
naasnya, ia bergerak ke arah pelayan yang sedang
membawa minuman dengan nampan. Alhasil, minuman
itu tumpah dan mengenai seluruh gaun wanita itu.
Pecahannya pun dimana-mana, membuat Adelia
langsung mundur menatap Celina yang terlihat
menyedihkan.
Wahh… baru kali ini Adelia melihat wanita
dengan nasib sial. Kenapa bisa kejadiannya bertubi-tubu
seperti itu?
“Ambilkan lap,” seru Adelia. Pelayan pun
langsung memberikannya lap untuk membersihkan
setitik noda di gaunnya. Sedangkan Celina masih berdiri
kaku dengan tubuh basah kuyup. Tubuhnya gemetar
karena kaget.
“Apa yang kau lakukan?” Tiba-tiba Azakiel jalan
ke arahnya, membuat Adelia mengernyit. “Apa?” Ia kini

105
menatap ke sekeliling. Ternyata mereka dijadikan pusat
perhatian.
“Minta maaf,” tekan Azakiel.
“Hah?” Adelia melotot, “Untuk apa aku minta
maaf?”
Celina dibantu berdiri oleh pelayan, sedangkan
Azakiel masih berdiri memandang Adelia. “Minta maaf
sekarang, sebelum aku marah.”
“Kau pikir aku yang melakukan ini?”
Pria itu diam, membuat Adelia langsung
berjalan, menggeser pecehan gelas untuk mendorong
tubuh Azakiel. “Aku tidak serendah itu.” Ia pun
mengambil gelas wine yang masih utuh, lalu
menyiramnya ke Celina. Bisa-bisanya wanita itu diam
dan tidak menjelaskan semuanya. “Ini baru aku yang
siram. Maaf.” Dipandanginya Azakiel, “Aku muak
denganmu.”
“Adelia!” Azakiel menyentuhnya, tapi Adelia
menepis tangan pria itu. “Jangan sentuh, kalau kau
masih mau melihat wajahku di Vien!”
Ia menegakkan dagunya, lalu jalan ke luar dari
tempat pesta. Semua orang memandangnya dan itu

106
membuat Adelia mengepalkan tangannya. Berani-
beraninya Azakiel meragukannya dan membuat Adelia
malu.
“Nyonya…” Margareth menyusulnya, tapi
Adelia dengan cepat jalan ke depan. “JANGAN SUSUL
AKU! PERGI!”
“Tapi…”
“Pergi!”
Margareth pun berhenti melangkah. Di
belakangnya terdapat Azakiel yang menyusul Adelia.
Pria itu terhenti, menatap punggung istrinya yang
berjalan semakin jauh.

***

Di kamar, Adelia berusaha untuk tidak


menangis. Ia melempar bantal dan memukuli guling di
kamarnya, seolah-olah melampiaskan kekesalannya
pada Azakiel. Berani sekali pria itu memperlakukannya
seperti ini.
Ia tahu, kadang kelakuannya memang tidak
benar. Tapi, bukan berarti ia kasar. Seberapa kesalnya

107
pun Adelia dengan orang itu, ia tidak akan memukul
atau menyiramnya dengan sengaja. Paling, ia hanya
tidak bergaul dengannya. “Mentang-mentang, mereka
mantan kekasih.”
Adelia kesal sekali. Jika saja jarak kastilnya
dengan Vien cukup dekat, pasti ia langsung pulang dan
mengadu pada ayahnnya. Sekarang, ia hanya bisa
menahannya seorang diri.
Tok… tok… tok…
Suara pintu terdengar, membuat Adelia langsung
menoleh. “JANGAN MASUK!”
“Nyonya, saya mohon… Kami harus memeriksa
kaki Anda.”
Adelia menatap kakinya, tidak ada yang terluka.
“Nyonya… maafkan kami, kami harus masuk.”
“Tidak ada yang luka!”
Mereka mengindahkan perkataan Adelia. Kini, ia
melihat dokter dan satu orang perawat datang membawa
obat-obatan.
“Pergi! Aku bilang tidak ada yang luka!”

108
“Tuan Duke akan membunuh saya, jika Anda
menyuruh pergi.” Pria tua itu membungkuk, lalu
menghampiri Adelia.
Perawat meminta maaf, lalu kemudian
memeriksa kaki Adelia—meskipun tidak mendapatkan
izin. “Ada sedikit lecet, Dok.” Perawat itu berkata pada
dokter.
“Ada yang kena pecahan kaca?” tanya Dokter.
“Tidak,” jawab perawat.
Dokter pun langsung mengobati lecet di kakinya.
Setelah itu, Adelia diberikan vitamin. “Anda sudah
bekerja keras hari ini. Minum ini supaya tidak sakit.”
Adelia pun meminumnya tanpa banyak bicara.
Setelah selesai, ia memandang mereka berdua. “Sudah,
sana pergi!”
Adelia langsung membenamkan tubuhnya di
ranjang. Dokter pun segera pergi, sedangkan perawat
wanita masih diam di sana. “Supaya Anda tidur dengan
nyaman, buka terlebih dahulu gaun luarnya, Nyonya.”
“Tidak.”.
“Saya mohon…”

109
Adelia merenggut, lalu kemudian berdiri agar
orang itu bisa melepas gaun luaran yang ia pakai.
Setelah itu, gaunnya dibawa keluar. Sepertinya akan
dicuci. Adelia pun tidak mempedulikan orang itu lagi, ia
menenggelamkan wajahnya di bantal.
Ini pesta pertama yang ia miliki. Apa ia punya
muka untuk menghadapi mereka, setelah Azakiel
memperlakukannya seperti itu?
“Menyebalkan…” Adelia membenamkan
wajahnya, lalu menangis.

***

“Tidak ada yang luka, Tuan. Hanya lecet, karena


Duchess memakai sepatu kaca,” ujar dokter yang keluar
dari kamar Adelia. Azakiel yang berdiri di luar
memandang pintu yang kini ditutup rapat. Sepertinya dia
sangat marah.
“Apa Duchess menangis?”

110
“Tidak, Tuan. Beliau tidak menangis.”
Azakiel mengusap rambutnya, “Baik, kau
pergilah.” Pria itu pun membungkuk, lalu pergi dari
sana. Azakiel kembali menatap pintu itu. Ia ingin masuk,
tapi sepertinya Adelia tidak ingin melihat wajahnya.
Ketika gadis itu pergi, Celina memberitahu
Azakiel bahwa Adelia tidak menyiramnya seperti apa
yang ia pikirkan. Adelia hanya menepis tangan wanita
itu. Ya, tidak salah, karena ia pun tahu Adelia tidak suka
disentuh oleh orang asing. Saat mereka di hutan, ada
pegawalnya yang tidak sengaja memegang tangan
Adelia ketika wanita itu turun untuk membasuh wajah di
air terjun, tapi pengawalnya malah didorong.
Azakiel pun menghela nafas. Apakah dia akan
marah dalam waktu yang lama?
“Tuan…” Azakiel menoleh. Di ujung sana, ada
Margareth dan juga Celina. Gadis itu sudah berganti
pakaian. “Maafkan saya, bagaimana ini? Apa Nonya
masih marah?”
“Dia di dalam,” ujar Azakiel. Ditatapnya Celina,
“Sudah aku bilang jangan dekat-dekat dengan Duchess.
Dia cukup sensitive.”

111
“Maafkan saya. Beliau sangat cantik, jadi saya
tanpa pikir panjang ingin mengajaknya mengobrol.”
Margareth menatap Celina. “Nyonya bahkan
baru menanyakan nama saya setelah lebih dari satu
minggu melayaninya. Tidak semudah itu mengobrol
dengan beliau, Celin.”
“Maaf.” Celina menatap Azakiel, “Beliau tidak
ingin pulang ke Delion kan? Bagaimana ini? Apa
sebaiknya saya masuk ke dalam untuk minta maaf?”
“Suasana hatinya sedang buruk. Kau pulanglah.”
Azakiel pun menatap kaki gadis itu yang kini diperban
secara sembarang. “Temui dokter dan minta perawatan.”
Celina membungkuk, “Sekali lagi maafkan saya
Tuan Duke.”
Azakiel mengangguk. Celina pun dibawa pergi
oleh Margareth. Sekali lagi, Azakiel menatap pintu itu
sebelum masuk ke kamarnya. Apakah semua perempuan
memang sesensitive Adelia? Dia membuat Azakiel
pusing dengan tingkahnya. Suasana hati gadis itu tidak
selalu baik.

***

112
Pagi-pagi sekali, Margareth membuka pintu
kamar. Di belakangnya sudah ada pelayan yang
membawa sarapan dan air panas untuk mandi. Jam
menunjukkan pukul 9 pagi—waktu biasa Nyonya
Duchess bangun. “Nyonya…” Margareth mengetuk
pintu kamar. “Izinkan saya masuk.” Margareth pun
membuka pintu.
Di ranjang, Adelia sedang tidur. Pakaiannya
masih belum diganti—hanya dilepas bagian luarannya
saja. Pelayan yang lain langsung mengisi air pemandian
dan meletakkan makanannya di meja. “Nyonya, sarapan
dulu.”
Adelia pun menggeliat. Margareth dapat melihat
mata gadis itu membengkak. „Aduh… bagaimana ini?‟
Apa ia harus memberitahunya pada Tuan Duke?
“Nyonya…” Margareth bersuara lagi, sehingga
gadis itu kali ini membuka matanya. “Maaf, saya masuk.
Air panas dan makanannya sudah siap.”
“Ck! Aku bisa turun sendiri ke bawah.
Memangnya aku anak kecil?”

113
Margareth sedikit tersenyum. Ia selalu
menganggap Nyonya perempuan dewasa. Tapi,
sayangnya… Tuan Duke selalu menganggap Duchess
membutuhkan perhatian lebih. Pria itu sangat peduli
tentang makanan, sarapan yang dimakan, suasana hati
Nonya Adelia. Sayang sekali Nyonya tidak tahu tentang
ini.
Adelia pun sedikit beranjak dari ranjangnya. Ia
menggeliat kecil, lalu menatap Margareth. “Nyonya,
ini… ada hadiah dari Tuan.”
Adelia menatap sebuah kotak yang cukup besar.
Adelia mengambil kotak itu. Ternyata isinya gaun
berwarna hijau pastel. Ada banyak butiran mutiara di
gaun itu. Selain gaun, di kotak itu juga ada sepatu.”
“Apa ini semacam sogokan permintaan maaf?”
“Tuan benar-benar merasa bersalah.”
“Ck! Seharusnya dia gantikan saja gaun
kekasihnya yang kotor.”
Margareth mengernyit, “Huh? Kekasih? Siapa
Nyonya?”
“Gadis udik itu. Sudahlah… aku tidak terlalu
peduli.”

114
“Nona Celina?” tanya Margareth. Kebetulan, ia
cukup dekat dengan Ibu Celina sebelum beliau
meninggal. Jadi, ia sudah tahu betul bagaimana Celina
selama di istana. Ia juga salah satu orang kepercayaan
Duke Azakiel, sehingga diminta melayani Duchess. Bisa
dikatakan, pengamatan Margareth cukup akurat.
“Nona Celina dan Tuan Duke bukan pasangan
kekasih. Mereka tidak pernah memiliki hubungan
romansa.”
“Ck! Kau tidak perlu berbohong.”
Margareth pun duduk di kursi di dekat sana. Para
pelayan yang membantunya sudah keluar, karena air
panas telah penuh.
“Benar, saya tidak bohong. Saya sudah 10 tahun
di kastil Vien. Dulu, Tuan Azakiel diasuh oleh Ibu
Celina. Ibu Tuan Duke meninggal sejak beliau
dilahirkan.”
Adelia diam, menyimak cerita itu. Ia cukup
tertarik mendengarkannya.
“Saat tahu pengasuhnya disiksa sampai
meninggal, Tuan marah besar. Apalagi saat tahu Nona
Celina dilecehkan. Saat itu, Tuan menyuruh saya

115
menjaga Celina, sementara beliau merencanakan
pemberontakan selama 1 bulan. Bisa dikatakan, beliau
menganggap Nona seperti keluarganya sendiri.”
“Tapi, tetap saja dia membunuh keluarganya
yang asli.”
“Mungkin Anda sudah mendengar ini, karena
bukan rahasia lagi. Tapi, mereka benar-benar binatang.
Duke Hugoth, sudara Tuan Azakiel yang lain, mereka
semua sangat buruk. Anda tahu‟kan pasar malam yang
sempat Anda kunjungi dengan Duke?”
Adelia mengangguk.
“Itu dulu bau sekali. Semua wilayah kekeringan,
kadang ada banjir. Rumah sakit tidak ada, jalanan penuh
dengan lubang tanah sampai tidak bisa dilewati kereta.
Saya sangat bersyukur Tuan Duke Azakiel
memberontak.”
Adelia pun terdiam. Berarti gosip yang ia dengar
tentang Vien adalah kondisi Vien sebelum dipimpin oleh
Azakiel. “Saat berusia 13 tahun, Tuan Azakiel kecil
sekali. Benar-benar tidak diberi makan oleh ayahnya.
Yang memberi makan hanya Ibu Nona Celina. Itupun

116
pakai uang yang beliau hasilkan dari bekerja sebagai
buruh ikan di pasar.”
“Bukannya dia dayang?”
“Kadang, dayang digaji, kadang beberapa bulan
tidak digaji. Jadi, kami keluar untuk mencari pekerjaan
sampingan.”
Adelia terperangah. Seberapa buruk sebenarnya
orang yang bernama Hugoth? Rasanya Adelia ingin
menggali kuburan pria itu, lalu memakinya.
“Intinya, pemberontakan Tuan Azakiel tidak
sepenuhnya karena Nona Celina. Duke sebelumnya
pantas dilengserkan.”
Adelia menunduk. Benahkah apa yang dikatakan
Margareth? Jika bukan karena ada hubungan dengan
Celina, kenapa Azakiel bersikap seperti itu padanya?
Apakah seburuk itu menjalin hubungan normal dengan
Adelia? Kenapa sampai ingin membuat batasan?
“Hem… Nyonya, bagaimana kalau kita mandi?
Saya takut airnya dingin.”
Adelia pun menghela nafas. Ia pun jalan ke
tempat pemandian. Margareth sedikit menggulung
bajunya, lalu mengikuti Adelia.

117
“Aku akan mandi sendiri,”
Margareth mengernyit, “Anda yakin?”
“Hem, memangnya aku anak kecil dimandikan
terus? Aku juga bisa menggosok tubuh sendiri.”
Margareth tersenyum. Sepertinya suasana hati
Duchess kembali membaik.

118
Azakiel 08

Beberapa hari kemudian, Adelia berpapasan dengan


Azakiel. Pria itu baru selesai latihan pagi, jadi… peluh
menetes di tubuhnya. Adelia menatap pria itu sambil
jalan ke arah yang berlawanan. “Tidak ada yang ingin
kau bicarakan?” ujar Adelia, dengan wajah yang masih
tidak enak.
Azakiel berhenti melangkah. “Sebentar…” Pria
itu jalan terus hingga sampai di kamarnya. Adelia kini
menoleh ke belakang, “Hei!” pekiknya kesal. Apa dia
tidak akan meminta maaf secara langsung?
“Aku berkeringat, kau pasti tidak suka.”
Adelia cemberut, lalu kemudian mengekori pria
itu. Azakiel mempersilakannya masuk ke kamarnya, lalu
kemudian jalan untuk meraih handuk. “Jangan buka di
sini,” ujar Adelia.
Pria itu hanya menaikkan alis, lalu kemudian
jalan ke tempat pemandian. Adelia yang melihat itu
meluruskan kakinya dengan bosan. Kenapa pria itu
tingkahnya sulit dimengerti? Bicara pun jarang.

119
Adelia pun menyandarkan tubuhnya pada kursi,
lalu kemudian menatap kamar Azakiel. Kali ini,
nuansanya sudah diubah menjadi lebih maskulin.
Ingatan Adelia pun otomatis melayang ke
pembicaraannya dengan Margareth. Ternyata ada orang
yang sesulit itu menjalani hidup.
Dulu, ia kira kehidupan Azakiel normal-normal
saja, layaknya Adelia. Ia memang tidak memiliki Ibu,
tapi semua orang menyayanginya. Ia diberikan perhatian
penuh, ibu pengasuh yang sangat baik, ayah yang suka
menuruti keinginannya. Semuanya berjalan dengan baik
dan ia merasa telah menjalani masa remaja yang
mengagumkan.
Untuk itu, saat membayangkan bagaimana masa
kecil dan remaja Azakiel, Adelia merasa terusik.
Katanya dia diberi makan oleh Ibu Celina. Apa
makanannya enak? Jika tidak diberi makan, apa dia
kelaparan? Terus, kata Margareth Azakiel baru sekolah
ketika menjadi Duke. Itupun dikirimi pengajar oleh Ratu
Julian. Jadi, selama ini dia tidak disekolahkan meski
bangsawan?

120
Rasanya benar-benar ingin menggali kuburan
Duke Hugoth, lalu melemparkan mayatnya untuk
dimakan oleh anjing—itupun jika masih ada tulangnya.
“Isshhh… Ada orang tua bentukannya seperti itu!”
Memikirkan itu, otomatis otak Adelia mencerna
kata-kata Azakiel saat sebelum mereka menikah. Pria itu
bilang tidak ingin menjalin hubungan. Apa dia trauma?
Ayahnya menikah empat kali, terus menelantarkan anak-
anaknya. Azakiel juga mengatakan tidak menginginkan
penerus. “Waah…” Adelia tidak habis pikir dengan
Duke Hugo. Apakah dia tidak tahu kelakuannya bisa
mempengaruhi mental anaknya?
Tak lama kemudian, Azakiel selesai
membersihkan diri. Wajah pria itu tampak segar dengan
pakaian sederhana. Pria itu mengeringkan rambutnya,
lalu duduk di hadapan Adelia. “Masih marah padaku?”
ujar Azakiel.
Adelia mengangguk.
“Aku minta maaf. Saat itu tatapanmu sinis sekali,
jadi aku pikir kau yang melakukannya.”
“Mataku memang seperti ini.”
“Tidak, matamu tidak seperti itu.”

121
“Aku kesal, karena gaunku kena noda.” Adelia
menghela nafas. Ditatapnya Azakiel. Rasanya sangat
malu menanyakan hal ini, tapi Adelia tidak ingin
menduga-duga. “Hem… aku ingin menanyakan
sesuatu.”
“Apa?”
“Apa kau trauma? Kau tidak ingin menjalin
hubungan, karena takut gagal?”
“Takut gagal?”
Adelia mengangguk, “Kau tidak mau punya
anak, karena takut menelantarkan anak-anakmu? Ya,
mengingat keluargamu tidak harmonis, sesuatu seperti
itu bisa terjadi.”
Azakiel menyeringai, “Kesimpulan macam apa
itu?”
“Terus, kenapa?” Jika bukan karena punya
wanita lain, apa yang mendasari Azakiel sampai tidak
mau menjalani pernikahan yang normal? Kenapa dia
membiarkan hubungan mereka jadi seperti ini?
Tangan Azakiel menyentuh kepala Adelia, lalu
menepuknya pelan. “Mau sarapan bersama?”
“Hei… Jawab dulu!”

122
Azakiel berdiri, lalu kemudian jalan keluar dari
kamarnya. Tindakan pria itu membuat Adelia semakin
terperangah. Baru kali ia bertemu dengan pria pengalih
topik yang menyebalkan seperti Azakiel.
“Apa karena topiknya sensitive?” seru Adelia
jengah. Kalau iya, pertanyaan macam apa yang bisa ia
tanyakan?
“Azakiel! Hei…” Adelia menyusul pria itu.

***

Kelas yang dulu ditunda kembali dilanjutkan. Ia


diberi materi tentang pengelolaan uang. Kas pengelolaan
kastil dan pengelolaan uang milik pribadi adalah dua hal
yang berbeda. Adelia perlu mengatur uang gaji,
pengeluaran makan, biaya kunjungan… semuanya harus
dipahami betul-betul sebelum mengurus uang rumah
tangga.
Adelia cukup pusing, mengingat banyak sekali
yang harus ia ingat. Apalagi sistem mata uangnya sedikit

123
berbeda dengan Delion. Rasanya, seperti belajar dari
awal. Adelia pun membaringkan kepalanya di meja.
“Nona, minum dulu,” ujar Margareth. Wanita itu
meletakkan minuman semangka, karena cauaca cukup
panas.
Adelia mendongak menatap perempuan dewasa
itu. “Apa kau menikah?” tanyanya.
Margareth bersemu malu, “Iya, saya sudah
menikah.”
“Punya anak?”
Margareth mengangguk, “Sudah, anak saya
sedang belajar di akademi. Dia tinggal di asrama.”
“Oh…” Adelia terdiam, ia sedikit meremas
rambutnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?”
“Azakiel… dia trauma, ya? Keluarganya kan
berantakan. Siapa tahu dia tidak mau punya anak, karena
takut atau apalah itu.”
“Hem…” Margareth berpikir sebentar, “Tuan
bilang tidak ingin punya anak?”
“Ya, sepertinya.”

124
“Saya rasa Tuan lebih tidak mau membebani
Anda.”
“Membebani bagaimana?” Adelia menegakkan
tubuhnya, bersandar pada kursi. Margareth pun langsung
duduk di depan Adelia. “Begini, ketika kita mempunyai
anak, kehidupan tidak lagi sama. Apalagi, ketika anak
itu masih kecil. Kita perlu mengurusnya, begadang
semalaman, tidak bisa lagi mendatangi pesta, karena
menjaga anak. Terus…” Margareth menunjuk perutnya,
“Tubuh wanita tidak lagi sama setelah melahirkan. Alih-
alih tidak menginginkan anak, rasanya Tuan Duke tidak
ingin membebani Anda. Apalagi Anda masih muda.”
Adelia mencebik, “Rasanya tidak begitu. Kau
jangan bilang ke siapa-siapa, ya! Ada yang mau aku
bicarakan.”
Margareth mengangguk semangat.
“Awas kalau kau bilang ke yang lain, aku akan
mendepakmu dari kastil.”
Margareth melotot, “Tentu, Nyonya.”
“Itu, sewaktu di istana, Azakiel meminta aku
untuk menjalani hidung masing-masing. Dia bilang kita

125
hanya menikah, lalu selesai. Tidak perlu menjalankan
kewajiban suami istri.”
“Tuan berkata seperti itu?”
Adelia mengangguk. “Iya, Tuan yang selalu kau
bilang baik itu!”
Margareth tersenyum, “Nyonya… Anda tahu apa
yang dilakukan Tuan, ketika Duke wilayah Delion
menerima lamarannya?”
“Iya, dia langsung datang ke istana‟ kan?”
“Bukan.” Margareth menatap Adelia geli,
“Sebelum bilang ke Tuan Zeroes, Ratu Julian mengirim
surat ke Duke Azakiel, membicarakan tentang
perjodohan. Beliau mau tidak dengan Putri Duke
Zeroes? Mungkin, Tuan Duke Azakiel mengatakan mau,
sampai rencana perjodohannya berlanjut.”
“Satu bulan kemudian, ada kabar Duke Zeroes
mempertimbangkannya secara positif. Setelah itu, Tuan
langsung memperbaiki kastil.” Margareth terkikik,
“Dulu, lantainya pun tidak diurus oleh Tuan, karena
beliau tidak peduli. Baru setelah mendengar kabar itu,
kita mengganti kaca jendela, penerangan, memperbaiki
lantai yang pecah… semuanya dilakukan oleh Tuan.

126
Setelah itu, sebulan kemudian lamarannya diresmikan.
Akhirnya, Tuan langsung berangkat ke istana. Itu waktu
yang panjang untuk Tuan Duke, Nona. Pernikahan Anda
tidaklah mendadak. Kami menyiapkan diri jauh-jauh
hari sampai menunggu keputusan akhir dari ayah Anda.”
Adelia mengerutkan keningnya? Benarkah?
Bukannya pembahasan lamaran ketika ayahnya datang
ke pesta kerajaan?
“Kau tidak bohong‟kan?”
“Tentu saja tidak. Saya sangat tahu, karena dulu
ikut menghias kamar utama yang akan diberikan pada
Anda.” Margareth tersenyum, “Karena Delion sangatlah
maju, Tuan memikirkan banyak hal agar Anda nyaman.
Beliau bahkan pindah dari kamar itu dan memberinya
pada Anda.”
“Aku nyaman,” elak Adelia.
Margareth mengangguk, “Hem, Tuan selalu
mengkhwatirkan banyak hal. Seperti yang Anda katakan
tadi, bisa saja Tuan berbicara seperti itu karena
menghwatirkan Anda.” Ditatapnya Adelia lembut, “Jika
Tuan kesulitan memulai hubungan lebih dulu, bisakah
Anda mendekatinya, Nyonya? Percayalah… Tuan tidak

127
mungkin bermaksud seperti itu. Dia sangat kesepian
selama ini.”
“Jadi, sikapnya tidak ada hubungannya dengan
trauma?”
Margareth memiringkan kepalanya tidak yakin.
“Saya juga tidak tahu. Masa kecil Tuan memang sulit.
Tapi, daripada itu… saya rasa dia membutuhkan
seseorang di sisinya. Selama ini Tuan sangat kesepian.”
Adelia pun memikirkan perkataan Margareth.
Jika dia sampai membetulkan kastil, mempedulikan
kenyamanan Adelia… bisa saja dia memang tidak
membenci pernikahan ini. Adelia berpangku tangan.
Tapi, jika mendekati Azakiel lebih dulu, itu akan sangat
memalukan. Adelia belum pernah mendekati pria lebih
dulu.
“Aaahh… aku pusing!” Rasanya susah sekali
menurunkan ego dan gengsi. Padahal, sepertinya Adelia
cukup tertarik dengan Azakiel. Ia tidak tahu ini rasa
suka atau tidak, tapi rasanya ia ingin lebih dekat dengan
pria itu.
“Sebaiknya Anda istirahat, Nona. Belajarnya
disudahi saja.”

128
Adelia mengangguk, ditatapnya Margareth,
“Terima kasih sudah mau mendengarkanku.”
Margareth tersenyum, “Kapanpun itu, Anda bisa
berbicara dengan saya.”
Adelia mengangguk pelan. Ia pun bangun dari
tempat duduknya, lalu jalan ke kamar. Di sepanjang
jalan, Adelia memikirkan… apa yang harus ia lakukan
nanti. Bisakah ia membuat Azakiel lebih dekat
dengannya, sehingga hubungan mereka tidak seperti ini?
Hidup bersama dengan pria itu layaknya pasangan
menikah yang normal. Adelia ingin merasakannya
bersama Azakiel.

***

Azakiel turun dari kudanya, diikuti oleh kesatria


yang lain. Mereka baru pulang dari proyek bendungan
untuk persiapan musim kemarau nanti. Ia pun jalan ke
arah ruang kerjanya. Hari sudah cukup sore dan masih
ada beberapa hal yang perlu ia urus.
“Tuan Duke… tadi Nyonya Duchess kemari, tapi
Tuan tidak ada.”

129
“Kapan?” Tangan Azakiel yang akan membuka
pintu terhenti.
“Baru saja. Sepertinya Nyonya ingin mengajak
keluar.”
Azakiel membalik badannya, “Dia di kamar?”
“Saya kurang tahu, Tuan.”
Azakiel mengusap rambutnya, lalu jalan ke arah
sebaliknya. Athalas yang melihatnya dari jauh langsung
jalan menghampiri Azakiel. “Kau lihat Duchess?”
“Mungkin di kamarnya, Tuan?”
Azakiel pun jalan ke kamar Adelia. Namun,
ketika sampai di sana… ia malah menemukan beberapa
pelayan yang sedang membersihkan kamar. “Duchess di
mana?”
“Nyonya sedang keluar, Tuan. Katanya jalan-
jalan.”
“Ke mana?”
“Kami tidak tahu.” Pelayan membungkuk ke
arahnya.
Azakiel pun langsung turun kembali ke bawah.
“Tuan Duke, perihal laporan yang kemarin—“

130
“Nanti saja.” Azakiel langsung jalan ke arah
kereta, mengabaikan Athalas yang mengikutinya di
belakang. Gadis itu… kenapa selalu saja tidak minta
izin? Setidaknya, jika ingin keluar beritahu pengawal.
Azakiel pun langsung menatap jalanan pasar—
mencari kereta milik kediaman Duke. Namun, di
sepanjang jalan, kereta tersebut tidak ada. Azakiel pun
turun di keramainan pasar. Jika bukan ke sini, kemana
gadis itu pergi?
Azakiel jalan menyusuri beberapa toko yang
mungkin dikunjungi oleh Adelia. Tapi, tetap saja…
gadis itu tidak ada. Azakiel pun menyerah. Ia jalan ke
tempat lain, mulai dari danau di dekat pasar, toko bunga,
lalu kemudian… ia menatap ujung jalan yang katanya
perancang gaun paling bagus di Vien. Azakiel pun
datang ke sana.
“Tuan…” Para penjaga toko langsung
membungkuk ke arahnya. Azakiel pun menutup
lencananya. Karena ia baru selesai tugas luar, ia masih
memakai pakaian dengan lencana yang menunjukkan
posisinya sebagai Duke.
“Apa Duchess di sini?”

131
“Iya, Tuan. Duchess di lantai dua.” Penjaga toko
pun langsung mengantarkannya ke lantai dua. Azakiel
menatap ke sekeliling. Ternyata di lantai ini terdapat
banyak kumpulan kain. Ia mengedarkan pandangannya
dan melihat sosok perempuan yang sedang memilah-
milah kain. Wajahnya tampak fokus, benar-benar
mengabaikan sekitar. Apakah dia tidak sadar bahwa hari
akan menginjak malam? Bisa-bisanya keluar di sore hari
tanpa pengawalan.
“Adelia…” Azakiel bersuara.
Perempuan itu pun menoleh, lalu kemudian
melambai dengan riang, seolah ia tidak bersalah, karena
keluar tanpa izin. “Bagaimana kau bisa tahu aku di
sini?”
Azakiel menghela nafas lelah. Ia jalan mendekat.
Ditatapnya kain yang dipilih oleh Adelia. “Kau sedang
apa?” Jenis kainnya bukan kain untuk pakaian
perempuan.
“Aku tadi ke ruang kerjamu, tapi kau tidak ada.
Aku ambil satu pakaianmu untuk diukur.” Adelia
menoleh ke arah perancang busana, “Suamiku sudah di
sini. Kau ukur dia saja, biar ukurannya lebih pas.”

132
Azakiel mengernyit, “Buat apa?”
“Aku akan membelikanmu setelan.” Gadis itu
tersenyum.
Azakiel terdiam sebentar, „Apa suasana hatinya
sedang bagus?‟ Adelia dengan semangat menunjukkan
model pakaian yang akan dibuat. Ada dua belas setelan
dan semua itu dirancang khusus untuknya, bukan
pakaian jadi yang biasa Azakiel beli.
Mereka melakukan pengukuran cukup lama,
berbicara tentang kain, lalu kemudian mengukur
aksesoris yang cocok untuk setiap pakaian. Adelia
terlihat sangat biasa melakukan hal ini. Azakiel hanya
mengikuti apa yang dikatakan gadis itu.
“Tagihannya kirimkan saja ke kediaman Duke,”
ujar Azakiel setelah selesai.
Perancang tersebut tersenyum, “Nyonya sudah
membayarnya, Tuan.”
“Aku yang traktir,” seru Adelia. Gadis itu pun
jalan mendahuluinya untuk pulang. Hari menginjak
malam. Margareth pulang dengan kereta yang tadi
Adelia naiki. Itupun setelah ia nasehati baik-baik untuk
tidak membawa Adelia pergi tanpa pengawal.

133
“Tadi aku yang memaksa Margareth,” ujar
Adelia setelah mereka naik ke kereta.
“Aku akan menunjuk pengawal. Kau tidak bisa
terus-terusan seperti ini.”
“Jangan! Aku tidak suka orang asing
mengikutiku kemana-mana.”
“Lalu, bagaimana jika celaka di jalan? Apa kau
tidak tahu banyak perampok yang berkeliaran?”
Adelia menggeleng, “Margareth bilang kawasan
Vien sekarang aman. Lagipula, banyak penertiban. Ada
pos jaga juga.” Gadis itu tidak mau kalah.
Karena mereka duduk berhadapan, Azakiel bisa
melihat ekspresi wajah Adelia lebih jelas. “Nanti
kirimkan tagihannya padaku. Pakai uang untuk
keperluanmu sendiri.”
“Jangan. Sudah aku bilang aku ingin
membelikanmu sesuatu.”
Azakiel mengernyit. Biasanya wajah Adelia
ditekuk, tapi sekarang kenapa tiba-tiba baik? “Ada hal
yang membuatmu senang?”
“Hem, Vien menyenangkan.” Ketika Adelia
berbicara seperti itu, ekspresi Azakiel sedikit mematung.

134
Pria itu menatapnya lama, lalu kemudian menoleh ke
arah jendela. “Bohong…”
“Tempat ini baik-baik saja. Orang-orangnya juga
baik. Untuk apa aku bohong? Aku orang yang terang-
terangan, kalau tidak suka, aku akan bilang tidak suka.”
Adelia pun menyandarkan tubuhnya, menatap Azakiel.
“Kau yang punya wilayah ini, kenapa bilang Vien buruk
terus?”
Azakiel menghela nafas, “Dibandingkan
Delion—“
“Setiap wilayah punya keunikannya sendiri.”
Adelia berdecak, “Kalau kau tidak mencintai
wilayahmu, bagaimana bisa orang lain mencintainya?”
Azakiel terdiam.
“Vien tidak buruk, kau juga tidak buruk.”
Pria itu mengusap rambutnya, “Kenapa tiba-tiba
bicara seperti itu?”
“Aku ingin kau tahu, kalau kau itu keren.”
“Huh?”
“Kau itu keren, Azakiel. Kau seharusnya pamer.”
Adelia memangku tangannya dengan cemberut,
“Syukurlah kau menikah dengan wanita tukang pamer

135
sepertiku. Aku akan menyombongkanmu kemana-
mana.” Adelia mengerling, “Serahkan saja pada
istrimu.”
Bersamaan dengan itu, kereta kuda pun berhenti.
Adelia yang salah tingkah, membuka pintu seorang diri.
Kereta Margareth sudah di depan, sedangkan Azakiel
tidak merespon pujiannya. Tidak ingin lebih malu lagi,
Adelia langsung turun, lalu kemudian jalan
menghampiri pelayannya itu.
“Aku masuk dulu!” Adelia berseru,
meninggalkan Azakiel yang menatapnya dari belakang.

136
Azakiel 09

Musim panas Vien tahun ini adalah yang terpanas dari


tahun sebelumnya. Matahari sangat terik dan hawanya
pun terasa sangat gersang dan berdebu. Semua orang
berpikir dua kali hanya untuk berada di luar ruangan.
Jadi, sepanjang mata memandang hanya ada kesatria
yang sedang latihan. Turnamen kesatria dari enam
wilayah akan berlangsung dalam waktu dekat. Vien
akan mengirim kesatria mereka untuk mengikuti
turnamen. Jadi, dalam beberapa waktu mereka berlatih
gila-gilaan.
Adelia mendengus sebal. Gara-gara turnamen
ini, Azakiel sangat sibuk. Pria itu hampir tidak pernah
kelihatan. Adelia sampai frustasi sendiri. Ia sudah
menekan egonya untuk melayangkan beberapa pujian
agar lebih dekat dengan pria itu. Tapi, sikap Azakiel
masih saja membuatnya kesusahan.
“Nona, tadi sebelum pergi Tuan bilang untuk
diam di kamar. Cuacanya sedang buruk.”

137
Adelia menatap kaca jendela. Hari ini memang
panas sekali. “Aku berniat mengambil buku di
perpustakaan. Kau tidak usah ikut.”
“Nanti cepat kembali ya, Nyonya. Tuan
menitipkan Anda pada saya.”
Adelia mengangguk. Ia pun jalan keluar dari
kamarnya. Suara dari orang-orang yang latihan
terdengar jelas. Adelia pun putar balik—siapa tahu
Azakiel ada di sana. Ia menunggu beberapa saat—
mengingat mereka lari mengelilingi kastil.
Tapi, setelah lama menunggu, Azakiel tidak ada.
Apa maksud Margareth Azakiel pergi untuk tugas luar?
Adelia pun pasrah. Ia jalan ke perpustakaan
untuk mengambil novel romansa yang ia pesan
seminggu yang lalu. Setelah selesai, Adelia jalan
kembali ke kamarnya. Kali ini, orang yang latihan lewat.
“Hei!” Adelia melambai ke arah komandan yang sering
bersama Azakiel.
Pria itu langsung membungkuk ke arahnya, lalu
kemudian jalan mendekat. “Hormat saya, Nyonya. Ada
yang Anda butuhkan?”
“Azakiel… dia pergi keluar?”

138
“Iya, Tuan ke tempat pembuatan senjata.”
“Lama?”
“Nanti juga kembali, Nyonya. Ada yang Anda
butuhkan?”
Adelia menggeleng. “Siapa namamu?”
“Athalas.”
Adelia mangut-mangut, lalu kemudian berlalu
begitu saja. Sampai di kamar, ia membaca buku yang
telah ia pesan. Tapi, karena ceritanya sulit untuk
dimengerti, Adelia bosan. Akhirnya menjelang siang,
Adelia jalan-jalan mengelilingi kastil.
Karena ia memakai celana panjang, ia dan yang
lain masuk ke hutan tempat menara berada. Adelia
menatap ke sekeliling. Meskipun ada di dalam hutan,
menara ini dirawat dengan baik oleh Azakiel. “Ratu
Julian dulu tinggal di sini,” bisik Margareth.
Adelia melotot. Meskipun terawat, tapi untuk
ditinggali rasanya agak… “Kau tidak menipuku, kan?”
Margareth menggeleng, “Tentu saja tidak,
Nyonya. Anda tahu tidak kenapa Ratu Julian bisa
menikah dengan Raja Jef?”
Adelia berpikir sebentar, “Dijodohkan?”

139
“Lebih tepatnya, dulu mendiang Raja Deros
jatuh di tengah hutan. Ratu Julian menyelamatkannya,
lalu membawanya ke menara ini. Setelah Raja Deros
dijemput oleh pihak istana, Ratu Julian diundang ke
kerajaan Manuala. Sampai di sana, ia dikenalkan ke
anaknya, Yang Mulia Narenth V, Jeffrey Narenth
Felipe. Waktu itu, seluruh Vien heboh sekali.”
“Wah…” Adelia tidak menyangka kisahnya
seperti itu. “Dramatis sekali,” ujar Adelia. Ia pun jalan
kembali ke arah kastil utama. “Coba saja kalau Azakiel
terluka, aku yang selamatkan terus—“
“NYONYA!”
Belum selesai Margareth berbicara, kaki Adelia
sudah terpeleset ke arah lubang. Tubuhnya jatuh dan
dagunya menghantam tanah. “Aaaahhh…” Adelia
memekik, menatap orang-orang yang ikut dengannya ke
hutan. Lalu, karena sakit sekali, Adelia menangis,
sampai semua orang kebingungan.

***

140
“Aku sudah memperingati kalian berkali-kali,
tapi masih saja tidak mendengarkan perintah!”
Ditatapnya orang-orang yang ia tugaskan untuk menjaga
Adelia. “Jika kejadian seperti ini terlulang lagi, kalian
dipindah tugaskan. Aku tidak memberi keringanan
apapun.”
“Maafkan saya, Tuan Duke. Saya akan mengurus
mereka lebih baik.” Kepala pengurus rumah
membungkuk berkali-kali.
Para pelayan pun hanya bisa menunduk—tidak
berani menatap wajahnya. Azakiel menatap mereka
selilas, lalu kemudian keluar dari pintu ruangan
pendisiplinan.
“Setelah menanyakan Anda, Nyonya Adelia
langsung ke kamar. Saya tidak tahu beliau ke hutan.
Maafkan saya.” Athalas membungkuk, lalu kemudian
jalan mengikuti Azakiel. “Kau pergi ke tempat latihan.
Bawakan para pengawal yang cocok untuk menjaga
Adelia.”
“Baik, Tuan.”
Setelah mengatakan itu, Azakiel langsung jalan
ke arah kamar Adelia. Saat pulang tadi, ia sudah

141
mendapatkan laporan kalau Adelia jatuh di dekat
menara, di saat ia sudah memperingati bahwa gadis itu
tidak boleh kemana-mana.
Azakiel pun mengusap tengkuknya, lalu
kemudian membuka pintu kamar. Adelia terlihat
berbaring—dengan kaki yang diperban. Azakiel pun
langsung masuk, lalu kemudian memeriksa dagu Adelia.
Dagu yang awalnya mulus dan runcing itu sedikit lecet.
“Sakit…” Gadis itu menatapnya sendu. Matanya
menunjukkan dengan jelas kalau ia sempat menangis.
“Berapa kali aku bilang, jangan keluar. Cuaca
sedang tidak bagus. Tapi kau malah…” Azakiel
menatapnya jengah, “Aku tidak punya pilihan lain selain
memberimu pengawal. Tidak ada bantahan untuk kali
ini.”
“Aku yang kurang terbiasa jalan di hutan. Tidak
ada yang perlu disalahkan. Awas saja kalau kau sampai
menghukum pelayan-pelayanku.”
“Pelayan yang membebaskan tuan mereka
kemana-mana? Cuaca sedang panas, berdebu, tapi kau
malah masuk hutan. Seharusnya pelayan melarang,
bukan malah ikut-ikutan kelakuanmu yang seperti itu.”

142
“Hei—” Adelia beranjak, “Aku sudah sakit,
malah dimarahi!”
“Itu karena kau tidak bisa diberitahu. Apa
susahnya diam di kamar. Setelah cuaca membaik,
silakan jalan-jalan, aku tidak melarang.”
Adelia berniat menyanggah, tapi Azakiel
langsung mengulurkan tangannya di kening Adelia.
Sedikit hangat. “Sekarang demam, karena kepanasan.
Siapa yang repot?” Pria itu mendorong tubuhnya untuk
berbaring.
Mendengar omelan Azakiel, Adelia pun teringat
akan ayahnya. Dulu, dia juga sering diomeli karena suka
hujan-hujanan. “Azakiel… apa kau menganggapku anak
kecil?” Bentuk perhatian pria itu seolah ia menganggap
Adelia tidak dewasa. Padahal ini hanya demam dan bisa
sembuh, tapi kenapa berlebihan? “Aku benci kau
menganggapku anak kecil!”
“Orang dewasa bisa diberitahu. Sedangkan
kau… kau tidak bisa diberitahu.”
“Pergi sana! Aku kesal denganmu.”
“Adelia…”

143
Adelia pun membaringkan tubuhnya
memunggungi Azakiel. Ia meraih selimut, berniat
menyembunyikan wajahnya, tapi Azakiel langsung
menarik selimut itu. “Bagaimana aku bisa
menganggapmu anak kecil? Sudah, jangan merajuk.
Aku panggilkan dokter,” ujar Azakiel, lalu kemudian
berlalu dari ruangan.
Adelia yang melihatnya pun mendongak. Jadi,
perhatian yang dia tunjukkan bukan ingin berperan
sebagai ayahnya?
“Kemana? Istrimu sakit!” seru Adelia kesal,
ketika Azakiel benar-benar pergi dari kamarnya.

***

Azakiel…

Bagaimana kabarmu? Apa semuanya baik-baik saja?


Aku mengirim surat ini, karena khawatir kau tidak bisa
beradaptasi dengan pernikahan.

144
Sebagai kakakmu dan orang yang mendekatkanmu
dengan Adelia, aku punya tanggung jawab untuk memastikan
gadis itu bahagia. Jadi, segera balas surat ini dan lampirkan
keadaanmu di sana.
Ingat, Azakiel… tidak ada yang salah dengan
menyukai atau mencintai seseorang. Kau tidak perlu malu
untuk itu. Malulah ketika kau kehilangan kesempatan untuk
bilang kau menyukainya. Jangan mengecewakan kakak, ya.

Julian Rozeanne

Azakiel terdiam saat membaca tulisan kakaknya.


Kenapa beliau seolah bisa membacanya dengan baik?
Padahal mereka jarang bertemu. Ia pun menoleh ke arah
balkon. Di luar, ada elang hitam besar yang sedang
menunggu balasan surat darinya.
Mau tidak mau, Azakiel langsung menulis surat
agar Ratu Julian tidak khawatir. Cukup lama Azakiel
memikirkan kata demi kata untuk mengelak, tapi burung
itu terus-terusan berterbangan, hingga membuat Azakiel
cukup kesal. “Apa kau ada di pihak kakakku?” Azakiel

145
menatap gelang yang melingkar di kaki elang itu. Jason.
Nama yang cukup gagah.
Azakiel pun langsung mengikatkan sebuah kotak
di kaki elang itu. Ia bertepuk tangan agar Jason pergi,
tapi elang hitam itu tidak kunjung beranjak. Azakiel pun
tersadar. Apa dia lapar? Mengingat jarak kerajaan dan
Vien sangatlah jauh. Azakiel pun langsung memanggil
pelayan untuk membawakan daging.
“Apa ini ongkos jalan?” ujar Azakiel, ketika
Jason memakan daging dengan lahap. Setelah daging itu
tandas, Jason memekik, lalu terbang membelah langit
malam. Azakiel tersenyum tipis. Ia pun jalan ke arah
ranjangnya.
Saat membaca surat dari Ratu Julian, tiba-tiba ia
teringat kenangan 5 tahun silam. Saat itu, ia datang ke
sebuah wilayah sebagai prajurit bayaran. Azakiel sudah
melakukannya beberapa kali dan tidak ada yang sadar
bahwa ia seorang Duke. Saat itu, perang telah usai.
Azakiel jalan ke atas bukit untuk mengistirahatkan
tubuhnya.
Di bukit itu, anginnya kencang sekali. Ia hanya
duduk di bawah pohon sambil mengelap darah yang

146
menetes di lengannya yang kemarin terluka. Rasa
kantuk melanda Azakiel. Ia pun memejamkan matanya,
ingin sekali melarikan diri dari penderitaan ini.
Ia telah menajadi Duke selama dua tahun, dan
selama itu… tidak ada kenangan yang baik. Semuanya
terasa menyesakkan dan dia ingin lari sejauh mungkin.
Ia benci memikirkan bagaimana supaya rakyatnya tidak
menjadi pengemis? Bau busuk itu menguar, membuat
Azakiel muak dengan Vien. Jika saja ia bisa bebas dari
status ini, pergi sejauh mungkin, apa ia bisa bahagia?
Pikiran meninggalkan Vien bagi mimpi yang
setiap malam menghantuinya. Ia masih delapan belas
tahun dan semuanya sangat sulit untuknya. Azakiel
menghela nafas, memijat keningnya yang terasa pening.
Haruskah ia melakukannya? Kabur?
Azakiel merasakan dilema yang luar biasa. Ia
sudah berpikir untuk turun dari bukit dan jalan ke arah
utara, tapi… suara gerombolan perempuan membuatnya
terdiam sebentar. Beberapa perempuan terlihat
menenteng makanan, sedangkan yang di depan
menatapnya lekat-lekat.

147
“Kami akan piknik, apa Anda masih mau di
sini?”
“Saya akan pergi.” Azakiel akan beranjak, tapi
gadis itu maju ke arahnya. “Tunggu… Anda berdarah?”
Matanya gadis itu membulat.
“Bukan sesuatu yang serius.” Azakiel berniat
pergi, tapi gadis di depannya meminta obat-obatan ke
perempuan yang di belakang. Bisa jadi, dia bangsawan,
karena banyak pelayan menggerumuninya. “Ikat dengan
benar, nanti infeksi.”
Azakiel diam saja, membuat gadis itu maju
selangkah dan meletakkan obat-obatan itu di tangan
Azakiel. “Wah, dari dekat Anda sangat tampan.”
Pelayan di belakang tersenyum, “Benar-benar
seperti tipe Anda, Lady.”
“Saya tidak pernah melihat pria ibu kota dengan
rambut mencolok seperti Anda. Anda berasal dari mana,
Tuan kesatria?”
Azakiel diam saja, ia mengikat lukanya sembari
menatap gadis di depannya. Dia masih kecil, tapi terlihat
seperti perayu yang handal. “Terima kasih.” Azakiel

148
mengembalikan sisa obat dan perban, lalu kemudian
jalan untuk turun.
Gadis itu tertawa dengan teman-temannya.
“Tidak Anda tanyakan namanya Lady?”
“Ck! Dia hanya kesatria. Aku ingin mempunyai
kekasih pewaris gelar Duke. Atau paling tidak Marquess
mungkin?”
Suara gadis itu terdengar cukup keras. Azakiel
yang melihatnya menoleh ke belakang, menatap
perempuan itu. Wajahnya secerah permata. Ya, seorang
Lady bangsawan dengan kecantikan itu, pastinya hanya
bisa didapatkan oleh seorang bangsawan yang berkuasa.
Dia tidak akan mau dengan pria rendahan.
Azakiel menatap ujung sepatunya. Ia yang
semula ingin lari ke arah utara—meninggalkan teman-
teman seperjuangannya, terdiam sebentar. Ia
mendongakkan kepalanya ke atas bukit. Gadis itu
diterpa cahaya matahari, ia juga menoleh ke bawah
menatap Azakiel.
“Nama Anda siapa?” Gadis itu berteriak.
Azakiel diam.
“Saya Adelia Vione Pollin.”

149
Teman-temannya menertawakan tingkah Adelia.
“Tuan Kesatria, jika Anda menyukainya jadilah Duke!
Atau Marquess!”
“Hei… apa yang kau katakan!” Adelia terlihat
berbicara dengan teman-temannya. Tidak ada balasan
lagi dari gadis itu. Azakiel pun mengalihkan
pandangannya. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, lalu
kemudian lari ke arah selatan.
Yang ia punya sekarang adalah kekuatannya.
Orang-orang tahu ia adalah seorang monster yang
membunuh keluarganya sendiri. Jika ia menjual
ketakutan akan kekuatan militer Vien, bukankah hasil
yang ia terima ketika bertempur untuk wilayah lain akan
lebih besar?
Azakiel pun lari, menatap rekan-rekan yang
sudah berjuang agar Vien lebih baik. Mereka terlihat
duduk di bawah, saling bercanda meski hanya makan
daging hasil buruan. Ya, ia tidak sendirian. Masih ada
mereka yang bertahan di sisinya.
Tok… tok… tok…

“Azakiel…”

150
Suara yang sama sejak 5 tahun yang lalu.
Azakiel menoleh ke arah pintu yang dibuka. Terlihat
Adelia berdiri dengan gaun tidurnya yang
menggemaskan. Ia berjalan tertatih-tatih, karena luka
tadi siang. “Kepalaku pusing dan aku tidak bisa tidur.”
Azakiel tersenyum tipis, “Kemarilah.”
Gadis itu jalan ke arahnya. Azakiel langsung
menempelkan punggung tangannya. Demam Adelia
sudah sedikit reda. Azakiel menatap wanita itu yang
sepertinya bingung, karena tangannya masih berada di
wajah Adelia.
“Kenapa kau bertingkah seperti ini? Memangnya
kau menyukaiku?” Gadis itu mencebik.
Azakiel tersenyum, kali ini lebih lebar. “Adelia,
kau itu seperti mimpi besar.”
“Huh?” Adelia mengernyit.
Azakiel merebahkan tubuhnya di ranjang,
menatap gadis itu lama. Seperti layaknya orang bodoh,
ketika Adelia mengatakan bahwa ia hanya menerima
Duke atau Marquess sebagai kekasih, Azakiel berlari
seperti orang gila. Nafasnya terengah-engah menatap

151
teman-temannya, seolah menemukan mimpi yang sudah
lama ia buang.
Mungkin, gadis itu tidak ingat, karena ia masih
kecil. Masih remaja yang mungkin ucapannya dengan
mudah terlupa. Tapi, bagi Azakiel yang rela bertempur
di tengah hutan, kata-kata itu memberinya kekuatan. Ia
seorang Duke, ia seorang bangsawan. Setelah
perjuangan membunuh orang-orang itu, tentunya ia tidak
boleh menyerah begitu saja.
Sekarang, Azakiel mendapatkan gadis itu. Mimpi
besarnya.
“Mimpi besar apa maksudnya?” ujar Adelia lagi,
terlihat penasaran.
Azakiel tidak menjawab, ia meraih tubuh Adelia
untuk berbaring.

Untuk Yang Mulia Ratu,


Julian Rozeanne Felipe.

Berikut balasan surat dari saya :


Yang pertama, terima kasih sudah
mengkhawatirkan saya. Saya baik-baik saja.

152
Saya berjanji akan menjaga Adelia dengan baik.
Entah bagaimana bisa kakak mengetahui
perasaan saya. Saya berjanji, saya akan segera
mengakuinya.
Berikan saya waktu…
Untuk saat ini, saya ingin mencintainya
dengan cara saya sendiri. Membuatnya melihat
saya perlahan, membuka hatinya… dan ketika
datang hari di mana saya mengaku, Adelia bisa
melihat ketulusan saya.
Sekali lagi, terima kasih, Kak Rozeanne.
Saya mencintai Anda. Jaga diri baik-baik di
istana. Maaf, tidak bisa sering mengunjungi
Anda.

Salam,
Azakiel Elvein Pollin

“Azakiel… ayolah, apa maksudnya?” rengek


Adelia.

153
“Nanti, aku akan memberitahumu…” Azakiel
meraih rambut panjang Adelia, lalu menciumnya
lembut.
Ya, tidak sekarang. Suatu hari nanti, ketika
wanita itu benar-benar bisa menerimanya.

THE END

154

Anda mungkin juga menyukai