FARMASI KLINIS
Pembimbing Lapangan :
Pembimbing kampus :
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
UNIVERSITAS PANCASILA
FAKULTAS FARMASI
JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN
PRAKTEK FARMASI KLINIK
DI RUMAH SAKIT PUSAT OTAK NASIONAL
PROF.DR.dr. MAHAR MARDJONO JAKARTA
PERIODE 4 DESEMBER 2023 – 25 JANUARI 2024
Disusun Oleh :
Disetujui Oleh
apt. Fransisca Dhani Kurniasih M. Farm apt. Hesty Utami R, M. Clin., Pharm., PhD
Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Fakultas Farmasi Universitas Pancasila
Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta
Mengetahui
Prof. Dr. Apt. Ratna Djamil, M. Si Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M. Kes
Ketua Program Studi Magister Farmasi Koordinator PKL Farmasi Rumah Sakit
Universitas Pancasila
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas saya dapat m
enyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL) Manajemen Farmasi di Rumah Sakit Pusat
Otak Nasional (RS PON) Prof.Dr.dr. Mahar Mardjono Jakarta yang pada tanggal 4 Dese
mber 2023-25 Januari 2024.
Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Rumah Sakit merupakan salah satu persyarata
n untuk memperoleh gelar Magister Farmasi pada Program Studi Magister Ilmu Kefarm
asian dengan peminatan Farmasi Rumah Sakit di Universitas Pancasila. Praktek Kerja L
apangan (PKL) ini memberikan wawasan, pengetahuan dan pengalaman mengenai tugas,
funsi dan peran Apoteker di Rumah Sakit.
Saya berterima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu dalam penulisa
n laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL). Pada kesempatan ini saya mengucapkan terim
a kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. apt. Syamsudin, M. Biomed selaku Dekan Fakultas Farm
asi Universitas Pancasila.
2. Ibu Prof. Dr. apt. Ratna Djamil, M.Si selaku Ketua Program Studi Magist
er Ilmu Kefarmasian, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
3. Ibu Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes selaku Koordinator PKL Farma
si Universitas Pancasila yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksana
an Praktek Kerja Lapangan.
4. Ibu apt. Hesty Utami R, M. Clin., Pharm., PhD, selaku Pembimbing PKL
Farmasi Universitas pancasila yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam mel
akukan Praktek Kerja Lapangan.
5. Ibu apt. Dra. Hadijah Tahir, Sp.FRS selaku Kepala Instalasi Farmasi Rum
ah Sakit Pusat Otak Nasional Prof.Dr.dr. Mahar Mardjono Jakarta yang berkenan memb
erikan kami bimbingan, arahan dan masukan dalam melaksanakan Praktek Kerja Lapan
gan di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof.Dr.dr. Mahar Mardjono Jakarta
6. Ibu apt. Fransisca Dhani Kurniasih, M. Farm selaku pembimbing klinis
dari Instalasi Farmasi RS Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta
yang telah membimbing bimbingan dan arahan selama Praktik Kerja Lapangan
7. Seluruh Staf Instalasi Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof.Dr.dr. Maha
r Mardjono Jakarta yang telah membantu selama kegiatan Praktek Kerja Lapangan.
8. Semua pihak yang telah bekerjasama dan turut membantu selama pelaksa
naan PKLdan dalam proses penyusunan laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan ini saya menyadari masih jauh dari sempurna. Oleh k
arena itu, saya menerima dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun dalam
penyempurnaan laporan PTO PKL. Akhir kata, saya mengharapkan semoga laporan
PTO PKL ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, salah satu unsur kesehatan
adalah sarana kesehatan. Sarana kesehatan meliputi Balai Pengobatan, Pusat kesehatan
masyarakat, Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus dan sarana kesehatan lainnya.
Rumah Sakit merupakan sarana kesehatan yang memberikan pelayanan pasien secara
menyeluruh yaitu rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Pelayanan pasien di rumah sakit terdiri atas berbagai disiplin pelayanan terpadu,
yang mencakup antara lain pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan
farmasi, dan lain lain. Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit meliputi pelayanan
perbekalan kefarmasian dan pelayanan informasi obat.
Selain itu tugas Apoteker di rumah sakit dapat melakukan pengkajian danpelayana
n Resep, penelusuran riwayat penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, Pelayanan Informas
i Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samp
ing Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dispensing sediaan steril dan Pe
mantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD). Kegiatan tersebut harus didukung oleh su
mber daya manusia, sarana, dan peralatan.
Tujuan dari praktek kerja lapangan calon Magister Farmasi Rumah Sakit di RS Pusat O
tak Nasional Prof Dr. dr Mahar Mardjono adalah sebagai berikut:
C. Manfaat
TINJAUAN KHUSUS
1. Sejarah
Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono (RSPON) secara
administratif merupakan rumah sakit dengan status kepemilikan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. RSPON dengan sistem pengelolaan BLU (Badan
Layanan Umum) adalah pusat Rujukan Nasional tipe A yang terakreditasi KARS
dengan predikat paripurna.
Persiapan pendirian RSPON dimulai pada Juni 2009 oleh Menteri Kesehatan
RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) atas intruksi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, peletakan batu pertama pembangunan RSPON dilakukan pada
pertengahan tahun 2011 oleh Menteri Keseharan RI, Dr. dr. Endang Rahayu
Sedyaningsih, M.P.H. Soft Opening beroperasinya RSPON dilaksanakan pada 1
Februari 2013 oleh Menteri Kesehatan RI, Dr. dr. Endang Rahayu
Sedyaningsih,M.P.H. Sedangkan Grand Opening dilaksanakan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 14 Juli 2014.
2. Lokasi
Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr dr. Mahar Mardjono (RSPON) berlokasi di
Jalan MT Haryono Kav. 11 Cawang Jakarta Timur 13630.
3. Visi
4. Misi
5. Motto
6. Falsafah
7. Tujuan
Memberikan pelayanan kesehatan otak dan sistem persarafan unggul untuk semua
lapisan masyarakat dengan berbagai tingkat kesulitan, baik bagi pasien dari dalam
maupun luar negeri
8. Dasar Hukum
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1291)
9. Nilai
10. Logo
f) Farmasi 24 jam
h) Rumah singgah
j) Ruang telemedicine
m) Radiologi
q) CSSD
Struktur Organisasi Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar
Mardjono Jakarta (RSPON), dipimpin oleh seorang Direktur Utama, yang dibantu oleh
Direktur Teknis pada beberapa bagian yaitu Direktorat Pelayanan Medik, dan
Keperawatan, Direktorat Perencanaan dan Keuangan, Direktorat Sumber Daya Manusia
dan Pelayanan Operasional, Komite mutu, Komite Etik dan Hukum, Komite Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi, Komite Medik, Komite Keperawatan, Komite Tenaga
Kesehatan Lainnya, dan SatuanPemeriksaan Intern
1. Struktur organisasi
2. Tujuan pelayanan
3. Fungsi Pelayanan
h) 16 apoteker pelayanan
i) Total keseluruhan apoteker 23 orang
k) Pekarya 8 orang
Total SDM farmasi sampai dengan Desember 2023 sebanyak 74 orang dan pada
awal bulan Januari 2024 mendapatkan tambahan Sumber Daya Manusia sebanyak
3 Tenaga outshourcing dengan kualifikasi SMF (2 Tenaga dan S1 Farmasi 1
Tenaga). Sumber Daya Manusia pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pusat
Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono berdasarkan kualifikasi
Pendidikan:
d) Apoteker: 14 orang
f) S1 Farmasi: 6 orang
g) D3 Farmasi: 37 orang
i) SMA: 2 orang
KASUS 1
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
1. Definisi Encephalitis Autoimun
Ensefalitis merupakan proses inflamasi atau peradangan yang terjadi pada parenk
im otak. Karakteristik klinis ensefalitis dapat berupa demam, nyeri kepala, dan pe
nurunan kesadaran, disebabkan oleh infeksi mikroorganisme yaitu virus, bakteri d
an parasit. Namun sejak 2007 diketahui bahwa ensefalitis dapat disebabkan oleh
proses non infeksi yaitu autoimun. Ensefalitis anti NMDAR (n-methyl D Asparta
te receptor) adalah ensefalitis autoimun yang disebabkan oleh reaksi antibodi pad
a antigen membran ekstraseluler yaitu subunit NR1 yang merupakan bagian dari
NMDAR, jenis reseptor glutamate di sinapsis susunan saraf pusat. (1)
3. Patofisiologi
Hingga saat ini mekanisme penyebab toleransi imun pada ensefalitis autoimun be
lum diketahui secara pasti. Beberapa kasus ensefalitis autoimun disertai infeksi y
ang menyebabkan proses inflamasi hingga symptom neurologik. Beberapa studi
mengatakan bahwa ensefalitis akibat virus herpes simplex memicu terjadi nya res
pon imun yang menyebabkan ensefalitis anti NMDA. Selain itu faktor genetik yai
tu human leukocyte antigen (HLA) berhubungan erat dengan produksi antibody y
ang berperan dalam respon autoimun seperti antibodi ensefalitis (IgLON 5)
4. Diagnosis
Ensefalitis anti-NMDAR harus dibedakan dengan ensefalitis yang disebabkan ole
h etiologic lain karena manifestasi klinis yang berbeda. Pada ensefalitis yang posi
tif terhadap anti NMDA reseptor didapatkan beberapa gejala yang jarang didapat
kan pada ensefalitis oleh virus seperti halusinasi, psikosis, perubahan kepribadian
dan iritabilitas. Meskipun pada 70% kasus pasien awalnya memiliki gejala prodro
mal yang mirip dengan gejala virus seperti kelelahan, sakit kepala, gejala ganggu
an saluran nafas atas, mual, diare, myalgia. (1)
Kriteria diagnosis memenuhi kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
didukung oleh hasil neuroimaging dan lumbal pungsi. Pemeriksaan penunjang dil
akukan pemeriksaan :
a. darah lengkap, kimia klinik, lumbal pungsi (pleositosis dominan sel mononuc
lear, peningkatan kadar protein)
b. serologi darah untuk HSV, CMV, japanesse encephalitis
c. serologi CSF untuk HSV dan CMV
d. PCR HSV, CMV, HHV-6
e. EEG (high voltage periodic spike wave dan complex slow wave di temporal
menunjukkan infeksi HSV)
f. CT scan kepala + kontras
g. MRI kepala + kontras
4. Tatalaksana
Penderita baru dengan kemungkinan Ensefalitis harus dirawat inap sampai mengh
ilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahank
an fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian maka
nan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan kore
ksi gangguan asam basa darah.
Tatalaksana yang dikerjakan sebagai berikut :
a. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada Ensefalitis biasan
ya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering ter
jadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus sel
ama 3 menit.
b. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (ter
gantung umur) dan pemberian oksigen.
c. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh an
oksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam
3 dosis.
d. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan in
travena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat d
iulang setiap 8-12 jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik,
0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak tok
sik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama.
e. Pengobatan
Untuk pengobatan dapat dibagi menjadi 2 macam terapi : terapi kausatif dan
terapi simptomatis.
1) Terapi kausatif dapat disesuaikan dengan etiologic penyebabnya.
Penanganan pada ensefalitis autoimun termasuk imunosupresan dan rese
ksi tumor apabila perlu. Pada dasarnya prinsip terapi yaitu menekan antib
odi patogen. Penting untuk tidak menunda terapi hingga antibodi terdetek
si. Inisiasi sedini mungkin berhubungan dengan luaran klinis yang lebih b
aik. Terapi lini pertama pada ensefalitis autoimun termasuk kortikosteroi
d (methylprednisolone 1 gram IV selama 3 hingga 5 hari), immunoglobul
in intravena (0.4gram/kg/hari selama 5 hari) dan plamapheresis dapat dib
erikan secara tunggal maupun kombinasi.
Plasmapheresis harus dipertimbangkan ketika pasien memiliki dys
autonomia berat, kejang refraktori, atau sindroma hipoventilasi sentral. T
erapi lini kedua imunoterapi dapat dipertimbangkan untuk pasien yang tel
ah gagal dengan regimen-regimen sebelumnya. Imunoterapi yang dapat d
iberikan yaitu rituximab (375mg/m2 selama 4 minggu) dan cyclophospha
mide (750mg/m2 selama 6 bulan) secara tunggal maupun kombinasi.
2) Pengobatan simptomatis dapat berupa
- Oksigen
- Nutrisi baik enteral maupun parenteral
- Analgetic dan antipiretik : paracetamol 10mg/kgBB/dosis
- Antikonvulsi : diazepam supp 0.5-0.75 mg/kgBB/dosis atau iv 0.3-0.
5 mg/kgBB/dosis saat kejang. Kemudian apabila tidak berhenti dapat
diberikan loading fenitoin 15-20 mg/kgBB dan fenitoin dosis pemeli
haraan 6-8mg/kgBB/hari.
- Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
- Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet
- Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi u
ntuk mengantisipasi kebutuhan pernapasan buatan. Perawatannya, ya
itu mata : cegah adanya exposure keratitis dengan pemberian BWC at
au salep antibiotika. Cegah decubitus dengan merubah posisi penderi
ta tiap 2 jam. Penderita dengan gangguan menelan dan akumulasi sek
ret lakukan postural drainage dan aspirasi mekanis.
o Riwayat pengobatan/Rekonsiliasi 1
Kesa
27-11-2023 12: n
Tidak tampak kelainan pada parenkim intracranial.
42 DCO
M
CT Scan Kepala
Kesa
27-11-2023 12: n Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo.
43 DCO
M
Thorax AP
Kesa
Ujung CVC pada proyeksi v.subclavia kiri. Tidak tampak kelaina pada
28-11-2023 13: n
cor dan pulmo.
50 DCO
M
D. Pemeriksaan tanda vital pasien
27 28 29 30 1 1 1 1 1 1
1- 2- 3- 4- 5- 6- 7- 8- 9-
- - - - 0- 1- 2- 3- 4- 5-
D D D D D D D De De
N N N N De De De De De De
ec ec ec ec ec ec ec c c
ov ov ov ov c c c c c c
BP 11 11 11 11 12 12 11 12 12 12 13 11 11 12 12 11 11 11
96
(sistol) 3 7 7 9 4 7 1 0 8 0 2 2 2 5 2 4 1 9
BP
10
(diastol 76 82 82 62 78 80 74 74 86 70 70 73 56 77 78 78 65 79
0
)
10 12 11 10 11 10 11 11 10 12
HR 79 64 87 97 95 73 73 78 95
7 2 4 0 9 7 2 4 8 1
RR 17 21 23 19 17 23 24 22 22 22 20 20 23 24 22 22 22 20 28
3 3 3 3 3 3 3
36 36 36 36 36 36 38 37 38 37
T 36 37 7. 7. 8. 8. 8. 9. 8.
.3 .3 .2 .2 .6 .8 .5 .5 .8 .1
7 9 6 9 3 5 4
E. Pemeriksaan Lab
OBAT INDIKAS 28/1 29/1 30/1 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/1 11/1 12/1 13/1 14/1 15/1
I 1 1 1 2 2 2 2 2 2
Sucralfat (po) Profilaksis 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10
GI ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml ml
Fenitoin (iv) Epiletic 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10 3x10
0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg
Gentamycin infeksi 1x24 1x24 1x24 1x24 1x24 1x24 1x24 1x24 1x24
(iv) 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg 0mg
Usually 0.4-0.8mg/kg 1
Profilaks Frank Shann, Drug
Omz (iv) 2-24H >> 20-40mg per 2x40mg
is GI Dose, 2017
12-24 jam
10 to 15 mg/kg/dose or
paracetamo https://www.microme
demam ally every 4 to 6 hours 3x500mg
l dexsolutions.com/
>> 480-720 / 4-6 jam
200 mg orally every 4 t
o 6 hours; may adminis https://www.microme
ibuprofen demam 3x400mg
ter 400 mg if no respon dexsolutions.com/
se to 200 mg
50 mg/kg/dose IV ever
Cefepime https://www.microme
infeksi y 8 hours max 2g/dose 3x1gram
(iv) dexsolutions.com/
>> 2,4 g >> 2 gr/ 8 jam
5 to 7.5 mg/kg IV every
Gentamyci https://www.microme
infeksi 24 hours >> 192-360 m 1x240mg
n (iv) dexsolutions.com/
g
Initial, 0.01 to 0.03 mg/
kg/day orally divided in
to 2 to 3 daily doses (M
AX 0.05 mg/kg/day giv
en in divided doses); tit
Clonazepa ration; maintenance, 0. https://www.microme
seizures 2x0.5mg
m 1 to 0.2 mg/kg/day in 3 dexsolutions.com/
equally divided doses o
r if not equally divided
>> 0.48-1,44 mg / hari,
maintenance 4,8 – 9.6
mg / hari
Moveme 3yr: 0.02mg/kg (adult 1
nt disord mg) 8H, incr to 0.1-0.3 Frank Shann, Drug D
THP 2x2mg
er (dysto mg/kg (adult 1.5-5mg) ose, 2017
nia) 8H oral
Clonidine use in the o
Moveme A starting dose of 1 mc utpatient management
3x0.025m
Clonidine nt disord g/kg TDS >> 0.048/8ja of severe secondary d
g
er m ystonia, C Sayer, 201
7
Infeksi
6 - 12 tahun:
S. epider Formularium spesialis
Cotrimoxa sulfametoksazol
midis 2x160mg tik Ilmu Kesehatan A
zole 400 mg + trimetoprim
(hasil ku nak, IDAI,
80 mg setiap 12 jam
ltur)
10 to 20 mg/kg/day IV
Infeksi
divided every 12 to 24
S. epider
hours (maximum 600 https://www.microme
Rifampicin midis 1x600mg
mg once daily) in comb dexsolutions.com/
(hasil ku
ination with vancomyci
ltur)
n >> 480-960mg/ hari
H. SOAP Harian PKL
8 Desember 2023
S:
Rencana TPE
O:
HCT 36% BB 48 kg Albumin 3.8 g/dL
TPE 1.5x Volume plasma
A:
volume plasma : 0.07 x BB x (1-HCT) ==> 2150.4 ml volume penggantian :
1.5 x volume plasma ==> 3225,6 ml >> 12.9 vial @ albumin 5% 250 ml
Atau
kadar albumin :3.8/100 x 3225,6 ml = 9.8 vial @ albumin 5% 250 ml dan NS
sebagai pelengkap
P:
TPE dengan 13 vial albumin 5% 250 ml
11 Desember 2023
S:
Ibu pasien mengatakan demam masih naik turun, terkadang batuk seperti ada
dahak
O:
T : 38,6 Diuresis (8/12) 2.9
R/ fenitoin, acyclovir, sucralfate, PCT, Gentamycin, OMZ, ibuprofen,
clonazepam, THP, Clonidin, Ampicillin sulbactam, MP (tapp off)
A:
- Potensi interaksi ibuprofen-MP meningkatkan risiko GI ulcer
- Potensi interaksi OMZ-Fenitoin meningkatkan risiko toksisitas fenitoin
- Potensi AKI drug induced ec gentamicin dan acyclovir
P:
- monitoring tanda-tanda dan keluhan GI ulcer
- monitoring toksisitas fenitoin
- saran monitoring fungsi ginjal melalui pemantauan diuresis
12 Desember 2023
S:
Ibu pasien mengatakan demam masih naik turun, batuk masih ada dahak
banyak tertahan, Gerakan-gerakan tangan kiri sudah lebih baik
O:
T : 38,9 Diuresis (8/12) 2.9
R/ fenitoin, acyclovir, sucralfate, PCT, Gentamycin, OMZ, ibuprofen,
clonazepam, THP, Clonidin, Ampicillin sulbactam, MP (tapp off)
A:
- Potensi interaksi ibuprofen-MP meningkatkan risiko GI ulcer
- Potensi interaksi OMZ-Fenitoin meningkatkan risiko toksisitas fenitoin
- Potensi AKI drug induced ec gentamicin dan acyclovir
- Belum ada terapi untuk keluhan dahak pasien yang banyak
P:
- monitoring tanda-tanda dan keluhan GI ulcer
- monitoring toksisitas fenitoin
- saran monitoring fungsi ginjal melalui pemantauan diuresis
- konfirmasi DPJP perlukah terapi mukolitik
13 Desember 2023
S:
Pasien tidak dapat dikaji, ibu pasien mengatakan demam masih naik turun
O:
T : 38,6 Diuresis (8/12) 2.9
R/ fenitoin, acyclovir, sucralfate, PCT, OMZ, ibuprofen, clonazepam, THP,
Clonidin, MP (tapp off)
AB diganti rifampicin dan cotrimoxazole
A:
- Potensi interaksi ibuprofen-MP meningkatkan risiko GI ulcer
- Potensi interaksi OMZ-Fenitoin meningkatkan risiko toksisitas fenitoin
- Potensi interaksi fenitoin-cotrimoxazole meningkatkan risiko toksisitas
fenitoin
- Potensi interaksi fenitoin-rifampicin meningkatkan risiko toksisitas
rifampicin
P:
- monitoring tanda-tanda dan keluhan GI ulcer
- monitoring toksisitas fenitoin
- saran monitoring fungsi ginjal melalui pemantauan diuresis
- monitoring toksisitas rifampicin melalui pemantauan fungsi hepar
14 Desember 2023
S:
Pasien on TPE siklus 2, masih demam
O:
T : 39.5
R/ fenitoin, acyclovir, sucralfate, PCT, OMZ, ibuprofen, clonazepam, THP,
Clonidin, MP (tapp off), rifampicin dan cotrimoxazole, inviclot
A:
Plasma exchange mempengaruhi kadar obat sistemik, terutama obat-obat
yang protein binding yang tinggi dan volume distribusi nya rendah
P:
Saran penghentian terapi selama TPE berlangsung
I. Assesment and Plan
Potensi interaksi P2.1 Adv C9.2 Other monitoring tan I0.1 No O0.1 Probl www.micromede
ibuprofen-MP erse drug cause; speci da-tanda dan k Interventio em status u xsolutions.com
meningkatkan event (pos fy eluhan GI ulce n nknown
risiko GI ulcer sibly) occ r
urring
Potensi interaksi P2.1 Adv C9.2 Other monitoring tok I0.1 No O0.1 Probl www.micromede
OMZ-Fenitoin erse drug cause; speci sisitas fenitoin Interventio em status u xsolutions.com
meningkatkan event (pos fy n nknown
risiko toksisitas sibly) occ
fenitoin urring
Potensi AKI P2.1 Adv C9.2 Other saran monitori I0.1 No O0.1 Probl www.micromede
drug induced ec erse drug cause; speci ng fungsi ginja Interventio em status u xsolutions.com
gentamicin dan event (pos fy l melalui pema n nknown
acyclovir sibly) occ ntauan diuresis
urring
Belum ada terap P1.3 Untr C1.5 No or konfirmasi DP I1.1 Prescri O1.1 Probl www.micromede
i untuk keluhan eated sym incomplete JP perlukah ter ber informe em totally s xsolutions.com
dahak pasien ya ptoms or i drug treatm api mukolitik d only olved
ng banyak ndication ent in spite (I1.1)
of existing i
ndication
Potensi interaksi P2.1 Adv C9.2 Other saran monitori I0.1 No O0.1 Probl www.micromede
fenitoin-cotrimo erse drug cause; speci ng fungsi ginja Interventio em status u xsolutions.com
xazole meningk event (pos fy l melalui pema n nknown
atkan risiko toks sibly) occ ntauan diuresis
isitas fenitoin urring
Potensi interaksi P2.1 Adv C9.2 Other monitoring tok I0.1 No O0.1 Probl www.micromede
fenitoin-rifampi erse drug cause; speci sisitas rifampic Interventio em status u xsolutions.com
cin meningkatka event (pos fy in melalui pem n nknown
n risiko toksisita sibly) occ antauan fungsi
s rifampici urring hepar
J. Pembahasan
KASUS 2
Meningitis Tuberkulosis
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
1. Definisi Meningitis Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakt
eri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat taha
n asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian be
sar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabka
n TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tu
buh lainnya (TB ekstra paru). TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatka
n organ di luar parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen,
saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Manifestasi infek
si TB di susunan saraf pusat (SSP) secara patologi dapat berupa meningitis, en
sefalitis, mielitis, abses dan tuberkuloma, ventrikulitis, vaskulitis, dan juga inf
ark.
B. Pengkajian IGD
Diagnosa Kerja : penurunan kesadaran ec suspek infeksi intrakr
anial + observasi Febris H7
Pemeriksaan Penunjang :
- CT Scan Kepala = Infark lama di lobus frontal dan kapsula eksterna
kanan. Hidrosefalus komunikans tension. Edema cerebri difus.
- Thorax AP = Pneumonia interstitial DD TB milier.
Anamnesis
Keluhan Utama : penurunan kesadaran
Pemeriksaan neurologis
GCS : 14
E:4 M:6 V:4
Pupil : bulat isokor Diameter : 3 mm / 3 mm
RCL : + / + RCTL : + / +
Rekonsiliasi 1
Pemer Nilai 23- 24- 25- 26- 27- 28- 29- 30- 31-
iksaan Normal Dec Dec Dec Dec Dec Dec Dec Dec Dec 1-Jan 2-Jan
T 36-37.5 38.9 37 36 36 36 36 36 36 36.2 36.6 36.4
90/60 - 140/ 132/ 140/ 150/ 147/ 132/ 139/ 112/ 140/ 139/ 132/
BP 120/80 70 73 90 90 91 89 91 85 80 83 94
RR 14-20 16 12 17 17 17 17 17 17 17 17 16
HR 60-100 95 60 80 94 75 90 100 97 80 97 98
D. Hasil Radiologi
Thorax
Sederhana I – Thorax
E. Hasil Lab
Hematologi lengkap
Pemeriksaan Nilai 23-Dec
Normal
Darah lengkap
Leukosit 4400-11300 9700
Eritrosit 4,5-5,9 x 4.6
106
4,1-5,1 x
106
Hemoglobin 14-17.5 13.4
12.3-15.3
Hematokrit 40-52 37
35-47
Trombosit 139-403 X 215
103
149-409 X
103
MCV 80-96 82
MCH 28-33 30
MCHC 33-36 36
RDW-CV 12.2-14.6 12.6
12.2-15
Basofil 0-1 0
Eosinofil 2-4 0
Neutrofil 50-70 86
Limfosit 25-40 9
Monosit 2-8 5
LED <15
<25
Kimia Klinik
SGOT (AST) ≤40 20
≤32
SGPT (ALT) ≤41 19
≤33
Ureum 16.8-48.5 25.8
Kreatinin 0.67-1.17 1.15
Asam Urat
Pemeriksaan Nilai 24-Dec
Normal
Asam urat 3.4-7 3.8
2.4-5.7
No. Nama Obat Indikasi Dosis literatur Dosis yang Kesesuaian Sumber
diberikan dosis
1 OAT RHZE Meningitis Rifampicin 8- 600mg sesuai PNPK
tuberculosis 12mg/kgBB Tatalaksana
(max 600mg) >> TB
600- 900mg Kemenkes
2019
Isoniazid 4- 300mg sesuai
6mg/kgBB (max
300mg) >> 300-
450mg
Pyranzinamide 1600mg sesuai
20-30mg/kgBB
>> 1500-
2250mg
Ethambutol 12- 1100mg sesuai
18mg/kgBB >>
900-1350mg
2 KCl hipokalemia Kdeficit (mmol) 25meq/ sesuai
= (Knormal 12jam
lower limit -
Kmeasured) x kg
body weight x
0.4 >> 3.5-2.9 x
75 x 0.4 =
18meq
3 Ceftriaxone Infeksi SSP 2 gram setiap 12 2x2gram sesuai Peraturan
jam Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor 28
Tahun 2021
Tentang
Pedoman
Penggunaan
Antibiotik
SOAP Harian PKL
Tanggal 29/12/2023
S:
cegukan masih ada
O:
BB 75kg
TTV BP 135/93 HR 83 RR 17 T 36
AST/ALT 19/25 (29/12) GDS 87/140/85 HbA1c 9.1
r/ miniaspi 1x80mg, NAC 3x600mg, RHZE 1x4tab, vit B6 1x1tab, simva
statin 1x20mg, metformin 3x500mg, amlodipin 1x5mg, CPZ 1x25mg, su
cralfate 3x10ml, ceftriaxone 2x2gr, dexamethasone (tap off) 2x10mg, om
z 1x40mg, metoclopramide 3x10mg
A:
- Potensi interaksi obat cpz dan metoclopramide >> risiko symptom ekstr
apiramidal (tardive dyskinesia)
- Potensi interaksi obat amlodipin & rifampicin >> menurunkan efek aml
odipin
- Potensi interaksi obat amlodipin & simvastatin >> risiko rhabdomyolisi
s
- Risiko peningkatan enzim transaminase efek samping rifampicin dan IN
H
- Risiko hiperglikemia pada penggunaan kortikosteroid (dexametason) pa
da pasien DM
P:
- monitoring tanda-tanda symptom extrapyramidal (seperti gerakan2 invo
luntary)
- monitoring tekanan darah (efektivitas amlodipin) apabila perlu dapat dil
akukan penyesuaian dosis amlodipin
- monitoring tanda-tanda rhabdomyolisis >> urine kecoklatan, nyeri otot,
kelemahan otot
- monitoring AST/ALT selama terapi OAT
- monitoring GDS
Tanggal 02/01/24
S:
pasien rencana pulang, tidak ada keluhan
O:
AST/ALT 19/25 (29/12) >> 30/28 (01/01)
TTV BP 132/84 HR 98 RR 16 T 36,4
r/ vitamin B6 1x1 tab, RHZE 1x4 tab, dexamethasone (tap off) 3x1mg, d
omperidone 3x10mg, omz 2x20mg, amlodipin 1x5mg, metformin 3x500
mg, simvastatin 1x20mg, miniaspi 1x80mg
obat on miniaspi 80 mg 1x1, clopidogrel 75 mg 1x1
A:
- Potensi interaksi obat amlodipin & rifampicin >> menurunkan efek aml
odipin
- Potensi interaksi obat amlodipin & simvastatin >> risiko rhabdomyolisi
s
- Risiko peningkatan enzim transaminase efek samping rifampicin dan IN
H
- Risiko hiperglikemia pada penggunaan kortikosteroid (dexametason) pa
da pasien DM-
- potensi interaksi antara amlodipin, domperidone, INH >> meningkatkan
risiko prolong QT interval
P:
- monitoring tekanan darah (efektivitas amlodipin) >> edukasi pasien/kel
uarga melakukan pemantauan TD mandiri di rumah
- monitoring tanda-tanda rhabdomyolisis >> urine kecoklatan, nyeri otot,
kelemahan otot
- monitoring AST/ALT selama terapi OAT di rawat jalan
- monitoring GDS >> edukasi/keluarga pasien melakukan pemantauan G
DS mandiri di rumah
- monitoring EKG di rawat jalan
B. Assesment and Plan
C. Obat Pulang
E. Pembahasan
1. Meningitis tuberkulosis adalah salah satu kasus tuberkulosis extra paru yang berat. Cairan
serebrospinal (CSS) merupakan spesimen utama yang harus dieksplorasi pada penegakan
diagnosis meningitis TB. Analisis CSS pada meningitis TB umumnya menunjukkan peni
ngkatan sel (jumlah sel >5) dengan dominansi limfosit, peningkatan protein, dengan rasio
antara glukosa CS dan serum <50%.
2. Prinsip pengobatan pada meningitis TB mengikuti Paduan pengobatan TB ekstra paru den
gan rekomendasi durasi pengobatan minimal adalah 12 bulan. Kemampuan obat untuk m
elewati sawar darah otak menjadi hal yang penting dalam penanganan tuberkulosi mening
itis. Isoniazid dan piranzinamid memiliki berat molekul yang kecil dan terikat lemah deng
an protein plasma, sehingg lebih mudah untuk menembus sawar darah otak. Urutan penet
rasi OAT standar yang baik ke dalam CSS ialah isoniazid>piranzinamid>rifampisin sedan
gkan ethambutol an streptomisin memiliki kemampuan sangat rendah untuk menembus sa
war darah otak. Penenelitian terkini dilakukan untuk memaksimalkan efektivitas obat pad
a kasus meningitis yaitu meningkatkan dosis rifampisin oral 20-30mg/kgBB max 1200mg
/hari. Penggunaan dosis tinggi pada rifampisin dianggap cukup aman dan dapat ditolerans
i pasien namun masih membutuhkan penelitian lanjutan.
3. Pasien Tn HC mendapatkan obat anti tuberkulosis untuk meningitis tuberkulosi nya. Regi
men yang digunakan adalah RHZE (fase intensif). Pada penggunaan OAT terutama rifam
pisin dan isoniazid di awal terapi direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan fungsi
hati sebagai baseline dan sebagai salah evaluasi efek samping OAT. Tn HC dilakukan pe
meriksaan enzim AST/ALT per 3 hari, Dimana dari awal terapi hingga 1 minggu terapi fu
ngsi hati masih dalam batas normal. Namun setelah 1 minggu terapi atau sebelum pasien
pulang terjadi peningkatan namun tidak signifikan. Rekomendasi dari American Thoracic
Society pemeriksaan fungsi hati dilakukan 1-2 minggu dari awal terapi, kemudian dapat d
ievaluasi pada bulan 1, 3 dan 6.
4. Terdapat beberapa potensi interaksi obat yang ditemukan selama pemantauan terapi obat
salah satunya adalah peningkatan risiko rhabdomyolisis pada pasien yang mendapatkan a
mlodipine dan atorvastatin. Tidak diperlukan penanganan khusus pada DRP ini yang dapa
t direkomendasikan adalah monitoring tanda-tanda rhabdomyolisis seperti kelemhan otot,
nyeri otot, urine kecoklatan. Selain itu potensi interaksi obat yang selanjutnya adalah inter
aksi antara chlorpromazine dan metoclopramide yaitu meningkatkan risiko symptom extr
apyramidal yaitu munculkan gerakan-gerakan involunter.
5. Salah satu efek samping yang mungkin muncul adalah risiko hiperglikemia pada pasien D
M yang mendapatkan kortikosteroid. Tn HC memiliki riwayat DM dengan obat rutin metf
ormin. Pemantauan GDS diperlukan untuk memastikan GDS target tercapai selama pemb
erian terapi kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksan
a Tuberkulosis. 2020;7823–30.
2. Marais S, Cresswell F V, Hamers RL, te Brake LHM, Ganiem AR, Imran D, et al. High dose oral rif
ampicin to improve survival from adult tuberculous meningitis: A randomised placebo-controlled dou
ble-blinded phase III trial (the HARVEST study). Wellcome Open Res. 2019;4:190.
3. Cresswell F V., Musubire AK, Johansson Århem KM. Treatment guidelines for tuberculosis and tub
erculous meningitis [Internet]. Tuberculous Meningitis: Manual of Diagnosis and Therapy. INC; 2020.
67–101 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-818825-5.00006-1
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)
KASUS 3
EPILEPSI
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
1. Definisi Epilepsi
Kejang epileptik adalah kejadian klinis yang ditandai aktivitas sinkronisasi sekumpulan neuron otak ya
ng abnormal, berlebihan, dan bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut menyebabkan disorganisa
si paroksismal pada satu atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik,
sensorik, psikis), negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara), atau gabungan keduan
ya. Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked seizure) adalah satu atau
lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut yang terjadi dalam 24 jam disertai pulihn
ya kesadaran di antara kejang. Epilepsi didefinisikan sebagai serangan kejang paroksismal berulang ta
npa provokasi dengan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.
ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial dengan definisi sebagai berikut:
a. Kejang umum: gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan keterlibatan kedua hemisf
er.
b. Kejang parsial (fokal): gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan aktivasi pada neu
ron terbatas pada satu hemisfer saja.
Kejang tonik adalah kejang yang ditandai dengan kontraksi otot yang berlangsung selama beberapa
detik sampai beberapa menit. Ekstremitas dan tubuh dapat terlihat kaku. Kejang tonik lebih sering terj
adi saat tidur, bila terjadi saat periode bangun dapat mengakibatkan penderita terjatuh. Karakteristik ga
mbaran EEG adalah adanya perlambatan aktivitas yang bersifat umum, atau tampak gelombang epilept
iform dengan voltase tinggi dan frekuensi cepat (≥9-10 Hz).
Kejang klonik adalah kejang yang ditandai sentakan mioklonik sekelompok otot dengan pengulang
an secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per detik serta berlangsung lama, biasanya melibatkan kedua s
isi tubuh. Gerakan tersebut tampak menyerupai serangan mioklonik, namun kejang klonik bersifat rep
etitif dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding serangan mioklonik. Gambaran EEG tipikal pada
kejang klonik adalah adanya kompleks paku-ombak lambat dengan frekuensi tinggi (≥10 Hz).
Kejang tonik-klonik merupakan bentuk kejang dengan kombinasi kedua elemen tipe kejang di atas,
dapat tonik-klonik atau klonik-tonik-klonik. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah kejang tonik-klonik
umum yang sering disebut grand mal. Kejang tonik-klonik ditandai dengan kontraksi tonik simetris, di
ikuti dengan kontraksi klonik bilateral otot-otot somatis. Kejang jenis ini disertai dengan fenomena oto
nom, termasuk penurunan kesadaran atau apnea.
2. Diagnosis Epilepsi
Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan atas dasar anamnesis dan pe
meriksaan fisis-neurologis. Penegakkan diagnosis epilepsi dimulai dengan penentuan secara klinis apa
kah kejang merupakan kejang epileptik, berdasar atas deskripsi serangan atau pengamatan kejang seca
ra langsung serta gejala dan temuan lain pada anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis dapat dida
patkan dari pasien, orang lain yang menyaksikan atau mengetahui riwayat serangan, serta bilamana me
mungkinkan, dari saksi mata yang melihat serangan. Dalam menentukan serangan merupakan suatu ke
jang epileptik, diagnosis banding yang lain perlu disingkirkan. Diagnosis kejang epileptik atas dasar te
muan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisis, dengan baku emas pemantauan jangka panjang) memili
ki sensitivitas 97,7% dan spesifisitas 100%.
Diagnosis banding epilepsi adalah kejang non-epileptik dan serangan paroksismal bukan kejang. Y
ang termasuk kejang non-epileptik adalah kejang demam, kejang refleks, kejang anoksik, kejang akiba
t withdrawal alkohol, kejang yang dicetuskan obat-obatan atau bahan kimiawi lainnya, kejang pascatra
uma, dan kejang akibat kelainan metabolik atau elektrolit akut. Dalam menentukan suatu serangan mer
upakan kejang epileptik, perlu disingkirkan pelbagai serangan paroksismal non-epileptik. Pembedaan
kejang epileptik, kejang non-epileptik, dan serangan paroksismal bukan kejang dilakukan melalui ana
mnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang ditemukan pada anamnes
is dan pemeriksaan fisis. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dengan rekaman video pada saat terj
adi serangan terkadang dapat membantu menentukan apakah serangan merupakan kejang epileptik, na
mun pemeriksaan EEG dan rekaman video secara terpisah tidak dapat menentukan atau menyingkirka
n kejang epileptik dan bukan merupakan pemeriksaan baku emas.
Setelah dipastikan serangan merupakan kejang epileptik, langkah selanjutnya adalah penentuan tipe
kejang, apakah kejang bersifat umum atau fokal (menjadi umum atau tidak), serta bentuk kejang (tonik,
klonik, tonik-klonik, absans, mioklonik, atonik, spasme infantil, sensorik/autonom, dan lain-lain). Tip
e kejang ditentukan melalui anamnesis atau mengamati langsung serangan bilamana memungkinkan, d
an dapat ditunjang dengan pemeriksaan EEG. Tipe kejang tertentu dapat diprovokasi dengan cukup a
man di poliklinik, misalnya absans dengan provokasi hiperventilasi.
Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis epilepsi
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG bukanlah baku emas untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Gambaran EEG saja
tanpa memandang informasi klinis tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epil
epsi
b. Pencitraan (MRI)
Pencitraan bertujuan mendeteksi lesi otak yang mungkin menjadi faktor penyebab epilepsi atau kel
ainan neurodevelopmental yang menyertai. Pencitraan dilakukan menentukan etiologic, memperki
rakan prognosis dan merencanakan tata laksana klinis yang sesuai. Magnetic resonance imaging
(MRI) merupakan pencitraan pilihan.
3. Tata Laksana Epilepsi
Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi atau sindrom epilepsi harus pasti. Respons indiv
idu terhadap OAE tergantung dari tipe kejang, klasifikasi dan sindrom epilepsi, serta harus dievaluasi s
etiap kali kunjungan. Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Oleh sebab itu, untuk m
enjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, pasien, dan keluarga pasien
untuk menjamin kepatuhan berobat.
Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua jenis kejang, beberapa uji k
linik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam valproat, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efe
ktif sebagai OAE, namun penelitian tersebut tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna antar
a obat-obat tersebut dalam hal efikasi obat-obat tersebut. Selain efikasi, efek samping OAE pun harus
dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum memilih OAE. Perlu diingat pula bahwa OAE tertentu juga
dapat menyebabkan eksaserbasi kejang pada beberapa sindrom epilepsi.
a. Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom epilepsi)
• Fenitoin 4-6 mg/kgBB bid
• Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBB bid
• Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
• Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
• Lamotrigin 100-400 mg bid
• Oxcarbazepin 300-900 mg bid
• Zonisamid 100-300 mg tid
• Clonazepam 2-8 mg bid
• Clobazam 10-30 mg tid
• Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid
• Gabapentin 300-900mg tid
• Pregabalin 150-600mg b/tid
c. Tindakan Intervensi/Operatif
• Hipokampektomi, sesuai indikasi
• Amigdalohipokampektomi, sesuai indikasi
• Temporal lobektomi, sesuai indikasi
• Lesionektomi, sesuai indikasi
B. Pengkajian IGD
Anamnesa
1) Keluhan Utama : kejang
2) Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien dibawa keluarganya ke IGD RSPON karena kejang. kejang terus menerus, sejak 4 ja
m SMRS. Menurut anak pasien, saat ditemukan di rumah sekitar jam 13 (3 jam sMRS) pasie
n sudah dalam posisi kejang ektremitas kiri, wajah kiri berkedur, namun pasien masih bisa di
ajak komunikasi, dan bilang mulai kejang sejak jam 12. Menurut anak pasien kejang terus m
enerus, sempat berhenti 20 detik kemudian kejang lagi. Kemudian sejak sekitar jam 2, pasien
saat kejang jadi tidak sadar dan tidak bisa diajak komunikasi, sehingga pasien dibawa ke IG
D RSPON. Saat di IGD pasien dalam kondisi kejang tubuh sisi kiri, mata melirik ke kiri, ber
kedip-kedip dan tidak sadar -->inj diazepam 5mg bolus lambat --> masih ada mata melirik d
an berkedip --> inj diazepam s.d total 10mg bolus baru kejang berhenti. terkahir kejang sebel
um hari ini 20 agustus. Sebelum hari ini tidak ada keluhan demam /batuk/ sesak (-) aktivitas
biasa, tidak ada kelahan / begadang. keluhan nyeri kepala / mual muntah / lemah ekstremitas
yang baru, sebelum kejang tidak ada. Baseline : aktivitas mandiri, jalan agak diseret karena l
emah ekstremitas kiri(+) dan komunikasi normal 2 arah
Diagnosa Kerja :
- Obs focal to bilateral generalized tonic clonic seizure pada riwayat epilepsi simptomatik
- Hipertensi
- Riw CVD SI dengan sequelae hemiparese sinistra
Pemeriksaan Penunjang :
CTscan kepala: Infark lama di kortikal lobus parietal kanan, kapsula eksterna kanan, dan pons. At
rofi cerebri.
Rekonsiliasi 1
C. Hasil Laboratorium
Hematologi
Pemeriksaan Nilai Normal 1-Jan
Darah lengkap
Leukosit 4400-11300 28700
Eritrosit 4,5-5,9 x 106
4,1-5,1 x 106 4.3
Hemoglobin 14-17.5
12.3-15.3 11.9
Hematokrit 40-52
35-47 33
Trombosit 139-403 X 103
149-409 X 103 453
MCV 80-96 77
MCH 28-33 28
MCHC 33-36 36
RDW-CV 12.2-14.6
12.2-15 20.4
Basofil 0-1 1
Eosinofil 2-4 2
Neutrofil 50-70 88
Limfosit 25-40 4
Monosit 2-8 5
Kimia klinik
Pemeriksaan Nilai Normal 1-Jan
Kimia Klinik
SGOT (AST) ≤40
≤32
SGPT (ALT) ≤41
≤33
Ureum 16.8-48.5 53.1
Kreatinin 0.67-1.17
0.51-0.95 2.17
Asam urat 3.4-7
2.4-5.7
Elektrolit darah
Pemeriksaan Nilai Normal 1-Jan 2-Jan 3-Jan 4-Jan 5-Jan
Elektrolit darah
Natrium 136-146 139 145/147 150 152 152
Kalium 3.5-5 2.3 2.1/2.3 2.8 2.8 3.4
Klorida 98-106 103 113/114 118 121 122
E. Radiologi
CT Scan Kepala
01-01-2 Hasil Teknik: CT scan kepala tanpa kontras intravena. Deskripsi: Sulci cerebri dan fissura
024 20: DCO Sylvi melebar dengan gyri prominen. Tampak lesi hipodens berbatas tegas di lobus p
24 M arietal kanan, frontal bilateral, kapsula eksterna bilateral, kapsula interna kanan, thal
amus bilateral dan pons. Mesensefalon, medulla oblongata dan regio CPA tidak tam
pak kelainan. Sistem ventrikel dan sisterna melebar. Tidak tampak pergeseran garis t
engah. Kedua orbita, sinus paranasal dan mastoid air cells tidak tampak kelainan. Tu
lang-tulang intak.
01-01-2 Kesan Infark lama di lobus parietal kanan, frontal bilateral, kapsula eksterna bilateral, kaps
024 20: DCO ula interna kanan, thalamus bilateral dan pons. Atrofi cerebri.
24 M
Thorax
01-01-2 Hasil Teknik: Radiografi toraks proyeksi AP. Deskripsi: Jantung ukuran kesan membesar.
024 17: DCOM Aorta elongasi. Mediastinum superior tidak melebar. Trakea relatif di tengah. Kedua
17 hilus tidak menebal. Corakan vaskular kedua paru baik, tidak tampak infiltrat maupu
n nodul. Hemidiafragma kanan dan kiri baik. Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lanc
ip. Tulang-tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak.
01-01-2 Kesan Kardiomegali dengan elongasi aorta. Tidak tampak kelainan radiologis pada kedua p
024 17: DCOM aru.
17
F. DPO
Oral Dosis 1-Jan 2-Jan 3-Jan 4-Jan 5-Jan 6-Jan 7-Jan 8-Jan 9-Jan
miniaspi 1x80mg v v v v v v v v
v v v v v
(5mg (5mg (5mg (5mg (5mg
haloperidol 2x2.5mg v v ON) ON) ON) ON) ON)
amlodipin 1x10mg v v v v v v v v
candesartan 1x16mg v v v v v v v
kalipar 3x600mg v v v v v v
asam valproat 2x5ml v v v v v v v v
spironolacton
e 1x25mg v v v v
3x1000m
paracetamol g v v
bisoprolol 1x2.5mg v v v v
2x0.15m
clonidin g v v v v
Parenteral
10mc
g/ 5mcg 7mcg
farmabes kgBB /kgBB /kgBB
25me
q/ 100m 100m
12ja eq/ eq/
KCl m 8jam 8jam
omeprazol 1x40mg v v v v v v v
ceftriaxone 2x1gram 1x2gr v v v v v
am
loadi
ng
1300
fenitoin 3x100mg mg v v v v v v v v
3x1000m
paracetamol g v v v
G. Kesesuaian dosis
Oral Dosis Indikasi Rekomendasi Dosis Keterangan Literatur
The Renal
GFR 20–50 Dose as in
Drug
miniaspi 1x80mg cvd si normal renal function; sesuai
Handbook
75–300mg daily
Third Edition
The Renal
20–50 Dose as in normal
Drug
haloperidol 2x2.5mg antiansietas renal function; Oral: 1.5– Sesuai
Handbook
5mg 2–3 times daily
Third Edition
The Renal
20–50 Dose as in normal
Drug
amlodipin 1x10mg HT renal function; 5–10mg sesuai
Handbook
daily
Third Edition
The Renal
20–50 Dose as in normal
Drug
candesartan 1x16mg HT renal function; 2–32mg Sesuai
Handbook
daily
Third Edition
The Renal
20–50 According to Drug
kalipar 3x600mg Hipokalemia sesuai
response Handbook
Third Edition
asam valproat 2x5ml epilepsi 20–50 Dose as in normal sesuai The Renal Drug
(250mg) renal function; 600mg – Handbook
2.5g daily in divided
doses Third Edition
A
- terapi kalipar 3x600mg tetapi diresepkan 3x300mg
- risiko perpanjangan QT interval pada pasien hipokalemia yang diberikan haloperidol
- potensi interaksi aspirin-fenitoin, aspirin-valproate, fenitoin-valproate mempengaruhi kadar feni
toin dan valproate
-potensi interaksi omeprazole-fenitoin meningkatkan toksisitas fenitoin
P:
- konfirmasi ke dokter penulis resep terkait aturan pakai kalipar
- monitoring toksisitas fenitoin melalui pemeriksaan enzim hati
- monitoring EKG terkait risiko perpanjangan interval QT
- monitoring tanda-tanda kejang terkait efektivitas valproate dan fenitoin
08/01/24 – Ward 6B
S : Pasien sudah tidak gelisah, menurut keluarga pasien tidak ada kejang selama di RS, tidak ada
keluhan
A
- Penggunaan clonidine bersama betablocker (bisoprolol) berpotensi mengakibatkan sinus bradika
rdia
- risiko hiperkalemia pada penggunaan aspirin-spironolactone, kalipar-spironolactone, candesarta
n-kalipar, candesartan-spironolactone
- risiko hiperkalemia pada pasien dengan CrCl 30-50 (pasien 31) yang mendapatkan spironolacto
ne
P:
- monitoring HR dan ECG
- monitoring kadar kalium atau tanda-tanda hiperkalemia (palpitasi, aritmia, kelemahan otot)
- saran pada pasien dengan CrCl 30-50 penyesuaian dosis spironolactone yang direkomendasikan
adalah tiap 2 hari sekali
risiko hiperkalemia P2.1 Kejadian C3.2 Dosis saran pada pasien I0.1 Tanpa O0.1 Status
pada pasien dengan obat yang obat terlalu dengan CrCl 30- Intervensi masalah
CrCl 30-50 (pasien merugikan tinggi 50 penyesuaian tidak
31) yang (mungkin) dosis diketahui
mendapatkan terjadi spironolactone
spironolactone yang
direkomendasika
n adalah tiap 2
hari sekali
risiko hiperkalemia P2.1 Kejadian C9.2 monitoring kadar I1.1 Dokter O1.1
pada penggunaan obat yang Penyebab kalium atau penulis resep Masalah
aspirin- merugikan lain; efek tanda-tanda hanya terselesaika
spironolactone, (mungkin) samping obat hiperkalemia diinformasikan n
A3.1 Intervensi
kalipar- terjadi (palpitasi, aritmia, diusulkan sepenuhnya
spironolactone, kelemahan otot) namun
penerimaan
candesartan-
tidak diketahui
kalipar,
candesartan-
spironolactone
G. Pembahasan
1. Hipokalemia didefinisikan sebagai kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/L. Hipokalemia dapat terj
adi akibat asupan yang kurang, perpindahan kalium ke dalam sel atau kehilangan kalium renal ma
upun non renal. Gambaran klinis deplesi kalium sangat bervariasi, dan berat ringannya tergantung
derajat hipokalemia. Gejala jarang terjadi kecuali kalium kurang dari 3 mEq/L. Mialgia, kelemah
an atau kram otot ektremitas bawah merupakan keluhan yang sering. Hipokalemia yang lebih ber
at dapat menyebabkan kelemahan progresif, hipoventilasi dan paralisis komplit. Deplesi kalium y
ang berat dapat meningkatkan resiko aritmia dan rabdomiolisis. Fungsi otot polos juga dapat terg
anggu dengan gambaran klinis ilues paralitik. Pada hipokalemia berat terdapat keluhan lemas dan
konstipasi. Pada kondisi kalium < 2,5 mmol/L, akan terjadi nekrosis otot dan pada kondisi kalium
< 2 mmol/L akan terjadi ascending paralise, bahkan mempengaruhi otot pernafasan. Keluhan yan
g terjadinya sejalan dengan kecepatan penurunan kadar kalium serum.
. Terdapat 3 mekanisme terjadinya hipokalemia yaitu berkurangnya asupan kalium, peningka
tan ekskresi kalium melalui ginjal dan tractus urinarius dan redistribusi kalium dari ekstraseluler
ke intraseluler. Ambilan kalium sel dipicu oleh alkalinemia, insulin, stimulasi beta adrenergik dan
santin. Aldosteron juga mampu mencetuskan ambilan kalium oleh sel setelah konsumsi makanan.
Beberapa obat simpatomimetik seperti decongestan, bronkodilator, penghambat kontraksi rahim d
apat menurunkan kalium serum. Calcium channel bloker mampu meningkatkan ambilan kalium k
e dalam sel, namun obat ini tidak mempengaruhi kadar kalium serum. Obat golongan diuretik, mi
neralkortikoid, glukokortikoid, antibiotik (penisilin dan derivatnya) dapat menginduksi kehilanga
n kalium.
Ny Y memiliki riwayat penggunaan obat yaitu amlodipine, clonidine, divalproex ER, allopur
inol, dan asam folat. Obat-obat tersebut tidak memiliki efek menurunkan kalium serum, hipokale
mia yang terjadi dapat karena asupan kalium harian yang kurang. Perhitungan koreksi kalium Ny.
Y sebagai berikut:
Kdeficit (mmol) = (Knormal lower limit - Kmeasured) x kg body weight x 0.4
BB 65 >> 0.4 x 65 x (3.5-2.3) = 31.2
Daily potassium requirement is around 1 mmol/Kg body weight.
maintenance 1meq/kgbb = 65
total 31.2 + 65 = 96.2~ 100meq habis dalam 8 jam
2. Pada epilepsi fokal obat antiepilepsi spektrum luas (fenitoin, valproate, karbamazepin, klobazam,
lamotrigine, topiramate, okskarbazepin, vigabatrin) efektif sebagai monoterapi pada kejang fokal.
Efek samping AOE kerap terjadi dan merupakan penyebab terbesar penghentian terapi. Beberapa
efek samping terkait dengan dosis dan dapat diprediksi. Hal tersebut dapat diminimalkan dengan
peningkatan dosis secara bertahap dan penurunan dosis ketika muncul gejala. Efek samping
kronik pada penggunaan OAE dapat berupa:
- Peningkatan berat badan pada terapi valproat, terjadi pada awal terapi.
- Gangguan kognitif dapat diakibatkan dari penggunaan fenobarbital.
- Hipertrofi gusi atau pembesaran gusi sering berkaitan dengan fenitoin, namun jarang terjadi
pada natrium valproat dan vigabatrin. Hal ini dapat dicegah dengan higiene oral yang baik.
- Gangguan fungsi hati, asam valproat berhubungan dengan peningkatan enzim transaminase hati
dan kadar amonia darah namun biasanya asimtomatik. Peningkatan enzim transaminase kurang
dari tiga kali nilai normal dan asimtoomatik tidak memerlukan penghentian AOE.
- Leukopenia dan agranulositosis, penggunaan karbamazepin berhubungan dengan leukopenia
yang terjadi dalam 2-3 bulan pertama terapi. Jika nilai ANC kurang dari 1000, maka pemberian
karbamazepin harus dihentikan.
- Asidosis metabolik, dapat dicetuskan oleh topiramat. Risiko asisdosis metabolik meningkat bila
terdapat kondisi seperti kelainan ginjal dan penggunaan diet ketogenik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ashley C, Dunleavy A. The Renal Drug Handbook. Ren Drug Handb. 2017;
2. Salwani D. Diagnosis dan Tatalaksana Hipokalemia. Unsyiah Conf Temu Ilm konsep mutahir tat
alaksana berbagai persoalan medis. 2017;57–72.
3. Mitchell J, Adan G, Whitehead C, Musial G, Bennett R, Burness C. Status epilepticus guideline.
Nhs. 2020;(May 2023):1–37.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2016. Acuan Panduan Praktis Klinis Neurology. P
edoman tatalaksana epilepsi untuk Dr umum kelompok Stud epilepsi Perhimpun Dr Spes Saraf In
dones. 2016;133.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksa
na Epilepsi Pada Anak. KMK No HK0107/MENKES/367/2017. 2017;
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)
KASUS 4
STROKE ISKEMIK
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
1. Definisi Stroke Iskemik
Stroke adalah manifestasi klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak, medulla spinalis, dan retin
a baik sebagian atau menyeluruhyang menetap selama ≥24 jam atau menimbulkan kematian akibat gan
gguan pembuluh darah. Stroke yang disebabkan oleh infark (dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi
patologi, atau bukti lain yang menunjukkan iskemi otak, medulla spinalis, atau retina) disebut
stroke iskemik.
2. Etiologi
Stroke iskemik adalah kondisi akibat dari kurangnya aliran darah ke otak. Berbagai jenis stroke iskemi
k mungkin disebabkan oleh gumpalan darah atau trombus yang menghalangi aliran darah ke bagian ot
ak (stroke trombotik) dan gumpalan yang bergerak dari tempat lain di tubuh, biasanya di jantung yang
berjalan ke otak (stroke emboli). Pada stroke trombotik, trombus dapat terbentuk di arteri yang terkena
aterosklerosis. Aterosklerosis adalah suatu kondisi di mana lapisan arteri menjadi menebal dan menye
mpit oleh plak. Saat plak menumpuk di arteri, darah mengalir lebih lambat dan kurang lancar, menyeb
abkan pembekuan.
Pembuluh darah yang menyempit oleh aterosklerosis lebih mungkin tersumbat oleh gumpalan, men
ghentikan aliran darah. Pada stroke emboli, gumpalan tersebut kemudian menyumbat arteri yang menu
ju atau di otak. Stroke emboli terjadi ketika sepotong gumpalan yang disebut embolus terlepas dan dib
awa oleh aliran darah ke otak, di mana arteri yang lebih besar bercabang menjadi pembuluh yang lebih
kecil. Bekuan darah mencapai titik di mana ia tidak bisa pergi lebih jauh. Kemudian bekuan menjadi te
rjepit, menyumbat arteri serebral kecil dan memotong suplai darah ke otak
3. Derajat stroke
National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) adalah salah satu pengukuran yang paling umum di
gunakan untuk tingkat keparahan stroke awal dan respons terhadap pengobatan, terutama dalam keada
an akut, dan memiliki banyak keuntungan. NIHSS merupakan alat yang divalidasi untuk memprediksi
hasil stroke. Saat ini, skor NIHSS digunakan secara rutin untuk menilai stroke keparahan di sebagian b
esar pusat stroke. NIHSS mengukur fungsi neurologis pada pasien dengan tanda dan gejala
stroke. NIHSS menilai keparagan stroke yang dilihat dari 11 aspek yaitu Tingkat kesadaran, gerak bol
a mata, penglihatan, kelumpuhan wajah, fungsi motoric (lengan), fungsi motorik (kaki), ataksia, sensor
ik, bahasa, artikulasi, dan inatensi. Unsur-unsur tersebut dijumlahkan untuk memberikan penilaian kes
eluruhan tentang keparahan stroke, dengan skor mulai dari 0 hingga 42. Keparahan stroke saat onset te
lah dikaitkan dengan kematian, kecacatan fungsional, lama rawat inap, dan pemulihan. Skor total NIH
SS awal sangat memprediksi hasil setelah stroke iskemik (IS).
Skor Derajat keparahan stroke
0 Tidak ada gejala stroke
1-4 Stroke minor
5-15 Stroke sedang
15-20 Stroke sedang sampai berat
21-42 Stroke berat
4. Tata laksana
a. Trombolisis
Terapi trombolitik dengan tissue plasminogen activator (tPA) merupakan terapi yang direkomenda
sikan oleh American Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA) dan European
Stroke Organization (ESO) untuk pasien dengan stroke iskemik akut dengan kriteria yang memen
uhi syarat (Rilianto, 2016). Terapi trombolitik intravena terdiri dari pemberian Recombinant Tissu
e Plasminogen Activator (rtPA), pemberian agen trombolitik lain dan enzim defibrogenating. Pem
berian rtPA dapat meningkatkan perbaikan outcame dalam 3 bulan setelah serangan stroke apabila
diberikan pada golden period yaitu dalam onset pemberian trombolisis direkomedasikan ialah ≤4,5
jam atau ≤6 jam (bukan wake up stroke) pada jalur intravena dengan sirkulasi anterior.
Tissue plasminogen activator (tPA) berfungsi mengkatalis konversi plasminogen menjadi plas
min, enzim utama yang terlibat dalam mengahancurkan gumpalan darah. Dosis yang direkomenda
sikan adalah 0,9 mg alteplase / kg berat badan (maksimum 90 mg), 10% dari total dosis yang diber
ikan sebagai bolus IV awal dan sisanya sebagai infus IV selama 60 menit (berdasarkan kriteria stu
di NINDS. Perdarahan intrakranial adalah komplikasi utama yang terkait dengan trombolisis, dan f
aktor yang meningkatkan risiko perdarahan termasuk bertambahnya usia, tekanan darah tinggi, dia
betes dan keparahan stroke. Terapi trombolitik ini dapat mengurangi kecatatan sedang hingga bera
t Penggunaan rtPA harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menimbulkan resiko perdarahan.
Agen trombolitik yang lain seperti streptokinase, tenecteplase, reteplase, urokinase, anistreplase da
n staphylokinase masih prlu dikaji secara luas.
Prosedur aplikasi pemberian terapi trombolisis rtPA (Alteplase) pada stroke iskemik akut
1) Kriteria inklusi
- Usia ≥ 18 tahun.
- Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas.
- Onset ≤4,5 jam atau ≤6 jam
- Tidak ada gambaran perdarahan intrakranial pada CT-scan / MRI (DWI)
- Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan risiko yang mungkin timbul.
Harus ada persetujuan tertulis dari pasien atau keluarga untuk dilakukan terapi rtPA (Alt
eplase).
- Boleh diberikan pada pasien yang mengonsumsi aspirin atau kombinasi aspirin dan klopi
dogrel sebelumnya.
- Boleh diberikan pada pasien gagal ginjal kronik dengan aPTT normal (risiko perdarahan
meningkat pada pasien dengan peningkatan aPTT).
- Boleh diberikan pada pasien dengan sickle cell disease.
2) Kriteria ekslusi
- Defisit neurologis ringan (NIHSS ≤5) atau cepat mengalami perbaikan.
- Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir.
- Infark multilobar (gambaran hipodens >1/3 hemisfer serebri).
- Kejang pada saat onset stroke.
- Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis postiktal.
- Riwayat stroke iskemik atau cedera kepala berat dalam 3 bulan sebelumnya.
- Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan fisis.
- Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu sebelumnya.
- Riwayat perdarahan gastrointestinal atau tractus urinarius dalam 3 minggu sebelumnya.
- Riwayat operasi intracranial / spinal 3 bulan terakhir.
- Riwayat perdarahan intracranial.
- Pasien dengan tumor intracranial intra-aksial.
- Tekanan darah sistolik >185 mmHg, diastolik >110 mmHg.
- Glukosa darah <50 mg/dL atau >400 mg/dL.
- Gejala perdarahan subaraknoid.
- Gejala endocarditis infektif.
- Gejala atau kecurigaan diseksi aorta.
- Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau pungsi lumbal dalam 1 mingg
u sebelumnya.
- Jumlah platelet <100.000/mm3.
- Bila mendapat terapi heparin dalam 48 jam atau LMWH dalam 24 jam terakhir.
- Gambaran klinis adanya perikarditis post infark miokard.
- Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya.
- Wanita hamil.
- Tidak sedang menkonsumsi antikoagulan oral (atau bila sedang dalam terapi antikoagula
n hendaklah INR ≤1,7).
- Nilai aPTT >40 atau PT >15.
Rekomendasi pemberian IV rtPA (Alteplase) dosis 0,6-0,9 mg/kg BB (maksimum 90 mg), 10% d
ari dosis total diberikan sebagai bolus inisial dalam 1 menit, dan sisanya diberikan sebagai infus s
elama 60 menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang waktu 4,5 jam dari onset. Tekanan
darah < 185/110 mmHg sebelum pemberian trombolitik. Pasien dimasukkan ke perawatan khusus
stroke (stroke unit) bila tersedia atau bangsal biasa bila tidak tersedia. Penilaian neurologis dilaku
kan setiap 15 menit selama pemberian infus dan setiap 30 menit setelahnya selama 6 jam berikutn
ya, kemudian tiap jam hingga 24 jam setelah terapi.
b. Tata laksana hipertensi arterial pada stroke iskemik akut yang akan diberikan rtPA
Tata laksana hipertensi pelu dilakukan pada kasus stroke iskemik yang akan mendapatkan rtPA int
ravena. Apabila tekanan darah sistolik > 185 mmHg atau diatolik >110 mmHg. Diberikan infus ni
cardipine 5mg/jam, apabila 5-15 menit tekanan darah belum responsive dosisi dapat dinaikkan 2.5
mg/jam. Ketika tekanan darah target telah tercapai, diturunkan menjadi 3mg/jam. Bila tekanan dar
ah tidak turun dan tetap >185/110 mmHg, rtPA jangan diberikan.
B. Pengkajian IGD
Anamnesa
1) Keluhan Utama : Kelemahan tubuh sisi kanan
2) Riwayat Penyakit sekarang :
os kelemahan anggota gerak kanan mendadak saat aktivitas di jam +/-07.00 (3 jam SMRS), keluh
an disertai dengan bicara pelo dan wajah perot. lalu os segera datang ke IGD RSPON keluhan pan
dangan ganda (-), gangguan penciuman (-), gangguan pendengaran (-), kejang (-), gangguan kesei
mbangan (-) kejang (-) penurunan kesadaran (-) , pusing berputar (-), nyeri kepala (-) Baseline ma
ndiri
3) Riwayat penyakit sebelumnya :
HT (+) DM (+) dikatakan sudah lama >5thn SMRS, stroke (-) jantung (-) riw ranap +/-3thn SMR
S saat COVID
Pemeriksaan Neurologis
GCS: 15
E: 4 M: 6 V: 5
Pupil: isokor Diameter: 3/3
RCL: +/+ RCTL: +/+
Diagnosa Primer :
hemiparese dextra + disartria parese NC VII XII dextra UMN ec CVD SI onset 3 jam SMRS NIH
SS 5, post rTPA NIHSS 5
Diagnosis Sekunder :
- Hipertensi emergensi
- CKD ec susp DM nephropathy (Cr3.79, Ureum 56.3, eGFR 15.8)
Pemeriksaan Penunjang :
CT Scan Kepala = Brain atrophy. Tidak tampak tanda infark maupun perdarahan.
Rekonsiliasi 1
Nama Obat Dosis/ Frekuensi keterangan
Metformin 2x500mg Stop
Amlodipine 1x10mg Dilanjutkan aturan pakai sama
4) Hasil Laboratorium
Hematologi
Pemeriksaan Nilai Normal 11-Dec 14-Dec 21-Dec 27-Dec
Darah lengkap
Leukosit 4400-11300 12.9 20.8 14.8 18.4
Eritrosit 4,5-5,9 x 106 4.1 3.7 3.7 3.4
4,1-5,1 x 106
Hemoglobin 14-17.5 11 10.2 9.8 9.2
12.3-15.3
Hematokrit 40-52 32 29 28 27
35-47
Trombosit 139-403 X 103 346 340 399 506
149-409 X 103
MCV 80-96 78 77 75 78
MCH 28-33 27 27 27 27
MCHC 33-36 34 35 35 35
RDW-CV 12.2-14.6 14.4 14.2 13.3 13.4
12.2-15
Basofil 0-1 0 0
Eosinofil 2-4 1 2
Neutrofil 50-70 70 74
Limfosit 25-40 22 15
Monosit 2-8 7 9
LED <15
Kimia klinik
Pemeriksaan Nilai Normal 11-Dec 13-Dec 14-Dec 19-Dec 21-Dec 24-Dec 28-Dec
Kimia Klinik
SGOT (AST) ≤40
≤32
SGPT (ALT) ≤41
≤33
Ureum 16.8-48.5 56.3 53.6 65.6 100 94.1 93.6 96.4
Kreatinin 0.67-1.17 3.79 3.74 4.47 4.42 4.1 3.84 3.54
Glukosa, Kolesterol, Protein darah
Pemeriksa Nilai No 12-D 13-D 14-D 15-D 16-D 17-D 18-D 19-D 21-D 28-D 29-D
an rmal ec ec ec ec ec ec ec ec ec ec ec
Glukosa 197/
sewaktu 130 191 156 130 114 139 200 298 214
Glukosa
Puasa 74-106 130
Glukosa 2
jam PP <120 172
HbA1c <5.7 5.7
Kolesterol
Kolesterol
total <200 240
Trigliserida <150 174
HDL ≥60 40
LDL <100 173
Protein
darah 6-8 5.7 5.8
Albumin 3.4-5.2 3 2.8
Homeostatis
Pemeriksaa
n Nilai Normal 16-Dec 18-Dec 20-Dec 21-Dec 22-Dec 23-Dec 24-Dec
Elektrolit darah
Pemeriksaan Nilai Normal 11-Dec 13-Dec 18-Dec 21-Dec 24-Dec
Urine lengkap
Spesimen diambil dari N Urin kateter
Spesimen diambil pukul 14:05
Warna N Kuning
Kejernihan * Keruh Jernih
Berat Jenis (BJ) N 1.020 1.005 - 1.030
Pemeriksaa Nilai 21- 22- 23- 24- 25- 26- 27- 28- 29- 30-
n Normal Dec Dec Dec Dec Dec Dec Dec Dec Dec Dec
T 36-37.5 36.5 36 36.6 37.8 36.4 36.8 36.5 36.5 36.5 36.5
90/60 - 146/ 139/ 136/ 153/ 150/ 150/ 165/ 160/ 140/ 150/
BP 120/80 94 88 75 83 90 90 90 90 80 90
RR 14-20 16 15 14 13 17 17 17 17 17 18
HR 60-100 80 79 76 74 89 88 67 76 78 78
6) Radiologi
CT Scan Kepala
Sebelum rtPA
11-12-2 Hasil Pemeriksaan CT scan kepala tanpa pemberian kontras: Sulci kedua hemisfer cerebri
023 10: DCOM dan cerebelli tampak melebar. Differensiasi grey-white matter jelas. Tak tampak lesi
26 hipo/hiperdens di kedua hemisfer cerebri. Sistem ventrikel dan sisterna tampak mele
bar. Tidak tampak pergeseran garis tengah. Sella dan parasella baik. Mesencephalon,
pons, cerebellum, dan daerah CPA baik. Tidak tampak lesi. Kedua bulbus oculi dan
n. optikus yang tervisualisasi baik.
11-12-2 Kesan Brain atrophy. Tidak tampak tanda infark maupun perdarahan.
023 10: DCOM
26
12-12-2 Kesan Dibandingkan dengan CT scan kepala tanggal 11 Desember 2023, saat ini: - Tidak
023 13: DCO tampak perdarahan intrakranial. - Infark akut di nukleus lentiformis dan kapsula e
13 M ksterna kiri. - Atrofi cerebri.
15-12-2 Hasil Teknik: CT scan kepala tanpa kontras intravena. Perbandingan: CT scan kepala ta
023 12: DCO nggal 12 Desember 2023. Deskripsi: Sulci cerebri dan fissura Sylvi melebar denga
55 M n gyri prominen. Tampak lesi hipodens berbatas relatif tegas di corona radiata kiri,
nukleus lentiformis kiri dan kapsula eksterna kiri. Mesensefalon, pons, medulla ob
longata dan regio CPA tidak tampak kelainan. Sistem ventrikel dan sisterna meleb
ar (ex vacuo). Tidak tampak pergeseran garis tengah. Kedua orbita, sinus paranasa
l dan mastoid air cells tidak tampak kelainan. Tulang-tulang intak.
15-12-2 Kesan Dibandingkan dengan CT scan kepala tanggal 12 Desember 2023, saat ini: - Tidak
023 12: DCO tampak perdarahan intrakranial. - Infark akut lanjut di corona radiata kiri, nukleus
55 M lentiformis kiri dan kapsula eksterna kiri.. - Atrofi cerebri.
Thorax
11-12-2 Hasil Radiografi thorax proyeksi AP posisi semi erect: Jantung kesan membesar. Aorta
023 10: DCOM dan mediastinum superior tidak melebar. Trakea di tengah. Kedua hilus baik. Tam
27 pak infiltrat di lapanga atas paru kanan. Diafragma licin. Sinus kostofrenikus kana
n-kiri lancip. Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik.
15-12-2 Hasil Teknik: Radiografi toraks proyeksi AP. Perbandingan: Radiografi toraks tanggal 1
023 00: DCOM 1 Desember 2023. Deskripsi: Inspirasi tidak adekuat. Jantung ukuran kesan memb
04 esar. Aorta kalsifikasi. Mediastinum superior tidak melebar. Trakea relatif di teng
ah. Kedua hilus tidak menebal. Infiltrat di lapangan atas paru kanan relatif stqa. H
emidiafragma kanan dan kiri baik. Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip. Tula
ng-tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak.
15-12-2 Kesan Dibandingkan dengan radiografi toraks tanggal 11 Desember 2023, saat ini: - Kar
023 00: DCOM diomegali dengan kalsifikasi aorta. - Infiltrat di lapangan atas paru kanan relatif st
04 qa.
8) DPO
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 24 25 26 27 29
/1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 22/ 23/ /1 /1 /1 /1 28/ /1
Oral Dosis 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 12 12 2 2 2 2 12 2
amlodi 1x10 v
pin mg v v v v v v v v v v v v v
adalat 1x30
oros mg v
1x
1x 5
bisopro 2.5m m
lol g v v v v v v v v v v v v v v g
3x
600m
NAC g v v v v v v v v v v v v v v v
sucralfa 2x15
t ml v v v v v
atorvast 1x20 v
atin mg v v v v v v v v v v v v v v v v v
clopido 1x75 v
grel mg v v v v v v v v v v v v
miniasp 1x80
i mg v v v v v v v v v v v
folic 3x1m
acid g v v v v v v v v v v v v v v v v v
3x
50mc
vit b12 g v v v v v v v v v v v v v v v v v
3x
Ca 500m
CO3 g v v v v v v v v v v v v v v v v v
Na 3x
Bicarbo 500m
nat g v v v v v v v v v v v v v v v v v
1x25
HCT mg v v v v v v v v v v v v
2x 1x
Valsart 160m 160
an g v v v v v v v mg v v v v v v v
2x
nitrokaf 2.5m
retard g v v v v v v
3x 4x 3x
clonidi 0.15 0.15 0.15
n mg v v mg v v v v mg v
3x
NaCl 1500
Kapsul mg v v v v v
2x
Doxicy 100m
clin g v v
Furose 1x40
mide mg v
Paren Dosi 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
teral s /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1 /1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
cedoc iv 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
ard titra
(mg/j si
am)
PCT 4x1 v v v v v
gra
m
Levof 500 v v v v v v
loxaci mg/
n 48ja
m
Cefop 2x1 v v v v v v v v v v v v
erazo gra
n m
sulbac
tam
raniti 2x5 v v v
din 0mg
OMZ 2x4 v v v v 1x v v v v v
0mg 40
m
g
Nicar iv 0. 0. 0. 0.
dipin titra 3- 2- 4 3
(mcg/ si 0. 0. -
kgBB 4 5 1.
/min) 5
Farma iv 3- 3- 4
bes titra 5 5
(mcg/ si
kgBB
/min)
furose 2x2 1 v v v v v v v v
mide 0mg x
invicl drip v v v v
ot 100
00
unit
apidra 3x6i v
u
Inhal
asi
NAC 3x3 v v v v v v v v v v v v v v v
00m
g
salbut 3x2. v v v v v v v v v v
amol 5mg
9) Kesesuaian dosis
Oral Dosis Indikasi Rekomendasi Dosis Keterangan Literatur
Renal handbook
2x15ml GI bleeding 10–20 2–4 g daily sesuai
sucralfat 3rd edition
22/12/23 - SCU
Subjective
Belum dapat dikaji
Objective
TTV BP 152/90 HR 77 RR 13 T 36.8
CrCl 19 > 18 albumin 3.0 (L)
NIHSS pre rtPA : 5
NIHSS post rtPA : 5
NIHSS saat naik ke SCU : 3
NIHSS masuk SCU : 4
NIHSS 24 jam post rtPA : 2
NIHSS post rtPA H7 : 11
r/ amlodipine 1x10mg bisoprolol 1x2.5mg acetylcysteine 3x600mg atorvastatin 1x20mg clopidog
rel 1x75mg miniaspi 1x80mg folic acid 3x1mg vit b12 3x50mcg CaCO3 3x500mg Na bicarbonat
e 3x500mg HCT 1x25mg valsartan 1x160mg clonidine 4x0.15mg levofloxacin 750mg/48jam cef
operazon sulbactam 2x1gram omz 1x40mg furosemide 2x20mg inviclot apidra 3x6unit (correctio
n dose) inhalasi NAC 3x300mg inhalasi salbutamol 3x2.5mg
Assesment
- Potensi perdarahan akibat DAPT
- Potensi interaksi aspirin-HCT aspirin-furosemide menurunkan efek diuretic dan potensi n
efrotoksik, pasien dengan penurunan fungsi ginjal
- Potensi sinus bradikardi pada pasien dengan bisoprolol dan clonidine
- Potensi interaksi obat omeprazole dan clopidogrel, menurunkan efektivitas clopidogrel, m
eningkatkan risiko kejadian kardiovaskular
Plan
- Monitoring tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, hematuria, hematochezia)
- Monitoring fungsi ginjal melalui diuresis dan GFR
- Monitoring heart rate dan ECG
- Saran gastroprotektor menggunakan PPI lain yang tidak interaksi dengan clopidogrel (lan
soprazole) atau dengan ranitidine
24/12/23
Subjective
Belum dapat dikaji
Objective
TTV BP 153/83 HR 76 RR 13 T 37.8
CrCl 19 > 18 > 19 albumin 3.0 (L)
r/ amlodipine 1x10mg bisoprolol 1x2.5mg acetylcysteine 3x600mg atorvastatin 1x20mg clopidog
rel 1x75mg miniaspi 1x80mg folic acid 3x1mg vit b12 3x50mcg CaCO3 3x500mg Na bicarbonat
e 3x500mg HCT 1x25mg valsartan 1x160mg clonidine 4x0.15mg levofloxacin 750mg/48jam cef
operazon sulbactam 2x1gram omz 1x40mg furosemide 2x20mg inviclot 10000unit/24 jam apidra
3x6unit (correction dose) inhalasi NAC 3x300mg inhalasi salbutamol 3x2.5mg
Assesment
- Potensi perdarahan akibat DAPT
- Potensi interaksi aspirin-HCT aspirin-furosemide menurunkan efek diuretic dan potensi n
efrotoksik, pasien dengan penurunan fungsi ginjal
- Potensi sinus bradikardi pada pasien dengan bisoprolol dan clonidine
- Potensi interaksi obat omeprazole dan clopidogrel, menurunkan efektivitas clopidogrel, m
eningkatkan risiko kejadian kardiovaskular
- Pasien dengan NGT, nitrokaf retard tidak dapat digerus untuk diberikan per NGT, nitroka
f retard merupakan sediaan modified release, apabila digerus menyebabkan pelepasan dos
is obat dalam jumlah besar
Plan
- Monitoring tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, hematuria, hematochezia)
- Monitoring fungsi ginjal melalui diuresis dan GFR
- Monitoring heart rate dan ECG
- Saran gastroprotektor menggunakan PPI lain yang tidak interaksi dengan clopidogrel (lan
soprazole) atau dengan ranitidine
- Saran nitrat terapi dengan ISDN 10mg tablet 3-4 kali sehari
30/12/23
Subjective
Pasien rencana pulang
Objective
TTV BP 150/90 HR 78 RR 18
CrCl 19 > 18 > 19 > 21
r/ lantus 1x14unit apidra 3x14 unit NaCl 3x500mg clonidine 3x0.3 omz 2x20mg Na bicarbonate 3
x500mg CaCO3 3x500mg asam folat 3x1mg vitamin b12 3x50mcg atorvastatin 1x20mg furosemi
de 1x40mg nitrokaf retard 2x2.5mg bisoprolol 1x5mg miniaspi 1x80mg clopidogrel 1x75mg vals
artan 1x160mg amlodipine 1x10mg HCT 1x25mg acetylcysteine 3x200mg doksisiklin 2x100mg
7 hari
Assesment
- Potensi perdarahan akibat DAPT
- Potensi interaksi aspirin-HCT aspirin-furosemide menurunkan efek diuretic dan potensi n
efrotoksik, pasien dengan penurunan fungsi ginjal
- Potensi sinus bradikardi pada pasien dengan bisoprolol dan clonidine
- Potensi interaksi obat omeprazole dan clopidogrel, menurunkan efektivitas clopidogrel, m
eningkatkan risiko kejadian kardiovaskular
- Pasien dengan NGT, nitrokaf retard tidak dapat digerus untuk diberikan per NGT, nitroka
f retard merupakan sediaan modified release, apabila digerus menyebabkan pelepasan dos
is obat dalam jumlah besar
- Pasien dengan NGT, omeprazole tidak dapat diberikan melalui NGT dengan melepaskan
cangkang kapsul, omeprazole dapat rusak oleh asam lambung, dan absorbsi ditujukan di
usus.
Plan
- Monitoring tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, hematuria, hematochezia)
- Monitoring fungsi ginjal melalui diuresis dan GFR
- Monitoring heart rate dan ECG
- Saran gastroprotektor dengan ranitidine
- Saran nitrat terapi dengan ISDN 10mg tablet 3-4 kali sehari
Potensi interaksi P2.1 Kejadian C9.2 Monitoring fungsi I0.1 Tanpa O1.1
aspirin-HCT obat yang Penyebab ginjal melalui Intervensi Masalah
aspirin-furosemide merugikan lain; interaksi diuresis dan GFR terselesaika
A3.2 Intervensi
menurunkan efek (mungkin) obat tidak diusulkan n
diuretic dan potensi terjadi sepenuhnya
nefrotoksik, pasien
dengan penurunan
fungsi ginjal
Potensi sinus P2.1 Kejadian C9.2 Monitoring heart I0.1 Tanpa O0.1 Status
bradikardi pada obat yang Penyebab rate dan ECG Intervensi masalah
pasien dengan merugikan lain; efek tidak
A3.2 Intervensi
bisoprolol dan (mungkin) samping obat tidak diusulkan diketahui
clonidine terjadi
Potensi interaksi P2.1 Kejadian C9.2 Saran I0.1 Tanpa O0.1 Status
obat omeprazole obat yang Penyebab gastroprotektor Intervensi masalah
dan clopidogrel, merugikan lain; interaksi menggunakan PPI tidak
A3.2 Intervensi
menurunkan (mungkin) obat lain yang tidak tidak diusulkan diketahui
efektivitas terjadi interaksi dengan
clopidogrel, clopidogrel
meningkatkan (lansoprazole)
risiko kejadian atau dengan
kardiovaskular ranitidine
Pasien dengan P1.2 Efek C2.1 Bentuk Saran nitrat terapi I3.1 Obat O0.1 Status
NGT, nitrokaf terapi obat sediaan obat dengan ISDN diubah menjadi masalah
ISDN 10mg
retard tidak dapat tidak optimal yang tidak 10mg tablet 3-4 tablet 3-4 kali tidak
digerus untuk sesuai dengan kali sehari sehari diketahui
diberikan per NGT, pasien A3.2 Intervensi
nitrokaf retard tidak diusulkan
merupakan sediaan
modified release,
apabila digerus
menyebabkan
pelepasan dosis
obat dalam jumlah
besar
Pasien dengan P1.2 Efek C2.1 Bentuk Saran I3.1 Obat O0.1 Status
NGT, omeprazole terapi obat sediaan obat gastroprotektor diubah menjadi masalah
ranitidine
tidak dapat tidak optimal yang tidak dengan ranitidine tidak
diberikan melalui sesuai dengan diketahui
NGT dengan pasien
melepaskan
cangkang kapsul,
omeprazole dapat
rusak oleh asam
lambung, dan
absorbsi ditujukan
di usus.
F. Pembahasan
Stroke iskemik terjadi dikarenakan adanya sumbatan pada pembuluh darah di otak sehingga
terjadi gangguan suplai darah ke otak yang menyebabkan iskemik saraf otak. Apabila tidak
dilakukan penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat berdampak pada kematian saraf otak secara
permanen. Tujuan penatalaksanaan stroke iskemik adalah mengembalikan aliran darah pada otak
yang tersumbat dengan cepat, mengurangi angka kematian, mencegah terjadinya sumbatan ulang
dan kejadian keterulangan stroke pada masa mendatang.
Fibrinolitik/trombolirik intravena terapi yang digunakan sebagai terapi reperfusi untuk
mengembalikan perfusi darah yang terhambat pada serangan stroke akut. Alteplase bekerja
dengan memecah trombus dengan mengaktivasi plasminogen yang terikat pada fibrin. Efek
samping yang sering terjadi adalah risiko perdarahan seperti pada intrakranial, sehingga
trombolitik terapi dikontraindikasikan pada stroke dengan perdarahan intrakranial. Tn S datang
ke IGD RSPON dengan onset kelemahan tubuh 3 jam SMRS dan pada pemeriksaan penunjang
tidak ditemukan adanya tanda-tanda perdarahan intrakranial. Sehingga pada kasus Tn S
penolongan pertama adalah trombolisis dengan rtPA yaitu alteplase. Tetapi Tn S masuk dengan
kondisi hipertensi emergensi dengan tekanan darah 239/139 mmHg. Sebelum memulai terapi
trombolitik diperlukan pengendalian tekanan darah <180mmHg sehingga dilakukan tatalaksana
hipertensi emegensi menggunakan diltiazem 10mg/kgBB/menit. 10 menit kemudian tekanan
darah target tercapai sehingga trombolitik terapi segera dimulai untuk menangani kondisi
iskemik.
Tn S masuk dengan penurunan fungsi ginjal dengan nilai CrCl berdasarkan cockcroft gault
sebesar 19ml/min. Alteplase dapat diberikan dengan dosis normal pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Berdasarkan rekomendasi dari PNPK stroke Kemenkes tahun 2019 pasien dengan
rtPA perlu dilakukan pemantauan ketat hingga 24 jam post terapi. Direkomendasikan untuk
dimonitoring di unit khusus stroke. Tn S masuk ke Stroke Care Unit RSPON. Hingga 24 jam post
rtPA dilakukan pemeriksaan CT-Scan kembali untuk memastikan ada tidaknya perdarahan
intrakranial. Apabila 24 jam post rtPA pasien stabil, tidak ada perdarahan, dan perbaikan derajat
stroke (NIHSS) pasien stroke iskemik dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Pada kasus
Tn S, tekanan darah pasien belum terkontrol dengan drip diltiazem. Pasien juga mengalami infark
miokard saat di SCU sehingga diperlukan penanganan infark miokard.
Selama perawatan Tn S mengalami penurunan kadar natrium yaitu kadar natrium pasien
adalah 129. Penurunan kadar natrium <135 merupakan kondisi hiponatremia. Hiponatremia dapat
terjadi dikarenakan beberapa faktor, salah satu nya adalah efek samping obat. Obat-obatan seperti
diuretik thiazid dan ARB dapat menyebabkan terjadi hiponatremia. ARB menyebabkan
hiponatremia dikarenakan penghambatan angiotensin mengakibatkan berkurangnya reabsorbsi
natrium di tubulus ginjal. Koreksi natrium dan pemantauan kadar diperlukan pada kasus Tn S.
Tn S juga mengalami hipoalbumin, dimana hipoalbumin dapat terjadi karena adanya gangguan
fungsi ginjal. Pada pemeriksaan urine didapatkan hasil albuminuria. Ditemukannya albumin
dalam urine dikarenakan terganggunya filtrasi dan reabsrobsi albumin di ginjal dikarenakan
gangguan fungsi ginjal. Gangguan ini menyebabkan kadar albumin dalam darah berkurang atau
terjadi kondisi hipoalbumin. Kondisi anemia pada Tn S dapat terjadi dikarenakan gangguan
fungsi ginjal. Dimana pada gangguan fungsi ginjal terjadi gangguan proses eritropoiesis.
Eritropoiesis merupakan proses produksi eritropoietin yang berperan menstimulasi produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang.
Perlu dilakukan PTO pada Tn S dikarenakan pada kasus Tn S, pasien dengan polifarmasi
dimana pasien mendapatkan terapi untuk NSTEMI, CHF, CKD, CVD, Pneumonia. Tn S
termasuk pasien geriatri dengan penurunan fungsi organ yaitu ginjal. Penyesuaian dosis obat yang
dieliminasi terutama di ginjal perlu dilakukan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Farrar GR, Zhang H. Erratum: Perturbative QCD calculation of real and virtual Compton scatteri
ng (Physical Review D (1990) 42, 7 (2413)). Phys Rev D. 1990;42(7):2413.
2. Dokter P, Kardiovaskular S, Ketiga E. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga.
2015;
3. Siswanto BB. Konsensus Tatalaksana Cairan Pada Gagal Jantung. Konsensus Tatalaksana Cairan
Pada Gagal Jantung. 2020;
4. PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpun Dr Spes Kardiovask Indones [Internet].
2013; Available from: http://www.nber.org/papers/w16019
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksa
na Stroke. Keputusan Menteri Kesehat RI No HK0107/MENKES/394/2019. 2019;
6. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Hemofilia. 2021;1–85.
7. Herpich F, Rincon F. Management of Acute Ischemic Stroke. Crit Care Med. 2020;48(11):1654–
63.
8. Ashley C, Dunleavy A. The Renal Drug Handbook. Ren Drug Handb. 2017;
9. Unger T, Borghi C, Charchar F, Khan NA, Poulter NR, Prabhakaran D, et al. 2020 International S
ociety of Hypertension Global Hypertension Practice Guidelines. Hypertension. 2020;75(6):1334
–57.
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)
KASUS 5
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
A. Definisi dan Klasifikasi
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis yang disebabkan oleh perdarahan ataupun sumbata
n dengan gejala dan tanda yang sesuai pada bagian otak yang terkena, yang dapat menimbulka
n cacat atau kematian. troke perdarahan intraserebral (Intracerebral Hemorrhage, ICH) atau yang
biasa dikenal sebagai stroke hemoragik, yang diakibatkan pecahnya pembuluh intraserebr
al. Kondisi tersebut menimbulkan gejala neurologis yang berlaku secara mendadak dan seringkali
diikuti gejala nyeri kepala yang berat pada saat melakukan aktivitas akibat efek desak ruang
atau peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Stroke hemoragik umumnya didahului oleh penyakit hipertensi. Hipertensi merupakan fakto
r resiko palingpenting pada kejadian stroke hemoragik baik bagi laki-laki ataupun Perempuan. Teka
nan darah iskemik yang meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun akan me
ngakibatkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh darah serebral mengakibatkan diameter lum
en pada pembuluh darah akan menjadi tetap. Apabila hal ini terjadi akan berbahaya, karena pem
buluh serebral tidak dapat berdilatasi dengan leluasa guna mengatasi fluktuasi dari tekanan d
arah iskemik yang terjadi. Jika terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan p
erfusi ke jaringan otak menjadi tidak adekuat, hingga dapat mengakibatkan iskemik serebra
l. Sebaliknya, apabila terjadi kenaikan tekanan darah iskemik akan mengakibatkan tekanan p
erfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi yang dapat menyebabkan terjadinya hiperemia, ede
ma, dan kemungkinan ada perdarahan pada otak.
B. Diagnosis
Penegakan diagnosis stroke memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksa
an neurologis, serta pemeriksaan penunjang. Hasil dari pemeriksaan sangat penting guna me
nentukan tipe stroke yang akan berkaitan dengan tatalaksana yang diberikan, sehingga kesala
han yang mengakibatkan morbiditas bahkan mortalitas dapat dihindari. Gejala klinis atau kelu
han yang biasanya mucul terdiri dari defisit neurologis fokal dengan onset mendadak. Penurunan ti
ngkat kesadaran, muntah, sakit kepala, kejang dan tekanan darah yang sangat tinggi mungkin me
nunjukkan adanya stroke hemoragik. Sakit kepala merupakan gejala awal yang paling sering
dialami pasien seiring dengan perluasan hematom yang menyebabkan peningkatan TIK dan efek
desak ruang pada otak. Gejala lain yang dapat muncul berupa kaku kuduk yang terjadi akibat p
erdarahan di talamus, kaudatus, dan serebelum.
Penilaian klinis yang dapat dilakukan dengan pengukuran tanda vital, tingkat kesadara
n, dan pemeriksaan fisik umum neurologis harus dilakukan pada semua pasienstroke hemorag
ik. Pada pasien stroke hemoragik keadaan umum pasien dapat lebih buruk dibandingkan deng
an stroke iskemik. Pada pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan pemeriksaan kepala, telinga,
hidung dan tenggorokan (THT), serta ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas digunakan untuk men
cari edema tungkai yang diakibatkan trombosis vena. American Heart Association and Amer
ican Stroke Association(AHA/ASA) merekomendasikan penerapan rutin skor keparahan dasar
neurologis menggunakan Glasglow Coma Scale (GCS), skor yang ada pada GCS dapat diguna
kan untuk penilaian neurologis awal keparahan stroke hemoragik dengan cepat, yang selanjutn
ya akan dipantau secara berkala.
Pada pemeriksaan neurologis lainnya, dilakukan pemeriksaan refleks batang otak, pemeriksaan ne
rvus kranalis, serta pemeriksaan refleks fisilogis dan patologis. Pemeriksaan neurologis dilak
ukan dengan membandingkan sisi kanan dan kiri, serta sisi atas dan bawah untuk menentukan lua
s dan lokasi lesi. Pemeriksaan penunjang awal pada stroke hemoragik biasanya menggunak
anComputerized tomography(CT). Perdarahan meningkat dalam atenuasi dari 30-60 unit Hou
nsfield(HU) pada fase hiperakut menjadi 80-100 HU selama beberapa jam. Atenuasi dapat men
urun pada anemia dan koagulopati. Edema vasogenik di sekitar hematoma dapat mening
kat hingga mencapai 2 minggu.
Pada fase subakut, hematoma mungkin isodense ke jaringan otak, dan magnetic resona
nce imaging (MRI) mungkin akan diperlukan. Volume hematoma dapat diukur dengan mengg
unakan medote AxBxC/2. Di mana A adalah diameter terbesar hematom pada salah satu potong
an CT. B adalah diameter tegak lurus terhadap potonganCT. C adalah ketinggian vertikal hem
atoma. Perdarahan intraserebral dengan volume lebih dari 60 cc dikaitkan dengan kematian ya
ng tinggi.
Pemeriksaan neurologis
GCS : 15, Disartria
E:4 M:6 V:5
Pemeriksaan penunjang
gds : 185 mg/ dl
EKG : SR HR 73 x/m, ves trigemini
CT Scan kepala : Kesan = Perdarahan intraparenkim volume 22 cc di kapsula eksterna kanan. Inf
ark lama di centrum semiovale kiri.
3. Diagnosis
a. Primer : CVD SH
b. Sekunder : Hipertensi emergency on perdipin
4. Hasil Laboratorium
Hematologi
Nilai
Pemeriksaan Normal 21-Dec
Darah lengkap
Leukosit 4400-11300 7500
4,5-5,9 x
Eritrosit 106 5.3
4,1-5,1 x
106
Hemoglobin 14-17.5 15.7
12.3-15.3
Hematokrit 40-52 43
35-47
139-403 X
Trombosit 103 339
149-409 X
103
MCV 80-96 82
MCH 28-33 30
MCHC 33-36 36
RDW-CV 12.2-14.6 13.1
12.2-15
Basofil 0-1 0
Eosinofil 2-4 1
Neutrofil 50-70 75
Limfosit 25-40 22
Monosit 2-8 2
LED <15
<25
Kimia klinik
HS Troponin T <14 9
5. Hasil Radiologi
CT Scan Kepala/Neck
22-12-2023 Hasil Pemeriksaan CT scan kepala tanpa pemberian kontras: Sulci dan gyri ke
05:50 DCOM dua hemisfer cerebri baik. Differensiasi grey-white matter jelas. Tampak
lesi berdensitas darah volume 22 cc di kapsula eksterna kanan. Tampak l
esi hipodens berbatas tegas di centrum semiovale kiri. Sistem ventrikel d
an sisterna tidak melebar ataupun menyempit. Tidak tampak pergeseran
garis tengah. Sella dan parasella baik. Pons, mesencephalon, cerebellum
dan daerah CPA baik. Tidak tampak lesi. Kedua orbita dan n. optikus ya
ng tervisualisasi baik. Sinus paranasal dan kedua mastoid baik. Tulang-t
ulang intak.
Sederhana I - Thorax
22-12-2023 Hasil Radiografi thorax proyeksi AP : Jantung kesan tidak membesar. Aorta d
05:48 DCOM an mediastinum superior tidak melebar. Trakea di tengah. Kedua hilus b
aik. Corakan bronkovaskuler kedua paru baik. Diafragma licin. Kedua si
nus kostofrenikus lancip. Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada
baik.
6. DPO
Oral Dosis 22-12 23-12 24-12 25-12 26-12 27-12 28-12 29-12
candesartan 1x16mg v v v v v v v
lactulosa 3x15ml v v v v v v v v
amlodipin 1x10mg v v v v v v v
Kapcam nyeri 3x1
C kapsul v v
3x0.15m
clonidin g v v v v v v
paracetamol 3x500mg v v v
Kapcam nyeri 3x1
B kapsul v v v v
Ibuprofen 400mg v
Parenteral
omeprazole 1x40mg v v v v v v v v
nicardipin iv titrasi v
paracetamol 1gram 1x
loadin
g
300ml
4x150 3x150 1x150
manitol ml ml v v ml
ondansetron 3x4mg v v v
Assesment
- Panduan dislipidemia PERKENI 2021, pada pasien hipertrigliseridemia dengan bukti klin
is CVD termasuk stroke, statin pilihan pertama untuk menurunkan risiko kardiovaskular
Rekomendasi
- Rekomendasi statin > atorvastatin, pasien dengan obat antihipertensi amlodipine dan cand
esartan, atorvastatin tidak berinteraksi dengan obat antihipertensi tersebut apabila dibandi
ngkan simvastatin
F. Pembahasan
1. Perdarahan intraserebral diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah intraserebral sehingga darah
keluar dari pembuluh dara dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak. Penyebab ICH biasanya
karena hipertensi yang berlangsung lama kemudian terjadi kerusakan dinding pembuluh darah da
n salah satunya adalah terjadinya mikroaneurisma. Tn R tidak memiliki riwayat menggunakan ob
at antikoagulan dan memiliki riwayat penyakit hipertensi namun pasien tidak rutin minum obat a
ntihipertensi. Hipertensi tidak terkontrol pada Tn R dapat menjadi salah satu faktor pencetus stro
ke perdarahan intraserebral.
2. Target penurunan tekanan darah yang direkomendasikan oleh American college of cardiology/A
merican heart association (ACC/AHA) pada kasus hipertensi emergensi (tanpa diseksi aortic, pre
eklammpsia atau eclampsia, krisis pheochromocytoma) adalah penurunan sebanyak 25% dalam
1 jam kemudian normal (140/90) setelah 24-48 jam. obat antihipertensi yang paling banyak digu
nakan sebagai terapi lini pertama adalah nicardipine. Tn R mendapatkan drip nicardipine untuk p
enanganan hipertensi emergensi. Dalam 24 jam tekanan darah target tercapai kemudian drip nica
rdipine dihentikan.
3. Mannitol 20% merupkan salah satu cairan hyperosmolar yang digunakan dalam penanganan ICH.
Salah satu efek samping yang harus dimonitoring selama pemberian mannitol adalah kejadian A
KI. AKI yang disebabkan biasanya bersifat sementara dan reversible. Risiko AKI meningkat pad
a peningkatan dosis Mannitol. Selain itu, gangguan elektrolit juga merupakan salah satu efek sa
mping yang mungkin terjadi sehingga diperlukan pemantauan elektrolit pasien yang mendapatka
n mannitol.
4. Kondisi hipertrigliseridemia pada pasien kondisi klinis CVD direkomendasikan untuk segera me
mulai statin untuk menurunkan risiko kardiovaskular. Fibrat hanya direkomedasikan pada pasien
dengan kadar TG > 500mg/dl. Terapi statin yang direkomendasikan untuk Tn R yang juga mend
apatkan obat antihipertensi amlodipine adalah atorvastatin karena apabila dibandingkan simvasta
tin. Atorvastatin tidak memiliki risiko interaksi obat dengan amlodipine.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenberg SM, Ziai WC, Cordonnier C, Dowlatshahi D, Francis B, Goldstein JN, et al. 2022 Gui
deline for the Management of Patients With Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A Guideline
From the American Heart Association/American Stroke Association. Vol. 53, Stroke. 2022. 282–
361 p.
2. Unger T, Borghi C, Charchar F, Khan NA, Poulter NR, Prabhakaran D, et al. 2020 International S
ociety of Hypertension Global Hypertension Practice Guidelines. Hypertension. 2020;75(6):1334
–57.
3. Rocha E, Rouanet C, Reges D, Gagliardi V, Singhal AB, Silva GS. Intracerebral hemorrhage: Up
date and future directions. Arq Neuropsiquiatr. 2020;78(10):651–9.
4. Lovich-Sapola JA. Treatment of elevated Intracranial Pressure (ICP). Anesth Oral Board Rev Kn
ocking Out Boards. 2009;132–5.
KASUS 6
MENINGIOMA
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
A. Definisi dan Klasifikasi
Istilah “tumor otak” merujuk pada berbagai grup neoplasma yang berasal dari jaringan intrakranial, t
ermasuk meningen (contoh : meningioma) dengan berbagai derajat keganasan, dimulai dari yang jina
k hingga ganas atau agresif. Setiap jenis tumor memiliki gambaran biologi, tata laksana, serta progno
sis tersendiri yang biasanya disebabkan oleh berbagai faktor risiko. Prognosis pada tumor otak sanga
t bergantung pada lokasi, sifat infiltratif dan biologis tumor. Berdasarkan asal jaringannya, tumor ota
k dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu tumor otak primer dan tumor otak sekunder atau metast
asis. Tumor otak primer berasal dari berbagai jaringan intrakranial termasuk neuron, sel glia, astrosit
dan termasuk meningen. Tumor otak sekunder merupakan metastasis dari tumor primer di tempat lai
n, biasanya berasal dari tumor primer ganas solid, seperti kanker paru, payudara, melanoma dan ginja
l, maupun keganasan hematologi, seperti limfoma dan leukemia. Metastasis ini dapat menyerang par
enkim otak, leptomeningen maupun duramater.
Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang paling sering ditemui, ekstra aksial, dan
berasal dari sel araknoid yang menempel pada duramater. Karakteristik tumor ini dapat tumbuh deng
an besar dan cenderung menghasilkan hiperostosis, infiltrasi atau juga mengerosi tulang. Berdasarka
n panduan World Health Organization (WHO), sekitar 80% dari meningioma diklasifikasikan sebaga
i grade I atau jinak, 10-18% sebagai grade II atau atipikal, dan sekitar 2-4% sebagai grade III atau ga
nas.
B. Etiologi
Etiologi molekuler meningioma dikaitkan dengan delesi kromosom dan mutasi gen. Meningioma da
pat terjadi pada pasien yang terradiasi, dengan risiko tinggi terpapar dosis tinggi radioterapi, sementa
ra faktor risiko lain seperti hormon, cidera kepala, tumor ganas payudara, faktor diet dan alergi, serta
riwayat meningioma pada keluarga. Faktor lain seperti paparan telepon seluler masih belum jelas dan
bahkan tidak signifikan pada beberapa penelitian. Perubahan genetik yang sering terjadi pada mening
ioma adalah hilangnya kromosom 22 yang berhubungan dengan mutasi pada gen neurofibromatosis t
ipe 2 (NF2) yang terletak di kromosom 22.
C. Gejala
Meningioma biasanya merupakan tumor yang tumbuh lambat, gambaran klinis yang ditimbulkan ter
gantung pada lokasi dan ukuran tumor, serta keterlibatannya dengan struktur jaringan sekitar. Nyeri
kepala mungkin gejala yang paling sering dan bersamaan dengan gejala lain dapat mengarah kepada
suatu peningkatan tekanan intra kranial. Kejang ditemukan pada 30 % pasien yang didiagnosis denga
n meningioma intrakranial. Risiko kejang lebih tinggi pada lokasi selain basis kranii (misalnya pada
meningioma konveksitas, parasagital, dan falks).
Gejala fokal yang muncul tergantung pada lokasi spesifik tumor. Gangguan penglihatan bisa mun
cul pada meningioma yang melibatkan jalur penglihatan. Gangguan pendengaran bisa muncul pada
meningioma di regio sudut cerebellopontine. Anosmia dapat muncul pada meningioma di olfactory g
roove. Gangguan status mental dengan apati dan inatensi dapat muncul pada pasien dengan inferior f
rontal meningioma yang besar. Kelemahan ekstremitas juga dapat muncul umumnya berupa
hemiparesis walaupun kadang-kadang dapat juga berupa paraparesis pada meningioma parasagital di
falx yang mengkompresi jalur motoris. Kumpulan gejala tersebut tidaklah spesifik sebagaimana suat
u variasi lesi fokal intrakranial yang berbeda-beda.
D. Penunjang
Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dan MRI membantu deteksi meningioma, biasanya ta
mpak sebagai tumor soliter yang menempel pada duramater, serta menyangat kuat dengan pemberian
kontras (contrast enhanced). Pemeriksaan tersebut merupakan metode yang sering digunakan untuk
mendiagnosis, monitoring dan evaluasi pasca tindakan. Positron emission tomography dapat memba
ntu pada kasus-kasus meningioma di skull base yang biasanya sulit untuk dilihat pada pemeriksaan C
T dan MRI yang standar. Meningioma juga diketahui memiliki somatostatin receptor density yang ti
nggi, sehingga memungkinkan untuk octreotide brain scintigraphy membantu menggambarkan ekste
nsi dari penyakit.
E. Tata laksana
Terapi pasien dengan meningioma sangatlah individual, karena sifat meningioma itu sendiri dan vari
asi hasil terapi yang berbeda-beda untuk pasien yang berbeda. Dikarenakan kurangnya penelitian pro
spective randomized trials, panduan tata laksana standar sangatlah sulit untuk diformulasikan. Modal
itas terapi berupa observasi menggunakan serial CT atau MRI, pembedahan, stereotactic radiosurger
y (SRS), fractionated radiotherapy (FRT), kemoterapi, ataupun radionuclide therapy. Manajemennya
menitikberatkan pada profil klinis, grade WHO, dan extent of resection, yang nampaknya mulai subo
ptimal seiring dengan meningkatnya pengertian terhadap biologi tumor ini.
Keputusan terapi harus berdasarkan gejala yang muncul, lokasi meningioma, tampakan tumor ter
hadap pembuluh darah, pengalaman pembedah, dan kemungkinan untuk reseksinya. Untuk tumor ya
ng berukuran kecil (<3cm) dan asimtomatik maka berdasarkan guideline European Association of N
euro-oncology (EANO) maupun National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dapat dilakukan
observasi saja, dengan terapi dilakukan bila tumor membesar secara signifikan atau menjadi simtoma
tik. Pada fase observasi ini dilakukan MRI pada 3,6 dan 12 bulan pasca diagnosis, dilanjutkan kemud
ian setiap 6-12 bulan selama lima tahun, diteruskan dengan setiap 1-3 tahun tergantung kondisi klinis
pasien. Untuk tumor yang simtomatik, ataupun asimtomatik namun berukuran besar maka perlu dila
kukan terapi pembedahan jika memungkinkan.
Pada pasien yang dipertimbangkan sebagai kandidat untuk pembedahan, tujuan terapinya adalah e
ksisi total. Kesulitan dalam pembedahan meningioma dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, m
eningioma pada skull base: meskipun biasanya low grade, meningioma ini enclose struktur saraf dan
pembuluh darah, memunculkan tantangan pembedahan tersendiri dan mengakibatkan risiko fungsion
al dan vital. Kedua, meningioma grade II–III, secara klasik berlokasi pada konveksitas, yang sering t
umbuh kembali, terutama ketika mengalami invasi ke sinus, sehingga menghalangi reseksi pembeda
han secara komplit.
Evaluasi yang paling relevan dari hasil pembedahan adalah penilaian Simpson grade. Pemeriksaa
n CT dan MRI yang dilakukan setelah operasi, serta temuan histopatologis pada saat pembedahan me
nentukan dasar dari Simpson grading system, suatu sistem untuk memprediksi rekurensi dari mening
ioma tersebut. Meskipun tujuannya untuk melakukan gross total resection, tujuan ini tidak seharusny
a memiliki efek pada status neurologis pasien, dan strategi kombinasi dapat dilakukan untuk memaks
imalkan progression-free survival bersamaan dengan menurunkan risiko neurologis yang ditimbulka
n pasca operasi. Pada kasus meningioma yang secara potensial mengalami ekstensi hingga ke dasar t
engkorak seperti sphenoorbital meningioma, operasi rekonstruksi tulang (bone reconstruction) direko
mendasikan untuk mencegah atrofi otot temporal dan hasil estetika yang buruk pasca operasi.
Saat ini peranan dan dampak terhadap prognosa dari radioterapi sebagai suatu terapi ajuvansetela
h reseksi pembedahan masih kontroversi untuk meningioma low grade. Terapi ini dapat dipertimban
gkan untuk meningioma low grade setelah reseksi tumor parsial, rekuren, dan meningioma maligna d
engan sel atipikal dan sel yang anaplastik. Penggunaan radioterapi dikaitkan dengan luaran yang lebi
h baik. Stereotactic radiosurgery atau stereotactic radiotherapy pada meningioma dapat digunakan se
bagai terapi primer, terutama pada meningioma yang tidak dibiospi karena akses sulit untuk dilakuka
n biopsy atau reseksi dan kasus-kasus.
Teknik radiasi yang disarankan adalah conformal radiation therapy (contoh : 3D-CRT/ conformal
radiotherapy, IMRT/intensity modulated radiotherapy, VMAT/volumetric modulated arc therapy, to
moterapi) untuk menyelamatkan organ penting dan meningkatkan dosis radiasi pada jaringan yang te
rlibat. Meningioma WHO derajat I/II pascaoperasi dapat diberikan radiasi konvensional dosis 45-60
Gy atau radiasi stereotactic dengan dosis tinggi per fraksi. Dosis radiasi diberikan 45-60 Gy dalam fr
aksi 1,8-2 Gy bila ukuran tumor cukup besar. Untuk lesi dengan ukuran tumor yang lebih kecil dapat
dipertimbangkan pemberian SRT dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-20 fraksi atau SRS dengan dosis 1
2-25 Gy dalam fraksi tunggal.
Meningioma WHO derajat III memiliki sifat yang lebih ganas sehingga diperlukan ajuvan radiasi
untuk hampir semua kasus. Lapangan radiasi ditentukan berdasarkan MRI brain pre-operasi dan pos
t-operasi T1 kontras dan T2/FLAIR untuk deliniasi gross tumor (jika ada) dan surgical bed dengan m
argin CTV 2-3 cm dan dosis radiasi 54-60 Gy dalam 1,8-2 Gy/fraksi. Apabila lesi tumor pada menin
gioma WHO derajat III cukup kecil maka juga dapat dpertimbangkan pemberian stereotactic radiothe
rapy (SRT) dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-20 fraksi atau stereotactic radiosurgery (SRS) dengan do
sis 12-25 Gy dalam fraksi tunggal.
Beberapa pilihan obat kemoterapi telah digunakan untuk menangani meningioma atipikal dan ana
plastik. Pilihan kemoterapinya adalah Interferon Alfa, Somatostatin analog jika octreotide scan positi
f, Sunitinib, Bevacizumab + everolimus. Bevacizumab dapat digunakan pada kasus yang memiliki st
atus performa (KPS) yang baik namun memiliki progresifitas secara radiologis untuk mencegah penu
runan status neurologis yang cepat. Kombinasi bevacizumab dengan kemoterapi lain dapat dipertimb
angkan, jika monoterapi bevacizumab gagal. Terdapat tiga terapi sistemik yang direkomendasikan ol
eh NCCN 2012 yaitu hidroksiurea, interferon alfa, dan analog somatostatin. Tidak seperti glioma, pe
mbuluh darah pada meningioma tidak memiliki sawar otak (blood brain barrier) dan obat yang ada di
sirkulasi darah dapat melakukan penetrasi ke meningioma. Tetapi hal ini juga dapat meningkatkan ris
iko peningkatan tekanan intra tumoral, dikarenakan pembesaran edema vasogenik.
Meningioma diketahui mengekspresikan PDGF-beta (platelet-derived growth factor beta), prolife
rasi meningioma distimulasi oleh autokrin growth factor stimulation loop. Oleh karena itu terdapat ta
ta laksana yang menargetkan PDGF-R yaitu imatinib. Gefitinib dan erlotinib dapat digunakan karena
faktor pertumbuhan epidermal seringkali dieksperiskan berlebih pada meningioma. Inhibitor VEGF s
eperti bevacizumab digunakan karena meningioma rekuren memperlihatkan peningkatan densitas mi
krovaskular dan ekspresi VEGF.
Pemeriksaan neurologis
GCS: E3M6V4
E: 3 M: 6 V: 4
Pemeriksaan penunjang
MRI brain : Massa dominan padat dengan komponen kistik dan fokus perdarahan minimal intral
esi, hiposelular, hipervaskular, berukuran 4,9 x 3,8 x 4,4 cm, ekstraaksial, broad base pada os par
ietal kiri sisi medial, dengan perifokal edema, mendesak ventrikel lateralis kiri, sinus sagitalis su
perior ke sisi kanan dan menyebabkan herniasi subfalcine ke kanan sejauh 0,8 cm (MRS: penuru
nan NAA dan Cr dengan peningkatan Cho), DD/ meningioma, solitary fibrous tumor of the dura.
3. Diagnosis
a. Primer : Focal Status Epileptikus
b. Sekunder :
- Lateralisasi Dextra ec SOL IK
- Post Kolesistektomi 13/12/23
- Anemia (Hb 9,7)
4. Hasil Laboratorium
Hematologi
Nilai
Pemeriksaan Normal 18-Dec 19-Dec 19-Dec
Darah lengkap
Leukosit 4400-11300 13100 12900 12900
4,5-5,9 x
Eritrosit 106 4.9 4.6 5.4
4,1-5,1 x
106
Hemoglobin 14-17.5 10.1 9.5 11.2
12.3-15.3
Hematokrit 40-52 34 32 38
35-47
139-403 X
Trombosit 103 522 559 492
149-409 X
103
MCV 80-96 68 69 70
MCH 28-33 21 21 21
MCHC 33-36 30 30 30
RDW-CV 12.2-14.6 23.1 23.4 23.4
12.2-15
Kimia Klinik
5. Hasil Radiologi
CT Scan Kepala/Neck
19-12-2023 Hasil Pemeriksaan CT scan kepala tanpa pemberian kontras: Dibandingkan d
13:14 DCOM engan MRI tanggal 17-12-2023; Defek tulang post op di frontal kiri. U
kuran massa slight hiperdens di parasagital frontal kiri berkurang dari
3,8 x 4,1 cm menjadi 3,2 x 4 cm. Edema di lobus frontal kiri stqa. Fluid
collection kesan kista arachnoid di frontal kiri stqa. Efek desak ruang st
qa.
19-12-2023 Kesan Dibandingkan dengan MRI tanggal 17-12-2023; Defek tulang post op
13:14 DCOM di frontal kiri. Ukuran massa slight hiperdens di parasagital frontal kiri
berkurang dari 3,8 x 4,1 cm menjadi 3,2 x 4 cm. Edema di lobus frontal
kiri stqa. Fluid collection kesan kista arachnoid di frontal kiri stqa. Efe
k desak ruang stqa.
19-12-2023 Kesan Cor dan pulmo tak tampak kelainan. Terpasang CVC dengan ujung dist
06:29 DCOM al pada proyeksi VCS. Terpasang ETT dengan ujung distal jarak 3 corp
us dari carina.
19-12-2023 Kesan Massa dominan padat dengan komponen kistik dan fokus perdarahan
13:34 DCOM minimal intralesi, hiposelular, hipervaskular, berukuran 4,9 x 3,8 x 4,4
cm, ekstraaksial, broad base pada os parietal kiri sisi medial, dengan pe
rifokal edema, mendesak ventrikel lateralis kiri, sinus sagitalis superior
ke sisi kanan dan menyebabkan herniasi subfalcine ke kanan sejauh 0,8
cm (MRS: penurunan NAA dan Cr dengan peningkatan Cho), DD/ me
ningioma, solitary fibrous tumor of the dura.
6. DPO
Assesment
- Potensi interaksi dexamethasone dan levofloxacin meningkatkan risiko rupture tendon
- Potensi interaksi omeprazole dan fenitoin meningkatkan risiko toksisitas fenitoin
- Potensi interaksi paracetamol dan fenitoin meningkatkan risiko hepatotoksik
- Potensi peningkatan gula darah ec terapi kortikosteroid (dexametason) pada pasien DM
Rekomendasi
- Monitoring tanda-tanda nyeri, bengkak, inflamasi tendon
- Saran monitoring enzim transaminase (risiko toksisitas fenitoin dan efek samping penggu
naan fenitoin bersama paracetamol)
- Monitoring gula darah selama terapi
Potensi interaksi P2.1 C9.2 Monitoring tanda- I1.1 Dokter O1.1 Masalah
dexamethasone d Kejadian obat Penyebab tanda nyeri, penulis resep terselesaikan
an levofloxacin m yang lain; bengkak, hanya sepenuhnya
eningkatkan risik merugikan interaksi inflamasi tendon diinformasika
o rupture tendon (mungkin) obat n
terjadi
A3.1
Intervensi
diusulkan
namun
penerimaan
tidak
diketahui
Potensi interaksi P2.1 C9.2 monitoring enzim I0.1 Tanpa O0.1 Status
omeprazole dan Kejadian obat Penyebab transaminase Intervensi masalah
fenitoin yang lain; tidak
A3.2
meningkatkan merugikan interaksi diketahui
Intervensi
risiko toksisitas (mungkin) obat
tidak
fenitoin terjadi
diusulkan
Potensi interaks P2.1 C9.2 monitoring enzim I0.1 Tanpa O0.1 Status
i paracetamol da Kejadian obat Penyebab transaminase Intervensi masalah
9. Obat pulang
Obat pulang (23/12/23)
- Cefixime 2x200mg no x
- Omeprazole 1x20mg no vii
- Levetiracetam 2x500mg no xiv
- Fenitoin 2x200mg no xx
- Dexamethasone 3x1mg no xlii
- Acetylcysteine 3x200mg no xxi
1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksa
na Tumor Otak. Keputusan Menteri Kesehat RI No HK0107/MENKES/397/2020
2. Goldbrunner R, Stavrinou P, Jenkinson MD, Sahm F, Mawrin C, Weber DC, et al. EANO guideli
ne on the diagnosis and management of meningiomas. Neuro Oncol. 2021;23(June):1821–34.
3. Patel B, Desai R, Pugazenthi S, Butt OH, Huang J, Kim AH. Identification and Management of A
ggressive Meningiomas. Front Oncol. 2022;12(March):1–14.
4. Agustina E. The Effect of Operating Procedure with Infection Incidence on Contaminated Cleani
ng Operating Patients (Case Control Study in RSU HAJI Surabaya). J Berk Epidemiol. 2017;5(3):
351.
5. Midlands W, Alliance C. Guidelines for the Management of Meningiomas NHS England and NH
S Improvement Guidelines for the Management of Meningiomas This guidance has been produce
d to support the management of patients with meningiomas. 2020;
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)
KASUS 7
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
A. Definisi
Subarachnoid hemorrhage merupakan salah satu jenis stroke hemoragik dan merupakan penyakit ser
ebrovaskular yang bersifat merusak setelah pecahnya aneurisma intracranial, mendorong darah masu
k kedalam ruang subarackhnoid sehingga menyebabkan gangguan perfusi dan fungsi otak. SAH mer
upakan jenis stroke yang paling jarang terjadi, namun memiliki angka morbiditas dan mortalitas yan
g palung tinggi serta beban perawatan kesehatan yang lebih berat. Sekitar 80% SAH nontrauma dise
babkan oleh rupture aneurisma intracranial.
B. Faktor risiko
Faktor risiko rupture aneurisma dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor r
isiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain: hipertensi, keb
iasaan merokok, konsumsi alcohol, diabetes melitus berkaitan dengan SAH perimesensefalik, dan pe
nggunaan obat simpatomimetik. Faktor risiko SAH yang tidak dapat dimodifikasi antara lain: usia 4
0-60 tahun, jenis kelamin pada wanita lebih tinggi risiko dibandingkan pria, riwayat aneurisma sebel
umnya, riwayat keluarga pada kerabat tingkat pertama (meningkatkan risiko 3-4 kali lipat), penyakit
genetic (autosomal dominant polycystic kidney diasease, type IV Ehlers-Danlos syndrome).
C. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi SAH melibatkan early brain injury (EBI) dan delayed cerebral ischemia (D
CI) termasuk vasospasme serebral. Pembentukan aneurisma terjadi dengan lesi vaskuler awal setelah
interaksi faktor biologis, fisik, dan eksternal tertentu. Gaya tangensial (shear stress) pada dinding pe
mbuluh darah akibat aliran darah menyebabkan aneurisma atau dilatasi dan degenerasi dinding pemb
uluh darah. Endotelium merupakan struktur yang pertama kali mengalami kerusakan. Struktur ini ber
peran dalam sensitivitas perubahan tekanan dinding vaskuler dan menyesuaikan diameter lumen sesu
ai dengan tingkat shear stress untuk. mempertahankan fisiologi dan menentukan keseluruhan proses r
emodeling
Inflamasi memainkan peran penting pada pembentukan dan pecahnya aneurisma. Aktivasi proinfl
amasi terjadi selama remodeling vaskular pada daerah dengan shear stress yang tinggi. Aktivasi proi
nflamasi termasuk aktivasi endotel menginduksi sintesis nitrit oksida (NO) dan down-regulasi endoth
elial constitutional equivalent (eNOS), induksi matrix metalloproteinases (MMP) seperti MMP-2, M
MP-9, dan sitokin proinflamasi lain seperti interleukin (IL)-10, IL-1β, IL-6, tumor necrosis factor (T
NF)-α serta kaskade komplemen dan koagulasi. Sistem komplemen berkaitan dengan aneurisma intra
kranial dan degenerasi dinding pembuluh darah.
Segera setelah aneurisma pecah, akan terjadi transient global cerebral ischemia dan patologi lainn
ya yang disebut EBI.6 EBI didefinisikan sebagai perkembangan kerusakan otak pada 72 jam pertama
setelah perdarahan.9 Stress oksidatif memainkan peran penting pada pekembangan EBI setelah SAH
dengan memproduksi radikal reactive oxygen species (ROS) termasuk superoxide anion (O2−), hydr
oxyl radical (OH− ), hydrogen peroxide (H2O2), NO, and peroxynitrate (ONOO− ). Hipoksia dan ke
kurangan oksigen akan menganggu fungsi mitokondria. Sementara itu, vasospasme serebral diangga
p berkonstribusi pada DCI. Vasospasme serebral merupakan penurunan difus dan reversible caliber p
embuluh darah karena konstriksi otot polos arteri setelah SAH.
Dinamika vaskular selama vasospasme termasuk konstriksi pembuluh darah kecil yang menyebab
kan disfungsi endotel, neuroinflamasi intramural, kontraksi otot polos pembuluh darah pial di pembu
luh darah otak. Endothelin-1 (ET-1) yang bekerja pada reseptor endotelium A sel otot polos vakular
menyebabkan masuknya Ca2+ intraseluler (peningkatan kadar Ca2+ intraseluler setelah SAH melalu
i voltage-dependent Ca2+ channels and neurotransmitter-receptor-operated Ca2+ channels) dan vaso
konstriksi dengan aktivasi kaskade multiple termasuk protein kinase C.
Pelepasan oksihemoglobin setelah hemolisis akan menginduksi pelepasan ET-1, merusak permea
bilitas endotel, menghambat eNOS dan apoptosis neuronal dengan stimulasi pembentukan ROS, pero
ksidasi lipid dan jalur Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) yang menghambat influks kanal K
+. Depolarisasi otot polos vaskular yang berkelanjutan merupakan faktor penting selama vasospasme.
Namun, pemicu terpenting terjadinya vasospasme dan DCI adalah jumlah, kepadatan, klot dan prod
uk degradasi eritrosit di ruang subarakhnoid. Terdapat hubungan yang kuat antara vasospasme serebr
al dengan jumlah darah subarakhnoid pada computed tomography (CT)-scan.
D. Manifestasi Klinis
Gejala awal yang umum dan merupakan ciri khas gejala SAH aneurisma, yaitu “the worst headache
of my life”. Nyeri kepala parah yang biasanya muncul mendadak dan mencapai intensitas maksimum
dalam hitungan detik atau menit (thunderclap headache). Sekitar 10-40% pasien, didahului oleh nyeri
kepala “sentinel” 2-8 minggu sebelum perdarahan subaraknoid yang nyata. Perdarahan biasanya terja
di selama masa stress fisik atau psikologis, namun lebih sering terjadi selama aktivitas sehari-hari.
Gejala lain yang mungkin muncul, yaitu penurunan kesadaran, mual dan/ atau muntah, fotofobia,
defisit neurologis fokal atau kejang, retinal hemorrhage. Pemeriksaan fisik neurologis pada >50% kej
adian SAH memberikan hasil yang normal atau terdapat neck rigidity. Tanda ini mungkin tidak dite
mukan pada kondisi awal, kasus ringan atau pasien dalam keadaan koma.
E. Klasifikasi Derajat
World Federation of Neurosurgeons Scale merupakan skala yang memungkinkan menilai tingkat kep
arahan keadaan klinis pasien.
F. Diagnosis
Penegakan diagnosis perdarahan subaraknoid dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
neurologis dan penunjang, pemeriksaan fisik, neurologis dan penunjang. Ottawa subarachnoid hemor
rhage decision rule dapat membantu mendiagnosis SAH. Ottawa subarachnoid hemorrhage decision
rule meliputi: kriteria inklusi dan eksklusi, usia ≥ 40 tahun, nyeri atau kaku leher (neck stiffness), pe
nurunan kesadaran, onset dengan aktivitas, nyeri kepala yang memuncak secara tiba-tiba (thundercla
p headache) serta fleksi leher terbatas. Kriteri inklusi mencakup: alert, usia >15 tahun dengan keluha
n baru, berat, nyeri kepala nontrauma yang mencapai intensitas maksimal dalam 1 jam. Kriteria ekskl
usi mencakup: defisit neurologis baru, riwayat aneurisma sebelumnya, hematoma subaraknoid atau t
umor otak atau riwayat nyeri kepala berulang (≥3 episode dalam ≥6 bulan).
Pemeriksaan CT-scan tanpa kontras merupakan tahap diagnosis pertama SAH. Apabila CT-scan
menunjukkan hasil negatif namun kecurigaan klinis SAH tinggi, maka dapat dilakukan pemeriksaan
pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan antara 6-12 jam setelah onset gejala karena ca
iran serebrospinal (CSF) kembali normal setelah 3 minggu. Penemuan sel darah merah (2,000x106 p
ada tabung CSF terakhir) dan/atau xanthochromia pada CSF akan menegakkan diagnosis SAH.
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan studi pilihan untuk mengidentifikasi sumber perd
arahan sedangkan angiografi digunakan pada kecurigaan aneurisma. MRI dan CT Angiography (CT
A) sangat sensitif untuk mendeteksi anuerisma pada circle of willis yang berdiameter >5 mm. CTA p
ada saat ini dapat digunakan untuk mendeteksi aneurisma berukuran 2 mm.
G. Tata laksana
Tatalaksana pada kasus SAH dikelompokkan menjadi tatalaksana umum dan tatalaksana terkait kom
plikasi. Tatalaksana umum pada SAH meliputi stabilisasi jalan napas (intubasi endotrakeal untuk me
ncegah aspirasi) dan pernapsan (O2 2-3 L/menit), stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid), pengen
dalian tekanan intracranial (head up 30 o, mannitol, furosemide jika diperlukan), mengatasi keluhan n
yeri, gastroprotektor jika diperlukan, manajemen nutrisi serta istirahat total. Tatalaksana khusus SAH
dikaitkan dengan komplikasi yang timbul, seperti pencegahan rebleeding, vasospasme, dan kejang se
rta tatalaksana tambahan lainnya.
Kontrol dan monitor tekanan darah merupakan salah satu tatalaksana dalam mencegah risiko per
darahan ulang. Tekanan darah sistolik dipertahankan sekitar 140-160 mmHg. Antihipertensi yang da
pat digunakan nicardipine (5mg/jam iv maksimal 15mg/jam), labetalol (40-80 mg iv setiap 10 menit
mulai 20mg iv, maksimal 300mg/dosis total, alt 2mg/menit iv) dan clevidipine (4-6mg/jam iv, mulai
1-2 mg/jam iv, maksimal 32 mg/jam). tetapi antifibrinoliktik (epsilonaminocapric acid dosis 1 gram i
v kemudian dilanjutkan 1 gram setiap 6 jam hingga aneurisma tertutup atau disarankan 72 jam) dianj
urkan pada pasien risiko rendah vasospasme dan dikontraindikasikan pada pasien dengan koagulopat
i, stroke iskemik, emboli paru, atau thrombosis vena dalam karena dikaitkan dengan peningkatan ang
ka kejadian iskemik serebral.
Operasi clipping atau endovascular coiling sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdaraha
n ulang setelah rupture aneurisma. American stroke association serta European stroke organization g
uidelines for management of intracranial aneuriysms and subarachnoid haemorrhage merekomendasi
kan agar dilakukan sedini mungkin, yaitu dalam 72 jam setelah timbulnya gejala pertama untuk men
cegah terjadinya rebleeding. Operasi clipping dilakukan engan craniotomy sedangkan tatalaksana en
dovascular menggunakan katetetr dengan panduan fluoroskopi.
Pencegahan vasospasme dilakukan dengan pemberian nimodipine dimulai dengan dosis 1-2mg/ja
m iv pada hari ke 3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. Nimodipine merupakan golon
gan calcium channel blocker yang berperan dalam mengurangi risiko DCI dan memperbaiki keadaan
neurologis. Tatalaksana pada delayed vasospasm meliputi:
- penghentian nimodipine, antihipertensi, dan diuretika
- pemberian 5% albumin 250ml iv
- pemasangan swangans bila memungkinkan dan usahakan wedge pressure 12-14 mmHg
- menjaga cardiac index sekitar 4L/min/sg-meter
- pemberian dobutamine 2-15 ug/kg/min
pengobatan pada vasospasme serebral dimulai dengan mempertahankan volume darah sirkulasi
yang normal dan menghindari hipovolumea. Pasien SAH dengan tanda-tanda vasospasme perlu
dipertimbangkan terapi hiperdinamik triple H (hypervolemic-hypertensive-Hemodilution) dengan
tujuan mempertahankan tekanan perfusi serebral.
Tatalaksana kejang pada SAH direkomendasikan apabila hasil pemeriksaan neurologis buruk atau
jumlah perdarahan signifikan yang menunjukkan risiko kejang klini/subklinis. Agen antiepilepsi
yang umum digunakan yaitu phenytoin (10-20mg/kg iv maksimal 50 mg/menit), dan levetiracetam
(15-20 mg/kg selama 30 menit). Tatalaksana tambahan yang dapat diberikan pada kasus SAH yaitu
pencahar untuk melunakan feses secara regular, analgetic dan pada kondisi psikiatri seperti rasa
gelisah dengan pemberian haloperidol atau midazolam.
Pemeriksaan neurologis
GCS: E2M5V1
E: 2 M: 5 V: 1
Pupil: bulat isokor Diameter: 3mm/3mm
RCL: ++/++ RCTL: ++/++
Pemeriksaan penunjang
CT Scan kepala : Perdarahan subarachnoid mengisi sisterna basal, ambiens, quadrigemina, prep
ontine dan premedulla, fissura sylvii bilateral terutama kiri, dan sulci kedua hemisfer cerebri
Thorax : Pneumonia
3. Diagnosis
a. Primer : Penurunan Kesadaran ec SAH WFNS gr IV onset 3 jam 45 menit
b. Sekunder : Riw TBC tahun 2012 pengobatan tuntas
4. Hasil Laboratorium
Hematologi
Kimia Klinik
Nilai Norma
Pemeriksaan l 31-Dec 3-Jan
SGOT (AST) ≤40 59 28
≤32
SGPT (ALT) ≤41 81 38
≤33
Ureum 16.8-48.5 23.1 66.2
Kreatinin 0.67-1.17 0.97 1.06
0.51-0.95
Asam urat 3.4-7
2.4-5.7
Glukosa
Glukosa
sewaktu 225/219
Glukosa Puasa 74-106
Glukosa 2 jam
PP <120
HbA1c <5.7 6
Kolesterol
Kolesterol total <200
Trigliserida <150
HDL ≥60
LDL <100
Protein darah 6-8 5.4 6
Albumin 3.4-5.2 2.8 2.8
Homeostatis 3.2
PTT 11.3-13.8 13.4
APTT 27.5-40.3 27.7
Fibrinogen 213-450 107
Elektrolit darah
Natrium 136-146 141 141 143 138
Kalium 3.5-5 3.1 3.7 3.2 3.5
Klorida 98-106 107 113 115 106
Magnesium
Calsium
5. Mikrobiologi
Spesime N Sputum
n
Epitel N > 25
Leukosit N > 50
Hasil N Ditemukan:
- Batang Gram negatif: Sedang
6. Hasil Radiologi
31-12-2 Kesan Dibandingkan dengan radiografi toraks sebelumnya, saat ini: - Infiltrat di keua paru
023 17: DCO kesan berkurang. - Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung. - CVC dengan p
22 M osisi tip distal di proyeksi vena cava superior. - Tidak tampak gambaran pneumotor
aks, pneumomediastinum maupun emfisema subkutis.
31-12-2 Kesan Aneurysma sacular dengan leher 7 mm dan kubah 10 x 5,5 mm dengan puncak men
023 09: DCO garah di posteroinferior supraclinoid a.carotis interna kiri.
04 M
31-12-2 Kesan Perdarahan subarachnoid mengisi sisterna basal, ambiens, quadrigemina, prepontin
023 08: DCO e dan premedulla, fissura sylvii bilateral terutama kiri, dan sulci kedua hemisfer cer
45 M ebri.
7. DPO
Assesment
- Pasien dengan peningkatan enzim transaminase mendapatkan terapi paracetamol yang ber
isiko hepatotoksik
- Peningkatan risiko ulser gastrointestinal pada pasien dengan terapi ibuprofen dan ketorola
c
- Potensi interaksi levofloxacin dan ondansetron meningkatkan risiko prolong QT interval
- Pasien dengan peningkatan transaminase risiko peningkatan enzim transaminase pada pas
ien dengan atorvastatin
- Pasien dengan peningkatan CK risiko peningkatan myophathy pada pasien dengan atorva
statin
Rekomendasi
- Monitoring enzim transaminase
- Monitoring tanda-tanda dan keluhan terkait ulser gastrointestinal
- Monitoring ECG
- Monitoring tanda-tanda myophaty atau peningkatan CK
- Saran evaluasi penggunaan ketorolac hingga hari ke 5
09/01/24 - SCU
Subjective
Tidak dapat dikaji
Objective
TTV BP 145/76 HR 88 RR 24 T 38
Lab SGOT/SGPT 59/81 >> 28/38
R/ atorvastatin 1x40mg bisoprolol 1x2.5mg ibuprofen 2x400mg NAC 3x400mg metformin 2x50
0mg nimotop 6x60mg omz 2x40mg ondansetron 3x4mg ceftriaxone 2x2gram levofloxacin 1x75
0mg 3x2.5mg spironolactone 1x25mg amlodipine 1x5mg difenhidramin 4x30mg nitrokaf retard
2x2.5 inhalasi Pulmicort 2x1resp meproven 2x1resp salbutamol 2x1resp
Assesment
Potensi interaksi NSAID (ibuprofen) dan spironolactone menurunkan efek diuretic spironolacton
e
Rekomendasi
Monitoring tekanan darah dan kadar kalium
9. Kesesuaian Dosis
Pasien dengan peni P2.1 C9.2 Monitoring enzim I0.1 Tanpa O1.1
ngkatan transamina Kejadian obat Penyebab transaminase Intervensi Masalah
se risiko peningkat yang lain; efek terselesaikan
A3.2
an enzim transamin merugikan samping sepenuhnya
Intervensi
ase pada pasien den (mungkin)
tidak
gan atorvastatin terjad
diusulkan
Pasien dengan peni P2.1 C9.2 Monitoring tanda- I0.1 Tanpa O0.1 Status
ngkatan CK risiko Kejadian obat Penyebab tanda myophaty Intervensi masalah
peningkatan myoph yang lain; efek atau peningkatan tidak
A3.2
athy pada pasien de merugikan samping CK diketahui
Intervensi
ngan atorvastatin (mungkin)
tidak
terjad
diusulkan
I. Pembahasan
Salah satu faktor risiko pada stroke perdarahan subarachnoid adalah hipertensi. Tn TK memiliki riwa
yat hipertensi tidak terkontrol, hal ini dapat menjadi faktor pencetus munculnya aneurisma. Aneuris
ma lebih sering muncul di intracranial karena dinding arteri intracranial lebih tipis. Dinding aneurism
a hanya terdiri dari lapisan intima dan adventisia serta jaringan fibrohialin interposed dengan jumlah
bervariasi. Pecahnya aneurisma biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan darah. Vasospasme
merupakan komplikasi paling umum pada perdarah subarachnoid fase sub akut.
Pencegahan vasospasme dapat dilakukan dengan management cairan dan pemberian terapi. Pasie
n cenderung mengalami kontriksi cairan pada fase sub akut, dan hypovolemia harus dihindari. Pasien
harus mendapatkan intake cairan minimal 3 liter per hari, dengan cairan isotonic. Natriuresis berlebih
memicu terjadi hyponatremia, gangguan elektrolit ini meningkatkan risiko vasospasme. Tekanan dar
ah harus dipertahankan dalam nilai normal hingga sedikit hipertensi. Tekanan darah ditargetkan lebih
tinggi dikarenakan risiko keadaan DCI (delayed cerebral ischemia). Tetapi setelah aneurisma diperba
iki melalui clipping atau coil. Bila tekanan darah tidak dapat tercapai dengan terapi hypervolemia. D
apat diberikan terapi dobutamine atau dopamine dosis rendah. Bila tidak terjadi peningkatan tekanan
darah, agonis alpha murni seperti norephinephrine dapat diberikan. Tn TK mendapatkan terapi vasop
ressor yaitu norephinephrine untuk meningkatkan sirkulasi.
Terapi standar vasospasme yang digunakan pada kasus Tn TK adalah nimodipine 60mg tiap 4 ja
m, kemudian dilanjutkan hingga pasien rawat jalan yaitu selama 3 minggu. Nimodipin dapat menyeb
abkan depresi tekanan darah dikarenakan nimodipine bekerja menghambat calcium channel. Jika terj
adi hipotensi dosis nimodipine dapat diturunkan dan diberikan lebih sering misal 30mg tiap 2 jam. E
dukasi pasien dan keluarga saat rawat jalan untuk memantau tekanan darah saat terapi nimodipine m
asih diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia
2021. Glob Initiat Asthma [Internet]. 2021;46. Available from: www.ginasthma.org.
2. Widiastuti M, Abdul Rachman I, et al. Tatalaksana Vasospasme Cerebral Pasca Perdarahan Subar
ahnoid. J Neuroanestesi Indones. 2022;11(1):49–57.
3. RI K. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hipertensi Dewasa. Kementeri Kes
ehat RI. 2021;1–85.
5. PERKI. Panduan praktik klinis (ppk) dan clinical pathway (cp) penyakit jantung dan pembuluh d
arah. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2016.
6. PERKI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Sindrom Koroner Akut. Keputus
an Menteri Kesehat RI No HK0107/MENKES/675/2019. 2019;
KASUS 8
DISUSUN OLEH :
5422220001
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2024
A. Definisi
Kejang epileptic adalah kejadian klinis yang ditandai aktivitas sikronisasi sekumpulan neuron otak y
ang abnormal, berlebihan dan bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut menyebabkan disorgani
sasi paroksimal pada satu atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motor
ic, sensorik, psikis), negative (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan ke
duanya. Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi adalah satu atau lebih kejang tanpa d
emam maupun gangguan metabolic akut yang terjadi dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di ant
ara kejang. Epilepsi didefinisikan sebagai serangan kejang paroksimal berulang tanpa provokasi deng
an interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.
Status epilepticus adalah kejang epileptic yang berlangsung dengan berbagai macam gejala klinis
yang menyebabkan kejang berkepanjangan sehingga memiliki konsekuensi jangka panjang termasuk
kematian saraf, cedera saraf dan perubahan jaringan saraf.
B. Klasifikasi Kejang
Kejang dapat dibagi menjadi kejang umum dan kejang parsial. Kejang umum adalah kejang dengan
gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan keterlibatan kedua hemisfer. Kejang parsia
l adalah kejang dengan gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan aktivasi pada neur
on terbatas pada satu hemisfer saja. Selain itu pembagian epilepsi berdasarkan etiologi dapat dibagi
menjadi:
1. Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya kelainan struktur otak dan tid
ak ditemukan deficit neurologi. Faktor genetic diduga berperan pada tipe ini dan biasanya khas
mengenai usia tertentu
2. Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu atau lebih kelaina
n anatomi dan ditemukan deficit neurologi
3. Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi yang diasumsikan
simtomatik tetapi etiologic masih belum diketahui.
Kejang tonik adalah kejang yang ditandai dengan kontraksi otot yang berlangsung selama beberapa d
etik sampai beberapa menit. Ekstremitas dan tubuh dapat terlihat kaku. Kejang tonik lebih sering terj
adi saat tidur, bila terjadi saat periode bangun dapat mengakibatkan penderita terjatuh karakteristik g
ambaran EEG adalah adanya perlambatan aktivitas yang bersifat umum atau tampak gelombang epil
eptiform dengan voltase tinggi dna frekuensi cepat
Kejang klonik adalah kejang yang ditandai sentakan mioklonik sekelompok otot dengan pengulanga
n secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per detik serta berlangsung lama, biasanya melibatkan kedua
sisi tubuh. Gerakan tersebut tampak menyerupai serangan mioklonik, namun kejang klonik bersifat r
epetitive dengan kecepatan yang lebih rendha dibandingkan serangan mioklonik. Gambaran EEG tipi
kal pada kejang klonik adalah adanya kompleks paku ombak lambat dengan frekuensi tinggi.
Kejang tonik-klonik merupakan bentuk kejang dengan kombinasi kedua elemen tipe kejang tonik da
n klonik dapat tonik klonik atau klonik tonik klonik. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah kejnag to
nik-klonik umum yang sering disebut grand mal. Kejang tonik-klonik ditandai dengan kontraksi toni
k simetris, diikuti dengan kontraksi klonik bilateral otot-otot somatis. Kejang jenis ini disertai denga
n fenomena otonom, termasuk penurunan kesadaran atau apnea. Kejang absans ditandai hilangnya ke
sadaran yang bersifat sementara.
C. Etiologi
Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi ILAE 2010 mengganti terminology dari idiop
atik, simtomatis atau kriprogenik menjadi genetic, structural/metabolic dan tidak diketahui. Genetic e
pilepsy syndrome adalah epilepsi yang diketahui/diduga disebabkan oleh kelainan genetic dengan kej
ang sebagai manifestasi utama. Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan struktur /meta
bolik yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi, contohnya epilepsi setelah sebelum
nya mengalami stroke, trauma, infeksi SSP atau adanya kelainan genetic seperti tuberosklerosis deng
an kelainan struktur otak (tuber). Epilepsi digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya b
elum diketahui.
Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain:
1. Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett
2. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat dan leukoensefalo
pati
D. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadinya paroxysmal depol
arization shift (PDS). PDS adalah depolarisasi potensial pasca sinap yang berlangsung lama (50ms).
Keadaan ini dapat menyebabkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan m
ampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listikny
a. Terjadinya PDS yang menyebabkan hipereksitabilitas neuron otak diduga disebabkan oleh:
1. Kemampuan membrane sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang ber
lebihan;
2. Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gamma amino butirat (GABA)
3. Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamate dan aspartate melalui jalur eksita
si yang berulang.
Pada epilepsi fokal terjadi hipereksitabilitas pada daerah di neuron kortek yang akan menyebar ke da
erah sekitarnya atau menyebar melalui korpus kalosum atau komisura lain ke hemisfer otak kontra la
teral atau melalui jaras subkortikal (seperti thalamus, batang otak). Akibatnya fokus fokal dapat men
yebabkan seluruh kortek tereksitasi pada kejang parsial menjadi umum. Pada kejang fokal, aktivitas
epileptiform tampak pada ektroda 3 dan 4, sedangkan pada kejang fokal menjadi umum aktivitas epil
eptiform kemudian menyebar ke seluruh elektroda 1 dan 2.
Kejang umum primer mulai secara bersama pda ke dua hemisfer otak. Karakteristik bilateral sink
ron gelombang paku-ombak EEG muncul akibat interaksi terus menerus antara korteks dengan thala
mus bersamaan dengan penyebaran cepat melalui korpus kalosum. Satu tipe neuron talamik adalah s
el inhibitor GABAergik dapat berfungsi sebagai pacemaker, sehingga terjadi eksitasi terus menerus.
Gambaran EEG memperlihatkan aktivitas epileptiform yang muncul secara bersamaan dan terus men
erus pada elektroda 1 sampai 4.
E. Manifestasi Klinis
1. Semiologi klinis kejang fokal dapat berupa
a. Klonus fokal, distonik fokal, automatisme ekstremitas fokal, postur tonik asimetrik
b. Versive, bila kepala, mata atau keduanya bergerak/melirik kesisi kiri atau kanan
c. Adanya aura
d. Gambaran EEG: gelombang epileptiform fokal (lokasi 1 lobus) atau fokal dan umum (1 lobu
s dan ke dua hemisfer otak)
F. Diagnosis
Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan atas dasar anamnesis dan pe
meriksaan fisis-neurologis. Penegakan diagnosis epilepsi dimulai dengan penentuan secara klinis apa
kah kejang merupakan kejang epileptic, berdasar atas deskripsi serangan atau pengamatan kejang sec
ara langsung serta gejala dan temuan lain pada anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis dapat di
dapatkan dari pasien, orang lain yang menyaksikan atau mengetahui riwayat serangan, serta bilaman
a memungkinkan, dari saksi mata yang melihat serangan. Dalam menentukan serangan merupakan su
atu kejang epileptic, diagnosis banding yang lain perlu disingkirkan. Diagnosis kejang epileptic atas
dasar temuan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisis dengan baku emas pemantauan jangka panjan
g). Tipe kejang ditentukan melalui anamnesis atau mengamati langsung serangan bilamana memung
kinkan, dan dapat ditunjang dengan pemeriksaan EEG. Tipe kejang tertentu dapat diprovokasi denga
n cukup aman di poliklinik, misalnya absans dengan provokasi hiperventilasi.
Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis epilepsi
1. Elektroensefalografi
2. Pencitraan
G. Tata laksana
Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi atau sindrom epilepsi harus pasti. Respons in
dividu terhadap OAE tergantung dari tipe kejang, klasifikasi dan sindrom epilepsi, serta harus dieval
uasi setiap kali kunjungan. Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Oleh sebab itu, u
ntuk menjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, pasien, dan keluar
ga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat.
Mayoritas anak dengan first unprovoked seizures tidak akan mengalami kekambuhan. Anak deng
an hasil pemeriksaan EEG normal dan kejang awitan dini pada saat terjaga, mempunyai angka keka
mbuhan dalam 5 tahun sebesar 21%. Faktor risiko kekambuhan adalah etiologi simtomatik, hasil pe
meriksaan EEG abnormal, riwayat kejang demam, dan usia kurang dari 3 tahun. Angka remisi kejan
g baru akan terpengaruh jika anak sudah mengalami 10 episode kejang atau lebih sebelum terapi di
mulai. pemberian terapi OAE segera setelah kejang pertama dibandingkan dengan menunggu sampa
i kejang berulang (kedua) tidak mengubah prognosis jangka panjang dalam hal relaps, serta memilik
i angka remisi yang sama.
Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua jenis kejang, beberapa uji
klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam valproat, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital
efektif sebagai OAE. . Selain efikasi, efek samping OAE pun harus dipertimbangkan terlebih dahulu
sebelum memilih OAE. Perlu diingat pula bahwa OAE tertentu juga dapat menyebabkan eksaserbasi
kejang pada beberapa sindrom epilepsi.
Jika OAE lini pertama dan lini kedua masingmasing gagal sebagai monoterapi, peluang untuk menco
ba monoterapi lain dalam memberantas kejang sangat kecil, sehingga terapi OAE kombinasi patut di
pertimbangkan. Sebelum memulai terapi kombinasi, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan:
(1) apakah diagnosis sudah tepat; (2) apakah kepatuhan minum obat sudah baik; dan (3) apakah pilih
an dan dosis OAE sudah tepat. Pada epilepsi umum idiopatik yang resisten terhadap monoterapi, pe
mberian topiramat, lamotrigin, dan klobazam efektif sebagai terapi add-on. Lamotrigin dan topiramat
efektif sebagai terapi add-on pada sindrom Lennox-Gastaut. Klobazam, klonazepam, dan nitrazepam
dapat dipakai sebagai terapi kombinasi baik pada epilepsi umum idiopatik dan simtomatik. Lamotrigi
n, gabapentin, topiramat, tiagabin, dan okskarbazepin efektif sebagai terapi add-on (kombinasi) untu
k kejang fokal.
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan kejang sejak pagi ini. Kejang de
ngan tipikal kedua anggota ekstremitas atas pasien kaku lalu diikuti dengan kelojotan. kepala cen
derung menengok kearah kiri dan tidak ada kontak mata. Kejang dengan durasi 1 menit lalu kem
bali kejang dengan jarak antara kejang pertama dan kedua kurang lebih 1-2 jam, Menurut keluar
ga pasien, ini bukan kejang yang pertama. Sehari hari pasien sudah bedridden dengan kedua kaki
dan tangan kanan sudah kaku namun tangan kiri masih ada gerakan spontan. pasien juga masih a
da kontak mata dan dapat ketawa. Sejak 1 hari SMRS, Pasien cenderung diem dan tidur. Keluha
n demam disangkal. Pasien sebelumnya mempunyai riwayat VP Shunt dan sudah pernah diopera
si 2x. Pasien saat ini sedan proses toleransi operasi
Riwayat penyakit sebelumnya : riwayat operasi VP shunt ec Hidrosefalus bulan November 202
3
Pemeriksaan umum
a. Keadaan umum : sakit berat
b. Kesadaran : somnolen
c. Tanda vital :
Tekanan Darah : Kanan : 123 / 84 mmHg Kiri : / mmHg
Frekuensi Nadi : 138 x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit
Suhu : 36.6 °C
d. Kepala : deformitas +, UUB sudah menutup
Pemeriksaan neurologis
GCS :
E:1 M:5 V:C
Pupil : Bulat, isokor Diameter : 2 mm / 2 mm
RCL : - / - RCTL : - / -
Pemeriksaan penunjang
- CT Scan kepala : Dibandingkan dengan CT tanggal 13-11-2023; SOL dengan kalsifikasi di
midline fossa posterior yang mengobliterasi ventrikel IV dan ventrikel III, ukuran membesar
dari diameter 5 cm menjadi 6 x 7 x 7 cm. Dilatasi ventrikel lateral kanan kiri berkurang. Terp
asang kateter VP shunt dari frontal kanan dengan ujung di ventrikel III.
- Thorax : Cor dan pulmo tak tampak kelainan. Terpasang kateter VP shunt. Terpasang kanula
trakeostomi dengan ujung distal pada proyeksi carina.
3. Diagnosis
a. Primer : Obs General Seizure ec Epileptic Symptomatic
b. Sekunder :
- on VP Shunt dengan SOL IK Infratentorial
- on Trakeostomi
4. Hasil Laboratorium
Hematologi
Kimia Klinik
Pemeriksaa
n Nilai Normal 3-Jan 6-Jan 13-Jan
Kimia Klinik
SGOT (AST) ≤33 66 276 182
SGPT (ALT) ≤32 73 200 39
Ureum 16.8-48.5 12 8.3 12.3
Kreatinin 0.51 - 1.17 0.18 0.18 0.16
Elektrolit darah
Elektrolit darah
Natrium 136-146 134 139 135 124 135
Kalium 3.5-5 4.9 3.6 2.9 4.7 5.2
Klorida 98-106 107 117 114 93 101
Feses lengkap
TINJA LENGKAP
MAKROSKOPIK
Hasil Rujukan
Konsistensi N Lunak
Pus N Negatif Negatif
Darah N Negatif Negatif
Lendir * Positif Negatif
MIKROSKOPIK
Leukosit N 3 /LPB 1-3
Eritrosit H 3 /LPB 0-1
Epitel N 2 /LPK
Amilum N Negatif Negatif
- Etanol N 2 /LPB < 60
- Asam Asetat N 3 /LPB < 100
Jamur / Sel Ragi N Negatif Negatif
Pseudohifa N Negatif Negatif
Amoeba N Negatif Negatif / Tidak ditemuk
an
Telur Cacing N Negatif Negatif / Tidak ditemuk
an
Lain-lain N Negatif
KIMIA
pH N 6.0
Reduksi N Negatif Negatif
Darah (antibodi mo * Positif Negatif
noklonal)
Kesan N Kemungkinan perdarahan
saluran cerna
5. Mikrobiologi
6. Hasil Radiologi
17-01-2024 Kesan Dibandingkan dengan radiografi toraks tanggal 7 Januari 2024, saat ini: - Tidak tampa
10:23 DCOM k kelainan radiologis pada jantung dan paru. - Posisi kanul trakea, CVC dan VP shunt r
elatif stqa.
07-01-2024 Kesan Dibandingkan dengan radiografi toraks tanggal 3 Januari 2024, saat ini: - Tida
07:35 DCOM k tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru. - Posisi kanul trakea dan
VP shunt relatif stqa. - CVC dengan posisi tip distal di proyeksi vena cava su
perior. - Tidak tampak gambaran pneumotoraks, pneumomediastinum maupu
n emfisema subkutis.
03-01-2024 Kesan Cor dan pulmo tak tampak kelainan. Terpasang kateter VP shunt. Terpasang k
12:47 DCOM anula trakeostomi dengan ujung distal pada proyeksi carina.
03-01-2024 Kesan Dibandingkan dengan CT tanggal 13-11-2023; SOL dengan kalsifikasi di mid
12:45 DCOM line fossa posterior yang mengobliterasi ventrikel IV dan ventrikel III, ukuran
membesar dari diameter 5 cm menjadi 6 x 7 x 7 cm. Dilatasi ventrikel lateral
kanan kiri berkurang. Terpasang kateter VP shunt dari frontal kanan dengan u
jung di ventrikel III.
7. DPO
13- 14- 15- 16- 17- 18- 19- 20- 21- 22- 23-
Oral Dosis Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan
ibuprofen 3x80mg v v v v v v v v v v v
HP Pro 2x1kap v v v v
zinc 1x20mg v v v v v v v v
sto
dexametason 2x0.5mg v v p
rac.
Salbutamol + 0.5mg/5mg v v v v v v
ambroxol
nacl kapsul 3x500mg v v v v v v v
Parenteral
2x2
0m
fenobarbital 2x17.5mg v g v v v v v v v v v
cefotaxime 3x350mg v v v v
omeprazole 2x8mg v v v v v v v v v v v
dexametason
e 3x1.5mg v v v v
diazepam 4x1mg v v v v v v v v v v v
furosemid 1amp 1x
gentamicin 3x20mg v v v v v v v v v
vicillin SX 4x500mg v v v
Inhalasi
salbutamol
inhalasi 4x2.5mg v v v v v v v v v v v
Assesment
- Pasien dengan peningkatan transaminase paracetamol risiko hepatotoksik, fenobarbital
- Potensi interaksi omeprazole dan fenobarbital, meningkatkan risiko adverse effect fenoba
rbital (bradikardi, hipotensi)
Rekomendasi
- Saran analgetic antipiretik dengan ibuprofen 10mg/kgBB, 82 mg tiap 4-6 jam
- Monitoring enzim transaminase, risiko hepatotoksik fenobarbital
- Monitoring tanda-tanda vital
10/01/24
Subjective
Ayah pasien mengatakan belum ada kontak, demam tadi malam, tidak ada kejang selama di RS
Objective
TTV HR 137 RR 20 T 38
Lab SGOT/SGPT 73/66 (03/01) 276/200 (06/01)
r/ fenobarbital 2x17.5mg cefotaxime 3x350mg omz 2x8mg dexamethasone 3x1.5mg (tap off) ibu
profen 3x80mg
Assesment
- Pasien dengan peningkayan transaminase, risiko hepatotoksik fenobarbital
- Potensi interaksi omeprazole dan fenobarbital, meningkatkan risiko adverse effect fenoba
rbital (bradikardi, hipotensi)
- Dexametason dan ibuprofen berisiko ulser gastrointestinal
Rekomendasi
- Monitoring TTV
- Monitoring transaminase
- Monitoring keluhan dan tanda-tanda ulser gastrointestinal
15/01/24
Subjective
Tidak ada demam, pasien muntah tadi malam
Objective
TTV HR 150 RR 28 T 36.8
Lab SGOT/SGPT 73/66 (03/01) 276/200 (06/01) 182/39
r/ cefotaxime 3x350mg omz 2x8mg ibuprofen 3x80mg salbutamol 4x1amp dexametason 3x1.2m
g (tapp off) HP Pro 2x1kap diazepam 4x1mg fenobarbital 2x20mg furosemide 8mg (extra intra tr
ansfusi) zinc 1x20mg gentamicin 3x20mg
Assesment
- Pasien dengan peningkayan transaminase, risiko hepatotoksik fenobarbital
- Potensi interaksi omeprazole dan fenobarbital, meningkatkan risiko adverse effect fenoba
rbital (bradikardi, hipotensi)
- Dexametason dan ibuprofen berisiko ulser gastrointestinal
- Potensi interaksi diazepam-omz diazepam-fenobarbital meningkatkan sedasi, risiko depre
si pernafasan
Rekomendasi
- Monitoring TTV
- Monitoring transaminase
- Monitoring keluhan dan tanda-tanda ulser gastrointestinal, evaluasi terapi ibuprofen pasie
n bebas demam 3 hari
22/01/24
Subjective
Tidak demam, tidak muntah
Objective
TTV HR 128 RR 23 T 36.9
Lab SGOT/SGPT 73/66 (03/01) 276/200 (06/01) 182/39
Kalium 4.7 (17/01) 5.2 (22/01) Natrium 124 (17/01) 135 (22/01)
r/ omz 2x80mg ibuprofen 3x80mg salbutamol nebu 2x1 zinc 1x20mg (H9) gentamicin 3x20mg
(H8) NaCl 3x500mg rac. Salbutamol 0.5mg + ambroxol 5mg 3x1pulv vicilin SX 4x500mg diaze
pam 4x1mg fenobarbital 2x20mg
Assesment
- Potensi interaksi omeprazole dan fenobarbital, meningkatkan risiko adverse effect fenoba
rbital (bradikardi, hipotensi)
- Dexametason dan ibuprofen berisiko ulser gastrointestinal
- Potensi interaksi diazepam-omz diazepam-fenobarbital meningkatkan sedasi, risiko depre
si pernafasan
- Risiko hiperkalemia ec efek samping NSAID
Rekomendasi
- Monitoring TTV
- Monitoring keluhan dan tanda-tanda ulser gastrointestinal
- Monitoring kalium, pertimbangkan penghentian NSAID pasien bebas demam 2 hari
9. Kesesuaian Dosis
Pasien dengan pe P2.1 C1.2 Obat Saran analgetic I3.1 Obat O1.1 Masalah
ningkatan transa Kejadian obat sesuai antipiretik deng diubah terselesaikan
Pasien dengan pe P2.1 C9.2 Monitoring enzi I0.1 Tanpa O0.1 Status
ningkatan transa Kejadian obat Penyebab lain m transaminase, Intervensi masalah tidak
I. Pembahasan
1. An B memiliki riwayat kejang berulang. Kejang pada an B termasuk epilepsi simptomatik. Pasie
n masuk IGD RSPON dengan kejang riwayat minum obat anti epilepsi asam valproate dan fenito
in. OAE pasien dihentikan saat masuk RS dikarenakan terjadi peningkatan enzim transaminase.
Dimana salah satu efek samping yang ditimbulkan vaproat adalah peningkatan transaminase.\
3. An B mengalami peningkatan kadar kalium. Peningkatan kadar kalium dapat dikarenakan efek s
amping obat seperti NSAID dimana An B mendapatkan ibuprofen untuk terapi demamnya. Peng
hambatan COX 1 dan COX 2 oleh NSAID menyebabkan penghambatan prostaglandin yang berp
eran dalam stimulasi pelepasan renin. Renin berperan dalam sekresi kalium ditubulus ginjal. Pen
ghambatan oleh NSAID mengakibatkan berkurangnya sekresi kalium ke tubulus ginjal dan dapat
menyebabkan kondisi hiperkalemia.
4. Efek samping stress ulser dapat meningkat pada penggunaan NSAIDs dan kortikosteroid secara
bersama. Stress ulser dapat dimanagement dengan pemberian profilaksis yaitu gastroprotektor. P
ada kasus ini, An B mendapatkan terapi ibuprofen dan dexamethasone. Gatroprotektor yaitu ome
prazole diberikan untuk mencegah terjadinya stress ulser. Namun pada hari ke 12 perawatan, mul
ai muncul keluhan pasien muntah-muntah. Keluhan ini dapat dikarenakan efek samping dari pen
ggunaan NSAIDs (ibuprofen) dan kortikosteroid (dexamethasone).
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-alaiyan S. Neonatal Dosage and Practical Guidelines Handbook 2 nd Edition. Minist Heal. 20
14;
2. Supriyatno B, Kartasasmita CB, Setyanto DB, Olivianto E, Yani FF, Nataprawira HM, et al. Rek
omendasi Terapi Inhalasi pada Anak. Ikat Dr Anak Indones [Internet]. 2019;51. Available from: h
ttps://pediatricfkuns.ac.id/data/ebook/Buku-Rekomendasi-Terapi-Inhalasi-new.pdf
3. Shann F. Drug Doses 17th edition. Professorial Fellow Department of Paediatrics University of
Melbourne. 2017.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksa
na Epilepsi Pada Anak. KMK No HK0107/MENKES/367/2017. 2017;