Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Halte atau tempat henti merupakan suatu lokasi yang dapat menaikkan dan
menurunkan penumpang sesuai dengan peraturan operasional (Setijowarno, 2000).
Mario (2015) memberikan pandangan lain bahwa halte atau tempat henti adalah suatu
bangunan yang berfungsi sebagai tempat henti sementara, pada saat penumpang
melakukan kegiatan naik-turun bus. Salah satu kriteria halte yang baik ialah halte yang
memberikan rasa nyaman terhadap pengguna halte agar mereka dapat dengan loyal
menunggu kedatangan bus dari dalam halte, sedangkan fakta yang terjadi pada saat
ini tidak sedikit masyarakat pengguna bus Trans Metro Bandung (TMB) turun – naik
bus di sembarang tempat. Atas dasar inilah diperlukan suatu halte yang mampu
memberikan rasa nyaman, aman dan tenang bagi para penumpang atau pengguna bus
TMB.
Bus Trans Metro Bandung (TMB) pada gambar 1.1 merupakan bus dengan
sistem BRT (Bus Rapid Transit) yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota
Bandung. Bus BRT di Kota Bandung dinamakan dengan Bus Trans Metro Bandung
(TMB).

Gambar 1 .1 Bus Trans Metro Bandung (TMB)

Bus Rapid Transit System memiliki keunggulan dibandingkan kendaraan


umum lain, diantaranya mempunyai keunggulan sistem transit yang nyaman, cepat
serta biaya yang cukup terjangkau oleh semua kalangan pada mobilitas perkotaan
(Dishub Prov. Jabar, 2011). Ciri dari bus yang menggunakan sistem Bus Rapid
Transit adalah kegiatan penumpang untuk naik dan turun bus hanya dilakukan pada
halte bus terkait. Menurut Kusuma dkk (2007) keuntungan yang diperoleh dari sistem
BRT adalah hematnya waktu perjalanan sehingga dapat meningkatkan kualitas
pelayanan bus.
Berdasarkan fakta yang terjadi dilapangan, saat ini bus Trans Metro Bandung
(TMB) banyak melakukan kegiatan menaikkan dan menurunkan penumpang bukan
pada halte, dan ini akan menyebabkan pemanfaatan halte bus tidak efektif dan tidak
optimal. Salah satu penyebab penggunaan halte yang tidak efektif dan optimal adalah
kurang nyamannya pelayanan halte bus kepada pengguna halte yang dibuktikan
dengan banyaknya kerusakan pada halte, kurangnya fasilitas halte dan kondisi halte
yang kotor baik di dalam ruangan atau lingkungan halte.

Gambar 1.2 Kondisi Kebersihan Ruangan dan Lingkungan Halte TMB

Gambar 1.2 merupakan kondisi halte bus Trans Metro Bandung (TMB) saat ini
yang terlihat kotor dan tidak terpelihara dengan baik. Gambar tersebut menunjukan
bahwa salah satu halte bus di koridor III ditempatkan di lingkungan Tempat
Pembuangan Sampah (TPS). Lokasi halte yang berada pada lingkungan tempat
pembuangan sampah tidak hanya menimbulkan bau yang tidak enak dicium, tetapi
juga menghasilkan pemandangan yang kurang nyaman untuk dilihat, hal ini tentu
saja menjadi sebab para pengguna kurang tertarik untuk menunggu kedatangan bus di
halte. Halte bus Trans Metri Bandung (TMB yang tidak difungsikan secara optimal
menyebabkan kondisi halte tersebut menjadi tidak terawat dengan baik dan banyak
bangunan halte yang terbengkalai atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Adapun fenomena masalah yang menjadi dasar dari usulan proyek ini akan
dipaparkan sebagai berikut.
Permasalahan pertama yang terjadi pada halte bus TMB adalah minimnya
ruang gerak halte bus yang dapat dibuktikan dengan adanya akses masuk/keluar halte
dan ketersediaan fasilitas halte yang tidak fleksibel untuk digunakan oleh semua
kalangan pengguna, baik pengguna dengan kondisi normal atau penggguna yang
memiliki keterbatasan (penyandang disabilitas). Berdasarkan penelitian Studi Kasus
yang berjudul “Evaluasi Kinerja Halte Bus Trans Metro Bandung (TMB)”
mengatakan bahwa pengguna merasa tidak nyaman dalam menggunakan halte bus
Trans Metro Bandung (Satria, 2020).

Gambar 1.3 Kondisi Akses Masuk/Keluar Halte Bus TMB

Gambar 1.3 diatas menunjukkan bahwa ruang gerak atau akses masuk halte
bus Trans Metro Bandung (TMB) tidak ramah terhadap pengguna disabilitas.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka konsep yang diusulkan untuk mengatasi
permasalahan pertama ini adalah konsep “Livability” dengan menggunakan aspek
kenyamanan atau comfortable (Lesmana & Wibowo, 2015).
Permasalahan kedua yang terjadi pada halte bus Trans Metro Bandung (TMB)
yaitu terdapat beberapa bangunan halte bus yang tidak tersedia fasilitas duduk untuk
digunakan sebagai tempat istirahat dan tempat pertukaran informasi antara
pengguna halte. Berdasarkan penelitian Studi Kasus yang berjudul “Evaluasi Kinerja
Halte Bus Trans Metro Bandung (TMB)” mengatakan bahwa ketersediaan fasilitas
halte bus Trans Metro Bandung belum memenuhi ketentuan standar pelayanan
minimum, termasuk ketersediaan fasilitas tempat duduk untuk pengguna halte
(Satria, 2020).

Gambar 1.4 Kursi Duduk / Kursi Tunggu Penumpang

Gambar 1.4 diatas dapat memberikan informasi bahwa fasilitas duduk dalam
ruangan halte bus Trans Metro Bandung sudah rusak dan bahkan tidak terdapat
kursi duduk yang bisa digunakan oleh pengguna halte yang mengharuskan mereka
untuk selalu berdiri selama menunggu kedatangan bus Trans Metro Bandung
(TMB). Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap minat pengguna dalam
menunggu kedatangan bus di dalam halte, sehingga pengguna merasa lebih nyaman
jika menunggu bus di sembarang tempat atau bukan di dalam halte. Selain
ketersediaan fasilitas duduk yang kurang memadai dan mengalami kerusakan,
tempat duduk yang tersedia pada halte pun digunakan tidak sesuai fungsinya, yakni
digunakan sebagai tempat tidur bagi para pengemis atau pemulung. Gambar 1.5
dibawah ini merupakan bukti bahwa fungsi tempat duduk pada halte bus Trans
Metro Bandung (TMB) telah disalahgunakan.

Gambar 1.5 Orang Yang Sedang Tidur Dalam Halte

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka konsep yang diusulkan untuk mengatasi


permasalahan kedua ini adalah konsep “Livability” dengan menggunakan aspek
pendukung atau vibrant (Lesmana & Wibowo, 2015).
Permasalahan ketiga yang terjadi pada halte Bus TMB yaitu tidak tersedianya
lampu penerangan pada beberapa bangunan halte, tempat pembuangan sampah dan
tidak tersedianya tempat penyimpanan barang yang dapat menampung barang
bawaan para pengguna halte. Berdasarkan penelitian Studi Kasus yang berjudul
“Evaluasi Kinerja Halte Bus Trans Metro Bandung (TMB)” mengatakan bahwa pada
sejumlah 41 halte tidak terdapat lampu penerangan atau sekitar 64% dari halte TMB
tidak terdapat pencahayaan yang dapat dinikmati oleh pengguna halte, artinya
ketersediaan pencahayaan pada halte bus Trans Metro Bandung belum optimal
(Saria, 2020). Berdasarkan permasalahan tersebut, maka konsep yang diusulkan
untuk mengatasi permasalahan ketiga ini adalah konsep “Livability” dengan
menggunakan aspek keamanan atau safe (Lesmana & Wibowo, 2015).
Permasalahan keempat yang terjadi pada halte bus TMB yaitu kekuatan
dinding bangunan halte yang tidak mampu bertahan lama, hal ini dikarenakan
dinding halte Trans Metro Bandung (TMB) terbuat dari material kasibor sehingga
dapat dengan mudah terjadi kerusakan.

Gambar 1.6 Dinding Halte Yang Sudah Rusak


Gambar 1.6 diatas merupakan wujud dari kondisi dinding dan kaca halte bus
TMB yang sudah rusak, sehingga halte tersebut sudah tidak layak digunakan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka konsep yang diusulkan untuk mengatasi
permasalahan keempat ini adalah konsep “Livability” dengan menggunakan aspek
ketahanan atau enduring (Lesmana & Wibowo, 2015).
Permasalahan kelima yang terjadi pada halte bus TMB yaitu penampilan halte
bus Trans Metro Bandung saat ini kurang menarik secara visual, hal ini didasarkan
pada hasil survey melalui kuisioner online yang diberikan kepada 50 responden
didapatkan data seperti berikut ini :
Tabel 1.1 Hasil Survey Kuisioner Online
No Pertanyaan Hasil

1 Menurut anda, apakah


kondisi fisik halte bus
Trans Metro Bandung
(TMB) menarik secara
visual?

2 Jika tidak, apa yang


membuatnya kurang
menarik?
Kuisioner yang terdapat pada tabel 4.9 diatas menunjukan hasil bahwa 78%
pengguna halte mengatakan “tidak”, itu artinya berdasarkan penilaian mereka
kondisi fisik halte bus TMB tidak menarik secara visual, dan 57% responden
mengatakan bahwa salah satu hal yang menyebabkan halte bus Trans Metro
Bandung kurang menarik adalah bentuk atapnya yang kurang memberikan nilai
keindahan. Atas dasar tersebut, maka konsep yang diusulkan untuk mengatasi
permasalahan kelima ini adalah dengan konsep “Livability” menggunakan aspek
keindahan atau excellent (Lesmana & Wibowo, 2015). Berdasarkan semua fakta
yang telah dipaparkan diatas, maka permasalahan yang terjadi pada halte Bus Trans
Metro Bandung (TMB) tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Ruang gerak / akses masuk atau keluar halte bus Trans Metro Bandung tidak
ramah terhadap pengguna disabilitas.
2. Ketersedian fasilitas halte bus Trans Metro Bandung belum memadai dan
sering terjadi penyalahgunaan fungsi.
3. Penyedian lampu penerangan, fasilitas kebersihan dan tempat penyimpan
barang pada halte bus Trans Metro Bandung belum diperhatikan secara
optimal.
4. Dinding halte terbuat dari bahan yang mudah rusak sehingga daya tahan halte
tidak terlalu kuat.
5. Penampilan atau kondisi halte bus Trans Metro Bandung kurang menarik
secara visual.
Berdasarkan fakta tersebut, maka perlu membuat Perencanaan Renovasi
Aset Halte Bus Trans Metro Bandung (TMB) Di Koridor III Cicaheum –
Sarijadi Berdasarkan Konsep Livability agar dapat memberikan pelayanan secara
optimal dan dapat dipergunakan sesuai fungsinya.

1.2 Identifikasi Proyek

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka identifikasi
proyek pada perencanaan renovasi aset halte bus Trans Metro Bandung (TMB) di
Koridor III yaitu :
1. Membuat perencanaan renovasi aset halte bus Trans Metro Bandung (TMB)
di Koridor III berdasarkan konsep Livability yang terdiri dari 5 indikator :
a. Comfortable (kenyamanan)
b. Vibrant (pendukung)
c. Safe (keamanan)
d. Enduring (ketahanan)
e. Excellent (keindahan)
2. Menyusun estimasi biaya perencanaan renovasi aset halte bus Trans Metro
Bandung (TMB) di Koridor III Sarijadi – Cicaheum.

1.3 Tujuan, Manfaat dan Luaran Proyek

Tujuan Proyek adalah sasaran hasil yang ditargetkan untuk dicapai pada
suatu proyek. Tujuan dari proyek perencanaan renovasi halte ini meliputi :
1) Terwujudnya perencanaan renovasi aset halte bus Trans Metro Bandung
(TMB) di Koridor III berdasarkan konsep Livability yang terdiri dari 5
indikator :
a. Comfortable (kenyamanan)
b. Vibrant (penyemangat)
c. Safe (keamanan)
d. Enduring (ketahanan)
e. Excellent (keindahan)
2) Tersusunnya estimasi biaya perencanaan renovasi aset halte bus Trans Metro
Bandung (TMB) di Koridor III.
Sedangkan manfaat yang akan didapat dari proyek perencanaan renovasi halte bus
ini yaitu :
1) Keuntungan Praktis
Proyek perencanaan renovasi aset halte bus Trans Metro Bandung akan
membantu pemerintah dalam membuat sebuah rancangan halte yang
berkualitas.

2) Keuntungan Teoritis
a. Menambah pemahaman dan wawasan mengenai proses pembuatan
perencanaan renovasi aset halte bus.
b. Mengaplikasikan ilmu yang diperoleh tentang manajemen aset.
Dan luaran yang diharapkan dari adanya proyek perencanaan renovasi halte ini
adalah menghasilkan konsep perencanaan renovasi aset halte berdasarkan konsep
livability dan menghasilkan rencana anggaran biaya.

1.4 Jadwal Proyek

Jadwal Proyek adalah jumlah waktu yang diperlukan untuk menggambarkan


mengenai kegiatan yang dilaksanakan dalam menyusun proyek. Penyusunan
perencanaan proyek renovasi ini dimulai dari bulan Januari 2020 hingga Juli 2020.

Tabel 1.1 Jadwal Pelaksanaan Usulan Proyek

No Kegiatan Waktu

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli

1 Mengidentifikasi
Masalah

2 Menentukan
Rumusan
Masalah

3 Menentukan
Tujuan Proyek

4 Menentukan
Landasan Teori

5 Menentukan
Teknik
Pengumpulan
Data

6 Penulisan Hasil
dan Pembahasan
Proyek
7 Menentukan
Kesimpulan dan
Saran

Anda mungkin juga menyukai