Anda di halaman 1dari 63

Konsep Pengelolaan Angkutan

Umum di Perkotaan

Mata Kuliah: Sistem Angkutan Massal


Fakultas Teknik - Universitas Sebelas Maret Surakarta - Indonesia
PROSES EVOLUSI ANGKUTAN UMUM

Kota-kota di Indonesia mengalami evolusi kemajuan sistem angkutan


umum berdasarkan sejarah perkembangan kota.

Dalam tinjauan klasifikasi kota, struktur kota-kota di Indonesia


diklasifikasikan berdasarkan pada jumlah penduduknya (Masterplan
Transportasi Darat, 2005), yakni :

1) kota megapolitan: >5 juta


jiwa,
2) kota
kota metropolitan:
besar: 1-5
0,5-1 juta
juta jiwa,
jiwa,
kota sedang: 0,1-0,5 juta jiwa, dan
3) kota kecil: 0,02-0,1 juta jiwa.
4)
5)
Selain itu, pendapat lain (GIZ dan Dephub) mengatakan bahwa kota juga
dapat klasifikasi menurut jenis angkutannya, yakni mulai dari
angkutan individu sampai angkutan massal, dengan ciri operasi
sebagai berikut:
 Kota Kecil:
 Angkutan umum terdiri dari Angkutan Kota (Angkot) dan Bus Sedang,
 Angkutan Individu: becak dan ojek.
 Kota Menengah:
 Angkutan umum, terdiri dari Bus Besar, Bus Sedang dan Angkutan kota (Angkot)
 Angkutan Individu: becak dan ojek
 Kota Besar:
 Angkutan Massal, terdiri dari Sistem Transit, Bus Besar, Bus
Sedang dan Angkutan Kota (Angkot),
 Angkutan Individu: becak dan ojek
 Kota Metropolitan:
 Angkutan Massal, terdiri dari Mass Rapid Transit (MRT), Bus Besar, Bus Sedang,
dan Angkutan Kota (Angkot),
 Angkutan Individu: becak dan ojek.
Tipologi angkutan umum dikelompokkan berdasarkan atas
kelompok angkutan massal dan angkutan individual.
Proses evolusi angkutan umum dimulai dari pelayanan angkutan umum
tradisional berbasis paratransit, yang saat ini masih menjadi tulang
punggung transportasi perkotaan di kota-kota menengah dan kecil di
Indonesia.

Dengan tumbuhnya permintaan akan perjalanan, terbentuklah


angkutan massal yang berbasis jalan dengan tingkat pelayanan yang
relatif masih rendah, yakni kecepatan dan kenyamanan yang rendah.

Reformasi transportasi sistem transit terus berkembang pada koridor


backbone, dengan tetap didukung angkutan bus, yakni bus besar, bus
sedang, dan angkot, sebagai feeder. Dengan perbaikan yang terus-
menerus dilakukan, kota-kota akan memiliki Mass Rapid Transit (MRT)
yang berbasis angkutan bus pada backbone, dengan tetap menerapkan
sistem transit pada beberapa koridor dan dukungan sistem bus
Upaya peningkatan terhadap pelayanan moda angkutan umum
dilakukan, yakni dengan menempatkan moda sesuai dengan kapasitas
terus
angkut dan kecepatannya. Kota-kota dengan kapasitas kebutuhan
perjalanan 1.000 penumpang/jam/arah dilayani dengan paratransit, dan
seiring dengan perkembangan kebutuhan akan kapasitas pelayanan
yang meningkat, paratransit berkembang menjadi angkutan bus, sistem
transit, dan Bus Rapid Transit (BRT). Gambar 1 dan 2). memperlihatkan
proses evolusi dari paratransit hingga BRT.

Gambar 1. Visualisasi Proses Evolusi Angkutan Umum Berbasis Jalan


Gambar 2 : Proses Evolusi Angkutan Umum Berbasis Jalan

 Tahap 1:
 Pada kondisi Eksisting, bus kota dan angkot, masih rendah dalam penerapan SPM angkutan
umum, dimiliki oleh individu dan belum terorganisasi (disebut sebagai paratransit)
 Tahap 2:
 Awal reformasi, dengan pembenahan angkutan umum sebagai moda mayoritas terpilih, dengan
kapasitas lebih besar dari paratransit, terorganisir, belum memiliki lajur khusus, dan penerapan
SPM sedang (dikenal sebagai sistem transit)
 Tahap 3:
 Sistem Transit dikembangkan dengan penerapan SPM kategori baik, yakni melalui pembuatan
lajur khusus, feeder bus guna meningkatkan kecepatan (atau meminimumkan travel time) yang di
sebut dengan BRT
 Tahap 4:
 Reformasi angkutan umum berbasis jalan, dengan penerapan SPM kategori sangat baik, dengan
kapasitas lebih besar dari system BRT yang disebut dengan Sistem Full BRT
Pengalihan moda (lihat gbr bawah) diarahkan agar visi dari kebijakan dapat
tercapai sesuai dengan perundang-undangan. Perubahan ini akan menghasilkan
pertambahan kebutuhan terhadap pelayanan bus yang cukup besar dan tinggi,
seiring dengan pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan pergantian ke
moda transportasi umum dimulai.

Gambar 3 : Proses Evolusi Angkutan Umum

Proses pengalihan moda


ini membutuhkan banyak solusi sebagai pemecah
masalah, sebagai berikut :
 Mendefinisikan peran pemerintah (regulator) dan swasta (operator)
dalam
menyediakan jasa pelayanan bus
 Strategi untuk mengurangi jumlah bus illegal dan minibus (angkot) illegal serta
mengurangi dampak sektor paratransit
 Memperkirakan besar subsidi yang dibutuhkan untuk jasa pelayanan bus
Sejumlah kota-kota di Indonesia telah meresmikan sistem bus resmi
menggunakan midi-bus yang diprakarsai oleh Kementerian
Perhubungan dengan sebutan “Sistem Bus Transit”.

Namun, akibat dari pengetahuan mengenai sistem tersebut kurang,


maka berpengaruh terhadap performa awal mereka.

 Demand penumpang dan pemulihan biaya operasi umumnya masih


rendah karena adanya persaingan dengan angkot atau rute
jaringan yang keluar dari rute utama angkot, sehingga sedikit sekali
jumlah penumpang yang beralih ke moda bus ini.

 Frekuensi yang rendah / headway yang terlalu jauh mengakibatkan


kebutuhan perjalanan penumpang menggunakan bus menjadi
sedikit, hal ini hanya dapat diatasi dengan menerapkan sistem
pengurangan operasi angkot.
EVOLUSI ANGKUTAN INDIVIDU

Angkutan individu biasanya terdiri dari ojek, taksi, dan becak. Secara
umum, ketiga jenis moda tersebut ada di hampir seluruh kota di
Indonesia, kecuali moda taksi.

Dilihat dari atribut jarak, kecepatan, sifat pelayanan (door-to-door), tarif,


dan tinjauan terhadap tingkat keselamatan, dari ketiga moda tersebut
secara kualitatif dapat dilihat bahwa ternyata kinerja ojek memiliki
kelebihan dari aspek kecepatan dan ketersediaannya (door-to-door).

Saat ini hampir semua wilayah perkotaan, telah dilayani oleh ojek. Ojek
menjadi masalah karena tidak memiliki legalitas sesuai dengan UU
22/2009 tentang LLAJ, namun demikian kebutuhan masyarakat akan
pergerakan yang cepat, door-to-door service, dan kebutuhan akan
pelayanan transportasi pada jalan-jalan yang sempit, memaksa
penggunaan ojek. Di kota-kota megapolitan layaknya Jakarta, ternyata
jasa ojek sangat dibutuhkan karena dapat lewat di sela-sela kemacetan
kota
Gambar 3. Profil Ojek Sepeda Motor dan Sepeda
Kebutuhan angkutan individu ke depan tetap dibutuhkan oleh masyarakat, untuk
itulah maka peran taksi akan ditingkatkan. Moda taksi diharapkan dapat menjadi
moda utama angkutan individu di daerah pusat kota dan di wilayah perkotaan
pada umumnya, khususnya kota metropolitan, kota besar, dan kota menengah.

Peran ojek akan dibatasi pada wilayah dimana kebutuhan moda transportasi
belum terlayani, khususnya pada jalan-jalan sempit (rat-run) kawasan perkotaan,
tidak melayani trayek angkutan umum lingkungan (ang-ling), angkutan bus,
sistem transit dan BRT.

Tabel 1 Karakteristik Angkutan Individu


Angkutan Lingkungan (Ang-Ling)

Ang-Ling dikembangkan untuk mengatasi kebutuhan perjalanan jarak pendek,


yang saat ini dirasakan sangat mahal. Ang-Ling diharapkan menjadi pengganti
angkutan ojek pada wilayah tertentu. Pelayanan Ang-Ling dilakukan
untuk memudahkan aksesibilitas ke/dari perumahan
kawasan
(Origin) dan sekitar
kawasan tujuan perjalanan (Destination).

Ciri Pelayanan Ang-Ling adalah :


 Rute terjadwal, tetapi bisa berupa trayek yang fleksibel, seperti taksi atau ride-
sharing
 Waktu Operasi : sepanjang hari
 Pemberhentian : sangat sering, bahkan bisa di setiap blok kawasan
 Jenis kendaraan :
 Kecil, emisi rendah, kebisingan rendah
 Dapat beroperasi di kawasan perumahan, perkampungan atau jalan arteri
sekunder
 Mudah melakukan naik-turun
 Kendaraan dan tempat hentinya mempunyai kesan khusus yang kuat, jika
pelayanannya non regular atau jarang diperlukan pelayanan yang mudah
dikenal
OTORITAS KELEMBAGAAN SISTEM
TRANSPORTASI
Otoritas dalam sistem transportasi adalah mencakup seluruh kebijakan
pemerintah kota untuk memadukan sistem transportasi secara
keseluruhan, termasuk pengembangan kebijakan, peningkatan
pendanaan dan pendapatan, pengembangan struktur fisik, sistem
operasi, pemeliharaan dan manajemen transportasi. Adapun hubungan
interaksi institutional dapat terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Interaksi Institutional


Dalam evolusi kelembagaan untuk angkutan umum melalui
4 tahapan seperti yang terlihat pada Gambar 5 berikut.

Tahap-1 :
Dinas Perhubungan
memberikan ijin kepada
operator dan melakukan
pengawasan bagi operator
angkutan kota yang
kepemilikannya masih individu,

Tahap-2 :
Tahap konsolidasi dimana
Dinas Perhubungan
membentuk UPTD untuk
melakukan tender dan kontrak
kepada operator perusahaan
yang sudah profesional dan
terorganisir
Selanjutnya operator mengoperasikan angkutan
tersebut
umum berdasarkan
berkewajiban
standar pelayanan minimal (SPM)
Tahap-3 :
Tahap Outsourcing, dimana Dinas Perhubungan melalui UPTD mencari
perusahaan menejemen dari pihak swasta yang berkualitas (outsourcing)
melalui tender dengan kontrak jangka waktu tertentu. Pihak Swasta
selanjutnya bertugas mengelola dan mengatur operator angkutan umum
sesuai dengan standar operational procedure secara profesional.

Dengan pengeloaan yang


profesional maka dapat
memaksimalkan
pendapatan guna mendanai
pembangunan

infrastruktur dan
peningkatan pelayanan
kepada masyarakat.
Perusahaan outsourcing
tersebut bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Dinas
perhubungan selaku
pemberi kerja.
Tahap-4 :
Tahap pengembangan, dimana
Dinas Perhubungan dapat
melakukan pengembangkan
tahapan outsourcing pada
tahap-3, tidak saja untuk
angkutan umum, tetapi bisa
untuk pengelolaan lainnya
seperti TDM. Dimana setiap
perusahaan menejemen
outsourcing bidang pengelolaan
masing-masing tersebut
bertanggung jawab kepada
Dinas Perhubungan.
Untuk kota kecil dan kota sedang hanya dapat dilakukan sampai pada tahap 1
dan tahap 2 saja. Namun untuk jangka menengah dan panjang, apabila terjadi
peningkatan terhadap demand angkutan umum yang besar, akibat pertambahan
populasi yang besar sehingga sudah memenuhi persyaratan untuk dilakukan
peningkatan pada tahap sistem transIt, maka untuk kelembagaan bisa sampai
tahap-3 sesuai dengan perkembangannya.
KONSEP PENGELOLAAN ANGKUTAN
UMUM DI PERKOTAAN
Untuk mendapatkan kepuasan semua pihak, maka angkutan umum
harus dikelola dengan baik, yakni direncanakan dengan sebaik-baiknya
dan diimplementasikan sesuai dengan rencana tersebut. Selama ini, di
kota besar, sedang, dan menengah, proporsi keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan angkutan umum sangat besar.

Masyarakat memang perlu dilibatkan sehingga aspirasi dan keinginan


mereka dapat ditampung dan diimplementasikan sesuai dengan
rambu-rambu yang ada, serta menciptakan suasana kondusif yang
pada ujungnya membuat masyarakat merasa memiliki dan ikut
memelihara keberlangsungannya.

Namun demikian, tidaklah bijaksana jika masyarakat dilibatkan terlalu


besar dan mendalam, sampai ke masalah yang prinsipal dan teknis.
Keterlibatan masyarakat yang demikian besar dalam pengelolaan
angkutan umum, tidak terlepas dari motivasi mereka untuk
menjadikan keberadaan angkutan umum sebagai ladang
penghidupan mereka.

Sementara itu dari pihak pemerintah, motivasi untuk melibatkan


masyarakat dalam pengelolaan angkutan umum adalah karena
pemerintah tidak memiliki alokasi dana untuk pengadaan, juga
untuk mengatasi sebagian masalah tenaga kerja yakni
pengangguran, dan menjadikan angkutan umum sebagai salah satu
sumber pendapatan daerah dengan menjual ijin trayek.
Dasar hukum penyelenggaraan angkutan umum pada umumnya
dan angkutan masal pada khususnya adalah UU No.22 Tahun
2009.

Sesuai dengan jiwa dari undang-undang tersebut, tujuan


penyelenggaraan angkutan umum sebagai bagian dari kegiatan
transportasi perkotaan adalah:

untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat,


aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, dengan
biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Secara lebih spesifik dari undang-undang tersebut, pasal-pasal yang
mengatur angkutan umum dan angkutan masal adalah sbb:

 Pasal 5 Ayat (1) & (2)


Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan
pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah. Pembinaan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. perencanaan; b. pengaturan;
c. pengendalian; dan d. pengawasan.
 Pasal 138 Ayat (1)
Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
angkutan
umum.
 Pasal 139 Ayat (4)
Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Pasal 158 Ayat (1)
Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan
untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan
Bermotor Umum di kawasan perkotaan.
 Pasal 158 Ayat (2)
Angkutan massal harus didukung dengan:
a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal (sistem angkutan
yang menggunakan mobil bus dengan lajur khusus yang
terproteksi sehingga memungkinkan peningkatan kapasitas
angkut yang bersifat massal)
b. lajur khusus;
c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek
angkutan massal; dan d. angkutan pengumpan.
 Pasal 185 Ayat (1)
Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada
trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/
Pemerintah Daerah. ( “trayek tertentu”
atau
adalah trayek angkutan
penumpang orang yang secara finansial belum
umum
menguntungkan)
 Pasal 197 Ayat
Pemerintah dan(1) Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara
angkutan wajib:
a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum
untuk mendapatkan pelayanan;
b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum
dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan
permintaan angkutan umum; dan
c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan
orang dan barang.
Berpegang pada pasal-pasal terbut di atas, maka pengadaan
angkutan umum dan angkutan masal harus berpegang
pada prinsip dasar sebagai berikut :
1. Angkutan Umum diselenggarakan oleh sebagai
stakeholder pemerintah dengan tujuanmemenuhi
utama kebutuhan
untuk
masyarakat dengan tetap berpegang pada
pergerakan arus
kelancaraan asaslalu lintas secara keseluruhan.
2. Angkutan umum bukanlah alat bagi pemerintah untuk memperoleh
pendapatan daerah, bahkan pada rute-rute tertentu kalau memang
belum menguntungkan perlu disubsidi
3. Angkutan umum bukan merupakan lahan bisnis dan sarana
mengatasi problem tenaga kerja.
4. Pemerintah sebagai fasilitator merupakan pihak yang paling
berwenang menentukan kebijakan sekaligus
bertanggungjawab terhadap keberadaan angkutan umum paling
pergerakan masyarakat. bagi
Peran Pemerintah dan Swasta dalam
Pengelolaan Angkutan Umum

Sekalipun pemerintah yang paling bertanggung jawab


dalam angkutan umum, berarti
pengelolaan harus
bukanditangani oleh pemerintah
bahwa semuanya
sendiri.

Keterlibatan swasta sangat diperlukan oleh pemerintah


sebagai partner yang sangat mendukung, namun demikian
pemerintah tetap menjadi pilar utama. Keterlibatan swasta
dalam pengelolaan angkutan umum dapat digambarkan
sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
Tingkat
pemenuhan Pemerintah

Standar
Pelayanan
Opt.yg
ditetapkan

Swasta

%? %? Keterlibatan
50% 100%
Swasta Pemerintah Pemerintah

Gambar 5.6. Keterkaiatan Pemerintah dan Swasta dalam


Tingkat Pelayanan Angkutan Umum
Gambar 5.6. tersebut dapat dipahami jika terlebih dahulu
memahami perbedaan prinsip utama dari pengelolaan
angkutan umum antara pemerintah dan swasta, yakni :

 Jika mengacu pada tujuan utama pengelolaan angkutan umum


sesuai dengan yang diamanahkan dalam UU No.22 Tahun 2009,
yakni tidak berorientasi pada profit, maka pemerintah akan
mengelola angkutan umum dengan semangat semata-mata
dalam upaya pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat akan
pergerakan yang sebesar-besarnya.

 Sementara itu dari sisi swasta, yang sudah pasti berorientasi


bisnis, akan mengelola angkutan umum semata-mata pada
tujuan keuntungan maksimal (profit oriented). Semakin besar
keuntungan yang diperoleh, akan semakin baik bagi swasta
tersebut.
Mengacu pada prinsip tersebut di atas, maka semakin tinggi keterlibatan
pemerintah dalam pengelolaan angkutan umum, akan semakin tinggi pula
tingkat pemenuhannya karena orientasi pemerintah tidak semata-mata
pada keuntungan, melainkan dalam upaya pemenuhan pelayanan kepada
masyarakat luas.

Dengan demikian maka Tingkat


apabila angkutan pemenuhan Pemerintah

murni umum
pemerintah,
dikelola ole
kecenderungannya h
adalah akan terjadi
tidak efisien, dan boleh
pemborosan, Swasta
jadi akan bangkrut.

%? %? Keterlibatan
50% 100%
Swasta Pemerintah
Pemerintah
Sementara apabila diserahkan sepenuhnya kepada swasta atau
mekanisme pasar, maka kecenderungan yang terjadi adalah kebijakan semata-
mengikuti
mata berdasarkan kepentingan bisnis. Pelaku bisnis akan berusaha sedemikian
rupa untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya karena memang
itulah tujuan dari bisnis. Tingkat
pemenuhan Pemerintah

Sebagai contoh dalam konteks


angkutan umum, swasta hanya
akan mau menggarap angkutan Standar
Pelayanan
umum dengan rute yang gemuk Opt.yg
ditetapkan
saja, kemudian mengetatkan
jumlah armada agar efisien Swasta

sekalipun jumlah penumpang


yang naik melebihi kapasitas
kendaraan, dan hal lain yang
semata-mata untuk kepentingan %? %? Keterlibatan
50% 100%
bisnis mereka. Swasta Pemerintah
Pemerintah

Untuk menentukan seberapa besar keterlibatan swasta yang diperlukan, maka


perlu ditetapkan standar pelayanan optimum yang hendak dicapai sehingga
diperoleh besarnya angka persentase keterlibatan swasta.
MODEL PENGELOLAAN EKSISTING

Sebagai negara
berkembang dengan
sumber daya keuangan PEMERINTAH A
yang terbatas, terlalu muluk
bagi pemerintah apabila
menangani masalah SWASTA PS PO O/I M

angkutan umum secara


mandiri. Keterlibatan swasta
masih sangat diperlukan Gambar 5.7. Kondis Eksisting Keterlibatan Swasta
untuk mengelola angkutan dalam Pengelolaan Angkutan Umum
umum.

Namun demikian, sejauh mana keterlibatan swasta, tentu


ada koridor yang tidak boleh dilewati oleh swasta demi tetap
menjaga kepentingan masyarakat luas dan tetap pada
tujuan dasar diadakannya angkutan umum.
MODEL PENGELOLAAN EKSISTING

Selama ini kondisi PEMERINTAH A


pengelolaan adalah seperti
terlihat pada Gambar 5.7. SWASTA PS PO O/I M
Perencanaan Strategis
yang seharusnya dilakukan
oleh pemerintah, tidak jelas
Gambar 5.7. Kondis Eksisting Keterlibatan Swasta
keberadaannya atau bahkan dalam Pengelolaan Angkutan Umum
mungkin tidak ada sama
sekali.

Di kota Bandung (Purnawan,1995) dalam menentukan rute, pemerintah masih


menggunakan metoda „kira-kira‟. Mekanisme penyelenggaraan angkutan umum
yang selama ini ada nampaknya datang dari inisiatif „sekelompok orang‟ yang
menawarkan pengelolaan angkutan umum dengan membawa konsep
Perencanaan Operasional yang mereka karang sendiri berupa : lintasan rute,
jenis moda, dan sterusnya. Agar lebih meyakinkan, sekelompok masyarakat
tersebut mengatasnamakan sebuah koperasi.
Pemerintah dalam hal ini hanya tinggal memberikan Approval berupa
ijin trayek dengan menjualnya kepada mereka, yang mendatangkan
pemasukan ke kas daerah.

Selanjutnya mereka mendatangkan armada dengan menggandeng


lembaga leasing, dan mengoperasikan armada berdasarkan konsep
mereka sendiri tanpa ada Monitoring dan Evalusi sama sekali.

Cara seperti ini jelas tidak mendapatkan hasil yang maksimal baik dari
sisi pengguna, operator, dan masyarakat pengguna jalan lainnya, serta
tujuan dasar dari diadakannya angkutan umum tidak tercapai.

PEMERINTAH A
Gambar 5.7.
Kondis Eksisting Keterlibatan
SWASTA PS PO O/I M Swasta dalam Pengelolaan
Angkutan Umum
Berikut ini adalah fakta yang terjadi, sebagai akibat
pengelolaan eksisting:

 Jenis armada biasanya adalah armada kecil dengan kapasitas angkut


8-12 orang, sehingga dari tinjauan efisiensi penggunaan ruang jalan
jelas belum efisien, sehingga dibutuhkan jumlah armada yang banyak
yang akan mengurangi tingkat pelayanan jalan (dalam hal ini
merugikan pengguna jalan lainnya)

 Jumlah armada tidak dihitung dengan baik, cenderung melebihi dari


kebutuhan demand, sehingga tingkat okupansi penumpang kecil dan
pendapatan operator menjadi minim (merugikan operator). Selain itu,
jumlah armada yang banyak akan menyebabkan kemacetan dan
tingkat pelayanan jalan menurun (merugikan pengguna jalan lainnya)

 Akibat pendapatan minim, maka angkutan umum tidak dikelola


dengan baik, standar pelayanan minimum tidak terpenuhi (merugikan
pengguna).
 Orientasi sopir adalah setoran harian kepada operator dan
keuntungan bagi dirinya, sehingga dalam menjalankan kendaraanya
tidak memenuhi aturan yakni ngetem sembarangan (merugikan
penumpang dan pengguna jalan lainnya), dan berhenti mendadak
begitu melihat ada calon penumpang (berpotensi menimbulkan
tabrak belakang lain dan ini juga merugikan
pengguna
kendaraanjalan lainnya) bagi

 Dalam satu rute, jumlah operator biasanya adalah sama dengan


jumlah armada. Setiap operator mengoperasikan kendaraanya
secara sendiri-sendiri, tanpa ada koordinasi dengan operator lainnya.
Dengan demikian maka dalam satu hari, baik dalam kondisi demand
puncak atau tidak, jumlah armada yang beroperasi sama sehingga
pada saat demand tidak puncak tingkat okupansi rendah pendapatan
juga rendah (merugikan operator)
MODEL PENGELOLAAN SISTEM WARALABA

Sistem ini merupakan sistem melibatkan swasta sebagai


yang
partner yang memiliki kemampuan keuangan dalam
pengelolaan angkutan umum tanpa harus pemerintah mengeluarkan
dana.
PEMERINTAH PS A M

SWASTA
PO O/I

Gambar 5.8. Sistem Waralaba dalam Pengelolaan Angkutan Umum

Selain itu, pemerintah juga tidak perlu memikirkan manajemen


operasional, mengurusi pegawai, melakukan perawatan
armada, dan lain-lainnya. Keuntungan lainnya adalah,
pemerintah dapat melakukan pengawasan, monitoring, dan
evaluasi.
Dalam pengelolaan sistem waralaba ini, Pemerintah
melakukan perencanaan strategis yang matang
tentang angkutan umum yang merupakan kebijakan
payung.
PEMERINTAH PS A M

SWASTA
PO O/I

Gambar 5.8. Sistem Waralaba dalam Pengelolaan Angkutan Umum

Selanjutnya diundanglah pihak untuk


mengadakan swasta perencanaan operasional
berdasarkan pada kebijakan payung tersebut. Pihak
swasta mengajukan perencanaan operasional dalam
beberapa alternatif, dan pemerintah memeriksa
serta memberi masukan, apabila masih kurang.
Apabila sudah diperoleh perencanaan
operasional yang sesuai dengan
keinginan memberikan approval
pemerintah
kepada
pemerintah, untuk proses pengadaan
operasional.
swasta dan
PEMERINTAH PS A M

SWASTA
PO O/I

Gambar 5.8. Sistem Waralaba dalam Pengelolaan Angkutan Umum

Untuk memastikan apakah pihak swasta melakukan


sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan,
pemerintah melakukan kegiatan monitoring dan
evaluasi.
Sistem waralaba ini merupakan sistem yang cukup
bijaksana dalam pengelolaan sistem angkutan umum
perkotaan. Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya,
kunci pembuka dari pengelolaan sistem angkutan umum adalah
melakukan perencanaan strategis.

Inti dari perencanaan strategis adalah berupa master plan


angkutan umum yang menjadi dasar untuk mengatur
pengembangan angkutan umum, yang mencakup permasalahan
struktur jaringan rute, yakni berupa hierarki rute (ruas/link) serta
hierarki simpul (node), dan skedul pengembangan.

Dari perencanaan strategis tersebut, struktur jaringan rute yang


merupakan merupakan bagian yang sangat penting dalam
perencanaan angkuutan umum di sebuah perkotaan.
Struktur jaringan rute adalah struktur sebuah rute angkutan
umum yang terdiri dari lintasan rute, koridor rute, dan
titik-titik simpul pemberhentian, sudah seharusnya merupakan
produk dari pemerintah.
Pemerintah dapat membuat usulan teknis yang diajukan
rencana anggaran pendapatan dan biaya daerah (RAPBD),
dalam
sebagai suatu peket pekerjaan yang ditenderkan ke konsultan
perencana.
Konsultan perencana yang merupakan kumpulan para ahli di
bidang transportasi, selanjutnya akan bekerja sesuai dengan
kerangka acuan kerja yang telah ditetapkan oleh pemberi kerja,
dalam hal ini pemerintah daerah, dan menghasilkan produk
berupa rencana strategis angkutan umum, yang merupakan
master plan angkutan umum.
Dengan dasar dokumen perencanaan strategis yang
sudah dihasilkan tersebut, selanjutnya pemerintah
melakukan tender kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak
di bidang transportasi, untuk mendapatkan mitra kerja dalam
pengeloaan transportasi perkotaan. Pemerintah perlu mencari mitra
perusahaan swasta sebagai pengelola angkutan umum dengan
pertimbangan antara lain :

1. Pemerintah tidak perlu menyediakan dana untuk pengadaan


sarana transportasi, seperti bus misalnya, namun hanya
menyediakan prasarana berupa jaringan jalan, halte, dan
terminal
2. Tidak perlu menyediakan pegawai untuk mengelola
3. Dapat memantau dan mengevaluasi kinerja pengelola, serta
mengganti dengan yang lain jika kinerjanya sudah tidak bisa
diperbaiki
Selanjutnya pihak calon pengelola angkutan umum sebagai
peserta tender, berdasarkan pada dokumen perencanaan strategis
yang sudah dibuat oleh konsultan perencana tersebut, diwajibkan
membuat proposal perencanaan operasi.

Proposal yang terbaik merupakan pemenang, dan berhak


mengelola angkutan umum. Untuk menghindarkan penumpukan
beban dalam pengelolaaan (overloaded management) dan supaya
menumbuhkan kompetisi, pengelolaan angkutan umum dapat
dibagi dalam berbagai koridor.
Proposal pengelolaan yang baik, yang akan dipilih adalah
poposal yang memenuhi visi aspek teknis operasional, yakni :

 Memiliki directness route yang paling kecil, straight


yakni
forward, tidak berputar-putar.

 Perencanaan
Headway waktu tempuhkedatangan
dan jadwal yang paling bus
cepatyang konstan dan
terjadwal.
 Perencanaan halte baik, baik dari segi lokasi sehingga
memudahkan pencapaiannya, dan dari segi desain sehingga
cukup nyaman, cukup luas sehingga dapat mempercepat
pergerakan di dalam halte dan naik turun penumpang.
 Memenuhi standar pelayanan minimum
 Memiliki integrasi dengan layanan pengumpan (feeder) dan jalur
pejalan kaki
 Memiliki sstem kendali bus dan tiket yang baik
Selain itu, proposal yang baik juga harus memenuhi
visi aspek institutional dan manajemen, antara
lain :
 Memberikan pelayanan yang benar-benar berorientasi
pada pengguna, yakni :
 Terjamin dalam hal kehandalan, frekuensi ,
kecepatan
 Mampu &
beroperasi selama waktu dibutuhkan
ketepatan
yangwaktu
pengguna oleh
 Mampu menyediakan tarif yang
terjangkau.
 Sustainable bagi Operator:
 Mampu menghasilkan keuntungan yang cukup, sehingga
ketahanan finansial dapat terjaga
 Mampu menarik konsumen dengan peningkatan pelayanan
sehingga dapat mendorong migrasi pengguna angkutan
pribadi ke angkutan umum
 Mampu melakukan peremajaan armada
Tahap berikutnya yang dilakukan oleh pihak swasta yang
memenangkan tender, yang selanjutnya disebut sebagai operator,
adalah melakukan implementasi yakni langkah nyata operasional
yang merupakan penjabaran dari tiga tahap sebelumnya, yakni
tahap perencanaan strategis & perencanaan operasional dengan
rambu-rambu sebagaimana yang tertuang dalam regulasi dan
approval.

Regulasi dan Approval merupakan perangkat lunak, yang diterbitkan


untuk mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan angkutan
umum, meliputi peraturan daerah (Perda), dokumen operasional,
ijin atau lisensi, standar operasional, dan prosedur pengoperasian.
Untuk menjamin bahwa tahap implementasi atau
pelaksanaan operasional angkutan umum sudah sesuai
dengan strategis, perencanaan operasional,
regulasi
perencanaan
yang ada, dan
maka
mengikuti
pihak pemerintah daerah harus melakukan
monitoring dan pengawasan.
Pemerintah daerah dalam hal ini juga harus melibatkan peran serta
masyarakat yang selanjutnya diwadahi dalam suatu lembaga yakni
dewan transportasi kota.
Kegiatan monitoring merupakan langkah yang sangat diperlukan,
sebagai suatu kegiatan rutin yang terjadwal atau teragendakan dalam
periode waktu tertentu, misalnya tiap triwulan atau tiap semester
tergantung pada kesepakatan awal. Namun demikian, dewan
transportasi kota juga dapat mengajukan usulan monitoring secara
khusus, di luar agenda rutin, bilamana dipandang ada suatu masalah
yang sangat urgen. Hasil dari kegiatan monitoring, merupakan suatu
keputusan bersama yang mengikat untuk dilaksanakan oleh operator.
Contoh Sistem Pengelolaan TransJakarta

Transjakarta merupakan tindakan konkret pertama pemerintah untuk


melakukan investasi sarana dan prasarana dalam penyediaan
angkutan umum massal, agar angkutan masal ini lebih menarik dari
kendaraan pribadi.
Transjakarta atau umum disebut Busway adalah sebuah sistem
transportasi bus cepat atau Bus Rapid Transit di Jakarta. Sistem ini
dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota,
Kolombia. Perencanaan Busway telah dimulai sejak tahun 1997 oleh
konsultan dari Inggris.
Pada waktu itu direncanakan bus berjalan berlawanan dengan arus
lalu-lintas (contra flow) supaya jalur tidak diserobot kendaraan lain,
namun dibatalkan dengan pertimbangan keselamatan lalu lintas.
Meskipun Busway di Jakarta meniru negara lain (Kolombia, Jepang,
Australia), namun Jakarta memiliki jalur yang terpanjang dan terbanyak.
Sehingga kalau dulu orang selalu melihat ke Bogota, sekarang Jakarta
sebagai contoh yang perlu dipelajari masalah dan cara
penanggulangannya
Bus Transjakarta memulai operasinya pada 15 Januari 2004 dengan
tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman, namun
terjangkau bagi warga Jakarta. Untuk mencapai hal tersebut, bus ini
diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya
dan lajur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya (termasuk bus
umum selain Transjakarta). Agar terjangkau oleh masyarakat, maka
harga tiket disubsidi oleh pemerintah daerah.

Tepat dua tahun setelah pertama kali dioperasikan, pada 15 Januari


2006 Transjakarta meluncurkan jalur koridor 2 (Pulogadung-Harmoni)
dan 3 (Kalideres-Pasar Baru). Pada tahun 2006, dimulai pembangunan
4 koridor baru Busway, yaitu Pulogadung - Dukuh Atas (Koridor 4),
Kampung Melayu - Ancol (Koridor 5), Ragunan - Dukuh Atas (Koridor
6), Kampung Rambutan - Kampung Melayu (Koridor 7), dan mulai
pemakaiannya pada tahun 2007. Berikutnya Koridor 8 (2008 - 2009), 9,
dan 10 (2008 - 2010)
Peraturan penyelenggaraan Bus Transjakarta diatur oleh Pemprov
DKI dalam Keputusan Gubernur No 110 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Badan Pengelola (BP) TransJakarta dan Tata Kerja
Badan Pengelola Transjakarta Busway sebagai Unit Kerja
Perangkat Daerah (UKPD). Pada tahun 2006 melalui Peraturan
Gubernur Nomor 48 Tahun 2006 BP Transjakarta Busway diubah
menjadi Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta Busway yang
bernaung di bawah Dinas Perhubungan, Propinsi DKI Jakarta.

Pembangunan dan pengelolaan sistem Transjakarta disediakan


Pemda DKI Jakarta, sementara kegiatan operasional bus, tiket dan
kegiatan penunjang lainnya dilaksanakan berkerjasama dengan
pihak operator. Penentuan operator direncakan menggunakan
sistem lelang.
Ada delapan operator yang melayani berbagai koridor busway, yaitu
PT. Jakarta Exspress Trans, PT. Trans Batavia, PT. Jakarta Trans
Metropolitan, PT. Jakarta Mega Trans, PT. Primajasa Perdanaraya
Utama, PT. Eka Sari Lorena Transport, PT. Bianglala Metropolitan dan
PT. Transjakarta Busway.

Berdasarkan data Unit Pengelola (UP) Transjakarta Busway, hingga


akhir 2011 ada 520 armada Bus Transjakarta termasuk penambahan
44 bus gandeng. Rencananya pada 2012, Pemprov Jakarta akan
memprogramkan penambahan bus gandeng sebanyak 178 armada.
Berdasarkan data Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta, pada
2009 Bus Transjakarta mampu mengangkut sekitar tujuh juta
penumpang. Jumlah itu meningkat pada awal tahun 2012 (Januari-
Februari) sebanyak 18.946.580 penumpang.

http://penasusdape.wordpress.com/2012/04/07/pakar-transportasi-segera-atasi-persoalan-transjakarta/
Pemprov DKI Jakarta saat ini sedang mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) sistem Bus Rapid Transit (BRT) dan
pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Transjakarta
kepada DPRD DKI Jakarta. Hal itu dalam rangka mengembangkan
sistem transportasi massal di Ibu Kota.

Raperda itu diharapkan menjadi Perda terkait Standar Pelayanan


Minimum (SPM) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal
pelayanan angkutan publik, antara lain memperbaiki pelayanan, waktu
tempuh, efisiensi pengelolaan aset serta infrastruktur.

Raperda tentang pengolaan sistem BRT nantinya mengatur sistem


pengoperasian BRT, SPM, tata kelola manajemen dan pembentukan
badan usaha yang mengoperasikan BRT. Pembentukan BUMD PT
Transjakarta diperlukan sebagai landasan yuridis pembentukan badan
usaha yang mengelola BRT.
Bila jadi BUMD, nanti tidak tergantung lagi dengan DPRD atau APBD.
Diharapkan bisa lincah memanfaatkan pendapatannya karena nanti
tidak masuk ke Dinas Pendapatan Daerah.

Bentuk BUMD lebih fleksibel secara manajerial operasional.


Contohnya ketika ada kerusakan di halte lalu mau memperbaiki, tidak
harus melakukan tender mengikuti mekanisme tender pemerintah. Tapi
bisa melakukan tender tersendiri.
Saat ini TransJakarta, sedang menuju BRT kelas dunia yakni dengan
terpenuhinya persyaratan-persyaratan, antara lain :
 Jalur khusus yang terletak di median jalan sebagai jalur prioritas
bus
 Kecepatan bus yang tinggi dan frekuensi bus yang sering
 Halte dengan ketinggian sejajar dengan bus dan luas
untuk mempercepat pergerakan penumpang
 Bus dengan daya tampung besar (Bus gandeng, bus bi-articulated)
 Penerapan Standar Pelayanan Minimum
 Integrasi dengan layanan pengumpan (feeder) dan jalur pejalan kaki
 Sistem kendali bus dan tiket yang elektronik dan real-time
Model Bisnis Trans Jakarta
Problematika Perbaikan Sistem
Pengelolaan Angkutan Umum
Pengelolaan sistem waralaba, sekalipun bagus untuk diterapkan karena
sesuai dengan kondisi sumber daya keuangan pemerintah, akan tetapi
sulit untuk dilaksanakan dalam kondisi sekarang ini. Di kota besar,
sedang, dan kecil, pengelolaan angkutan umum yang sekarang terjadi
adalah :
 Angkutan umum perkotaan didominasi oleh kendaraan kecil dengan
kapasitas tempat duduk 12 penumpang yang biasa disebut dengan
Angkot.
 Angkot-angkot tersebut dimiliki oleh perseorangan yang sebagian
besar dikemudikan oleh orang lain (sopir) dan hanya sedikit yang
dikemudikan sendiri yang biasanya tergabung dalam koperasi.
 Para pelaku mengoperasikan kendaraan berdasarkan pada bisnis
oriented, tidak paham tentang masalah transportasi, dan menjadikan
angkot tersebut sebagai sumber penghidupan, baik oleh pemilik
maupun oleh sopir.
 Sistem pengoperasiannya dilakukan oleh masing-masing
operator/pemilik berdasarkan rute yang dimilikinya dengan jumlah
yang tetap, baik pada kondisi peak maupun off, dengan sistem
setoran.
 Jumlah armada tidak direncanakan dengan baik
 Standar pelayanan minimum tidak ada
 Rute yang dilalui tidak mendasarkan para hierarki jalan,
sehingga dapat melewati jaringan arteri, kolektor, maupun lokal.
 Peran pemerintah sangat minim,
 Monitoring dan evaluasi tidak berjalan.
Dengan kondisi yang demikian, sulit bagi pemerintah untuk dapat keluar
dari kondisi eksisting. Setiap orang mengerti bahwa angkot dengan
kapasitas angkut kecil sangat tidak efisien terhadap pemakaian ruang
dan perlu diganti yang lebih besar agar jumlahnya dapat ditekan agar
tingkat pelayanan jalan meningkat.

Apabila dalam perencanaan strategis dan operasional diputuskan


dilakukan perombakan dengan memakai angkutan umum yang
berkapasitas besar, misalnya 60 penumpang, maka berarti terjadi rasio
penggantian lima angkot hilang dan diganti dengan satu buah bus.

Setidaknya ada 8 orang yang kehilangan pekerjaan untuk penggantian


tiap bus. Apabila setiap rute ada 100 angkot yang cukup diganti dengan
20 bus, berarti terdapat 80 kali 2 orang sama dengan 160 orang yang
menganggur. Apabila dalam suatu kota ada 20 rute, maka terjadi
pengangguran sejumlah 3.200 orang. Apabila setiap orang sebagai
kepala keluarga memiliki tanggungan 4 orang, maka berarti ada 12.800
orang yang kehilangan sumber penghidupannya.
Kondisi ini yang menyulitkan bagi pemerintah untuk melakukan
perbaikan sistem pelayanan angkutan umum. Selain terjadi gejolak
sosial yang luar biasa, pemerintah juga harus memberikan ganti rugi
yang cukup untuk setiap angkota yang tidak bisa diperpanjang ijin
trayeknya, yang ini juga membutuhkan dana yang sangat besar.

Selama ini pemerintah telah keliru dalam mengelola angkutan umum


yang menjadikan angkutan umum sebagai lahan peluang kerja dan pos
pendapatan daerah.

Model alternatif yang memungkinkan adalah tidak dengan semata-mata


menghapus angkot begitu saja dan menelantarkan para pemilik,
melainkan diambil jalan tengah.
Penggantian jenis moda diusulkan lebih baik dan dengan
kapasitas yang
yangbesar dapat dilakukan disertai tidak
memperpanjang ijin trayek angkot. dengan

Selanjutnya sistem pengelolaan diserahkan kepada swasta dengan


melibatkan para pemilik lama dalam bentuk saham.

Sebagai misal untuk satu bus yang mengganti lima buah angkot, maka
kepemilikannya adalah saham dari lima eks para pemilik angkot dengan
saham 50 % ditambah swasta yang mengelola dengan saham 50%.

Selanjutnya para pemegang saham mendapatkan keuntungan dari


pengelolaan angkutan umum tersebut. Barangkali ini merupakan jalan
tengah yang masih memungkinkan yang dapat ditempuh.
Sementara untuk meningkatkan penggunaan ruang jalan, penggantian
dengan tipe angkutan yang lebih besar merupakan suatu usaha yang
sangat realistis.

Gambar kiri memperlihatkan bahwa bus dengan panjang 12 meter


mempunyai kapasitas angkut antara 60-75 penumpang. Jika dilakukan
penyatuan dua buah bus, seperti terlihat pada Gambar kanan, panjang
bus menjadi 18,5 m, dengan kapasitas angkut baru 140 – 170
penumpang.
Dengan kata lain, jika panjang berubah menjadi 1,5 kali, ternyata daya
tampung bisa meningkat menjadi dua kali lebih. Demikian pula
panjang ditambah menjadi 24 m atau dua kalinya, maka daya angkut
jika
menjadi 240 – 270 penumpang atau empat kalinya.

Kapasitas bus gandeng ganda (bi-articulated)


24 m, 240 – 270 penumpang

Penyediaan ruang untuk manuver


pada bus gandeng ganda
(bi-articulated)
STUDI KASUS ANALISIS PENGELOLAAN
ANGKOTA

Studi ini memberikan gambaran bahwa pengelolaan angkota oleh


perseorangan sudah tidak menguntungkan lagi. Angkota
disurvai adalah rute Dago-St.Hall kota Bandung. Rute denganyang
panjang 7,4 km dan cycle time 60 menit ini dihuni oleh 50 buah
angkot dengan headway rata-rata 1,2 menit.

Pada kondisi hari kerja jumlah penumpang rata-rata per trip adalah
5,7 penumpang. Dengan tarif resmi Rp 2.500,- per orang per trip
maka diperoleh total pendapatan per sebesar
Rp102.660.000,- sedangkan biaya yang tahun yang
harus
adalah Rp 96.627.685,-. Dengan demikian keuntungan ditanggung
per
tahun adalah hanya Rp 6.032.315,-.
Jumlah keuntungan tersebut sangat kecil. Faktor utama penyebab
terlalu kecilnya keuntungan adalah karena jumlah armada dalam rute
tersebut sangat besar.

Berdasarkan analisis untuk mencapai jumlah rata penumpang per


trip sesuai dengan kapasitas yakni 14 orang agar diperoleh
keuntungan yang maksimal maka pada rute tersebut hanya
dibutuhkan 22 armada saja.

Apabila kondisi ini dapat tercapai maka keuntungan yang diperoleh


dapat mencapai maksimum yakni Rp 101.132.315,-

Anda mungkin juga menyukai