Umum di Perkotaan
Tahap 1:
Pada kondisi Eksisting, bus kota dan angkot, masih rendah dalam penerapan SPM angkutan
umum, dimiliki oleh individu dan belum terorganisasi (disebut sebagai paratransit)
Tahap 2:
Awal reformasi, dengan pembenahan angkutan umum sebagai moda mayoritas terpilih, dengan
kapasitas lebih besar dari paratransit, terorganisir, belum memiliki lajur khusus, dan penerapan
SPM sedang (dikenal sebagai sistem transit)
Tahap 3:
Sistem Transit dikembangkan dengan penerapan SPM kategori baik, yakni melalui pembuatan
lajur khusus, feeder bus guna meningkatkan kecepatan (atau meminimumkan travel time) yang di
sebut dengan BRT
Tahap 4:
Reformasi angkutan umum berbasis jalan, dengan penerapan SPM kategori sangat baik, dengan
kapasitas lebih besar dari system BRT yang disebut dengan Sistem Full BRT
Pengalihan moda (lihat gbr bawah) diarahkan agar visi dari kebijakan dapat
tercapai sesuai dengan perundang-undangan. Perubahan ini akan menghasilkan
pertambahan kebutuhan terhadap pelayanan bus yang cukup besar dan tinggi,
seiring dengan pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan pergantian ke
moda transportasi umum dimulai.
Angkutan individu biasanya terdiri dari ojek, taksi, dan becak. Secara
umum, ketiga jenis moda tersebut ada di hampir seluruh kota di
Indonesia, kecuali moda taksi.
Saat ini hampir semua wilayah perkotaan, telah dilayani oleh ojek. Ojek
menjadi masalah karena tidak memiliki legalitas sesuai dengan UU
22/2009 tentang LLAJ, namun demikian kebutuhan masyarakat akan
pergerakan yang cepat, door-to-door service, dan kebutuhan akan
pelayanan transportasi pada jalan-jalan yang sempit, memaksa
penggunaan ojek. Di kota-kota megapolitan layaknya Jakarta, ternyata
jasa ojek sangat dibutuhkan karena dapat lewat di sela-sela kemacetan
kota
Gambar 3. Profil Ojek Sepeda Motor dan Sepeda
Kebutuhan angkutan individu ke depan tetap dibutuhkan oleh masyarakat, untuk
itulah maka peran taksi akan ditingkatkan. Moda taksi diharapkan dapat menjadi
moda utama angkutan individu di daerah pusat kota dan di wilayah perkotaan
pada umumnya, khususnya kota metropolitan, kota besar, dan kota menengah.
Peran ojek akan dibatasi pada wilayah dimana kebutuhan moda transportasi
belum terlayani, khususnya pada jalan-jalan sempit (rat-run) kawasan perkotaan,
tidak melayani trayek angkutan umum lingkungan (ang-ling), angkutan bus,
sistem transit dan BRT.
Tahap-1 :
Dinas Perhubungan
memberikan ijin kepada
operator dan melakukan
pengawasan bagi operator
angkutan kota yang
kepemilikannya masih individu,
Tahap-2 :
Tahap konsolidasi dimana
Dinas Perhubungan
membentuk UPTD untuk
melakukan tender dan kontrak
kepada operator perusahaan
yang sudah profesional dan
terorganisir
Selanjutnya operator mengoperasikan angkutan
tersebut
umum berdasarkan
berkewajiban
standar pelayanan minimal (SPM)
Tahap-3 :
Tahap Outsourcing, dimana Dinas Perhubungan melalui UPTD mencari
perusahaan menejemen dari pihak swasta yang berkualitas (outsourcing)
melalui tender dengan kontrak jangka waktu tertentu. Pihak Swasta
selanjutnya bertugas mengelola dan mengatur operator angkutan umum
sesuai dengan standar operational procedure secara profesional.
infrastruktur dan
peningkatan pelayanan
kepada masyarakat.
Perusahaan outsourcing
tersebut bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Dinas
perhubungan selaku
pemberi kerja.
Tahap-4 :
Tahap pengembangan, dimana
Dinas Perhubungan dapat
melakukan pengembangkan
tahapan outsourcing pada
tahap-3, tidak saja untuk
angkutan umum, tetapi bisa
untuk pengelolaan lainnya
seperti TDM. Dimana setiap
perusahaan menejemen
outsourcing bidang pengelolaan
masing-masing tersebut
bertanggung jawab kepada
Dinas Perhubungan.
Untuk kota kecil dan kota sedang hanya dapat dilakukan sampai pada tahap 1
dan tahap 2 saja. Namun untuk jangka menengah dan panjang, apabila terjadi
peningkatan terhadap demand angkutan umum yang besar, akibat pertambahan
populasi yang besar sehingga sudah memenuhi persyaratan untuk dilakukan
peningkatan pada tahap sistem transIt, maka untuk kelembagaan bisa sampai
tahap-3 sesuai dengan perkembangannya.
KONSEP PENGELOLAAN ANGKUTAN
UMUM DI PERKOTAAN
Untuk mendapatkan kepuasan semua pihak, maka angkutan umum
harus dikelola dengan baik, yakni direncanakan dengan sebaik-baiknya
dan diimplementasikan sesuai dengan rencana tersebut. Selama ini, di
kota besar, sedang, dan menengah, proporsi keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan angkutan umum sangat besar.
Standar
Pelayanan
Opt.yg
ditetapkan
Swasta
%? %? Keterlibatan
50% 100%
Swasta Pemerintah Pemerintah
murni umum
pemerintah,
dikelola ole
kecenderungannya h
adalah akan terjadi
tidak efisien, dan boleh
pemborosan, Swasta
jadi akan bangkrut.
%? %? Keterlibatan
50% 100%
Swasta Pemerintah
Pemerintah
Sementara apabila diserahkan sepenuhnya kepada swasta atau
mekanisme pasar, maka kecenderungan yang terjadi adalah kebijakan semata-
mengikuti
mata berdasarkan kepentingan bisnis. Pelaku bisnis akan berusaha sedemikian
rupa untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya karena memang
itulah tujuan dari bisnis. Tingkat
pemenuhan Pemerintah
Sebagai negara
berkembang dengan
sumber daya keuangan PEMERINTAH A
yang terbatas, terlalu muluk
bagi pemerintah apabila
menangani masalah SWASTA PS PO O/I M
Cara seperti ini jelas tidak mendapatkan hasil yang maksimal baik dari
sisi pengguna, operator, dan masyarakat pengguna jalan lainnya, serta
tujuan dasar dari diadakannya angkutan umum tidak tercapai.
PEMERINTAH A
Gambar 5.7.
Kondis Eksisting Keterlibatan
SWASTA PS PO O/I M Swasta dalam Pengelolaan
Angkutan Umum
Berikut ini adalah fakta yang terjadi, sebagai akibat
pengelolaan eksisting:
SWASTA
PO O/I
SWASTA
PO O/I
SWASTA
PO O/I
http://penasusdape.wordpress.com/2012/04/07/pakar-transportasi-segera-atasi-persoalan-transjakarta/
Pemprov DKI Jakarta saat ini sedang mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) sistem Bus Rapid Transit (BRT) dan
pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Transjakarta
kepada DPRD DKI Jakarta. Hal itu dalam rangka mengembangkan
sistem transportasi massal di Ibu Kota.
Sebagai misal untuk satu bus yang mengganti lima buah angkot, maka
kepemilikannya adalah saham dari lima eks para pemilik angkot dengan
saham 50 % ditambah swasta yang mengelola dengan saham 50%.
Pada kondisi hari kerja jumlah penumpang rata-rata per trip adalah
5,7 penumpang. Dengan tarif resmi Rp 2.500,- per orang per trip
maka diperoleh total pendapatan per sebesar
Rp102.660.000,- sedangkan biaya yang tahun yang
harus
adalah Rp 96.627.685,-. Dengan demikian keuntungan ditanggung
per
tahun adalah hanya Rp 6.032.315,-.
Jumlah keuntungan tersebut sangat kecil. Faktor utama penyebab
terlalu kecilnya keuntungan adalah karena jumlah armada dalam rute
tersebut sangat besar.