Anda di halaman 1dari 6

INDONESIA DARURAT DEMOKRASI

Indonesia adalah negara yang mengedepankan asas demokrasi yang dimana kepemimpinan
kedaulatan tertinggi adalah rakyat filosofis ini dibangun guna terjadinya keselarasan yang
mementingkan rakyat agar tidak adanya penyimpangan kekuasaan yang semena mena dilakukan
oleh beberapa penguasa secara sepihak. Pada tahun 1998 era kepemimpinan soeharto banyak
sekali kalangan pemuda dari berbagai elemen bersatu untuk memperjuangkan Reformasi yang
didambakan oleh seluruh masyarakat Indonesia demi terciptanya demokrasi yang utuh dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat karena semestinya negara yang baik adalah negara yang
memikirkan rakyat nya. Di periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo terjadi banyak
polemik di masyarakat, kebebasan sipil yang kian diberengus oleh penguasa menjadi salah satu
indikator kemunduran demokrasi di Indonesia. Tentunya kita masih mengingat pergesahan revisi
Undang Undang KPK, yang dimana memberengus indenpensi dari KPK sendiri, kemudian
pembahasan dan pengesahan Undang Undang Cipta Kerja yang terkesan terburu buru yang
dimana masih banyak terjadi gelombang penolakan terkait UU tersebut tetapi tetap saja
disahkan, bahkan pengesahannya pun terjadi tengah malam disaat kebanyakan masyarakat sudah
tertidur pulas. Dari beberapa kontroversial tersebut pemerintah telah menciderai prinsip
demokrasi, dimana pemerintah seolah acuh tak acuh dengan gelombang penolakan yang jelas
jelas dengan disahkannya uu ciptaker tersebut lebih menguntungkan bagi para investor dan
oligarki sementara rakyatnya sendiri semakin tertindas di negerinya sendiri.
Kemudian pada hari ini banyak sekali polemik yang terjadi menjelang pemilu 2024 berbagai
persoalan bangsa yang terjadi hari ini menjadi saksi demokrasi Indonesia sedang tidak baik baik
saja. Netralitas pejabat negara yang dipertanyakan menjadi wujud nyata penyimpangan dan
kemunduran prinsip demokrasi di Indonesia. Maraknya penyalahgunaan kekuasaan yang
dipertontonkan secara gamblang mengabaikan nilai-nilai kebaikan dan tidak lagi berorientasi
terhadap Pancasila.
Penyimpangan yang dilakukan oleh kepala negara tersebut telah melewati prinsip-prinsip moral
demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial. Kondisi kian diperkeruh dengan hadirnya anak
haram konstitusi yang dengan gamblang mengangkangi aturan yang ada. Lunturnya nilai
keneragawan atas lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang dimana
sarat akan intervensi politik serta etika kehakiman dilanggar. Praktik korupsi, kolusi, nepotisme
(KKN) kian tampak ke permukaan, menghapus cita-cita Reformasi yang telah di perjuangkan
selama ini. Hal tersebut di perkeruh dengan adanya pernyataan kontradiktif presiden atas
pembenaran-pembenaran terkait keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik. Presiden
Joko Widodo secara terbuka menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan yang
memperbolehkan presiden berkampanye dan berpihak. Pemilihan langsung oleh rakyat
merupakan bagian dari agenda reformasi 1998. Dengan meruntuhkan simbol-simbol oligarki
kekuasaan dan partai politik sebagai simbol kekuasaan, agenda reformasi 1998 adalah
mengharuskan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi untuk ikut menentukan arah dan
nasib bangsa sebagai wujud kontrol sosial untuk memberikan ruang kepada rakyat berpartisipasi
dalam kontestasi politik dan pemerintahan, guna memilih dan menentukan calon pemimpinnya
serta semangat amandemen UUD 1945 juncto Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Maka dari
itu, pernyataan yang dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo sarat akan dugaan campur tangan
kepentingan menjelang Pemilu 2024. Hadirnya Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra
sulung presiden dalam kontestasi semakin mengisyaratkan campur tangan Ayah dalam pesta
demokrasi yang akan datang. Campur tangan Presiden dalam pesta demokrasi merupakan bentuk
penyimpangan, dikarenakan pejabat negara tidak boleh menguntungkan ataupun merugikan
peserta pemilu jika belum mengambil cuti.
Presiden menjelang pergantian kepemimpinan seharusnya lebih fokus menyelesaikan pekerjaan
rumah yang masih belum tuntas, bukan keluar dari koridor dengan bersikap tidak netral
menjelang Pemilu 2024. Situasi Indonesia tersebut menjadi tanda kemunduran demokrasi dan
darurat kenegarawanan yang kehilangan moral serta akal sehat. Para pemimpin seakan-akan
telah ditutupi ambisi untuk melanggengkan kekuasaannya dengan mengorbankan netralitas
sebagai kepala negara. Sejatinya Presiden sebagai kepala negara dan kepala. pemerintahan harus
tetap menjaga kenetralitasanya agar tidak mencuat konflik kepentingan sebagai kunci Pemilu
yang adil, setara, dan bermartabat.
DASAR HUKUM

Berikut isi UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden,
wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil
walikota:

Pasal 281
(1) Kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil
gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan; Tidak
menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan Menjalani cuti di luar
tanggungan negara.
(2) Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan
memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggara negara dan penyelenggaraan
pemerintahan daerah
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.

Pasal 282
Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa
dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan
salah satu peserta pemilu selama masa Kampanye.

Pasal 283
(1) Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur
sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan
terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan
atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota
keluarga, dan masyarakat.
Pasal 2

Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 3

Dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu hanrs

melaksanakan Pemilu berdasarkan pada -asas sebagaimana

dimaksud ddam Pasal 2 d,an penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip:

a. mandiri;

b. jujur;

c. adil;

d. berkepastian hukum;

e. tertib;

f. terbuka;

g. akuntabel;

h. proporsional;

i. profesional;

j.efisien.

k. efektif;

Pasal 4

Pengahrran Penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk:

a. memperkuat sistem ketatanegaraan ySng demokratis;

b. mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;

c. menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;


d. memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengahrran pemilu; dan

e. meurujudkan pemilu yang efektif dan efisien.


REKAM JEJAK

 Pada November 2023 lalu, Jokowi menegaskan agar pemerintah pusat dan daerah harus
netral dalam Pemilu. "Perlu saya sampaikan bahwa pemerintah daerah, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten pemerintah kota, pemerintah pusat semua harus netral. ASN semua
harus netral. TNI semua harus netral. Polri semua harus netral," ujar Jokowi kepada awak
media di area proyek pembangunan Jalan Tol IKN, Kabupaten Penajam Paser Utara,
Provinsi Kalimantan Timur, pada Rabu, 1 November 2023.
 Presiden Jokowi mengatakan, tidak ada aturan yang melarang pejabat negara untuk
memihak dan berkampanye mendukung salah satu pasangan calon presiden tertentu di
pemilu 2024. "Itu hak demokrasi setiap orang, setiap menteri sama saja, presiden itu boleh
loh kampanye, presiden boleh loh memihak," kata Jokowi di Halim Perdanakusuma Jakarta,
Rabu (24/1/2024).
Jokowi menambahkan, jika ada menteri atau dirinya sebagai presiden akan berkampanye
maka dilarang menggunakan fasilitas negara. "Tapi yang paling penting waktu kampanye
tidak boleh menggunakan fasilitas negara," wanti dia.
Jokowi menjelaskan, menteri dan presiden bukanlah sekadar pejabat publik, namun juga
pejabat politik. Maka dari itu, memihak dan mendukung kandidat tertentu dibolehkan.
"Masa gini enggak boleh? Gitu enggak boleh? Berpolitik enggak boleh? Boleh, menteri
boleh. Itu saja. Yang mengatur itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara," pungkas
Jokowi.

Anda mungkin juga menyukai