Anda di halaman 1dari 11

Dinding 11

(syekh shomad, syekh arsyad, diponegoro)

Syekh Abdus Shamad al-Palimbani (1704-1789).

Al Palimbani adalah ulama terkemuka abad 18 yang perjuangannya dalam


menegakkan martabat agama dan ummat terus menjadi inspirasi hingga kini. Putra
ulama asal Yaman yang menjadi mufti di kerajaan Kedah ini mendapat pendidikan
dasar langsung dari ayahnya, Syaikh Abdul Jalil. Lalu, ia belajar matan ‘ilmu Alat
Dua Belas’ (ilmu kalam dan ilmu fikih) kepada Syaikh Abdurrahman bin Abdul Mubin
di pesantren Patani, mempelajari ilmu-ilmu sufi dari Syekh Muhammad bin Samman,
Syekh Abdul Rauf Singkil dan Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani.

Beranjak dewasa, Abdus Shamad melanjutkan belajar agama di Mekkah, berguru


pada banyak ulama Haromain antara lain Syekh Ahmad ad-Damanhuri, syekh
Muhammad Al-Kurdi, syekh Ibrahim Al-Rais, syekh Muhammad Al-Jauhari, dan
syekh Athoillah Al-Mashri. Tidak sia-sia, ketekunannya menuntut ilmu mengangkat
dirinya menjadi salah seorang yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab
juga di Nusantara.

Semangat jihad al-Palembangi muncul sangat kuat. Disamping anti Belanda,


perhatiannya juga tertuju pada kolonialisme Barat di negeri-negeri Islam. Karena itu,
ia menulis kitab tentang keutamaan jihad dengan judul 'Nasihah al-Muslimin wa
Tazkirah al-Mu'minin fi Fada'il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karamah al-Mujahidin'. Kitab
itu ditulisnya dalam bahasa Arab pada tahun 1772 M. Di bidang tasawuf, beliau
menulis Hidayah as-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin dan Sair as-Salikin ila Ibadah
Rabb al-Alamin. Beliau juga menulis kitab sastra berjudul puisi kemenangan kedah.
Karya-karya kitab beliau yang lain adalah Nasihah al-Muslimin, Syarh Lubab Ihya
'Ulum ad-Din, dan Syarh Bidayah al-Hidayah, dan Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb
al-Alamin.

Syekh al-Palimbani menghabiskan sebagian besar hidupnya di Haramain. Ada yang


menyatakan, al-Palimbani wafat tatkala masih mengajar di Jazirah Arab. Namun,
ada pula yang mengatakan, ulama besar itu wafat saat ikut berjihad fii sabilillah di
perbatasan antara Kedah (Malaysia) dan Siam (Thailand).

Sumber :
Azra, Azyumardi (2004). Edisi Revisi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, Penerbit Mizan; Bandung, 1994.
Ulum, Amirul, Meniru Jejak Kreatifitas Ulama Nusantara, Yogyakarta; Global Press, Cet. 2, 2020.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812)

Syekh Arsyad adalah ulama dari Martapura yang berperan penting dalam
penyebaran Islam abad 18 di Nusantara. Lahir di Lok Gabang, Astambul, Banjar,
Syekh Arsyad kecil bernama asli Ja'far Shodik Al-Aydarus. Sejak muda, Al-Banjari
belajar agama Islam langsung dari keluarganya, lalu ke Tanah suci Mekkah. Selama
di Mekkah, ia berguru ke beberapa ulama antara lain Syekh Hasan Al-Yamani,
Syekh Shiddik bin Umar Khan, Syekh Ahmad Ad-Damanhuri dan Syekh Murtadho
Az-Zabidi. Kepada para gurunya tersebut, al-Banjari mempelajari berbagai bidang
keilmuan, seperti fikih mazhab Syafi'i, tasawuf, sains, hingga astronomi.
Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya
ialah membuka tempat pengajian (pesantren) bernama Dalam Pagar. Setelah dalam
pagar ramai menjadi tempat menuntut ilmu, Ia pun ditunjuk Sultan Tahmidullah II
menjadi ulama di Kesultanan Banjar. Penunjukkan itu disambut baik oleh
masyarakat. Bahkan, Sultan Tahmidullah II juga menjadi salah satu muridnya. Syekh
Arsyad memperoleh gelar anumerta dari kesultanan Banjar, sebagai pelopor
pengajaran Hukum Islam di kerajaan Banjar.
Di samping mendidik, syekh Arsyad juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk
keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang
terkenal berjudul Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh yang menjadi
pedoman pada waktu itu, bahkan juga dijadikan dasar Negara di Brunai Darussalam.
Karyanya yang lain adalah kitab Tuhfatur Roghibin, kitab Nuqtatul Ajlan, kitabul
Faraidl, Kitab Kanzul Makrifah. Kelak, beberapa nama kitab karangannya diambil
menjadi nama beberapa masjid di Kalimantan Selatan, seperti Masjid Raya Sabilal
Muhtadin, Masjid Jami Tuhfaturroghibin Alalak atau Masjid Kanas, dan Masjid
Tuhfaturraghibin Dalam Pagar, Martapura.
Syekh Arsyad Al Banjari wafat setelah mengabdikan diri bagi perkembangan agama
Islam dan kemajuan pendidikan di Kesultanan Banjar, Muhammad Arsyad al-Banjari
meninggal pada 1812 di usia 102 tahun. Setelah kematiannya, namanya terus
dikenang sebagai ulama besar dari Kalimantan. Muhammad Arsyad al-Banjari juga
dikenang sebagai pedakwah di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara.

Sumber :
Kitab sabilal muhtadin / Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari ; disalin oleh H.M. Asywadie
Syukur, Surabaya; Bina Ilmu.
Dahlan, Bayani, Pemikiran sufistik Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Sleman; Pustaka
Ulama, 2015.

Pangeran Diponegoro (1785-1855)

Adalah pahlawan nasional yang mengobarkan perang 'jihad fi sabilillah' melawan


Belanda selama 1825-1830. Perang Diponegoro atau Perang Jawa, menjadi salah
satu perang tersulit dan terbesar yang pernah dihadapi Belanda selama
pendudukannya di Indonesia.
Bernama asli Raden Mas Mustahar, putra dari Sultan Hamengku Buwono III dengan
istri selir R.A. Mangkarawati dari Pacitan. Sejak muda, Diponegoro memilih tinggal di
Tegalrejo, sebagai protes atas penetrasi Belanda pada keraton. Ia memperoleh
gemblengan ilmu agama, laku fisik dan spiritual di Tegalrejo. Beliau kerap menyepi
di gua, memakai pakaian serba putih, lalu merubah namanya menjadi ngabdul
hamid. Sejak itulah tekadnya semakin kuat untuk mengusir Belanda dari tanah
Jawa.
Pergerakan perlawanan Diponegoro memperoleh dukungan luas dari masyarakat.
Dari para priyayi muncul dukungan dari Sunan Pakubuwana VI, Tumenggung
Prawirodigdaya dan sekitar 15 Pangeran keraton. Para alim Ulama dan tokoh-tokoh
berpengaruh di wilayah Mataram yang bergabung antara lain Kyai Abdani, Kiai
Anom Bayat, dan Kiai Maja. Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu,
Pekalongan, Semarang, dan Rembang. Kemudian ke arah timur mencapai Madiun,
Magetan, Kediri, dan sekitarnya. Meluasnya gerakan perlawanan yang dicetuskan
Pangeran Diponegoro disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.
Panglima perang pangeran Diponegoro antara lain Kiai Maja, Sentot Prawiradirjo,
serta Kerta Pengalasan. Selama perang, Pangeran Diponegoro menerapkan strategi
perang gerilya dan perang atrisi (penjemuan) dengan semboyan "Sadumuk bathuk,
sanyari bumi den lakoni taker pati" yang artinya sejari bumi sejengkal tanah dibela
sampai mati.

Perang Diponegoro adalah perang terbuka yang menyebabkan Belanda


mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari infanteri, kavaleri dan artileri, yang
sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal.
Belanda bahkan mengeluarkan sayembara, kepala Diponegero dibanderol 20 ribu
gulden bagi yang berhasil menangkapnya. Namun kekuatan militer yang besar dan
mahal itu tidak pernah berhasil menangkapnya. Sang Pangeran justeru ditangkap
berkat siasat licik Jenderal De Kock. Beliau meninggal dalam pengasingannya, dan
dimakamkan di komplek kampung Jawa di Wajo, Makassar.

Warisan penting Pangeran Diponegoro adalah babad Diponegoro, yakni kumpulan


macapat/tembang yang menceritakan sejarah nabi, sejarah Pulau Jawa dari zaman
Majapahit hingga Perjanjian Giyanti (Mataram), yang dituturkan langsung kepada
juru tulisnya sejak Mei 1831 hingga Februari 1832 (saat diasingkan di Manado).
Tulisannya menggunakan aksara Arab pegon (tanpa tanda baca) dan aksara Jawa.
Namun, naskah asli Babad Dipanagara, menurut sejarawan Peter Carey, sudah
hilang. Yang ada hanyalah salinan yang saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional
dan di Rotterdam, Belanda. Babad Diponegoro kemudian diakui oleh UNESCO
sebagai Memory of the World (MOW)), yakni sebuah program untuk menghargai dan
merawat catatan-catatan peristiwa kesejarahan dan budaya.

Sumber :
Hardjonagoro ...[et.al], Sultan 'Abdulkamit Herucakra :Kalifah Rosulullah di Jawa 1787 - 1855,
Surakarta; Museum Radya Pustaka, 1990.
Yamin, M. (1950). Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
Jakarta: Pembangunan.

Dinding 12

(ghozali, imam bonjol, nawawi)

KH. Ghozali Sarang (1831-1903)

Kiai Ghozali bin Lanah (lahir di Sarang Rembang) adalah ulama perintis tradisi
keilmuan klasik di Pesantren Sarang Rembang. Masa kecil beliau lebih akrab
dipanggil Saliyo. Pada masa remajanya, ia nyantri di pesantren Dukuh Belitung,
yang diasuh oleh Kiai Mursyidin. Setelah itu, ia melanjutkan belajar di pesantren
makam Agung Tuban asuhan KH. Makruf.

Kiai Ghozali sangat tekun mendalami agama saat menimba ilmu di KH. Makruf.
Konon, ia belajar banyak ilmu agama dan menetap cukup lama di pesantren Kiai
Ma'ruf. Setelah dewasa, oleh Kiai Makruf ia dinikahkan dengan putri KH. Muhdlor
dari Sidoarjo. Sepulang dari Tuban, beliau kembali ke kampung halamannya di
Sarang. Beliau lalu mendirikan pondok dan masjid, yang dikemudian hari
berkembang menjadi pondok pesantren bernama Pondok Pesantren Ma'hadul Ilmi
Asy-Syar'ie (MIS).

Kiai Ghozali adalah perintis awal pesantren dan tradisi keilmuan salaf di Sarang
Rembang. Dari nasab dan sanad keilmuannya, lahir Kiai-kiai penerusnya, seperti
Kiai Umar bin Harun, Kiai Syu'aib bin Abdurrazaq (keduanya adalah menantu Mbah
Ghozali), Kiai Muhsin bin Saman, Kiai Syamsuri, Kiai Thayyib, Kiai Imam Kholil, Kiai
Abdurrohiem, Kiai Maimoen Zubair, dan lain-lain.

Suatu ketika, setelah memiliki bekal yang cukup, kiai Ghozali berangkat berlayar ke
Hijaz untuk menunaikan ibadah Haji. Sayangnya, niat berhaji ini batal karena saat
sampai disana, jamaah haji sudah selesai menunaikan wukuf di Arafah. Akhirnya, ia
menetap di mekkah selama sekitar satu tahun. Selama menetap, Kiai Ghozali
melanjutkan berguru kepada para Masyayikh di Mekkah. Banyak kitab yang ia
dipelajari, termasuk kitab Tafsir Jalalain karya Syekh Jalaludin as-Suyuti dan Syekh
Jalaludin al-Mahali. Sampai kini, peninggalan Mbah Ghozali berupa manuskrip tulis
tangan Tafsir Jalalain masih tersimpan baik di pesantren Sarang.

Kiai Ghozali wafat dan dimakamkan di Sarang, meneladankan kepada kita sikap
yang teguh dan ikhlas di setiap bentuk laku kebaikan.

Refrensi:
Zubair, Maemun, Tarajim Masyayikh al-Ma'ahid ad-Diniyyah bi Sarang al-Qudama' (Sarang,
al-Ma,had al-Diniy al-Anwar).
Sanad Keilmuan Santri dan Masyayikh Sarang dari Masa Ke Masa, Duta Islam.com, 13
Januari 2020.

Tuanku Imam Bonjol (1772-1864)

Imam Bonjol adalah Pahlawan nasional, tokoh pembaharu Islam, dan pencetus
falsafah Minang "adat basandi syarak" (adat berdasarkan agama), dan syarak
basandi kitabullah (agama berdasarkan kitabullah). Falsafah itu lahir dari Plakat
Puncak Pato yang mempersatukan kaum adat dan kaum ulama untuk berjuang
bersama melawan penjajah Belanda (perang Padri 1803-1838).

Bernama kecil Muhammad Shahab, lahir di Bonjol, putra dari seorang ulama
disegani di daerah lima puluh kota, Sumatera Barat. Ia belajar agama dari ayahnya
sendiri, Khatib Bayanudin. Saat dewasa, ia menuntut ilmu ke Tuanku Nan Renceh
dan Tuanku Haji Miskin. Kedua guru inilah yang mempengaruhi pikiran
pembaharuan Islam beliau di Minangkabau.

Landscape politik Minangkabau saat itu diwarnai pertentangan kuat antara kaum
padri (ulama) dan kaum adat. Kaum Padri ingin menerapkan syariat Islam di
Kerajaan Pagaruyung, sementara kaum adat menentangnya. Akhirnya terjadilah
perang saudara yang berlangsung cukup lama (1803-1821). Pada tahun 1821, kaum
Adat secara resmi bekerja sama dengan Belanda berperang melawan kaum Padri
dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Sebagai kompensasi, Belanda
mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman
Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di
Padang waktu itu. Namun sejak awal 1833, perang berubah menjadi perang antara
kaum Adat dan kaum Padri melawan Belanda. Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul
kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan rakyat
Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan
adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah
yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat
berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an).

Perang Padri berakhir setelah Belanda memperkuat pasukannya dengan


mendatangkan tentara besar dari Batavia. Setelah dikepung selama 6 bulan (16
Maret-17 Agustus 1837), Imam Bonjol berhasil ditangkap melalui siasat licik
Belanda. Beliau meninggal dan dimakamkan di tempat pengasingannya di lotta,
Minahasa.
Naskah Tuanku Imam Bonjol adalah karya sastra autobiografi pertama dalam
bahasa Melayu yang ditulis beliau. Naskah itu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol
dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley, dan 2004 di Padang.

Sumber :
Naim, Syafnir Aboe, Naskah Tuanku Imam Bonjol. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan
Minangkabau (PPIM).
Radjab, M., Perang Paderi di Sumatera Barat 1803-1838, Balai Pustaka, 1964.

Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1997)

Syekh Nawawi adalah ulama Banten yang mendunia. Karena kemasyhurannya, al-
Bantani kemudian dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam
al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni ilmunya), A'yan
Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 Hijriyah), hingga
Imam Ulama al-Haramain (Imam 'Ulama Dua Kota Suci). Beliau juga mempunyai
andil penting dalam sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajahan Belanda.

Lahir di desa Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. Guru beliau saat kecil adalah
ayahnya sendiri, ‘Umar bin Araby. Setelah itu, ia menimba ilmu di Haromain kepada
Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Khatib Al- Hambali,
Syaikh Khatib As-Sambasi, Syekh Yusuf Sumbawani. Pencariannya terhadap ilmu
bahkan hingga berlanjut sampai ke Mesir dan Suriah, berguru kepada al-Nahrawi
dan Abd Hamid Daghastani.

Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, Syekh Nawawi pulang ke Banten sekitar
tahun 1828. Sampai di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan,
kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda
terhadap rakyat. Tak ayal, gelora jihadnya pun berkobar. Sebagai intelektual yang
memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh
Nawawi kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap
penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya, seperti dilarang
berkhotbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan dia dituduh sebagai pengikut
Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap
penjajahan Belanda. Karena serba terbatas ruang geraknya, Syekh Nawawi
memutuskan kembali ke mekkah. Begitu sampai di Mekkah dia segera kembali
memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya.

Syekh Nawawi mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib 'Ali, Mekkah. Dia mengajar di
halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tetapi semakin lama
jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Hingga jadilah
Syekh Nawawi al-Bantani sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama,
terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawuf. Nama Syekh Nawawi semakin
masyhur ketika dia ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram. Tidak hanya di kota
Mekkah dan Madinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Suriah, Mesir, Turki, hingga
Hindustan namanya begitu masyhur. Murid-murid beliau yang terkenal antara lain ;
Dawud Perak (Kuala Lumpur Malaysia), dan Abd. Al-Sattar bin Abd. Al-Wahhad Al-
Dahlawi (India), sayyid Ali Al Habsy (mekkah). Sementara di Tanah Air, diiantara
murid-muridnya yang terkenal adalah KH. Mahfudh Tremas, KH. Kholil Bangkalan,
KH. Muhammad Asnawi Caringan, KH. Hasyim Asyari, dll.

Ulama asal Mesir, Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar dalam kitabnya "al-Durus min Madhi
al-Ta'lim wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram” menulis, bahwa Syekh Nawawi adalah
ulama sangat produktif. Karyanya mencapai seratus judul lebih yang meliputi
berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar
terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syekh Nawawi di antaranya
adalah ; al-Tsamar al-Yani'ah syarah al-Riyadl al-Badi'ah, al-'Aqd al-Tsamin syarah
Fath al-Mubîn, Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh, al-Tausyîh/ Quwt al-
Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb, Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah
al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn, Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah,
al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil
musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd, Kasyf al-Marûthiyyah syarah
Matan al-Jurumiyyah.
Beliau wafat pada tahun 1897 di tempat kediamannya kampung Syi’ib Ali Makkah.
Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma’la Mekkah, berdekatan dengan makam
Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar As-Shiddiq.

Sumber ;
Ulum, Amirul. Penghulu Ulama di Negeri Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
Yogyakarta ; Pustaka Ulama, 2015
Amin, Samsul Munir. Penghulu Ulama diu Negri Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
Yogyakarta; Pustaka Ulama, 2015.

Dinding 16

(Soleh darat, khatib minangkabau)

KH. Sholeh Darat (1820-1903)

Adalah tokoh maha guru para ulama Nusantara yang hidup di abad ke-19 hingga
awal abad ke-20. Berbagai gejolak politik yang muncul di abad ini turut
mempengaruhi dan membentuk kepribadiannya, sehingga ia muncul sebagai ulama
yang nasionalis dan melahirkan banyak karya yang sarat dengan semangat
nasionalisme. Selain itu, ia juga dikenal telah berhasil mendidik para santri dan kiai
patriotik yang kelak menjadi pemimpin gerakan kemerdekaan.

Lahir di Jepara pada tahun 1820, putra dari seorang ulama patriotik bernama Kiai
Umar yang menjadi ‘tangan kanan" Pangeran Diponegoro di wilayah pesisir utara
Jawa. Saat kecil, ia memperoleh gemblengan dasar ilmu agama dari ayahnya
sendiri. Setelah itu, ia nyantri di Waturoyo, Kajen (Pati), yang diasuh oleh Kiai
Syahid. Lalu nyantri kepada Kiai Raden Sholeh bin Asnawi di Kudus. Beliau juga
berguru kepada Habib Ahmad Bafaqih Ba’alawi dan Syekh Abdul Ghani Bima.
Ketika di Mekkah, Kiai Sholeh Darat berguru kepada Syekh Muhammad al Muqri,
Syekh Ahmad Nahrawi, Sulaiman Hasbullah al-Makki, dan Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan.

Karena kealimannya, ia didaulat menjadi guru bagi para pelajar di Mekkah, sampai
suatu saat Kiai Hadi Girikusumo, Mranggen, mengajaknya kembali ke Tanah Air.
Tiba di Tanah Air, Kiai Sholeh mendirikan pesantren di Darat (Semarang). Di
pesantren inilah beliau sibuk mengajar dan menulis karya-karya bukunya. Diantara
karyanya adalah; Kitab Faidh ar-Rahman, (tafsir dan terjemahan al-Qur'an yang
menarik perhatian RA Kartini), kitab Majmu’at Syari’at (kitab ini punya keunikan
sebab menjelaskan Fikih dari perspektif hakikat dan ma'rifat), kitab Lathaif al-
Thaharah (berisi tentang rahasia bersuci dan sholat), kitab Manasik al-Haj
(membahas permasalahan haji), kitab Fasholatan (membahas permasalahan
sholat), kitab Minhaj al-Atqiya (membahas cara suluk sufistik), kitab Al-Mursyid al-
Wajiz (membahas ilmu al-Qur'an dan ilmu Tajwid). Terjemahan kitab al-Hikam Ibnu
Athoillah juga lahir dari kealimannya. Hampir semua karya beliau ditulis dalam
bahasa Jawa dengan huruf Pegon.

Banyak warisan berharga yang beliau tinggalkan. Kiai yang menjadi guru dari pendiri
NU Kiai Hasyim Asy'ari dan pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan ini wafat
pada tahun 1903 dan dimakamkan di komplek pemakaman Bergota Semarang.

Sumber :

Ulum, Amirul. KH Muhammad Sholeh Darat al-Samarani: Maha Guru Ulama Nusantara. Yogyakarta:
Global Press, 2016.

Hakim, Taufiq. Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad IX-XX,
Yogyakarta; Indes Publishing, 2016.

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916)


Sejarah Islam Indonesia kontemporer tidak akan lepas dari sosok ulama yang
bernama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Beliau adalah guru dari para
Ulama Nusantara, termasuk di antara muridnya adalah KH Ahmad Dahlan (Pendiri
Muhammadiyah), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan Syekh Sulaiman
ar rasuli (pendiri Perti).
Syekh Ahmad Khatib lahir di Koto Tuo, Agam, Sumatera Barat. Saat kecil, ia
memperoleh gemblengan ilmu agama dari ayahnya, syekh Abdul Latif. Setelah
usianya 11 tahun, ia melanjutkan belajar ke mekkah, menimba ilmu ke beberapa
ulama sunni yang masyhur. Di antara guru beliau adalah Sayyid Bakar Syatha,
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-
Makky, dan Syekh Abdul Hadi.

Berkat tingginya ilmu serta alimnya beliau, para Ulama mekkah lalu mengangkatnya
menjadi imam dan khatib di Masjidil Haram. Selain ahli dalam ilmu fikih bermazhab
Syafi'i, syekh Khatib juga mendalam menguasai ilmu falak, sejarah, aljabar, ilmu
hitung, dan ilmu ukur (geometri). Perhatiannya terhadap ilmu mawarits (hukum
waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.
Ia juga pakar dalam geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk memprediksi
dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan
membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini
tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.
Karya keilmuan beliau sangat banyak, diantara ; Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5
jilid, Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah, Al-Qaulul Hashif fi
Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif, Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab, Ar
Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi’i, Al Manhajul Masyru’ fil
Mawarits. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama
menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul,
khurafat, dan adat-adat yang berseberangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi wafat pada tanggal 9 Jumadil Awal tahun
1334 H di Mekkah, Saudi Arabia dan dimakamkan di tempat pekuburan mulia
jannatul ma'la Mekkah.

Sumber ;

Hamim, abdul al-Chatib, Otobiografi Syech Ahmad Chatib Al-Minangkabawi : putra


Minang untuk dunia Islam, Jakarta; Al-Mawardi Prima, 2019.

Ulum, Amirul, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangakabawi : cahaya nusantara di Haramain,


Yogyakarta ; Global Press, 2017.

Dinding 18

(syeh mahfudz, cholil bangkalan)

Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi (1868-1920)

Beliau adalah ulama berkelas dunia yang berperan penting melahirkan para ulama
berpengaruh di Nusantara abad 20. Banyak ulama Indonesia pernah menimba ilmu
darinya seperti syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri, Syekh Mukhtar bin Atharid
al-Bughuri, Syekh Ihsan al-Jampasi, KH. Ma'shum Lasem, KH. Shiddik Jember, KH.
Baedlowi Lasem, KH. Cholil Lasem, dll. Beberapa muridnya bahkan menjadi tokoh
besar seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab Hasbullah (pendiri NU), KH. Mas
Mansur (pendiri Muhamadiyah).

Lahir di Tremas Pacitan Jawa Timur, Mahfudz kecil memperoleh pendidikan agama
dari sang ayah, syekh Abdullah at-Tarmasi. Setelah itu, ia menimba ilmu kepada KH.
Sholeh Darat di Semarang. Lalu ke Tanah Suci, berguru kepada Syekh Muhammad
al-Minsyawi, Syekh Abu Bakar Syatha, Syekh Muhammad Said Bashail, Syekh
Musthafa al-Afifi dan lain-lain.

Beliau menguasai pelbagai disiplin keilmuan Islam mulai dari ulumul Quran, fikih,
ushul fikih, hadits dan qiraat. Karena keluasan ilmunya, beliau diangkat menjadi guru
di Masjidil Haram, dan menyandar gelar terhormat sebagai al-Imam Al-Imam
al-'Allamah al-Faqih al-Ushuli al-Muhaddits al-Muqri. Jika ada daftar ulama
Nusantara yang memiliki karya kitab paling banyak, namanya pasti ada di sana.
Karya kitabnya antara lain ; Al-Badru al-Munir fi Qira`ati al-Imam Ibnu
Katsir (qiraat), Bughyatu al-Adzkiya fi al-Bahtsi 'an Karamati al-Auliya
(tasawuf), Tsulatsiyat al-Bukhari (hadits), Fathul Khabir bi Syari Miftah as-
Siyar (tafsir), Kifayatu al-Mustafid fima 'Alaa min al-Asanid (sanad), Nail al-Ma`mul
bi Hasyiyati Ghayatu al-Wushul fi 'ilmi al-Ushul (ushul fikih), Hasyiyah at-Turmusi 'ala
Manhaj al-Qowim bi Syarhi Muqaddimah al-Hadramiyah (fikih), dan lain-lain.

Syekh Mahfudz at-Tarmasi wafat pada tahun 1920 dan dimakamkan di pekuburan
mulia Jannatul ma'la, Makkah.

Sumber ;

At-Tarmasi, Muhammad Mahfudz (2011). Hasyiyah at-Tarmasi. Darul Minhaj, Jeddah.

Bizawie, Zaenul Milal, Masterpiece Islam Nusantara, Tangeran; Pustaka Compass, 2016.

Syaikhona Kholil Bangkalan (1820-1925)

Beliau adalah mahaguru yang sangat sukses mencetak banyak ulama penting
menjelang Indonesia merdeka. Beberapa muridnya memperoleh gelar pahlawan
nasional yakni KH. M Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, dan KH. R
As'ad Syamsul Arifin. Bahkan, Ir. Soekarno pernah memperoleh 'doa khusus' dari
beliau.

Lahir di bangkalan, Kholil kecil dididik sangat ketat oleh ayahnya, kiai Abdul Lathif
bin Abdul Karim yang nasabnya bersambung ke Sunan Gunung Jati. Setelah muda,
ia belajar kepada Kyai Nur di Langitan, lalu ke pesantren Bangil, Pasuruan. Dari
Bangil ia pindah ke Pesantren Keboncandi, dan belajar ke kiai Nur Hasan di
Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pada tahun 1859 M, ia menuju Mekkah dan berguru
kepada Syekh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid
Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh
Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani.

Mbah Kholil dikenal sebagai ulama ahli fikih, tata bahasa dan tarekat. Beliau menulis
banyak kitab diantaranya ; . al-Matnu as-Syarif (Panduan fikih ibadah), as-Silah fi
Bayan al-Nikah (panduan nikah), Taqrirat Nuzhah Thullab (Kaedah I’rob, gramatika
arab),Tafsir al-Khalil (Terjemah lengkap Al-Qur’an dg makna Jawa pegon dan
catatan pinggir). Beliau juga dikenal sebagai orang yang waskita, weruh sak
durunge winarah. Masa hidupnya tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Dengan caranya, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk
menjadi pemimpin yang berilmu, tangguh dan mempunyai integritas baik kepada
agama maupun bangsa. Beliau wafat pada 29 Ramadhan 1343 H dan dimakamkan
di komplek makam Martajasah, bangkalan Madura.
Sumber

Rifa'i, Muhammad. 2010. KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1820-1923, Yogyakarta ;
Garasi press, 2017.

Bakhri, Syaiful, Syaichona Cholil Bangkalan, ulama legendaris dari Madura. Pasuruan ;
Penerbit Cipta Pusaka Utama, 2006.

Anda mungkin juga menyukai