Anda di halaman 1dari 116

Assalamualaikum,

Alhamdulillah, akhirnya novel pertama saya terbit dan bisa hadir di tangan kamu via
Ebook ini. Oh ya, kamu boleh kok membagikan Novel saya ke teman yang memang suka
membaca. Karena, ini adalah novel yang sarat dengan kisah inspiratif, dan sangat
sayang kalo hanya dibaca segelintir orang saja.

Sedikit tentang tokoh utama di Novel ini, Yoga Prasetya.


Dia adalah sosok pemuda tanggung yang tengah belajar Islam dan Hijrah dari kubangan
kemaksiatan pacaran. Kamu akan lihat bagaimana Yoga berproses menjadi lebih baik
dari hari ke hari.

Artinya, sejak awal Yoga bukanlah panutan yang bisa menjadi suri tauladan kamu para
pembaca. Dia saya gambarkan sebagai pribadi yang rapuh, bingung, dan terombang
ambing diantara hijrahnya dan masa masa jahilnya.

Jadi jangan heran, ketika Yoga suatu ketika bisa mengajarkan Islam dengan baik, tetapi
saat yang lain, dia justru terjebak dengan cinta masa lalunya yang membuat dia tidak
mampu berjauhan dengan perempuan perempuan yang dicintainya. Novel ini
menggambarkan apa adanya kehidupan seorang pemuda sebagaimana banyak kamu
temui disekitar kamu. Poinnya, Yoga bukan Superman hehehehe.

Last but not least,


Novel ini dibuka dengan Bab III dan berakhir di Bab VI. Sengaja hehehehe. Bab I dan
Bab II bisa kamu temukan di halaman belakang. Istilah kerennya, Prequel. Bahkan,
kalopun Bab 1 dan Bab II gak kamu baca, gak papa juga hehehehe. Tapi buat yang
penasaran dengan kisah Yoga dimasa SMA dan bagaimana dia bisa jatuh cinta pada
Rida serta Dela, kamu akan temukan jawabannya di Bab I dan Bab II

Akhir kata,
Selamat Membaca dengan Asyik

Salam dari Penulis,


Irfan Abu Jundi
Kontak Penulis :
Facebook : Irfan Abu Jundi
Instagram : @IrfanAbuJundiOfficial
Website :
www.irfansroniyadi.wordpress.com

Kontak Pembicara area Jawa Tengah


Kang Andi : 0813-2755-3801
-III-
Aku Ingin Kamu

“Aku besok pulang dik..” ujarku ketika kami beristirahat dibawah pohon cemara.

“Kok buru-buru mas ? yaa...kan masih panjang liburannya...” Dela terlihat kecewa.

“Iya, tapi aku kan harus silaturahmi juga ke keluarga di rumah. Masak disini terus dik ?.
Kita yang muda ini, katanya kan banyak dosanya hehehehe” candaku.

Dela tidak menjawab. Wajahnya tidak mampu menutupi kekecewaannya.

“Kali lain, mas main kesini lagi deh. Bener.” Janjiku.

“Beneran ya mas ? besok kalo Pakde kesini, aku bakal bilang biar mas Yoga suruh main
kesini lagi, yang lama, biar aku ada yang ngajari main piano..hehehhehe” Dela
menampakkan senyumnya kembali.

-----------------------------
5 Tahun berselang....
Remaja Islam,
Siapkan dirimu mengisi hidup lebih berarti
Hei remaja Islam,
Jangan terlena kehidupan dunia yang fana...
Hari sudah beranjak sore, jam dinding di atas meja kerjaku telah menunjukkan waktu
pulang, 15.00. Aku membereskan beberapa berkas tes yang baru saja aku buat
laporannya. Masih bisa ditunda untuk diselesaikan besok, dan selanjutnya diserahkan ke
bu Indah, psikolog yang memimpin biro ini, yang bertugas menginterpretasikan hasil dari
tes psikologi calon pegawai baru PT. Nusa Indah yang kami tes 2 hari lalu.
Winamp player yang sejak tadi pagi memutar nasyid Shoutul Khilafah di PC ku segera
ku matikan, selanjutnya shut down, dan mencabut seluruh stop kontak yang berhubungan
dengannya. Suara Adzan dari aplikasi BlackBerryku membelah kesunyian. Aku
merentangkan kedua tanganku, beranjak dari kursi, lalu menuju musholla kantor di
samping ruangan kerjaku. Basuhan air wudhu menyegarkan sendi-sendi yang kaku,
sejenak meluruhkan kelelahan dengan kerumitan perhitungan alat-alat tes psikologi yang
setiap hari kuhadapi. Ditambah hembusan pendingin udara di Musholla, cukup
membuatku khusuk dalam sholat Ashar. Sendirian saja, kebanyakan temanku sudah buru-
buru pulang dan tidak menyempatkan diri sholat Ashar di kantor. Aku sih khusnudzon
aja, rata-rata mereka sudah ditunggu keluarga dan masakan istri yang lezat. Sholat
berjamaah dengan keluarga tentu lebih menyenangkan. Berbeda dengan aku yang sampai
saat ini masih juga sendirian. Belum ketemu yang cocok, atau juga belum ketemu yang
mau. Entahlah. Yang jelas, disetiap doaku di penghujung sholat wajib dan sunnah, aku
memohon dijodohkan dengan seorang perempuan yang sholehah, yang mampu
menerimaku, mencukupkan diriku untuknya, dan dia mencukupkan dirinya untukku.
Aamiin..
Matahari sudah semakin redup di ujung barat mengiringi laju motorku kembali ke rumah
kecilku di perumahan RSS, di tepi kota tempatku mencari nafkah ini. Sudah tiga bulan ini
aku tinggal di rumah sendiri, hasil dari keringatku selama setahun bekerja. Itung-itung
nabung buat berkeluarga dengan istri tercinta. Halah, dengan siapa ? heheheheh. Nanti
pasti ada yang mau. Pasti...tapi belum tau siapa...
--------------------------

“Antum mau menikah akhinafillah ? “ sapaan Ustad Chafid sore itu menggetarkan hatiku,
diikuti bulir-bulir keringatku yang berlahan membasahi ujung jemari. Sore itu bakda isya,
jadwal kelompokku halqoh, bersama ustad mudaku yang murah senyum ini. Ketiga
temanku yang lain belum hadir, dan kesempatan itu dimanfaatkan ustad Chafid
mengajakku bicara dari hati ke hati. Aku terdiam, tapi mataku penuh harap memandang
mata beliau.
“ Kok diam ? atau ada sesuatu yang membuat antum menunda diri untuk menikah ? “
dengan lugas Ustad Chafid melanjutkan pertanyaannya.
“ Tidak ustad. Hanya mungkin belum ada akhwat yang mau menikah dengan saya, “
perlahan aku menjawab.
“Antum punya kriteria idaman untuk seorang istri nantinya ?” begitu lembut suara beliau
ditelingaku.
“Hm,” agak susah bagi diriku untuk menjawabnya. Takut bila dianggap terlalu pilah-
pilih. “Kalau saja saya boleh berharap ustad, saya ingin seorang wanita yang memiliki
kesamaan minat dengan saya, dalam menulis, membaca, dan musik mungkin..., “ aku
menelan ludah, takut kejujuranku membawa petaka. “ Tapi dari itu semua, yang sudah
pasti syarat utama adalah agamanya, ustad. Saya akan memilih muslimah yang taat untuk
istri saya nanti.” Ada getar di sudut-sudut suaraku. Sungguh, aku berharap beliau akan
menawarkan seseorang.
Sejenak keheningan menyeruak diantara kami. Gemetar tubuhku belum juga hilang.
Menanti dengan pasrah apapun tanggapan beliau.
“Ana punya kenalan seorang akhwat, insya Allah sholehah, dan siap untuk menikah.”
ustad Chafid berujar lirih. “Dalam hemat ana, insya Allah cocok dengan antum. Antum
mau bila ana taarufkan dengan beliau ? “ Lagi lagi ustad Chafid menebarkan senyum
khasnya.
Aku hanya bisa mengangguk perlahan dan membalas senyumnya. Mataku pastilah
berbinar-binar menyambut tawaran beliau.
“Assalamualaikum..” dua suara salam mengagetkan kami yang tengah duduk berhadapan.
Ternyata Hari dan Sulaiman baru saja datang, segera mereka duduk mendampingiku di
hadapan ustad Chafid. Firman belum datang. Mungkin ada udzur syar’i.
Sudah sejak kuliah semester 2 aku mulai ngaji dan aktif di lembaga dakwah. Kebiasaanku
ngeband waktu SMA mulai kutinggalkan. Pacaran pun kuputuskan demi taubat dan
menjadi kader dakwah yang baik. Tapi aku tetaplah Yoga, yang suka dengan musik, main
gitar, nyanyi dan menari. Hanya saja, panggung hiburan bukan lagi menjadi duniaku.
Aku masih juga doyan bikin lagu, tapi tidak lagi dipublikasikan. Hanya direkam dan
dinyanyikan sendiri. Sedangkan puisi puisiku cukuplah diupload di blog dan Facebook.
Yang baca ya teman teman sendiri. Aktivitas inilah yang bikin teman-teman dakwahku
heran. Ikhwan kok doyan bikin puisi cinta. Hahahahaha.
-------------------------
“Tiitititititititititiitit...”
Alarm ponsel yang ku setel tiap pukul 3.30 pagi, membangunkanku dari buaian bantal.
Masih pedih rasanya mata, mengingat aku terlalu malam tidur karena mengetik tugas-
tugas kantor yang terpaksa aku bawa pulang. Aku beranjak dan mengambil air wudhu.
Menggelar sajadah, sholat tahajud dan witir. Doa-doa panjangku kuakhiri dengan doa
untuk calon istriku. Aku belumlah mengenalnya, aku meminta agar Allah
mendekatkannya bila dia jodohku, dan menjauhkannya bila dia bukan jodohku. Adzan
subuh masih 20 menit lagi, aku menyempatkan membaca mushaf selama 15 menit.
Selanjutnya berganti pakaian dan sarung, menuju musholla perumahan di belakang
rumah.
Udara dingin menerpa tubuhku ketika pintu rumah kubuka. Aku menggigil. Sejenak aku
membayangkan kehadiran sosok belahan jiwa disampingku. Bila saja dia sudah ada
disini, pastilah dia akan menggenggam tanganku erat, berbagi kehangatan dirinya, dan
dengan tersenyum bersama berjalan menuju musholla. Tapi siapa dia ? aku belum tau.
Aku memang merindukan untuk mengetahui sosoknya segera. Semoga tawaran ustad
Chafid cocok dan kami bisa segera menikah, batinku. Dengan langkah mantap aku
menembus gelapnya subuh pagi itu. Suara adzan menyertai langkah kakiku. Assholatu
khoirum minan naum.....
-------------------
Mentari baru saja terbit dari ufuk, tapi aku telah basah oleh keringat dalam derap lari
pagi. Headset Bluetooth menempel di kedua telinga memutar musik rock yang teralun
lewat ponsel. Bagiku, musik rock meningkatkan gairah lariku dan memberiku semangat
menyusuri jalanan yang terlalui. Ini kebiasaanku sejak tidak lagi aktif kuliah. Kalau dulu
waktu kuliah masih doyan main basket atau sepak bola di lapangan kampus paling tidak
seminggu sekali. Sekarang, kalo gak mau jogging sendiri, ya bakal gampang sakit. waktu
SMP aku terserang sinusitis yang mewajibkan aku untuk aktif berolah raga kalau tidak
mau terus menerus minum obat. Alhamdulillah, dengan olah raga teratur, sinusitisku gak
gampang kumat. 2 km cukuplah. Yang penting tiap hari harus dilakukan, tentu kecuali
hari puasa senin dan kamis.
Selesai jogging, masuk rumah, aku mandi dan berganti pakaian. Ponselku telah berganti
playlist, memutar lagu The Garden milik Take-That, dan suara Mark Owen memenuhi
ruangan rumahku. Sambil bernyanyi kecil aku bersiap-siap. Pukul 7.30 nanti aku harus
sudah sampai kantor. Masih 1 jam lagi.
This is the life we’ve been given
So open your heart to start livin’
We can make a part if we only start
To listen......
---------------------------
2 hari ini aku kerja agak santai. Sejak pagi gak ngapa-ngapain. Blackberry akhirnya jadi
pelampiasan, chatting sama teman-teman masa kuliah, ngomentari status orang di
facebook, dan cekikikan baca bbm konyol di grup.
Selanjutnya aku iseng-iseng searching teman-teman baru di facebook. Ketemu beberapa
akun saudara-saudaraku di Jogja. Dari pola pertemanan mereka aku nemu banyak akun
saudara yang lain. Aku terhenti di sebuah nama yang tertaut dengan nama pamanku.
Dewi Asih. Foto profilnya agak kecil, tapi aku yakin ini adalah Dewi, adik Dela. Aku cek
profilnya, ada banyak sekali nama yang dikaitkan sebagai saudara perempuan. Diantara
sekian banyak itu, ada nama Aqyu Delighful. Dela kah pemilik akun ini ? aku klik,
kulihat foto profilnya yang berkerudung dan berkacamata hitam. Dela!!!
Subhanallah...aku rindu sekali dengan adik sepupuku ini. Aku add, dan aku kirim pesan
di inboxnya :
Yoga Prasetya
Assalamualaikum
ini Dela kan? sepupuku yang lucu? Ya Allah, aku kangen banget, lama gak ketemu, lama
gak kontak.... terakhir pas mbak Meme nikah kan cuma Dewi yang datang ke Surabaya,
iya kan? sudah kuliah ya? hidup dimana sekarang?catat nomer hpku ya, nie 0857 330
88889. nomer hpmu berapa dik, tak tunggu ya, kangen cerita2 kyk dulu....heheheheheeh..

Aku terdiam cukup lama melihat foto profilnya. Dia masih cantik seperti 5 tahun yang
lalu. Tapi apakah dia masih cukup ingat aku ? masih ingat kenangan masa lalu diantara
kami ? masih ingat lagu-lagu yang aku ajarkan dulu waktu belajar main piano ?. dan
masih ingatkah dia bahwa aku pernah jatuh hati padanya ? ah…kenangan masa-masa itu,
bergelayut di benakku. Senyum Dela, pandangan matanya, kemanjaannya, betul-betul
menguasai hatiku saat itu. Del, aku rindu sekali….
Cling! Notifikasi Blackberryku berbunyi. Entah kenapa hatiku deg-degan. Cihui, Dela
menjawab pesanku di inboxnya. Segera aku buka :

Aqyu Delightful
Yeyyee... Alhmdlh ktm juga mas yoga disini. Aku dulu pernah dapat nomernya mas Yoga
tapi kok gak dibales smsku ? ganti hp po mas pantes kok g pnah dbls. dlu aku sms mas
yoga. tp g enek kbre...hehehe. aku skrg ambil kul Akuntansi di Ugm. Ok..ntar klo pas g
sibuk tak telp mas Yoga.
Dela.

Aduh, kok gak dikasih nomer hpnya sih ? pake janji telpon segala, batinku. Kalo ditelpon
nanti malah gak nyaman aku. Takut grogi. Segera aku balas pesan inboxnya, :

Yoga Prasetya
nomermu berapa dik? atau sms aku skrng biar tak simpen. nomerku dulu itu kan pasca
bayar,trus ada masalah tagihan akhirnya tak tutup. Ilang deh semua kontak. Ayo
sms,biar gak lupa lagi...
btw, kenapa sih sekarang pada suka pake nama ngaco ? Dela aja namanya kok meleset
banget, Aqyu Delightful ? ampuuun, susah banget dicarinya. Untung masih ingat
wajahmu dari foto profil. .hihihihihhihi...tak tunggu loh sms se...

tak lama, muncul lagi balasannya,

Aqyu Delightful
Gak usah mas, tunggu aj ntar tak telp..Oke?

Yoga Prasetya
Oke deh… J

Aku terdiam begitu lama di mejaku dan membaca berulang ulang pesan-pesan Dela. Ya
Allah, aku rindu sekali padanya. Perlahan-lahan perasaan cintaku kepadanya kembali
tumbuh. Kenapa dia muncul ketika aku tengah mencari sosok yang bisa menemaniku dan
menjadi istriku ?. Apakah dia yang akan dijodohkan Allah untukku?. Benakku penuh
dengan perandai-andaian yang begitu merajai hatiku 5 tahun yang lalu. Sejak perpisahan
kami terakhir kali di terminal Bus kota Sleman yang membawaku pulang ke Surabaya,
kami tidak pernah lagi bertemu. Meski dulu aku pernah berjanji bahwa aku akan kembali
ke sana, tapi itu tidak pernah terjadi. Nama Dela terhapus oleh gadis-gadis lain yang
menarik hatiku di masa-masa akhir SMK. Lalu setelah kuliah, aku gak lagi pacaran. Aku
tergerak melihat profil Dela di Facebook. Pada kolom hubungan, aku baca : Berpacaran
dengan Andriansyah. Hatiku bergemuruh, menyadari bahwa terlalu sulit bagi perempuan
secantik Dela tidak punya pacar. Aku klik nama cowok itu, dan melihat foto profilnya,
seorang laki-laki yang asyik bermain gitar diatas panggung. Ternyata Dela masih saja
suka dengan laki-laki yang pintar main musik. Perasaan cinta yang tadi sempat
menguasaiku mulai sedikit padam. Ada perasaan tidak rela, tapi bagaimanapun Dela
bukanlah seorang akhwat pengemban dakwah yang tidak kenal dengan istilah pacaran.
Dia cewek biasa, yang tentu tidak kenal dengan dunia dakwah yang kini menjadi
duniaku. Aku tersenyum simpul. Sudahlah Yog, batinku. Kamu kenalan saja dengan
calon yang ditawarkan ustad Chafid, gak usah mikirin Dela lagi. Apa iya dia bisa
menerima dunia dakwah yang begitu menyita waktumu ? dan prinsip-prinsipmu dalam
menjalin hubungan dengan lawan jenis ? Rasional dikit dong...., batinku terus
mengingatkanku. Aku menghela nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba alarm ponselku berbunyi, mengingatkanku untuk sholat Dhuha. Aku beranjak
dari tempat dudukku. Mengambil air wudhu dan sholat Dhuha. Di akhir sholat, aku
menyelipkan doa untuk Dela. Bertanya pada Allah, apakah Dia punya rencana dengan
hadirnya kembali nama Dela di hari-hari sepiku...
------------------------
Aku sedang asyik main internet di PC rumah, ketika ponsel berdering. Tidak ada nama
tertulis. Hanya sederet nomor yang muncul, 0817276767. Siapa ya ? batinku. Kupencet
tombol hijau di ponsel.
“Assalamualaikum,” aku membuka percakapan.
“Waalaikum salam,” suara seorang perempuan. “Apa betul dengan bapak Yoga ?”
“Iya benar. Dengan siapa ya ?” aku sedikit curiga.
“Kami dari kepolisian pak.”
“Oh ya ?”, aku sama sekali tidak percaya.
“Mohon bapak segera melapor ke kantor polisi!”
“Kantor polisi mana nih ?” kejarku.
“Kantor polisi.......kantor polisi..... kota Sleman Jogjakarta..hahahahahaha,” gadis di
telepon itu tertawa.
“Dela!” sahutku. “Sori, gak ketipu aku. Terlalu jelek aktingmu” ejekku.
“Yeee, biarin dong, emang gak pake persiapan kok.” Suaranya masih saja terdengar
manja di telingaku. “Lagi apa mas ? udah sukses ya? Udah punya mobil berapa nih ?
hihihihihi”
“Alhamdulillah, ini lagi di rumah. Udah punya rumah sendiri loh, meski kecil. Kalo
mobil sih masih dititipin di dealer...hahahaha” aku berusaha bercanda meski hatiku kebat-
kebit tak karuan.
“Mas Yoga sekarang tinggal di mana sih ?”
“Malang. Kerja disini. Mau main kesini ?”
“Huuuu, jauh amat. Ntar dimarahin bapak deee. Mas Yoga lama ya gak ke Jogja.”
“Ya...terakhir ketemu kamu dulu itu. Iya udah lama banget.”
“Mas, udah dulu ya. Mahal nih. Beda operator. Hehehehe”
“Iya deh. Sms-an aja ya. Ini nomermu kan ?”
“Iya. Udah ya. Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”.
Malam itu kami berkirim sms puluhan kali. Banyak sekali yang kami bicarakan. Demi
Allah aku rindu kepadamu Del. Apakah kau rasakan hal yang sama wahai pujaan hatiku
di masa lalu ?, batinku terus saja bergejolak dan menyentak-nyentakkan cinta masa lalu.
-----------------------
“Antum sudah siap ketemu dengan akhwat yang ana tawarkan akhi?” malam itu ustad
Chafid datang ke rumah dan langsung membicarakan kemungkinanku untuk hadir dalam
majelis taaruf yang beliau persiapkan.
“Wah, apa gak sebaiknya kami bertukar biodata dan info diri dulu, ustad ?” tanyaku.
Terus terang rada grogi kalau langsung ketemu akhwat yang ditawarkan tanpa sama
sekali melihat foto atau orangnya.
“Gitu ya ?, coba nanti ana tanyakan dulu ke ustadzah beliau,” ustad Chafid
mempertimbangkan usulku.
“Saya sudah buat biodata dan sedikit latar belakang tentang saya, ustad. Mungkin bisa
antum bawa untuk antum tunjukkan ke beliau.” Tawarku.
“Baiklah, coba ana baca dulu, mungkin perlu dikoreksi,” jawab ustad Chafid.
Aku beranjak ke kamar dan mengambil setumpuk kertas yang diatasnya telah aku print
file diriku dan 3 foto tercakep yang aku punya (hehehehe). Tiba-tiba ponselku berdering.
Sms masuk. Aku baca pengirimnya : Dela!. Buru-buru aku baca,
“Hai mas, how are you today ? boleh curhat gak ?”
Aku jawab, “ Boleh aja. Ada apa? Pasti masalah cowok hehehehe. Iya kan ?”
Aku keluar dari kamar dan menuju ruang tamu untuk kembali menemui ustad Chafid.
Ponselku berbunyi lagi,
“hehehehe, iya. Lagi sebel sama Andri. Sebenernya dia baik sih.Cuma ya kadang-kadang
bikin sebel. Eh, mas Yoga gak sibuk nih ?”
Aku duduk di kursi ruang tamu dan menyerahkan biodataku ke ustad Chafid.
“Maaf ustad, “ sela ku, “ saya jawab sms dulu.”
“Silakan,” Ustad Chafid menjawab sambil membaca biodataku dengan serius.
Aku mulai ngetik, “Enggak sih. Cuma di rumah ada tamu. Hm...masalah remaja nih.
Menarik juga. Kenapa emangnya dengan Andrimu tersayang ?” ada rasa cemburu dalam
hati. Tapi buru-buru kutepis. Sent!
Tak lama Dela menjawab.
“Hah? Masalah Remaja ? Sori ya! Usiaku udah 22 tahun! I’m not a teenager anymore!!”
Aku tertawa dalam hati.
“Iya deh, mbak Dela yang udah dewasa... ngakunya udah dewasa tapi gak berani nikah.
Nikah dong, baru bisa dibilang dewasa xixixixixixi..,”
“Glodak. Mas Yoga juga belum nikah kok nyuruh adiknya nikah. Eh, gimana sih. Kalo
gini terus kapan curhatnya coba ?”
“Hahahahaha, iya...sengaja. toh sms gratisan aja. Oke deh, my sweety, what’s goin on ?”
Aku terus saja sms-an dan tertawa-tawa sendiri sembari menunggu Ustad Chafid selesai
membaca biodataku.
“Kayaknya biodata antum sudah bagus, akhi,” tiba-tiba Ustad Chafid mengajakku bicara.
“Oh ya, ustad,” aku tergagap hampir lupa bahwa beliau masih di depanku.
“Asyik bener smsnya. Sama siapa? Cewek ya ?” Ustad mudaku ini mulai menggodaku.
“Eh..,” agak salting juga menjawabnya. “Iya cewek, tapi sodara sepupu kok ustad.”
“Sodara sepupu itu sudah bukan mahram akhinafillah, hati-hati bila berhubungan.”
Beliau mengingatkanku.
“I..iya ustad. Afwan jiddan.” Jawabku.
“Ana pamit dulu ya akhi,” Ustad Chafid beranjak dari duduknya dan mengajakku
bersalaman.
Aku menjabat tangannya erat, “Semoga jadi awal yang baik ya Ustad,” harapku.
“Insya Allah,” beliau tersenyum dan kemudian keluar rumah setelah mengucapkan salam.
Baru saja aku tutup pintu rumah ketika ponselku berdering kembali. Senyumku
mengembang. Aku ambil ponselku dan kubawa kekamar. Malam itu aku sms-an dengan
Dela tentang pacarnya dan banyak hal yang lain.
----------------------
Sabtu malam ahad, pukul 19.00, aku tengah mematut diri di depan cermin. Baju berkrah
warna gelap dan celana kain berwarna senada. Aku semprot minyak wangi di sekujur
badanku. Kacamataku kubersihkan. Jenggot tipis yang mulai tumbuh aku atur agar rapi
dengan gunting kecil. Malam ini insya Allah aku akan menghadiri majelis taaruf di
rumah ustad Chafid. Biodata akhwat yang akan bertaaruf denganku sudah aku terima 3
hari yang lalu. Sekilas dari biodatanya, aku tertarik dengannya. Dan malam ini insya
Allah aku akan memantapkan hati dengan bertemu langsung. Hanya saja, ada yang aneh
dengan perasaanku. Sama sekali tidak ada perasaan cemas ataupun deg-degan. Semua
berlalu biasa saja. Padahal, bila cocok, aku akan bertemu dengan calon istriku untuk
pertama kali. Setelah sholat isya di Musholla, aku memacu motorku menuju rumah Ustad
Chafid. Tidak ada perasaan apa-apa dihatiku. Kering. Tanpa beban......
-----------------------
Malam belum terlalu larut saat aku memasukkan motorku ke dalam rumah. Aku sedih.
Hampir tak tau harus ngomong apa. Ternyata aku tidak mampu jatuh cinta kepada akhwat
yang taaruf denganku. Dia cantik, sempurna untuk seorang akhwat pengemban dakwah.
Tapi hatiku sama sekali tidak tergetar ketika melihatnya. Senyumnya tidak menarik
hatiku. Tutur katanya tidaklah menimbulkan rasa cinta di hatiku. Dia benar benar tidak
bisa klik denganku. Ya Allah, betapa beratnya perasaanku saat ini. Alasan apa yang harus
aku kemukakan untuk menolak meminangnya ?. Dia sempurna, tapi aku tidak
mencintainya. Aku tidak bisa ya Allah. Dan dengan berat hati, aku mengirimkan sms
kepada ustad Chafid untuk membatalkan taaruf.
Cukup lama, ketika ustad Chafid membalas,
“Apa alasan antum membatalkan taaruf dengan beliau ?” nada sms Ustad Chafid agak
keras. Tidak biasanya beliau bersikap demikian. Aku menghela nafas. Aku tidak pernah
melihat Ustad mudaku ini marah, tapi kali ini terlihat bahwa beliau gusar dengan
keputusanku yang sangat mendadak. Pelan-pelan aku mengetik alasan yang aku karang,
berusaha mencari alasan syar’i. Tapi kok maksa. Akhirnya kuhapus dan kubatalkan. Aku
putuskan berusaha jujur,
“Saya tidak bisa jatuh cinta kepada beliau ustad. Saya tidak tahu kenapa. Tapi saya ndak
ketemu cara untuk jatuh cinta kepadanya.” Sent!. Hatiku ketakutan, bahwa ustad yang
sangat kuhormati itu akan marah besar kepadaku.
Hampir setengah jam ustad Chafid tidak menjawab smsku. Aku nyaris tertidur ketika
balasannya masuk ke ponselku.
“Afwan baru balas ya akhinafillah. Tadi si Ais rewel. Okelah kalo memang belum cocok.
Gak usah dipaksakan. Sudah malam, antum tidur dulu. Jangan lupa nanti malam sholat
Tahajud. “
Lega sekali membaca sms balasan ustad Chafid. Ternyata beliau tidak marah. Aku
berusaha memejamkan mata. Tapi ponselku berdering kembali.
“Udah bobok mas ? temenin Dela po’o. Aku gak bisa tidur...”
Sms dari Dela. Senyumku tersimpul di wajah. Aku pencet nomor ponselnya, seketika
nada sambung terdengar.
“Kok mas Yoga nelpon ? gak mahal mas ?” suara Dela terdengar kaget.
“Enggak papa. Lagi pengen denger suara Dela. Lagi galau nih.” Jawabku.
Malam itu kami ngobrol berjam-jam hingga dini hari. Bahkan dia tidak mau menutup
telpon ketika aku berpamitan untuk sholat tahajud. Jadilah dengan headset, aku sholat dan
membaca mushaf. Dela mendengarkan semua aktivitasku lewat ponsel nun jauh disana.
Ya Allah, kenapa justru kepada Dela aku jatuh cinta ?...aku menangis dalam hati.....
-------------------------
“Del, besok akhir bulan aku main ke Jogja boleh? “ sore itu aku menelepon lewat nomer
baruku, yang beroperator sama dengan milik Dela. Lama-lama kalo beda operator bisa
tekor tujuh turunan, dan aku turunan ke sembilan hahahahaha.
“Ngapain mas ke Jogja ? “ Dela curiga dengan pertanyaanku.
“Pengen main dong. Jalan-jalan refreshing. Sama ikhtiar juga,” aku mencoba
memberikan pancingan.
“Aku liat dulu jadwal kuliahku ya.” Jawab Dela. “Eh, kalo seumpama aku gak bisa
nganterin jalan-jalan, mas Yoga kan bisa dianterin Andri. Mau kan ?”
Kacau nih, batinku. Kok pake bawa-bawa nama Andri. Aku gak mau ketemu pacarnya.
Bisa baku pukul nanti..hehehehe.
“Jangan dong,” sahutku. “Aku cuma mau dianterin Dela. Gak mau sama orang lain. Kan
sama ikhtiar juga”
“Ikhtiar apa sih ? “ Dela bertanya menyelidik. “Mas Yoga mau cari istri disini?”
Nah loh, mulai kena nih.
“Iya, memang. Mau ikhtiar. Terus terang aja, aku gak mau dianterin sama sainganku..”
hatiku deg-degan.
“Haaa ? Maksudnya ikhtiarnya sama aku ? Enggak ah..enggak mau aku....”
“Loh kenapa dik ? Apa ada yang salah ?”
“Kita kan sodara mas!!!!!”
“Bukan..kamu cuma sepupu, dan kamu bukan mahramku..” aku bersikeras.
“Tapi enggak bisa mas. Ampuuun...kok sama aku sih...., ampunnnn....” Dela terdengar
panik diujung sana.
“Sekarang Dela pikir dulu deh. Gak usah dijawab sekarang.” Aku berusaha
menenangkan.
“Enggaaaak,” Dela makin panik. “...Aku jawab sekarang ya. Enggak bisa mas. Kita kan
sodara...”
“ Hei, we are Moslems! Dan aku tau syariah. Kamu bukan mahramku dik. Dan kita bisa
menikah.”
“ Tapi aku gak mau maaaasss. Ya ampun mas Yoga kok jadi gini sih...”
“Please deh dik. Aku serius. Kita udah sama dewasa. Kemarin-kemarin kan Dela bilang
bahwa pengen segera nikah, tapi pacarmu masih gak jelas. Aku juga tanya, bila ada yang
lain, yang mungkin lebih baik, apa Dela mau menerimanya, dan kamu jawab pasti mau
mencoba. Sekarang mas tawarkan diri mas, kenapa Dela gak memikirkannya dulu ?
kenapa langsung ditolak ?” berapi-api aku mendebat pernyataannya.
“Tapi aku pikir bukan mas Yoga. Bukan gini mas..” suara Dela melunak.
“Sekarang beri aku kesempatan dik. Berikan aku kesempatan untuk mengenalkan diriku
kepadamu...” ada nada harap dalam ucapanku.
“Kalau aku gak mau gimana ?”
“Belum kenal aku kok sudah ditolak sih? Kamu gak fair dik..”
“Abis mas Yoga kan masih sodaraku...”
“Hei, kamu bukan mahramku. Itu sudah tak jelaskan tadi. Ngapain pake alasan itu lagi.
Alasanmu udah gugur.” Aku membantahnya.
Dela terdiam.” Terserah mas Yoga deh...” akhirnya dia menyerah.
Yes..batinku.
“Aku main kesana ya...let me introduce myself to you...” rayuku.
“Terserah....”
Yes!!!! Sip dah....
------------------------
Malam itu aku qiyamul lail sekitar pukul 02.00 dini hari. Setelah tahajud, witir dan
membaca mushaf, aku hidupkan keyboard pianoku di ruang tamu. Aku mainkan nada-
nada dasar di kunci Am dan E. Ketukan-ketukan nada itu menimbulkan lirik-lirik lagu di
benakku. Penaku berayun lincah diatas kertas menulis nada-nada yang baru saja aku
mainkan. Malam itu hanya Dela yang ada dibenakku. aku ingin Dela hanya untukku.
Hanya untukku.....

Kuingin kau temani berbagi nada ini


Menyusupkan secercah lentera hati
Kulukiskan indahmu diantara malamku
Hangatkan dinginku dikala sepi

Serpihan bertebaran menghanyutkan diriku


Menanti tak kunjung pasti cinta untukku
Kuajak kau berlari melintasi negeri
Hingga kan kuyakini dirimu hanya untukku
Kuberjanji sucimu menerangi gelapku
Kujaga kugenggam menahan rindu

Sekitar pukul 3.00 dini hari, laguku selesai. Aku bangkit dan mengambil ponsel. Sore tadi
Dela berpesan minta dibangunkan untuk tahajud. Aku telepon hingga 3 kali belum
diangkat. Panggilan ke 5, baru terdengar jawaban.
“Uuuh....” suara Dela terdengar berat, bener-bener khas suara cewek bangun tidur.
“Bangun dik..katanya mau sholat Tahajud ?” aku menjawab dengan lembut.
“Iii..ya...ufh...masih ngantuk mas...”
“Ya sekarang bangkit dulu dari tidur. Jangan sambil tiduran lagi. Nanti bablas gak jadi
sholat.”
“Iyaa..ini udah bangun kok.”
“Udah dulu ya. Sholat jangan tidur lagi”
“Iya mas...”
“Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam..”
Aku masuk ke kamar dan berbaring tidur. Alarm kupasang 5 menit sebelum adzan subuh.
Lumayan ada waktu 1 jam untuk sedikit memejamkan mata.
------------------------
Siang hari pada jam istirahat.
“Lagi ngapain dik ?” aku membuka percakapan siang itu lewat ponsel.
“di kosan mas. Lagi ngenet cari bahan kuliah. Mas Yoga gak kerja ?” suaranya terdengar
sedikit ketus. Tidak seperti biasanya.
“Aku ganggu ya ?” tanyaku.
“Lumayan. Aku lagi sibuk nih..”
“Ya udah. Bentar aja kok. Cuma mau beritahu kalo sabtu depan aku jadi ke Jogja.”
“Aduh...kayaknya gak bisa deh mas.” Nada suara Dela terdengar gak enak.
“Loh kenapa ? masak dibatalin ? aku udah kadung ngajukan cuti nih..” sergahku.
“Iya, kemarin bapak ngajakin ke Semarang. Ada acara nikahan mas Yuda di sana. Bapak
itu kalo udah maunya gak bisa ditolak mas. Biar aku lagi ujian juga pasti harus mau ikut.”
“Yaaaa, kok gitu. Sayang-sayang dong aku udah terlanjur cuti. Aku udah siap bawain
gitar buat kamu. Katanya kemarin pengen belajar main gitar ?” aku gak mampu menutup
kekecewaanku.
“Ya gimana dong,....eh beneran mau ngasih Dela gitar ya ? Asyiiik...”
“Kalo gak jadi kesana gimana ngasihnya ? Huuuu.....” aku jadi sebel.
“Ya dikirim aja pake paket hehehehehe” suara Dela merajuk manja.
“Gak mau. Gitar ini harus tak kasihkan langsung ke kamu. Gak mau kalo pake pos”
jawabku.
“Ya kapan deh kalo gitu. Maaf deh. Beneran kalo sama Bapak aku gak bisa nolak.”
“Ya udahlah....Dik, aku mau tanya sesuatu boleh ? “ nada suaraku aku ubah menjadi
serius.
“Apa mas ?”
“Ehm...kamu udah tau kan perasaan mas Yoga ke kamu. Jujur ya, kamu punya perasaan
gak ke mas Yoga ?” jantungku mulai berdetak lebih kencang.
Agak lama Dela terdiam.
“Mas Yoga gak marah kan kalo Dela jujur ?”
“Insya Allah.”
“Dela gak ngerasain apa-apa ke mas Yoga. Cuma tak anggep kakak aja.”
Seketika runtuh seluruh pondasi cinta di hatiku. Remuk redam. Perih rasanya.
“Mas Yoga kok diem ? Tadi kan janjinya gak marah ? ” Dela menyelidik.
“I.i.iya gak papa kok. Itu hak Dela untuk menolakku. “ aku mencoba bersabar. “Benerkan
kamu jujur ? gak punya perasaan apa-apa ke mas Yoga ?”
“Iya..aku jujur. Kalo dulu sih pernah naksir mas Yoga. Tapi itu kan dulu. Jadul banget lah
mas. Udah kelewat lama. Sekarang aku cintanya sama Andri mas. Dan aku udah janji
untuk setia ke Andri.” Dengan lugas Dela menjelaskan hatinya.
“Ya kalo gitu gak ada gunanya aku ke Jogja juga. Udah ditolak sebelum berproses sih.
Tapi tenang aja, gitarnya tetap buat kamu kok. Meski harapanku sih itu gitar untuk calon
istriku.” Setengah mati aku menahan untuk bersikap dewasa.
“Makasih sebelumnya. Mas udah dulu ya, tugasku banyak nih. Gak selesai-selesai entar.”
“Iya...udah deh. Assalamualaikum..” tutupku.
“Waalaikum salam..”
-------------------------------
Malam itu dengan berderai air mata aku menangis dalam doa-doa panjangku setelah
sholat Tahajud. Hatiku begitu perih dan nyeri. Hanya kepada Allah aku berkeluh kesah.
Memohon agar Dia menguatkanku dalam berikhtiar. Memohon agar aku tetap menjadi
orang yang beriman meski sedang sakit hati. Aku tak mampu lagi menahan semua keluh
kesah yang tersumpal di dada. Dan air mata tak juga berhenti menetes dari buliran
kelopak mataku.
Ya Allah, hanya kepadamulah aku menyerahkan semua perkara. Aku telah melanggar
taubatku sendiri untuk tidak lagi melanggar syariahMu. Aku ternyata masih sangat
rapuh bila berhadapan dengan cinta. Aku masih belum mampu mengenali syariahMu
yang Sempurna, yang seharusnya tetap aku pegang meski itu sepanas bara api yang
membakar telapak tanganku. Seorang akhwat yang datang menawarkan dirinya, yang
begitu suci, yang aku sangat yakin belum pernah tersentuh oleh orang lain, malah aku
tidak mampu mencintainya. Tetapi kepada Dela, yang tidak lebih seorang perempuan
muslimah biasa, yang belum mengenal syariahMu tentang bagaimana berhubungan
dengan lawan jenis, aku begitu terpesona. Aku begitu tergoda, meski aku tau seharusnya
aku tidak boleh meneleponnya, menggodanya, merayunya. Betapa aku ini bodoh ya
Allah. Kitab-kitab ulama telah ku kaji, telah pula kuajarkan kepada orang lain, tetapi
ternyata aku sendiri tidak mampu menjaga diriku sendiri dari dosa. Aku ini orang
munafik yang berwajah pendakwah. Ya Allah, ampunilah aku..ampunilah dosaku ya
Allah, sungguh aku adalah orang yang merugi
Ya Allah, bila memang Dela bukanlah jodohku, maka jauhkanlah dia dari diriku, dan
bila dia jodohku, maka dekatkanlah dia kepadaku. Jauhkanlah Andri dari sisinya, bila
memang engkau takdirkan dia menjadi istriku. Aku berjanji ya Allah, tidak akan
menyentuh kulitnya sebelum dia menjadi halal bagiku. Demi cintaku kepadanya, akan
kujaga kesuciannya, bahkan dari tanganku sendiri, hingga Kau halalkan dirinya bagiku.
Bila Dela memang kau sediakan untukku ya Allah, maka jadikanlah dia seorang
muslimah sejati melalui tanganku. Jadikanlah aku mampu mendidiknya, menjadikan
dirinya sebagai seorang pejuangMu, menjadi pendidik bagi anak-anakku. Ya Allah,
sungguh dia memiliki semua kriteria yang aku inginkan sebagai seorang istri. Seorang
yang bisa memahamiku bukan hanya dari sisi pengemban dakwah saja, tetapi juga
kecintaanku pada seni, kecintaanku pada puisi-puisi, kecintaanku pada musik. Ya Allah,
aku benar-benar mampu mencintainya. Tapi semua aku serahkan kepada kehendakMu ya
Allah, Wa makaru makarullah, wallahu khoirum makirin...Sesungguhnya hanya diriMu-
lah sebaik-baik pembuat rencana, maka ampunilah aku.....aamiin....
----------------------
“Yoga!!!” suara yang sangat kukenal memanggilku di tengah kerumunan peserta
Konferensi Pengemban Dakwah yang kuhadiri siang itu. Reflek aku menoleh. Seorang
lelaki berpawakan kurus dan berkulit hitam tengah berseri-seri mengejarku.
“Zul! Zulkarnain!!! Subhanallah!!!! Ahlan wa Sahlan ya akhina fillah!!” seketika aku
peluk sahabat lamaku ini. Kurapatkan tanganku di punggungnya, kuusap-usap, demi
menghapus rasa rindu padanya. Zulkarnain lah yang mengenalkan lembaga dakwah
kepadaku saat Ospek mahasiswa baru di kampus dulu. Kini dia telah menikah. tapi aku
tak melihat istri dan anaknya mengikutinya, entah dimana.
“Ana bi khair ya akhina fillah.., wa anta ? Sudah menikah ? ” Zul masih saja berseri-seri
menatap mataku yang berbinar-binar.
“Belum..,” aku menjawab agak malu. “Carikan dong akhi..” rajukku
“Gampang...nanti tak titipkan istriku..” Zul masih terus mengembangkan senyumnya.
“Payah nih... dulu ngetop sebagai “Iga” kok sampe sekarang belum juga nikah ?” tukas
Zul sekenanya.
“Apaan Iga ?”
“Ikhwan Ganteng..hahahahahahaha.” kami pun terbahak bersama.
“Tapi bener ya, dicariin.” Ulangku. “Gak enak nih, masak yang lain udah pada punya
anak, aku masih aja sendirian,”
“Beres bos...ndang bikin biodata deh. Nanti tak kenalkan akhwat istimewa..”
“Bener ?”
“Insya Allah bener!!”
“Alhamdulillah ya Rabb...” aku bersyukur dihadapan Zul.
--------------------------
Bulan Ramadhan. Dan sudah dua bulan berselang sejak pertemuanku dengan Zul di
konferensi , tapi hingga kini Zul belum juga kasih kabar. Biodata yang dulu sempat aku
buat juga sudah aku kirim lewat email. Mungkin Zul sibuk, batinku. Anaknya sudah dua,
ditambah pekerjaannya sebagai akuntan di pabrik kayu pasti betul-betul menguras otak
dan tenaganya. Aku bersabar dalam hati. Bulan puasa hampir habis, 2 hari lagi sudah Idul
Fitri. Aku berencana pulang ke rumah Mbah di Jogja. Bukan untuk ketemu Dela. Benar-
benar ingin sungkem ke Mbah, yang sudah lebih dari 5 tahun tidak ketemu sama aku,
cucu kesayangannya. Aku sudah cukup lama melupakan Dela. Mungkin memang belum
jodoh. Pasti dia makin mesra aja sama Andri. Bukan untukku, mungkin, batinku merubah
lirik lagu yang kubuat dulu.
Sore setelah pulang dari kerja, aku kemasi baju-bajuku. Liburan seminggu di Jogja
semoga menyegarkan otakku. Silaturahim ke saudara-saudara yang sudah tentu ngumpul
disana, hm..betapa menyenangkan. Malam itu sebelum aku berangkat, aku telepon adikku
di Surabaya, memberitahukan kalo aku gak mudik ke Surabaya tapi ke Jogja, karena
kangen sama Mbah. Bapak dan Ibu gak mempermasalahkan kepergianku. Hati-hati,
begitu pesan mereka. Tidak lupa gitar yang dulu aku janjikan untuk Dela aku bawa.
Bagaimanapun janji adalah hutang.
Dari terminal bus terdekat dari rumah, aku dapat bus patas menuju Jogja. Alhamdulillah,
gak desek-desekan. So long Malang City...wait, I’ll be back soon....
---------------------
2 hari sudah berlalu sejak Idul Fitri. Beberapa keluarga yang tadinya ngumpul di rumah
mbah perlahan-lahan pamit dan balik ke kota masing-masing. Tinggal aku sendirian.
Sedangkan keluarga Om Priyo, bapak Dela belum juga datang. Menurut Mbah mereka
ber Idul Fitri di Semarang, di rumah orang tua Om Priyo. Janjinya sih nanti sore baru
sungkem di Jogja. Aku tidak terlalu ambil pusing. Malah kebeneran udah sepi, aku bisa
konsen ngabisin makanan sisa lebaran yang masih bergeletakan di meja ruang tamu
hehehehehe.
Baru saja aku mau beranjak ke kamar untuk rebahan, ada suara mobil memasuki garasi
rumah Mbah. Siapa ya ? aku buru-buru keluar. Maklum aja, sejak rumah mbah sepi gak
ada orang, aku yang bagian nemuin tamu yang datang. Baru setelah dipersilahkan duduk,
Mbah akan keluar sambil cengar-cengir hehehehehe. Payah bener.
Mobil hitam keluaran terbaru, kaca penumpangnya gelap, aku bener-bener tidak
mengenali. Sejenak aku masih menanti siapa gerangan yang punya mobil, ketika pintu
belakang mobil terbuka. Darinya, keluar seorang gadis berkerudung ungu, senada dengan
warna baju kurungnya. Dela! Pekikku dalam hati. Kemudian berturut-turut Om Priyo,
Tante Wati dan sudah pasti dik Dewi keluar dari mobil.
Om Priyo langsung memelukku, terasa hangat, dalam hatiku berdoa, ya Allah, jadikan dia
bapak mertuaku.
“Sehat Yog ?” tanya Om Priyo.
“Alhamdulillah Om. Pangestunipun..” jawabku.
Kucium tangan suami dari adik bapakku ini. Kemudian Tante Wati menyentuh pipiku,
“Sudah gede kamu Yog.” Ujarnya.
Aku Cuma tersenyum sembari mencium tangannya. Dik Dewi kemudian menyalamiku.
Aku terpaksa menerima tangannya. Lalu Dela, mendekat, mata kami sempat beradu.
Seketika sebongkah es mencair di dalam dadaku. ya Allah aku merindukannya, batinku.
Dela meraih tanganku, lagi-lagi aku tak kuasa menolak. Diciumnya tanganku lembut.
Aku tergetar dalam diam. Saat itu aku teringat janjiku,
“Oh ya dik, gitar yang dulu aku janjikan aku bawa loh. Tuh ambil aja di kamar,”
Dela hanya mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku duduk di ruang tamu
bersama Om Priyo dan Mbah kakung. Kami ngobrol berbagai hal, sesekali aku menjawab
pertanyaan dan Om Priyo memberikan banyak nasehat tentang pekerjaanku.
Aku diam-diam beringsut masuk ke ruang tengah setelah mereka tidak lagi banyak
menanyaiku. Aku masih ingin bertemu Dela.
Di ruang tengah, Dela dan adiknya nonton TV, aku duduk di depan mereka. Mata
mereka terpaku ke layar TV, sedangkan aku tak mampu mengubah arah mataku ke arah
Dela. Aku ingin bicara tapi khawatir mengundang curiga adiknya. Aku raih ponselku dan
mengetik, “Kamu makin cantik, Del. Mas Yoga kangen banget sama kamu.” Sent!
Dela terkejut ponselnya berbunyi. Dibaca, dan matanya mengerling ke arahku.
Tersenyum sedikit, lalu membalas.
“Udah deh...gak usah nggombal lagi. Gak mempan hihihihi”
Aku tersenyum, buru-buru ku balas,
“Lowongan jadi istriku masih dibuka loh. Gak mau mencoba ?” Sent!
“Enggak. Enggak pokoknya.” Jawabnya lewat sms.
“Bener ? Gak takut nyesel menolakku ? Kamu belum kenal aku loh, gak takut nyesel ?”
Sent!
“Tau ah.” Jawabnya singkat lewat sms.
Aku tersenyum membaca balasannya. Mataku kembali ke arah Dela, tak kusangka Dela
balik memandangku dan tersenyum. Ya Allah, cantik sekali.
Aku tulis sms lagi,
“Gitarnya kok gak diambil di kamar ? aku pengen tau Dela udah bisa kayak gimana main
gitarnya,” Sent!
“Mas aja yang main. Dela nonton aja. Gimana ?” balasnya lewat sms.
Aku bangkit dari kursi, beranjak ke kamar mengambil gitar yang kubawa. Aku duduk di
samping Dela, dan mulai mainkan beberapa nada. Kupancing Dela menyanyi dengan
lagu yang aku tau disukai Dela.

Berulang kali kau menyakiti, berulang kali kau khianati


Sakit ini coba pahami, ku punya hati bukan untuk disakiti.........
Kuakui sungguh beratnya meninggalkanmu yang dulu pernah ada
Namun harus aku lakukan karena ku tahu ini yang terbaik...
Kuharus pergi meninggalkan kamu
Yang telah hancurkan aku, sakitnya sakitnya oh sakitnya.....
Cintaku lebih besar dari cintanya mestinya kau sadar itu
Bukan dia bukan dia tapi aku....
Jangan dia, jangan dia, cukup aku........

Lirih sekali suara Dela mengikuti lirik lagu yang kunyanyikan. Aku tau dia menyukainya.
Kutawari dia untuk memainkan gitarnya. Tidak mau. Akhirnya aku terus memainkan
gitar itu disampingnya. Kenangan 5 tahun silam kembali menyelimuti benakku. Bedanya,
Dela benar-benar ada disampingku sekarang, tidak seperti kemarin ketika aku
mengingatnya sendirian di hari-hari sepiku.

---------------------
“Kamu udah yakin dik sama Andri ? yakin mau jadi istrinya ?”
Sore itu kami bermain kartu di depan TV. Om Priyo menemani tapi kemudian terlelap di
di kasur dekat kami.
“Belum, mas.” Dela menjawab dengan muka tidak nyaman. “ Aku tunggu setaun ini
kalau dia tidak juga melamarku akan aku tinggal. Take it, or leave it” tegas Dela.
“Hm, boleh aku menanti masa itu datang ?” tanyaku.
“Mas Yoga gak pengen cari yang lain ? “ Dela balik bertanya.
“Aku memilihmu dik..,” jawabku.
“Terserah mas Yoga. Aku gak berani janji apa-apa.”
“Kalo kamu gak yakin dengan Andri, kenapa tidak membuka hati untuk yang lain ?” aku
kembali menanyakan isi hatinya.
“Aku berusaha untuk setia mas.” Sendu Dela menjawab pertanyaanku.
Kami terdiam sekian lama. Asyik dengan kartu masing-masing. Hingga aku kembali
berujar,
“Besok aku pulang dik. Mau anterin ke terminal ? “ tanyaku.
“Besok Bapak sama Ibu mau pergi. Gak ada mobil mas,”
“Naik taksi aja. Ajak dik Dewi menemanimu. Bisa ya ?”
“Oke deh. “
----------------------
Sore menjelang Ashar, taksi yang kami panggil datang ke pelataran rumah mbah Kakung.
Setelah memasukkan barang-barang bawaan ke bagasi, aku berpamitan ke Mbah kakung
dan Mbah Putri. Mbah Putri berkali kali menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
Banyak pesan disampaikan saat aku berpamitan. Dua sepupuku sudah masuk dan menanti
di dalam taksi. Rapi pamitan, aku masuk ke taksi. Dik Dewi duduk di depan, disamping
supir. Terpaksa aku duduk disamping Dela di jok belakang. Hatiku kembali berantakan
harus duduk berduaan dengan Dela. Musik dari audio taksi mengalun mengiringi
perjalanan panjang dari desa rumah mbak Kakung ke Terminal kota Jogja, lagu-lagu
masa kini yang aku kurang ngerti siapa penyanyinya. Dik Dewi, yang duduk di depan,
begitu menikmati perjalanan sembari menyanyi lirih mengikuti lirik lagu yang diputar.
Sedangkan Dela duduk disampingku dan terdiam cukup lama. Aku menoleh ke arahnya
dan menyaksikan matanya yang sayu, seolah tengah memikirkan sesuatu. Aku terpaku
cukup lama hingga Dela menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya. Refleks
jarinya menyentuh pipiku perlahan, memalingkan mukaku agar tidak memandangnya. Ya
ampun, aku beristighfar dalam hati. Aku pria normal, dan lagi-lagi imanku runtuh di
hadapan Dela.
Sejak tadi, tangan Dela sangat dekat di samping tanganku sendiri. Entah sengaja entah
tidak, beberapa kali tangan itu menyentuh tanganku. Menyentuh jemariku. Aku tidak
bereaksi. Aku tidak bisa dik, batinku. Aku tidak akan menyentuhmu, hingga kau halal
bagiku. Maka tanganku tetap saja tak bergerak, meski bila aku mau, takkan susah
menggenggam tangannya.
“Mas, tau lagu ini ?” tiba-tiba Dela berhenti melamun dan ikut berdendang mengikuti
lagu yang tengah diputar.
“Lagu siapa ? gak ngerti..” jawabku jujur.
“Nikita Willy, liriknya pas nih...” Dela menyunggingkan senyumnya. Dengan
mendekatkan mulutnya lebih dekat ke telingaku, Dela menyanyikan lirik lagu Nikita ,

Bergetar hati ini saat mengingat dirimu


Mungkin saja diri ini tak terlihat olehmu
Aku pahami itu
Bagaimana caranya agar kamu tau bahwa
Kau lebih dari indah di dalam hati ini
Lewat lagu ini ku ingin kamu mengerti
Aku sayang kamu, ku ingin bersamamu
Meski ku tak pernah tahu kapan kau kan mengerti
Kucoba tuk berharap.....

Berbunga-bunga hatiku mendengar Dela menyanyikan lagu itu disampingku secara


langsung. Darahku berdesir dan kurasakan jantungku semakin cepat berdetak. Ya Allah,
apa maksud semua ini ? aku sudah berusaha melupakannya, tapi sekarang dia malah
menyanyikan sebuah lagu pernyataan cinta ?.
Sejenak lagu Nikita berakhir. Sebuah lagu baru tengah diputar. kali ini aku sangat kenal.
Maka aku pun bernyanyi seolah akulah Pasha Ungu, dan Dela melanjutkan disampingku,
seolah dialah Andien yang menemani Pasha bernyanyi.....
Saat bahagiaku
Duduk berdua denganmu
Hanyalah bersamamu
Mungkin aku terlanjur
Tak sanggup jauh dari dirimu
kuingin engkau selalu....

Tuk jadi milikku, kuingin engkau mampu, kuingin engkau selalu bisa
Temani diriku, sampai akhir hayatku, meski itu hanya terucap dari mulutmu
Dari dirimu yang terlanjur mampu, bahagiakan aku hingga ujung waktuku
Selalu.....

Seribu jalanpun kunanti


Bila berdua dengan dirimu
Melangkah bersamamu
Kuyakin tak ada satupun
Yang mampu merubah rasaku untukmu
Kuingin engkau selalu.

Aku pandang matanya untuk kesekian kali. Kali ini dia memandangku dengan lembut. Ya
Allah, apa rencanamu kepada kami ? lagi-lagi aku beristighfar....
--------------------
Terminal Bus kota Jogja, menjelang Isya.
“Aku pulang dulu ya dik,” ujarku, sembari berdiri disamping pintu masuk bus yang akan
berangkat. Kupandang kembali mata Dela yang begitu sendu, seolah menyesali
perpisahan kami. Dela hanya mengangguk membalas pamitanku.
“Aku ingin kamu mendengar langsung dari mulutku dik,” aku melanjutkan kata-kata
perpisahan.
“Apa mas ?”
“You always know, I love you...” jawabku.
Dela terdiam. Aku tidak perlu menunggu jawabannya. Aku beranjak naik ke atas bus
yang sudah menanti. Tapi Dela memanggilku sebelum aku terlalu jauh naik ke dalam
bus.
“Mas,” Dela bersuara lirih.
“Apa dik?”
“I love you too...”
Hah!, aku tidak tahu harus bersyukur atau beristighfar. Jelasnya, aku tak bisa terlalu lama
menunggu dipintu bus. Aku beranjak masuk dan melihat Dela melambaikan tangannya
kepadaku. Aku akan segera kembali mengkhitbahmu dik, janjiku dalam hati.
Baru saja aku menghempaskan tubuhku di kursi bus yang tersedia, ketika Blackberryku
berbunyi menandakan email masuk. Kubaca sebuah file attachment bertajuk “Biodata”.
Belum sempat kubaca, ada sms masuk di ponsel. Dari Zulkarnain,
“Aslm akhi. Afwan baru bisa balas sekarang. Barusan email biodata akhwat yang ana
janjikan ana kirim. Silakan dibaca, bila antum tertarik, bisa berlanjut ke majelis Taaruf.”
Ya Allah!!!!

IV-
Kamu, Hanya Untukku
Langit kota Jogja mulai memerah ketika taksi yang kami tumpangi mendekati terminal
Jombor. Barisan bis memenuhi jalur-jalur luar kota yang penuh penumpang, khas arus
balik mudik lebaran. Aku mengeluh dalam hati. Rasanya masih berat harus berpisah
dengan Dela. Apalagi setelah lagu-lagu yang kami nyanyikan bersama, aku merasakan
ada yang berbeda dengan sikapnya. Kulirik Dela yang duduk disampingku, mengangkat
ponselnya keatas dan mengarahkan kameranya ke arah kami. Kepalanya diletakkannya di
pundakku, tersenyum dan berpose. Aku terkejut, tapi tak urung ikut tersenyum pula
menghadap ke arah kamera.
Klik.
“Yah, kok buram..” Dela mengeluh melihat hasil foto kami berdua.
“Huuu, ponsel jadul sih...” aku mengejek sembari menahan senyum. “Pake Blackberryku
aja. Kameranya ada self timer dan autofocus,” ujarku.
Dela tak menjawab, tubuhnya makin merapat di sampingku. Aku angkat Blackberryku
ke atas, dan Dela berpose-pose lucu di sampingku. Aku hanya tersenyum, kontras
dengan pose-pose lucu Dela. Bukan gak mau, tapi hatiku lagi nervous dan hanya senyum
yang bisa kutampakkan.
Klik, klik... Lebih dari 7 foto yang tercipta lewat ponsel Blackberryku. Dela langsung
memeriksa hasilnya, yang gambarnya tidak bagus dia delete. Aku diam, sibuk dengan
perasaanku sendiri. Sudah terlalu lama aku tidak pernah berduaan dengan perempuan
yang bukan muhrimku. Sedang Dela tampak nyaman duduk begitu dekat denganku.
Mungkin ini hal yang biasa baginya, tidak bagiku. Ya Allah, berat sekali cobaanMu, aku
beristighfar tanpa henti.
---------------------
“Sholat Maghrib yuk. Cari musholla dekat sini pasti ada,” aku mengajak kedua adik
sepupuku, ketika kami telah duduk di bangku ruang tunggu terminal.
“Aku lagi gak sholat mas. Aku disini aja, nungguin barang-barang mas Yoga.” Tawar dik
Dewi, adik Dela yang menyertai perjalanan kami.
“Ya udah. Ati-ati ya.” Pesanku. Aku beranjak menuju seorang petugas terminal dan
menanyakan letak musholla. Dela mengikutiku di belakang.
“Mas, ke toilet dulu,” saran Dela.
“Iya, aku juga pengen ke toilet kok. Kamu duluan deh. Tak tungguin” ujarku.
Dela melepas jaket dan menyerahkannya kepadaku. Tasnya di kalungkan ke leherku.
“Bawain ya mas. Aku ini cewek manja loh. Jangan kaget kalo sama aku,” matanya
mengerling jenaka. Bergegas dia menuju toilet di samping musholla terminal.
Mataku menerawang selepas Dela menghilang dibalik pintu. Kenapa Dela begitu hangat
kepadaku sekarang ?. Padahal ketika kami menghabiskan malam-malam bermain kartu di
rumah mbah, dia bersikap dingin. Bahkan masih sempat telpon-telponan dengan Andri,
pacarnya, di depanku. Misterius sekali gadis ini, batinku.
Cukup lama ketika Dela akhirnya keluar dari toilet. Giliranku, akupun melepas jaket dan
memakaikannya di tubuh Dela.
“Biar jaketku bau kamu. Jadi hangat kan nanti di jalan,” selorohku. Dela hanya
tersenyum. Aku bergegas masuk ke toilet. Tak lupa mengambil air wudhu sebelum
keluar.
Kami menuju musholla dan melakukan sholat maghrib. Aku mengimami, Dela berdiri
sedikit di belakangku. Tidak ada orang lain di musholla. Hanya kami berdua. Aku
melanjutkan dua rakaat untuk jamak sholat Isya. Dela menunggu hingga aku selesai
berdzikir. Sebelum kami beranjak, Dela meraih tanganku dan menciumnya. Lembut dan
perlahan. Aku terhenyak. Aku merasa seperti seorang suami yang dihormati oleh istrinya.
Dela pandai sekali membuat aku terus dihantui oleh perasaan cinta. Sadarkah kau dengan
apa yang kau lakukan dik ? untuk sekian kalinya aku menggumam dalam hati.

----------------------

Terminal Bus Jombor, kota Jogja, menjelang Isya.


“Bolehkan aku main ke Jogja lagi?” tanyaku kepada Dela sembari berjalan menuju bus
jurusan Surabaya yang akan kutumpangi.
Dela menghela nafas perlahan, tidak langsung menjawab pertanyaanku. Tangannya justru
memain-mainkan ujung jilbabnya.
“....Bo..leh,....” Lirih sekali, hampir tak terdengar. Ada sorot keraguan di matanya.
“Aku akan kembali dik. Suatu saat nanti.” Janjiku. “Karena aku yakin kamu akan
menjadi milikku. I”ll be the winner. I promise you..”
Dela terdiam. Bahkan matanya pun tak mampu membalas pandanganku.
Aku naik keatas bis dan menoleh kembali kepadanya.
“Aku pulang dulu ya dik,” ujarku berpamitan. Kupandang kembali mata Dela yang
sendu, seolah menyesali perpisahan kami. Dela hanya mengangguk membalas pamitanku.
“Aku ingin kamu mendengar langsung dari mulutku dik,” aku melanjutkan kata-kata
perpisahan.
“Apa mas ?”
“You always know, I love you...” jawabku.
Dela terdiam. Aku tidak perlu menunggu jawabannya. Aku beranjak naik ke atas bus
yang sudah menanti. Tapi Dela memanggilku sebelum aku terlalu jauh naik ke dalam
bus.
“Mas,” Dela bersuara lirih.
“Apa dik?”
“I love you too...”
Hah!, aku tidak tahu harus bersyukur atau beristighfar. Jelasnya, aku tak bisa terlalu lama
menunggu dipintu bus. Aku beranjak masuk dan melihat Dela melambaikan tangannya
kepadaku. Aku akan segera kembali mengkhitbahmu dik, janjiku dalam hati.
Baru saja aku menghempaskan tubuh di kursi bus yang tersedia, ketika Blackberryku
berbunyi menandakan email masuk. Kubaca sebuah file attachment bertajuk “Biodata”.
Belum sempat kubaca, ada sms masuk di ponsel. Dari Zulkarnain,
“Aslm akhi. Afwan baru bisa balas sekarang. Barusan email biodata akhwat yang ana
janjikan ana kirim. Silakan dibaca, bila antum tertarik, bisa berlanjut ke majelis Taaruf.”
Ya Allah!!!

-----------------------------

Bus Jogja-Surabaya melaju dengan kecepatan sedang, membelah udara dingin malam.
Tetapi tanganku basah oleh keringat, melicinkan casing Blackberry yang kugenggam
sejak tadi. Sms Zulkarnain adalah sms yang sangat kutunggu sejak 2 bulan yang lalu.
Tapi kini kabar itu menjadi petaka bagiku. Awan gelap menggelayut di atas kepalaku,
menghancurkan bunga-bunga yang bermekaran karena hadirnya sosok Dela. Layar
sentuh Blackberry makin basah oleh keringat kebingunganku. Perlahan aku membuka
file attachment bertajuk “Biodata” dari email Zulkarnain. Bismilillahirrohmanirrohim....
Sejenak file itu terdownload, dan aplikasi WordToGo bekerja. Tak sampai 2 detik,
filenya terbuka.

Assalamu’alaikum wr wb

BIODATA
Nama : Anita Sukmawati
Status : Single
TTL : Lamongan, 21 Mei 1985
TB/BB : 155cm/ 43Kg.
No. Ponsel : 0857 363 11 229
Alamat : Jl. Panglima Sudirman No.12 Rt 1 Rw 2 Sukodadi, Lamongan.
Pend. Terakhir : D3 Farmasi Institut Adhi Husada Solo 2007
Pekerjaan : Asisten Apoteker Apotek Bhakti Farma, Lamongan
............

Rasa ragu dan nervousku pelan-pelan luntur demi membaca paragraf demi paragraf
deskripsi diri milik Anita. Bahasanya lancar dan runtut, enak dibaca. Selipan humor
disana sini, mau tidak mau membuatku tersenyum. Ada perasaan sejuk yang menyelinap
di hati. Dia seorang wanita yang istimewa. Tidak salah Zulkarnain menawarkannya
padaku. Cukup panjang deskripsi diri yang dituliskan untukku. Di bagian akhir Anita
memberikan harapan-harapannya dimasa depan.
And some hopes…

Setelah saya adakan riset kecil2an mungkin saya termasuk tipe wanita rumah - an yg
dinamis. Maksudnya setelah menikah nanti saya pengen maksimal di ranah domestik
saja. Jadi istri sholihah untuk suami saya, ibu yg baik untuk anak2 saya kelak, menantu
yang mampu memberikan kontribusi yang baik bagi keluarga besar suami, pastinya
tanpa melalaikan tugas & kewajiban saya yg laen sebagai hamlud dakwah ya! Punya
usaha sendiri boleh juga asal ga’ menyita sebagian besar waktu. Tujuannya selain
sebagai sumber dana juga untuk menyalurkan bakat biar ga’ boring di rumah,
aktualisasi diri n’ up grade kemampuan diri.

Saya berharap pula baik suami dan keluarga besarnya nanti dapat menerima saya
dengan hati dan tangan terbuka, ikhlas menerima saya apa adanya, menyayangi saya
layaknya anak sendiri dan memaklumi sagala kekurangan yg ada pada diri saya. Semoga
dengan dilandasi keimanan dan mengharap ridhoNya semata, besar harapan saya
kepada suami saya kelak untuk dapat mencintai saya baik lahir maupun batin, secara
terang2an maupun tersembunyi, didepan maupun dibelakang saya, mampu menjadi
imam yang senantiasa saya ikuti & taati sepanjang dalam koridor syar’i, guru tempat
saya bertanya dan menimba ilmu, kakak yg melindungi dan mengayomi, teman
seperjuangan dalam dakwah yg senantiasa menasehati, saling menguatkan, mendukung
dan memberi motivasi, partner dalam membina bahtera rumah tangga, sahabat dikala
suka maupun duka tempat berbagi cerita dan tawa, serta belahan jiwa saya yg
senantiasa menghadirkan saya dihatinya meskipun raga saya sedang tidak bersamanya.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan tentang pribadi saya, tentu masih banyak hal – hal
lainnya yang belum terangkum disini, namun semoga informasi – informasi diatas
bermanfaat dan membantu antum dalam mengambil keputusan. Atas perhatiannya saya
ucapkan jazakumullahu khairon katsir.

Wassalamu’alaikum wr wb

Anita Sukmawati

Aku terngiang pada keadaanku beberapa bulan yang lalu. Ketika itu aku tidak memiliki
siapapun sebagai calon istriku. Dan sekarang, justru mereka datang bergelombang.
Sebagian hatiku masih condong untuk Dela. Tapi kekuatan tulisan Anita mengambil
separuh isi hatiku. Aku bingung, dan aku tak tahu harus memilih yang mana. La haula
wala quwata illa billah....
-----------------------
Terminal Bungurasih, Surabaya. Jam 4 dini hari.
Aku turun dari bus dengan menahan kantuk. Hanya, hatiku lebih tenang. Kebingungan -
kebingungan yang kualami telah larut dalam tidur malam di sepanjang perjalanan. Aku
bergegas menuju musholla untuk sholat subuh. Ramai sekali terminal pagi itu. Arus balik
mudik lebaran membuat terminal terbesar di Jawa Timur ini makin tak pernah tidur.
Orang-orang yang tidak kebagian bus bergeletakan di sudut-sudut terminal dan ruang
tunggu. Musholla penuh orang. Sudah ada yang memulai sholat jamaah, dan
alhamdulillah, aku tidak terlambat untuk rakaat pertama. Aku sholat dengan khusyuk.
Setelah berdzikir, aku meminta petunjuk Allah atas hal-hal yang tidak mampu kupilih.
Kuakhiri dengan doa pagi dan petang sebanyak tiga kali, Bismillahi ladzi la yadzuru
ma’as mihi syai’un fil ardzi, wala fis sama’i wa huwas sami’ul alim....aamiin....
Aku bersemangat menuju area keberangkatan bus kota, mencari jurusan Jembatan
Merah. Masih banyak bangku kosong saat aku naik. Seperti biasa, tak butuh waktu lama
bagi bus kota jurusan ini untuk terisi penuh penumpang dan berangkat. Udara dingin kota
Surabaya di pagi hari tidak membuatku kedinginan. Bagi orang yang pernah tinggal di
kota pegunungan seperti aku, udara Surabaya hampir selalu panas. Meski begitu, jaket
yang sempat kupakaikan Dela semalam tak juga kulepas. Itulah anehnya orang yang jatuh
cinta. Sering maksa dan gak sesuai dengan logika. Kunikmati benar perjalanan pagi ini.
Pemandangan lalu lintas Surabaya yang belum padat dan penuh dengan urat nadi
ekonomi menghiasi perjalananku. Aku rindu kepadamu Surabayaku, benar-benar
rindu.....
------------------
Surabaya, hari kedua.
Esok adalah akhir cuti panjang Lebaran. Sungkem ke orang tua sudah, keliling tetangga
satu RT pun sudah. Kini aku masih menunggu kakak perempuanku, mbak Meme, yang
janji hari ini akan pulang ke Surabaya setelah hampir satu minggu berlebaran di kampung
halaman suaminya. Aku lihat jam dinding kamarku, jam 8 pagi. Aku turun dan berniat
mandi. Belum sempat aku masuk kamar mandi, kulihat sekelebat mobil avanza hijau
berhenti di depan rumah. Aku hafal, itu mobil mas Ryan, suami kakakku. Dengan
berkalung handuk, aku berlari menyambut. Membuka pintu garasi, dan menunggu di
ujung.
Kakakku keluar dari mobil dengan menggendong si kecil Shafa yang masih nyenyak
tertidur. Aku mencium tangan kakakku, lalu mencium kening Shafa kecil. Berlahan-lahan
matanya terbuka. Begitu indah mata kecil itu memandang wajah pamannya. Aku
tersenyum.
“Yeee, udah bangun. Yuk, gendong Om yuk. “ godaku.
“Ih, Om Yoga belum mandi gitu kok.” Sergah mbak Meme. “ Mandi dulu sana..bau ah”
“Hehehehehe. Capek mas nyetir sendirian ?” aku menyapa kakak iparku.
“Lumayan juga,” jawabnya sembari meregangkan kedua tangan.” Udah lama Yog
disini?”
“Dua hari, kan barusan dari Mbah di Jogja. Lebaran disana.”
“Eh....cucuku udah datang...Mbah Kung, ini loh, cucumu datang!!!” tiba-tiba Ibuku
muncul dari dapur. Bapak yang dipanggil buru-buru keluar dari kamar. Memeluk dan
mencium kakakku, menyalami mas Ryan. Lalu menggendong si Shafa yang sudah benar-
benar bangun dari tidurnya. Aku tersenyum memandang romantisme itu. Aku juga rindu
kehangatan berkeluarga. Hanya aku belum tau siapa yang mau jadi istriku. Dela kah?
Atau si pendatang baru bernama Anita ? entahlah...
Obrolan ramai diantara keluargaku membuat suasana pagi di rumah kembali ceria.
Sudah lama sekali rasanya rumah ini sepi. Aku merantau ke Malang. Kakakku lebih
dekat di Sidoarjo. Adikku Anti ikut suaminya di Aceh, lebaran ini gak bisa pulang. Si
Kriwil malah liburan sama teman-temannya di Bali. Biasanya Cuma ada Bapak dan
Kriwil di rumah ini. Ibu lebih sering di rumah mbak membantu mengasuh si Shafa. Aku
sejak kuliah sudah jauh dari rumah, sehingga orang rumah sudah lama terbiasa kalo aku
gak ada.
Aku beringsut menuju kamar mandi meninggalkan keramaian di ruang tamu. Sejuk sekali
air pagi ini. Meski bagaimanapun, udara Surabaya tetaplah gerah bagiku. Hehehehe....
-------------------------
“Mbak, aku pengen cerita sesuatu...” aku mengawali pembicaraan malam itu di depan
ruang TV dengan mbak Meme. Shafa sudah tidur di temani mas Ryan di kamar belakang.
Bapak ibu juga sudah lelap sejak jam 9 tadi. Hanya kami berdua.
“Ada apa Yog ? “
“Sampeyan ingat Dela putrinya Om Priyo ?” tanyaku.
“Ingat dong. Yang kuliah di UGM to ? kenapa ? ketemu kemarin di Jogja ?”
“Iya. Kemarin ketemu di sana. Dia temani aku selama disana. Something terrible has
happen on me ...” aku menghela nafas. Biasanya aku mudah menyampaikan uneg-unegku
ke mbak Meme. Tapi kali ini terasa sulit.
“Kenapa ? kamu jatuh cinta sama Dela ?” mbak Meme bertanya lembut. Aku tergagap,
“Kok bisa menyimpulkan begitu sih ?”
“Lah dari nada bicaramu udah keliatan Yog. Kayak baru kemarin aja jadi kakakmu.”
“Aduh, sampeyan itu gak kenal basa-basi ya ? Iya deh. Ngakuuu. Ehm, menurutmu
gimana mbak ?”
“Apanya ?”
“Ya itu. Gak papa kan ?”
“Ya gak papa. Kan banyak di keluarga kita menikah dengan yang masih sodara, asal gak
ngelanggar hukum Islam ya gak papa. Coba kamu ingat-ingat. Ada Mbak Isfa, Budhe
Ais, Pakdhe Mahmud, trus hm...siapa lagi ya? Banyak kok.”
“Alhamdulillah. Iya ya, aku kok lupa.”
“Dela-nya sendiri gimana ? Mau sama kamu ? “
Aku terdiam. Kubuka folder foto di ponselku. Kutunjukkan foto kami berdua di dalam
taksi. Aku harap mbak Meme melihat bahwa ada sesuatu pada mata Dela.
“Ya Allah. Kok kayak gini fotonya ? Pake tidur di bahumu segala ? ”
“Kenapa mbak ? Biasa kok. Gak seperti yang terlihat. Cuma foto bareng.”
“Huuuu...kalo udah ketemu cewek cantik lupa deh ngustadnya. Masak ustad Yoga jadi
takluk gini ? payah deh kamu Yog” ada nada marah di ucapan mbak Meme.
“Khilaf mbak. Ternyata imanku belum sekuat yang aku bayangkan.” Aku tertunduk lesu.
“Ya udah. Ngomong deh sama bapak. Gampang kan?”
“Gak segitunya juga. Dela udah punya pacar....”
“Loh gimana sih? Trus apa artinya sama kamu begini ?”
“Gak tau aku...”
“Oalah...anak jaman sekarang......”
“Ada lagi masalahnya.”
“Apa pula ?”
Aku menceritakan perihal tawaran Zulkarnain dan biodata Anita yang sudah aku baca.
Menurutku aku seharusnya memilih Anita. Meski aku belum pernah lihat wajahnya
secara langsung. Tapi hatiku terlanjur terisi Dela.
“Bingung mbak...”
“Sekarang gini. Coba kamu ke Lamongan, dan temui si Anita. Gak fair lah kamu memilih
sekarang. Kamu udah liat Dela secara langsung. Sedang Anita belum. Setelah Anita
kamu lihat, sholat istikharah. Minta petunjuk Allah. Gampang kan ?”
“Tak coba mbak. Insya Allah..”
“Eh btw, ada yang lebih parah dari yang difoto ini gak antara kamu dan Dela?”
“Ya Allah mbakyu...enggaklah...ampuuun deeeh...”
“Hihihihihi....”
----------------------
Suasana kantor masih terasa lebaran. Banyak teman-teman yang bawa makanan sisa
lebaran. Juga oleh-oleh mudik khas daerah. Mau memulai puasa syawal jadi beraaat
banget. Berat godaan makanan. Padahal justru kalo dibuat puasa malah ringan. Karena
kerjaan masih dikit, belum numpuk kayak hari biasa. Hanya sisa-sisa laporan yang
tertinggal sebelum cuti lebaran. Kepala Biro Konsultasi Psikologi, Bu Indah, hari ini
belum masuk. Beliau memang mudiknya paling jauh, Samarinda. Tidak tiap tahun beliau
mudik kesana. Biasanya hanya ke rumah mertuanya di Semarang. Baru tahun ini beliau
berkesempatan mudik ke Samarinda. Kalo tidak ada masalah tiket pesawat, beliau paling
cepat ngantor seminggu lagi. Agak deg-degan juga, karena kalau Bu Indah tidak ada, aku
yang diamanahi menggantikan ruang konsultasi psikologi. Kalo hanya tes psikologi sih
udah kerjaan tiap hari. Yang aku khawatirkan adalah kalo mendadak ada kasus berat yang
butuh penanganan serius. Dari semua kasus yang paling aku takutkan adalah kasus
permasalahan keluarga. Ngerasa kurang nyaman aja, meski secara teknik konsultasi aku
kuasai penuh. Disaat seperti ini, aku ngerasa bahwa ilmu kuliahku, S1 Psikologi Klinis
cuma kelas ecek-ecek. Harusnya aku kuliah lagi untuk ambil profesi. Jadi Psikolog
sepenuhnya seperti bu Indah, syukur-syukur bisa jadi Profesor seperti idolaku Profesor
Sarlito W. Sarwono. Dalam site plan yang kubuat, aku belum rencanakan kapan ambil
profesi. Masih ngejar plan utama : Menikah. hehehehe....

Dua hari pertama tanpa bu Indah, aman sentosa. Tidak ada kasus rumit yang
menyulitkan. Ini hari ketiga, harapanku tidak ada masalah berarti seperti hari-hari
sebelumnya.
“Pak Yoga..” suara seorang perempuan mengagetkanku dari lamunan.
“Ada apa, Nin ?” ternyata Nina, sekretaris bu Indah.
“Ada klien bu Indah datang. Sebenarnya beliau maunya sama bu Indah. Sudah saya
jelaskan kalau saat ini ruang konsultasi digantikan pak Yoga,”
“Lalu kliennya mau?” tanyaku.
“Mau, pak. Ini file beliau sudah saya bawa,” Nina menyerahkan map hijau ke mejaku.
“Oke, saya baca dulu sekitar 10 menit ya. Kliennya persilakan duduk di dalam.”
Kubuka map dan kubolak-balik file yang dibawa Nina. Beberapa menit, baru kusadari
kalo Nina tidak juga beranjak. Malah seperti termenung berdiri didepanku. Kupandang
mata Nina.
“Hei! Kok malah ngelamun” tegurku.
“Eh, maaf pak. Baik pak.” Nina pun berlalu.
“Ceile, kayaknya ada yang terpesona tuh sama Pak Yoga...” Imam, akuntan biro yang
meja kerjanya di samping mejaku menggoda.
“Pak Imam, tolong jangan bikin kuping panas pagi-pagi ya. Saya lagi konsentrasi nih.
Please...” aku meliriknya dengan senyuman lebar agar beliau tidak salah paham.
“Hahahaha....tenang aja dik,...kalo jodoh gak kemana kok...”
Aku tersenyum membalas godaannya. Kalo diterus-teruskan gak selesai-selesai.
Kulanjutkan membaca file yang ada dalam map. Aku menghela nafas agak dalam. Map
hijau ini kasus perceraian. Sudah menjadi kebiasaan bu Indah menandai kasus-kasus yang
beliau tangani dengan membedakan warna map. Aku baca perkembangan terakhir
kasusnya. Berat juga. Ditinggal pergi suaminya, selingkuh dengan janda.
Oalah...bujangan kok menangani kasus perceraian. Aku berdiri dan merapikan kemejaku.
Kuawali dengan istighfar tiga kali, kulanjutkan doa menuntut ilmu, Robbi sohri sodri, wa
ya sirli amri, wahlul uqdatam millisani, yaf qohu qowli.. aamiin....
Aku memasuki ruang konsultasi dari pintu masuk klien. Seorang perempuan berkerudung
telah duduk membelakangi pintu. Alhamdulillah, berarti muslimah pikirku. Aku masuk
dan mengucap salam, Assalamualaikum...
“Waalaikum salam..” reflek perempuan itu menoleh. Aku terkejut, wajahnya sangat
familiar di otakku. Sepertinya aku kenal...
“Pak Yoga ?” perempuan itu tersenyum menyambut kehadiranku. Tangannya menyorong
mengajak bersalaman.
“Rid..rida ? bener kan? “ aku tergagap memandang senyumnya. Ku tangkupkan kedua
tanganku di dada, memberi isyarat bahwa aku tidak mau bersalaman dengan wanita yang
bukan muhrim. Rida memahami dan menurunkan tangannya.
“Oalah, kalo tau psikolognya Yoga ngapain dulu aku nyari-nyari bu Indah ? hehehehe...”
“Kok kamu mendadak di Malang Rid ? “
“Aku sejak menikah tinggal di Malang kok. Udah 3 bulan ini konsultasi ke bu Indah.”
“Oh, maaf aku gak tau. Aku memang gak pernah jaga ruang konsultasi, kecuali kayak
hari ini, karena bu Indah gak masuk.” Aku mencoba mencairkan kekakuanku. Tidak
mudah menerima kenyataan bahwa klienku ini bernama Rida, perempuan yang dulu aku
cintai, pacar masa SMA ku.
“Masih suka ngeband Yog ?” Rida mengajak mengenang masa lalu.
“Kalo main musik masih. Tapi gak ngeband. Gak show. Hanya main di rumah.
Menghibur diri sendiri,”
“Istrimu orang mana?”
“Uhuk...aku belum nikah kok Rid.” Aku tersipu.
“Maaf.”
“Gak papa. Take it easy. Kita mulai konsultasinya ?” tawarku.
“Silakan...” Rida mengubah posisi duduknya. Mencoba lebih rileks.
Aku memulai dengan menanyakan beberapa hal yang masih diberikan tanda tanya pada
catatan file bu Indah. Rida menjawab dengan lancar. Bahkan kemudian aku tidak perlu
terlalu banyak bertanya karena justru Rida tanpa diminta sudah menceritakan berbagai
hal terkait masalah-masalah yang mengganggunya. Kusimpulkan bahwa Rida sudah
stabil emosinya, padahal pada catatan bu Indah tertulis dia begitu meledak-ledak dan
hujan tangis di sesi konsultasi sebelumnya. Rida sudah belajar untuk tegar, dan menerima
posisinya sebagai janda. Dia banyak tersenyum, raut kesedihan tidak lagi tampak. Aku
memberikan banyak catatan positif pada file-nya.
“Kamu sudah banyak kemajuan kok Rid.” Aku memberikan penilaian.
“Mungkin,” Rida menjawab santai.
“Apa karena sekarang persidangan sudah selesai, dan bagaimanapun kamu harus
menerima bahwa statusmu sudah bukan lagi istri orang ?. Atau ada hal lain ? “
“Ada hal lain, kayaknya.” Kali ini Rida tersenyum.
“Apa itu kalo boleh tau ?’
“Karena psikolognya kamu.” Mata Rida memandang penuh arti.
Ya Allah, aku beristighfar dalam hati. Godaan selalu muncul dari masa lalu. Aku
menunduk. Kilatan-kilatan masa lalu berkecamuk di otakku. Kelas 2 SMK, ketika aku
“nembak” dia untuk jadi pacarku. Rasa banggaku punya pacar idola di sekolahan.
Perbincangan-perbincangan kami di telepon masa itu, jalan berduaan menuju perhentian
angkot. Canda tawa kami di kelas, hingga kejadian pedih ketika Rida memutuskan
“hubungan” kami di telepon wartel depan gang rumahku, membuatku menangis di
malam-malam bulan Ramadhan. Semua masih teringat dengan baik, meski sudah
berusaha kulupakan sejak aku lulus dari SMK.
“Ada hal-hal yang perlu diluruskan diantara kita Yog,” kali ini Rida memecahkan
kediamanku.
“Sudah selesai, Rid. Aku tidak menyimpan dendam masa itu.” jawabku.
“Aku senang mendengarnya. Tapi ijinkan aku jelaskan kenapa aku dulu pernah
menyakitimu,”
“Disini pembicaraan kita direkam, Rid. Ada CCTV diatas sana. Tolong aku untuk
bersikap profesional. Oke ?”
“Baiklah. Aku minta pin Blackberrymu saja.”
“30FD1462”
“Oke udah aku add. Nanti tolong di accept ya. Hei, sudah 1 jam rupanya. Sudah habis
waktu saya untuk konsultasi.” Rida berdiri dan mengemasi tasnya.
“Hehehehe, biasanya psikolog yang bilang begitu. Ini kok malah kliennya” aku ikut
berdiri dan merapikan map file Rida.
“Udah biasa kaleee,” Rida mengerling jenaka. Aku hanya tersenyum.
“Kamu tinggal dimana Yog?”
“Perumahan Berlian Kencana. Daerah Singosari. Kamu ?”
“Aku kos sekarang. Pengen cari kerja. Kalo dulu aku tinggal di dekat pasar Lawang. Tapi
itu kan rumah suamiku, eh maksudku mantan suamiku. Hehehehe”
“Kenapa gak pulang aja ke Surabaya ? Orang tuamu masih di daerah Kapas Krampung
kan ?”
“Iya masih. Tapi males ah, panas disana. Lagian teman-temanku udah banyak disini.
Perusahaan kimia juga lebih banyak disini. Aku kan gak kuliah kayak kamu, Yog. Jadi
kalo kerja pake ijazah SMK.” Rida menjelaskan panjang lebar sembari berjalan menuju
pintu keluar. Aku berjalan disamping selangkah dibelakangnya.
“Kalo sesi depan aku minta psikolognya kamu saja boleh ?” Rida berhenti di depan pintu
keluar.
“Aku bukan psikolog, Rid. Yang psikolog bu Indah. Aku belum ambil profesi. Jadi aku
belum boleh menangani kasus. Ini kan Cuma menggantikan bu Indah. Maaf,” aku
berusaha mencegah Rida memintaku menangani kasusnya. Semoga Rida tidak
mengatakan itu ke bu Indah, karena aku yakin bu Indah akan memaksaku menangani
Rida dengan alasan permintaan klien.
“Oh gitu ya? Ya udah deh.” Raut kecewa tampak jelas diwajahnya.
“Hati-hati di jalan. Kayaknya mau hujan,” pesanku.
“Insya Allah. Assalamualaikum,” Rida berpamitan.
“Waalaikumussalam,”
Kuantar Rida sampai benar-benar keluar dari kantor biro. Kulihat Rida mengambil motor
Varionya dari tempat parkir. Aku belum beranjak. Masih tertegun memandang kepergian
Rida.
“Pak Yoga ?” Nina memanggilku dari meja kerjanya di front office.
“Ya ?” aku refleks menoleh.
“Pak Yoga butuh istirahat ? ini kunci ruang istirahat...” Nina menghampiriku dengan
menyerahkan kunci.
“Terima kasih, Nin. Tolong ruangan konsultasi diberesi ya.” Pesanku.
“Baik pak.”
Kuperhatikan ekor mata Nina mengikuti ke arah kakiku melangkah. Aku tidak pernah
memperhatikannya selama ini. Dia bawahan bu Indah, bukan staff yang biasa bekerja
bersamaku. Nina cantik, seperti sekretaris pada umumnya. Hanya sayang tidak
berkerudung, dan jelas aku tidak ingin tertarik kepadanya.
Kubuka ruangan istirahat psikolog dan merebahkan diri di sofa empuk yang tersedia
didalamnya. Kuminum segelas teh hangat yang tersedia di ruangan. Ini adalah ruangan
dimana psikolog dipersilakan beristirahat dan melarutkan masalah klien yang baru saja
ditangani dari kepalanya. Tidak mudah menghapus Rida dari otakku. Sangat tidak
mudah....
--------------------------
“Mas, pinmu berapa?” sebuah SMS dari Dela mengejutkanku di hari minggu pagi. Aku
sedang bersiap-siap berangkat mengisi halqoh di musholla. Ada perasaan berbunga-
bunga mendapat sms dari Dela. Apalagi menanyakan pin. Berarti dia sekarang pake
Blackberry juga. Buru-buru kubalas,
“30FD1462. Ceile,....hape baru ni ye....” Sent. Aku bergegas mengemasi kitab-kitab yang
harus kubawa. Kumasukkan dalam tas cangklongku. Jaket hitam bergambar Ar Roya
kukenakan. Kubuka pintu rumah dan kudorong motorku keluar pagar. Cling, ponselku
berbunyi lagi.
“Iyaa....hehehehe, kemarin dibeliin babe. Gemini kok. Masih canggihan punya mas Yoga.
Entar Dela diajarin yah!” aku tersenyum membacanya. Bakal makin autis deh kamu dik,
batinku. Sms itu tak kubalas. Biarlah, toh nanti dia akan add BBM ku dan bisa ngobrol
lewat BBM.
Kustarter motorku dan kupacu dalam kecepatan sedang. Keluar perumahan, belok kiri ke
jalan Singosari. Berputar dulu kearah Malang, kemudian melaju menaiki jalan yang
menanjak. Lalu lintas sangat ramai. Banyak kendaraan plat L melintas. Pasti mau ke Batu
buat liburan, batinku. Moga-moga perempatan ke Batu tidak macet, karena itu jalur yang
harus kulewati.

Alhamdulillah, perempatan masih belum ramai, ku belokkan setang motor ke kanan,


meluncur dengan santai, hingga tiba di bundaran pesawat. Tampak ada keramaian disana.
Bendera LDK Kampus berkibar dilambai-lambaikan oleh beberapa orang ikhwan. Salah
satu ikhwan memegang megaphone dan berorasi. Sebagian yang lain menyebarkan
fotokopian pernyataan sikap tentang gerakan separatis di Papua. Kuterima fotokopian
dari seorang ikhwan di pinggir jalan. Tak lupa kuucapkan salam perjuangan,
“Allahu Akbar!!!” teriakku sembari mengepalkan tangan kanan keatas.
“Allahu Akbar!!” serentak semua ikhwan membalas takbir yang kuucapkan. Ikhwan
pemegang megaphone meneriakkan takbir tak kalah kerasnya. Seketika hatiku bergetar.
Itulah yang selalu terjadi di hatiku setiap aku mendengar takbir yang dikumandangkan
dengan semangat. Allah Maha Besar,....
-----------------
Eko, Taufiq, dan Hari sudah duduk di dalam musholla ketika aku datang. Aku bergegas
masuk dan mengucap salam yang dijawab serentak mereka bertiga.
“Afwan, telat. Tadi di jalan agak macet,” ujarku kepada mereka.
“Antum lewat bundaran pesawat ya Ustad ?” tanya Hari.
“Iya, heheheh. Teman-teman demonstrasi ya. Kok kalian gak ikut ?”
“Loh, kan ada jadwal halqoh sama njenengan Tad. Gimana to ?” Eko menjawab
pertanyaanku.
“Iya, becanda. Loh, Hadi mana ? kok belum datang ?” biasanya anggota halqohku ada 4
orang.
“Hadi tadi pesan ijin datang terlambat tad,” Taufiq yang satu kos dengan Hadi menjawab.
“Dia harus ambil fotokopian tugas di toko Xerox depan kampus. Kalo gak diambil pagi-
pagi keburu tutup. Kan kalo minggu tokonya Cuma dibuka sebentar.”
“Oke. Kita mulai saja dulu,” putusku. “Assalamualaikum warohmatullohi wa barakatuh”
“Wa alaikumussalam warohmatullohi wa barakatuh,”
“Alhamdulillahirrobbil alamin. Assolatuwassalamu ala asrofi anbiyai wal mursalin.
Syaidina, wa maulana, muhammadin wa ala a’li ashobii ajmain, amaba’du.....”
Belum sempat kulanjutkan, terlihat Hadi memasuki musholla. Kuminta segera duduk dan
bergabung dengan yang lain. Hadi bergegas duduk dan membuka catatannya.

“Kemarin sudah kita bahas tentang ideologi Islam. Nah, hari ini mari kita bahas tentang
As Siyasi. Dalam bahasa Indonesia, artinya politik. Bila kita gabungkan dengan kata
Islam, menjadi As Siyasah Al Islamiyah, definisinya adalah suatu cara untuk mengurusi
kebutuhan umat menurut Islam. Islam, sebagai agama yang telah di sempurnakan oleh
Allah, tentunya harus kita yakini mampu untuk menyelesaikan berbagai urusan manusia,
tak terkecuali urusan politik umat.

Prinsip dasar Islam, adalah menjadikan segala aktivitas kita termasuk kegiatan berpolitik,
sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, yang tercermin dalam ayat suci Al Qur'an
dan Al Hadits. Prinsip yang fundamental ini haruslah menjadi pondasi kita, sebagai
muslim, untuk mengatur segala tingkah laku, perbuatan, dan cara berpikir kita dalam
kehidupan sehari hari. Tidak ada prinsip lain bagi seorang muslim kecuali tunduk, dan
patuh terhadap aturan aturan Allah dan Rasul-Nya, dengan kata lain, selalu terikat dengan
syariat Islam.
Bagi muslim, haram hukumnya untuk menjadikan aturan aturan lain – selain aturan
Allah- sebagai pedoman hidupnya. Hal ini juga berarti, haram bagi muslim untuk
membuat-buat hukum dan mengaplikasikan hukum yang datangnya dari dirinya sendiri,
orang lain, maupun sekelompok manusia yang tidak digali ataupun didasarkan dari nash
nash syari', yaitu Al Qur'an dan Al Hadits.”
-----------------------
Pukul 3 sore, keringatku mengalir deras dari dahi. Aku masuk rumah dan melepas kaos
jersey tim futsalku bernomor punggung 17. Kutenggak air segar dari lemari es. Nikmat
sekali. Tiba-tiba notifikasi BBM ku berbunyi. Ada yang ngajak ngobrol. Siapa ya?
“Yog, sore ini ketemuan yuk...” dari Rida.
“Ngapain ? aku barusan masuk rumah. Masak keluar lagi” balasku.
“Kemarin kan janji mau denger aku cerita-cerita. Hayooo”
“Masak sih ? hehehehe”
“Bisa gak ?”
“Dimana ?”
“Restoran Bakpao Telo yok. Biar aku gak jauh-jauh dari kosan.”
“Hadeuh...jauhnya...”
“Halah, dari Singosari ke Lawang paling 30 menit nyampe lah....”
“Abis maghrib ya? Kalo sekarang aku masih capek habis futsal.”
“Oke. “
“Janji tapi ya...”
“Apaan ?”
“Kan situ yang ngajak, jadi situ yang bayarin...heheheheh...”
“Iya deh. Dasar Yoga..”
“Hahahha...”
Aku geleng-geleng memandang chatting BBMan ku dengan Rida. Ni anak kalo udah
maunya susah ditolak. Aku mengambil handuk di jemuran belakang rumah. Mandi dulu
ah biar segar.
------------------
Akhir pekan di resto Bakpao Telo selalu ramai pengunjung. Karena itulah aku setuju
diajak ketemuan disini, sebab di resto ini sama sekali tidak pernah sepi. Rata-rata
pengunjungnya dari luar kota. Orang yang tinggal di Malang sendiri malah jarang kesini.
Aku memesan mie goreng dan jus alpukat. Rida memilih burger telo plus teh botol. Kami
duduk berhadap-hadapan. Suasana sekitar kami bising sekali. Sebuah band live music
tengah memainkan lagu pop dari panggung di ujung restoran, ditimpali suara riuh rendah
orang yang antri membeli bakpao, dan anak-anak kecil yang berlarian. Mobil dan bus
keluar masuk pelataran parkir. Bukan suasana romantis. Dan aku menyukainya. Untuk
sekali ini aku tidak mau tergoda.
“Pacarmu anak mana Yog? “ Rida membuka percakapan.
“Pacar ? maksudnya ?”
“Jangan bilang kalo kamu gak punya pacar Yog. Bohong pasti,” sergah Rida.
“Emang gak punya pacar dan gak mau pacaran kok. Yoga bukan mantan pacarmu yang
dulu Rid. Sudah banyak yang berubah dari aku. “
“Gimana bisa dapat istri kalo pacaran gak mau.” Sungut Rida.
“Apa sih definisi dari pacaran ? hayo...”
“Embuh...”
“Pacaran itu cuma komitmen dua orang lawan jenis atas nama cinta. Dengan komitmen
itu mereka merasa saling memiliki, dan dengan komitmen yang gak jelas itu, seolah-olah
mereka punya ijin untuk menyentuh, memeluk, melarang, menyuruh, membawa jalan-
jalan, berduaan, sampe mencium ataupun lebih jauh. Padahal pacaran itu juga gak ada
batas waktunya dan gak ada jaminan mau dibawa kemana hubungan itu setelah
berlangsung terlalu lama. Bisa jadi nikah, bisa jadi malah putus. Mana ada definisi
hubungan kayak gitu di dalam Islam ? “ beberku.
“Trus, kalo gak pacaran, cara mengenal pasangan sebelum menikah gimana ? terlalu
riskan lah kalo langsung nikah. Yang pacaran dulu aja masih bisa cerai kok. Apalagi yang
gak kenal tiba-tiba nikah. Bisa-bisa gak bertahan lama” bantah Rida.
“Itulah kalo mindset kita terbelenggu kata “pacaran”. Islam itu sempurna, dan punya
sistem yang sangat khas mengatur kehidupan manusia. Dalam mengenal calon pasangan,
kita diperbolehkan untuk melihat, berkomunikasi dan mencari informasi terkait calon
pasangan. Biasanya, dikenal dengan istilah “taaruf”. Tentu gak boleh berduaan, apalagi
sampe pegang-pegang. Taaruf itu dilakukan karena ingin menikahi, bukan sekedar
pengen kenal. Dengan cara inilah, kehormatan wanita terjaga. Dia tidak disentuh sampai
benar-benar halal bagi laki-laki yang menikahinya. Indah kan Islam ituuuu...” aku
menyeruput jus alpukatku. Mie gorengku udah abis tandas sejak tadi.
Rida manggut-manggut. Entah dia mau terima atau tidak. Yang pasti aku sudah berusaha
jelaskan.
“Oh ya, katanya mau cerita-cerita. Cerita apa?” kucoba alihkan pembicaraan.
“Aku masih merasa gak enak dengan masa lalu kita di SMK dulu. Sejak kita putus, kamu
gak mau lagi nyapa aku. Padahal aku pengen kita tetap berteman, meski gak jadi pacar.”
“Oh itu, aku udah lupakan Rid. Santai ajalah, udah terlalu lama. “
“Kata Dani, kamu begitu terpukul dan nangis-nangis segala hehehehe,”
“Hei..iya hahahahahaha,” aku tergelak. Itu memang fakta kok, batinku.
“Maaf Yog. Maafin aku ya...” Rida terlihat bersalah.
“Kan aku tadi bilang aku sudah maafkan. Kalo belum, sekarang mana mau ngomong-
ngomong sama kamu ?”
“Aku lega akhirnya, huft...” Rida melanjutkan menyantap burger yang masih setengah.
“Siapa orang yang dulu merebutmu dari aku ? hehehehe...” aku berusaha cengengesan
meski ada juga sedikit cemburu yang datang dari masa lalu.
“Kamu gak kenal. Udahlah, katanya udah memaafkan kok nanya lagi..,” Rida berusaha
mengelak.
“Memaafkan sudah. Tapi rasa penasaran belum terobati. Hihihihihihi....”
“Yang jelas dia bukan yang kemudian menjadi suamiku..”
“Aku justru berterima kasih sama kamu Rid. Dengan rasa sakit yang kau berikan, aku
kapok pacaran hehehehehe.”
“Aneh-aneh ae..”
“Serius. Apalagi karena rasa sakit itu, aku bikin lagu yang jadi hit di panggung-panggung
pensi SMA sekitar tahun 2000-an.”
“Oh ya ? keren dong...nyanyi dong buat aku. Penasaran kayak apa lagunya.”
“Oh...enggak-enggak...sori...aku gak mau lagi nyanyi di depan umum,” elakku.
“Kok gitu ? Ya udah, sebentar ya, tunggu sini dulu..” tiba-tiba Rida beranjak dari
duduknya menuju ke front office.
Aku masih belum “ngeh” dengan manuver Rida. Hingga kemudian aku tersentak ketika
pembawa acara di panggung mengumumkan ada persembahan lagu dari pengunjung
restoran bernama “Yoga Prasetya” atas permintaan ibu Rida Ariyana. Aku mengumpat
dalam hati. Dikadalin nih gue, batinku.
“Aku gak mau, Rid. Jangan paksa aku.!! “ aku beranjak berdiri dan berniat
meninggalkan meja.
“Ayolah Yog. Please...” Rida memohon. “ Nyanyikan lagu itu buat aku. Seumur hidup
belum pernah aku dibuatkan lagu oleh seseorang. Ayolah...”
Aku benar-benar jengkel, ku kemasi barang-barangku. Tapi pembawa acara di panggung
justru menggiring pengunjung untuk menyemangati aku. Tak ayal semua mata
memandangku dengan harapan aku mau maju. Seorang berpakaian seragam dengan
sopan menghampiriku dan memintaku untuk maju.
Aku mendengus. Kalo sudah gini gak tega juga. Dengan berat hati aku maju menuju
panggung. Tepuk tangan pengunjung membahana di sekililingku. Kucoba acuhkan
perasaan ujub yang tiba-tiba muncul. Dulu aku begitu menikmati tepuk tangan penonton
setiap aku mengawali penampilanku. Tapi itu dulu. Tidak sekarang.
“Mau nyanyi lagu apa mas ?” pembawa acara menanyaiku dengan sopan diatas
panggung.
“Boleh saya main sendiri ? Cukup organ tunggal saja,” jawabku.
“Silakan. Judul lagunya ?”
“Galau. Ciptaan saya sendiri.”
Pemain keyboard menyilakan aku untuk menggantikan tempat duduknya. Kulirik seri
keyboard , Yamaha PSR 2200. Lebih canggih dari punyaku di rumah, tapi masih setipe.
Aku berpikir keras. Kalau Galau kunyanyikan dengan aransemen Klavi, tidak akan
membuat nyaman pengunjung restoran ini, karena Galau adalah lagu rock dengan
distorsi-distorsi gitar dominan. Galau memang lagu marah. Sejurus aku mendapatkan ide.
Kuatur style keyboard dalam komposisi jazz. Ku transpose nada hingga -4. aku menghela
nafas, menyalakan microphone. Sempat kulirik Rida di mejanya begitu antusias menanti
aku menyanyi. Kumainkan intro ringan dalam nada jazz berbalut bossanova. Kuubah
sedikit chord keyboard dan melodinya. Alunan musik jazz dari keyboardku membahana
dari speaker aktif berkekuatan medium. Perasaan hatiku mulai tenang,
“Kini ku dalam derita, kurasa kau tak pernah ada, kau tinggalkan semua cerita

Renggutkanku...

Akankah hari kan tiba, berada dalam rinduku, sambut galau dihatimu

Tepiskanku....

Siang kan berganti malam kan berlalu, tawakan mimpiku kan dirimu...
Ooh...

Sudahlah semua telah hilang, pergilah dengan hatimu, tak kuharap kau kembali

Bersamaku..

Tinggalkan aku yang hina, hanya asa yang ada, aku dalam sejuta duka

Galaukanku...”

Saat aku menciptakan lagu ini bersama Klavi bertahun-tahun yang lalu, aku tidak pernah
menyangka akan ada kesempatan membiarkan Rida mengetahui lagu ini. Aku terbawa
kepada kenangan bersama Klavi dipanggung-panggung masa sekolah..., Jon, Aan, Priza,
Eki, miss u much, guys....

------------------------
Aku tengah menghitung hasil ukur alat tes psikologi ketika ponselku berdering. Kulirik
sekilas nama penelepon, Zulkarnain! Kuraih bersemangat ponselku, kupencet tombol
hijau.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumussalam akhinafillah. Kayfa haluk ya akhi ?” suara Zul terdengar riang
disebrang sana.
“Khair..alhamdulillah. anta ?” aku balik bertanya.
“Ana bi khair...gimana nih, kok gak ngabari. Kapan bisa ke Lamongan untuk majelis
taaruf ?”
Aku menghela nafas sejenak. Berpacu antara kebimbangan dan gharizah nau’. Aku
teringat nasehat mbak Meme. Akhirnya kuputuskan,
“Sabtu depan gimana ? Tapi ana berangkat dari Malang loh. Bukan dari Surabaya.”
“Bisa bisa. Nanti antum tidur di kontrakan ana saja. Kebetulan istri sabtu depan rencana
pulang ke Gresik. Jadi antum nyaman di rumah ana. Sendirian aja atau bawa teman ?”
“Sendirian aja lah. Malu hehehheehe...”
“Oke ana tunggu. Kabari ya kalo berangkat dari sana..”
“Insya Allah..”
“Ya udah akhi. Sekian dulu. Wassalamualaikum,”
“Waalaikumussalam...”
Kulirik kalender di meja kerjaku. Sabtu berarti tinggal 3 hari lagi. Jantungku berdetak
lebih cepat. Tidak sabar rasanya.
Tit..tit..tit..., alarm ponselku berbunyi menunjukkan pesan waktu dhuha, jam 9.00 pagi.
Aku berdiri dan mengambil air wudhu di kamar mandi karyawan. Dengan muka yang
masih basah aku menuju musholla di samping ruanganku.
------------------------
Mendung menggelayut tebal ketika aku keluarkan motorku dari rumah. Arloji
menunjukkan pukul 14.00. ini hari sabtu sore, dan aku sudah berjanji akan pergi ke
Lamongan untuk menghadiri majelis taaruf. Semoga hujan tidak terlalu deras, agar aku
bisa memacu motorku lebih cepat, doaku. Malang – Lamongan cukup jauh. Dan aku
tidak tahu jalur terpendek menuju Lamongan kecuali lewat Surabaya. Kuperkirakan 3
jam perjalanan sampai, asalkan tidak ada gangguan berarti di jalan. Ku pacu motorku
menembus jalur padat Malang – Surabaya. Syukurlah aku tidak di arah sebaliknya,
karena aku lihat mobil-mobil macet di arah itu. udara dingin menembus tulang, angin
bertiup cukup kencang. Melintasi daerah Lawang, gerimis turun. Aku berusaha bertahan,
berharap gerimis tidak menjadi deras setelah aku keluar dari Lawang.

Harapanku meleset, baru saja Purwodadi terlewati, hujan turun dengan derasnya. Aku
membelokkan motorku di bawah sebuah ruko yang tutup. Ada rasa ragu, lanjut atau
tidak. Kalo balik ke Singosari belum terlalu jauh. Tapi janji adalah hutang, batinku.
Kumantapkan hati, kukenakan jas hujan tebalku. Kututup kaca helm teropongku. Hujan
sangat deras tercurah ketika aku kembali menembus jalanan. Kukurangi kecepatan, lebih
berhati-hati. Ayat kursi tak henti-hentinya kulantunkan dalam perjalanan. Semoga Allah
memberiku keselamatan hingga tiba di Lamongan.

Porong Sidoarjo, jalanan merambat. Hujan belum juga ada tanda-tanda reda. Kulirik
tanggul lumpur Lapindo yang menjulang tinggi. Beberapa orang berlarian turun dari atas.
Wah, ada apa nih ? batinku.
Kerumunan orang di depanku tampak membuat jalanan makin macet. Aku penasaran apa
yang terjadi. Kuhentikan sejenak di dekat mereka.
“Ada apa mas, kok rame banget ?”
“Tanggul depan SD jebol mas. Lumpur meluber di jalan. Kalo motor gak masalah, terus
aja. Sudah dibuatkan jembatan kecil sama warga. Kalo mobil harus muter lewat jalan
desa.” Seorang lelaki sebayaku dengan baju basah kuyup menjawab pertanyaanku.
Aku beristighfar dalam hati. Kok rasanya berat sekali perjalanan ini. Ku pacu lebih pelan
motorku. Beberapa mobil sudah berbalik arah dengan arahan warga.

Tiba di area tanggul jebol, kulihat antrian motor panjang. Sebuah jembatan dari kayu
yang meski kecil terlihat cukup kuat dilalui motor satu persatu. Aspal jalanan telah
bercampur dengan lumpur yang basah. Sepatu ketsku terasa lengket di footstep motor.
Motorku entah seperti apa bentuknya. Hujan berlahan-lahan reda. Aku bersyukur dalam
hati. Kulalui jembatan kayu buatan warga itu sembari memasukkan seribuan ke kaleng
yang mereka acungkan. Alhamdulillah, .....

Jalan Greges, Surabaya – Gresik, hujan kembali deras. Aku berhenti di sebuah pom
bensin untuk sholat Ashar. Kutelepon Zul mengabarkan kondisiku. Jam menunjukkan
17.10.
“Terus saja, akhi. Di Lamongan terang kok. Paling nanti masuk Gresik udah gak hujan,”
begitu pesan Zul.
Sejenak aku merebahkan tubuh di musholla. Luar biasa capek. Ini perjalanan terpanjang
yang aku lakukan dengan motorku. Aku pejamkan mata, hatiku berdoa kepadaNya,
“Ya Allah, begitu berat perjalanan yang aku tempuh demi menghadiri majelis taaruf ini.
Berjanjilah kepadaku ya Allah, dia adalah seseorang yang aku harapkan hadirnya dalam
hidupku, berjanjilah kepadaku ya Allah, dialah yang selama ini kucari...aamiin.....”

--------------------
“Zul, aku sudah sampai patung Adipura nih. Aku harus kemana ?” kutelepon Zul untuk
memastikan arah yang tepat. Malam telah menyelimuti kota Lamongan ketika aku tiba
disana.
“Belok kiri, akhi. Tunggu disitu, nanti tak jemput.” Jawab Zul berseri-seri.
Ku belokkan setang motor ke arah kiri, kemudian berhenti di bawah pohon rindang.
Badanku terasa lengket dengan pakaian yang kukenakan. Sepatuku sudah makin gak
karuan warnanya. Rambutku lecek. Orang lain mau taaruf dandan secakep-cakepnya, aku
malah kayak gelandangan gini.
Sebuah sorot lampu motor mengagetkanku.
“Yog!! Ayo...sudah ditunggu” Zul memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Kukenakan lagi helmku, kuikuti Zul dari belakang. Hatiku berdesir, aliran darahku
mengalir lebih cepat. Kuhela nafas dalam-dalam.
----------------------
“Antum masuk dulu ke kamar belakang. Kamar mandi ada di sampingnya. Ganti baju,
sholat dulu. Itu akhwatnya udah nunggu di ruang tamu.” Zul langsung menginstruksikan
setibanya kami di rumah kontrakannya.
Kuperhatikan di ruang tamu ada seorang perempuan berjilbab ditemani seorang laki-laki
yang duduk disampingnya. Hatiku makin gak karu-karuan, ketika harus melintasi ruang
tamu. Ingin rasanya melirik ke arah akhwat itu, tetapi tidak mampu. Hanya sekelebat
kulihat baju kurungnya berwarna biru muda.
Aku masuk kamar belakang dan melepas bajuku yang basah. Beranjak ke kamar mandi
untuk membersihkan diri. Balik ke kamar, ku kenakan kemeja hitam bergaris oranye.
Kuatur rambutku dengan tangan (gak bawa sisir sih..hehehehe). sholat maghrib dan isya
secara jamak. Kuakhiri dengan doa-doa pendek.
Tepat selesai sholat, Zul masuk kamar mengajakku keluar. Aku keluar dengan
menunduk. Gemetar hatiku makin tak beraturan. Hingga duduk di depan akhwat itu, aku
masih menunduk. Zul mempersilakan aku memulai taaruf. Kuangkat perlahan wajahku.
Pada saat yang sama, Anita, akhwat itu, mengangkat pula wajahnya. Tatapan kami
beradu.
Subhanallah, hatiku bergetar hebat. Aku tengah melihat seorang bidadari dunia. Kulitnya
putih bersih, senyumnya menawan hatiku, binar matanya mempesonaku, gerak geriknya
lembut. Aku terpana, tak kuasa aku berucap sepatah katapun.
Aku kembali menunduk. Zul menggenggam tanganku memerintahkanku untuk bicara.
Aku hanya menggeleng. Hatiku bergemuruh penuh dengan buih-buih cinta...ya Allah, ya
Allah...ya Allah.....
-V-
I Love You, Once Too Many.....

“Tit..tit...tit...tit...tit.....”,
Suara alarm dari Blackberry memecah kesunyian dini hari, memekakkan telinga. Aku
terbangun dan mematikannya. Sejurus aku teringat bahwa aku tidak tidur di rumahku
sendiri. Kamar 3x4 sederhana ini terasa asing tetapi sangat nyaman. Kupandang wajah
Zul yang masih terlelap di sampingku. Mau membangunkannya kok gak tega. Semalam
dia tidur sangat larut, karena harus menanak nasi dan memasak makanan untukku.
Alasannya agar besok pagi tinggal disantap. Aku disuruhnya tidur duluan, dan aku
memang sangat lelah sehingga tidak berbasa basi membantunya. Kupandang lagi wajah
sahabatku ini lekat-lekat. Kini Zul terlihat jauh lebih tua dari diriku. Wajahnya penuh
gurat kelelahan. Zul seorang pekerja keras, pengemban dakwah yang gigih, dan ayah
yang hangat untuk anak-anaknya. Rasanya baru kemarin melihat dia memperkenalkan
dirinya sebagai kakak tingkatku di ospek mahasiswa baru yang aku ikuti. Dari situlah
persahabatan kami bermula. Kini dia telah berubah menjadi sosok yang semakin
kukagumi, seorang idola hidup dalam dunia dakwah kampus di masa lalu. Tiba-tiba
matanya terbuka. Aku sedikit kaget.
“Sudah subuh ya ?”, tanya Zul.
“Belum. Ini aku mau sholat tahajud. Mau bangunkan antum gak tega...hehehehe”,
sahutku.
“Ah, bangunkan sholat tahajud kok pake gak tega. Alhamdulillah, meski kadang lupa
pasang alarm ana biasa terbangun jam segini Yog,” jelas Zul.
“Wah, keren..,” pujiku.
“Keren apa to. Lebih seringnya ana dibangunkan istri kok heheheheheh,”
“Gubrak...kirain serius...” aku jadi tergelak.
“Ana tadi denger kok alarm hape antum. Cuma masih eman...tak teruskan dikit
hehehehe.”
“Hahahahaha...Sik doyan guyon awakmu iki...,” aku kembali terbahak disampingnya.
Kami berdua turun dari tempat tidur. Bergantian menuju kamar mandi, wudhu dan
membersihkan diri secukupnya. Kami menggelar sajadah di ruang tamu. Zul kuminta
menjadi imam. Kami berdua sholat tahajud berjamaah dengan khusuk. Dilanjutkan
dengan doa-doa. Sembari menunggu subuh, kami bergantian membaca mushaf Al
Qur’an. Zul mengajarkanku agar nanti membiasakan dengan istri kegiatan sholat tahajud
dan membaca Al Qur’an bersama. Aku manggut-manggut mengiyakan. Penjelasan Zul
panjang lebar membuatku merasa sangat rindu berkeluarga. Semoga Allah memberkahi
diri dan keluargamu, Zul. Aamiin.....
-----------------
“Jadi sudah manteb kan sama Anita ?. Pilihan ana gak salah kan ?”, tanpa basa-basi Zul
memberondongku dengan pertanyaan sembari menyantap sarapan pagi.
Aku menghela nafas. Pesona Anita memang sangat menyentuh hatiku. Kalau aku
menolak, aku pasti ikhwan terbodoh sedunia. Tapi aku tidak bisa jujur ke Zul kalo aku
masih memiliki hati kepada Dela. Dan bagaimanapun kehadiran Rida juga mulai
menggoyahkanku.
“Aku belum bisa jawab akhi...,” sahutku lirih sembari menyuapkan sesendok nasi ke
mulut.
“Loh...piye to? Keliatannya semalam udah cocok kalian berdua. Ukhti Anita juga
keliatannya cocok sama antum. Kok sekarang jadi gantung gini ?”, Zul heran.
“Apapun itu, sebaik-baiknya pilihan, bukankah kita diajari untuk sholat istikharah akhi?,”
tanyaku diplomatis.
“Oh, ya. Okelah kalo begitu.” Zul manggut-manggut.
Aku kembali menghela nafas dalam-dalam. Segera kuselesaikan sarapanku, tanpa banyak
berkata-kata. Zul juga keliatan tidak ingin banyak bicara, tidak seperti biasanya.
-----------------------
Malam sudah lewat isya, ketika aku memasuki rumah. Alhamdulillah, sepanjang
perjalanan pulang hujan tidak turun. Udara lebih bersahabat dan nyaman, sehingga
Lamongan-Malang bisa kutempuh selama 3 jam saja. Motor buru-buru kumasukkan
dalam rumah. Kuganti baju dengan tergesa-gesa. Cuci muka dan kaki di kamar mandi.
Jam segini mau mandi udah males. Udara dingin, air dingin huft...mending langsung
tidur...hehehehe.
Sembari merebahkan diri, iseng-iseng aku cek status-status baru di kontak bbmku. Aku
terhenti pada foto profil Dela. Dia memajang foto seorang cowok yang tengah tertidur.
Statusnya membuatku sangat cemburu. “My Lovely Andri...”. aku menahan diri untuk
tidak marah. Siapakah aku sehingga berhak marah atas status-status Dela ? Apapun yang
terjadi diantara kami di terminal bus, bukanlah sebuah komitmen. Itu hanyalah kejujuran
hati, bahwa aku mencintainya dia mencintaiku. Begitu banyak rintangan diantara kami,
dan sepertinya Dela tidak ingin mengambil resiko untuk memilihku. Kenapa harus aku,
toh Andri selalu ada disana, disampingnya, menemaninya kemanapun dia membutuhkan.
Sedangkan aku, kalaupun aku harus bersaing dengan Andri, sungguh tidak fair. Aku
sangat jauh disini, tidak bisa selalu ada untuk Dela. Sedangkan Dela butuh orang yang
selalu disampingnya. Tak terasa, air mataku mengalir membasahi pipi. Seharusnya aku
memilih Anita, tapi Dela masih saja ada disana. Di dalam hatiku yang sangat dalam.
Cling!. Ada pesan bbm masuk. Dari Rida.
“Udah tidur Yog?”
“Mau tidur. Ada apa?” jawabku.
“Gak papa. Cuma lagi pengen ngobrol. Ya udah silakan tidur deh.”
“Hm, masih cukup kuat untuk melek kok. Oh, ya aku mau minta maaf,” aku teringat
sesuatu.
“Apa?”
“Maaf kemarin sempat marah-marah waktu di restoran. Aku hanya gak suka menyanyi
di depan banyak orang...maaf ya...”
“Loh kan aku yang salah, Yog. Harusnya aku yang minta maaf.”
“Ya udah impas aja deh. Oke ? deal ?”
“Deal.”
“It’s a very nice song. Jazzy..love your song so much..,” pujinya.
“Sip deh, makasih pujiannya. Aslinya lagu rock tuh. Sengaja aku rubah agar bisa
dinikmati suasana restoran. Oh ya, mau cerita sesuatu ?” tanyaku.
“Enggak. Hanya pengen ngobrol.” Jawabnya.
“Kalo gitu aku yang cerita, boleh ?”
“Silakan. Aku nyimak aja deh.” Rida terlihat antusias.
“Kamu kan udah lebih dewasa. Udah pernah menikah. Semoga bisa bantu aku dalam
memilih...”
“Hei.., Yoga sedang jatuh cinta rupanya...hehehehe,”
“Tuh kan ngeledek.”
“Sori..sori...terusin deh..”
Aku menceritakan semua yang tengah menjadi kegundahan hatiku. Sesekali Rida
menanyakan ini dan itu. Rida benar-benar serius menyimak ceritaku. Sungguh dia sangat
dewasa sekarang. Jauh berbeda dengan masa ketika kami masih pacaran di SMK.
“Seharusnya kamu memilih Anita Yog,” simpul Rida.
“Aku tahu. Dia memang sangat istimewa. Tapi aku terlanjur banyak berjanji kepada
Dela,” sahutku.
“Buat apa kamu masih memegang janjimu kepada Dela ? toh dia sekarang dengan
enaknya menunjukkan kasih sayangnya kepada Andri, bukan kepadamu!,” sergah Rida.
“Urusan hati gak segampang itu bu...,”
“Ya..ya, aku tau. Hm, ternyata psikolog juga butuh bantuan ya ? hihihihi.”
“Psikolog juga manusia. Punya rasa..punya hati...jangan samakan dengan...”
“Pisau belati ?,” lanjut Rida.
“Terserah...hahahahahaha,”
“Sial...”
“Aku mungkin ke Jogja dalam waktu dekat ini. Aku harus selesaikan janjiku dengan
Dela. Aku akan pastikan bagaimana kelanjutan cinta kami, meski hasilnya seburuk
apapun. Setelah itu, aku bisa memutuskan. Untuk memilih Dela, Anita ..atau memilih.....”
aku menghela nafas.
“Siapa lagi yang ketiga ?,” Rida terlihat penasaran.
“atau memilih kamu..” lanjutku.
“Astaga...” Rida sangat kaget. “Kenapa aku Yog ?”
“Aku harus jujur kepadamu Rid. Perasaanku di masa lalu masih ada. Hingga saat ini....”
jawabku.
“Aku bukan Rida yang dulu Yog. Aku janda, ingat ?”
“Ya, tapi bukan berarti kamu tidak boleh mendapatkan cinta lagi kan ?”
“Yaaah.... kita lihat saja nanti...kalo memang kita berjodoh, pasti akan ada jalannya...,”
“Kamu bener Rid. Kita lihat saja nanti. Tetaplah jadi sahabatku sekarang...,”
“Ya, kita bersahabat...hingga nanti Allah memutuskan apa yang akan terjadi..apakah
kamu akan jadi sahabat selama hidupku...atau hanya......”
“Sahabat selama hidup ? hehehhe...bagus banget ungkapannya...”
“Atau aku harus melihatmu menikah dengan orang lain...,” tulisan Rida terbaca begitu
sendu.
“Hei... kamu tidak pernah benar-benar suka padaku kan ?,” potongku. “dimasa lalu kamu
bisa dengan enaknya meninggalkanku demi orang lain. Iya kan ?”
“Tolong jangan bahas masa itu lagi pleasee..” Rida memohon.
“Oke..oke maaf..”
“Kamu sudah jujur, dan biarkan aku jujur. Kalau memang Allah menjodohkan kita nanti,
aku ingin menerimanya.....” jawaban Rida mengejutkanku.
“Andai aku bisa langsung memilihmu sekarang Rid..,” sahutku.
“Aku akan menunggu kamu memilih Yog. Dan nasehatku pilihlah Anita,”
“Seandainya aku ingin memilihmu?” tanyaku.
“Pilihlah A.N.I.T.A!, dia akan mampu membuatmu bahagia. Seorang ustad dan
ustadzah..seperti melihat aa Gym dan Teh Nini..”
“Hahahaha...mereka bercerai tauuuu...,” aku tergelak dalam tidurku.
“Itu cerita lain. Aku bukan Anita dan aku tidak bisa menemanimu berdakwah,
sebagaimana Anita akan mendukung dan menemanimu berdakwah....”
“Kamu dewasa sekali Rid..,” nilaiku jujur.
“Trims..,”
----------------------------
“Selamat pagi bu, bisa bicara sebentar ? ” Siang itu aku mengetuk ruangan bu Indah di
kantor.
“Pak Yoga..silakan...,” Bu Indah sejenak menutup laptop yang sedang dibacanya.
Aku duduk di hadapan bu Indah dan berusaha bersikap senyaman mungkin. Kulirik Nina
yang duduk dibelakang meja kecil disamping meja bu Indah. Matanya memandangku
dengan penuh arti. Aku menunduk, berusaha mencegah pesona Nina menggangguku.
Aku merasa akan kesulitan bicara bila Nina tetap di ruangan ini. Sebentar kemudian aku
menemukan ide.
“Bisakah kita bicara berdua saja bu ? Maaf sebelumnya.” lanjutku.
“Oh..tentu saja. Nina, bisa kamu keluar ruangan sebentar ?,” pinta bu Indah lembut.
Tanpa banyak bicara, Nina berdiri dan meninggalkan ruangan bu Indah. Aku menghela
nafas lega. Kupandang bu Indah sekali lagi, melihat beliau tersenyum.
“Saya ingin mengajukan cuti bu..sekitar 3 hari. Bisakah ?,” aku berusaha berbicara
sesopan mungkin.
“Hm, cuti terbanyak selain hari besar seharusnya Cuma 2 hari,..dan....”
“Saya mengerti bu. Tapi ini sesuatu yang penting, dan karena itulah saya akan jujur
kepada bu Indah.”
“Oke, silakan ceritakan. Kenapa harus tiga hari.”
Aku menceritakan rencanaku kepada beliau. Tentang Dela, dan kenapa aku harus ke
Jogja untuk membayar janjiku. Aku berusaha menceritakan sejujur-jujurnya, dan
berharap bu Indah memahami keadaanku. Bu Indah seorang psikolog yang cerdas dan
terkenal berempati kepada anak buahnya. Sisi itulah yang sedang aku harapkan.
“Yoga mengejar cinta..,” senyum lebar bu Indah tak mampu disembunyikannya.
Aku hanya bisa membalas tersenyum.
“Jadi bagaimana bu ? apakah anda ijinkan ?” harapku sedikit cemas.
“Baiklah..saya ijinkan. Ceritamu sedikit mengingatkan saya pada kisah saya dan ayahnya
anak-anak hehehehe. Yah masa-masa romantika. Nikmatilah selagi bisa.”
“Alhamdulillah...,” syukurku.
“Benernya kamu gak perlu jauh-jauh ke Jogja Yog. Tuh, kayaknya si Nina naksir
kamu..,” Bu Indah berusaha menggodaku dengan senyum simpulnya.
“Maaf bu. Saya rasa saya tidak pantas untuk Nina..,” jawabku merendah.
“Ah..kok jadi rendah diri begitu..atau perlu saya comblangin ?,” bu Indah terlihat serius.
“Aduh bu...saya pikir ibu gak serius. Saya kurang suka dengan perempuan seperti Nina
bu. Yah, bukan tipe saya begitulah..,” jawabku hati hati.
“Eh, jangan salah. Nina baik kok,” bu Indah masih berusaha membujuk.
“Saya tidak bilang Nina buruk loh bu,” koreksiku. “Hanya bukan tipe istri yang saya cari.
begitu..,”
“Iya deh..saya tidak akan memaksa.” Bu Indah menyerah.
“Terima kasih bu. Saya minta diri dulu.”
“Oke, jangan lupa urus surat cutinya di HRD ya..”
“Baik bu. Terima kasih sekali lagi...”
“Sama-sama..”
--------------------
Subuh masih terasa dingin dan gelap, ketika aku keluar dari masjid kompleks
perumahan. Angin bertiup agak kencang, langit tampak menggelayutkan mendung.
Seperti biasa, masjid di kala subuh tidak terlalu banyak peminatnya. Aku berjalan
sendirian menyusuri jalanan kompleks perumahan menuju rumah. Kuhirup udara bersih
pagi yang begitu segar, menentramkan hatiku yang tengah bergelombang dalam alunan
perih. Kurang beberapa meter sampai rumah, gerimis kecil berjatuhan. Aku berlari cepat,
membuka pintu pagar dengan buru-buru. Alhamdulillah, begitu masuk rumah, hujan
turun dengan lebatnya. Kubuka baju koko dan kopyahku, berganti dengan kaos dan
celana panjang yang biasa kupakai tidur. Sejenak aku termenung, iseng aku nyalakan
keyboard piano di ruang tamu. Kupejamkan mata sejenak, memainkan nada dasar di A
minor, berlanjut D minor, nada-nada sendu khas minor mengisi ruangan. Kutuliskan
sebait lirik di kertas yang selalu aku siapkan di depan piano. Sebuah kerisauan hati.....dan
alam pun mengiringinya dengan alunan hujan.....

Dikala malam menjelang, kurasakan dingin merasuk tulang


Kurapatkan lagi selimutku, berharap kan hadir bersamamu
Kupandang langit tak berbintang, awan kelabu menggantung ringan
Menanti turunnya titik air, kurengkuh hangat kembali tubuhku

Risauku impikan hatimu, alam menikmati segala rasa itu


Kasih aku harap kau tahu, bersama ini kuuntaikan cinta
Inginku nikmat alam terbaca, hingga insan dapat tertawa denganmu
Tapi apakah hanya aku, indahmu terlukis lagi…

Sebuah lagu kembali tercipta. Kali ini aku tidak ingin membuangnya percuma. Kuambil
laptopku di kamar. Kusambungkan dengan piano, serta software windows movie maker.
Headset kusambungkan pula ke laptop. Oke, sudah siap semuanya. Beat drum elektrik
dari piano mengisi intro lagu yang akan kurekam. Pagi ini aku rekam semua lagu yang
sudah tertulis. Diselingi suara hujan yang masih terdengar merdu di luar sana. Aku Ingin
Kamu, Galau, Risauku, Hanya Untukku, diakhiri dengan Let It Shine yang kurekam
ulang. Alhamdulillah....hanya satu jam yang kuhabiskan untuk merekam aransemennya.
Nanti sore, sepulang kerja bisa langsung take vocal. Asyiiik...aku bersiap-siap kerja
dengan hati yang lebih gembira....
----------------------------
How lucky can one guy be
I kissed her and she kissed me
Like The fella once said,
Aint that a kick in the head ?
Headset bluetoothku masih memutar lagu swing blues milik Dean Martin, Aint that a kick
in the head, sebuah lagu percintaan yang ringan dan lucu, membuat kepalaku terus
mengangguk-angguk di dalam bis antar kota Malang-Jogjakarta. Kulirik arloji di lengan,
jam 23.00. Sengaja aku berangkat malam sehingga nanti sampai jogja kira-kira subuh.
Bus antar kota tidak terlalu ramai malam ini, aku duduk dengan nyaman sendirian. Aku
menguap beberapa kali, meski belum ingin tidur. Kepalaku penuh dengan rencana
tentang apa yang akan aku lakukan setiba di Jogja. Aku tidak mungkin menuju rumah
mbah, atau saudara-saudaraku disana. Karena misi ke Jogja adalah untuk Dela, bukan
yang lain. Jadi mau tidak mau aku harus mencari hotel. Yang murah tentunya. Dan sebisa
mungkin tidak jauh dengan kos-kosan Dela di daerah UGM. Mungkin harus cari disekitar
jalan Kaliurang, atau bisa sedikit agak ke tengah kota. Setiba di Jogja, langsung ke
Masjid terdekat, sholat subuh dan mandi disana. Nunggu agak siang dikit, lanjut jalan-
jalan. Sembari jalan-jalan itu, bisa mencari informasi apa kegiatan Dela dan kira-kira
kapan bisa ketemu.
“Kosong ya dik?” suara berat seorang lelaki mengagetkanku. Reflek aku matikan
headsetku.
“Oh, ya silakan duduk pak,” jawabku sopan.
Seorang bapak dengan pakaian biru laut khas TNI AL, duduk di sampingku yang sedari
tadi kosong. Jadi sempit nih, hehehhe. Gedhe banget nih orang badannya, batinku. Tapi
wajahnya ramah, dan bersahabat.
“Tindak pundi pak?” tanyaku sopan.
“Neng Yoja dik. Mulih ndesa. Lah sampeyan dhewe mudhun ndi mengko?” jawab si
“laksamana” dengan bahasa jawa ngoko khas Jogja.
“Jogja juga pak. Asli jogja pak?” lanjutku basa-basi.
“Enggak, istri yang asli sana. Saya asli Madiun.” Jawabnya sembari menyandarkan
punggungnya di kursi bis.
Entah bagaimana ceritanya, kami jadi terlibat banyak obrolan. Pak “laksamana” bernama
Yono ini sebenarnya tugas di Surabaya. Tapi cuti karena ada acara keluarga. Dan tadi dia
mampir dulu ke rumah ortunya di Madiun sebelum meneruskan perjalanan ke Jogja. Dia
kenal istrinya di Jogja, ketika dia harus kuliah dinas di UGM. Selulusnya kuliah, dia
ditugaskan di Surabaya.
“Saya dulu meski kuliah dinas, saya aktivis kampus juga loh dik. Saya paham bahwa
nanti ketika kembali ke kesatuan saya tidak bisa berpolitik, maka saya di kampus ikut
aktif di organisasi. Disitulah saya memahami politik. Dan meski kini saya tidak lagi
boleh berpolitik, saya tetaplah pengamat politik.”
“Wah, hebat nih pak Yono.” Pujiku. “ Menurut pak Yono, Indonesia ini harus bagaimana
pak?”
“Indonesia ini sudah rusak parah dik. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang hebat,
yang tidak tergantung dengan politisi partai. Ketika pemimpin, dalam artian presiden
takluk dengan kepentingan partai, maka makin hancurlah keindependenannya. Saya lebih
suka presiden dari kalangan TNI, karena dia pasti tegas. Tapi kalo jadi presiden lewat
partai, pasti ujung-ujungnya lembek juga. Menurut dik Yoga gimana ?”
“Hm..gitu ya pak. Maaf, sebelumnya, pak Yono muslim kan?” tanyaku sopan.
“Wah..bukan Cuma muslim dik..eh maksudku kan ada gitu orang Islam yang gak pernah
sholat. Saya ini dulu 4 tahun mondok di Langitan, Tuban. Trus pernah juga aktif dakwah
di Papua waktu ditugaskan disana. Benernya pas mau balik ke jawa, saya dimarahi sama
ustad sana. Karena, ya maklumlah, disana tenaga dakwah sangat sedikit. Tapi gimana
lagi, wong saya di Papua itu karena tugas dinas, jadi pas tugasnya selesai ya terpaksa
balik ke jawa gitu.” Panjang lebar pak Yono menjawab pertanyaanku.
“Nah begini pak,” lanjutku. “Sebagai seorang muslim, saya berprinsip bahwa pendapat
saya haruslah sesuai dengan Islam. Maksud saya, saya tidak akan berpendapat bila
pendapat saya tidak sesuai dengan Islam. Dalam hal apapun. Apalagi dalam hal politik,
dimana dalam Islam jelas bahwa politik, atau as siyasi, ada aturannya yang sangat
sempurna. Mengurusi urusan umat, haruslah disesuaikan dengan aturan Islam.”
“Jadi Indonesia harus gimana dik?” pak Yono penasaran.
“Yang pertama soal problematika Indonesia.” Sahutku. “Menurut saya, Indonesia bukan
hanya krisis pemimpin, atau krisis moral, atau krisis contoh publik. Indonesia sudah salah
sejak awal, ketika memilih sistem demokrasi sebagai sistem negara.”
“Wah...” Pak Yono makin penasaran.
“Saya lanjutkan dulu pak.” Potongku. ”Demokrasi adalah sistem yang mengagungkan
pendapat manusia, bahkan ada ungkapan terkenal dalam demokrasi. Vox populi vox dei,
suara rakyat suara tuhan. Ini jelas meletakkan rakyat sebagai penentu segala kebijakan,
dan dalam arti aqidah Islam, menuhankan manusia. Padahal hak membuat hukum adalah
milik Allah, bukan manusia. Menentukan halal dan haram, adalah hak Allah, bukan hak
manusia. Sudah jelas perintah Allah dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 49, yang
artinya, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu..”.
“Lanjutkan dik. Semakin menarik nih,”
“Ya, dalam konteks Indonesia sekarang, yang menerapkan demokrasi, segala hukum
ditetapkan oleh manusia sendiri, dibuat oleh manusia sendiri. Padahal manusia selalu
cenderung kepada hawa nafsunya. Jadi bisa dipastikan hukum yang dibuat oleh manusia
akan menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Paling tidak, tidak akan membuat dia
kesulitan. Ini menjadi sebuah masalah besar, ketika semua hukum dibuat oleh manusia
sendiri. Contoh, dalam menentukan undang-undang pornografi. Definisi pornografi yang
dibuat DPR, sangat lucu, dan tidak jelas. Padahal dalam Islam, pornografi itu jelas, yaitu
ketika aurat dibuka. Aurat juga sudah jelas, bagi perempuan adalah seluruh tubuh kecuali
muka dan telapak tangan, dan bagi laki-laki adalah dari pusar hingga ke lutut. Dari
sinilah, bisa kita simpulkan tidak akan pernah bisa Indonesia menjadi negara yang kuat
dan bersih ketika demokrasi dijadikan tolak ukurnya, karena mereka para pembuat
hukum pasti membuat hukum untuk menyenangkan dirinya sendiri, kelompoknya, atau
orang yang menyandang dana baginya” jelasku panjang lebar.
“Jadi, solusi bagi Indonesia, menurut dik Yoga ?”
“Syariah Islam, pak.” Terangku. “ Dengan syariah Islam, Indonesia akan terselamatkan
dari kerusakan. Karena syariah Islam datang dari yang Maha Mengatahui, yaitu Allah.
Dan sudah pasti Allah menurunkan hukum yang paling cocok bagi manusia, baik dia
seorang muslim atau tidak. Saya ambil contoh, hukum pidana atau hudud dalam bahasa
arab. Hudud dalam Syariah Islam memiliki 2 fungsi, jawabir dan dzawajir. Jawabir,
memberikan efek jera yang tinggi, serta dzawajir, menjadikan hukuman di dunia sebagai
penebus dosa di akhirat. Ambil contoh, ketika seorang koruptor, dipotong tangan kirinya
karena kejahatan korupsi, maka saya yakin, dia dan semua koruptor yang lain akan
ketakutan melakukan tindakan korupsi karena hukuman potong tangan itu sangat tinggi
efek jeranya. Selain itu, bagi pelaku yang sudah dihukum, dia telah terbebas dari dosa
korupsi dan tidak lagi dituntut dosa itu ketika nanti di akhirat. Indah kan pak syariah
Islam itu ?” tanyaku dengan senyum terkembang.
“Wah...saya baru sekali ini mendapatkan penjelasan yang gamblang tentang syariah
Islam.” Pak Yono begitu antusias.”Saya harus belajar banyak nih dari dik Yoga”
“Alhamdulillah pak, saya juga sedang belajar,” jawabku santun. “Oh, ya. Kebetulan saya
bawa majalah dakwah bulanan. Moga-moga bisa membantu pak Yono belajar.”
Aku merogoh isi tasku dan mengambil majalah dakwah bulanan yang kebetulan aku
bawa. Kuberikan kepada Pak Yono, serta-merta di terimanya dengan senang hati.
------------------------
Hotel Intan Permata Jogjakarta, hari pertama liburan.
Atas petunjuk pak Yono yang sangat kenal Jogja, aku direkomendasikan sebuah hotel
kecil yang nyaman dan murah di tengah kota jogja. Semalam Cuma 80 ribu rupiah.
Kamarnya cukup nyaman, kugunakan seharian itu untuk tidur, hingga terbangun jam 4
sore. Buru-buru mandi dan jamak sholat dhuhur-ashar di mushola hotel. Selesai sholat,
baru sadar perut sangat lapar, langsung deh ngabur keluar hotel cari makan. Sengaja,
karena kalo di restoran hotel pasti mahal, hehehe. Sebuah kafe kecil yang terletak di
ujung jalan menjadi tempat jujuganku. Menu makanannya seru-seru, bahkan cenderung
asing bagiku. Beruntungnya, ada daftar harganya jadi aku gak khawatir salah pilih menu.
Pilihanku jatuh pada nasi omelet, harganya seporsi 5000 rupiah. Plus es teh manis, kurasa
cukuplah menenangkan perutku yang sedari pagi belum kemasukan nasi. Ternyata nasi
omelet adalah istilah bagi warung itu untuk nasi dengan lauk mie instan yang di goreng
dengan telur.
“Hahahha, boleh juga kalo ngasih nama, padahal menunya Cuma gini doang,” geliku.
Toh, dalam kondisi lapar, menu apapun enak. Jadi tandaslah nasi omelet ala warung
pinggiran jogja ini di perutku dalam 5 menit saja. Sembari sedikit-sedikit minum es teh
manis, aku mencoba mengajak Dela bbm-an untuk mengorek informasi kegiatannya
setiap hari.
“Sibuk dik?” sapaku lewat bbm. Lama sekali tidak dijawab. Hingga es tehku habis dan
aku berjalan balik ke hotel, Dela baru membalas.
“Sori mas, baru bales. Aku barusan pulang PKL nih di mini market.” Jawabnya.
“Oh, udah PKL to sekarang ? kok di mini market sih?” tanyaku.
“Iya, aku PKL jadi tenaga akuntan di mini market dekat kampus. Udah seminggu ini mas.
Mas Yoga lagi ngapain?” balasnya.
“Abis makan di warung. Ini lagi di kamar,” jawabku tanpa memberitahunya aku di Jogja.
“Eh, mas. Aku tak mandi dulu ya. Gerah. Seharian kerja tadi..hehehehe,”
“Halah, baru PKL aja kok udah ngerasa “kerja”. Emang Dela PKL nya dari jam berapa
sampai jam berapa?”
“Biasalah, dari jam 8 pagi sampe jam 4 sore. Cuma 1 bulan kok, PKLnya.”
“Kalo sore biasanya Dela ngapain?” aku mencoba menggali informasi.
“Ya gak ngapa-ngapain,” jawabnya jujur. “Paling keluar cari makan. Atau nonton TV di
kamar kos.”
“Sore ini ada acara?” tanyaku penuh selidik.
“Hm, sore ini mau nonton film sama Andri. Kan ada film Box Office baru di bioskop.
Pengen nonton. Udah lama gak nonton film.” Jawabnya tanpa curiga.
“Oh, gitu ya. Ya udah mandi dulu sana. Mumpung pangeranmu belum jemput.” Jawabku
dengan kalimat yang menandakan cemburu.
“Iya deh.” sahut Dela tanpa memahami kecemburuanku.
Aku menghela nafas sembari merebahkan tubuh di kasur. Sepertinya aku salah memilih
hari bertandang di Jogja ini, pikirku. Mereka berdua sekarang justru sedang mesra-
mesranya, dan kedatanganku tidak akan memberikan perubahan apa-apa pada hati Dela.
Cling!, bbmku berbunyi kembali. Buru-buru ku baca. Dari Rida.
“Udah di Jogja Yog?” tanyanya.
“Udah, ini lagi di hotel. Eh Rid, sepertinya aku memilih hari yang salah untuk datang
kesini,” lanjutku.
“Maksudnya?”
“Yaaah, Dela dan Andri justru lagi mesra-mesranya. Gak akan ada pengaruhnya meski
aku datang kesini berniat melamarnya. Aku lebih siap ditolak kayaknya,” jawabku.
“Apapun hasilnya yang penting usahanya bro...” Rida menjawab diplomatis.
“Ya, hasil yang buruk keliatannya,” candaku.
“Emang udah ketemu sama Dela ?”
“Belum. Ini tadi barusan tak bbm katanya entar sore mau nonton sama Andri. Belum-
belum udah cemburu nih ati...” rutukku.
“Hahahahaha, kasian deh kamu Yog. Ya udah, besok aja, jangan malam ini. Kalo bisa
kamu temui dia pagi atau siang gitu, trus ajak dia ketemu sorenya. Jadi gak keduluan
Andri.” Rida memberikan usul.
“Dela kalo pagi PKL di mini market,”
“Ya temui aja di tempat PKL. Ajak janjian sorenya. Kan beres,”
“Aku gak tau mini marketnya dimana. Dia Cuma bilang dekat kampus.”
“Ya, kamu cari aja sekitar UGM situ ada mini market mana aja. Ayo, pejuang jangan
mudah menyerah!!” Rida memberi semangat.
Aku tersenyum membaca kalimat terakhir Rida. Kucoba membelokkan perbincangan,
“Kamu gak cemburu Rid?” godaku.
“Hah ?”
“Jujurlah..,” lanjutku.
“Hm..cemburu sih. Seorang pria yang aku kagumi justru tengah mencari cintanya nun
jauh disana. Bahkan dia sudah tau, cintanya itu akan ditolak. Tapi toh dia tetap
mencarinya,” jawab Rida.
“Hahahahaha...bisa aja kau Rid. Jadi kamu juga berharap aku ditolak ya?” aku menahan
senyum dibibir.
“Entah deh. Hatiku terlalu terlibat disini,” Rida berusaha jujur.
“Yaaah, paling tidak kalo Dela menolak, tinggal 2 pilihan yang harus kupilih.” Sahutku
segera.
“Aku bersedia menunggu untuk dipilih..” jawab Rida datar.
“So sweet...hihihihi”
-----------------------
Jogja, hari kedua, pagi hari.
Aku sudah siap untuk berburu posisi Dela pagi ini, seperti usulan Rida. Dengan bantuan
Google Maps, aku mencari titik-titik mini market di sekitar kampus UGM. Ternyata ada
banyak sekali mini market disekitar UGM. Dari yang besar sampai yang kecil tersebar
disekitar kampus dan jalan Kaliurang. Iseng-iseng aku cek status bbm Dela untuk
mencari petunjuk.
Alhamdulillah, Dela baru saja mengganti foto profilnya. Dia berdiri di depan sebuah
tulisan besar yang menandakan dimana dia PKL. Indomaret!!.
Buru-buru aku cegat taksi di depan hotel dan memerintahkannya menuju kampus UGM.
Menurut Google Maps, Indomaret di sekitar UGM ada tiga tempat. Setiba di UGM, aku
berjalan kaki sepanjang jalan Kaliurang mencari indomaret pertama. Aku masuk dan
pura-pura belanja. Mataku menyelidiki mencari sosok Dela. Tidak ada. Beberapa lama
aku di Indomaret itu hingga merasa gak enak sama pramuniaga yang mengawasi toko.
Aku cek di foto Dela, sepertinya bukan ini Indomaret dimana Dela PKL. Karena tidak
ada sudut yang mirip dengan sudut dimana foto Dela berada.
Akhirnya aku menuju kasir dengan sekaleng Coca Cola ditangan. Tengsin kalo keluar
gak belanja. Mana tadi lama banget celingak celinguk liatin kantornya. Yah, perjuangan
belum selesai sodara!.
Keluar dari indomaret 1, aku berjalan menuju indomaret berikutnya. Jaraknya 2 km dari
indomaret 1, jauh juga, mana panas pula. Udah lewat dhuhur ketika aku nyampe di
indomaret 2. Gak pake lama, kutanyakan ke pramuniaga adakah pegawai PKL bernama
Dela.
“Oh mbak Dela lagi sholat mas,” jawab pramuniaga yang bertugas di depan.
“Alhamdulillah, “ aku bersyukur dalam hati. “Gak papa mbak, saya tunggu aja.”
Aku duduk di ruang tunggu depan kasir. Tepat di depanku duduk, terdengar suara
gemericik air dari kamar mandi. Aku menunggu dengan berdebar. Suara musik TV
ruangan sama sekali tidak mampu menurunkan keteganganku.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Seorang perempuan berkerudung hitam, berbaju
gamis putih keluar dengan wajah yang basah. Cantik sekali.
“Mas Yoga?” Dela sangat terkejut. Aku hanya senyam-senyum melihat reaksi Dela.
“Kok mas Yoga bisa tau aku di sini?” lanjutnya.
“Google Maps...” seruku sambil mengangkat Blackberry.
“Tapi kok bisa bener masuk ke Indomaret yang ini? Kan Indomaret banyak?” Dela masih
terheran-heran.
“Yaelah...ya dicobain satu-satu. Ketemu juga kan? Hehehehehe”
“Nekat ya...” Dela takjub.
“Kamu sholat dulu sana, tak tunggu.” Balasku.
Dela mengangguk dan menuju ke belakang kantor. Aku bernafas lega. Akhirnya
kesampaian juga bikin surprise. Rasanya tak sabar menunggu Dela selesai sholat. Jam
dinding menujukkan pukul 13.20, baru ingat kalo tadi pagi belum sarapan saking
semangatnya. Aku menoleh keluar dan melihat lalu lalang mobil yang lewat didepan
toko. Tak sadar hingga beberapa lama, Dela sudah duduk disampingku.
“Mas Yoga kok gak ngomong kalo ke Jogja ?”
“Cuma mau bikin surprise,” jawabku.
“Ya, tapi jangan kesini dong. Kan Dela malu. Andri aja kalo jemput gak pernah masuk ke
toko, Cuma nungguin di depan,” sahut Dela.
“Aku Cuma pengen bikin janji. Setelah ini aku balik kok. Nanti sore bisa ngobrol gak?”
“Ntar sore ya?” Dela terlihat bimbang. “Iya deh. Mas Yoga ke kosan Dela aja ya.
Kebetulan dik Dewi entar sore juga mau main ke kosan.”
“yaaa, kok ada dik Dewi ? kan mas Yoga mau ngobrol berdua. Sesuatu, yang gak enak
kalo didengar orang lain.”
“Emang mas Yoga mau ngomong apa sih?”
“Masih ingat janji-janjiku dulu?”
“Iya. Lalu?”
“Ya, aku ingin semua janji itu selesai hari ini.”
“Ya udah. Nanti malam mas Yoga ke kosan aja. Kita ngobrol di sana. Sekarang mas
Yoga pulang dulu. Dela masih belum selesai kerja. Oke?” pinta Dela.
“Oke. Aku balik dulu.” Anggukku.
“Mas Yoga naik apa tadi?” tanya Dela.
“Jalan kaki,” sahutku sambil tersenyum jenaka.
“Becanda ah. “ sungut Dela.
“Serius.”
“Gila kamu mas...,”
“Hehehehehe...”
-----------------------
Hujan deras menyirami kota Jogja selepas maghrib. Aku memandang gelisah ke luar
jendela kamar hotelku. Bisa kacau rencana malam ini, batinku. Tanpa mempedulikan
hujan, aku tetap berganti pakaian, kaos merah maroon dan celana jeans gelap jadi
pilihanku. Kukenakan jaket tebal bertudung yang biasa menemaniku dalam perjalanan.
Aku keluar kamar, turun menuju restoran di lobi hotel. Sembari minum segelas teh
hangat, aku menikmati alunan live music dari grand piano yang dimainkan seorang pria
berjas. Lagu-lagu klasik syahdu dan memikat hati. Kulirik keluar, hujan tampaknya
mulai reda. Buru-buru kuhabiskan teh hangatku, kemudian berlari keluar hotel. Hanya
300 meter jarak dari hotel ke kos-kosan Dela. Tidak ada kendaraan lewat yang bisa aku
tumpangi. Aku putuskan untuk jalan kaki. Gerimis masih turun menemani perjalananku
menuju kosan Dela. Jaket tebal kurapatkan ke tubuh. Mulutku berdendang menikmati
turunnya gerimis, berkhayal seolah aku ada di sebuah video klip milik Take That,
I guess now its time for me to give up
Gotta picture of you beside me, gotta lipstick mark still on your coffe cup........
Whatever I said, whatever I did, I didn’t mean it, I just want you back for good
Whatever I am wrong, just tell me the song and I’ll sing it
I just want you back for good
Want you back, want you back for good....
------------------------------
Aku berteduh di teras sebuah warnet di depan kosan Dela. Hujan deras kembali turun.
Kuraih Blackberryku dan mengirim pesan singkat lewat bbm ke Dela.
“Aku didepan kosanmu. Bukain pintu pagar dong,”
Dingin sekali malam ini, jaket tebalku tidak mampu menahan gempuran angin yang
mempermainkan air hujan. Tit..tit..., ponselku berbunyi kembali. Kali ini sms. Kurogoh
saku celana, kubaca.
“Aslm, akhi. Kaif hal? Kapan bisa main ke rumah ? ortu ana sudah pengen kenal antum.
Gak usah buru-buru, direncanakan aja. Afwan ganggu.”
Dari Anita. Ya Allah, saat aku tengah berjuang menyelesaikan janjiku dengan Dela, kok
malah yang disana nagih janji pula. Jadi bingung. Berlahan-lahan otakku berusaha
berpikir jernih. Mempertimbangkan berbagai hal, menahan segala gejolak hati yang
berusaha menguasai. Aku tidak boleh terus begini, batinku berujar. Kupejamkan mata
sejenak, menarik nafas dalam-dalam. Menghembuskannya lewat mulut dengan teratur.
Kupencet tombol reply dan kutulis balasan beberapa kalimat. Sent.
“Kreeeek...” suara pagar rumah dibuka mengagetkanku. Seorang gadis berkerudung
gelap berjalan kearahku membawa payung lebar. Dela.
“Ayo mas, masuk.” Ajaknya begitu tiba di depanku. Tangannya menyorongkan
payungnya ke kepalaku. Aku mengangguk, tetapi kali ini, aku tidak mau berpayung
berdua Dela. Ada yang tengah berubah dalam hatiku.
“Kamu masuk aja dik, aku tak lari aja, gak usah pake payung gak papa.” Pintaku.
Dela hanya mengangkat bahu, berjalan kembali ke arah kosannya. Aku mengikuti dengan
sedikit berlari di belakangnya.
Duduk di ruang tamu yang nyaman, kulepas jaketku yang basah. Dela masuk ke dalam
sejenak dan kembali dengan membawa teh panas yang masih mengepulkan asap tipis.
“Udah makan malam mas?” tanya Dela.
“Belum. Gampanglah itu,” sahutku, sembari mencicipi teh panas yang disediakan Dela.
“Kita keluar aja nanti bareng dik Dewi, cari makan di angkringan. Paling abis ini dik
Dewi dateng.” Lanjutnya.
Aku belum mampu berkata-kata. Ada perubahan besar didalam hatiku. Dan hanya aku
yang tahu.
Dela duduk didepanku, sibuk ber-Blackberry ria tanpa mengindahkan aku. Tuh kan, aku
ditinggal autis ria, rutukku.
“Aku jauh-jauh kesini bukan untuk ditinggal bbm-an,” ujarku cemberut.
Dela tersenyum,
“Iya...bentar...,” sembari terus mengetik.
Kurebut berlahan Blackberrynya dan kuselipkan di balik majalah yang tergeletak di meja.
“Aku serius...”
“Iya...iya mas...aduh...gitu aja marah...,” Dela nyengir.
Aku menghela nafas. Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata, ponsel Dela
berdering.
“Dik Dewi...,” ujarnya singkat, “Apa dik..? ya, ya udah kesini aja. Ya entar jangan balik
dulu, kita pake aja taksinya. He-em ini mas Yoga udah disini kok. Ya, ya udah.
Waalaikum salam” Dela bicara melalui ponselnya.
“Ada apa ?,” tanyaku.
“Bentar lagi dik Dewi kesini. Kita ikut aja taksinya. Sekalian cari makan. Oke ?”
“Iya deh. Kita bicara saja nanti.” Aku menyerah.
Kami terdiam beberapa lama. Dela kembali sibuk ber-bbm ria.
“So, just tell me about your trip. How can you do that ? “ Dela membuka percakapan.
“What ? this trip ?” aku balik bertanya.
“Yap..,”
“Just because...you know, crazy little thing called love..hehehehe,” aku berusaha melucu.
Dela tertawa tergelak hingga bahunya bergoncang kecil. Aku tersenyum lebar melihatnya
tertawa. Dia cantiiiik sekali. Kesekian kalinya aku menghela nafas panjang.
“God, I have to make a choice...”, batinku.
“Ding dong...” tiba-tiba bel rumah berbunyi.
“Mungkin dik Dewi, “ ujar Dela.
Bergegas Dela membuka pintu. Aku ikut melihat siapa yang datang. Sebuah taksi kuning
tengah berhenti di depan pagar.
“Mbak Delaaa...ayo...,” kepala dik Dewi muncul dari jok belakang taksi.
“Ayo mas, cepetan.” Dela mengajakku keluar.
Aku beranjak memakai jaketku kembali. Dela masuk dan duduk disamping dik Dewi, di
jok belakang. Aku duduk disamping supir. Dik Dewi memerintahkan supir menuju suatu
tempat. Berlahan taksi bergerak menembus hujan yang masih cukup deras. Aku
menggigil di samping supir. Udara dingin dari AC taksi membuatku makin kedinginan.
-----------------------------
“Gudeg mercon ?” aku ternganga membaca papan nama tempat kami berhenti.
“Mas Yoga doyan pedas kan ?” dik Dewi menanyaiku sambil tersenyum lebar.
“Insya Allah, dik. Malah doyan banget, hehehehehe.” Jawabku.
“Naaaah, mbak Dela ini yang gak doyan pedas...hahahahaha,” dik Dewi mencubit pipi
kakaknya dengan gemas.
“Biarin ah...kan bisa gak pake merconnya,” sungut Dela.
“Gak bisaaa...harus pake mercooon..,” dik Dewi terus terusan menggoda kakaknya.
Kami tertawa berbarengan dan turun dari taksi. Mengambil tempat duduk yang nyaman
di salah satu sudut ruangan, lalu memesan makanan. Lebih tepatnya, aku hanya
mengikuti apa pesanan mereka. Habisnya, gak paham dengan jenis makannya. Daripada
salah. Beberapa menit pesanan kami sudah siap santap.
“Subhanallah, pedasnya nampooool !!!,” aku mendesis setelah menyuapkan sesendok
nasi gudeg ke mulutku.
Dik dewi tertawa tergelak-gelak melihat kakaknya makan dengan sangat hati-hati.
Potongan cabe menggunung di pinggir piring Dela. Dia senang sekali berhasil ngerjain
kakaknya.
“Kalo nanti aku sakit perut, tanggung jawab ya!!!” Dela tampak sebel dengan prilaku
adiknya.
Kami berdua tak mampu menahan gelak tawa. Dela benar-benar kena batunya malam ini.
Malam yang indah, dan wisata kuliner yang sempurna.
-------------------------
Lobi Hotel, 22.30.
“Dik, aku minta ijin bicara dengan kakakmu ya,” aku meminta ijin kepada dik Dewi
ketika mereka mengantarkanku pulang ke hotel.
“Iya deh mas. Tapi aku nunggu dimana ya? “ jawab dik Dewi.
“Gini deh. Kita ke restoran hotel. Kamu duduk dimana aja terserah. Pokoknya beri
privasi aku dan kakakmu. Deal ?”
“Deaaalll,” sahut dik Dewi.
Dela dari tadi diam, tetapi mengikutiku duduk di salah satu sudut restoran. Malam ini
bukan malam libur, restoran tidak ada pengunjung. Pemain grand piano yang tadi sore
memainkan lagu klasik tidak lagi ada. Benar-benar sepi. Hanya ada kami bertiga dan
petugas-petugas hotel.
Dela duduk di depanku. Aku menghirup nafas berulang-ulang. Kulihat wajah Dela
sedikit nervous, menanti apa yang ingin kuucapkan.
“Dik, aku disini untuk membuktikan bahwa aku orang yang menepati janji,” aku
membuka percakapan.
“Ya, mas. Terima kasih, I really appreciate that.” balas Dela.
“Gimana kabar kamu dan Andri ?” tanyaku memotong topik.
“Kami baik-baik saja.” Suara Dela melirih.
“Kapan dia akan melamarmu ? kapan kalian menikah ?”
“Aku belum bisa menjawab mas. Kami jalani dulu apa yang ada sekarang. Banyak hal
yang harus kami selesaikan.”
“Omong-omong, dik Dewi tau ya, apa yang terjadi diantara kita?” tanyaku lagi.
“Dik Dewi udah gede, mas. Dan dia sudah aku ceritakan semuanya.” Jawab Dela.
“Baiklah. Ada sebuah keputusan yang harus dibuat. Aku ingin berjanji kepadamu
sekarang. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi mengganggu kalian, tidak lagi
mengharapkanmu, tidak lagi mencoba merebutmu dari Andri. Mulai saat ini aku akan
belajar menghapus cintaku padamu. Aku berterima kasih atas segala inspirasi yang kau
berikan kepadaku. Lagu-lagu, puisi-puisi dan semua karya yang tercipta karenamu.
Thanks for everything you’ve given to me. Love, support, all of it.” Aku terhenti beberapa
detik. Begitu berat mengucapkannya. Hatiku remuk redam. But the show must goes on...
“Maafkan aku, bahwa aku tidak datang kesini untuk melamarmu...” suaraku bergetar
lirih.
Dela terdiam. Matanya memandangku kosong.
“Mas Yoga sudah bertemu orang lain ?”
“Ya. “ jawabku pendek.
Dela membisu. Matanya menerawang jauh. Kemudian memandangku kembali, berusaha
tersenyum.
“Ya sudah deh. Semoga mas Yoga segera menikah. Doakan aku dan Andri juga bisa
segera menikah.”
Aku balas senyum Dela senatural mungkin, berusaha menutupi apa yang ada dihatiku.
Sejenak aku mendapatkan sebuah ide. Aku bangkit dari tempat duduk dan menghampiri
seorang petugas hotel. Kami berbincang sebentar, lalu petugas hotel itu mengangguk.
Aku kembali ke meja dimana Dela duduk, dan memintanya berdiri mengikutiku ke
tempat grand piano terletak.
“Sebelum semuanya berakhir, bolehkah aku menyanyikan lagu untukmu ?.”
“What kind of song?” tanya Dela.
“Just listen,” jawabku dengan senyuman lebar.
Aku duduk di kursi grand piano dan membuka tutup tutsnya. Kumainkan beberapa nada
dasar untuk melemaskan jariku. Dela berdiri di samping, menyandarkan tangannya diatas
piano. Kumainkan nada C dan F. Suara piano yang lembut menggema memenuhi
ruangan.

Silent please coz I’ve got something to say


And I’m going round in circle everyday
The more I shout the more I hesitate
Now that you’re gone..oh you’re gone

Stand up please till I’m done loosing my mind


And I thank you all just once too many times
The more we fall the higher we must climb
Now that you’re gone...oh you’re gone...

Coz everybody love a circus show


But I’m the only clown you’ve ever know
And now you can applaud my best mistake
I love you, once too many words to say

Silent please coz I’ve got something to say


And before my music takes you all away
I never thought I’d leave it all so late....
Now that you’re gone...oh you’re gone....

I love you, once too many words to say


to say....
------------------------
00.30 wib. Kamar hotel.
Mataku masih belum mampu terpejam. Air mataku berlinang membasahi bantal. Hatiku
hancur berkeping-keping. Tetapi aku bersyukur telah bertindak tepat. Aku telah
memilih.., keputusan itu kubuat dalam waktu yang singkat. Semoga Allah memudahkan
pilihanku... aamiin....
-----------------------
-VI-
The Wedding Album

“Kamu udah yakin dik sama Andri ? yakin mau jadi istrinya ?”
Sore itu kami bermain kartu di depan TV. Om Priyo menemani tapi kemudian terlelap di
kasur dekat kami.
“Belum, mas.” Dela menjawab dengan muka tidak nyaman. “ Aku tunggu setaun ini
kalau dia tidak juga melamarku akan aku tinggal. Take it, or leave it” tegas Dela.
“Hm, boleh aku menanti masa itu datang ?” tanyaku.
“Mas Yoga gak pengen cari yang lain ? “ Dela balik bertanya.
“Aku memilihmu dik..,” jawabku.
“Terserah mas Yoga. Aku gak berani janji apa-apa.”
------------------------------------
“Aku akan kembali dik. Suatu saat nanti.” Janjiku. “Karena aku yakin kamu akan
menjadi milikku. I”ll be the winner. I promise you..”
Dela terdiam. Bahkan matanya pun tak mampu membalas pandanganku.
Aku naik keatas bis dan menoleh kembali kepadanya.
“Aku pulang dulu ya dik,” ujarku berpamitan. Kupandang kembali mata Dela yang
sendu, seolah menyesali perpisahan kami. Dela hanya mengangguk membalas
pamitanku.
“Aku ingin kamu mendengar langsung dari mulutku dik,” aku melanjutkan kata-kata
perpisahan.
“Apa mas ?”
“You always know, I love you...” jawabku.
Dela terdiam. Aku tidak perlu menunggu jawabannya. Aku beranjak naik ke atas bus
yang sudah menanti. Tapi Dela memanggilku sebelum aku terlalu jauh naik ke dalam
bus.
“Mas,” Dela bersuara lirih.
“Apa dik?”
“I love you too...”
-----------------------------
Tepat selesai sholat, Zul masuk kamar mengajakku keluar. Aku keluar dengan menunduk.
Gemetar hatiku makin tak beraturan. Hingga duduk di depan akhwat itu, aku masih
menunduk. Zul mempersilakan aku memulai taaruf. Kuangkat perlahan wajahku. Pada
saat yang sama, Anita, akhwat itu, mengangkat pula wajahnya. Tatapan kami beradu.
Subhanallah, hatiku bergetar hebat. Aku tengah melihat seorang bidadari dunia.
Kulitnya putih bersih, senyumnya menawan hatiku, binar matanya mempesonaku, gerak
geriknya lembut. Aku terpana, tak kuasa aku berucap sepatah katapun.
Aku kembali menunduk. Zul menggenggam tanganku memerintahkanku untuk bicara.
Aku hanya menggeleng. Hatiku bergemuruh penuh dengan buih-buih cinta...ya Allah, ya
Allah...ya Allah.....
--------------------------------
“Baiklah. Ada sebuah keputusan yang harus dibuat. Aku ingin berjanji kepadamu
sekarang. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi mengganggu kalian, tidak lagi
mengharapkanmu, tidak lagi mencoba merebutmu dari Andri. Mulai saat ini aku akan
belajar menghapus cintaku padamu. Aku berterima kasih atas segala inspirasi yang kau
berikan kepadaku. Lagu-lagu, puisi-puisi dan semua karya yang tercipta karenamu.
Thanks for everything you’ve given to me. Love, support, all of it.” Aku terhenti beberapa
detik. Begitu berat mengucapkannya. Hatiku remuk redam. But the show must goes on...
“Maafkan aku, bahwa aku tidak datang kesini untuk melamarmu...” suaraku bergetar
lirih.
Dela terdiam. Matanya memandangku kosong.
“Mas Yoga sudah bertemu orang lain ?”
“Ya. “ jawabku pendek.
Dela membisu. Matanya menerawang jauh. Kemudian memandangku kembali, berusaha
tersenyum.
“Ya sudah deh. Semoga mas Yoga segera menikah. Doakan aku dan Andri juga bisa
segera menikah.”
Aku balas senyum Dela senatural mungkin, berusaha menutupi apa yang ada dihatiku.
-----------------------------
01.15 wib, Dini Hari
Aku terkejut ketika mendapati ponselku berdering. Dengan berat hati aku turun dari
tempat tidur menuju meja. Sedikit tersentak ketika melihat nama yang muncul di layar.
“Dela!”
“Assalamualaikum,” suaraku sangat khas orang bangun tidur.
“Waalaikum salam,” suara perempuan diujung sana terdengar lirih.
“Ada apa dik, kok telepon malam-malam?” sudah cukup lama kami tidak saling
menelepon, apalagi di tengah malam. Dulu, ketika aku masih berharap cintanya, beberapa
kali kami ngobrol lewat telepon hingga larut malam. Tapi itu dulu, sebelum kami
memutuskan untuk tidak saling berharap satu sama lain.
“Mas Yogaaaaa, aku gak bisa tiduuur,” Dela merajuk, suaranya sesenggukan.
“Kamu nangis ya?,” tebakku.
“Besok aku ujian, tapi jam segini belum bisa tidur,”
“Halaah, mau ujian aja kok pake nangis sih. Kayak abis putus cinta aja,” jawabku agak
ketus.
“hik..hik.. emang aku putus sama Andri,” kini Dela tak mampu menutupi tangisnya.
“Ha? Putus? Biasanya juga putus habis itu balik lagi kan.” Aku hafal betul sama prilaku
Dela dan pacarnya itu. Putus nyambung putus nyambung, sekarang putus, besoknya
menyesal. Kayak lagu aja jadinya.
“Enggak. Kali ini gak mungkin aku mau balik,” sahut Dela cepat. “Ingat kan mas, batas
waktu yang dulu aku ceritakan. Hari inilah batas waktu itu, dan Andri gak mau
melamarku. Ya udah, putus!”
Aku terhenyak. Haruskah aku bersorak gembira ?. Bukankah ini waktu yang sejak dulu
aku tunggu ?. Tidakkah ini waktu yang tepat untuk merebut hati Dela? Aku termangu.
“Mas ?, kok aku ditinggal bobok sih…”
“Enggak kok, aku denger. Kaget aja, ternyata Dela bisa tegas juga hehehe,” aku berusaha
menutupi gelisahku.
“Aku harus tegas mas. Gini-gini aku bisa tegas,” suara Dela masih terdengar sendu.
Aku terdiam…. Hatiku campur aduk.
-----------------------------
Cling!!, ringtone sms dari ponselku memecah keheningan. Buru-buru kubaca,
“Assalamualaikum, akhi. Afwan saya ingin menanyakan, kapan antum main ke rumah
dan berkenalan dengan orang tua ana? Ini sudah lewat 3 bulan dan antum belum memberi
kepastian. Antum harus ingat bahwa masa taaruf itu ada batasnya. Kalo antum tidak
segera siap, silakan mundur saja”
Aku menghela nafas dalam-dalam, sms Anita mendadak datang seperti geledek di cuaca
cerah siang ini. Kepalaku tiba-tiba kembali pening, meski tidak seperti kemarin ketika
baru masuk ke ruangan ini. Tanganku belum mudah untuk digerakkan, bahkan masih
sangat sulit untuk sekedar memencet tombol-tombol keypad demi membalas sms Anita.
Tetapi kalo lah aku bisa membalas smsnya, apa yang harus aku jelaskan? Aku tidak ingin
mengharapkan belas kasihan Anita atas keadaanku, bahkan orang tuaku pun tidak tahu
aku sedang dilanda kesusahan. Lalu meski aku berani memberi kepastian kapan aku
mengkhitbah-nya, hingga kini aku tetap dilanda keraguan. Benarkah aku pantas menikahi
akhwat secantik Anita ? bukankah aku selama ini masih seorang ikhwan yang buruk,
yang belum mampu menjaga pandangan dan hati ?
Tak terasa air mataku menetes, bertubi-tubi hingga nafasku tersengal-sengal. Tidak ada
siapa-siapa selain aku di ruangan ini, dan aku merasa tak lagi mampu menahan beratnya
beban yang memenuhi kepalaku. Ya Allah, ya Allah, berilah hambamu petunjuk…….
----------------------------------
Masjid Jami Sulthoni, Pathok Negara, Sleman
Ada aroma kuno ketika aku memasuki serambi masjid ini. Arsitektur jawa khas dengan 4
tiang kayu besar menghiasi ruang utama. Bahkan mimbar khatib pun tak luput dari
keindahan ukiran arab abad lampau. Banyak warga sekitar yang duduk didalam masjid
menyambut kehadiran rombongan kami. Wajah-wajah penuh senyum dan ramah,
memberikan kesejukan bagi siapapun yang menyaksikannya.
Di masjid inilah akan dilangsungkan akad nikah. Diiringi pengantar pengantin yang lain,
aku berusaha rileks dan duduk bersila disamping ayahku dan om Priyo, pamanku yang
juga ayah Dela. Kami semua masih menanti rombongan pengantin putri yang memang
berangkat lebih terlambat. Kulihat wajah tua ayahku tampak berbahagia, begitu juga Om
Priyo tak hentinya menebar senyum kepada seluruh hadirin. Sebuah hari bahagia, dan
semua menantikan detik-detik sakral ketika ijab kabul dilakukan.
------
“Saya terima nikahnya, Adelia Puspita binti Priyo Sudarmanto dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat 2 gram dibayar tunai!!!”
“Alhamdulillah, sah!!!” seru saksi diiringi hadirin yang menyaksikan.
“Barakallahu laka wa Baraka alaika, wa jamaa bainakuma fi khair…aamiin….”
Kulihat Om Priyo tak mampu membendung rasa harunya, bulir-bulir air menitik dari
sudut-sudut matanya. Aku melayangkan wajah ke barisan belakang dimana Dela duduk
ditengah kerumunan ibu-ibu jamaah masjid. Wajahnya menunduk, badannya tampak
sedikit gemetar, kukira dia menangis pula.
“Menangislah dik,” aku berkata dalam hati, “Sesungguhnya air matamu adalah salah satu
tanda kekuasaan Allah. Berbahagialah dik, karena engkau saat ini telah bersuami…..”
----------------------------------
Jogja, setelah malam perpisahan, cuti sisa satu hari.
Reruntuhan perasaanku kepada Dela atas perbincangan kami di lobi hotel semalam,
masih terasa membekas di hati. Hanya, kakiku terasa sedikit ringan melangkah.
Menyusuri Malioboro di siang yang cukup menyengat, peluh tak terasa setitik demi
setitik mengalir di dahiku yang tertutup topi hitam. Sesekali aku harus berjalan miring
karena berpapasan dengan orang-orang yang lewat diantara lapak pedagang kaki lima
yang menggelar dagangannya di sepanjang trotoar. Aku berjalan bergegas, tidak seperti
wisatawan lain yang berjalan perlahan sembari melirik barang dagangan yang
ditawarkan. Aku hanya ingin berjalan, tak tentu arah. Mataku menerawang jauh, dan
sudut-sudut kota Jogja terasa mentertawakanku. Awalnya aku berharap bisa sedikit
melupakan kesedihanku semalam dengan jalan-jalan di pasar Malioboro, tetapi nyatanya
tidak. Bayang-bayang Dela yang muncul di kepalaku, berimajinasi berlarian ditepian
pedestrian, menyempitkan relung-relung hatiku yang kacau. Otakku terus saja berandai-
andai, bila saja Dela menjadi istriku, maka kota ini adalah kota terindah yang akan
menjadi saksi. Tetapi bukan itu yang terjadi, semuanya berkebalikan meski aku sendirilah
yang memutuskan untuk pergi meninggalkan harapanku kepada Dela.
Jogja tak lagi seindah yang dulu. Aku tak mungkin merindukannya sebagaimana aku
merindukannya dahulu. Kota ini menjadi saksi cintaku yang tak sampai. Maka tiap-tiap
ruasnya menjadi begitu menyakitkan, tiap-tiap arusnya menjadi kepedihan. Wahai Jogja,
maafkan aku tak lagi bisa menikmati keindahanmu.
Tak terasa ujung jalan Malioboro telah kucapai. Bangunan keraton Kesultanan
Yogyakarta berdiri megah menyilaukanku. Keindahannya mempesona, pintu gerbangnya
berhias ukiran-ukiran tua, menyeruakkan waktu lampau nan mistis, masa dimana syariat
Islam adalah hukum negara. Aku tertegun sejenak dihadapan gedung tua itu.
Subhanallah.....
--------------------------------
“Selamat Pagi pak Yoga, gimana liburannya?”, Hidayat -satpam biro- menyapaku, di hari
pertama aku kembali ke kantor.
Aku membalas senyum lebarnya. Langkahku kuhentikan sejenak di samping pintu
dimana Hidayat berdiri.
“Tumben bener pake nyapa,” selorohku. “Pasti minta oleh-oleh deh,”
“Ah, pak Yoga. Jadi malu, hehehe,” Hidayat terkekeh menjawab candaku.
“Tenang bro. Ntar pas istirahat siang main aja ke mejaku. Ada camilan-camilan khas
yang aku bawakan khusus buat teman-teman,” sahutku segera sembari bergegas.
“Alhamdulillah..., siap Pak!! Hihihihihi ”
Sebenarnya masih cukup pagi, tetapi aku tidak ingin Hidayat menanyaiku lebih jauh
tentang Jogja. Aku benar-benar muak, meski sekedar mendengar kata “Jogja”. Saat ini
tengah terjadi perubahan persepsi yang radikal di otakku. Aku sadar tidak boleh
membiarkan persepsi salah itu terus menerus menguasaiku. Cepat atau lambat, aku harus
kembali menjadi Yoga yang sebenarnya. Aku juga harus terus memilih. Masih ada 2
orang yang menanti keputusanku, Rida atau Anita. Rida tidak mudah ditolak, dan pesona
Anita masih sangat membekas di benakku. Benar-benar bukan pilihan yang mudah
dijatuhkan.
Kubuka pintu ruangan yang sepi. Masih pukul 07.00, biasanya teman-teman berangsur
angsur datang 15 menit lagi. Setumpuk map warna warni tertata rapi diujung mejaku,
pekerjaan 3 hari yang tertunda karena kutinggal cuti. Aku menghela nafas dalam-dalam.
Segera aku duduk dan membukanya satu persatu. Kunyalakan komputer di meja dan
mulai mengetik laporan-laporan berdasarkan hasil tes yang terkumpul di map. Ini akan
jadi hari yang panjang,
bismillahi rohmanir rohim.....
----------
18.30 wib
Wajahku masih sedikit basah, sisa dari air wudhu sholat maghrib yang baru selesai
kukerjakan di mushola kantor. Sejenak kugerak-gerakkan badanku yang kaku di depan
meja. Leher yang terasa lelah kupijit dengan tangan kiri. Kepalaku sedikit pening, tetapi
rasa tanggung jawab menguasai benakku untuk tidak mudah menyerah. Profesionalisme
harus tetap diutamakan, meski tubuh sudah berkali-kali menyalakan alarm istirahat. Aku
kembali konsentrasi duduk dan menyibukkan diri dengan isi file dalam map. Tinggal 2
map, insya Allah pukul 8 bisa selesai dan pulang. Ku usap wajahku dengan gosokan
tangan berulang ulang. La haula wala quwata illa billah!!!
-------------------------
“Alhamdulillah, aku punya calon pengganti buat mantan suamiku”
Sore itu aku kaget mendapat pesan singkat melalui BBM dari Rida. Anak ini gak doyan
basa-basi deh, batinku. Aku yang tengah bersiap halqoh dengan ustad Chafid di mushola
jadi terhenyak dan tak urung membalas pesan singkatnya,
“Bukan aku kan?”
“Yeee…. Ge-er…” balas Rida.
“Siapa ?”
“Tuh, lihat deh di profil pictureku…,”
Aku menggeser kursor kearah atas, dan memperbesar gambar yang terpampang di profil
bbm Rida. Seorang cowok muda, berkacamata coklat tengah tersenyum manis.
“Cakep, keren, keliatannya bukan duda…hehehehehe,” selorohku.
“Hahahaha, iya. Masih bujangan nih. Keren ya gue?,” Rida membanggakan dirinya.
“Asli keren. Tapi sayangnya, pasti pacaran,” tebakku.
“Aduh Yog…aku gak bisa kalo gak pacaran dulu…,”
“Nah loh… kalo gitu ya terserah. Aku udah kasih nasehat. Berarti memang bukan kamu
jodohku, hehehehe.”
“Aku udah punya si dia ini kok yeee,” balas Rida
“Siapa namanya ?”
“Rian,”
---------
Apakah aku cemburu? Ternyata semua yang harus kupilih berlahan-lahan dijauhkan
dariku. Bukan aku tidak menginginkan Anita, aku sangat ingin memilihnya. Tetapi ketika
kondisi hatiku belumlah sehat setelah keruntuhannya di Jogja, proklamasi Rida benar-
benar disaat yang salah. Yang kurasakan otakku semakin kalut dan lemah. Aku ingin
berhenti dan menangis, sekedar untuk membuat hatiku lega. Tetapi amanah dan
kewajiban harus dijalankan, aku tidak punya cukup waktu untuk sekedar duduk dan
merenung. Aku harus berangkat, waktu sudah sangat mepet.
Motorku kupacu cukup kencang, kadang zig-zag diantara mobil-mobil yang menuju arah
Malang. Sementara angin dingin menerpa tubuhku bertubi-tubi. Kulirik ke arah langit,
mendung menggelantung ringan dan titik-titik air hujan mulai membasahi jalanan.
Sedikit lagi sampai, batinku. Tinggal dua belokan dan mushola Rhoudhotul Jannah,
tempat kelompokku halqoh ada di ujung jalan.
“Astaghfirllah!!!”
Mendadak kendaraan besar di depanku menghentikan lajunya. Sontak aku menarik rem,
tapi ban motorku justru melejit ke arah kanan, aku terguling di jalanan, helmku terbentur
aspal basah…sempat kulihat orang berlarian, lalu gelap.
---------
Tercium bau wangi pengharum ruangan ketika aku siuman. Ruangan kokoh persegi
berwarna krem mengelilingi kepalaku yang pening. Dua orang berseragam hijau
mendekatiku dan tersenyum lembut
“Mas Yoga Prasetya ?” salah seorang dari mereka bertanya.
“Ya,” jawabku perlahan.
“Anda ingat tadi kecelakaan ? ”
Aku mengangguk. Mulutku terasa sakit untuk bicara.
“Mas Yoga sekarang di Rumah Sakit, gak usah bingung. maaf kami tadi menggunakan
ponsel anda untuk menelepon orang terakhir yang berhubungan dengan anda. Namanya
Chafid. Anda kenal?”
Aku kembali mengangguk.
“kepala anda sobek di bagian dahi, sudah kami jahit. Tangan kiri anda dislokasi, akan
kami foto rontgen nanti agar lebih jelas. Sabar ya mas…”
Aku hanya bisa terdiam. Kepalaku sangat pening.
Dari arah pintu, masuk 4 orang pria berbaju koko. Aku mengenali 3 dari mereka, Firman,
Hari dan ustad Chafid. Satunya aku belum kenal.
“Syafakallah ya akhinafillah,” ustad Chafid mendekatiku dengan wajah khawatir. Beliau
mengusap wajahku lembut. Sedangkan kedua temanku berusaha membersihkan kotoran
yang menempel di baju-bajuku. Terasa lengket semua, reflek kuangkat tangan kananku.
Ya Allah, jaketku penuh darah kering.
“Luka di kepala memang banyak mengeluarkan darah mas..” Hari menjelaskan
kebingunganku.
Aku berpaling ke arah seorang laki-laki muda yang sedari tadi diam di samping ustad
Chafid. Aku berusaha tersenyum dan dibalasnya.
“Oh ya, kenalkan ini teman baru pindahan dari Kediri, sekarang kajian dengan kelompok
kita. Namanya Kurniawan” ustad Chafid memahami kebingunganku.
Aku mengangguk.
“Antum istirahat dulu, kami jaga disini sampai ada kepastian dengan kondisi antum,”
Lagi lagi aku mengangguk.
“Ustad,” aku berseru lirih. “Bapak-ibu jangan diberitahu dulu, biar gak bingung.”
“Ya, insya Allah”
Obrolan kami terputus ketika seorang dokter memasuki ruangan.
“Mas Yoga, yang dirasakan apa?” tanya pak dokter lembut.
“Pusing Dok, dan nyeri di pergelangan tangan kiri,” jawabku jujur.
“Merasa mual gak?” lanjut dokter.
“Sedikit dokter,”
“kami bawa mas Yoga untuk foto rontgen ya. Sekalian nanti setelah itu kami CT-Scan.
Khawatirnya ada gegar otak karena benturan tadi. Helm mas Yoga pecah, pasti tadi
jatuhnya cukup keras,” jelas pak Dokter.
Aku hanya bisa pasrah ketika dua orang perawat laki-laki mendorong tempat tidurku
keluar ruangan. Teman-temanku mengikuti keluar dan duduk di ruang tunggu. Aku
beristighfar dalam hati, bertasbih, bertahmid dan bertahlil berkali kali. Indahnya seorang
muslim adalah ketika diberi rizki dia bersyukur, dan ketika diberi cobaan dia bersabar.
Semoga aku mampu….
---------
Setelah proses foto rontgen dan ct-scan selesai, aku didorong kembali ke ruangan
observasi di IGD. Demi melihat kami datang, ustad Chafid bergegas mendekati.
“Tadi dokter menyampaikan pada kami bahwa antum harus rawat inap. Kamar sedang
diurus oleh Firman di loket. Saya pinjam kunci rumah antum biar saya ambilkan baju
ganti. Hari tadi pamitan pulang karena harus kerja sift malam. Antum ditemani sama
Kurniawan disini ya.”
Aku menjawab dengan anggukan kepala. Nyeri di kepalaku belum hilang juga, meski tadi
sudah diberikan suntikan obat. Mataku terasa berat, entah karena suntikan atau karena
aku sangat lelah.
“Saya ngantuk, ustad.” Ujarku lirih.
“Tidurlah, semoga Allah meringankan rasa sakit yang antum derita,”
--------------------------------
RSUD Saiful Anwar, hari ke 2 pukul 03.30 wib
Aku terjaga. Setelah kemarin seharian tidak bangkit dari tidur, aku merasa lebih baik hari
ini. Pergelangan tangan kiriku di bebat, tidak sampe dioperasi, karena menurut dokter
spesialis bedah tulang, hanya retak ringan dan nantinya cukup dilakukan fisioterapi rutin..
Alhamdulillah, hasil ct-scan tidak menunjukkan ada masalah di kepala. Rasa pusing yang
ku derita dimungkinkan karena benturan saat kecelakaan. Selang infus menancap di
tangan kananku, benar-benar sulit untuk bergerak meski hanya sekedar menjawab sms
ataupun bbm.
Kulirik saudara baruku yang tertidur di lantai beralaskan tikar. Kurniawan, aktivis
pindahan dari Kediri yang ditugasi oleh ustad Chafid menjagaku sejak hari pertama di
rumah sakit. Pemuda yang luar biasa, betapa aku sangat bersyukur mengenalnya. Usianya
masih 20 tahun, tetapi semangatnya untuk hidup mandiri sangat tinggi. Sebelum dia
pindah ke Malang untuk kuliah, dia pernah bekerja di sebuah perusahaan otomotif di
Jawa Barat, aku lupa tepatnya dimana. Saaat ini dia kuliah di universitas swasta, tapi
otaknya tak pernah berhenti berpikir untuk jadi pengusaha. Niat kerasnya yang terus
dipatri dalam hati adalah, menikah di usia 21 tahun. Mengenalnya membuat aku malu,
sungguh di usia yang sama, aku hanyalah mahasiswa biasa yang belum punya idealisme
apa-apa. Uang saku tidak pernah terlambat dikirim, kos-kosan cukup mewah dengan
fasilitas makan dari ibu kos. Sedangkan Wawan –panggilan Kurniawan- selama di
Malang bisa merasa nyaman tidur di mushola beralaskan karpet kasar, bahkan kini oleh
masyarakat dinobatkan jadi penjaga mushola resmi, dimana tugasnya adalah
membersihkan mushola, jadi muadzin plus imam kalo imam utama tidak hadir.
Menurutnya, dengan cara itu, dia bisa hemat biaya pengeluaran kos, bahkan terkadang
makan pun dikasih tetangga-tetangga mushola.
“Allahu akbar, Allahu Akbar!!” suara adzan subuh nyaring terdengar dari alarm
Blackberryku. Kuperhatikan Wawan tidak kunjung terbangun. Tentunya dia kecapekan
setelah malam tadi ngelembur tugas-tugas kuliahnya sembari menjagaku. Wawan hanya
akan meninggalkanku saat pagi hingga siang dimana dia harus kuliah. Selesai kuliah, dia
balik lagi kesini. Aku sempat bertanya, kenapa dia begitu baik mau menjagaku seperti ini,
meski kami baru saja kenal. Dan dia sambil terkekeh menjawab, bahwa dia juga pernah
sakit di perantauan dan dia sangat bahagia ada seorang temannya mau menjaganya
sebagaimana yang dilakukannya padaku saat ini.
“Kan kita disini sama-sama perantauan mas, kalo bukan teman yang kita minta
pertolongan, siapa lagi…gitu…” ujarnya semalam mengakhiri penjelasannya.
“Wan, bangun Wan..udah subuh ini…sholat dulu…,” suaraku memecah keheningan
kamar. Masih beberapa kali aku memanggilnya, hingga Kurniawan bener-bener
membuka matanya. Sejenak dia terduduk, menggosok-gosok mata dan wajahnya, tapi tak
lama kemudian bergegas berdiri dan membantuku bangun, memapahku masuk ke kamar
mandi untuk wudhu dan membersihkan diri semampuku. Lalu aku kembali ditidurkan
dan sholat dalam kondisi berbaring. Kurniawan juga bersiap dengan sarung dan pecinya,
berpamitan keluar untuk sholat di mushola rumah sakit.
Aku seolah melihat seorang adik laki-laki yang selama ini tidak pernah kumiliki pada
sosok Kurniawan ini. semoga Allah memberikan pahala yang berlimpah atas kebaikanmu
Wan, aamiin….
-------------------------
16.15 wib, hari ke 2.
Aku terbangun dari tidurku dan melihat cahaya matahari sudah semakin redup dari arah
barat. Aku belum sholat Ashar, batinku. Aku berpaling ke samping tempat tidurku dan
melihat Wawan tengah asyik membaca buku sembari bersila diatas tikar.
“Wan,…” panggilku pelan.
“Udah bangun mas ? ayo sholat ashar dulu udah sore nih,” ujarnya sembari berdiri.”Oh
ya, tadi ada teman antum datang katanya dari Lamongan, berhubung mas Yoga masih
tidur, beliau pamit keluar sebentar sholat Ashar di Mushola.”
“Lamongan ?!” aku terkesiap. “Siapa namanya? Cewek apa cowok ?”
“Halah, ngarep amat dikunjungi cewek, ya cowoklah…” Wawan terbahak.”Aku lupa gak
nanya namanya siapa.”
Mungkin Zulkarnain, batinku. Tapi dia tahu darimana aku di Rumah Sakit ? Jangan-
jangan dia datang ke rumah, dan ketemu tetangga yang tahu kalo aku kecelakaan. Pasti
dia akan memarahi aku karena menggantung status Anita. Pasti Anita sudah lapor ke
Zulkarnain kalo aku gak menjawab sms-nya kemarin siang. Kepalaku mendadak terasa
berat lagi. Hatiku berdegup-degup kencang, tanganku terasa lebih dingin dari
sebelumnya.
“Mas Yoga kok malah ngelamun..,” ledek Wawan. “Ayo tak bantu bangun, wudhu,
sholat.”
Aku berusaha mengangkat tubuh dari tempat tidur. Wawan membantu menyiapkan
sandal jepitku. Belum sempat aku turun, terdengar pintu kamar diketuk.
“Assalamualaikum,” suara diluar sana memberi salam. Aku hafal, itu suara Zulkarnain.
“Waalaikumussalam,” jawab kami serempak. Wawan sejenak meninggalkanku dan
membuka pintu.
Ketika pintu terbuka, kulihat wajah teduh sahabatku Zulkarnain. Senyumnya masih tetap
menenangkan hati, baju coklatnya –warna kegemarannya sejak di kampus- terlihat rapi
dan bersih. Demi melihat aku duduk, Zul bergegas menghambur dan memelukku
“Ya Allah, Yoga… kenapa tidak kasih kabar ?” suara Zul tenggelam diantara pelukannya.
“Ma..maaf Zul, aku hanya tidak ingin merepotkan,” sahutku segera. “Antum kok tau aku
disini ? Diberi tahu siapa ?”
Zul berlahan melepaskan pelukannya.
“Tidak ada yang memberitahu. Hanya kemarin ada sms berantai yang isinya meminta
ikhwan-ikhwan mendoakan kesembuhan bagi seorang ikhwan di Malang yang
kecelakaan waktu berangkat Halqoh. Namanya dirahasiakan. Tapi aku punya firasat gak
enak. Aku segera menelepon ustad Harits, penanggung jawab dakwah di Malang.
Kebetulan aku kenal dengan ustad Harits waktu ada rapat kepanitiaan acara Jawa Timur.
Dari beliau aku tau bahwa yang kecelakaan antum” Zul menjelaskan panjang lebar.
Aku menunduk malu. Aku tadi sempat berpikir negatif atas kehadirannya disini.
“Ukhti Anita gak cerita apa-apa ke istri antum ?” tanyaku.
“Loh, memangnya ukhti Anita tau antum kecelakaan ?” Zul balik bertanya.
Aku tersipu malu, “Enggak, dia gak tau. Tapi kemarin dia sms meminta kejelasan
sikapku,”
“Udah mas, ngobrolnya nanti lagi,” potong Wawan. “Mas Yoga kan belum sholat Ashar”
Aku mengangguk. Kini Zul yang membantuku berjalan menuju kamar mandi. Wawan
hanya mengikuti di belakang. Aku merasa sangat disayang oleh sahabat-sahabatku,
Alhamdulillah ya Allah…kau karuniakan kepadaku saudara-saudara seiman yang
menguatkanku disaat aku lemah…..
----------------------------
“Aku akan ngomong ke istriku agar berusaha menyampaikan ke ukhti Anita untuk
sedikit bersabar. Aku tidak akan cerita antum kecelakaan sesuai permintaan antum, tapi
tentu saja kami akan tetap sampaikan ada udzur yang menyebabkan antum tidak kunjung
kesini. Pesanku, kalo sudah lebih baikan, segera saja ke Lamongan. Ke Lamongan kan
gak harus naik motor, apalagi dengan kondisi sakit,”
Perkataan Zul kemarin sore masih terngiang di kepalaku. Dalam hati terdalam, aku
kembali memiliki harapan atas cinta seorang istri. Kalo aku sudah beristri, tentu aku gak
akan merepotkan teman-temanku seperti saat ini.
Dela sudah masa lalu, dia tidak lagi menjadi seseorang yang bisa aku pilih. Rida sudah
terang-terangan berproklamasi punya gandengan baru. Masak hanya karena aku tidak
bisa memilih mereka, aku jadi ragu-ragu memilih Anita, seorang akhwat yang – insya
Allah – sholilah, suci dan bersih dari debu-debu jahiliyah. Aku mulai mengingat kembali
kondisiku sebelum ini, saat tak seorangpun aku ketahui untuk dipilih. Lalu wanita-wanita
itu datang secara bersamaan, mengganggu dan mencoba merebut hatiku yang lama
kosong dari nama-nama wanita. Kini Allah sudah memilihkan, siapa yang pantas aku
pilih. Wanita yang lain, disisihkan, dan tinggal satu yang tersisa.
“Tok tok tok…,” suara pintu kamarku diketuk.
Aku terhenti dari lamunanku, dan melirik ke arah pintu. Tidak ada Kurniawan yang bisa
membukakan pintu kalo siang begini. Aku hanya bisa menjawab dengan sedikit berteriak,
“Monggo…,” jawabku.
Pintu kamar berdecit tanda dibuka pelan. Dari selanya, muncul seorang ibu paruh baya
berkerudung pendek membawa bungkusan tas kresek di tangan kirinya, diikuti seorang
perempuan muda memasuki kamarku. Bu Indah, dan tentu saja Nina.
Aku tersenyum lembut melihat atasanku di kantor akhirnya datang menjengukku. Setelah
Ustad Chafid melaporkan keadaanku ke personalia Biro Konsultasi tempatku bekerja,
hanya Imam – petugas administrasi biro – yang datang menjengukku dimana dia juga
yang mengurusi administrasi pelayanan rumah sakit. Memang sudah menjadi perjanjian
di awal pekerjaan, bahwa pegawai Biro Konsultasi akan mendapatkan jaminan kesehatan
bila mengalami sakit ataupun kecelakaan. Aku menyadari kenapa baru sekarang beliau
hadir, karena hari-hari ini kondisi pekerjaan sedang berat-beratnya. Awal tahun seperti ini
banyak perusahaan rekanan yang mengadakan tes pegawai baru dan tentunya pekerjaan
bu Indah sebagai kepala Biro Konsultasi bertumpuk-tumpuk. Ditambah lagi aku sakit,
maka lengkap sudah beban berat yang harus diatasi sendiri oleh bu Indah. Dalam hati aku
merasa bersalah,
“Eeeeh, sudah bisa senyum ternyata…,” Bu Indah menggodaku sembari meletakkan
bungkusan keatas meja disamping tempat tidurku. Nina ikut tersenyum di samping bu
Indah.
“Maaf bu, merepotkan. Saya jadi merasa bersalah dengan…,”
“Udahlah…. Namanya juga musibah,” potong bu Indah.
Aku tersenyum simpul. Tidak sengaja senyumku mengarah ke Nina yang langsung
membalas dengan tersenyum pula. Aduh…
“Hayo Nina, gak boleh tebar pesona lagi…” bu Indah melirik kearah Nina dengan
tersenyum lebar.
“Iya bu, bener itu,” sahutku setuju.
“Eh, kok benar bener. Belum tau udah sok tahu,” potong bu Indah lagi ke arahku dengan
wajah penuh rahasia.
“Emangnya ada apa to bu ?” tanyaku.
“Nina ini baru jadian sama Vicky anak personalia. Makanya tak ingatkan biar gak tebar
pesona, hahahahaha” bu Indah tak mampu menahan gelak tawanya.
“Oaaalaaah….”
Nina tersipu malu. “Bu Indah, yang begini kok dicerita-ceritakan sih…,” Nina merajuk di
bahu bu Indah.
Aku gak menjawab apa-apa. Ikutan menggoda Nina juga males. Masak iya aku ikut
gembira pada sesuatu yang seharusnya dihindari. Umumnya pemuda-pemudi saat ini ya
bisanya jadian, pacaran. Bukan taaruf lalu menikah.
“Udah tahu kapan bisa pulang, Yog ?” tanya bu Indah. Beliau ini memang pandai
membawa diri. Bila di kantor, selalu memanggilku dengan “Pak Yoga”, sebagaimana
kami juga saling menghormati teman-teman sekantor dengan memanggil masing-masing
diawali “Pak atau Bu”. Tetapi bila diluar dinas, beliau bisa nyantai langsung memanggil
nama. Hanya saja, beliau tidak pernah memanggil Nina dengan “Bu Nina”. Entah kenapa
buat yang satu ini berbeda. Mungkin karena mereka dekat satu sama lain.
“Kemarin sih kata dokternya kalo hari ini sudah gak pusing, boleh pulang. Tapi tadi saya
tanya ke perawat katanya nunggu dokternya visite dulu bu,” terangku.
Hari ini memang aku merasa cukup fit untuk boleh pulang. Tangan kiriku yang masih
dibebat sudah lumayan ringan untuk digerakkan. Badan rasanya gatal sekali pengen
mandi sebersih-bersihnya, gak kayak 3 hari ini yang pokoknya kena air.
“Oh…ya Alhamdulillah. Yang jaga disini siapa ?, keluarga Surabaya siapa yang datang
?”
Belum sempat kujawab pertanyaan bu Indah ketika pintu kembali diketuk. Sontak kami
semua reflek melirik ke arah pintu.
“Selamat pagi pak Yoga,” seorang berjas putih masuk diiringi seorang perawat.
“Pagi dokter,” jawabku sambil tersenyum.
“Masih pusing ?” dokter Bambang bertanya sembari mengenakan stetoskopnya.
“Enggak dokter,” sahutku cepat.
Sejenak dokter Bambang memeriksaku dengan stetoskop, lalu sedikit menekan-nekan
pergelangan kiriku. Terlihat puas, kemudian beliau memerintahkan kepada perawat yang
mengantarnya,
“Jahitan yang dikepala tolong dibersihkan, lalu ditutup lagi ya mbak. Infus boleh dicabut”
Ujarnya. “Hari ini silakan pak Yoga boleh pulang,”
“Alhamdulillah,” serentak aku, bu Indah dan Nina bersyukur.
“Saya pamit dulu, pak Yoga,” dokter Bambang melanjutkan.”Jangan lupa kontrol, nanti
biar dijelaskan perawat sebelum pulang ya.”
Aku mengangguk cepat. Dokter Bambang segera berlalu, sedangkan perawatnya mulai
bekerja membuka luka di kepalaku, dibersihkan, lalu ditutup kembali dengan perban.
Tidak terlalu lama, muncul lagi perawat lain membawa peralatan dengan sarung tangan
lengkap. Ternyata untuk membuka infus yang menancap di tangan kananku.
Aku bingung, karena Kurniawan baru bisa kembali kesini sekitar jam 1 siang. Padahal
saat ini baru pukul 10.30. Barang-barang masih berantakan. Tapi aku pengen cepat
pulang. Aku segera menulis sms singkat ke Kurniawan, memberitahukan aku boleh
pulang. Kalo udah selesai kuliahnya, segera balik.
“Aku tak ke loket ngurus administrasinya Yog,” bu Indah menawarkan diri.
“Saya saja bu, kan Cuma nunggu totalan biaya,” Nina memotong. ”Toh tetap pak Imam
yang kesini nanti kalo sudah beres semua,”
“Ya wis, kita ke loket berdua aja. Biar Yoga beres-beres,” jawab bu Indah.
Cocok, batinku. Masak iya, Nina mau ditinggal disini sendirian, mana baju kotor di
lemari banyak banget.
Cling, sms masuk ke ponselku. Dari Kurniawan,
“Oke mas tunggu, aku balik kesana. Kuliah kosong kok, ini lagi baca-baca di perpus.”
Kulirik jam dinding. Dari kampus kesini paling cepat 30 menit pake angkot. Jadi sebelum
dhuhur kami sudah bisa keluar dari Rumah Sakit.
Aku mencoba turun dari tempat tidur, agak ringan rasanya, mungkin karena terlalu lama
tiduran. Ku buka lemari kecil tempat baju-bajuku. Tas hijau yang biasa kupakai keluar
kota teronggok di sampingnya. Ku ambil setumpuk baju kotor dan melipatnya serapi
mungkin, lalu kumasukkan ke dalam tas. Beres.
Sisa-sisa makanan dan buah yang dibawakan teman-teman kemarin, termasuk bawaan bu
Indah berupa roti bakar –kesukaanku- kujadikan satu dalam tas kresek besar. Kuambil
peralatan mandi, dan menuju ke kamar mandi sendiri. Masak mau pulang bau kecut,
batinku.
--------

11.25 wib
Kami berempat –aku, Kurniawan, Bu Indah, dan Nina- keluar menuju parkiran mobil
Rumah Sakit . Awalnya aku menolak diantar pulang, tapi Bu Indah memaksa. Katanya,
penasaran pengen tahu rumahku. Juga sekalian daripada sewa taksi. Akhirnya aku gak
mampu menolak. Toh ada Kurniawan yang menemaniku, jadi aku gak cowok sendirian
didalam mobil.
Jalanan kota yang ramai tak menghalangi laju mobil kami menuju Singosari, tempat
rumahku berada. Di dalam mobil aku lebih banyak diam, larut dalam pikiranku sendiri.
Sementara kekosongan terisi dengan suara musik dari audio mobil. Lagu-lagu baru yang
diputar, entah siapa penyanyinya. Kadang-kadang terdengar suara bu Indah berdendang
lirih sembari konsentrasi dibelakang kemudi. Nina lebih banyak sms-an, mungkin dengan
pacar barunya.
Kurniawan juga tidak ceriwis seperti biasanya, sibuk menikmati jalanan kota.
Alhamdulillah, aku sembuh…
--------------------------------
1 Bulan kemudian.
“Insya Allah, besok siang kami sampai Lamongan akhi,” ujarku. “Ya, rombongannya
Cuma satu mobil, aku dan lima orang yang lain termasuk supir.”
“Siapa saja ?” Suara Zul terdengar lega di sebrang sana.
“Aku sendiri sama Kurniawan, teman di sini. Yang nanti mimpin acara Ustad Harits,
antum kan udah kenal. Lalu Ustad Chafid dan istrinya sebagai ustadku dan supirnya
paman ustad Chafid, namanya Pak Parno.”
“Oh ya, Alhamdulillah. Nanti aku sampaikan ke keluarga ukhti Anita. Ada pesan lain?”
“Insya Allah itu saja,” jawabku.
Besok pagi, aku akan mengkhitbah ukhti Anita ke Lamongan. Seharusnya aku mengajak
kedua orang tuaku, tetapi setelah berbagai pertimbangan, diantaranya karena kami akan
lewat jalur Jombang, bukan lewat Surabaya seperti sebelumnya, akhirnya kedua
orangtuaku hanya kumintai restu lewat telepon.
Awalnya agak marah-marah juga, terutama Ibu, merasa kok buru-buru. Padahal baru
kenal, katanya. Akhirnya kujelaskan panjang lebar, lewat berkali kali sambungan telepon,
baik melalui Ayahku maupun langsung ke ibu. Akhirnya ijin itu keluar juga, meski
dengan suara berat yang terdengar menahan beban,
“Ibu tetap gak suka dengan caramu. Baru kenal sudah main lamar. Iya kalo cewek itu
baik ? kalo enggak ? jaman sekarang ini nyari perempuan baik kan gak Cuma sekali lihat,
Yog. Dulu biasanya tiap punya pacar kamu kenalin ke Ibu, sekarang kok langsung
dilamar. Kamu itu masih muda, gak buru-buru nikah juga gak papa. Iya kalo cewek
seusiamu, emang udah tua.”
Aku tersenyum simpul di ujung gagang telepon.
“Kan kemarin udah tak jelaskan to bu ? insya Allah, Anita ini perempuan yang baik.
Agamanya bagus, menutup aurat, berjilbab, cantik pula. Percaya deh sama Yoga.”
“Ya wis, sak karepmu,”
Ya, memang menjelaskan ke orang tua itu harus hati-hati. Salah omong bisa jadi
pertengkaran. Terkadang kalo sudah mentok, mending berhenti dulu lalu dicoba hari lain.
Insya Allah, karena permintaan ini adalah permintaan yang baik, Allah pasti memberi
jalan. Bahkan sebenernya seorang lelaki tidak perlu meminta ijin orang tuanya untuk
menikah. Yang penting dia mampu. Tapi ini pulau Jawa, dengan seabreg aturan adat yang
kadang tidak sesuai syariah Islam. Meski dalam hal ini, masih bisa ditoleransi. Karena
dalam adat jawa, menikah itu bukan Cuma dua orang, tapi dua keluarga.
Aku terkadang berpikir, kalo seumpama yang aku minta dikhitbah itu Dela, pasti gak
pake lama langsung diiyakan. Lah, Dela sudah sangat dikenal oleh kedua orang tuaku.
Bahkan putri sulung tante Wati ini sangat dicintai kedua orangtuaku. Mereka kagum
dengan kecerdasannya, kesopanannya, dan pasti kecantikannya. Gimana ya kabar anak
itu, batinku. Aku sudah lama tidak mengikuti status-statusnya di Facebook, juga
statusnya di BBM. Moga-moga juga segera di khitbah sama Andri, pacar yang dibela-
belanya sampai saat ini.
“Assalamualaikum,” suara Wawan memecah kesunyian. Dengan membawa beberapa
kardus ukurang sedang, dia memasuki rumah.
Kurniawan memang sudah 1 bulan ini tinggal di rumahku. Menempati kamar kosong
yang ada di belakang. Kurniawan yang sangat doyan berhemat, tentu dengan suka cita
mengiyakan tawaran tinggal di rumahku. Selain semuanya gratis, di sini ada dapur dan
perlengkapan masak komplit. Aku sering masak dan dia bagian cuci piring. Aku senang
punya teman, jadi rumah gak sepi. Kurniawan sendiri juga gembira, karena di rumahku
dia tidur di kasur, bukan karpet keras yang kadang bikin salah urat.
“Wa alaikumussalam. Dapat belanjaannya ?” tanyaku.
“Ya, seperti pesanan,” jawabnya. “Bakpao Telo 4 dus, buah apel 2 kilo, sama hehehehe,
perlengkapan sholat komplit. Bahkan sudah dibungkus rapi tinggal dijadikan mas kawin”
“Loh, hei ? kok pake mas kawin ? besok itu khitbah, bukan akad nikah.” Tukasku.
“Ya gak papa to mas. Siap-siap aja, kan sekalian belanjanya,” Wawan menjawab sambil
cengengesan.
“Aduuuh rek, kebangetan ngarepnya,” aku menepok jidat. “Lah kalo aku nikah, kamu
malah harus pindah ke mushola lagi, hayooo…”
“Gak papa mas. Asal gak kepanasan, gak kehujanan, yeeee….” Kurniawan menjawab
sembari membuka tas ranselnya. Dia merogoh kedalam tas dan mengeluarkan sebuah
kitab berwarna putih. Diserahkannya kepadaku,
“Hadiahku buat mas Yoga,” ujarnya.
“Walaaah, terima kasiiih,” aku menyambut dengan gembira. Kurniawan membalas
dengan senyuman khasnya.
Kubaca judulnya, Sistem Pergaulan Dalam Islam (Nidhomul Ijtima’i Fil Islam). Dalem
nih, pikirku. Kulirik Kurniawan masuk ke kamar dan menutup pintu. Tak sabar aku buka
bungkus plastiknya, dan kubaca di dalam kamar.
“…..pemahaman masyarakat, lebih-lebih kaum muslim terhadap sistem pergaulan pria-
wanita dalam Islam mengalami kegoncangan dahsyat. Pemahaman mereka amat jauh
dari hakikat Islam, dikarenakan jauhnya mereka dari ide-ide dan hukum-hukum Islam.
Kaum muslim diantara dua golongan. Pertama, orang-orang yang terlalu melampaui
batas, yang beranggapan bahwa termasuk hak wanita adalah berdua-duaan dengan
lelaki sesuai kehendaknya dan keluar rumah dengan membuka auratnya dengan baju
yang dia sukai. Kedua, orang-orang yang terlalu ketat, yang tidak memandang bahwa
diantara hak wanita adalah melakukan usaha perdagangan atau pertanian. Mereka
berpandangan bahwa wanita tidak boleh bertemu dengan pria sama sekali, bahwa
seluruh badan wanita adalah aurat termasuk wajah dan telapak tangannya.
….penyebab kegoncangan pemikiran dan penyimpangan pemahaman dari kebenaran ini
adalah serangan dahsyat atas kita yang dilancarkan oleh peradaban barat. Peradaban
barat benar-benar telah mengendalikan cara berpikir dan selera kita sedemikian rupa,
sehingga mengubah pemahaman kita tentang kehidupan, tolak ukur kita terhadap
sesuatu, dan keyakinan kita yang telah tertancap di dalam jiwa kita, seperti semangat
kita terhadap Islam atau penghormatan kita terhadap tempat-tempat suci kita.
Kemenangan peradaban Barat atas kita telah merambah keseluruh aspek kehidupan,
termasuk aspek pergaulan pria-wanita.
…pandangan orang-orang barat terhadap hubungan pria dan wanita merupakan
pandangan yang bersifat seksual semata, bukan pandangan dalam rangka melestarikan
jenis manusia. Karena itu mereka dengan sengaja menciptakan fakta terindera dan
pikiran yang mengundang hasrat seksual dalam rangka membangkitkan naluri seksual
semata-mata untuk mencari pemuasan. Mereka menganggap tiadanya pemuasan naluri
ini akan mengakibatkan bahaya pada manusia…..
…satu-satunya sistem yang menjamin ketentraman hidup dan mampu mengatur
hubungan antara pria dan wanita dengan pengaturan alamiah hanyalah sistem
pergaulan dalam Islam. Sistem pergaulan dalam Islam yang menjadikan aspek ruhani
sebagai asas dan hukum-hukum syariah sebagai tolak ukur dengan hukum-hukum yang
mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur.
…Islam telah membatasi hubungan lawan jenis atau hubungan seksual antara pria dan
wanita hanya dengan perkawinan dan pemilikan hamba sahaya. Sebaliknya, Islam telah
menetapkan bahwa setiap hubungan lawan jenis selain dengan dua cara tersebut adalah
sebuah dosa besar yang layak diganjar dengan hukuman paling keras.
…Islam membolehkan wanita atau pria melakukan aktivitas perdagangan, pertanian,
industri, dan lain-lain disamping membolehkan mereka menghadiri kajian ilmu,
melakukan shalat berjamaah, mengemban dakwah dan sebagainya…..meskipun
demikian, islam sangat berhati-hati menjaga masalah ini. karena itulah, islam melarang
segala sesuatu yang dapat mendorong terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang
tidak disyariatkan. Islam melarang siapapun keluar dari sistem Islam yang khas dalam
mengatur hubungan lawan jenis.
…Diantara hukum-hukum itu adalah sebagai berikut,
Pertama, Islam telah memerintahkan kepada manusia baik pria dan wanita untuk
menundukkan pandangan (QS An Nur 30-31)
Kedua, Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara
sempurna, yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua
telapak tangannya. Mereka hendaknya mengulurkan jilbabnya (baju kurung, pakaian
longgar yang dipakai diatas pakaian rumah) hingga menutup tubuh mereka (QS Al
Ahzab 59)
Ketiga, Islam melarang seorang wanita melakukan perjalanan dari suatu tempat ke
tempat lain selama perjalanan sehari semalam kecuali disertai mahram-nya (HR
Muslim).
Keempat, Islam melarang pria dan wanita untuk berdua-duan kecuali jika wanita itu
disertai mahram-nya (HR Bukhari)
Kelima, Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya
Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus, komunitas wanita terpisah
dari komunitas pria. Artinya, Islam telah menetapkan bahwa wanita hendaknya hidup di
tengah-tengah kaum wanita dan mahram-mahramnya, sedangkan seorang pria
hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria. Dalam kehidupan umum, wanita maupun
pria boleh berinteraksi dan dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual-
beli dan sebagainya
Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita
hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat, bukan hubungan yang
bersifat khusus seperti saling mengunjungi, atau keluar bersama berwisata. Sebab
kerjasama antar keduanya bertujuan agar wanita mendapatkan apa yang menjadi hak-
haknya dan kemaslahatannya, disamping agar mereka melaksanakan apa yang menjadi
kewajiban-kewajibannya……”.
Aku terdiam cukup lama membaca isi kitab ini. Benar-benar membuat isi kepalaku
melayang kemasa-masa aku sering berinteraksi dengan wanita sebelumnya. Berduaan
dengan Dela di dalam taksi, menggoda-godanya lewat sms maupun telepon, dan semua
model pergaulanku yang perlu diperbaiki. Aku harus berubah, tekadku…insya Allah
-----------

02.15 wib, dini hari


Aku terduduk dalam tangis di doa-doaku seusai tahajud. Hatiku kacau berantakan,
kepalaku penuh dengan penyesalan. Aliran darahku mengalir lebih cepat, keringat
membasahi ujung-ujung jariku.
Hanya tinggal beberapa jam saja rombonganku akan berangkat menuju Lamongan untuk
mengkhitbah wanita terindah yang kukenal, Anita. Tetapi telepon dan derai tangis Dela
sejam yang lalu mengubah kemantapan hatiku. Kenapa telepon itu terjadi saat ini, ketika
aku telah berketetapan hati untuk memilih Anita ? Bila saja Dela menelepon selang sehari
saja sebelum ini semua kurencanakan, maka sangat mudah bagiku untuk memutuskan
pergi ke Jogja dan memilih untuk menghadap om Priyo dan tante Wati mengkhitbah
Dela. Aku yakin Dela memiliki tujuan kenapa dia meneleponku, bukan hanya sekedar
untuk curhat dan menangis. Bukankah aku dulu begitu menginginkannya dan berharap
menikahinya ? Bukankah dia telah menjawab cintaku meski setelah itu dia memilih untuk
setia kepada Andri ? Ya Allah, bantulah aku berpikir jernih. Tenangkanlah hatiku, ya
Allah….
Air mataku terus menetes, berderai-derai membasahi wajah dan janggut tipisku. Aku tak
mampu mengkhitbah dalam kondisi seperti ini. aku harus selesaikan, harus.
Dengan gemetar tanganku memencet tombol ponsel. Angka-angka itu begitu asing saat
ini, meski dulu sangat kuhapal. Tidak terlalu lama ketika nada sambung itu terjawab. Aku
yakin Dela belum tidur,
“Kok nelepon lagi mas ?” suara Dela masih terdengar sendu.
“Aku jadi gak bisa tidur dik,” jawabku jujur
“Kenapa mas ?”
“Memikirkanmu…”
“Maaf, Dela gak bermaksud ganggu waktu tidur mas Yoga…”
“Enggak apa-apa. Aku hanya ingin menyelesaikan sesuatu yang mengganjal dihati.”
Terasa getaran dihatiku melambat.
“Maafin Dela kalau bikin…,”
“Dik,” potongku. “Dengarkan aku.”
“I..iya…”
“Aku mencintaimu, sejak kita beranjak remaja, bahkan hingga saat ini.” aku berhenti dan
menarik nafas sejenak.
“Satu jam yang lalu, ketika kamu menelepon dan menceritakan kesedihanmu, hatiku
tersentuh. Aku ingin datang kesana menghapuskan air matamu, menggenggam tanganmu
dan membawamu lari dari kesedihan. Aku sangat ingin memilikimu seutuhnya,
menikahimu dan menghalalkan dirimu untukku. Aku sangat ingin melihat matamu yang
indah menjadi halal untukku, dan genggaman tangan kita meluruhkan dosa-dosa diantara
jari jemari. Aku ingin menaungimu di dalam rumahku, menyaksikan anak-anak lahir dari
rahimmu, mengharapkan ridha Allah atas sebuah pernikahan yang suci. Aku sangat
ingin…..,” suaraku terputus oleh isak tangis yang terdengar lembut. Suara diujung sana
terdengar begitu syahdu menyayat hatiku yang rapuh.
“Aku juga mencintaimu mas….,”
“Aku tahu, dan aku tidak pernah lupa.” Aku menghela nafas berkali kali sedalam-
dalamnya. “Tetapi Allah tidak menghendaki seperti itu kejadiannya. Aku bukan
untukmu, dan mungkin memang tidak pernah tertulis begitu.”
“Mas..?”
“A..aku akan mengkhitbah seorang perempuan beberapa jam lagi.” Hampir tak mampu
aku menahan nada suaraku agar tetap stabil dan tegar
.”Dan dia bukan kamu, dik. Bukan kamu…”
Dela terdiam. Hanya suara isak tangis yang terdengar jelas di speaker ponsel. Hampir 2
menit tidak ada suara yang terdengar selain itu.
“Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu mas,” akhirnya Dela membuka suaranya.
“Maafkan aku, dik…”
“Aku harusnya memilihmu sejak awal mas..sejak kamu datang jauh-jauh ke Jogja demi
aku. Sejak kamu menyatakan cintamu di terminal, seharusnya….”
“Dik, sudahlah. Jangan membuatku menangisi masa lalu.,” sergahku. “Kita sudah
dewasa, bukan lagi anak kecil yang hanya bisa menangis ketika keinginannya tidak
tercapai,”
“Kamu pasti akan mendapatkan orang yang lebih baik dik, percayalah bahwa Allah
menyiapkan yang lebih baik untukmu,” lanjutku.
“Semoga apa yang kau katakan benar mas…,”
--------------------
Lamongan, Pom Bensin Sukodadi pukul 14.15 wib
Rombongan kami berhenti sejenak di pom bensin untuk mempersiapkan diri. Kurniawan
tak pernah beranjak di sampingku, selalu memastikan aku dalam kondisi siap. Semalam
akhirnya aku tidak tidur sampai subuh. Kurniawan langsung memahami ada masalah
yang tengah menderaku ketika kami bersiap-siap berangkat ke mushola perumahan untuk
sholat subuh. Tak kuasa aku menahannya, kuceritakan semua. Dan Kurniawan memuji
keberanianku untuk tetap teguh meneruskan keputusan mengkhitbah Anita. Sudah
sewajarnya manusia mengalami cobaan, dan Allah pasti memberikan cobaan yang sesuai
dengan kemampuan manusia memikulnya. Begitulah nasehat Kurniawan panjang lebar
setelah kami pulang dari sholat subuh berjamaah.
Kuhirup udara sore itu dalam-dalam. Kegalauan semalam masih tersisa sedikit di hati,
tetapi sebagian besarnya sudah hilang begitu rombongan memasuki Lamongan dari arah
barat.
“Kami sekarang di Pom Bensin Sukodadi, Zul. Bentar lagi sampai,” laporku lewat
ponsel.
“Alhamdulillah, kami yang dirumah juga sudah siap. Langsung saja ke rumah ukhti
Anita. Dari pasar sukodadi, belok ke utara. Nanti kalo sudah ketemu balai desa, berhenti
disitu. Kami jemput,” suara Zul tak mampu menutupi kegembiraannya.
Kuperhatikan sekelilingku, pak Parno baru keluar dari toilet. Ais dan Asma, dua putri
ustad Chafid berlarian di sekitar mobil avanza pinjaman rental yang kami bawa dari
Malang. Yang lain entah kemana, mungkin masih di dalam toilet.
Setelah semua anggota rombongan menyelesaikan hajatnya, kami teruskan perjalanan
yang kurang beberapa kilometer saja. Perasaanku mulai membuncah tinggi, tak mampu
lagi menutupi kebahagiaan yang akan segera datang menghampiri.
Tanpa kusadari, akan ada sebuah kejutan menanti.
---------------
Rumah ini sangat sederhana, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan gentingnya
berwarna hitam kemerahan tanda termakan usia. Lantainya hanya disemen kasar, di
beberapa tempat sudah pecah bercampur tanah dan debu. Meskipun begitu, rumah ini
tampak bersih dan nyaman, ditambah lagi kerindangan pohon di depan rumah
menjadikan rumah ini terasa sejuk, meski berdiri di kota pantai yang biasanya curahan
sinar mataharinya lebih kaya daripada kota pegunungan seperti Malang.
Melihat mobil kami datang, beberapa orang dari dalam rumah keluar menyambut.
Seorang bapak berbaju muslim panjang dan berjenggot putih menyalamiku.
“Cium dong tangannya, calon bapak mertua tuh,” goda Zul disampingku. Dia baru saja
datang dan memarkir motornya setelah menjemput kami di depan Balai desa.
Serta merta kucium tangannya, tetapi beliau justru memegang bahuku dan memelukku
erat. Kurasakan kehangatan seorang bapak mertua yang kurindukan.
Beranjak kemudian ustad Harits, ustad Chafid, Kurniawan dan pak Parno disalami oleh
beliau. Saling berkenalan nama, dan kemudian dipersilakan duduk di depan rumah yang
sudah digelari karpet hijau bersih. Istri ustad Chafid membawa bawaan kami ke dalam,
dan dipersilakan oleh calon ibu mertua masuk ke ruangan yang sudah disediakan bagi
ibu-ibu.
Aku terus menunduk ketika Ustad Harits sebagai pemimpin rombongan memulai
perbincangan inti, mengkhitbah ukhti Anita. Dengan basi-basi khas jawa timur, seseorang
yang ditunjuk mewakili keluarga calon mertua langsung menjawab dan menerima
pinangan kami. Aku bersyukur, bahwa saat ini aku telah memiliki calon istri.
Perbincangan kemudian dilanjutkan dengan kapan akad nikah dilakukan. Ustad Harits
menyerahkan sepenuhnya kepada pihak perempuan untuk menentukan harinya, dan kami
rombongan dari Malang akan mengikuti keputusannya.
“Ya sudah, akad nikahnya hari ini saja, bagaimana ?,” tiba-tiba calon bapak mertua
memotong pembicaraan. Aku terhenyak, kaget. Ku pandang mata beliau lebih dalam,
masak iya beliau ngajak bercanda. Tetapi tidak, beliau justru menatapku dengan lembut.
Ustad Harits tersenyum sambil menoleh kepadaku.
“Gimana Yog ? berani ?” tanya beliau.
“Wah, saya tidak bawa apa-apa untuk mahar ustad,” jawabku sedikit gemetar. Ini benar-
benar diluar perkiraanku.
Kurniawan yang sedari tadi diam dan duduk disampingku mencubit lenganku.
“Mas, aku bawa loh, perlengkapan sholatnya. Ini ada di tasku,” ujarnya berbisik.
Kuperhatikan dalam tas Kurniawan memang ada perlengkapan sholat yang terbungkus
rapi, yang dibelinya kemarin tanpa perintahku. Aku tersenyum lega. Tapi, bukankah
pihak wanita-lah yang berhak menentukan apa maharnya. Iya kalo ukhti Anita ridho, kalo
tidak ?
“Maaf, ustad. Kebetulan memang kami kemarin membeli satu set perlengkapan sholat
untuk persiapan mahar. Tapi itu juga kalo ukhti Anita berkenan. Karena seharusnya yang
menentukan mahar adalah pihak calon istri. Bukan begitu ?”
Bapak calon mertua kemudian berdiri dan masuk kedalam. Beberapa lama beliau ada
didalam, membuat hatiku was-was.
“Mari dicoba kuenya,” salah seorang wakil keluarga mempersilakan kami mencicipi
suguhan di meja. Suasana jadi cair, ustad Chafid membuka obrolan tentang panenan,
yang sudah pasti nyambung dengan beberapa wakil keluarga yang berprofesi petani.
Sedangkan aku diam saja mendengarkan perbincangan mereka. Kalo hari ini aku
menikah, aku ingin ada yang istimewa. Aku meneliti bawaanku, apa yang kira-kira bisa
kujadikan tambahan mahar. Sejurus aku ingat kitab pemberian Kurniawan yang kubawa
sebagai bacaan di jalan. Kitab ini pas sekali untuk dijadikan mahar, melengkapi
seperangkat alat sholat yang disiapkan Kurniawan kemarin.
Maka aku berujar kepada Ustad Chafid untuk kembali menyampaikan bahwa maharnya
aku tambah kitab Nidhomul Ijtimai fil Islam. Beliau mengangguk dan berdiri memanggil
istrinya di ruangan ibu-ibu. Beliau menyampaikan pesanku, agar diteruskan ke ukhti
Anita. Aku deg-degan setengah mati.
Tidak lama calon bapak mertua keluar dan memberitahukan kalau ukhti Anita setuju
maharnya seperti yang disebutkan tadi. Aku bernafas lega.
Maka posisi duduk segera diatur, aku duduk berhadapan dengan bapak, yang kemudian
kuhapalkan namanya. Ustad Harits bertindak sebagai saksi dari pihakku, dan seorang
bapak sepuh yang dikenalkan sebagai kakek ukhti Anita, bertindak sebagai saksi dari
pihak perempuan.
Bapak menjabat tanganku dengan mantap, mengucapkan ijab kabul secara lancar,
“Saya nikahkan kamu dengan anak saya yang bernama Anita Sukmawati binti Didik
Suparto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan kitab Nidhomul Ijtimai fil Islam
dibayar tunai!”
“Saya terima nikahnya, Anita Sukmawati binti Didik Suparto dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dan kitab Nidhomul Ijtimai fil Islam dibayar tunai!”
“Sah ?”
“Sah!!!”
“Barakallahu laka wa Baraka alaika, wa jamaa bainakuma fi khair…aamiin….”
Ustad-ustadku segera menyalami dan memelukku. Zul dan hadirin lain juga melakukan
hal yang sama, bahkan Kurniawan tak mampu membendung air matanya. Matanya
terlihat merah sembari menggenggam tanganku erat.
“Barakallah ya ‘Aris….” Ucapnya berkali kali.
Aku tersipu dan merona. Aku punya istri ? ya, sekarang aku punya istri. Allahu Akbar!!!
------------------------------
6 bulan kemudian
Aku tengah mengetik diatas laptop pada hari sabtu pagi, ketika terdengar suara bel motor
didepan gerbang rumah. Hampir-hampir aku berdiri, tetapi kemudian kudengar suara
langkah kaki istriku mendekati pintu rumah dan membukanya. Ah ya, istriku baru saja
pulang dari pasar, tentunya masih mengenakan kerudung dan jilbabnya sehingga tidak
perlu berganti pakaian dulu untuk keluar rumah.
Tak urung aku menyusulnya keluar, sekedar menepis rasa penasaran siapa yang datang.
Begitu aku keluar rumah, kulihat hanya istriku yang berdiri didekat gerbang sambil
terlihat membaca amplop putih besar.
“Pak Pos,” ucapnya singkat.
“Surat dari siapa ?” tanyaku penasaran.
“Baca aja sendiri,” istriku tersenyum simpul.
Kubaca nama pengirimnya, “Adelia Puspita”
“Ciee, dapat surat dari penggemar ni yeee…” goda istriku.
“Ah, apaan sih,” aku menggerutu sembari buru-buru membuka amplop. Kuajak istriku
masuk kembali kedalam rumah.
Tersembul sebuah kertas warna krem terbuat dari karton tebal dibalik amplop yang
terbuka. Sebuah undangan !!.
“…Menikah, Adelia Puspita, SE dengan Alfan Riza, ST. Akad Nikah, Bertempat di
Masjid Sulthoni Pathok Negara Sleman Jogjakarta….. “
Aku tersenyum bahagia membacanya. Akhirnya Dela menemukan tambatan hatinya yang
terakhir. Semoga pernikahannya langgeng, doaku.
“Dik, minggu depan kita ke Jogja yuk, si Dela nikah nih,” kupeluk istriku sembari
membiarkannya menggoreng tempe di dapur. Kuelus perut istriku yang semakin
membesar dalam kehamilan usia menengah.
“Dela nikah ? beneran nih mau datang ?” goda istriku.
“Kamu apaan sih dik ? itu masa lalu kaliii,” jawabku sebel.
“Jangan nangis ya kalo disana nanti hihihihihi,”
“Awas kamu ya, dik..” kucubit pipinya gemas dan kugelitiki pinggulnya.
“Ampun…ampun, nanti tempenya gosong iniiiii,” istriku memang tak tahan geli.
“Cepetan masaknya, laper nih,”
“Udah, terusin dulu ngetiknya. Bentar lagi selesai kok.” Jawab istriku sambil membuka
lemari es.
“Iya deh… nanti nasinya kirim ke kamar ya,” pintaku.
“Beres pak booos,” sahut istriku. “Omong-omong nulis apa sih, dari pagi gak kelar-kelar
?”
“Oh, iya. Aku lagi nyoba nulis novel” jawabku sekenanya.
“Tentang apa ?” istriku heran.
“Tentang kita!!,”
SELESAI
9 Maret 2013
Pukul 22.20 wib
Desa Kedaton, Mondokan, Tuban
-I-
Galau, Gita Cinta Dari SMK

Aku masih berkutat dalam rumus-rumus kimia, ketika telepon di kamarku berdering.

“Ah nanggung, biarin aja....”, rutukku dalam hati. “Toh biasanya bakal nyari si Anti,
Kriwil, or mbak Meme.” dua adikku dan kakakku.

Sedetik kemudian deringnya berhenti, pesawat teleponku berdetak pelan, “klik”, tanda
bahwa telepon paralel di kamar sebelah diangkat.

Sejurus kemudian suara cempreng membelah heningnya sore,

“Yog, telepppooonnnn” kakakku teriak dari kamar sebelah.

“Ya,” aku balas berteriak.

“Kok jarang-jarang ada yang nyariin aku”, batinku. “Paling-paling si Dani or Anto
nanyain PR”.

Gagang telepon kuangkat, pelan-pelan ku tempelkan di telinga.

“Assalamualaikum,” sengaja kubuka dengan salam, karena kalo si Dani or Anto pasti gak
mau jawab, karena mereka memang bukan orang muslim.

“Waalaikum salam” suara diseberang sana menjawab. Suara cewek, lembut, dan terkesan
ragu-ragu.

“Yoga ?” lanjutnya.

“ Iya, siapa ini ?” jadi penasaran. Soalnya aku jarang-jarang ditelepon cewek.

“Fita”, jawabnya. “ Cuma mau nyampaikan, kalo bisa, kamu telepon Rida sekarang. Dia
pengen kamu telepon. “

“Rida ? Pengen aku telepon ?” gak salah nih, pikirku.

“Iya,” Fita dengan mantap meyakinkanku. “Barusan dia telepon aku, trus minta aku
menyampaikannya ke kamu.”

Hatiku mulai berdetak kencang. Tapi kemudian aku teringat sesuatu, “ Bentar Fit, jangan
ditutup dulu. Aku mau tanya sesuatu.”
“ Apaan ?” kali ini dia mulai gak sabar. Kayaknya dia nelepon dari wartel depan
rumahnya.

“ Aku gak tau nomor telepon Rida... “ malu-malu aku mengakuinya.

“Oalah....catat nih...” Fita kemudian mengucapkan sebaris nomor telepon. Aku


mencatatnya di selembar kertas kecil dengan spidol merah yang kutemukan di tumpukan
buku-buku di meja belajarku.

'Thanks ya,” ujarku setelah selesai mencatat nomor itu.

“Sama-sama. Oke deh, Assalamualaikum.” Fita menutup pembicaraan.

“Waalaikum salam” balasku.

Klik, telepon ditutup. Tapi tak segera aku angkat kembali. Kertas kecil dengan catatan
nomor telepon itu aku main-mainkan dengan jari. Rasanya aneh, ketika harus menelepon
Rida, di malam menjelang ulangan seperti ini. Rumus-rumus kimiaku masih berserakan
di meja belajar. Akhirnya aku memutuskan dalam hati. Kuangkat kembali gagang
teleponku, dan sambil tersenyum nakal, aku mulai menjalankan jurus-jurus menjebol
kunci telepon. Ya, pesawat telepon di kamar kami semua, kecuali kamar Bapak-Ibu, di
kunci demi penghematan pulsa. Tapi bukan Yoga namanya kalo gak bisa ngakalin
kondisi itu. Hahahaha, dimana-mana yang namanya maling emang musti lebih pinter dari
yang punya rumah.

Sejenak kemudian, terdengar nada panggil di gagang teleponku. “Berhasil!” teriakku


dalam hati. Agak lama nada panggil berlangsung, hingga kemudian terdengar suara
perempuan menjawab telepon.

“Halo” suara itu membuka percakapan.

Aku ragu-ragu untuk menjawab, “Rida ?”

“Oh, mau nyari Rida ?, bentar ya...” ya ampuuuun, malu rasanya. Habis suaranya mirip
banget.

Sejenak telepon kemudian berpindah tangan.

“Halo ? “ kali ini suaranya benar-benar kukenal.

“Halo juga,” Aku berusaha rileks sekarang.

“Yoga ?” kegembiraan terdengar di ujung sana.

“He-em. Ada yang bisa saya bantu ?” lagakku seperti operator telepon.
“Hehehehehe,” Rida malah tersenyum renyah, “mentang-mentang Ayahmu orang
Telkom, jawabnya kayak 147 aja...”

“Hihihihi,” aku jadi ikutan ketawa. Hatiku berbunga-bunga. Akhirnya kebekuan kami
selama ini mencair melalui sambungan telepon.

Obrolan kami berlansung selama 15 menit. Sebagian besar gak penting-penting amat,
cuma basa-basi antar dua insan berbeda jenis, yang..ehm..sedang jatuh cinta. Eh, apa iya
Rida jatuh cinta sama aku ? Melalui obrolan kami malam ini, akhirnya aku mulai yakin
bahwa Rida juga merasakan apa yang kurasakan. Setelah pembicaraan telepon selesai,
aku justru gak segera melanjutkan belajar. Bayang-bayang wajah Rida seakan bermain-
main di benakku. Rumus-rumus kimia yang biasanya memakan konsetrasiku kini tak lagi
menarik, tergantikan sosok jelita yang baru saja mengisi relung hatiku.

-------------------------------------------------------------

Siang itu aku, Dani, Anto, Arie, dan Ale sedang makan gado-gado ketika serombongan
cewek teman teman kami muncul dan menyapa Ale yang duduk diantara kami.

“Ale...tuh dicariin Rida...hahahahahahahaha”, kompak mereka menggoda Ale, yang


memang terhitung paling ganteng diatara kami. Ale yang di goda cuma tertawa terbahak-
bahak.

“Mana Rida. Mana ?' Ale terlihat bersemangat. Seketika dia mendekati Rida yang duduk
di depan kelas sendirian. Melihat Ale datang, Rida malah berlari menjauh.

“Hahahahahaha,” Ale makin bersemangat mengejar Rida. Akhirnya terjadilah adegan


mirip film India, cuma settingnya di lorong sekolahan. Sejak itu kami mahfum, Ale
naksir Rida. Dan kayaknya Rida pun gak nolak diperlakukan oleh Ale sedemikian rupa.
Aku sendiri heran ngeliat prilaku Ale. Dari pertama masuk SMK, yang diceritain cewek
melulu. Tapi salut juga, soalnya dia langsung bisa memilih satu cewek cantik diantara
sekian banyak cewek di sekolah. Sebenarnya kami, para cowok, bisa jadi raja disini.
Karena di SMK Kimia kami, lebih banyak ceweknya daripada cowoknya. Mau jadi
playboy ?, wah kesempatan melimpah ruah. Kayak Ale ini, yang meski agak pendek, tapi
kulitnya putih dan senyumnya menawan. Dijamin, banyak cewek langsung suka sama
dia. Dan diantara cewek itu mungkin Rida salah satunya.

Aku sendiri langsung naksir salah seorang temanku di kelas. Anak manis berjilbab, yang
kabarnya ngekos di depan sekolah. Berbeda dengan Ale yang agresif, aku gak terlalu
berani mendekati cewek. Heran, padahal sodaraku cewek semua. Tapi kan konteksnya
beda kalo sama sodara, begitu kilahku ketika Dani menyarankan nembak si manis
berjilbab itu.

Rida sendiri, selama kami kelas satu gak pernah menarik perhatianku. Bukannya gak
minat, tapi aku kurang nyaman kalo pdkt sama cewek cantik yang jadi idola. Banyak
makan atinya. Itu prinsipku dari dulu.
Naik ke kelas dua, ternyata Rida sekelas sama aku. Bahkan duduknya di depan bangkuku.
Aku dan Dani, masih satu kelas. Kami ini emang kayak sodara kembar satu sama lain.
Bahkan tanggal lahir kami cuma beda satu hari. Mata kami sama-sama minus, sama-sama
suka makan, hanya dia lebih gendut ketimbang aku. Padahal kami sama-sama naik
sepeda kalo sekolah.

Kelas dua, aku sudah makin percaya diri. Kalo dulu gak ada yang kenal siapa sih Yoga
itu, tapi kalo sekarang, sudah banyak yang tau kalo aku juara Karate se kotamadya
mewakili sekolah. Juga vokalis band sekolah. Yah, sebagai aktivis, aku makin berani
mendekati cewek. Dan sekarang, dengan kedudukan yang seimbang, aku berani pdkt
sama Rida, yang setelah di survey oleh Dani, keliatannya belum punya cowok.

Semudah itukah ? Tidak juga. Rida tipe cewek yang bawel, punya banyak teman dan
otomatis suka tebar pesona dimana-mana. Tentu penggemarnya bejibun. Dari kelas satu
hingga kelas tiga, pasti ada yang naksir. Aku adalah satu diantara mereka. Tapi aku
punya sisi keuntungan, karena aku dan Rida sekelas. Jadi pdkt ku bisa lancar dan mudah
karena hampir tiap jam kami bersama di kelas.

Hingga siang itu, ada jam kosong menjelang istirahat. Hatiku mulai deg-degan.
Sebenarnya hari ini sudah kuputuskan untuk nembak dia pas jam istirahat. Tapi kok ya
malah ada jam kosong. Keringat dinginku keluar. Aku memutuskan harus sekarang.
Harus sekarang. Kalo telat, Rida bisa keluar kelas, dan hilanglah rencana yang sudah
kususun semalaman. Dani pun udah melaksanakan tugasnya, yaitu menyuruh Fita dan
Ririn, dua cewek yang duduk sebangku dengan Rida, pergi ke luar kelas. Rida dipaksa
untuk duduk sendirian di bangkunya. Terakhir, Dani ikutan pergi dari bangku kami. Kini
kami benar-benar berdua, aku duduk di bangkuku, di belakang bangku Rida.

“Rid,...” aku memanggil pelan. Rida masih asyik menulis di buku tulis, tetapi kemudian
menoleh.

“Ya..?” Rida menoleh ke belakang, tersenyum manis, senyum yang bikin semua hati
cowok bertekuk lutut di hadapannya.

“Aku pengen ngomong sesuatu...” kuberanikan mengutarakan isi hatiku.

Rida kemudian mengubah posisi duduknya, tidak lagi menghadap ke depan kelas, tapi
menyamping sehingga dia leluasa memperhatikan segala kecemasan yang tengah
kualami. Kali ini dia mulai penasaran dengan kata-kataku. Matanya menatap teduh ke
mataku, and the show must go on..,

“Aku...aku suka kamu..Rid. Mau gak jadi pacarku ?”. deg, lega rasanya. Tinggal nunggu
reaksi Rida. Tapi dia cuma tersenyum simpul, seolah menyimpan misteri yang hanya
diketahui oleh dia sendiri.

“Trusss, aku mesti jawab apa nih ?” Rida balik bertanya sambil mengerling nakal.
Aku terdiam. Ini sih pertanyaan bodoh, tapi menjebak. Dan aku mau tidak mau mesti
masuk kedalam jebakan pertanyaan Rida.

“Tidak ada jawaban benar atau salah,” jawabku sok diplomatis. “biarlah hatimu yang
menjawab.”

Kulihat raut mukanya berubah. Ada sedikit kesedihan disitu. Beberapa menit lamanya
kami membisu, hingga aku leluasa menikmati keindahan parasnya, dan tak kuasa hatiku
bergetar.

“Aku belum bisa menjawabnya, Yog.” putus Rida memecah kesunyian kami.

“Aku bisa menunggu..” aku berusaha bijaksana.

Dan kemudian Rida beringsut mengambil mukena. “Aku sholat dulu ya Yog..” ujarnya
lirih. Bel istirahat memang sudah berdering, dan aku tak kuasa untuk menghentikannya.

------------------------------------------------------------

Pagi di bulan Ramadhan, aku masih berkutat dengan gitar listrik di studio milik Eki,
temanku sekaligus bassis grup band kami. Kunyalakan Sound system, lalu mencoba
memainkan distorsi-distorsi keras di senar gitar. Beban beratku atas peristiwa semalam
masih menghantui hatiku. Ku petik senar gitar makin keras, suara berisik memecah
kesunyian studio kami. Eki agaknya tertarik dengan permainanku, kemudian mengambil
gitar yang lain dan mengimbangiku. Tak lama, teman teman yang lain berdatangan dan
mulai check sound masing-masing alatnya.

“kamu keliatannya lagi sedih, bro” Eki bertanya di sela permainan kami.

“lebih tepatnya, marah!” koreksiku menyudahi permainan kami.

“hahahahahaha, kalo dimataku itu sedang sedih namanya.” Eki masih berkutat dengan
nada-nada distorsi melanjutkan permainanku.

Aku sedang marah. Dan aku tidak mau menangis lagi seperti semalam. Aku harus tegar.
Sekarang aku marah, bukan sedih. Itu tekadku di dalam hati.

Sejurus kemudian nada-nada gitar Eki menarik perhatianku. Rhytm gitarnya


memunculkan nada-nada di benakku.

“Ki, enak kayaknya kalo jadi lagu,” teriakku di sela sound yang bersliweran dari alat-alat
musik teman-teman yang lain.

“Ayo, menyanyilah...” Eki juga tertarik.


Aku menghidupkan microphone ku, lalu mulai memikir sebait lirik. Marah, itu yang ada
dalam pikiranku.

“Kini ku dalam derita, kurasa kau tak pernah ada, kau tinggalkan semua cerita,
renggutkanku...” dari sini aku berhenti sejenak. Teman-teman Klavi – nama band kami-
menghentikan permainan mereka dan tertarik dengan permainan rhytm Eki.

“Ayo lanjutkan..,”Jonathan, drummer kami akhirnya buka suara.

“Kasih masukan dong,” jawabku sambil menyorongkan mic ke jonathan.

“Akankah hari kan tiba, berada dalam rinduku, sambut galau dihatimu, tepiskanku...”
lanjut Jonathan dengan suara falsetonya. “nah, sekarang tinggal bridge-nya..”

“Siang kan berganti malam kan berlalu, tawakan mimpiku kan dirimu...”

Aan, gitaris dan Priza, keybordis, kini ikutan menimpali permainan rhytm Eki.

“Okee... ayo mulai dari awal...” Priza bersemangat memainkan synthesizer di


keyboardnya.

Aku semakin menyukai lagu baruku. Lagu ini mungkin tentang sakit hati, tapi balutan
distorsi akan menimbulkan efek riang dan marah pada pendengarnya.

Akhirnya aku kembali mengambil mic dan bernyanyi.

“Kini ku dalam derita, kurasa kau tak pernah ada, kau tinggalkan semua cerita

Renggutkanku...

Akankah hari kan tiba, berada dalam rinduku, sambut galau dihatimu

Tepiskanku....

Siang kan berganti malam kan berlalu, tawakan mimpiku kan dirimu...

Ooh...

Sudahlah semua telah hilang, pergilah dengan hatimu, tak kuharap kau kembali

Bersamaku..

Tinggalkan aku yang hina, hanya asa yang ada, aku dalam sejuta duka

Galaukanku...”
------------------------------

Amarah masih berkecamuk di dadaku....begitu pedihnya patah hati yang


kurasakan...Rida...teganya kau...

-------------------------------

Bel pulang berdentang keras. Kelas yang tadinya hening dengan rasa kantuk, sontak
berubah ceria. Pintu keluar kelas diserbu puluhan orang, berebutan dan berdesakan.

Aku masih terduduk di bangkuku. Dani beringsut ikut keluar. Aku perhatikan sosok
cewek di bangku depanku. Dia juga tidak segera pergi meski kelas berangsur sepi.
Sambil mengenakan jaket putihnya, dia malah berjalan ke belakang, menggamit lenganku
agar mengikutinya. Aku kaget, tapi tidak menolak .

“Yog,” Rida membuka percakapan dengan lirih di bangku belakang. Seakan takut ada
orang lain yang tahu.”Oke deh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya...”

Aku kaget bercampur bahagia. “J..j..jadi aku diterima ?”

“He-em, tapi jangan bilang siapa-siapa ya..”

“Yes!” teriakku dalam hati. Dan Rida buru-buru keluar. Aku melompat-lompat di dalam
kelas. Dani ternyata belum pulang, buru-buru masuk kelas dan menyeretku keluar.

“Traktirrrrr.....” soraknya ikut bergembira.....hahahahahahahaha, aku punya pacar juga


akhirnya.....

------------------------------------------------

Benarkah Rida pacarku ? Hingga 2 minggu kami masih saja membisu. Tidak ada tanda-
tanda bahwa kami punya hubungan istimewa. Dan aku juga tidak kuasa mengumumkan
hubungan kami ke teman-teman. Bukankah dia pernah berpesan, “jangan bilang siapa-
siapa ya..”. Tapi kalo gini caranya, sama aja kayak kemarin-kemarin. Cowok-cowok lain
masih merasa bebas untuk menggoda-goda Rida karena menurut mereka, toh Rida bukan
milik siapa-siapa. Ketika kegelisahanku kusampaikan ke Fita, teman dekat Rida, Fita
hanya mengangkat bahu, “ya gitu itu Rida...” ujarnya tak mau tahu,

Padahal ulangan udah dekat, aku khawatir malah jadi beban belajar. Pikirku kemarin
dengan punya pacar, aku jadi makin semangat belajar. Tapi kok malah jadi begini.....

“Rid, apa sih mau kamu....” rutukku dalam hati.

-------------------------------------------------
Siang itu, di depan ruang Laboratorium Kimia, kami duduk berduaan. Pembicaraan di
telepon semalam akhirnya mencairkan sikap Rida terhadapku. Dan kami kini, ya boleh
dibilang sebagai sepasang kekasih. Pandangan sirik para cowok yang lewat menjadi
sebuah kenikmatan tersendiri di batinku. “I am the winner boys, here I am!” teriakku
dalam hati.

“Yog, anterin aku pulang yuk” ajak Rida mengakhiri pembicaraan kami siang itu.

“Anter ke rumah ? Boleh..”

“Bukan ke rumah, ke perempatan aja, di perhentian angkot” jawabnya memupuskan


harapanku mengetahui letak rumahnya.

“Oke deh. Ayuk.” aku beranjak dari tempat duduk.

Kami berjalan berduaan menuju pintu sekolah. Kini para cewek kakak kelas ribut bersuit-
suit. Kami berjalan tak tergesa-gesa, seakan menikmati segala godaan di sepanjang
perjalanan.

“Rid, bener katamu ya..”

“Bener yang mana ?”

“Gak perlu pengumuman, kalo gini mereka juga tau sendiri...heheheheh”

“he-em..”

Di ujung jalan depan sekolahan, sebuah angkot langsung berhenti ketika melihat
lambaian kami.

“Aku pulang dulu ya. Assalamualaikum..”

“Waalaikum salam...” jawabku.

Ternyata punya pacar itu enak ya ? Sorakku dalam hati. Setengah berlari aku menuju
parkiran sepeda.

---------------------------------------

“Kamu suka Sheila On 7 kan ?” Sore itu aku ngungsi telepon ke wartel depan gang.
Lama-lama takut Ayah tau kalo kunci teleponnya sering ku bobol. Demi amannya
mending telepon di wartel.

“Iya banget. Kenapa ? “ Rida menjawab di ujung sana.


“Tolong catatkan lirik Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki dong. Klavi mau
latihan mainkan lagu itu. Kebetulan juga lagu itu pas buat kamu...” godaku.

“ Maksudnya ?” Rida pura-pura gak ngerti.

“ya, kamu emang Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki..”

“Gombal...ngerayu...”

“Ngerayu ? Iya, tapi gak gombal..hehehehe”

Tawa renyahnya merdu di telingaku.. Hingga tak terasa saldo di monitor wartel mencapai
ribuan rupiah.

Jebol deh uang saku ku..., batinku. Pacaran emang mesti siap-siap banyak modal...

-----------------------------------------

“Kenapa sih aku gak boleh main ke rumah ?” siang itu di ujung jalan menanti datangnya
angkot. Masak pacaran gak pernah boleh ngapel.., batinku dalam hati.

“Kamu punya pacar lain ya di rumah ? Makanya aku gak boleh ngapel kalo malam
minggu”

“Ih kamu kok nyebelin sih sekarang ?” Rida mendelik sewot.

“Dimana mana kan wajar kalo pacaran ngapel malam minggu. Atau jalan-jalan kek,
nganterin aku latihan ngeband. Kamu kok kayaknya gak serius sama aku..”

“Jangan sembarang kalo ngomong Yog. Kamu nyebelin. Udah aku pulang! “ Rida berlari
mengejar angkot yang lewat.

“Rid, rid..,” aku berlari mengejarnya. Tapi terlambat, angkot sudah menderum pergi.
Sementara beberapa orang melirik jenaka melihat pertikaian kami. Kecil-kecil udah
pacaran, gerutu mereka lirih.

Aku melangkah gontai menuju parkiran sepeda. Hari ini hari yang menjengkelkan.
Sungguh menjengkelkan.

-------------------------------------------

“Yog, emang bener Rida udah jadian sama cowok lain, tetangganya di rumah.” kabar dari
Fita siang itu seperti geledek yang menyambar telingaku.
“Kamu jangan boong Fit. Bulan puasa nih. ” sergahku setengah gak percaya.

“Buat apa aku boong Yog ?, Rida minta kamu putuskan dia sekarang.”

Apa ? Setega itukah dia memperlakukanku ?. Rida minta putus ? Kenapa dia gak
ngomong langsung ke aku ? Kenapa harus lewat Fita ?

“Aku cuma diminta nyampaikan. Telpon aja dia sekarang. Dia dirumah kok. Liburan
puasa ini dia gak kemana-mana.”

Hatiku remuk redam. Tapi aku masih berusaha keras menahan buliran di mataku yang
ingin mengalir. Segera aku berlari ke Wartel depan gang. Gemetar jari-jariku menekan
nomor telepon Rida. Sejenak nada sambung terdengar. Beberapa kali tidak ada jawaban.
Tapi aku tak mau menyerah. Ku tekan tombol redial, dan nada sambung kembali
terdengar.

“Halo ?” suara itu sangat kukenal.

“Rida! Apa benar yang dikatakan Fita ?” ingin rasanya marah, tapi tak mampu.

“Benar Yog. Putuskan aku sekarang.”

“Apa alasannya ?”

“Kamu sudah dengar dari Fita kan ?”

“Bohong!”

“Aku gak bohong. Sudahlah, putuskan aku. Sekarang.”

“Kamu tega Rid mengkhianatiku...” tak kuasa lagi aku menahan air mataku.

Tiba-tiba suara terputus, hanya nada panjang yang terdengar. Rida telah menutup
pembicaraan. Dan juga menutup hatinya. Aku segera membayar tagihan wartel dan
berlari menuju rumah. Aliran darahku terasa mengalir begitu cepat. Aku masuk rumah
dan langsung menuju kamarku di lantai atas. Begitu perih yang kurasakan di dalam
jantungku. Tidak tahukah Rida betapa aku mencintainya ? Tak tahukah Rida bahwa dia
telah merampas seluruh relung-relung cintaku ?

Sore itu, menjelang maghrib listrik padam. Aku bersyukur dalam hati, karena dengan itu
aku bisa berbuka puasa tanpa terlihat bekas-bekas lebam di mataku yang masih saja
meneteskan air mata. Tapi aku sadar bahwa keluargaku tahu aku tengah menangis. Hanya
saja mereka tidak ingin mencampuri urusanku.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Kudekap gitarku dan kupetik dengan lembut, suaraku
mendesah menyanyikan bait-bait lagu...
“Merenungkanmu kini membuka haruku

Berlahan terbayang pasti garis wajahmu

Sebenarnya kuingin menggali hasrat untuk kembali....

Adakah waktu mendewasakan kita

Kuharap masih ada hati bicara

Mungkinkah saja terurai satu persatu

Pertikaian yang dulu bagai pintaku...

Semoga.... “
-II-
Let It Shine

Pagi di bulan Ramadhan, aku masih berkutat dengan gitar listrik di studio milik Eki,
temanku sekaligus bassis grup band kami. Kunyalakan Sound system, lalu mencoba
memainkan distorsi-distorsi keras di senar gitar. Beban beratku atas peristiwa semalam
masih menghantui hatiku. Ku petik senar gitar makin keras, suara berisik memecah
kesunyian studio kami. Eki agaknya tertarik dengan permainanku, kemudian mengambil
gitar yang lain dan mengimbangku. Tak lama, teman teman yang lain berdatangan dan
mulai check sound masing-masing alatnya.

“kamu keliatannya lagi sedih, bro” Eki bertanya di sela permainan kami.

“lebih tepatnya, marah!” koreksiku menyudahi permainan kami.

“hahahahahaha, kalo dimataku itu sedang sedih namanya.” Eki masih berkutat dengan
nada-nada distorsi melanjutkan permainanku.

Aku sedang marah. Dan aku tidak mau menangis lagi seperti semalam. Aku harus tegar.
Sekarang aku marah, bukan sedih. Itu tekadku di dalam hati.

Sejurus kemudian nada-nada gitar Eki menarik perhatianku. Rhytm gitarnya


memunculkan nada-nada di benakku.

“Ki, enak kayaknya kalo jadi lagu,” teriakku di sela sound yang bersliweran dari alat-alat
musik teman-teman yang lain.

“Ayo, menyanyilah...” Eki juga tertarik.

Aku menghidupkan microphone ku, lalu mulai memikir sebait lirik. Marah, itu yang ada
dalam pikiranku.

“Kini ku dalam derita, kurasa kau tak pernah ada, kau tinggalkan semua cerita,
renggutkanku...” dari sini aku berhenti sejenak. Teman-teman Klavi – nama band kami-
menghentikan permainan mereka dan tertarik dengan permainan rhytm Eki.

“Ayo lanjutkan..,”Jonathan, drummer kami akhirnya buka suara.

“Kasih masukan dong,” jawabku sambil menyorongkan mic ke jonathan.

“Akankah hari kan tiba, berada dalam rinduku, sambut galau dihatimu, tepiskanku...”
lanjut Jonathan dengan suara falsetonya. “nah, sekarang tinggal bridge-nya..”

“Siang kan berganti malam kan berlalu, tawakan mimpiku kan dirimu...”

Aan, gitaris dan Priza, keybordis, kini ikutan menimpali permainan rhytm Eki.
“Okee... ayo mulai dari awal...” Priza bersemangat memainkan synthesizer di
keyboardnya.

Aku semakin menyukai lagu baruku. Lagu ini mungkin tentang sakit hati, tapi balutan
distorsi akan menimbulkan efek riang dan marah pada pendengarnya.

Akhirnya aku kembali mengambil mic dan bernyanyi.

“Kini ku dalam derita, kurasa kau tak pernah ada, kau tinggalkan semua cerita

Renggutkanku...

Akankah hari kan tiba, berada dalam rinduku, sambut galau dihatimu

Tepiskanku....

Siang kan berganti malam kan berlalu, tawakan mimpiku kan dirimu...

Ooh...

Sudahlah semua telah hilang, pergilah dengan hatimu, tak kuharap kau kembali

Bersamaku..

Tinggalkan aku yang hina, hanya asa yang ada, aku dalam sejuta duka

Galaukanku...”
------------

Pagi itu kami menyewa studio rekaman di kawasan Sukolilo. Beberapa materi sudah siap
untuk direkam. Kami tidak tau untuk apa nanti lagu-lagu kami setelah direkam, pokoknya
direkam dulu. Belum tentu juga hasilnya akan bagus dan siap jual. Setelah berkutat
selama 2 jam, kami berhasil menyelesaikan tiga lagu : Bunga Hati, Resapi Rentang
Pelangi, dan Galau.

Jam Studio masih tersisa beberapa menit ketika kami menyelesaikan Galau. Atas
permintaanku, kami lanjutkan dengan dua lagu milik Erros, Perhatikan Rani dan
Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki. Hatiku masih terasa perih ketika dua lagu
Erros ini kunyanyikan..., mengingat dia yang telah menyakitiku.

Anak-anak Klavi begitu memahamiku.., mereka bukan saja teman main band, mereka
adalah sahabat sahabatku....

-------------
Masih pagi di akhir bulan Ramadhan menjelang penghujung abad 20.

Aku serius menyelesaikan proyek remastering hasil rekaman kemarin, di studio yang aku
bangun sendiri di rumah. Sebenarnya ini ruang kerja bapakku, tapi karena udah jarang
dipakai, akhirnya aku taruh alat alat recording dan equalizer. Di sela-sela lagu Galau dan
lagu milik Erros, aku beri prolog perasaanku untuk dia yang menyakitiku.

Hampir mendekati waktu Dhuhur, ketika proses mastering selesai. Begitu melelahkan,
tetapi lega rasanya, ketika menimang kaset master Klavi di tangan. Album kami sudah
siap dipamerkan. Siapa yang mau dengar ? hehehehehe, entahlah. Siapapun yang mau
dengar pokoknya.

“Yog!!! Telepon!!!” tiba tiba suara cempreng mbak Meme memecah keheningan siang
itu. Kepalanya nongol di jendela pintu studioku.

“Hoi!! Puasa puasa jangan teriak teriak!” balasku tak kalah kerasnya, sambil beranjak ke
kamar.

“Lah, kamu apa gak teriak teriak ?” balas mbak Meme sambil berlalu.

“Hihihihii..”

Segera kuangkat gagang telepon di kamar yang digeletakkan mbak Meme di meja. Sialan
tuh orang, ternyata dari tadi ngejogrok di kamarku gak bilang bilang.

“Assalamualaikum”

“Waalaikumussalam” suara diujung sana menjawab.

“Apa Jon ?” aku udah hapal banget sama suara drummer Klavi ini.

“Gimana masteringnya ? Beres ?”

“Barusan selesai. Tak kasih prolog dikit. Biar ngena sama isi lagunya “

“Terserahlah, toh kamu vokalisnya. Oh ya, besok aku mo mudik ke Mojokerto.


Sementara latihan kita istirahat dulu sampai abis Lebaran ya”

“Terserahlah, toh kamu Managernya..hahahahahaha”

Jon memang kami sebut pak Manager. Selain karena dia di sekolah Ketua OSIS, diantara
kami, Jon yang paling pinter ngatur jadwal dan nyarikan panggung buat Klavi.

Pagi ini memang sudah masa liburan sekolah. Aku sendiri pengen maen ke Jogja, dolan
ke rumah Mbah Kakung. Sekalian lebaran disana. Pasti seneng banget tuh. Ketemu sama
sodara-sodara, sepupu-sepupu. Belum lagi masakan Mbah Putri yang sedap. Bayanginnya
aja udah bikin laper. Hus, puasa kok mikir makanan.

Tidak membuang waktu, siang itu juga aku packing baju bajuku dalam tas gunung yang
biasa kupake hiking. Rencana malam ini aku berangkat ke Jogja, naik bis dari terminal
Waru, kira-kira sampai Jogja subuh.

Bapak ibu fine fine aja waktu aku pamitan mau lebaran di rumah Mbah Kakung.
Maklum, aku emang udah 2 tahun gak pernah dolan ke desa. Beda dengan adik-kakakku
yang sering nongol kesana hampir tiap tahun. Alasannya kangen mbah, padahal
tujuannya jelas, apalagi kalo bukan ngeceng hehehehe. Masalah biaya sih kalo Cuma
transport ditanggung ortu. Buat jalan-jalan nanti, alhamdulillah ada tabungan yang cukup
buat gila-gilaan di Malioboro or ngalong di Keraton.

Sore hari, setelah Tarawih, aku cabut ke Terminal naik angkot dari depan gang.
Kupingku kutempeli headset dari walkman bapak yang tak embat tanpa sepengetahuan
yang punya. Lagian mo lebaran gini masak iya masih ada jadwal wawancara. Paling-
paling liputan lebaran dan hunting foto buat koran pagi, tempat bapak menafkahi kami
sekeluarga. Tapi kalo ternyata walkmannya dicariin ya gak tau lagi. Besok abis liburan
bisa-bisa disuruh nguras bak mandi hehehehehe.

Mulutku komat kamit lirih ngikutin suara Liam Gallagher yang aku puter dengan volume
kenceng. Cuek bebek sama situasi. Padahal angkotnya lagi penuh orang. Tak terasa,
tanganku dicolek seseorang. Reflek aku menoleh

“Ongkosnya, Le!” tampangnya agak sebel, dan matanya melotot. Kayaknya dia dari tadi
manggil manggil aku tapi akunya gak ngeh.

Seribuan lecek segera berpindah tangan dari tanganku ke tangan kernet angkot. Sebentar
saja, angkot sudah memasuki terminal kotaku, yang kabarnya terbesar di Indonesia. Aku
turun dan tersenyum nakal ke mas Kernet angkot yang masih manyun biarpun udah
dibayar. Kagak pernah liat orang seneng kali si mas. Sirik banget hehehehe.

Bus Jogja sudah setengah terisi saat aku menaikinya. Begitu mendapati tempat duduk
kosong, aku menghempas lelah dan memulai ritual menjelang malam. Ngulet, berdoa,
tidur. Kebetulan juga dapat bis biasa tapi berAC. Bikin malam yang dingin jadi makin
nyaman. Sebelum terlelap aku masih sempat melihat gemerlapnya lampu kota Pahlawan
dari jendela bus. So Long my lovely City...

------------------------

Aku terbangun saat bus mengurangi kecepatannya dan memasuki pelataran sebuah rumah
makan kota Madiun. Aku melirik arlojiku, pukul 02.00 dini hari. Waktunya sahur. Aku
turun dan antri ke toilet, sebelum kemudian memesan makanan. Ada sepasang bule
remaja yang sedang duduk berhadapan. Karena seluruh bangku penuh, aku terpaksa
duduk di samping mereka.
“excuse me” sapaku sopan.

“Oh, it’s okay. Please” cowok bule itu tersenyum menyilakan aku duduk.

“Pergi ke Jogja mas ?” kini bule cewek yang menyapaku dengan bahasa Indonesia
berlogat eropa. Aku tersenyum.

“ if you don’t mind, lets speak in English. I want to practice my english “ jawabku sambil
tersenyum. “And, yes. I go to Jogjakarta”.

“Well, you want to practice your English, but we want to pratice our Indonesian. So
how?” si cowok tertawa, diringi tawa kami bertiga.

Dari obrolan ringan itu, aku mengenal Robert dan Diane, sepasang mahasiswa
Universitas swasta di kotaku. Mereka ingin liburan ke Jogja, karena, sebagaimana
sekolahku, kampus mereka pun libur Lebaran. Nekat, karena mereka hanya berbekal peta
dan daftar terminal yang akan dilewati. Meski cowok cewek, mereka bukan pacar.
Mereka mahasiswa pertukaran dari Inggris.

Selesai makan, kami naik lagi ke bis. Aku tidak tau kalo ternyata kami se bis juga. Aku
duduk dan melanjutkan mimpiku. Mereka duduk di depan, dekat tempat supir dan kernet.
Katanya, biar mudah kalo mau tanya-tanya.

Aku kembali terlelap dan bis beranjak meninggalkan kota Madiun. Jogja masih jauh. Aku
kembali memejamkan mata.

----------------------

Sudah dua hari aku liburan di rumah Mbah. Kerjaanku Cuma tidur, baca buku sambil
nonton MTV. Kebetulan TV mbah pake antena parabola. Jadi mo nonton siaran luar
negeri keturutan seharian beneran. Sore ini mbah bilang kalo Om Priyo akan datang.
Tentunya sepupuku akan ikutan juga. Aku ingin tau seperti apa mereka setelah lama gak
ketemu.

Bakda isya, mobil hitam taun 80-an memasuki pekarangan rumah mbah. Om Priyo yang
keluar pertama, lalu diikuti Tante Wati. Dik Dewi, anak mereka terkecil, berlari kecil
mengikuti ibunya. Baru kemudian Dela, kakak Dewi, ikut masuk ke rumah.

Aku terkejut melihat Dela. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku bertemu Dela, dia masih
seorang gadis kecil. Tapi kini dia telah beranjak remaja. Usianya hanya terpaut 3 tahun
denganku, berarti dia sudah pertengahan SMP sekarang. Hatiku benar benar tergetar
melihat Dela. Segala tingkah lakunya menarik perhatianku. Aku jatuh cinta ? Entahlah,
tapi dia sepupuku....bagaimana bisa ?

------------------------
When it's over

That's the time I fall in love again

And when it's over

That's the time you're in my heart again

------------------------

“Hello Del, lama gak jumpa ?” aku tersenyum manis sembari berharap dia membalas
senyumku.

“Iya, mas. Sampeyan sih jarang main kesini..” matanya memandang manja. Ya
ampun..aku makin terpesona.

Kami ngobrol di depan TV yang sedang menayangkan lagu milik Spice Girl, Goodbye.
Terdengar suara Dela menyanyi lirih mengikuti lirik lagu. Aku gak sempat menilai
suaranya, bagi orang yang sedang jatuh hati, semuanya selalu terasa sempurna.

“Suka ya sama Spice Girl ?” tanyaku.

“Ya lumayan.... Sayang Geri udah keluar.”

“Katanya lagu Goodbye ini untuk Geri.” Sahutku sok tau. Benernya sih, aku gak terlalu
ngerti Spice Girl. Hanya sempat denger dari gosipan teman-teman cewek di kelas kalo
habis ini Spice Girl bakal bubar setelah Geri keluar.

“Iya, denger-denger juga gitu,” jawab Dela sembari menurunkan badannya di sofa.
“Malah ada yang bilang ini lagu terakhir mereka.”

Tuh kan gosip yang aku denger gak salah, batinku.

“Sayang ya. Padahal kemunculan awalnya menggebrak banget, pake bawa-bawa istilah
Girl Power,” kali ini gak sok tau tapi beneran aku tau.

“Iya bener,” Dela mengangguk. “Eh, mas Yoga katanya suka main musik juga ya?”

“Ngeband maksudnya ?” tanyaku. “ Biasa aja. Belum terlalu hebat. Baru kelas pentas
seni tingkat sekolahan.”

“Weee, keren...” tak kusangka matanya berbinar. Tak kusia-siakan, segera kutawari,

“Aku bawa kaset rekaman bandku. Mau denger ?”

“Boleh...” Dela antusias. “Tapi didengerin dimana ya?...,eh di mobil kan bisa”
Aku beranjak ke kamar menuju tasku dan mengambil kaset Klavi dari tumpukan
beberapa kaset yang aku bawa. Sayup sayup terdengar MTV tengah memutar lagu milik
Rialto, Monday Morning 5.19.

Aku mengikuti Dela ke garasi di depan rumah. Di mobil bapaknya, kami duduk di kursi
depan dan Dela memutar kaset Klavi dengan tape mobil. Sejenak volumenya memenuhi
ruangan mobil.

“Sayangku, taukah kamu betapa kau menyakitiku. Aku mencintaimu, begitu mencintaimu,
tetapi kau pergi dengan cara yang sangat menusuk hatiku, bahkan kau tak biarkan aku
mengetahui siapa orang yang beruntung memilikimu. Maaf, aku tidak lagi bersedih. Aku
tidak akan menangisimu lagi. Kamu tidak pantas memiliki cintaku..maka pergilah
kau..jangan lagi kau kembali..”

Distorsi intro gitar yang kumainkan, menyaut prolog di awal lagu Galau. Aku tercekat
mendengar prolog itu. Aku lupa bahwa ada prolog yang seharusnya tidak perlu
didengarkan oleh Dela. Sedang Dela tersenyum senyum mendengarnya. Aku mati kutu.
Entah seperti apa mukaku saat itu.

“Hayo...lagi putus cinta ya? Hihihihihihi” Dela gak tahan ngetawain gaya saltingku.

“Ya...gitu deh...” sembari menggaruk rambutku yang sama sekali gak pernah gatal
(ceileee...).

Selanjutnya Dela diam dan menikmati alunan demi alunan lagu yang aku nyanyikan.
Hingga pita kaset side A habis. Otomatis side B langsung diputar oleh tape tanpa harus
membaliknya.

“Aku dulu pernah mengatakan kau adalah Anugerah Terindah yang Pernah
Kumiliki...ternyata aku salah!!!”

Dentuman suara drum Jon menyambut prolog marahku di lagu SO7 ini. Dela gak tahan
untuk tidak lagi tersenyum.

“Duuhhh, segitunya mas ini....” sahut Dela sambil mengerling nakal ke wajahku.

Salting jilid 2 jadi gayaku saat itu. Haduhh, ini nikmat membawa sengsara...nikmat juga
berduaan dengan Dela, tapi sengsara malunya minta ampun...

Tak terasa dua side sudah terputar semua. Malam pun makin merayap di langit desaku.
Kami masuk kembali ke dalam rumah. Di ruang tengah, Om Priyo sedang duduk bersama
Mbah Kakung dan tiba-tiba mengajakku bicara,

“Yog, besok aku pulang. Ikut yok ke Sleman ? daripada disini kamu sendirian aja ?”
tawarnya.
Ha ? ikut ke Sleman ? bisa lebih lama dong bersama Dela ?. Tapi tengsin kalo langsung
dijawab. Aku tanya Mbah Kakung dulu boleh tidaknya.

“Boleh kok. Daripada kamu disini sendirian,” jawab Mbah Kakung.

Hore!!! Sorakku dalam hati. Akhirnya, aku ikut ke Sleman menuju rumah Om Priyo.
Tentu bersama Dela, Ibu dan adiknya. Tak terbayangkan bahagianya hatiku...nada-nada
lagu Galau masih terngiang di telinga, tapi kini liriknya terasa sangat riang, sebahagia
hatiku pagi itu.

-----------------------

Idul Fitri sudah lewat sehari yang lalu. Rasanya badan capek sekali muter-muter ke
rumah seluruh keluarga besar di desa. Perut jadi buncit karena makan macem-macem.
Apalagi saat ngikut ke desa Om Priyo di Semarang, mereka punya tradisi tiap tamu yang
datang harus makan. Padahal rumah yang didatengi begitu banyak. Sukses bikin kenyang
deh...

Malam ini aku kembali ke rumah Om Priyo. Semakin lama, aku semakin dekat dengan
Dela. Dia seorang yang selalu saja membuatku tersenyum dan tertawa. Entahlah apa yang
dia rasakan terhadap aku, jujur aku terkadang memperhatikannya begitu dalam ketika
kami berjalan bersama. Anganku terus melayang, berandai-andai bila dia menjadi
kekasihku. Berandai-andai bilakah ada jalan mendekati dan menyatakan cintaku.

Suara piano di ruang tengah mengganggu lamunanku. Aku keluar dari kamar dan
melihat Dela tengah memainkan piano dengan nada-nada sederhana. Aku terusik untuk
mendekatinya.

“Pinter nih main piano..” godaku.

“Enggak mas, baru bisa kayak gini aja.” Dela menjawab dan menghentikan
permainannya. “Mas Yoga bisa ?”

“Cobain deh...” jawabku sambil tersenyum.

Dela bangkit dari kursinya. Aku menggantikan duduk dan mulai memainkan nada-nada
ringan. Dela mengambil bangku kecil dan duduk disebelahku. Priza, keybordisku di
Klavi, banyak mengajariku ketika aku pertama kali masuk Klavi. Dan setelah nabung
setahun dan bisa beli kibor second di pasar Praban, aku lumayan canggih. Aku
memainkan nada intro Masih (Sahabatku Kekasihku) ,

“Rasa cinta yang dulu telah hilang kini bersemi kembali

Telah kucoba lupakan dirinya hapus cerita lalu

Dan lihatlah dirimu bagai bunga dimusim semi


Yang tersenyum menatap indahnya dunia, yang seiring menyambut

Jawaban segala gundahmu...

Walau badai menghadang Ingatlah ku kan slalu setia menjagamu

Berdua kita lewati jalan yang berliku, tajam.

Setiap waktu wajahmu yang lugu selalu bayangi langkahku

Telah lama menanti dirimu tempat ku kan berlabuh

Cahaya hatiku yakinlah kekal abadi selamanya

Seperti bintang yang sinarnya terangi seluruh ruang dijiwa membawa kedamaian

Aku tersenyum menggoda melihat Dela yang terpana dengan permainanku.

“Suaramu bagus mas..” Puji Dela.

“Uhuk..” jawabku sambil tertawa kecil. Jadi Ge-er nih. Kapan lagi dipuji cewek cantik
hehehe.

“Aku diajari dong..., masak dari dulu Cuma bisa kayak tadi doang.” Dela merajuk
disampingku. Aku bangkit dan bertukar posisi duduk dengan Dela. Kembali Dela
memainkan pianonya. Aku koreksi sedikit-sedikit permainannya. Aku ajari beberapa lagu
yang terdapat di buku lagu miliknya. Dela memainkan lagu Aku Pulang , lagi-lagi ciptaan
Erros. Lumayan juga permainannya, aku menyanyikan liriknya disampingnya. Malam
itu milik kami berdua. Romantisme usang, dalam roman picisan. Aku tak peduli kata
orang nanti, tapi Dela benar-benar menyembuhkan luka-luka dihatiku.

--------------------------

Siang itu kami berada di toko buku. Memilah milih beberapa judul buku. Dela berdiri
disampingku dengan jilbab putih, serius membaca buku yang dipilihnya. Sedangkan aku
gak konsen. Lebih senang bermain-main dengan hatiku, menikmati penampilan gadis
cantik yang menemaniku.

“Udah mas. Keluar yuk..” ajakan Dela mengagetkanku.

“Yuk...” balasku. “Sekalian cari minum di luar. Panas bener, haus banget..”

aku menyeka keringat yang sedari tadi tertimbun di jidatku. Toko buku kecil ini memang
tidak dilengkapi AC, jadi kalo siang gini bener-bener memanggang pengunjungnya.

“Mas Yoga pernah nyobain Es Coret gak ?” Dela bertanya sambil menahan senyum.
“Belum. Es apaan tuh ?” tanyaku penasaran.

“Di depan kan ada, dekat masjid depan alun-alun..” kali ini Dela gak kuat menahan
senyumnya.

Aku jadi rada curiga. Kami berjalan menembus kerumunan di alun-alun kota dan menuju
depan Masjid.

“Mana ada yang jualan Es Coret ?” tanyaku makin penasaran.

“Lah itu didepan masjid kan ada Es Coret. Huruf S dicoret hahahahahaaha” Dela tertawa
terbahak setelah berhasil mengerjaiku. Sialan bener, ternyata maksudnya rambu lalu
lintas dilarang berhenti, alias huruf S dicoret Merah, alias Es Coret.

“Aduohh...orang haus dikerjainnnn” teriakku jengkel. Dela makin keras ketawanya.

Puas ketawa-ketiwi, diselingi wajah manyunku, Dela mengajakku ke penjual es dawet


DPR (Dibawah Pohon Rindang). Kami duduk berdampingan dan menikmati semangkuk
dawet khas kota Sleman.

“Kamu punya pacar ya dik ?” tanyaku disela sela es dawet kami.

“Kok tau mas ?” mata Dela melirik ke aku.

“Nebak aja. Masak iya cewek cantik gak ada yang mau ?” tanyaku jenaka.

“Huuuu...iya dong. Namanya Adi. Pinter main musik kayak Mas Yoga.”

“Teman Sekolah ? “ lanjutku. Hatiku jadi agak remuk juga mengetahui bahwa Dela udah
punya cowok.

“Bukan, teman main. Gak tau gimana juga ceritanya, kok jadi saling suka.”

“Usia kalian sama dong ?” selidikku.

“Enggak sih, tuaan aku beberapa bulan. Kenapa sih mas? “

“Gak papa. Kata orang tua sih kurang baik aja kalo cewek lebih tua. Tapi itu terserah
kamu loh..”

“Udah ah, gak usah dibahas. Males..”

“Lho, asyik lagi bahas ginian..kenapa gak cari yang lebih tua dik ?”

“Pacarku yang sebelum ini lebih tua, seumuran mas Yoga malah.”
Hah ? kok banyak banget sih pacarnya. Heran.... batinku.

“Oh ya? Terus sekarang putus ? Kenapa putus ?”

“Embuhlah..udah dibilang gak usah dibahas kok...” Dela mendelik sewot.

“Iya iya...aduuhh, kalo marah makin cantik...” godaku

“Sebel!”

“Besok jalan jalan lagi yok ? kemana coba ?”

“Terserah mas Yoga. Pengen diantar kemana ?” tawarnya.

“Tempat yang aku belum pernah kesana!” tantangku. “Candi Gedong Songo, gimana ?”

“Ha ? jauhnyaa.....tapi kalo sama mas Yoga pasti diijinin sama Bapak..”

“Asyikkk....”

----------------------

Candi Gedong Songo, yang terletak di Pegunungan Ungaran, bener bener tempat yang
indah. Asal kuat mendaki, kita bener-bener ngerasa jadi hiker sejati. Iseng iseng, kami
berdua menghitung jumlah kompleks candi yang kami temukan disepanjang jalan. Cuma
ada 7. sisanya hanyalah tumpukan batu yang ada dipuncak gunung. Udaranya dingin, ada
sungai air panasnya pula. Bener-bener liburan yang menyenangkan. Apalagi ada Dela
yang setia disampingku. Jadi gak pengen pulang.

“Aku besok pulang dik..” ujarku ketika kami beristirahat dibawah pohon cemara.

“Kok buru-buru mas ? yaa...kan masih panjang liburannya...” Dela terlihat kecewa.

“Iya, tapi aku kan harus silaturahmi juga ke keluarga di rumah. Masak disini terus dik ?.
Kita yang muda ini, katanya kan banyak dosanya hehehehe” candaku.

Dela tidak menjawab. Wajahnya tidak mampu menutupi kekecewaannya.

“Kali lain, mas main kesini lagi deh. Bener.” Janjiku.

“Beneran ya mas ? besok kalo Pakde kesini, aku bakal bilang biar mas Yoga suruh main
kesini lagi, yang lama, biar aku ada yang ngajari main piano..hehehhehe” Dela
menampakkan senyumnya kembali.

---------------------------
Hari sudah beranjak sore ketika aku tiba di terminal kotaku. Bagaimanapun, liburan telah
usai dan aku harus kembali kesini, meneruskan perjuangan untuk lulus dari SMK Kimia
tempat menimba ilmu. Masih dengan walkman di kuping, aku naik angkot pulang ke
rumah. Bayang bayang Dela memenuhi ingatanku. Tingkahnya, senyumnya,
kemanjaannya, benar-benar memikat hatiku. Seandainya saja dia terlahir sebagai orang
lain...orang yang lebih dekat di kotaku, mungkin kami bisa bersatu..

Gang rumahku tinggal beberapa kilometer lagi, saat dikepalaku muncul sebuah lagu. Ya,
suatu hari nanti, kami akan bertemu lagi, dan aku bisa memamerkan lagu ini ke Dela.
Dengan bersemangat aku berlari menuju rumah, begitu turun dari angkot yang
membawaku.

Tanpa berganti baju, aku masuk ke studio disamping kamarku, menyalakan kibor
kesayangan, menyalakan alat-alat recording berikut equalizernya. Aku atur style dan
tempo di kibor, menghidupkan microphone, memulai intro dan menyanyi secara live,

You, you're such a big star to me, you're everything I wanna be


But you're stuck in a hole and I want you to get out
I don't know what there is to see, but I know it's time for you to leave
We're all just pushing along trying to figure it out,

All your anticipation pulls you down


When you can have it all, you can have it all.

So come on, come on, get it on, don't know what you're waiting for
Your time is coming don't be late, so come on see the light on your face
Let it shine, Just let it shine
Let it shine.

Stop being so hard on yourself, it's not good for your health
I know that you can change so clear your head and come round
You only have to open your eyes you might just get a big surprise
And it may feel good and you might want to smile,

Don't you let your demons pull you down


'Cause you can have it all, you can have it all.

Hey let me love you, you're all that matters to me


Hey so come on yeah
Shine all your light over me.
Let it Shine….

Anda mungkin juga menyukai