Anda di halaman 1dari 20

MULTIKULTURA

VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

MOTIF PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA JEPANG


(農地改革 Nōchi Kaikaku)
TAHUN 1946-1950
Muhammad Rafid Pratama
muhammad.rafid@ui.ac.id

Ferry Rustam
ferryfrr@yahoo.com

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai motif pelaksanaan Reforma Agraria Jepang (nōchi kaikaku)
yang terjadi pada masa pemerintahan SCAP tahun 1946 – 1950. Pembahasan tersebut meliputi
latar belakang sejarah terjadinya pelaksanaan Reforma Agraria Jepang, pelaksanaan Reforma
Agraria Jepang, serta dampak dari pelaksanaan reforma agraria terhadap Jepang. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan penjelasan disajikan dengan deskriptif. Pengumpulan
data bersumber pada buku dan jurnal yang khusus membahas mengenai Reforma Agraria
Jepang. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teori pelaksanaan
reforma agraria oleh Warriner (1969). Hasil pembahasan dalam penelitian ini menunjukan
bahwa pelaksanaan Reforma Agraria Jepang berhasil menghapus kekuatan tuan tanah dalam
menguasai lahan, meredam konflik antara tuan tanah dengan petani penyewa, usaha dalam
menciptakan kesetaraan sosial dan ekonomi bagi masyarakat, dan pelaksanaan reforma yang
sesuai dengan UU Reforma Agraria Jepang tahun 1946. Lebih lanjut, Reforma Agraria Jepang
pada masa pendudukan SCAP dinilai sebagai salah satu pelaksanaan reforma agraria yang
berhasil mengapuskan kekuatan tuan tanah dalam menguasai lahan. Kesimpulan dari penelitian
ini adalah motif pelaksanaan reforma agraria pada Reforma Agraria Jepang tahun 1946-1950
merupakan kolaborasi dari keempat motif pelaksanaan reforma agraria dari Warriner (1969).

KATA KUNCI: reforma agraria, petani penyewa, tuan tanah, SCAP, motif, menghapus

PENDAHULUAN

Pelaksanaan reforma agraria menjadi salah satu agenda penting bagi pemerintah
pendudukan Sekutu di Jepang. Pemerintahan Sekutu yang diwakili oleh Supreme Commander
of Allied Powers (SCAP), menginstruksikan pelaksanaan reforma agraria dalam usaha
membangun kembali Jepang pasca-perang dengan menciptakan kesetaraan, kesejahteraan, dan
membentuk masyarakat pedesaan yang lebih demokratis (Trewartha, 1950). Menurut Jendral
MacArthur, penindasan terhadap petani oleh kaum feodal selama berabad-abad lamanya
menjadi belenggu ekonomi bagi Jepang. Hal ini dimuat dalam instruksinya yang disampaikan
kepada Pemerintah Kekaisaran Jepang dalam desakan untuk segera melaksanakan reforma
agraria. Dengan instruksi tersebut, MacArthur ingin memutus belenggu ekonomi Jepang demi
meningkatkan dan memulihkan kondisi sosial dan ekonomi Jepang, terutama kondisi sosial

242
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

dan ekonomi kaum pedesaan Jepang pasca-perang. Di sisi lain, Reforma Agraria Jepang juga
dirancang sebagai bentuk usaha dalam mengatasi wabah kelaparan dan krisis pangan yang
terjadi akibat perang yang dihadapi oleh Jepang. Krisis tersebut terjadi akibat beberapa faktor,
antara lain seperti pemberhentian impor pangan oleh pemerintah, ketatnya regulasi pasar yang
membuat harga pangan menjadi murah dan merugikan petani, serta produksi pangan domestik
yang tidak dapat mencukupi kebutuhan. Permasalahan tersebut diperparah dengan praktik
perdagangan pasar gelap yang menawarkan keuntungan yang lebih besar (Francks, 2006). Hal
inilah yang mengharuskan pemerintah untuk bertindak cepat dalam mengatasi permasalahan
tersebut dengan menyegerakan pelaksanaan reforma agraria dalam rangka mengatur kembali
peran sektor kunci, yaitu sektor pertanian.
Pelaksanaan Reforma Agraria Jepang berlangsung pada fase pertama dari tiga fase
pemerintahan Supreme Commander of Allied Powers (SCAP)1. Kebijakan tersebut berlaku
sejak disahkannya Undang-Undang Reforma Agraria oleh Parlemen Jepang pada tahun 1946
dan berlangsung hingga akhir tahun 1949. Pelaksanaan Reforma Agraria Jepang sebetulnya
merupakan salah satu bentuk kebijakan yang sebelumnya telah dicanangkan terlebih dahulu
oleh Pemerintah Kekaisaran Jepang sebelum diinstruksikan oleh MacArthur. Usulan dan
rancangan mengenai pelaksanaan reforma agraria sudah ada sejak zaman Taisho, hingga awal
zaman Showa. Usulan tersebut menjadi pembahasan dikarenakan permasalahan-permasalahan
di pedesaan, khususnya di sektor pertanian menjadi salah satu hal yang menghambat usaha
Pemerintah Kekaisaran Jepang dalam memanfaatkan sektor pertanian sebagai dukungan
pasokan bagi pasukan Jepang atas keikutsertaannya dalam perang, baik Perang Dunia I maupun
Perang Dunia II.
Rancangan oleh Pemerintah Kekaisaran Jepang inilah yang disebut sebagai “RUU
Reforma Agraria Jepang Pertama” yang kemudian poin-poin dalam rancangan tersebut tidak
disetujui dan ditolak oleh SCAP. Dalam RUU Reforma Agraria Jepang Pertama, seluruh lahan
dari tuan tanah guntai (absentee landlords) didistribusikan kepada petani penyewa (tenant
farmers), namun tuan tanah lainnya masih dapat menyimpan sebesar 3 ha lahannya untuk
penggunaan pribadi, dan sisanya didistribusikan dengan rata kepada para petani penyewa.
Kemudian parlemen merevisi rancangan tersebut dengan menaikan minimum lahan yang

1
Tiga fase periodisasi masa pendudukan Supreme Commander of Allied Forces (SCAP) di Jepang merupakan
periodisasi yang dibuat oleh Badan Sejarawan Nasional, Departemen Luar Negeri, Amerika Serikat dalam
artikelnya yang berjudul “Occupation and Reconstruction of Japan, 1945-52”. Fase pertama pendudukan SCAP
di Jepang merupakan fase yang disebut sebagai fase menghukum dan mereformasi Jepang, berlangsung sejak
tahun 1945 hingga 1947. Pada fase pertama ini, para tokoh yang dianggap sebagai penjahat perang diadili dan
diberikan hukuman atas kejahatannya. Di sisi lain, Jepang mengalami Reformasi Pendidikan, Reformasi Agraria,
serta pembentukan Konstitusi baru, yaitu Konstitusi 1947. Fase kedua atau fase di mana SCAP berupaya untuk
memulihkan krisis ekonomi Jepang dan melawan paham komunisme yang pada saat itu berkembang pesat di
Jepang, berlangsung pada akhir tahun 1947 hingga akhir tahun 1949. Fase terakhir atau fase ketiga kependudukan
SCAP di Jepang berlangsung pada tahun 1950 hingga akhir masa kependudukan. Pada fase ini, SCAP
menganggap bahwa usaha-usaha untuk merekonstruksi dan membangun kembali Jepang telah berhasil dan SCAP
mulai mempersiapkan perjanjian damai untuk mengakhiri masa kependudukan. Kebijakan-kebijakan yang
dilaksanakan dalam ketiga fase Pemerintahan SCAP dituangkan dalam dokumen yang disebut dengan SCAP Index
Number (SCAPIN). Dimuat pada laman history.state.gov/milestones/1945-1952/japan-reconstruction. Diakses
pada Selasa, 4 Mei 2021 pukul 14.50.
243
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

masih dapat dimiliki oleh tuan tanah dari sebanyak 3 chō2 menjadi 5 chō, bertambah 2 chō dari
rancangan sebelumnya (Grad, 1948). Poin mengenai jumlah lahan yang masih dapat dimiliki
oleh para tuan tanah inilah yang menjadi permasalahan bagi SCAP karena parlemen juga ikut
campur dalam usaha melemahkan rancangan undang-undang reforma agraria. Banyak anggota
parlemen yang ternyata juga merangkap sebagai tuan tanah dan memiliki lahan yang luas
(Dore, 1965). Setelah rancangan RUU Reforma Agraria Jepang Pertama ditolak oleh SCAP,
rancangan undang-undang yang disetujui muatannya oleh SCAP dan disahkan oleh parlemen
adalah rancangan undang-undang yang disusun oleh SCAP. Rancangan tersebut dimuat dalam
naskah instruksi “SCAPINs”3 dengan nomor panggil “SCAPIN-411”.

Gambar 1.1
Naskah “SCAPIN-411” yang berisi instruksi pelaksanaan
Reforma Agraria Jepang oleh SCAP
(https://dl.ndl.go.jp/info:ndljp/pid/9885478)

2
Chō ( 町) merupakan satuan luas pada sistem pengukuran lama Jepang. Luas 1 chō diperkirakan sekitar 0,991
ha. Maka dari itu, dalam penelitian ini data yang diperoleh dalam satuan hektarare akan dikonversikan menjadi
satuan chō.
3
Supreme Commander for The Allied Powers Index Number (SCAPINs) merupakan naskah yang berisi perintah
yang diterbitkan oleh General Headquarter (GHQ) terhadap apa-apa yang harus dilakukan oleh Jepang pada masa
pendudukan SCAP di Jepang. Jepang berkewajiban untuk mematuhi dan melaksanakan berbagai arahan dan
kebijakan yang tertuang dalam SCAPIN (Research Navi, 2018). Selama masa pendudukan hingga masa
pendudukan berakhir, terdapat sekitar 2.200 SCAPINs dan 7.000 SCAPINs yang memuat tentang administrative
(disebut juga dengan SCAPINs-A) yang ditujukan oleh SCAP kepada Pemerintah Jepang (Roehner, 2007).
244
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

Naskah “SCAPIN-411” merupakan naskah yang dirumuskan oleh CIE (The Civil
Information and Education Division), badan informasi publik dan pendidikan di bawah
koordinasi SCAP. Naskah tersebut berisi poin-poin rancangan pelaksanaan reforma agraria
yang dirumuskan oleh SCAP dan ditandatangani oleh Asisten Ajudan Jendral H. W. Allen.
Naskah tersebut ditujukan langsung kepada Pemerintah Jepang sebagai draf rancangan
pelaksanaan reforma agraria. Naskah “SCAPIN-411” terdiri dari empat butir pasal dengan
rincian tiap pasal yang menekankan urgensi dari pelaksanaan reforma agraria. Motif utama dari
rencana pelaksanaan Reforma Agraria Jepang adalah SCAP ingin memutus belenggu ekonomi
Jepang yang bersumber pada penindasan kaum feodal terhadap kaum petani selama berabad-
abad lamanya. Di samping itu, SCAP juga berkeinginan untuk mengarahkan tujuan
pelaksanaan reforma agraria pada kecenderungan demokrasi, kesetaraan, dan kesejahteraan
sosial, di mana petani juga harus dapat merasakan hasil dari lahan garapannya sendiri. Naskah
“SCAPIN-411” ini juga merupakan naskah yang nantinya menjadi cikal bakal Undang-Undang
Reforma Agraria Jepang yang disahkan oleh parlemen pada tahun 1946. UU Reforma Agraria
yang disahkan merupakan bentuk amandemen dari UU Penyesuaian Lahan Pertanian (Nōchi
Chōseihō) tahun 1938.
Dalam pelaksanaan Reforma Agraria Jepang, banyak perubahan-perubahan masif yang
terjadi terhadap dinamika kehidupan masyarakat Jepang. Hal yang paling mencolok adalah
jumlah lahan pertanian yang dimiliki oleh para tuan tanah menurun secara tajam akibat
kebijakan besar pemerintah membeli lahan tersebut untuk dijual kembali kepada para petani
yang sebelumnya menyewa lahan kepada para tuan tanah. Total terdapat seluas 1.137.000 chō
sawah dan 769.000 chō kebun dan lahan lainnya yang berhasil dibeli oleh pemerintah dari
2.371.000 keluarga di seluruh Jepang (Kosaka, 1982. Takigawa, 1972). Reforma Agraria
Jepang pada masa pendudukan SCAP juga dinilai sebagai salah satu reforma agraria yang
sukses dalam menghilangkan sistem tuan tanah dalam penguasaan lahan (Takigawa, 1972).
Secara umum, cita-cita dan tujuan dari dilaksanakanya Reforma Agraria Jepang adalah untuk
menciptakan kesejahteraan dan kesetaraan sosial, pemulihan dan peningkatan ekonomi
pascaperang, serta memutus sistem tuan tanah yang telah lama ada dan menjadi permasalahan
(Gilmartin dan Ladejinsky, 1948).
Pelaksanaan Reforma Agraria Jepang tahun 1946-1950 dapat membawa perubahan
besar bagi kondisi sosial, politik, dan ekonomi negara Jepang pasca-perang. Penelitian ini
berfokus pada Reforma Agraria Jepang yang dilaksanakan pada masa pendudukan Sekutu pada
tahun 1946-1950. Dalam penelitian ini, dikaji lebih lanjut mengenai latar belakang,
pelaksanaan kebijakan, serta dampak sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi sejak masa pra-
kebijakan Reforma Agraria Jepang oleh Supreme Commander for The Allied Powers (SCAP)
hingga pasca-kebijakan Reforma Agraria Jepang dilaksanakan. Lebih lanjut, juga mengkaji
pelaksaanaan Reforma Agraria Jepang yang dikaitkan dengan teori motif pelaksanaan reforma
agraria yang dikemukakan oleh Warriner (1969). Tujuan penelitian ini adalah untuk
memberikan penjelasan serta analisis mengenai proses pelaksanaan Reforma Agraria Jepang
pada masa pendudukan SCAP tahun 1946-1950, latar belakang pelaksanaan Reforma Agraria
Jepang, serta dampak dan hasil pelaksanaan Reforma Agraria Jepang.
Dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, peneliti sebagai instrumen kunci, pengumpulan data dilakukan secara triaggulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasilnya lebih menekankan makna dari pada
generalisasi (Sugiyono, 2008). Deskriptif dengan penjelasan bahwa hasil dari bahwa hasil dari
245
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

penelitian ini akan penulis sampaikan dengan bentuk deskripsi dan menjelaskan peristiwa
secara sistematis yang menggambarkan peristiwa dari masa ke masa. Penelitian diawali dengan
mengumpulkan berbagai macam data dengan teknik studi kepustakaan dari sumber berupa
buku, jurnal dan disertasi, serta artikel ilmiah (sebagian berupa naskah digital yang diunduh
dari internet). Tahapan selanjutnya adalah data yang telah dikumpulkan kemudian diruntutkan
sesuai dengan peristiwa sejarah yang terjadi secara kronologis, dimulai dari awal terjadinya
peristiwa hingga peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya. Setelah seluruh tahapan tersebut
selesai dilaksanakan, dianalisis data yang dikaitkan dengan teori yang digunakan.
Hasil penelitian yang diharapkan adalah mendapatkan pengetahuan dan prespektif baru
mengenai Reforma Agraria Jepang pada masa pendudukan Supreme Commander for The Allied
Powers (SCAP). Lebih lanjut, dapat memahami keadaan politik, sosial, ekonomi yang
melatarbelakangi penerapan kebijakan Reforma Agraria Jepang, dinamika pelaksanaan
kebijakan Reforma Agraria Jepang, serta dampak yang ditimbulkan pasca-kebijakan tersebut.
Selain itu, juga diharapkan dapat menjadi kontribusi pengetahuan bagi para pemelajar Jepang
di Indonesia secara umum, dan secara khusus bagi peneliti di bidang sejarah Jepang pada masa
pascaperang dan masa pendudukan Sekutu.

STUDI TERDAHULU

Studi mengenai Reforma Agraria Jepang telah banyak diteliti oleh para peneliti luar
negeri, sebut saja Bernier (1980). Kawagoe (1999), dan Grabowski (2002). Akan tetapi,
penelitian mengenai Reforma Agraria Jepang belum banyak diteliti oleh para peneliti
Indonesia. Penelitian mengenai Reforma Agraria Jepang yang menjadi salah satu kebijakan
ekonomi yang dilaksanakan pada masa pendudukan Supreme Commander of Allied Powers
(SCAP) nampaknya masih diteliti secara umum sebagai kajian yang masuk ke dalam rangkaian
penelitian kebijakan yang dilaksanakan pada masa pendudukan SCAP di Jepang.
Grabowski (2002) dalam penelitiannya membahas mengenai pelaksanaan Reforma
Agraria dan keterkaitannya dengan pembangunan ekonomi di Asia Timur. Negara di Asia
Timur yang menjadi objek penelitian Grabowski (2002) adalah Jepang, Korea Selatan, dan
Taiwan. Dalam hasil penelitiannya, Grabowski (2002) memaparkan bagaimana pelaksanaan
reforma agraria di ketiga negara tersebut berdampak pada percepatan pembangunan ekonomi
yang signifikan dengan keberhasilan menghapus kelas tuan tanah (landlords), serta
keberhasilan pelaksanaan reforma agraria dalam mendistribusikan manfaat dari hasil
pertumbuhan ekonomi dengan adil dan merata. Akan tetapi, Grabowski (2002) menekankan
bahwa terdapat banyak pendapat yang menyatakan keberhasilan pelaksanaan reforma agraria
di ketiga negara tersebut merupakan hasil dari kekuatan eksternal, yaitu kekuatan Amerika
Serikat. Lebih lanjut, penelititan Grabowski (2002) memberikan pandangan lain bahwa
keberhasilan dalam pelaksanaan Reforma Agraria yang terjadi di ketiga negara tersebut
merupakan hasil dari proses internal, yaitu proses panjang dari sejarah dan ekonomi dari
masing-masing negara tersebut.
Studi terdahulu yang secara khusus membahas mengenai Reforma Agraria Jepang yang
terjadi pada masa pendudukan Supreme Commander of Allied Powers (SCAP) adalah
penelitian dari Kawagoe (1999). Dalam penelitian ini, Kawagoe (1999) membahas secara luas
Kebijakan Reforma Agraria Jepang. Pembahasan tersebut di mulai dari latar belakang masalah,
dinamika pelaksanaan kebijakan, hingga dampak yang terjadi bagi negara Jepang setelah
dilaksanakannya Kebijakan Reforma Agraria oleh SCAP. Kawagoe (1999) dalam
246
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

penelitiannya berkesimpulan bahwa Reforma Agraria Jepang berhasil secara politis, namun
dapat menjadi permasalahan ekonomi jika ditinjau dari sudut pandang kebijakan industri.
Senada dengan hasil penelitian Grabowski (2002), Kawagoe (1999) dalam penelitiannya juga
memaparkan mengenai keberhasilan pelaksanaan Reforma Agraria dalam hal menghilangkan
kelas tuan tanah (land lords) dalam penguasaan lahan. Akan tetapi, lahan yang sebelumnya
dimiliki oleh tuan tanah yang dialihkan kepada petani-petani kecil dan petani-petani tersebut
tidak mengubah ukuran dan kuantitas garapannya, membuat pelaksanaan Reforma Agraria
Jepang hanya berdampak kecil bagi hasil produksi agrikultur. Lebih lanjut, menurut Kawagoe
(1999), penelitian empiris mengenai Reforma Agraria Jepang sangat dibutuhkan.
Lebih khusus, penelitian mengenai pelaksanaan Reforma Agaria Jepang yang
berdampak terhadap perubahan kondisi petani yang ditinjau dalam aspek sosial, politik, dan
ekonomi pernah diteliti oleh Bernier (1980). Bernier (1980) dalam penelitiannya membahas
mengenai salah satu fokus keberhasilan dalam pelaksanaan Reforma Agraria Jepang yaitu
menjadikan para petani masuk dalam blok konservatif. Hal ini didukung pada fakta yang
menunjukan bahwa sebelumnya, para petani di pedesaan yang di bawah kontrol dan kekuasaan
tuan tanah diwarnai oleh pemikiran-pemikiran radikalisme yang dapat memicu keributan. Hal
tersebut diperparah dengan ketakutan pemerintah pada saat itu kepada para petani yang
terpapar oleh pemikiran radikal yang akan mendukung ‘gerakan kiri’. Hal ini yang membuat
salah satu fokus keberhasilan dari pelaksanaan Reforma Agraria adalah penciptaan kelas sosial
‘menengah’ di pedesaan, serta berhasil menghilangkan paham radikalisme. Berdasarkan hasil
penelitian Bernier (1980), pelaksanaan Reforma Agraria Jepang memang berhasil dalam
mengubah para petani menjadi lebih konservatif, namun gagal dalam menciptakan kelas
‘mengenah’ yang diharapkan sebelumnya dalam struktur kehidupan pedesaan.
Berbeda dengan ketiga studi sebelumnya, penelitian ini berfokus pada pembahasan
motif pelaksanaan Reforma Agraria Jepang yang terjadi pada masa pendudukan Supreme
Commander of Allied Powers (SCAP). Penelitian mengenai motif pelaksaanan Reforma
Agraria Jepang ini menggunakan teori motif pelaksanaan reforma agraria oleh Warriner
(1969).

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan sebagai landasan teoritis adalah Teori
Refornasi Agraria oleh Warriner (1969) dan Wiradi (2015). Lalu juga Teori Motif Pelaksanaan
Reforma Agraria (Agrarian Reform Motives) oleh Warriner (1969). Penjelasan mengenai teori-
teori tersebut adalah sebagai berikut :

Reforma Agraria

Menurut Warriner (1969) dalam bukunya yang berjudul “Land Reform in Principle and
Practice” (1969), secara sempit reforma agraria didefinisikan sebagai redistribusi properti dan
hak untuk kepentingan petani kecil dan buruh pertanian (Ryoo, 1978). Lebih lanjut, Warriner
mendefinisikan reforma agraria sebagai perubahan sosial yang berdampak pada masyarakat
pertanian pada negara ‘terbelakang’. Selain itu, pelaksanaan reforma agraria memberikan
kesetaraan sosial dan ekonomi bagi negara agraris. Warriner (1969) dalam bukunya
menempatkan istilah reforma tanah (land reform) dan reforma agraria (agrarian reform)
menjadi sebuah sinonim.
247
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

Menurut Wiradi (2015), reforma agraria didefinisikan sebagai penataan kembali


(penataan ulang) pada susunan kepemilikan, penguasaan, serta penggunaan sumber-sumber
agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil secara menyeluruh dan komperhensif.
Lebih lanjut, Wiradi (2015) berpendapat bahwa istilah “penataan kembali” itulah yang disebut
dengan ‘land reform’. Sasarannya luas dan tidak terbatas hanya pada lahan pertanian saja.
Pelaksanaannya harus disertai dengan program-program penunjang seperti penyuluhan dan
pendidikan, edukasi teknologi pertanian, dan lainnya. Secara sempit, reforma agraria menurut
Wiradi (2015) adalah reforma lahan yang ditambah dengan program penunjang4.

Motif Pelaksanaan Reforma Agraria

Teori mengenai motif pelaksanaan reforma agraria dimuat oleh Warriner (1969) dalam
bukunya yang berjudul “Land Reform in Principle and Practice” (1969). Menurut Warriner
(1969), terdapat empat motif yang melatarbelakangi suatu negara melaksanakan reforma
agraria. Keempat motif tersebut menurut Warriner (1969) bergantung kepada kondisi dan
situasi dari negara tersebut. Keempat motif tersebut adalah penghapusan sistem feodalisme (the
abolition of feudalism), nasionalisme (nationalism), kesetaraan sosial dan ekonomi (social and
economy equality), dan penegakan hukum (the enforcement of legislation)5.
Motif pertama adalah penghapusan sistem feodalisme (the abolition of feudalism).
Penghapusan sistem feodalisme (the abolition of feudalism) yang dimaksud oleh Warriner
(1969) adalah penghapusan sistem feodalisme yang sesuai dengan dinamika kehidupan negara
tersebut. Secara kesimpulan, menurut Warriner (1969) terdapat banyak konsep mengenai
sistem feodalisme seperti apa yang harus dihapuskan dan hal tersebut menjadikan konsep
feodalisme menjadi abstrak karena pemahaman mengenai sistem feodalisme berbeda-beda
disetiap negara. Walaupun berbeda-beda di setiap negara, konsep tersebut masih didasarkan
dengan pemahaman anti-tuan tanah (anti-landlordism), motivasi kelas, dan dasar implikasi
filosofis. Salah satu contoh kasusnya adalah penerapan konsep penghapusan sistem feodalisme
(the abolition of feudalism) pada awal reforma agraria yang terjadi di Meksiko dan Bolivia.
Terminasi ini dijadikan oleh pemerintah sebagai bentuk justifikasi terhadap usaha untuk
membentuk masyarakat yang lebih bebas dan setara, dengan menghapuskan bentuk opresi
terhadap kekuatan ekonomi dan politik, serta menjadikan redistribusi lahan sebagai titik balik
sejarah (historical turning point). Secara praktis, keambiguitasan konsep ini tidak berpengaruh
terhadap bentuk pelaksanaan feodalismenya, karena secara umum para feodal dapat dengan
mudah diidentifikasi (Warriner, 1969).
Motif kedua pelaksanaan reforma agraria adalah motif nasionalisme (nationalism).
Menurut Warriner (1969), motif berdasarkan nasionalisme merupakan motif yang lebih kuat
dan jelas. Motivasi nasionalisme muncul dari dalam negara ataupun masyarakat negara itu
sendiri. Motivasi nasionalisme dapat berkolaborasi dengan baik dengan motivasi anti-tuan
tanah ataupun dapat bekerja dengan baik secara independen. Sering kali, pencapaian dari
motivasi pelaksaan reforma agraria berlandaskan nasionalisme diasosiasikan dengan
penghapusan institusi yang telah lama membelenggu. Institusi yang seperti telah lama
membelenggu dicontohkan oleh Warriner (1969) seperti kepemilikan properti oleh orang asing
(the ownership of large estates by person of alien nationality), ataupun penguasaan tanah

4
Wiradi, Gunawan. 2005. Reformasi Agraria Untuk Pemula. Sekertariat Bina Desa.
5
Lihat Warriner (1969) hal. 3-17.
248
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

dibawah kebijakan kolonial. Contoh motivasi nasionalisme yang disebutkan oleh Warriner
(1969) terjadi pada pelaksanaan reforma yang terjadi di Irlandia dan Kepulauan Balkan
sepanjang abad ke-19. Usaha untuk melakukan reforma berhasil atas kolaborasi antara negara
dengan pertentagan kelas (class antagonism) untuk meruntuhkan sistem Turki. Usaha tersebut
juga didukung dengan intervensi kekuatan besar (great power intervention) hingga
memunculkan negara tani murni dengan kesadaran nasional.
Motif ketiga adalah menciptakan kesetaraan sosial dan ekonomi (social and ecomony
equality). Pada sisi ekonomi, salah satu bentuk usaha dalam menciptakan kesetaraan ekonomi
adalah usahan untuk menciptakan pendapatan kotor yang setara dari para tuan tanah kaya dan
para petani, serta buruh tani. Bagaimana hal tersebut dapat berhasil adalah dari jumlah lahan
yang diambil alih (dari tuan tanah oleh negara) serta pemerataan pada pembagian tanah yang
telah diambil alih. Tuan tanah besar biasanya dapat menyimpan sejumlah besar tanah yang
diatur sesuai dengan hukum, tuan tanah tingkat menengah tidak berdampak, dan para petani
yang tidak memiliki lahan mendapatkan keuntungan dari hal ini, namun jumlahnya masih
bergantung kepada jumlah tanah yang diambil alih oleh pemerintah dari para tuan tanah. Usaha
untuk membagikan lahan yang diakuisisi juga sering kali bermasalah pada tidak meratanya
distribusi lahan yang dilakukan.
Dalam usaha kesetaraan sosial, reforma agraria yang sukses memungkinkan untuk
membentuk beberapa hak penegasan sosial, walaupun petani tidak dibentuk menjadi suatu
kekuatan politik. Para buruh tani dapat menuntut adanya reforma agraria dengan bentuk agitasi
politik melalui serikat-serikat pekerja desa (rural trades union), seperti yang terjadi di Amerika
Latin. Serikat-serikat tersebut juga dapat menjadi sebuah kekuatan dan menjadi suatu bentuk
mekanisme dalam upaya pelaksanaan reforma itu sendiri, seperti yang terjadi di Bolivia. Selain
itu, keseimbangan kekuatan politik di suatu negara juga menentukan kesuksesan reforma dalam
membentuk kesetaraan sosial. Hal tersebut harus dijadikan pertimbangan yang sangat penting
bagi penentuan kebijakan karena reforma terjadi untuk membentuk suatu keseimbangan
kekuatan (the balance of power) yang tidak seimbang, seperti contohnya kedudukan tuan tanah,
dan untuk mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang lemah secara politik dan kekuatan
(dalam hal ini adalah para petani).
Motif terakhir adalah motif penegakan hukum (the enforcement of legislation). Segala
sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan reforma agraria adalah hal-hal yang telah
ditentukan secara jelas dan sesuai dengan hukum. Di sisi lain, ketidaksesuaian juga dapat
terjadi antara ketentuan yang telah diatur dalam hukum dengan pelaksanaannya. Salah satunya
bentuknya adalah upaya para tuan tanah yang memiliki kekuatan, dalam melakukan penekanan
terhadap parlemen, baik dari dalam maupun dari luar, dalam upaya melemahkan hukum. Untuk
mengatasi hal tersebut, penegakan hukum membutuhkan sebuah ringkasan singkat dalam
ketetapan hukum. Prosesnya dapat dibedakan menjadi dua, ketetapan positif dan ketetapan
negatif. Ketetapan positif mengatur mengenai pembentukan struktur baru dalam wilayah
tersebut, dan ketetapan negatif mengatur mengenai penghapusan atau pengubahan sebagian
pada struktur yang telah ada. Semua ketetapan harus dimuat dalam hukum tersebut, seperti
ketetapan jumlah dan ukuran lahan yang diambil alih dan lahan yang didistribusikan (kepada
petani).

249
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

KONDISI SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK JEPANG PRA-PELAKSANAAN


REFORMA AGRARIA

Sistem Penguasaan Lahan

Dalam bidang sosial, penguasaan lahan menjadi salah satu bentuk permasalahan sosial
yang dialami bagi kehidupan pedesaan di Jepang. Sebelum Perang Dunia II, praktik
penguasaan tanah oleh tuan tanah merupakan hal yang lumrah bagi kehidupan di pedesaan
Jepang. Tuan tanah dapat menguasai hampir setengah dari jumlah lahan pertanian (dari jumlah
keseluruhan), sedangkan petani penyewa kecil hanya menguasai sepertiga lahan pertanian
dengan ukuran kurang dari 0,3 chō (Kawagoe, 1999). Setidaknya pada pertengahan tahun 1947,
sekitar 18 persen dari total lahan yang disewa, merupakan lahan yang dikuasai oleh tuan tanah
guntai (absentee landlords). Sejumlah 24 persen lainnya dikuasai oleh pemilik yang bukan
petani yang tinggal di satu daerah dengan lahannya tersebut (village landlords), dan 58 persen
sisannya dimiliki oleh seseorang yang menggarap lahannya sendiri (owner-cultivator) (Dore,
1965).
Pada permulaan masa Perang Dunia I, diperkirakan penguasaan lahan oleh tuan tanah
lebih luas dibandingkan dengan data yang penulis dapatkan. Terdapat beberapa jenis tuan tanah
(landlords) berdasarkan jenis kepemilikan lahannya yang tersebar di seluruh wilayah Jepang.
Seperti jenis tuan tanah guntai (absentee landlords), tuan tanah lokal (village landlords), dan
tuan tanah paternal (paternalistic landlords)6. Sebagian tuan tanah menggarap sendiri lahan
yang dimilikinya, namun sebagian lainnya menggarap serta menyewakan lahanya. Jenis
lainnya yaitu tuan tanah yang tidak menggarap dan hanya menyewakan lahannya kepada para
petani penyewa. Sedangkan jenis tuan tanah yang menyewakan lahannya secara penuh adalah
tuan tanah guntai (absentee landlords) dan tuan tanah lokal (village landlords). Kedua jenis
tuan tanah tersebut masuk dalam kategori tuan tanah yang tidak bertani (non-farmers
landlords) (Kawagoe, 1999). Berikut adalah tabel persebaran lahan garapan yang dikuasai oleh
petani dan tuan tanah tahun 1872-1947:

6
Tuan tanah yang tidak tinggal (absentee landlords) merupakan tuan tanah yang memilki tanah di suatu daerah,
tetapi mereka tidak menetap di daerah tersebut, melainkan daerah yang jauh ataupun perkotaan. Jenis tuan tanah
desa (village landlords) bisa berupa seseorang yang memiliki tanah, namun tidak menggarapnya dan
menyewakannya kepada para petani yang ingin menyewa. Village landlords juga dapat berupa tuan tanah yang
juga menggarap lahannya, namun beberapa lahannya disewakan. Jenis tuan tanah lainnya adalah tipe paternal
(paternalistic landlords), yang merupakan praktik penguasaan tuan tanah oleh keluarga, seperti Keluarga Homma.
Contoh keluarga yang menguasai lahan dengan jumlah besar adalah Keluarga Otaki, dengan jumlah lahan sebesar
180 cho (termasuk 150 cho sawah) yang didistribusikan kepada 170 petani penyewa pada masa reformasi. (Lihat
Dore, 1965. Hal. 23-57).
250
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

Tabel 1.
Distribusi lahan garapan yang dimiliki oleh petani secara pribadi
dan lahan garapan yang dimiliki oleh tuan tanah, 1872 – 1947.
(Sumber : Kawagoe (1999, hlm.46))

Jika kita lihat tabel di atas, jumlah lahan yang disewakan oleh tuan tanah kepada petani
berada pada rata-rata 40 persen. Jumlah tersebut sangat besar jika kita jumlahkan dengan luas
lahan garapan. Estimasinya terdapat sebesar 5.000 ha lahan garapan yang menjadi lahan sewa,
yang nantinya akan dijual kepada pemerintah pada pelaksanaan reforma. Penguasaan lahan
oleh tuan tanah ini berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi petani. Ukuran garapan petani
di Jepang terbilang kecil, namun permintaan akan lahan sangat besar. Inilah yang mendorong
para tuan tanah untuk menyewakan lahanya (Gilmartin dan Ladejinsky, 1948). Persebaran
ukuran kepemilikan lahan di Jepang juga beragam, tergantung dengan luas lahan yang
dimilikinya. Terdapat pemilik lahan yang hanya memiliki lahan kurang dari 1 chō, hingga
kepemilikan lahan di atas 50 chō. Tabel persebaran berikut menunjukan ukuran kepemilikan
lahan dengan jumlah pemilik lahan pada data tahun 1935:

Tabel 2.
Jumlah pemilik lahan berdasarkan ukuran lahan yang dimiliki.
Sumber : Kawagoe (1999, hlm. 47)

251
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

Dengan besarnya ukuran lahan yang dikuasai, serta tingginya permintaan akan lahan
mengakibatkan muncul permasalahan akan kurangnya lahan garapan. Pendistribusian lahan
yang tidak setara berdampak pada terhambatnya peningkatan ekonomi, karena seluruh
keuntungan lebih banyak diraup oleh tuan tanah dibandingan oleh negara (Grabowski, 2002).
Permasalahan tersebut dimanfaatkan oleh tuan tanah untuk memberikan harga sewa yang tinggi
kepada para petani penyewa. Harga sewa yang harus dibayarkan oleh para petani penyewa
kepada tuan tanah bukan berupa uang yang jumlahnya telah ditetapkan, namun berupa hasil
panen dengan jumlah setengah dari hasil panen. Contohnya pada pertengahan tahun 1930-an,
dari 3,5 ton/chō beras merah yang diproduksi, sejumlah 1,7 ton-nya harus diserahkan kepada
tuan tanah sebagai bayaran sewa. Ukuran pertanian yang kecil dengan berat beban sewa lahan
yang menyengsarakan menjadi salah satu sumber kemiskinan petani penyewa di Jepang.
Permasalahan ini mengakibatkan gelombang penolakan terhadap praktik tuan tanah oleh para
petani mulai bermunculan di seluruh Jepang pada awal abad ke-20.

Gerakan Petani dan Konflik Melawan Tuan Tanah

Gelombang penolakan terhadap praktik tuan tanah dan kebijakan yang merugikan oleh
kaum petani mulai meluas pada awal abad ke-20 dan terus berkembang pada tahun-tahun
selanjutnya. Banyak konflik yang melibatkan para petani terjadi akibat praktik ketidakadilan
yang menyengsarakan kaum petani. Salah satu konflik yang berdampak besar adalah
Kerusuhan Beras Jepang (kome sōdō) tahun 1918. Penyebab utama dari kerusuhan tersebut
adalah meningkatnya harga beras dengan sangat tajam yang menyebabkan permasalahan
ekonomi yang terjadi, terutama bagi perekonomian petani. Kenaikan harga beras yang tajam
tersebut salah satunya adalah akibat dari berkembangnya kapitalisme di Jepang pada masa
Perang Dunia I, dan juga kenaikan permintaan beras (sebagai penyokong kebutuhan pangan
bagi tentara). Kerusuhan ini menyebar ke seluruh negeri dengan estimasi jumlah orang yang
berpartisipasi sebanyak 10 juta orang. Kerusuhan ini juga mendapat pengaruh dari kesuskesan
Revolusi Bolsevik di Uni Soviet pada tahun 1917.
Dalam Kerusuhan Beras 1918, banyak petani penyewa (tenant farmers) yang
berpartisipasi dalam kerusuhan tersebut. Partisipasi tersebut dalam rangka memperjuangkan
kesejahteraan mereka atas kondisi yang tidak adil. Hal tersebut menjadi permasalahan karena
para petani penyewa hanya menyimpan setengah dari hasil panennya (setengahnya lagi
menjadi bayaran atas penyewaan lahannya kepada tuan tanah) untuk dikonsumsi. Setengah
hasil panennya tersebut sering kali tidak cukup bagi konsumsi petani tersebut dengan
keluarganya. Maka dari itu, petani tersebut harus membeli beras tambahan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsinya dengan harga yang sangat mahal 7 . Usaha untuk menrunkan harga
beras menjadi usaha kolektif dengan terbentuknya Serikat Petani Jepang (nihon nomin kumiai)
pada 9 April 1922. Serikat Petani Jepang berdiri dengan tujuan memperjuangkan penurunan
harga beras, usaha untuk menjamin hak petani di bawah payung hukum, serta
‘mensosialisasikan’ lahan (socialisation of land) 8 . Dengan terbentuknya serikat petani ini,
menjadikan gerakan petani semakin kolektif dan masif di seluruh Jepang. Di sisi lain, konflik
antara petani dengan tuan tanah semakin meningkat pasca-Kerusuhan Beras tahun 1918.

7
Lihat Takagawa (1972). hlm 294.
8
Lihat Huizer (1977).
252
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

Serikat Petani Jepang dengan slogannya “lahan dan kebebasan (land and freedom)”
banyak menyulut terjadinya konflik sewa (tenancy disputes) antara para petani penyewa
dengan tuan tanah. Konflik tersebut bertujuan untuk memperjuangkan hak petani dan menuntut
pengurangan jumlah sewa lahan (terutama pada tahun gagal panen), serta menuju cita-cita
“tanah untuk petani”. Hal ini berdampak pada jumlah konflik antara petani dengan tuan tanah
yang meningkat secara tajam menjadi 1.680 kasus yang melibatkan hampir 146.000 orang di
tahun 1921, dibandingkan dengan jumlah konflik yang terjadi di tahun 1917 yang hanya terjadi
sebanyak 85 kasus. Data mengenai jumlah konflik yang terjadi semenjak tahun 1917 hingga
tahun-tahun selanjutnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3.
Perkembangan konflik persewaan antara petani dengan tuan tanah, 1917 – 1944.
Sumber : Takigawa (1971, hlm. 295)

Jika kita cermati data yang ditunjukkan oleh tabel tersebut, tren kenaikan jumlah
konflik antara petani dengan tuan tanah meningkat secara signifikan setelah peristiwa
Kerusuhan Beras 1918 sampai dengan tahun 1947, lalu berangsur turun pada tahun 1938 –
1944 ketika memasuki masa perang. Jika kita dapat pahami, usaha untuk melawan terhadap
ketidakadilan oleh petani terhadap praktik tuan tanah berlangsung terus menerus dalam waktu
yang lama. Konflik tersebut juga melibatkan jumlah petani, tuan tanah, dan lahan garapan yang
sangat besar. Hasil dari konflik yang berkepanjangan ini, banyak tuan tanah yang merasa
terancam dan merugi akibat sering dan masifnya konflik yang terjadi. Pada akhirnya, banyak
tuan tanah yang kehilangan minatnya lagi dalam menguasai tanah dan menjalankan praktik ini.
Di sisi lain, dengan masifnya konflik yang berlangsung, Serikat Petani Jepang menjadi

253
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

berkembang secara pesat. Diperkirakan terdapat 4.810 serikat petani yang tersebar di seluruh
Jepang dengan jumlah anggota mencapai 300.000 anggota9.
Dengan masifnya konflik antara petani dengan tuan tanah yang terjadi, pemerintah
bertindak dengan cepat dengan segera merumuskan dan merevisi kebijakan yang terkait dengan
permasalahan yang terjadi. Selain itu, ketakutan akan terjadinya revolusi dari para petani juga
menjadi kekhawatiran bagi Pemerintah Jepang. Beberapa kebijakan yang dibuat sebagai usaha
pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan tersebut adalah UU Konsiliasi Penyewaan
(Kosaku Chōteihō) tahun 1924 yang memungkinan petugas sewa diperbolehkan untuk
mengajukan sengketa ke pengadilan sebagai usaha mediasi dalam menyelesaikan sengketa
pertanian. Komite Lahan Pertanian (the Farmland Committee) dibentuk di setiap desa dan
prefektur sebagai pihak yang bertugas menyelesikan berbagai permasalahan terkait pertanahan.
Lebih lanjut, disahkannya UU Penyesuaian Lahan Pertanian (Nōchi Chōseihō) tahun 1938
yang memungkinkan pemerintah daerah dan perangkat desa untuk mengambil inisiatif
membentuk petani pemilik (owner-farmers) dengan menyarankan pemilik tanah untuk menjual
tanah mereka. Kebijakan lainnya adalah aturan mengenai penyewaan lahan (the Land Rent
Control Order) tahun 1939 yang mengatur ketetapan besaran harga sewa lahan yang ditentukan
oleh Pemerintah Jepang (Kawagoe, 1999).

Resesi Ekonomi Pasca-Perang Hingga Krisis Pangan

Dari sisi ekonomi, resesi ekonomi yang terjadi pasca-Perang Dunia I berdampak pada
kejatuhan harga komoditas pertanian. Hal ini diperparah dengan kebijakan deflasi yang
diterapkan oleh pemerintah, serta persaingan antara hasil pangan domestik dengan pangan yang
impor dari Taiwan dan Korea Selatan. Pada akhir 1920-an, ekonomi Jepang juga terdampak
dari Krisis Ekonomi Dunia 1929 (Great Deppression 1929) yang berpengaruh pada penurunan
tajam harga komoditas pertanian dan turunya pendapatan di sektor pertanian. Pendapatan
petani, terutama petani penyewa, turun dengan tajam. Pernurunan tersebut dari semula sebesar
1.413 Yen per-keluarga pada tahun 1925 menjadi hanya 442 Yen di tahun 1931. Penurunan
pendapatan yang terjadi hampir sebesar 30 tersebut berpengaruh pada turunnya daya beli
petani.
Selain permasalahan resesi ekonomi dan jatuhnya harga komoditas pertanian, pada
akhir Perang Dunia II, Jepang dilanda krisis pangan dan wabah kelaparan. Hal ini terjadi akibat
menipisnya stok pangan dalam negeri (diperparah dengan hasil panen yang buruk),
pemusnahan kapal dagang Jepang, repatriasi lebih dari tiga juta tentara dan warga sipil dari
luar negeri, serta faktor internal dan eksternal lainnya (Frost, 2016). Terlebih pada tahun 1939,
bantuan pangan Jepang yang diimpor dari Taiwan dan Korea Selatan mengalami permasalahan
ketika bencana kekeringan melanda. Bencana kekeringan yang melanda Korea Selatan
membuat impor pangan melemah, ditambah Jepang bagian barat juga mengalami bencana
serupa. Hal ini menjadikan awal mula permasalahan krisis pangan yang serius berkepanjangan
selama satu dekade (Kawagoe, 1999).
Permasalahan krisis pangan dan wabah kelaparan menjadi besar karena pada tahun
1930-an, setengah dari seluruh penduduk Jepang adalah petani. Dari jumlah tersebut, sebanyak

9
Jumlah ini berkembang secara pesat dibandingkan dengan jumlah anggota Serikat Petani Jepang pada Konvensi
Serikat Kedua di tahun 1923 dengan 300 ranting serikat (pada tingkat buraku) dengan jumlah 10.000 anggota.
(Lihat Huizer (1977). Hlm 43).
254
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

76 persen merupakan petani penyewa dengan jumlah lahan yang disewa sebesar 40 persen
(lihat dengan tabel 1). Kita dapat melihat seberapa besarnya jumlah masyarakat Jepang yang
menderita akibat krisis dan wabah ini, bahkan tuan tanah pun terkena dampaknya. Maka dari
itu, usaha untuk melakukan reforma di tingkat pedesaan diharapkan dapat menjadi harapan
dalam menggenjot produksi pangan domestik yang dapat mencukupi kebutuhan pangan
nasional dan mengatasi permasalahan krisis pangan dan wabah kelaparan yang terjadi selain
dengan pemberian subsidi dan harga penjualan yang tinggi jika petani menjual hasil panennya
kepada pemerintah.

PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA JEPANG 1946-1950

Instruksi Pelaksanaan Reforma Agraria

Pada 16 November 1945, tepatnya sebulan setelah Kabinet Shidehara dilantik, RUU
Reforma Agraria Jepang yang pertama disampaikan kepada Pemerintah Jepang (Kosaka,
1982). Adalah Mentri Pertanian dan Kehutanan baru, Kenzo Matsumura yang memiliki
semangat perjuangan reforma. Matsumura dalam pidatonya memiliki misi untuk melaksanakan
pembentukan sistem petani pemilik (owner-farmers) dalam rangka mengatasi permasalahan
lahan pertanian. Di bawah Matsumura ada Hiroo Wada, Shiro Tobata, Eiichi Sakata, Makoto
Saito, Keiki Owata, Katsumasa Watanabe, Tokichi Isozumi, dan lainnya dalam membantu
merumuskan rancangan undang-undang di bawah Kementrian Pertanian dan Kehutanan
langsung. Salah satu poin dalam RUU Reforma Agraria Jepang yang pertama meregulasi
jumlah besaran penguasaan lahan yang masih dapat dimiliki oleh tuan tanah sebesar 3 ha,
namun kemudian direvisi jumlah besarannya oleh Parlemen menjadi 5 ha. Selain itu, hanya
seluas 900.000 ha jumlah lahan yang disewakan dari 100.000 tuan tanah yang dijadikan objek
pembelian wajib oleh pemerintah. Kedua poin tersebut merupakan poin-poin yang dimuat
dalam RUU Reforma Agraria Jepang Pertama yang membuat SCAP masih merasa belum puas
atas rancangan undang-undang tersebut. SCAP menginginkan sebuah program yang dapat
memberikan dampak secara menyeluruh, yaitu dengan transformasi sistem pertanian Jepang
berbentuk kepemilikan lahan oleh orang yang menggarapnya.
Pada akhirnya, poin-poin rancangan yang diusulkan oleh SCAP dalam naskah
“SCAPIN-411”-lah yang kemudian di sahkan menjadi undang-undang yang mendasari
pelaksanaan reforma agraria. Dalam merumuskan kebijakan tersebut, MacArthur menunjuk
Wolf Ladenjinsky, seorang ahli geografi, ekonom pertanian, serta peneiliti di Departemen
Amerika Serikat yang menjadi penasihat dalam penyususan kebijakan SCAP bagi pelaksanaan
Reforma Agraria Jepang. SCAP dengan khusus menginstruksikan pelaksanaan reforma agraria
harus selesai dalam waktu dua tahun. Efektif dimulai sejak UU Reforma Agraria Jepang
disahkan pada Oktober1946.
Beberapa ketentuan penting yang menjadi pedoman pelaksanaan Reforma Agraria
Jepang yang dimuat dalam UU Reforma Agraria dapat dirangkum menjadi beberapa poin
sebagai berikut :
a. Pemerintah berwenang untuk membeli lahan dengan kententuan :
1. Seluruh lahan yang disewakan kepada petani penyewa oleh tuan tanah guntai
(absentee landlords).

255
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

2. Seluruh lahan yang disewakan oleh tuan tanah lokal (village landlords) yang
dimiliki lebih dari 1 chō (4 chō di Hokkaido). Artinya tuan tanah lokal masih dapat
menyimpan sebesar 1 chō lahan untuk penggunaan pribadinya (4 chō di Hokkaido).
3. Pemerintah berwenang untuk membeli lahan dari petani pemilik yang dimiliki lebih
dari 3 chō (12 chō di Hokkaido), dapat lebih dengan pembuktian bahwa pemilik
dapat meningkatkan produktifitas lahan dengan tenaga kerja yang cukup. Artinya
tuan tanah lokal masih dapat menyimpan sebesar 3 chō lahan untuk penggunaan
pribadinya (12 chō di Hokkaido).

b. Pemerintah dapat membeli lahan pertanian lainnya dengan ketentuan :


1. Lahan pertanian yang dimiliki oleh badan hukum yang lahan pertaniannya tidak
berhubungan dengan tujuan kerjanya.
2. Lahan pertanian yang tidak digunakan, atau yang digunakan secara tidak efisien.
3. Lahan yang bukan pertanian yang dapat menunjang pemanfaatan lahan pertanian.
Sebagai tambahan, otoritas pembelian berhak kepada air, pepohonan, dan
bangunan.
(Trewartha, 1950)

Dalam mengeksekusi pembelian dan penjualan lahan, pihak yang memiliki peran
penting dalam pelaksanaan tersebut adalah Komite Pertanahan (nouchi iinkai). Pembentukan
Komite Pertanahan menjadi langkah awal pelaksanaan reforma agraria. Komite Pertanahan
memiliki peran penting dalam pelaksanaan reforma dengan merencanakan skema-skema
pelaksanaan pembelian lahan di pedesaan yang menjadi panduan bagi pemerintah (Raper,
1951. Kawagoe, 1999). Komite Pertanahan terdapat di tingkat lokal (pedesaan), prefektur, dan
pusat. Pada tingkat pedesaan, anggota komite berjumlah sepuluh orang. Terdiri dari lima orang
petani penyewa, tiga orang tuan tanah, dan dua orang petani pemilik. Kesepuluh anggota
komite di tingkat pedesaan dipilih berdasarkan pemilihan umum setempat pada Desember
1946. Satu tingkat di atas komite tingkat lokal adalah komite tingkat prefektural. Anggotanya
dipilih oleh komite tingkat lokal yang tediri dari sepuluh orang petani penyewa, enam tuan
tanah, dan empat petani pemilik pada Februari 1947. Struktur komite tingkat teratas diduduki
oleh komite sentral yang bertugas untuk merumuskan kebijakan. Anggotanya terdiri dari
delapan petani penyewa sebagai perwakilan dari asosiasi petani seluruh negeri, dan lima ahli
yang berlatar belakang seorang akademisi. Komite sentral diketuai langsung oleh Menteri
Pertanian dan Kehutanan, Kenzo Matsumura.
Komite Pertanahan dari segala tingkat bekerja secara berkoordinasi. Sebanyak total
415.000 orang dikerahkan pada awal tahun 1947. Jumlahnya terdiri dari 32.000 pengurus
komite, dan 116.000 anggota komite. Sisanya adalah anggota sukarela yang merupakan
anggota di luar komite pada tingkat buraku, sebanyak 260.000 orang. Skema pembelian lahan
yang dikerjakan oleh komite tingkat pedesaan kemudian diserahkan kepada komite tingkat
prefektur. Apabila laporan yang diterima oleh komite tingkat prefektur disetujui, kemudian
lahan-lahan tersebut secara langsung dibeli oleh pemerintah. Skema pendistribusian lahan yang
telah dibeli oleh pemerintah kepada para petani penyewa juga dibuat oleh komite tingkat
pedesaan. Harga pembelian lahan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 760

256
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

Yen/tan10 untuk sawah, dan 450 Yen/tan untuk lahan di dataran tinggi (kebun dan lainnya)
(Kawagoe, 1999). Harga ini merupakan hasil dari perhitungan harga sewa dikalikan dengan
faktor tetap. Pembayaran kepada tuan tanah dilakukan dengan jangka waktu 30 tahun,
berbentuk obligasi nasional dengan bunga 3,6 persen pertahunnya, sedangkan untuk petani
yang ingin membeli lahan dapat membayar secara langsung, atau dengan skema cicilan dalam
waktu 30 tahun yang dikenai bunga 3,6 persen pertahunnya (Grad, 1948. Kawagoe, 1999).
Tahap pertama pembelian lahan dilaksanakan setelah Komite Pertanahan di tingkat
prefektur dibentuk, Februari 1947. Tahap pertama pembelian lahan wajib (compulsory land
purchase) mengasilkan sebanyak 1.630.000 chō lahan pertanian yang diakuisisi oleh
pemerintah. Pembelian dilakukan sebanyak 10 kali pembelian yang terhitung sejak Maret 1947,
hingga akhir tahun 1948. Tahapan sisanya adalah penyelesaian pembelian lahan serta
pendistribusian kembali lahan kepada para petani penyewa. Berdasarkan laporan akhir yang
disampaikan pada Agustus 1950, total sebanyak 1.137.000 chō sawah dan 796.000 chō kebun
serta lahan lainnya berhasil dibeli oleh pemerintah dari 2.371.000 keluarga di seluruh Jepang.
Sebanyak kurang lebih 2.000.000 chō lahan yang dibeli oleh pemerintah, berhasil dijual
kembali kepada 4.748.000 keluarga petani penyewa (Dore, 1959. Kosaka, 1982).

JEPANG PASCA-REFORMA AGRARIA

Keberhasilan Reforma Agraria Jepang merupakan hasil dari keinginan kuat Jepang
dalam keinginan untuk mengatasi permasalahan agraria serta dorongan SCAP untuk
membentuk kehidupan petani yang demokratis dan lebih sejahtera. Kondisi Jepang pasca-
reforma agraria yang berlangsung efektif selama lima tahun lamanya, dimulai dari tahun 1946,
hingga berakhir pada tahun 1950, membawakan perubahan drastis yang dirasakan oleh Jepang.
Dari sudut pandang sosial, keberhasilan Pemerintah Jepang dalam membeli seluruh tanah yang
dimiliki oleh tuan tanah guntai dan menetapkan batasan jumlah lahan yang dapat dimiliki oleh
tuan tanah lainnya menciptakan kesetaraan sosial. Hasilnya, pada akhir 1949, terdapat hanya
sekitar 13 persen lahan yang merupakan lahan sewa, 77 persen sisanya merupakan lahan
dengan kepemilikan pribadi. Sebesar 560.000 chō (80-90 persen dari jumlah keseluruhan lahan
yang dimiliki oleh tuan tanah guntai berhasil didistribusikan kepada para petani penyewa.
Lebih lanjut, lebih dari 1.000.000 ha lahan yang dimiliki oleh tuan tanah jenis lainnya, juga
berhasil didistribusikan (Kawagoe, 1999). Jumlah perubahan kepemilikan lahan pasca-
Reforma Agraria Jepang dapat dilihat dalam tabel berikut :

10
Tan (反) merupakan salah satu satuan luas dalam sistem pengukuran lama Jepang. Ukuran satu tan (反) dapat
dihitung sebesar satuan lahan yang mampu memproduksi satu koku (石) beras (setara dengan 180 liter) atau dapat
juga setara dengan 0,1 chō (10 tan = 1 chō).
257
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

Tabel 4. Perubahan jumlah lahan garapan berdasarkan status penyewaan.


Sumber : Kawagoe (1999, hlm. 54)

Berdasarkant tabel tersebut, jumlah petani peyewa berkurang secara drastis dari

sebanyak 28 persen di tahun 1941, menjadi hanya 4 persen di tahun 1955. Di sisi lain, jumlah
petani pemilik bertambah dari sebanyak 31 persen di tahun 1941, menjadi 70 persen di tahun
1955. Petani penyewa sekaligus pemilik juga berkurang sangat drastis, dari sejumlah 20 persen
dari total keseluruhan di tahun 1941, hanya tersisa 5 persen di tahun 1955. Hal ini membuktikan
bahwa pelaksanaan reforma agraria berhasil mendistribusikan lahan dengan menyeluruh sesuai
dengan tujuan pelaksanaan reforma agraria yang bertujuan meningkatkan jumlah petani
pemilik (Ryoo, 1978).
Dari sisi ekonomi, petani penyewa yang sekarang telah menjadi petani pemilik, tidak
perlu lagi membayar sewa dengan harga tinggi kepada tuan tanah. Jika beberapa petani
penyewa masih harus menyewa lahan, penetapan harga sewa yang telah ditentukan oleh
pemeritah sebelumnya menjadikan adanya kepastian dari besaran biaya sewa. Di samping itu,
opsi pelunasan lahan secara cicilan juga mengurangi beban petani dalam membeli lahan. Harga
cicilan pertahunnya yang ditambah dengan bunga, masih sanggup dibayarkan petani dengan
hasil penjualan panennya. Untuk menjaga keberhasilan reforma agraria dan mencegah
kembalinya praktik tuan tanah, UU Lahan Pertanian (Agricultural Land Law) disahkan oleh
pemerintah pada tahun 1952.
Dari sisi politik, Pemerintah Jepang berhasil melaksanakan instruksi pelaksanaan
reforma agraria di tingkat pedesaan oleh SCAP. Pelaksanaan Reforma Agraria Jepang dinilai
berhasil karena dapat menghapuskan praktik penguasaan lahan oleh tuan tanah guntai
(absentee landlords) secara menyeluruh, serta pembatasan jumlah lahan yang dapat dimiliki
dan disewakan oleh tuan tanah lainnya. Selain itu, keberhasilan pelaksanaan reforma agraria
oleh Pemerintah Jepang di bawah instruksi SCAP menciptakan kondisi petani yang lebih
konservatif. Pemerintah juga dapat mengontrol sistem penyewaan tanah yang sebelumnya
dilakukan secara tradisional oleh tuan tanah menjadi lebih modern dengan keberhasilan
menghapuskan pembayaran tanah dengan hasil pertanian, kesepakatan secara lisan, serta
pengambilalihan lahan secara tidak sah (Ryoo, 1978).

258
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan


Reforma Agraria Jepang berhasil menghapus kekuatan tuan tanah dalam menguasai lahan,
meredam konflik antara tuan tanah dengan petani penyewa, usaha dalam menciptakan
kesetaraan sosial dan ekonomi bagi masyarakat, dan pelaksanaan reforma yang sesuai dengan
UU Reforma Agraria Jepang tahun 1946. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah pelaksanaan Reforma Agraria Jepang pada masa pendudukan SCAP berhasil dikaitkan
dengan keempat motif pelaksanaan reforma agraria oleh Warriner (1969).
Keempat motif tersebut ditemukan dalam usaha pelaksanaan Reforma Agraria Jepang.
Bentuk dari motif pelaksanaan reforma agraria dengan motif penghapusan sistem feodalisme
dengan bentuk keberhasilan Jepang dalam menghapuskan praktik penguasaan tanah oleh tuan
tanah guntai. Keberhasilan tersebut didukung oleh keinginan MacArthur yang ingin
menghapuskan feodalisme yang berbentuk dominasi tuan tanah dalam usaha melepaskan
belenggu ekonomi Jepang. Dalam hal ini, Pemerintah Jepang dan SCAP termasuk sebagai
kekuatan besar yang mengintervensi (the great powers intervension) dalam dorongan
pelaksanan Reforma Agraria Jepang. Selain itu, keinginan untuk menciptakan kondisi sosial
dan ekonomi yang setara juga melatarbelakangi pelaksanaan Reforma Agraria Jepang.
Keinginan tersebut bertujuan untuk menghilangkan dominasi tuan tanah, serta menjamin petani
mendapatkan hak yang setara. Dorongan tersebut juga didesak oleh kaum petani yang
bergabung dalam serikat petani (dalam menciptakan kekuatan politik yang besar) dalam
memperjuangkan tuntutan kesetaraan sosial dan ekonomi. Motif nasionalisme juga menjadi
salah satu alasan dalam pelaksanaan Reformasi Agraria Jepang. Kesadaran nasionalisme
tersebut berbentuk upaya penyelesaian masalah pertanian yang telah lama dilakukan oleh
Pemerintah Jepang. Lebih lanjut, motif penghapusan praktik tuan tanah, motif kesetaraan sosial
dan ekonomi, serta motif nasionalisme dapat dikolaborasikan secara baik dengan motif
penegakan hukum yang berbentuk pelaksanaan Reforma Agraria Jepang yang sesuai dengan
UU Reforma Agraria Jepang tahun 1946.
Penelitian ini masih terbatas pada penelitian motif pelaksanaan reforma agraria, yaitu
lebih menitikberatkan pada kondisi yang melatarbelakangi peristiwa Reforma Agraria Jepang.
Selain itu, fokus penelitian ini hanya menggambarkan permasalahan secara deskriptif dan tidak
dianalisa lebih mendalam dikarenakan adanya batasan penelitian. Penelitian ini hanya dibatasi
pada periode pra-pelaksanaan reforma agraria, pelaksanaan reforma agraria, dan pasca-reforma
agraria. Besar harapan hasil penelitian mengenai motif pelaksanaan Reforma Agraria Jepang
dapat menjadi acuan bagi para peneliti yang berminat pada pembahasan seputar sejarah dan
pertanian Jepang. Apabila penelitian serupa diadakan, dapat direkomendasikan agar membahas
lebih jauh seputar pelaksanaan reforma agraria di tiap-tiap daerah di Jepang, serta tokoh-tokoh
penting dalam pelaksanaan Reforma Agraria Jepang.

259
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Basuki, Sulistyo. (2006). Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.


Dore. R. P. (1959). Land Reform. London: Oxford University Press.
Francks, Penelope. (2006). Rural Economic Development in Japan: From the nineteenth
century to the Pasific War. New York: Routledge.
Kosaka, Masataka. (1982). A History of Postwar Japan. Tokyo and New York: Kondansha
International.
Warriner, Doreen. (1969). Land Reform in Principle and Practice. New York and London:
Oxford University.

Artikel Jurnal

Bernier, Bernard. (1980). The Japanese Peasantry and Economic Growth since The Land
Reform of 1946-47. Bulletin of Concerned Asian Scholars 12-1: 40-52.
Dore, R. P. (1965). Land Reform and Japan’s Economic Development. The Economic
Development 3:4, 487-496.
Grabowski, Richard. (2002). East Asia, Land Reform, and Economic Development. Canadian
Journal of Development Studies 23-1: 105-126.
Gilmartin, W.M., & Ladejinsky, W. (1948). The Promise of Agrarian Reform in Japan. Foreign
Affairs, 26, 312.
Grad, A. (1948). Land Reform in Japan. Pacific Affairs, 21(2), 115-135.
Huizer, G (1977). The Role of Peasant Organisations in the Japanese Land Reform. Social
Scientist, 6(3), 40.
Kawagoe, Toshihiko. (1999). Agricultural Land Reform in Postwar Japan: Experiences and
Issues. The World Bank: Development Research Group, Rural Development.
Masanori, Nakamura. (1988). The Japanese Landlord System and Tenancy Disputes: A Reply
to Richard Smethurst’s Criticism. Bulletin of Concerned Asian Scholars, 20:1, 35-50.
McDonald, Mary G. (1997). Agricultural Landholding in Japan: Fifty Years After Land
Reform. Geoforum, 28:1, 55-78.
Ouchi, Tsutomu. (1966). The Japanese Land Reform: Its Efficacy and Limitations. The
Developing Economy 4: 129-150.
Raper, Arthur F. (1951). Some Effects of Land Reform in Thirteen Japanese Villages. Journal
of Farm Economics, 33:2, 177-182.
Takigawa, Tsutomu. (1972). Historical Background of Agricultural Land Reform in Japan.
The Developing Economy 10: 290-310.
Trewartha, G. (1950). Land Reform and Land Reclamation in Japan. Geographical Review,
40(3), 376-396. doi:10.2307/211216

Artikel Majalah

Frost, Peter K. (2016). Debating the Allied Occupation of Japan (Part One). Education About
Asia, 21:2, 59-63.

260
MULTIKULTURA
VOL.1, NO.2, APRIL - JUNI 2022

Frost, Peter K.(2016). Debating the Allied Occupation of Japan (Part Two). Education About
Asia, 21:3, 47-51.

Disertasi Doktoral
Ryoo, Jae Kap. (1978). Land Reform and It’s Effect on Social Equality in Japan and Taiwan:
A Comparative Study. Indiana University. Disertasi doktoral pada Departemen Ilmu
Politik, Universitas Indiana, Amerika Serikat.

Dokumen Lembaga

SCAP (1945, December 9). Memorandum for Rural Land Reform.

Website

Japanese Wiki Corpus. (n.d.). Cho (a Unit of Length in Old Japanese System of Weights and
Measure) (町(単位)). Japanese Wiki Corpus. (japanese-wiki-corpus.org)
Japanese Wiki Corpus. (n.d.). Tan (a Unit of Area in Old Japanese System of Weights and
Measure) (反(単位)). Japanese Wiki Corpus. (japanese-wiki-corpus.org)

261

Anda mungkin juga menyukai