Anda di halaman 1dari 2

Bagian ini akan berisi isu-isu yang berpotensi memecah belah

bangsa

Permasalahan Geothermal di Bali

Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang telah menjadi salah satu
tujuan wisata bagi para wisatawan asing maupun domestik. Di masa
mendatang, kebutuhan listrik bagi kehidupan masyarakat Bali dan industri
pariwisata akan mengalami peningkatan yang drastis. Dengan menipisnya
cadangan BBM Indonesia dan semakin tingginya harga minyak mentah
dunia, Bali mempunyai salah satu sumber energi alternatif yang bisa
dimanfaatkan, yaitu energi panas bumi (geothermal). Salah satunya yang
banyak menyedot perhatian masyarakat Indonesia adalah Pembangkit Listrik
Tenaga Panas bumi (PLTP) di Kawasan Bedugul.

Pembangunan PLTP Bedugul, yang dibangun bersama oleh PT. Pertamina


dan Bali Energi Ltd, ini bukan tanpa kendala. PLTP ini akan dibangun di
dalam area Hutan Lindung Primer Batukaru seluas 53,88 ha. Padahal
kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan di Pulau Dewata ini hanya
tinggal 23,19% dari batas minimum 30% dari luas wilayah Bali. Apalagi
kawasan Bedugul selama ini sudah merupakan “paru-paru” bagi Pulau Bali.

Dampak pembangunan PLTP ini pada lingkungan sekitar sangat ekstensif,


dari (1) ancaman hujan asam, (2) penurunan stabilitas tanah yang akan
berakibat pada bahaya erosi dan amblesan (subsidence), (3) menyusut dan
menurunnya debit maupun kwalitas sumber mata air tanah maupun danau-
danau di sekitar area pembangunan yang akan menyebabkan gangguan
pada kehidupan biota perairan dan menurunkan kemampuan tanah untuk
menahan air, (4) berubahnya tata guna lahan, perubahan dan ancaman
kebakaran hutan di mana diperlukan waktu antara 30-50 tahun untuk
mengembalikan fungsi hutan lindung seperti semula, (5) terganggunya
kelimpahan dan keanekaragaman jenis biota air karena diperkirakan akan
tercemar zat-zat kimia SO 2, C0 2 , CO, NO 2 dan H 2 S, sampai (6)
menurunnya kesehatan masyarakat sekitar karena udara akan tercemar gas
H 2 S yang dihasilkan PLTP pada tahap uji coba sumur pemboran.

Masalah lain adalah berpotensi terjadinya bentrokan dengan budaya Bali


setempat. Filosofi Tri Mandala menempatkan kawasan hulu seperti hutan,
gunung dan danau sebagai tempat suci atau sakral. Kawasan hulu oleh
masyarakat setempat dianggap sebagai hulu amerta atau sumber
kemakmuran dan kesejahteraan bagi daerah-daerah sekitar. Proyek
pembangunan Bedugul ini dianggap bertentangan dengan nilai wanakerti
dan nilai filosofi Tri Hita Karana bagi masyarakat Bali dan sekitarnya. Filosofi
Tri Hita Karana yang menjunjung tinggi hubungan erat antara manusia,
Tuhan ( Parahyangan ) dan alam sekitarnya. Terganggunya nilai-nilai
kesakralan kawasan suci ini dikhawatirkan akan menganggu keseimbangan
hubungan manusia dengan lingkungan alam ( palemahan ) yang secara
langsung akan mempengaruhi nilai-nilai pawongan (masyarakat) yang
terkait dengan aspek kedamaian, keamanan, kemakmuran dan
kesejahteraan hidupnya.

Ancaman bentrokan horizontal antar masyarakat pun bisa terjadi karena


salah satu desa yang berada di Kawasan Bedugul ini, yakni : Desa
Candikuning yang bermayoritas muslim, sangat mendukung proyek
pembangunan PLTP Bedugul ini, sedangkan desa-desa lainnya yang
mayoritas beragama hindu menolak keras. Demikian pula dengan akan
datangnya pekerja-pekerja dari luar daerah untuk membangun proyek PLTP
dikhawatirkan akan memicu kecemburuan sosial antar penduduk asal
dengan pendatang dan gangguan kamtibmas diperkirakan akan terjadi di
daerah sekitar akibat arus urbanisasi yang berlangsung dalam waktu yang
singkat. Semua ini akan menyumbang proses disintegrasi bangsa yang
dikhawatirkan sudah dan sedang terjadi, semakin cepat.

Pembangunan PLTP Bedugul ini akan berdampak positip pada (1) upaya
peningkatan pemerintah pusat dan daerah, (2) menimbulkan peluang kerja,
dan (3) mengembangkan kegiatan ekonomi baru di daerah-daerah
sekitarnya, selain membantu pemenuhan kebutuhan energi listrik di Bali.
Kegagalan proyek pembangunan PLTP, seperti yang dikatakan menteri
ESDM baru-baru ini, akan menoreh citra negatif bagi Indonesia di dunia
investasi bahkan Indonesia bisa diadukan ke arbitrase Internasional karena
melanggar kesepakatan investasi, seperti yang terjadi pada kasus KBC
(Karaha Bodas Company). Pada kasus ini, pemerintah Indonesia dipaksa
membayar ratusan juta dollar kepada KBC oleh Arbitrase Internasional. Tapi
apakah kesalahan atau kerugian bagi pemerintahan sebuah negara
berdaulat bila melindungi Alam dan berpihak pada Rakyat negaranya sendiri
dari eksploitasi industri yang berpotensi mencemari alam lingkungan dan
melanggar kesakralan budaya bangsa sendiri ?

Pemerintah Pusat dan Daerah maupun Masyarakat diharapkan mampu


memikirkan dan menimbang secara cermat dampak positip dan negatip dari
pembangunan PLTP Bedugul ini dalam skala nasional, bukan hanya skala
daerah saja, dan menyeluruh sehingga tidak ada satu kelompok masyarakat
pun yang akan dirugikan atas pembangunan PLTP Bedugul ini.(j/b)

Anda mungkin juga menyukai