Anda di halaman 1dari 2

SUARA KARTINI: SUARA PEREMPUAN INDONESIA

Oleh Srimulyani

Tahun 1889 seorang perempuan berdarah ningrat menolak disapa Raden Ajeng. Sebagai
putri bupati, ia sebenarnya berhak menerima penghormatan itu. Namun ia menolak dengan
berbagai alasan. Di sepucuk suratnya, perempuan itu menulis, “Panggil Aku Kartini saja, itulah
namaku!. Novel “Panggil Aku Kartini Saja” merupakan novel biografi karya Pramoedya Ananta
Toer yang menceritakan kisah hidup seorang pejuang wanita yang memperjuangan emansipasi
dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Novel ini merupakan bentuk kekaguman
Pramoedya terhadap sosok Kartini. Pada seorang wartawan Pramoedya menyebutkan bahwa
seharusnya buku “Panggil Aku Kartini Saja” terdiri atas empat jilid. Dua jilid sempat diterbitkan,
sedangkan yang lainnya dirampas militer pada era Orde Baru. Ia mengaku karyanya itu hasil
studi lapangan dan menemui saudara-saudaranya Kartini. Bahkan, Pramoedya memiliki buku
keluarga Kartini yang ditulis dalam bahasa Jawa.

Seperti yang kita tahu, bahwa kartini adalah tokoh emansipasi perempuan bangsa
Indonesia. Dalam kalangan bangsawan hanya anak laki-laki yang disekolahkan hingga tingkat
tertentu. Dalam novel “Panggil Aku Kartini Saja” ada tulisan Kartini yang menceritakan dirinya
yang ingin melanjutkan sekolah seperti kakak- kakak laki-lakinya menggunakan kata ganti orang
ketiga, namun tidak diperbolehan oleh ayahnya. Hal ini membuktikan bahwa Raden Mas Adipati
Sosroningrat (ayah Kartini) sangat dipengaruhi oleh pola pikir patriarkhi yang lebih
mengutamakan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Kartini memperjuangan
pendidikan bagi perempuan-perempuan di Indonesia.

Pramoedya berpandangan bahwa ide progresif Kartini disebabkan oleh respons atas
hierarki dan adat diskriminatif lingkungan feodalnya, bukan karena pertukaran ide dengan
teman-temannya di Eropa. Pramoedya menguraikan fakta sifat feodal pengaturan rumah tangga
bupati. Kartini merupakan putri dari istri kedua Raden Mas Adipati Sosroningrat. Ibu Kartini
memiliki tempat sendiri di luar bangunan utama karena dianggap berasal dari kaum jelata.
Situasi tersebut tentunya menciptakan ketidaksenangan pada beberapa orang namun tidak dapat
berbuat apa-apa. Karena harus tunduk kepada peraturan kerajaan. Kondisi tersebut
membangkitkan pemikiran progresif Kartini tentang dunia yang ideal, di mana semua orang
setara. Setara adalah kondisi dimana semua manusia memperoleh kesempatan dan hak yang
sama sebagai manusia terhadap akses dan manfaat dari usaha pembangunan dan mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan nasional, serta persamaan dalam pengawasan sumber daya (pembangunan,
pengetahuan, informasi dan keterampilan). Evaluasi Pramoedya mengenai peran Kartini dalam
masyarakat sangat maju. Sastrawan kelahiran Blora itu menekankan kemuliaan pikiran dan jiwa
Kartini.
Kartini selalu diidentikkan dengan emansipasi. Namun, Pramoedya melihat Kartini lebih
dari itu. Menurut Pramoedya, Kartini merupakan pejuang nasionalisme, pendukung egalitarian,
serta pendobrak feodalisme. Berdasarkan penelitian Pramoedya, Max Havelaar karya Multatuli
alias Eduard Douwes Dekker adalah salah satu buku yang memengaruhi Kartini. Buku ini
menceritakan pelaksanaan tanam paksa di Hindia Belanda. Penderitaan rakyat akibat tanam
paksa dikisahkan Multatuli dalam tokoh Saija dan Adinda menguras emosi Kartini. Kondisi yang
digambarkan Multatuli itu tidak jauh beda dari situasi masyarakat pribumi Jepara saat itu. Kartini
terpukau dengan pandangan Multatuli, bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia.
Kemudian, Kartini menolak ikatan apa saja yang mencoba menjauhkannya dari tugas manusia.

Kartini yang kita tahu bukan sekadar pelopor emansipasi perempuan, melainkan juga
pengkritik yang tangguh dari feodalisme budaya Jawa dengan segala tetek bengek kerumitannya,
sekaligus juga sebagai pelopor dari sejarah modern Indonesia. Pramoedya ingin mengingatkan
bahwa kita pernah memiliki seorang perempuan pejuang yang dikepung berlapis-lapis
kerterbatasan dan hambatan, tetapi justru memiliki cita-cita dan potensi yang jauh lebih besar
dari yang pernah kita bayangkan. “Kartini itu luar biasa. Mendirikan sekolah dengan tenaga
sendiri. Dia satu-satunya perempuan dengan pendidikan barat, waktu itu,” kata Pramoedya.

Anda mungkin juga menyukai