Anda di halaman 1dari 15

EKSISTENSI AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH DI JAKARTA

Eksistensi organisasi Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyyah Al-Irsyad Al-


Islamiyyah) disingkat Al-Irsyad Al-Islamiyyah sangat lekat dan tidak bisa dipisahkan dengan
Jakarta, ibukota Republik Indonesia. Sebab, Al-Irsyad Al-Islamiyyah lahir di Jakarta (dulu
Batavia) dan dilahirkan oleh warga jamaah Jakarta. Ikatan Al-Irsyad dengan Jakarta ini ibarat
seperti Muhammadiyah dengan Jogjakarta dan NU dengan Jombang (Jawa Timur), serta
Persatuan Islam (Persis) dengan Bandung.
Kelekatan Al-Irsyad dengan Jakarta bisa dilihat dari fakta bahwa kedudukan pengurus
pusat atau pengurus besar (hoofdbestuur) Al-Irsyad Al-Islamiyyah selalu berada di Jakarta sejak
berdiri sampai sekarang (saat tulisan ini dibuat, 2017). Dari awal berdiri sampai di tahun-tahun
awal para ketua dan seluruh pengurusnya juga asli warga Jakarta (Batavia).

Sejarah Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah bermula dari pendirian Madrasah Al-Irsyad


Al-Islamiyyah yang pertama, di Jati Petamburan (Batavia) pada 6 September 1914 (15 Syawwal
1332 H). Tanggal ini lalu dijadikan tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Namun, pengakuan hukumnya dari pemerintah kolonial Belanda baru keluar pada 11 Agustus
1915.

Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-‘Alamah Syeikh Ahmad Surkati, seorang
ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Ahmad Surkati datang ke
Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair. Namun karena ada perselisihan dalam
pemahaman keagamaan, Syekh Ahmad Surkati pun keluar dari Jami’at Khair dan bersama
beberapa sahabatnya mendirikan Al-Irsyad. Nama lengkap beliau adalah SYEIKH AHMAD BIN
MUHAMMAD AS-SURKATI AL-ANSHARI.

Selain Syekh Ahmad Surkati, tokoh-tokoh utama pendirian organisasi dan sekolah
(madrasah) Al-Irsyad ini adalah Umar Yusuf Manggush, kapten Arab di Batavia saat itu yang
dikenal sebagai salah satu raja properti, Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas yang menjadi
penyumbang dana terbesar, Salim bin Awad Balweel yang kemudian menjadi ketua umum
pertama (1914-1920), Said Salim Masy’abi, Saleh Obeid Abdat, Muhammad Ubaid Abud,
Abdullah Abdulqadir Harharah, Abdullah Abubakar Alhabsyi, Hasan Argubi (menantu Umar
Manggush yang menjadi kapten Arab Batavia setelah Umar Manggush), Ghalib Said Tebe, Said
Salim Masy’abi, Said Abdullah Basalamah, Awad Salim Eili, Ahmad bin Thalib, dan lain-lain.
Semuanya jamaah Jakarta.

Al-Irsyad sendiri adalah organisasi Islam nasional. Syarat keanggotaannya, seperti


tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: “Warga negara Republik Indonesia yang
beragama Islam yang sudah dewasa.” Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan
organisasi warga keturunan Arab.

Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah


Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan,
pengajaran, serta sosial dan dakwah bertingkat nasional. Perhimpunan ini adalah perhimpunan
mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik apapun juga, serta
tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis.

Untuk melihat lebih jauh peran warga atau jamaah Jakarta dalam Al-Irsyad Al-
Islamiyyah, kita lihat fakta-fakta sejarah di bawah ini, di mana jamaah Jakarta berada di garis
paling depan organisasi ini.

A. Hoofdbestuur (Pengurus Pusat) Al-Irsyad di Masa Penjajahan Belanda

Di dalam akte pendirian dan Anggaran Dasar Al-Irsyad yang disahkan oleh Gubernur
Jendral Hindia Belanda tercatat Pengurus pertamanya adalah:
Salim Awad Balweel sebagai Ketua
Muhammad Ubaid Abud sebagai Sekretaris
Said Salim Masy’abi sebagai Bendahara
Saleh Obeid Abdat sebagai Penasehat

Setelah keluarnya beslit dari Gubernur Jendral itu, pada hari Selasa tanggal 19 Syawwal
1333/31 Agustus 1915, telah diadakan Rapat Umum Anggota. Dalam rapat itu diputuskan
susunan Pengurus untuk kepentingan intern:
Salim Awad Balweel sebagai Ketua
Saleh Obeid Abdat sebagai Wakil Ketua
Muhammad Ubaid Abud sebagai Sekretaris
Said Salim Masy’abi sebagai Bendahara

Pengurus ini dilengkapi dengan 19 orang sebagai Komisaris yang berkewajiban


mengawasi jalannya Perhimpunan dengan berbagai masalah yang dihadapinya.
Dalam Rapat Umum Anggota (RUA) itu diputuskan pula bahwa para donatur Sekolah Al-
Irsyad secara langsung dicatat sebagai Anggota Perhimpunan, sedangkan donasinya dicatat
pula sebagai iuran Anggota Perhimpunan. Sementara itu diputuskan pula tentang status Hai-ah
Madaaris Jum’iyyah Al-Irsyad, yaitu sebagai Majlis berada di bawah Perhimpunan selaku
Penilik Sekolah, mengurusi khusus segala hal yang menyangkut pendidikan. Susunan lengkap
Hai-ah Madaaris ini adalah:
Ketua: Abdullah b. Abubakar Alhabsyi sebagai Ketua
Wakil ketua: Abdullah b. Abdulqadir Harharah
Anggota: Muhammad Abud, Said Abdullah Basalamah, Awad b. Salim b. Eili dan
Ahmad bin Thalib.

Sekolah Al-Irsyad di Jakarta ini seluruhnya berada di bawah asuhan Syaikh Ahmad
Surkati, dibantu oleh Syaikh Muhammad Ubaid Abud, seorang ahli fikih terkemuka, dan Syaikh
Ahmad Al-Aqib, murid Syekh Muhammad Abduh di Al-Azhar, Mesir.
Pada awalnya organisasi ini bernama Jam’iyyah Al Ishlaah wal Irsyaad al ‘Arabiyyah,
lalu tak lama berubah menjadi Jam’iyyah Al Ishlaah wal Irsyaad al ‘Islamiyyah. Sebagaimana
halnya dengan organisasi lain yang lahir dan hidup pada zaman itu, Al-Irsyad juga terikat oleh
berbagai ordonansi pemerintah kolonial Belanda, sehingga wawasan dan cita-cita utamanya
bagi bangsa dan agama tak bisa ditunjukkan dalam konstitusi organisasi secara jelas. Hal ini
dialami oleh semua organisasi nasional saat itu, seperti Syarekat Islam, Muhammadiyah, Jam’iat
Khair, Budi Utomo, Al-Irsyad dan lain-lain.
Aneka organisasi nasional itu, dalam konstitusi masing-masing sebenarnya terselubung
perjuangan membendung westernisasi yang sedang gencar-gencarnya dilancarkan pemerintah
kolonial Belanda. Rumusannya dalam konstitusi bisa berbeda antara satu organisasi dengan
organisasi lainnya. Ada yang menggunakan kalimat “melestarikan adat-istiadat”, “memajukan
dan mengembangkan kebudayaan”, dan lain-lain. Dengan bersembunyi pada wawasan-budaya
inilah Budi Utomo, Al-Irsyad dan lain-lain bersama-sama menghadang upaya westernisasi oleh
penjajah Belanda.
“Menjalankan adat-istiadat bangsa Arab menurut aturan Agama Islam” yang
terkandung dalam konstitusi pertama Al-Irsyad itu mengandung berbagai sasaran, antara lain:
- Tanpa asas yang bisa berkonotasi politis, terlihat pegangan dasar Islam;
- Memberantas adat-istiadat yang bertentangan dengan Islam, yang seluruhnya
merupakan bid’ah dan khurafat.
- Menghantam aristokrasi Islam, yang sesungguhnya juga tidak dikenal oleh agama ini.
- Membendung serbuan gencar westernisasi.
Sementara itu ketika Al-Irsyad lahir, salah seorang penyumbang dana terbesar adalah
Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas dengan sumbangan sebesar 60.000 gulden, sehingga Syaikh
Ahmad Surkati selalu mengangkat kedua belah tangannya berdoa untuk dermawan itu setiap
namanya disebut dalam pertemuan.
Rapat Umum Anggota (RUA) yang menurut ketentuan undang-undang harus
diselenggarakan setiap setahun sekali, pada penyelenggaraan hari Ahad tanggal 19 November
1916 telah pula meneliti laporan Hoofdbestuur (HB) Al-Irsyad dan menetapkan pengesahannya
serta mengangkat Hoofdbestuur yang baru. Dalam Rapat Umum Anggota itu HB lama diangkat
kembali, sedangkan Komisaris diangkat yang baru meski terdapat nama-nama Komisaris yang
lama. Diantara Komisaris yang baru itu terdapat nama-nama seperti Hamzah, Raden Noto dan
Raden Gunawan. Ketiganya selalu hadir dalam setiap rapat. Mereka adalah para pemuka
Syarikat Islam.
Dalam Rapat Umum Anggota yang diselenggarakan pada 25 November 1917, Salim
Awad Balweel tetap terpilih sebagai Ketua Hoofdbestuur (HB) Al-Irsyad. Ia didampingi oleh
Ghalib Said Tebe sebagai wakil ketua, Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris dan Said Salim
Masy’abi sebagai bendahara. Mereka dibantu 25 orang Komisaris, termasuk Raden Noto dan
Tuan Hamzah.
Pada 1 September 1918 dibuka sekolah di Krukut (Batavia) dengan bayaran bulanan
untuk murid sebesar ƒ 2,- (dua gulden).
Rapat Umum Anggota yang diselenggarakan 29 Desember 1918 kembali mengangkat
Salim Awad Balweel sebagai ketua, Muhammad Ubeid Abud sebagai sekretaris, Said bin Salim
Masy’abi sebagai bendahara, dan Ghalib bin Said Tebe sebagai penasihat.
Rapat Umum Anggota yang diselenggarakan khusus pada hari Selasa 11 Februari 1919
atau 10 Jumadil Awal 1337 H di Molenvliet West Batavia yang dihadiri oleh 41 orang anggota
telah menetapkan pengesahan Anggaran Rumah Tangga (ART) Al-Irsyad yang terdiri dari 22
pasal. Dalam ART ini bukan hanya diatur masalah Pengurus dan Anggota, masalah rapat dan
kuorum rapat, juga ditentukan hal-hal dan ketentuan-ketentuan menyangkut guru, murid dan
sekolah, dari kurikulum sampai kepada masalah penerimaan murid dan tata-cara pendaftaran
murid. Juga terdapat ketentuan mengenai jaminan sosial anggota. Tentang haluan pendidikan
ditentukan di dalam Anggaran Rumah Tangga itu madzhab Al-Imam Syafi’i dalam fikih dan
mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah dalam aqaid.
Dalam Rapat Umum Anggota yang diselenggarakan tanggal 31 Agustus 1919, telah
terjadi perubahan dalam susunan pengurus yang baru diangkat untuk masabakti setahun
berikutnya. Ketua tetap dijabat oleh Salim Awad Balweel, sedang sekretaris adalah Muhammad
Ahmad Alganis, dan bendahara Abdullah Abdulqadir Harharah. Sebagai penasihat adalah
Muhammad Salim Askar.
Selain itu, RUA juga telah mengambil keputusan amat penting menyangkut otonomi
daerah dan suara perwakilan. Ditetapkan bahwa cabang Surabaya, Tegal, Pekalongan, Bumiayu
dan Cirebon, berhak untuk membelanjakan penghasilan Cabang untuk keperluan Cabang yang
bersangkutan dan Hoofdbestuur tidak berhak meminta untuk disetorkan ke Pusat.
Rapat Umum Anggota juga memutuskan membentuk suatu badan ishlah untuk
menangani masalah-masalah yang dihadapi Al-Irsyad dan para anggotanya. Anggota Badan ini
adalah: Ahmad Surkati, Said bin Salim Masy’abi, Muhammad Ubaid Abud, dan Muhammad
Alganis, ditambah unsur cabang masing-masing dua orang dari tiap cabang.
Pada 15 Februari 1920, dalam Rapat Umum Anggota yang dihadiri sekitar 400 anggota
Al-Irsyad dari Jakarta (Batavia) dan luar Jakarta, diangkatlah Said Masy’abi sebagai ketua yang
baru. Ia didampingi oleh Muhammad Abud sebagai sekretaris dan Abdullah Abdulqadir
Harharah sebagai bendahara. Sedang Salim Balfas tetap sebagai penasihat.
Said bin Salim Masy’abi tak lama menjadi ketua Al-Irsyad. Pada RUA 29 Agustus 1920 di
Gedung Sekolah Al-Irsyad di Molenvliet West ia menolak untuk dipilih kembali meski mayoritas
peserta RUA menginginkannya tetap sebagai ketua. RUA pun akhirnya menunjuk Ghalib Said
Tebe untuk menggantikannya sebagai ketua. Ghalib Tebe didampingi oleh Muhammad Ubaid
Abud sebagai sekretaris, Abdullah Abdulqadir Harharah sebagai bendahara, dan Awad Salim
Sungkar sebagai Penasihat.
Tapi Ghalib Tebe juga hanya sebentar menjadi ketua karena wafat pada 21 April 1921.
RUA kemudian pun memutuskan:
Salim Umar Balfas menjadi ketua baru.
Abdullah Aqil Badjerei sebagai sekretaris.
Abdullah Abdulqadir Harharah sebagai bendahara, dan
Ali Said Mughits sebagai penasihat.

Kemudian tampillah Ali Said Mughits sebagai ketua dalam RUA di tahun 1926,
menggantikan Salim Umar Balfas. Ia didampingi olh Ali Abdullah Harhahah sebagai sekretaris.
Tokoh Ali Mughits ini cukup disegani para anggota, termasuk anggota-anggota yang lebih
senior, sehingga Ali Mughits berhasil mempersatukan kembali seluruh kekuatan Al-Irsyad yang
sempat dilanda sengketa.
Di kepengurusan Ali Mughits ini muncul nama Ali Salim Hubeis, saudara kandung Ustadz
Umar Salim Hubeis yang menjadi tokoh di Al-Irsyad Surabaya. Ali Hubeis adalah tenaga muda
yang terkenal amat cerdas yang di masa depan memimpin Al-Irsyad melewati masa-masa sulit.
Pada akhir Agustus 1927 diselenggarakan Rapat Umum Anggota di Gedung Sekolah Al-
Irsyad di Jalan Kebon Jeruk (sebetulnya termasuk Jalan Molenvliet Oost atau Jalan Hayam
Wuruk sekarang, dekat Jalan kebon Jeruk –HB). Pada RUA ini telah diangkat Hoofdbestuur Al-
Irsyad yang sama susunannya sebagaimana susunan Hoofdbestuur Al-Irsyad masa bakti tahun
sebelumnya (1926), yaitu:
Ketua: Ali Said Mughits
Sekretaris: Ali Abdullah Harharah
Bendahara: Ali Salim Hubais
Penasihat: Salim Ali Nahdi
Pembantu: Salim Umar Balfas, Said Salim Abdul Aziz, Saleh Abdurrab Khalifah, Abdullah
Bahasoan, Husain Said Bamashmush, Hasan Saleh Argubi, Saleh Bawazir, dan Abdullah Aqil
Badjerei.
Pada Rapat Umum Anggota yang berlangsung tanggal 25 Agustus 1929 telah disusun
Hoofdbestuur Al-Irsyad yang baru, terdiri dari:
Ketua: Ali Said Mughits
Wakil ketua: Salim Umar Balfas
Sekretaris: Abdullah Badjerei
Bendahara: Ali Hubeis
Penasihat: Muhammad Abud.

Pada tanggal 6-10 Mei 1931 Al-Irsyad menyelenggarakan Kongresnya di Gedung Al-
Irsyad Petojoplein (juga dikenal dengan nama: Jalan Petojo Jaga Monyet. Sekarang Jalan Tanah
Abang I) No. 19 Jakarta. Dalam penutupan Kongres ini, Ustadz Umar Hubeish menyampaikan
makalah, yang saat itu disebut voordracht, tentang Tarikh Al-Irsyad. Dalam makalahnya ini juga
disinggung maksud dan tujuan Al-Irsyad sebagai Perhimpunan Islam di Indonesia.
Kongres ini memutuskan beberapa hal penting, antara lain:
1. Membentuk Badan untuk memperbaiki dan menyempurnakan pendidikan di
sekolah-sekolah Al-Irsyad. Umar Naji Baraba ditunjuk sebagai ketua Badan ini,
didampingi oleh Ali Harharah sebagai sekretaris, dan Umar Hubeish, Abdullah
Badjerei serta Mahmud Syauqi sebagai anggota. Tugas Badan ini antara lain:
mengadakan buku pelajaran, menetapkan Program Pendidikan, menyusun
Peraturan-Peraturan Sekolah dan petunjuk-petunjuk untuk para kepala sekolah.
2. Tiap-tiap mengadakan konferensi dengan cabang-cabang untuk melakukan evaluasi
pelaksanaan program setahun yang lewat dan menyusun program baru. Tiga tahun
sekali diadakan Kongres.
3. Mendukung kritik Tuan Maradja Sajoeti Loebis, Redaktur Dewan dalam surat kabar
Al-Yaum mengenai buku-buku yang dipergunakan pada sekolah-sekolah
Gubernemen terutama kelas dua, yang isinya amat menjelek-jelekkan bangsa Arab
(gambar dan tulisan). Kongres Al-Irsyad juga sependapat bahwa hal demikian itu
amat berbahaya bagi pendidikan dan meminta perhatian Pemerintah dalam hal ini.
4. Memprotes tulisan Oei Bee Thai dalam surat kabar Hoa Kiao yang mengandung
penghinaan kepada Nabi Muhammad saw. seharusnya bangsa Tionghoa pun ikut
protes, sebab jika tidak akan dapat merenggangkan hubungan mereka dengan umat
Islam.
5. Mengumpulkan dana untuk menunjang ahli waris orang-orang yang selama
hidupnya berjasa kepada Perhimpunan Al-Irsyad dengan menambah 5% iuran
anggota.
6. Karena kekeliruan yang tersiar di kalangan masyarakat, khususnya koran-koran, yang
seringkali menamakan Al-Irsyad sebagai “Partai Syaikh” dan Al-Ba’alwi sebagai
“Partai Sayyid” sehingga dikira itu gelar golongan, maka Kongres Al-Irsyad memberi
penjelasan kepada masyarakat bahwa perkataan Sayyid itu artinya dalam bahasa
Indonesia adalah “toean”, boleh digunakan kepada siapa saja dalam tulisan untuk
menghormatinya. Sedangkan Syaikh berarti “kepala” atau “ahli”, misalnya Syaikhul
Haarah yang artinya kepala kampung, Syaikhul Islam dan sebagainya.
Semua tulisan itu kemudian dibukukan oleh Hoofdbestuur Al-Irsyad dengan judul
Gerakan Al-Irsyad yang diterbitkan pada bulan Juli 1931.
Pada tahun 1931/1932 itu susunan Hoffdbestur Al-Irsyad terdiri dari:
Ketua: Ali bin Said Mughits
Sekretaris: Abdullah Badjerei
Bendahara: Ali Salim Hubeis
Penasihat: Said bin Abdullah Basalamah

Pada Rapat Umum Anggota tanggal 27 Agustus 1938 telah diangkat Hoofdbestuur Al-
Irsyad yang baru, yang terdiri dari:
Ketua: Ahmad Masy’abi
Wakil ketua: Ali bin Said Mughits
Sekretaris I: Abdullah Badjerei
Sekretaris II: Ali Harharah
Bendahara: Ahmad bin Abdullah Mahri
Penasihat: Umar Sulaiman Naji
Pembantu: Abdulhabib bin Eili, Ali Hubeish, Umar bin Saleh bin Khomis, Muhammad bin
Umar bin Mahri, Muhammad Munif, Salim bin Muhammad Albakri, Usman Bahrak, dan Thahir
bin Saleh Argubi.
Pada tanggal 27 Agustus 1939 di Gedung Sekolah Petojo Jagamonyet 19 Jakarta kembali
diadakan Rapat Umum Anggota. Susunan Hoofdbestuur masih sama dengan periode
sebelumnya.
Rapat Umum Anggota tahun 1939 itu merupakan RUA terakhir yang diselenggarakan Al-
Irsyad menurut gaya lama. Dalam RUA itu diputuskan, bila Kongres Jubelium di Surabaya
menetapkan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang kemudian disahkan
pemerintah, maka Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Al-Irsyad siap untuk menyesuaikan diri dan
berjalan menurut ketentuan baru.
Kongres Jubelium atau Kongres Peringatan 25 Tahun Al-Irsyad, secara besar-besaran
diselenggarakan di Surabaya dari 26 September sampai 1 Oktober 1939. Kongres ini diberi
nama Kongres Al-Irsyad ke-25. Panitia Kongres Al-Irsyad ke-25 atau Jubelium ini diketuai oleh
Muhammad Bahwal dengan Ahmad Salim Mahfudh sebagai sekretaris. Kongres ini dihadiri pula
oleh Syeikh Ahmad Surkati yang mendapat kehormatan besar sekali dari warga Al-Irsyad. Dari
Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Al-Irsyad hadir antara lain Umar Naji Baraba, Ali Harharah,
Muhammad Munif, Abdullah Badjerei, dan lain-lain.
Bagi Al-Irsyad sendiri Kongres ini merupakan tahapan penting dalam sejarah
perkembangannya , sebab ikut pula berkongres cabang-cabang Nahdhatul Mu’minat yang
dalam Kongres ini mengganti nama menjadi Al-Irsyad Bagian Isteri. Juga ikut berkongres
cabang-cabang Pemuda dan Kepanduan Al-Irsyad. Dengan demikian kian dirasa perlu untuk
menata kembali organisasi sesuai kebutuhan dan perkembangan mutakhir itu. Hanya saja itu
membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk merealisasikannya. Kongres ini bisa dikatakan
merupakan titik awal dari masa peralihan kelembagaan Al-Irsyad.
Menindaklanjuti keputusan Muktamar itu, Hoofdbestuur Al-Irsyad pada 23 Februari
1940 telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) pembentukan Majlis Tarjih dan Fatwa dengan
Syeikh Ahmad Surkati sebagai ketua, dibantu oleh Abdullah Aqil Badjerei sebagai sekretaris.
Duduk sebagai anggota Majlis Tarjih ini adalah Umar Naji Baraba, Said Abdullah Thalib
Alhamdani, Umar Salim Hubeish, dan A. Hassan. Pemberitahuan kepada A. Hassan yang tokoh
Persis ini disampaikan ke Bangil saat yang bersangkutan baru saja pindah dari Bandung ke
Bangil.
Sesuai pula dengan Keputusan Kongres di Surabaya itu, Al-Irsyad beberapa waktu
kemudian telah memiliki atribut seperti peci, lencana, dan lain-lain.
Sementara itu, Hoofdbestuur Al-Irsyad terus melaksanakan pembentukan cabang baru
dan melaksanakan kegiatan dakwah ke daerah-daerah. Juga telah disahkan Hoofdkwartier
(Pengurus Besar) Al-Irsyad Bagian Istri yang berkedudukan di Pekalongan.
Sayang, ancang-ancang Al-Irsyad untuk memasuki era baru penataan organisasi
menurut perkembangan mutakhir menjadi berantakan dengan masuknya tentara Jepang ke
Indonesia, yang kemudian mengobrak-abrik segala yang ada di dalam negeri ini.*
B. Masa Pendudukan Jepang

Ketika balatentara Jepang masuk ke Indonesia, tidak seorang pun yang mengira bahwa
bangsa bermata sipit itu dalam waktu hanya 40 bulan mampu menghancurkan semua tatanan
sudah tertanam selama hampir 300 tahun. Syekh Ahmad Surkati menamakan bangsa ini dengan
nama yang pas betul, yaitu Kafir Barbar.
Segera setelah menduduki Pulau Jawa dan mengalahkan Belanda, Letnan Jenderal
Hitoshi Imamura, Panglima Tentara Jepang di Jawa, melarang semua kegiatan politik di
Indonesia. Aktivitas pergerakan umat Islam pun terpaksa tiarap karena kejamnya balatentara
Jepang. Para ulama pun memilih sikap diam untuk menghindari tindakan kejam mereka.
Jepang cenderung membabat habis pengaruh Pan-Islam di Indonesia. Segala pengaruh
dari Timur Tengah dibatasi, termasuk pelarangan pengajaran Bahasa Arab. Pengawasan ketat
dilakukan.
Partai Sarekat Islam Indonesia segera menutup kantor Pusatnya di Jakarta, diikuti
kemudian oleh cabang-cabangnya. Sekolah-sekolah Islam ditutup untuk sementara, termasuk
sekolah-sekolah Al-Irsyad yang bahkan paling lama harus tutup. Sebagian di antaranya diambil
alih menjadi markas mereka. Warga keturunan Arab menjadi penduduk Indonesia yang paling
dicurigai karena pengaruhnya yang kental dalam perkembangan Islam dunia dan pada
kebangkitan perjuangan bangsa.
Al-Irsyad praktis menghentikan seluruh kegiatannya semasa pendudukan Jepang ini.
Cabang-cabang yang ditutup malah kemudian ternyata sebagian tutup untuk selama-lamanya.
Gedung sekolah yang disewa dikembalikan kepada pemiliknya. Gedung wakaf sebagian hilang,
sebagian diwakafkan kepada Muhammadiyah, sebagian lainnya dititipkan kepada
Muhammadiyah. Ada yang sudah dikembalikan lagi dan ada pula yang masih diikhlaskan untuk
dipergunakan Muhammadiyah sepanjang Al-Irsyad belum mempunyai rencana untuk
menggunakannya kembali. Akibatnya, banyak anggota Al-Irsyad yang hijrah ke Muhammadiyah
dan tak mau kembali ke Al-Irsyad setelah kemerdekaan.
Di masa penjajahan Jepang ini, Imam Besar Al-Irsyad Syekh Ahmad Surkati wafat,
tepatnya pada 16 September 1943. Tak lama kemudian menyusul saudara kandungnya, Abul
Fadhl Alanshari. Al-Irsyad kehilangan terlampau banyak pada zaman pendudukan Jepang ini.
Meski sudah tak ada lagi Syekh Ahmad Surkati, para muridnya tetap terus bergerak di
zaman sulit itu. Yunus Anis, Iskandar Idris, Syaukat Albahri, Fachruddin Alkahiri, Nurjannah,
Shaleh Syuaidi, Farid Ma’ruf, dan banyak lagi lainnya, tampil ke permukaan. Iskandar Idris dan
JUnus Anis bahkan aktif menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air). Umar Hubeish juga terjun
dalam Gerakan 3-A dan duduk pasa staf pimpinannya.
Pertengahan tahun 1943 sebagian sekolah Al-Irsyad dibuka kembali, termasuk sekolah
Al-Irsyad Jakarta.*
C. Pasca-Kemerdekaan RI

Sekolah-sekolah Al-Irsyad yang belum pulih akibat pendudukan Jepang kembali porak-
poranda akibat Perang Kemerdekaan. Petojoplein 19, yang dikenal kemudian sebagai Petojo
Jagamonyet 19 dan sekarang menjadi Tanah Abang Satu, sekolah dan tempat kegiatan Al-Irsyad
di Jakarta, akhirnya menjadi “museum” selama puluhan tahun. Ini menunjukkan betapa
menderitanya Al-Irsyad akibat perang. Sebab, sekolah milik Al-Irsyad telah dikuasai oleh
sekelompok masyarakat, bahkan dipakai sebagai tempat kebaktian non-Muslim. Tanah ini
akhirnya terpaksa ditukar dengan tanah lain jauh di luar Jakarta daripada terus dirampas orang.

Sekolah Al-Irsyad lainnya di Jalan Kemakmuran, sekarang Jl KH Hasyim Asy’ari 27


Jakarta, dibuka seada-adanya dengan guru-guru orang Republikein yang tidak mau kerjasama
dengan Pemerintah Federal Belanda (Pemerintah Pendudukan Belanda setelah RI hijrah ke
Yogya). Sekolah Al-Irsyad ini dikenal sebagai Sekolah-Non, dipimpin oleh putra Al-Irsyad, Ali
Harharah.

Dalam situasi demikian, Al-Irsyad mulai mencoba menata diri kembali meski tidak
mudah. Pada 10 Oktober 1948 di Jakarta diangkatlah Ali Salim Hubeish, saudara kandung
Ustadz Umar Hubeish, sebagai ketua umum Pengurus Besar (PB) Al-Irsyad. Di Jakarta juga
dibuka Balai Pertemuan Al-Irsyad yang bertempat di Jalan Kemakmuran 27 pada 29 Juli 1949.

Pada tahun 1949 itu Al-Irsyad kehilangan beberapa tokohnya, di antaranya Salim
Nabhan di Surabaya pada Januari 1949, Awab Albarqi pada 31 Januari 1949, dan Husein
Bamasymusy pada 11 Agustus 1949. Husein pernah menjabat sebagai wakil sekretaris jenderal
PB Al-Irsyad mendampingi Sekjen Abdullah Badjerei.

Untuk makin menata organisasi, diselenggarakanlah Muktamar Al-Irsyad secara


sederhana pada 21-24 Agustus 1949 di Jakarta, yang dihadiri oleh Mohammad Natsir, ketua
umum Partai Masyumi yang baru selesai menjadi menteri penerangan saat itu. Dalam
Muktamar ini terpilih Ali Salim Hubeish sebagai ketua umum didampingi Ali Harharah sebagai
sekretaris jenderal. Namun Ali Harharah tak lama menjabat karena sakit berkepanjangan. Ia
digantikan oleh Abdullah Badjerei, sekjen sebelumnya.

Muktamar 1949 ini sebetulnya merupakan Muktamar ke-27 karena dilakukan setelah
Muktamar ke-26 di Pekalongan pada 1941. Mungkin karena sifat daruratnya Muktamar ini
luput dari hitungan dan dianggap dasar hukumnya hanya sederajat dengan Konferensi, bukan
Muktamar. Yang dihitung sebagai Muktamar ke-27 adalah Muktamar di Solo..

Dalam upaya penataan ini, Ketua Umum Ali Hubeish dan Sekjen Abdullah Badjerei pada
bulan Juli 1950 mengadakan perjalanan ke cabang-cabang.
Setelah Muktamar ini, cabang-cabang mulai menata diri kembali. Al-Irsyad cabang
Jakarta memilih pengurus baru pada 9 Oktober 1949 diketuai oleh Muhamad Basyadi dengan
wakil ketua Said Masy’abi, Muhammad Assulaimani sebagai sekretaris dan Said Mangun
sebagai wakil sekretaris. Sedang bendahara dijabat Haidar Bahasoan. Diangkat pula beberapa
pembantu, yaitu: Abdulmajid Bajened, Saleh Backaar Bawazir, Usman Bahraq, Salim Zaidan,
Abdurrahman Basalamah dan Muchtar Lutfi.

Dalam Rapat Anggota pada 16 Maret 1950 Pengurus Cabang Jakarta ini diganti. Sidik
Surkati diangkat sebagai ketua menggantikan Muhammad Basyadi, dibantu oleh Ahmad
Masy’abi sebagai wakil ketua, Said Mangun sebagai sekretaris dan Abdurrahman Basalamah
sebagai wakil sekretaris. Sebagai pembantu diangkat: Haidar Bahasoan, Salim Zaidan, Usman
Bahraq, dan Muhammad Binnur.

Pada 11-16 Desember 1951 di Solo dilangsungkan Muktamar Al-Irsyad ke-27 di mana Ali
Salim Hubeish kembali terpilih sebagai ketua umum. Di kepengurusan yang terbentuk
kemudian duduk Letkol H. Iskandar Idris sebagai wakil ketua dan Abdullah Badjerei sebagai
sekjen. Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir, duduk sebagai Penasihat. Duduk pula di
kepengurusan H. Tubagus Syu’aib Sastradiwirya sebagai Pembantu.

Dalam Muktamar Al-Irsyad ke-28 di Surabaya yang berlangsung tanggal 6-11 November
1954, Ali Salim Hubeish terpilih kembali sebagai ketua umum. Muktamar yang dihadiri oleh
Mohammad Natsir ini sidang-sidang paripurnanya dipimpin oleh Wakil Ketua PB Al-Irsyad,
Letkol (Purn) H. Iskandar Idris, dengan tegas sehingga sidang tidak bertele-tele. Muhammad
Basyadi terpilih menjadi sekjen.

Namun, Muhammad Basyadi wafat beberapa hari setelah diangkat sebagai sekjen,
tepatnya pada 14 Desember 1954. PB Al-Irsyad dalam rapatnya pada 15 Juli 1955 mengangkat
H. Moh. Saleh Syu’aidy, putera asli Minangkabau sebagai sekjen yang baru, menggantikan
almarhum Muhammad Basyadi.

Pada rentang waktu 1951-1955, Al-Irsyad kehilangan beberapa kader utamanya, yaitu
Said Abdullah Basalamah (28/2-1951), Hasan Argubi (4/9-1953) yang pernah menjabat Kapten
Arab dan sahabat dekat Syekh Ahmad Surkati sampai akhir hayat Syekh Ahmad, Sekjen
Muhammad Basyadi (14/12-1954), dan Syaikh Muhammad Nur Alanshary (29/12-1955).

Dalam masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) di mana seluruh keputusan serta


pemikiran berpusat pada Presiden Soekarno, dan PKI untuk pertama kalinya ikut berperan di
pemerintahan, telah menciptakan masa sulit bagi banyak ormas Islam, termasuk Al-Irsyad.
Upaya Al-Irsyad untuk bangkit kembali pun menjadi tersendat. Pengurus Besar gagal
menyelenggarakan Muktamar kembali, bahkan kemudian nyaris tidak berfungsi sampai meletus
G 30 S PKI.
Dipelopori kaum muda Al-Irsyad, khususnya yang tergabung di Pemuda Al-Irsyad, maka
Ustadz Mohammad Ba’syir, salah satu anggota pengurus periode Muktamar 1954, mengambil
insiatif di tahun 1966 untuk meyakinkan para pengurus PB Al-Irsyad yang tersisa untuk segera
mengadakan Muktamar guna konsolidasi kembali Al-Irsyad. Mohammad Ba’syir memang
dikenal dekat dengan kalangan muda, bahkan diangkat menjadi Penasihat Umum PB Pemuda
Al-Irsyad setelah Musyawarah Besarnya di Solo pada 1964.

Mohammad Ba’syir adalah menantu Ustadz Abul Fadhl Sati Alanshari, saudara kandung
Syekh Ahmad Surkati. Salah satu anaknya adalah Sofyan Ba’syir yang pernah lama menjadi
Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan sekarang menjadi Dirut PLN.

Pendekatan Mohammad Ba’syir pun membawa hasil positif. Ia lalu ditunjuk oleh PB Al-
Irsyad sebagai ketua Panitia Muktamar. Bahkan ia ditunjuk sebagai Mandataris Berkuasa Penuh
seluas-luasnya untuk dan atas nama Pengurus Besar Al-Irsyad sampai Muktamar yang akan
diselenggarakan itu.

Maka akhirnya berlangsunglah Muktamar ke-29 di Cibogo, Bogor (Jawa Barat) dari 12-16
September 1966. Tampak hadir Prof. Dr. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, murid Syekh Ahmad Surkati
asal Lhok Seumawe (Aceh) yang kemudian menjadi ulama besar Muhammadiyah dan pernah
menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad Solo.

Mohammad Ba’syir terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum PB Al-Irsyad.


Terpilihnya tokoh pemersatu Al-Irsyad ini, yang menjadi jembatan kalangan muda dan kaum
tua Al-Irsyad di tahun 1960-an itu, disambut gegap gempita oleh seluruh peserta Muktamar.
Isitilah PB (Pengurus Besar) Al-Irsyad pun berubah menjadi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) untuk
mengakomodasi adanya badan-badan otonom yang makin banyak itu (empat badan otonom).
H. Moh. Saleh Syu’aidy memegang peran sentral dalam menyusun Anggaran Dasar baru Al-
Irsyad yang mengakomodasi badan-badan otonom itu.

Muktamar 1966 ini juga melahirkan badan otonom baru, yaitu Puteri Al-Irsyad, yang
sebelumnya merupakan bagian dari badan otonom Wanita Al-Irsyad.

Setelah cukup lama menyusun formasi DPP Al-Irsyad, Mohammad Ba’syir yang dikenal
tenang, sabar, tekun dan cermat ini akhirnya memutuskan susunan kepengurusan DPP Al-Irsyad
yang baru, yang terdiri dari:

Ketua Umum: Mohammad Ba’syir


Ketua I: Muhammad Aqib
Ketua II: H. Moh. Saleh Syu’aidy
Sekretaris Jenderal: Hussein Badjerei
Wakil Sekjen I: Drs. Abdul Shamad Ngile
Wakil Sekjen II: Abdurrahman Tebe
Bendahara I: H. Said Hilabi
Bendahara II: Ali Binnur
Anggota Paripurna: Salmah Yahya dan Aliyah Basebe (Wanita Al-Irsyad), Faisal Ba’syir SH
dan Mohammad Sobary (Pemuda Al-Irsyad), Bustal Nawawi (Pelajar Al-Irsyad), Farida Faris dan
Aziza Masy’abi (Puteri Al-Irsyad).

Meski lama tinggal di Jakarta, Muhammad Ba’syir kelahiran Tegal, bukan Jakarta. Ia anak
didik Abdul Fadl Surkati, saudara kansung Syekh Ahmad Surkati yang kemudian menjadi
mertuanya. Maka untuk pertama kalinya sejak berdiri di tahun 1914, Pimpinan Pusat Al-Irsyad
tidak lagi dipimpin oleh seorang ketua umum yang asli Jakarta. Akan tetapi, posisi sekretaris
jenderal sebagai orang kedua di organisasi ini tetap berada di tangan jamaah asli Jakarta, yaitu
Hussein Abdullah Bajerei dan kemudian dilanjutkan Ali Binnur sampai tahun 2000.

Setelah periode itu, tak ada jamaah Jakarta yang berada dalam posisi penting di
Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Ini terutama disebabkan oleh tidak aktifnya atau
jauhnya jamaah Jakarta dari aktifitas organisasi Al-Irsyad nasional, sampai kemudian muncul
nama Geisz Salim Chalifah yang memimpin Pemuda Al-Irsyad di tahun 1999.

Pada 20-26 Oktober 1970 digelar Muktamar ke-30 di Bondowoso, sebuah Muktamar
yang sangat penting dalam sejarah Al-Irsyad pasca-kemerdekaan RI. Di forum ini hadir para
sesepuh Al-Irsyad, yang kebanyakan merupakan Muktamar terakhir yang mereka hadiri karena
kemudian mereka meninggalkan kita untuk selama-lamanya, kembali kepada Allah. Para
sesepuh yang hadir antara lain: Abdullah Aqil Badjerei, Umar Salim Hubeish, Umar Sulaiman
Naji Baraba, Salim Basyarahil, Mohammad Saleh Syu’aidy, As’ad Alkalali, Umar Amar, Zein
Bawazir, Adan Nurdiny, Isa Attamimi, Atmawidjaja, Abdullah Amar, Thalib Badar bin Thalib.

Di Muktamar ini Ustadz Umar Hubeish dan Abdullah Badjerei yang asli Jakarta bahkan
secara aktif memimpin Sidang Khusus, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris, yang
berhasil merumuskan Pedoman Asasi Al-Irsyad, yang berisi dua poin penting, yaitu Hakekat Al-
Irsyad dan Mabadi’ Al-Irsyad. Hakekat Al-Irsyad itu semacam definisi Perhimpunan Al-Irsyad,
sedang Mabadi’ Al-Irsyad adalah intisari atau pokok-pokok pemahaman Al-Irsyad, yang
merupakan warisan dari para sesepuh itu bagi generasi pelanjut mereka.

Muktamar Bondowoso juga mencatat sejarah penting di mana diputuskan kembalinya


Al-Irsyad ke khittah-nya sebagai organisasi masyarakat, tidak lagi bermain politik. Apalagi
disadari secara penuh bahwa keterlibatan Al-Irsyad di jalur politik di masa Masyumi dan
Parmusi tak banyak membawa manfaat bagi organisasi, bahkan lebih banyak madharatnya.
Para aktifis Al-Irsyad, terutama kalangan mudanya, lebih asyik aktif di politik daripada
membesarkan organisasi. Akibatnya, lembaga-lembaga pendidikan banyak yang terlantar.
Langkah Al-Irsyad ini mendahului Muhammadiyah yang baru menyatakan balik ke khittah di
Muktamarnya tahun 1971 dan Nahdlatul Ulama di Muktamarnya tahun 1983.

Di forum Muktamar ini pula untuk pertama kalinya bertemu empat badan otonom di
lingkungan Al-Irsyad: Pemuda Al-Irsyad, Wanita Al-Irsyad, Pelajar Al-Irsyad, dan Puteri Al-Irsyad,
yang melangsungkan Musyawarah Besarnya masing-masing.

Muktamar Al-Irsyad ke-30 di Bondowoso secara aklamasi mengangkat Ustadz Said


Hilabi, yang dikenal sebagai ulama intelektual dan ahli balaghah, sebagai ketua umum. Ia
didampingi Hussein Badjerei sebagai sekretaris jenderal dan Ali Binnur sebagai bendahara.
Duduk pula di kepengurusan nama-nama seperti Moh. Soebari (ketua), Geys Amar dan
Soemargono (wakil sekjen), serta Abd. Samad Ngile dan Siswadi sebagai pembantu umum.

Meski berdomisili, berbisnis dan memiliki rumah di Jakarta, Ustadz Said Hilabi bukan asli
Jakarta. Beliau kelahiran Pekalongan yang kemudian pindah ke Pemalang karena ditugaskan
menjadi guru di Madrasah Al-Irsyad Pemalang serta menikah dengan warga Pemalang.

Pendirian Cabang-Cabang Al-Irsyad


Peran irsyadiin Betawi dan Buitenzorg (Bogor) tidak terbatas hanya di Batavia (Jakarta)
saja, tapi juga berperan sangat penting dalam memimpin dan menggerakkan cabang-cabang Al-
Irsyad yang dibentuk di banyak kota. Mereka diutus dan ditugaskan langsung oleh Syekh Ahmad
Surkati untuk memimpin madrasah-madrasah Al-Irsyad yang baru didirikan di kota-kota Jawa
Tengah, Jawa Barat bahkan sampai Jawa Timur. Tanpa kehadiran ustadz-ustadz lulusan
Madrasah Al-Irsyad Jakarta dan didikan langsung Syekh Ahmad Surkati ini, Al-Irsyad tak bakal
berkembang pesat di Jawa.
Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al-Irsyad membuka cabangnya yang pertama di Tegal.
Cabang ini untuk pertama kalinya diketuai oleh Ahmad Ali Baisa, didampingi oleh Muhammad
bin Muhammad Ganis sebagai sekretaris. Madrasahnya dipimpin oleh Abdullah Salim Alatas,
salah satu murid terbaik Syekh Ahmad Surkati lulusan angkatan pertama yang asli Jakarta.
Ustadz Abdullah Alatas ini adalah ayah dari mantan menteri luar negeri Ali Alatas, dan beliau
pernah mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Madrasah Al-Irsyad di Tegal berturut-
turut dipimpin oleh Abdullah Salim Alatas, Muhammad Nur Alanshary, Ali Harharah (lulusan Al-
Irsyad Jakarta), Abdul Fadhel Sati Alanshary (saudara kandung Syekh Surkati), lalu oleh Ali bin
Salim Baraba dan Muhammad Said Ba’syir, lulusan Madrasah Al-Irsyad Tegal sendiri.
Pada tanggal 20 November 1917 dibuka Cabang Al-Irsyad yang kedua, yaitu di
Pekalongan. Ketua pertamanya adalah Said bin Salmin Sahaq. Di awal berdiri, Madrasah Al-
Irsyad Pekalongan dipimpin oleh Umar Sulaiman Naji Baraba, salah seorang anak didik Surkati di
Batavia yang berasal dari Bogor. Setelah Umar Naji, Madrasah di Pekalongan ini dipimpin oleh
Husein Nasir Albakri, Iskandar Idries, Muhammad Munif, murid-murid Syekh Ahmad Surkati asal
Bogor lulusan Madrasah Al-Irsyad Jakarta), lalu Said Thalib Alhamdani (Pekalongan), Sultan
Tebe (Bogor), Hasan Argubi, dan lain-lain.
Tanggal 14 Oktober 1918 dibukalah cabang Al-Irsyad yang ketiga, yaitu di Bumiayu
(sekarang sebuah kecamatan di kabupaten Brebes). Ketua pertamanya adalah Husein
Muhammad Alyazidi. Sedangkan Madrasahnya dipimpin oleh Ustadz Hasan Hamid Alanshari,
bekas guru Jamiat Khair di Krukut dan Bogor yang berasal dari Sudan. Tercatat kemudian nama-
nama besar yang memimpin Madrasah Al-Irsyad Bumiayu ini, antara lain Ustadz Sholah
Abdulkadir Albakri (Lulusan Madrasah Al-Irsyad Jakarta pimpinan Syekh Ahmad Surkati), dan
Ustadz Yusuf Al-Khayyat al-Makki.
Pada 31 Oktober 1918 Al-Irsyad membuka Cabangnya yang keempat, yaitu di Cirebon.
Ketua pertamanya adalah Ali Awad Baharmuz. Sedangkan Madrasahnya pertama kali dipimpin
oleh Awad Albarqi, yang sebelumnya adalah guru Madrasah Al-Irsyad di Molenvliet West,
Batavia (sekarang Jl. Gadjah Mada, Jakarta Barat).
Sebuah peristiwa besar terjadi pada 21 Januari 1919, yaitu dibukanya secara resmi
Cabang Al-Irsyad di kota Surabaya sebagai Cabang kelima Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Pembukaan Cabang Surabaya ini amat penting nilainya dalam sejarah Al-Irsyad karena
kedudukan Surabaya waktu itu sebagai pusat kegiatan pergerakan Islam di Indonesia dan
tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat Muslim pada waktu itu.
Cabang ini pertama kali diketuai oleh Muhammad Rayis bin Thalib, sedang Madrasahnya
dipimpin oleh Abul Fadhel Sati Alanshari, saudara kandung Syekh Ahmad Surkati, dan kemudian
digantikan oleh Ustadz Abdullah Salim Alatas (asal Jakarta). Setelah keduanya kembali ke
Jakarta, maka dilanjutkan oleh dua guru dari Mesir, yaitu Muhammad al-Mursyidi dan
Abdulqadir al-Muhanna. Dan, setelah kedua guru Mesir ini berhenti, dilanjutkan oleh Ustadz
Umar Salim Hubeis dari Jakarta yang merupakan anak didik terkemuka Syekh Ahmad Surkati,
dan Sholah Abdulqadir al-Bakri. Ustadz Umar Hubeis bahkan menetap selama di Surabaya dan
berketurunan Kota Pahlawan ini.
Madrasah Al-Irsyad Banyuwangi pertama kali dipimpin oleh Ustadz Sulthon Ghalib bin
Tebe dari Bogor, alumni sekolah Al-Irsyad Batavia. Kemudian ia dibantu oleh Ustadz Abdullah
Ali Baraba, Ustadz Ahmad bin Abubakar Bawazir, dan Ustadz Ahmad Ghalib bin Tebe.
Pada awal Juli 1927 sebuah cabang Al-Irsyad dibuka dengan resmi di Ranau, Muara Dua,
Palembang. Ranau adalah nama sebuah danau, sekarang termasuk Kecamatan Banding Agung,
Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Pembukaannya dihadiri oleh sekretaris
Hoofdbestuur Al-Irsyad, Ustadz Ali Harharah.
Pada tanggal 13 September 1931 telah diresmikan Cabang Meester Cornelis (sekarang
Jatinegara), diketuai pertama kali oleh Said bin Ali bin ‘Aun, didampingi Muhsin bin Yuslam bin
Said sebagai wakil ketua, Ustadz Abu Zaid Balweel sebagai sekretaris, Said bin Abud Aljabri
sebagai wakil sekretaris, dan Aun bin Ali Balweel sebagai bendahara. Pengurus ini dibantu oleh
beberapa orang penasihat dan komisaris.
Dalam Rapat Anggota pada 16 Maret 1950 Pengurus Cabang Jakarta ini diganti. Sidik
Surkati diangkat sebagai ketua menggantikan Muhammad Basyadi, dibantu oleh Ahmad
Masy’abi sebagai wakil ketua, Said Mangun sebagai sekretaris dan Abdurrahman Basalamah
sebagai wakil sekretaris.

Pada 20 Januari 1952, Cabang Al-Irsyad Jakarta mengangkat pengurus baru, yang terdiri
dari Muhammad Sani Husein Hamzah sebagai ketua, Umar Bawazir sebagai sekretaris, dan
Muhammad Binnur sebagai bendahara.*

Disusun oleh: MANSYUR ALKATIRI (dari berbagai sumber)

Anda mungkin juga menyukai