1901 sebagai langkah permulaan beberapa tokoh masyarakat Arab
berinisiatif mendirikan sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan berdasarkan Islam, yang di beri nama Jamiat Kheir. Berdasarkan permohonan pada 15 Agustus 1903, dengan tujuan organisasi untuk memberikan bantuan kepada orang-orang Arab yang tertimpa musibah kematian dan membantu mereka dalam pelaksanaan perkawinan, kepengurusan perkumpulan Jamiat Kheir adalah sebagai berikut : Ketua : Said bin Ahmad Basandiet Wakil Ketua : Muhammad bin Abdullah Syahab Sekretaris : Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur Bendahara : Idrus bin Ahmad Syahab Surat permohonan itu tidak segera diturunkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemungkinan kedatangan surat tersebut menimbulkan kecurigaan di kalangan pemerintah, yang ketika itu tidak suka terhadap berdirinya suatu perkumpulan yang bergerak di bidang sosial, maka pemerintah segera mengambil beberapa tindakan terhadap Jamiat Kheir, diantaranya ialah membatasi daerah-daerah yang tidak boleh dikunjungi orang-orang Arab dan keturunannya di Indonesia. Sampai dua tahun lamanya ternyata pemerintah belum memberikan jawaban, kemungkinan rasa curiga pemerintah terhadap perhimpunan itu sangat mendalam, akhirnya pada tanggal 17 Juni 1905 Jamiat Kheir berdiri secara resmi dengan beroleh pengesahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Anggaran Dasarnya dapat disetujui. Akan tetapi Jamiat Kheir dilarang untuk mendirikan cabang-cabang organisasi di luar wilayah Batavia. Setelah memperoleh pengakuan sebagai badan hokum, maka sesuai dengan pasal 10 Anggaran Dasar tanggal 15 Agustus 1903, diadakan rapat umum anggota pertama pada tanggal 9 April 1906, di samping terpilihnya kepengurusan Jamiat Kheir yang baru : Ketua : Idrus bin Abdullah al-Masyhur Wakil Ketua : Salim bin Awad Balweel Sekretaris : Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur Bendahara : Idrus bin Ahmad Syahab. Tanggal 27 April 1907 haji Muhammad Mansur mengajar di sekolah Jamiat Kheir. Ia dipilih menjadi guru karena kemampuannya di dalam mengajarkan bahasa Melayu dan pengetahuan agama. Beliau menyerukan persatuan umat dengan slogannya yang terkenal ‘rempuk’ yang artinya musyawarah. Beliau juga salah satu ulama yang alim dalam ilmu falak. Tanggal 31 Januari 1908 Jamiat Kheir mencapai kemajuan yang cukup pesat dan gaungnya cepat tersebar hingga banyak daerah yang meminta didirikan cabang Jamiat Kheir, namun karena adanya larangan untuk tidak mendirikan cabang di luar Batavia, maka Jamiat Kheir menganjurkan agar mereka mendirikan perkumpulan sendiri. Mereka akhirnya menggunakan nama ‘Kheir’ pada setiap nama belakang perkumpulan mereka, sebagai contoh madrasah al- Kheiriyah yang didirikan di Banten, Banyuwangi dan Teluk Betung. Selain itu anggotanya pun bertambah banyak. Pada tahun 1909 selain melaksanakan pengajaran melalui madrasah, dilaksanakan pula pendidikan untuk para ibu dan bapak secara rutin setiap hari Minggu. Pada tanggal 22 Juni 1910, sesuai dengan rapat anggota bulan April 1910 diajukan kembali perubahan Anggaran Dasar untuk ketiga kalinya. Surat permohonan diajukan oleh Muhammad bin Abdurrahman Syahab sebagai ketua dan Muhammad bin Syech bin Syahab sebagai sekretaris dan perubahan tersebut disetujui pada tanggal 3 Oktober 1910. Tujuan Jamiat Kheir semakin meluas, diantaranya : 1. mendirikan dan mengurus gedung-gedung sekolah serta bangunan lain di Batavia untuk kepentingan umat Islam, 2. mengupayakan sekolah-sekolah untuk memperoleh pengetahuan agama, 3. mendirikan perpustakaan yang mengupayakan buku-buku untuk menambah pengetahuan dan kecerdasan. Pada tahun 1911 pengurus Jamiat Kheir mendatangkan seorang guru bernama Muhammad al-Hasyimi yang berasal dari Tunis, dan pernah memberontak kepada pemerintahan Perancis. Ia datang ke Indonesia memperkenalkan gerakan kepanduan dan juga olah raga dalam lingkungan sekolah Jamiat Kheir. Pada tahun 1912, Jamiat Kheir ikut aktif dalam membantu perjuangan para pejuang Libya. Di antara kegiatan Jamiat Kheir dalam membantu perjuangan itu adalah mengadakan upacara bela sungkawa untuk para syuhada Tarobles Barat yang syahid dalam pertempuran melawan tentara penjajahan Italia dan mengumpulkan bantuan untuk anak-anak yatim kaum mujahid di Tarobles Barat, bahkan mengumpulkan dana bantuan untuk pembangunan sarana kereta api di negeri Hijaz. tanggal 26 Januari 1913 anggota Jamiat Kheir mendirikan N.V. Handel- Maatschappij Setija Oesaha yang bergerak di bidang percetakan. Setija Oesaha didirikan di Surabaya dan kepengurusannya dipercayakan kepada HOS Cokroaminoto yang menjabat sebagai direktur. Antara tahun 1914 dan 1915, sekolah yang didirikan oleh masyarakat Arab dan pribumi yang mengambil kurikulum Jamiat Kheir sebagai kurikulum sekolahnya telah terdapat dua puluh tempat di pulau Jawa dan pulau lainnya, yaitu di Batavia, Serang, Sukabumi, Bandung, Tasik Malaya, Majalengka, Cilacap, Banjarnegara, Cirebon, Cianjur, Tulung Agung, Bangil, Sidoarjo, Gresik, Banyuwangi, Sumenep, Banjarmasin, Demak, Solo, Tegal dan Tanjung Pandan. Pada tahun 1917 dilakukan penangkapan dan interogasi terhadap tokoh Jamiat Kheir dan beberapa diantaranya kemudian dipenjarakan, karena dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda, karena pengaruhnya dapat membangkitkan semangat Islam, semangat jihad fisabilillah di kalangan kaum muslimin Indonesia. Pada akhirnya di tahun 1918 pemerintah memutuskan bahwa Jamiat Kheir sebagai organisasi yang didirikan oleh warga Timur Asing dilarang terlibat dalam kegiatan organisasi warga Indonesia. Karena Jamiat Kheir sebagai perkumpulan sosial telah dicurigai pemerintah akibat kegiatan politiknya, maka pada tanggal 17 Oktober 1919 dilakukan perubahan bentuk perkumpulan menjadi yayasan pendidikan. Pada tanggal tersebut Jamiat Kheir berubah menjadi Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan School Djameat Geir, tertanggal 17 Oktober 1919 yang dimuat dalam akta nomor 143 notaris Jan Willem Roeloffs Valk di Jakarta. Sejak saat itu kegiatan Jamiat Kheir dilakukan melalui wadah Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir. Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al- Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915. Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-‘Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al- Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair - yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905. Nama lengkapnya adalah SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD ASSOORKATY AL-ANSHARY. Al-Irsyad adalah organisasi Islam nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: “Warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa.” Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab. Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta sosial dan dakwah bertingkat nasional. Perhimpunan ini adalah perhimpunan mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik apapun juga, serta tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis. Syekh Ahmad Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh Muhammad bin Abdulhamid al-Sudani. Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh Ahmad Surkati diangkat sebagai Pemilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami’at Khair di Jakarta dan Bogor. Berkat kepemimpinan dan bimbingan Syekh Ahmad Surkati, dalam waktu satu tahun, sekolah-sekolah itu maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami’at Khair, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin). Sekalipun Jami’at Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas moderen, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami’at Khair dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad tentang kafaah (persamaan derajat). Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur dari Jami’at Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan di hari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al- Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al- Arabiyah (kemudian berganti nama menjadi Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al- Islamiyyah). Setelah tiga tahun berdiri, Perhimpunan Al-Irsyad mulai membuka sekolah dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa. Setiap cabang ditandai dengan berdirinya sekolah (madrasah). Cabang pertama di Tegal (Jawa Tengah) Pada 1917, dimana madrasahnya dipimpin oleh murid Syekh Ahmad Surkati angkatan pertama, yaitu Abdullah bin Salim al-Attas. Kemudian diikuti dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Al-Irsyad juga berperan penting sebagai pemrakarsa Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah. Sejak itu pula, Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam ‘A’laa Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin. Sejak didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah Islam. Bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dan dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit. Yang terbesar saat ini adalah RSU Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan. Tercatat banyak lulusan Al-Irsyad, baik dari kalangan keturunan Arab maupun non-Arab yang telah memainkan peran penting di berbagai bidang. Lulusan pribumi yang turut berperan penting dalam modernisme Islam di Indonesia antara lain: Yunus Anis: Alumnus Al-Irsyad yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang menonjol dari Gerakan Muhammadiyah. Prof. Dr. T.M. Hasby As-Shiddique: Putera asli Aceh, penulis terkenal dalam masalah hadist, tafsir, dan fikih Islam moderen. Prof. Kahar Muzakkir: Berasal dari Yogyakarta. Lulus dari Madrasah Al-Irsyad, Kahar Muzakkir melanjutkan studinya di Dar al-Ulum di Kairo. Muhammad Rasjidi: Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, berasal dari Yogyakarta. Prof. Farid Ma’ruf: Asli Yogyakarta, profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh besar Muhammadiyah di awal-awal berdirinya. Al-Ustadz Umar Hubeis: Jabatan pertamanya adalah sebagai Direktur Madrasah Al- Irsyad Surabaya. Said bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani: Lulusan Al-Irsyad Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi professor di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Abdurrahman Baswedan: Pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) dan aktifis Masyumi ini pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan RI. Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi. Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947. NU berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945, dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Masyumi pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 dikarenakan tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Melalui Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) para pemimpin Islam tidak menyerah begitu saja, pada sidangnya tanggal 7 Mei 1967 dibentuklah panitia 7 (tujuh) yang diketuai oleh tokoh Muhammadiyah yaitu H. Faqih Usman, setelah melalui beberapa kali pertemuan dan perjuangan yang berat, akhirnya pemerintah memberikan izin untuk mendirikan sebuah parpol baru, yaitu Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia), untuk menampung aspirasi umat Islam, khususnya bekas konstituen Masyumi, dengan syarat mantan-mantan pemimpin Masyumi tidak boleh menduduki jabatan yang penting dalam tubuh partai Parmusi. Parmusi disahkan berdirinya melalui Keputusan Presiden No. 70 tanggal 20 Februari 1968, kemudian diangkatlah sebagai Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan Sekretaris Umum Drs.Lukman Harun, yang keduanya adalah aktivis Muhammadiyah. Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta. Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu: Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland, dan Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya. Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain: Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi; Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat; Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman; Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme; dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat Karena itu, jika disimpulkan bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar Persatuan Islam (PERSIS)
Dibanding dengan Muhammadiyah, Persis tidaklah terlalu giat dalam
membentuk banyak cabang. Pembentukan suatu cabang tergantung pada inisiatif peminatnya dan tidak ditentukan oleh program pimpinan pusat. Jika muhammadiyah berusaha mengiring orang masuk, lalu kemudian membina orang tersebut di dalam organisasi, maka Persis mengutamakan membina dahulu diluar, lalu yang dianggap sudah layak baru direkrut menjadi anggota. Tidaklah mengherankan jika organisasi persis jauh lebih kecil dibanding Muhammadiyah dalam jumlah anggota dan aktivitasnya. Persatuan Islam hanya memiliki 200 cabang di seluruh Indonesia, yang menangani ratusan sekolah dan pesantren. Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926: 1. Motif Agama. Bahwa Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan Agama Allah di Nusantara, Terlebih Belanda-Portugal tidak hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen-Katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-misionaris Kristiani ke berbagai wilayah. 2. Motif Nasionalisme. NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. 3. Motif Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jama’ah. NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Para Pengikut Sunnah Nabi, Sahabat dan Ulama Salaf Pengikut Nabi-Sahabat), sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru (tidak dikenal zaman Rasul-Sahabat-Salafus Shaleh/ajaran ahli bid'ah). Pembawa ajaran-ajaran bid'ah yang sesat (bid'ah madzmumah) menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebagai berikut: a. Kaum Khawarij b. Kaum Syi'ah, c. Aliran Mu'tazilah d. Faham Qodariyyah e. Aliran Mujassimah atau kaum Hasyawiyyah f. Ajaran-ajaran Para Pembaharu Agama Islam (Mujaddid) Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926 ulama- ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa'ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari . Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa'ud adalah: 1) Meminta kepada raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. 2) Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid. 3) Mohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh. 4) Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut. 5) Jam'iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa'ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.