net/publication/349075276
CITATIONS READS
0 168
2 authors:
All content following this page was uploaded by Hisam Ahyani on 06 February 2021.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Sholawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhamad SAW, para keluarganya, para sahabatnya dan
seluruh umatnya hingga akhir zaman. Perlu diketahui, bahwa buku Diktat ini
disusun dalam rangka untuk menjadi bahan referensi bacaan mata kuliah Ulmul
Qur’an ini. Materi-materi bahasan yang terdapat dalam Diktat Pembelajaran mata
kuliah Ulmul Qur’an ini. Dengan segala kerendahan hatisaran dan kritik demi
perbaikan selanjutnya, penulis sambut dengan senang hati. Dalam hal ini penulis
mengaharapkan saran-saran yang membangun ke arah yang positif demi perbaikan
selanjutnya.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan
terima kasih kepada bapak KH. Muharir Abdurrohim, S.H, M.Pd.I. Selaku
Ketua STAI Miftahul Huda Al Azhar Banjar. Demikian kepada Bapak Dr. Arief
Efendi, M.Pd selaku Ketua Lembaga Penjamin Mutu STAI Miftahul Huda Al Azhar
Banjar, dan juga kepada Bapak Hisam Ahyani, M.H selaku editor penulisan
Diktat ini, dan Segenap Civitas Akademika STAIMA Kota Banjar, tak lupa pula
kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian penulisan diktat ini,
penulis ucapkan banyak terima kasih semoga amal baik mereka senantiasa di terima
di sisi Allah SWT. Amin.
Akhirnya penulis mohon maaf dan maklum yang sebesar-besarnya apabila
dalam menusun dan menyajikannya kurang berkenan. Dengan mengharap ridha
Allah SWT, mudah-mudahan diktat ini menjadi wasilah sebagai amal kebaikan.
Demikian kata pengantar ini penulis sampaikan kepada pembaca, saran dan kritik
membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan Diktat ini akan penulis terima
dengan senang hati. Dan hanya kepada Allah SWT kita mengharapkan hidayah dan
taufik-Nya.
Banjar, 12 Agustus
2020 Penulis,
ii
DAFTAR ISI
iii
B. Al-Qur'an tentang Muhkam dan Mutasyabih ............................................... 69
C. Kriteria Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih............................................... 70
D. Contoh-contoh Ayat Muhkam dan Mutasyabih ........................................... 70
E. Hikmah dari Keberadaan Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih ................... 71
9. I’JAZ AL- QUR'AN ............................................................................................... 73
A. Pengertian I'jaz al-Qur'an ............................................................................. 74
B. Macam-Macam Mujizat ............................................................................... 77
C. Pendapat Ulama tentang I'jaz al-Qur'an ....................................................... 79
D. Kadar Kemu'jizatan al-Qur'an ...................................................................... 80
E. Aspek-aspek I'jaz al-Qur'an.......................................................................... 82
10. KISAH-KISAH DALAM AL-QUR'AN (ILMU QASHASH AL-QUR'AN) ... 84
A. Pengertian Qashash ...................................................................................... 84
B. Macam-macam Kisah dalam Al-Qur'an ....................................................... 84
C. Faedah-faedah Kisah-kisah Al-Qur'an ......................................................... 85
D. Hikmah Berulang-ulang Disebut Kisah dalam Al-Qur'an............................ 85
11. PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR'AN (ILMU AMTSAL AL-QUR'AN) 87
A. Faedah-faedah Amtsal .................................................................................. 88
B. Macam-macam Amtsal dalam Al-Qur'an..................................................... 90
iv
1. ULUMUL QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Al-Qur’an
Penggunaan kata Al-Qur‟an dalam kitab suci terdapat pada sekitar 68
ayat, yang seluruhnya menjelaskan dan menunjukkan secara khusus tentang
1
nama Al-Qur‟an . Oleh karena itu, nama Al-Qur‟an lebih populer
pemakaiannya dari nama lain padahal kitab suci itu memiliki nama-nama
selain Al-Qur‟an antara lain al-Kitab, al-Kalam, al-Furqan, adz-Dzikr, asy-
2
Syifa‟ dan al-Qoul . Dengan Al-Qur‟an dijadikan nama yang umum bagi
kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai mukjizat abadi.
Terd
apat atsar dari Imam Syafi‟I seperti yang dinukilkan oleh Ibrahim
al-Abyari bahwa dia berkata : Al-Qur‟an adalah nama yang bukan mahmuz,
tidak diambil dari kata qira‟ah, akan tetapi nama bagi kitab Allah,
3
sebagaimana Taurat dan Injil.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hamzah pada lafaz Al-
Qur‟an merupakan masdar dari ةَاااقِاْلاseperti kata رٌن لْفdan ٌن لْفاُة
َُ yaitu
َ َا ُة َا
untuk menyebut kitab yang dibaca, menamakan maf‟ul (obyek) dari
masdarnya. Ada juga yang mengatakan bahwa Al-Qur‟an adalah nama sifat
y
ang mengikuti bentuk wazan fu‟lan, diambil atau musytaq dari qar‟un
4
yang bermakna „mengumpulkan‟. Namun tidak semua yang dinamakan
kumpulan itu disebut Qur‟an sebagaimana tidak semua kumpulan
pembicaraan disebut Qur‟an. Kitab suci disebut Qur‟an karena memuat
kumpulan ajaran kitab-kitab samawi terdahulu dan merupakan nama
5
dari hidangan Allah yang merupakan bekal taqwa terbaik.
1
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam Al-Mufahras li alfadzi al-
Qur‟an (Indonesia : Maktabah Dahlan, tt). H. 685-686. Bandingkan Muhtashar
Tafsir Al-Thabari bihamisyi Al-Qur‟an al-Karim, Muzdayyilan bi Asbabi al-Nuzul li
al-Wahidi (Cairo : Dar al-Fajr al-Islamy, 1995) cet. 8, h.44.
2
Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulumi al-Qur‟an (Jakarta : Pustaka Amani,
1988) h. 15
3
Ibrahim al-Abyari, Sejarah Al-Qur‟an (Semarang : Dina Utama, 1993) h. 68.
4
Ibid
5
Lihat Al-Qur‟an dan Para Pembacanya
1
D
efinisi Al-Qur‟an yang merupakan kesepakatan jumhur ulama
adalah kalam Allah yang berupa mukjizat diturunkan yang kepada
penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril as, tertulis
dalam mushaf diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir.
Membacanya merupakan ibadah, diawali dengan Al Fatihah dan ditutup
6
dengan Surat An-Nas.
Sedangkan mushaf adalah kumpulan lembaran yang ditulis diantara
dua tepiannya, diucapkan juga dengan mishaf. Penamaan kitab Allah dengan
mushaf itu setelah dikumpulkan dan ditulisnya Al-Qur‟an. Hal itu merupakan
pemberian nama oleh manusia saja. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa
Khalifah Utsman Ibn „Affan setelah Al-Qur‟an selesai ditulis beliau mencari
7
nama, lalu orang-orang menemukan nama ini (Mushaf) .
6
Ibrahim Khalifah, Minnat al-Mannan fi-ulumi al-Qur‟an (Cairo : Jami‟ al-
Azhar, 1992) h. 25. Muhammad Abdul „Adhim al-Zarqani, Manahilu al‟Irfan fi
„Ulumi al-Qur‟an (Beirut : Dar al-Kutub al-„Arabi, 1995) cet 1, h-21-22
7
Ibrahim Khalifah, Minnatul al Mannan h. 25
8
Al-Zarqani, Manahilu, h.23-24
2
di
sebutkan dalam definisi itu saja, tetapi banyak hal yang secara keseluruhan
9
tidak mungkin disebutkan definisinya.
9
Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur‟an (Jakarta : Amzah, 2009) Cet.1,h.2
3
10
SAW, mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadist.
Perjalanan Ulumul Qur‟an pada masa Nabi tidak mengalami
perubahan berarti pada zaman Abu Bakar Al-Shiddiq ra, hingga pada
masa Amirul Mu‟minin Umar Ibn Al-Khattab ra.
K
emudian datang masa kekhalifahan Utsman ra dan keadaan
menghendaki untuk menyatukan kaum muslimin dengan satu mushaf, dan hal
itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf iman. Salinan-salinan mushaf
itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut
dinamakan Rasm al-‟Usmani yaitu dinisbahkan kepada Utsman ra. Dan ini
11
dianggap sebagai permulaan dari Ilmu Rasm Al-Quran.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali r.a. Dan atas perintahnya,
Abul Aswad al-Du‟ali (69 H/688 M) meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara
pengucapan yang tepat, baku dan memberikan ketentuan harakat pada
Qur‟an. Ini juga dianggap sebagai permulaan „ilmu i‟rab Al-Quran.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam
menyampaikan makna-makna Al-Qur‟an dan penafsiran ayat-ayatnya
yang berbeda-beda dalam memahaminya, dan karena adanya perbedaan
lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Hal yang
demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi‟in.
Diantara para mufassir yang termasyhur dari para sahabat adalah
empat orang khalifah, kemudian Ibn Mas‟ud, Ibn „Abbas, Ubai Ibn
Ka‟ab, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa Al-Asy‟ari dan Abdullah Ibn Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah Ibn
Abbas, Abdullah Ibn Mas‟ud, dan Ubai Ibn Ka‟ab, namun apa
yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti merupakan tafsir Al-Quran
yang sempurna. Tetapi tafsir tersebut terbatas hanya pada makna
beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan
penjelasan sesuatu yang masih global. Mengenai para tabi‟in, diantara
mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para
sahabat di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh dan melakukan
ijtihad dalam menafsirkan ayat.
10
Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulum al-Qur‟an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008)
cet. 8, h.42. Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an h.6.
11
Shihab, Sejarah h. 43
4
Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal ialah Sa‟id
Ibn Jubair, Mujahid, „Ikrimah bekas sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus Ibn
Kisan al-Yamani dan „Atha‟Ibn Abi Rabah.
Diantara murid-murid Ubai Ibn Ka‟ab yang terkenal di Madinah, Zaid
Ibn Aslam, Abu Al-Aliyah dan Muhammad Ibn Ka‟ab al-Qurazi.
Dari murid-murid Abdullah Ibn Mas‟ud di Irak yang
terkenal „Alqamah Ibn Qais, Masruq, al-Aswad Ibn Yazid, „Amir al-Sya‟bi,
Hasan al-Basri dan Qatadah Ibn Di‟amah al-Sadusi.
Pada abad ke-2 H (8 M) adalah masa pembukuan (tadwin) yang
dimulai dengan pembukuan hadits dengan segala babnya yang bermacam-
macam; dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka
sebagian ulama membukukan tafsir Al-Qur‟an yang diriwayatkan
dari Rasulullah SAW, dari para sahabat atau dari para tabi‟in. Di antara
mereka yang terkenal adalah Yazid Ibn Harun al-Sulami (w. 117 H/735 M),
Syu‟bah Ibn Hajjaj (w. 160 H/776 M), Waki‟ Ibn Jarrah (w. 197 H/812 M)
Sufyan Ibn „Uyainah (w. 198 H/814 M) dan „Abdurrazaq Ibn Hammam
12
(w. 112 H/827 M) . Mereka semua adalah para ahli hadits. Karya mereka
dapat dikatakan sebagai kitab-kitab tafsir pertama.
Kemudian langkah mereka diikuti oleh segolongan ulama. Mereka
menyusun tafsir Al-Qur‟an yang lebih sempurna berdasarkan susunan
ayat. Dan yang paling terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at-Thabari
(w. 310 H/923 M). Tafsir yang pada mulanya dinukilkan melalui
penerimaan dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian
hadits; selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah
proses kelahiran al-tafsir al-ma‟tsur, kemudian diikuti oleh al-tafsir bi al-
ra‟yi.
Sejalan dengan perkembangan metode, corak dan orientasi tafsir, lahir
pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan
tertentu yang berhubungan dengan Al-Qur‟an dan hal ini sangat diperlukan
oleh seorang mufassir. Misalnya „Ali Ibn al-Madani (w. 234 H/849 M), guru
dari Imam al-Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbabun-nuzul. Abu
12
Manna‟ Al-Qaththan, Maba‟isfi‟ Ulumi al-Qur‟an (Riyadh : Mansyurat al-Ashr
al-Hadits, t.t) h. 12
5
„
Ubaid al-Qasim Ibn Salam (w. 224 H) menulis tentang Nasikh-Mansukh dan
Qira‟at dan fadhail Al-Qur‟an. Ibn Qutaibah (w. 276 H/889 M),
menyusun tentang Musykilat al-Qur‟an, Muhammad Ibn Ayyub Al-
Dharwis (2. 294 H/907 M) menulis tentang ayat-ayat yang turun di
Makkah dan Madinah. Meskipun ilmu-ilmu itu berkembang sendiri-
sendiri dan berdiri secara parsial, kesadaran bahwa ilmu-ilmu itu
merupakan satu kesatuan sebenarnya sudah muncul. Hal itu terbukti dengan
ucapan al-Syafi‟I mengatakan bahwa ilmu al-Quran itu jumlahnya banyak
13
sekali.
Pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur‟an dalam satu buku khusus dimulai
pada abad ke-4 H oleh Muhammad Ibn Khalaf Ibn Marzaban (w. 309 H/921
M), menyusun Al-Hawi fi „Ulumil Qur‟an. Dengan munculnya buku ini,
Ulumul Qur‟an mulai dipandang sebagai satu ilmu komprehensif yang
meliputi berbagai cabang ilmu. Jejak Ibn Marzaban ini kemudian diikuti oleh
yang lainnya, Abu Bakr Qasim al-Anbari (w. 328 H/940 M), menulis tentang
„Ajaib Ulumu al-Qur‟an. Muhammad Ibn Ali al-Afdhawi (w. 338 H/998 M),
menyusun Al-Istighna fi „Ulumil Qur‟an. Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa‟id al-
Hufi (w. 430 H/1039 M), menulis al-Burhan fi Ulumi al-Qur‟an. „Ibn al-
Jauzi (w. 597 H/1201 M),menulis Funun al-Afnan fi‟Ajaibi „Ulumi Al-
Qur‟an dan al-Mujtaba fi „Ulumin Tata‟allaq bi al-Qur‟an. Al-Sakhawi (w.
597 H/1201 M) menulis al-Mursyid al-Wajiz fi Ma Yata‟allaq bi al-Qur‟an
Al-Aziz. Badru al-Din al-Zarkasyi (w. 794/1392 M) menulis karya
monumentalnya al-Burhan fi Ulumi al-Qur‟an. Al-Suyuthi (w. 911 H/1505
M) menulis al-Itqan fi „Ulumi al-Qur‟an.
Sejak akhir abad ke-3 Hijriah Ulumul Qur‟an telah menjadi ilmu
komprehensif yang meliputi berbagai cabang ilmu. Meskipun tulisan-tulisan
yang membahas Ulumul Quran baik dalam kajian utuh atau secara parsial
masih terus bermunculan hingga sekarang ini. Di antara kitab-kitab Ulumul
Qur‟an yang terbit pada masa modern ini adalah I‟jaz al-Qur‟an
karya Musthafa Shadiq al-Rafi‟I, at-Tibyan fi Ulumi al-Qur‟an karya
Thahir al-Jaziri, Manhaj al-Furqan fi Ulumi al-Qur‟an karya Muhammad
Salamah,
13
Adnan Muhammad Zarzur, „Ulum al-Qur‟an, Madkhal ila Tafsir al-Qur‟an
wa Bayani I‟jazihi, (Beirut : Al-Maktab al-Islami, 1981) h. 125, al Qaththan,
Maba‟its h. 13.
6
Manahilu al-„Irfan fi „Ulumi al-Qur‟an karya Muhammad Abd Al-„Adhim
al-Zarqani, Mabahits fi „Ulumi al-Qur‟an karya Shubhi Shaleh, dan
Mabahits fi Ulumi al-Qur‟an karya Manna „al Qaththan dan lain-lainnya.
14
Nuruddin „Itr, „Ulumu al-Qur‟an al-Karim (Damaskus, Matba‟ah al-Shabah,
1996) cet.6, h. 87-88.
7
terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini menerangkan makna-
makna kata yang halus, tinggi dan pelik.
7. Ilmu I‟rabi al-Qur‟an yaitu ilmu yang menerangkan baris al-Qur‟an
dan kedudukan lafal dalam ta‟bir (susunan kalimat).
8. Ilmu Wujuh wa al-Nazhair yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata
Al-Qur‟an yang banyak arti, menerangkan makna yang dimaksud
pada satu-satu tempat.
9. Ilmu al-Muhkam wa al-Mutasyabih yaitu ilmu yang menyatakan ayat-
ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap mutasyabih.
10. Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat
yang dianggap mansukh oleh sebagian mufassir.
11. Ilmu Bada‟I al-Qur‟an yaitu ilmu yang membahas keindahan-
keindahan al-Qur‟an. Ilmu ini menerangkan kesusastraan al-Qur‟an,
kepelikan dan ketinggian balaghahnya.
12. Ilmu I‟jaz al-Qur‟an yaitu ilmu yang menerangkan kekuatan susunan
tutur al-Qur‟an, sehingga ia dipandang sebagai mukjizat.
13. Ilmu Tanasub ayat al-Qur‟an yaitu ilmu yang menerangkan
persesuaian antara suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya,
suatu surat dengan surat yang lain berdasarkan kepada susunan runtun
ayat.
14. Ilmu Aqsam al-Qur‟an yaitu ilmu yang menerangkan arti atau
maksud-maksud sumpah Tuhan atau sumpah-sumpah lainnya yang
terdapat di al-Qur‟an.
15. Ilmu Amtsal al-Qur‟an yaitu ilmu yang menerangkan segala
perumpamaan yang ada dalam al-Qur‟an.
16. Ilmu Jidal al-Qur‟an yaitu ilmu untuk mengetahui macam-macam debat
yang dihadapkan al-Qur‟an kepada kaum musyrikin dan lainnya.
17. Ilmu Adab Tilawah Al-Qur‟an yaitu ilmu yang mempelajari segala
bentuk aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan di dalam membaca
Al-Qur‟an, segala kesusilaan, kesopanan dan ketentuan yang harus
dijaga ketika membaca al-Qur‟an.
18. Dan ilmu-ilmu lain yang membahas tentang al-Qur‟an.
8
2. NUZULUL QUR’AN
9
4. Sebagian ulama mengatakan, kata Nuzul itu berarti turun secara
berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Contohnya, seperti dalam ayat
Al-Qur‟an antara lain :
10
untuk Al-Qur‟an sebagai kalam Allah SWT yang berada pada
Dzat-Nya. Karena itu, arti kalimat Nuzulul Qur‟an itu harus
dipakai makna majazi, yaitu
“menetapkan/memantapkan/memahamkan/ menyampaikan Al-
Qur‟an. Baik disampaikannya Al-Qur‟an itu ke Lauhil Mahfudh
atau ke Baitul Izzah di langit dunia, maupun kepada Nabi
Muhammad SAW sendiri.
Sebagian ulama antara lain Imam Ibnu Taimiyah dkk mengatakan :
pengertian Nuzulul Qur‟an itu juga tidak perlu dialihkan dari
arti hakiki kepada arti majazi. Maka kata Nuzulul Qur‟an itu
berarti “turunnya Al-Qur‟an”. Sebab, arti tersebut sudah biasa
digunakan dalam bahasa Arab.
11
. .
Artinya : “Bahkan (yang didustakan mereka) itu adalah Al-Qur‟an yang
mulia yang tersimpan di Lauh Mahfudh”. (QS. Al-Buruj : 21-22)
2. Tahap Kedua (At-Tanazul Ats-Tsani)
Setelah Al-Qur‟an diturunkan di Lauh Mahfudh ke Baitul „Izzah
(tempat yang berada di langit dunia). Diterangkan dalam ayat Al-
Qur‟an dan hadits, tentang penurunan Al-Qur‟an dalam tahap dua ini :
)3 : (ناخدال
Artinya : “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al-Qur‟an pada
malam yang diberkahi”. (QS. Al-Dukhan : 3)
Dalam hadits diterangkan yakni :
وف قِكّذ ا نمقفآُّة ال ل َاصف ِّقػق فقعلض ِ يب ل لَاع فل يػْ ةد ا اقآ سّالنم َاةَع ا تػق
ْل َا َا َا َا َا َا َا ِق ِق َا ََا ا َاَا َا
وب ؿِػني ُليبْ )س َ ك لِقحا َاهَاا ِْكر(ّقملسَاكَّ ويلعُةْلهاَِاْلىَالْصَاِّبَِنَااَّ ىْلَالعُقبيألقن ةْع َاملة
ْلِق ق ِ ِ ِبع نبا ْنعُ ِيرب
Artinya :”Al-Qur‟an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di
ُ
Baitul „Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril
menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW”. (HR. Hakim)
3. Tahap Ketiga (At-Tanzzul Ats-Tsalits)
Al-Qur‟an diturunkan dari Lauh Mahfudh ke Baitul „Izzah lalu ke
Dunia. Yang diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad SAW melalui
Malaikat Jibril dengan cara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan.
Dijelaskan dalam firman Allah SWT :
. .
)195-193 : (اآ عش ا.
Artinya :”…. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang
yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. Al-
Syu‟ara : 193-195).
12
Allah SWT juga berfirman dalam Qur‟an
. .
)195-192 : (ءارعشلا. .
Artinya : “Dan Qur‟an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam; dia dibawa turun oleh ar-ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang
memberi peringatan; dengan bahasa arab yang jelas (Asy-Syu‟ara (26)
: 192-195).
Dan firman-Nya :
)102 : (لحنلا
Artinya : “Katakanlah : Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Qur‟an itu dari
Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah
beriman dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri kepada Allah SWT. (An-Nahl (16) : 102).
Dan firmannya
13
Tanzil
berarti turun secara berangsur-angsur sedang inzal hanya
16
menunjukkan turun atau menurunkan dalam arti umum.
Qur‟an turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun : 13 tahun
di Mekah menurut pendapat yang kuat, dan 10 tahun di Madinah.
Penjelasan tentang turunnya secara berangsur itu terdapat dalam firman
Allah SWT :
16
Lihat Al-Mufradat oleh ar-raqib.
14
)185 : (ةرقبال
Artinya : “Bulan Ramadhan bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasannya mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan batil).
Al-Zarqani dalam Manahil Al-Irfan berpendapat bahwa proses
turunnya Al-Qur‟an terdiri atas tiga tahapan : pertama, turunnya
Al-Qur‟an ke Al-Lawh Al-Mahfuzh; kedua, dari Al-Lawh Al-
Mahfuzh ke Bayt Al-Izzah, dan ketiga, dari Bayt Al-Izzah kepada
Nabi Muhammad SAW. Al Zarqani membahas masalah ini
secara rinci dengan mengungkapkan beberapa dalil yang
mendukungnya.
17
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an. H. 53
15
4. Memudahkan untuk menghafal dan memahami Al-Qur‟an bagi kaum
muslimin.
5. Sebagai petunjuk kepada Dzat yang mengeluarkan Al-Qur‟an,
serta sesungguhnya ia turunkan oleh Allah SWT yang Maha
Bijaksana dan Maha Terpuji.
6.
Sebagai argumentasi berbagai peristiwa dan kejadian dan sebagai
18
peringatan ketika itu.
16
3. Terdapat seruan dengan ya-ayyuhannas dan tidak terdapat ya-
ayyuhalladziina aamanuu, terkecuali dalam surat Al-Hajj yang
diakhirinya terdapat ya-ayyuhalladziina aamanu irka‟u wasjudu (ayat 77
S.22, Al-Hajj) kebanyakan ulama mengatakan bahwa surat itu Makkiyah.
Surat-surat yang dikecualikan, ialah Surat Al-Baqarah (ayat 21-nya
diawali dengan ya ayyuhannas dan ayat 168 demikian pula). Dan surat
An-Nisa (ayat pertamanya diawali dengan ya ayyuhannas demikian pula
ayat 33-nya diawali dengan ya ayyuhannaas).
4. Mengandung kisah Nabi-nabi dan umat-umat yang telah lalu, terkecuali
surat Al-Baqarah.
5. Terdapat kisah Adam dan Idris, terkecuali surat Al-Baqarah.
6. Surat-suratnya dimulai dengan huruf At-Tahajji, terkecuali surat Al-
Baqarah dan Ali Imran.
17
3. Didalamnya didebat pada ahli kitab dan mereka diajak tidak berlebih-
lebihan dalam beragama, seperti kita dapati dalam surat Al-Baqarah, An-
Nisa, Ali Imran, At-Taubah dan lain-lain.
18
g. Al-Adiyat
h. At-Takatsur
i. An-Najm
Di antara surat-surat yang turun dalam Mahalah Mutawasithah di Mekah,
ialah :
a. Abasa
b. At-Tin
c. Al-Qariah
d. Al-Qariah
e. Al-Qiyamah
f. Al-Mursalat
g. Al-Balad
h. Al-Hijr
Diantara surat-surat yang turun dalam Marhalah Khitamiyah di Mekah,
ialah :
a. Ash-Shaffat
b. Az-Zukhruf
c. Ad-Dukhan
d. Adz-Zariyat
e. Al-Kahfi
f. Ibrahim
g. As-Sajadah
Ketiga kelompok ini, walaupun nampak tanda-tanda diturunkan di
Mekah, namun kelompok-kelompok ini masing-masingnya mempunyai
perbedaan dari yang lain dalam segi isi dan uslub. Masing-masingnya
mempunyai ciri-ciri dan tekanan tertentu.
19
dibicarakannya. Dan dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah
dengan ciri-ciri tersebut.
Ketentuan Makki dan ciri khas temanya :
a. Setiap surah yang didalamnya mengandung “sajdah” maka surat itu
Makki.
b. Setiap surat yang mengandung lafaz kalla, berarti makki. Lafaz ini hanya
terdapat dalam separuh terakhir dari Qur‟an. Dan disebutkan
sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.
c. Setiap surat yang mengandung ya ayyuhannas dan tidak mengandung
ya ayyuhallazina amanu, berarti Makki, kecuali surat Al Hajj yang
pada akhir surat terdapat ayyuhallazina aamanur ka-u wasjudu.
Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat
tersebut adalah ayat Makki.
d. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah
Makki, kecuali surat Al-Baqarah.
e. Setiap surat yang mengandung kisah Adam AS dan Iblis adalah Makki,
kecuali surat Al-Baqarah.
f. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti Alif lam
mim ra ha mim dan lainnya adalah makki, kecuali surat Al-Baqarah dan
Ali-Imran. Sedang surat Ar-Ra‟ad masih diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya
bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut :
a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah SWT,
pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari
kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya,
argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-
bukti rasional dan ayat kauiniah.
b. Peletakkan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak
mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat dan
penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan
harta anak yatim secara dzalim, penguburan hidup bayi-bayi
perempuan dan tradisi buruk lainnya.
20
c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran
bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan
sebelum menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
d. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali,
pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat
keras, menggetarkan hati dan maknanya meyakinkan dengan
diperkuat lafaz-lafaz sumpah, seperti surat-surat yang pendek-
pendek. Dan pengecualiannya hanya sedikit.
21
)1 : (قلعلا...
Teori ini diperkuat oleh hadits Bukhari-Muslim serta Hadits-hadits
lainnya. Berkenaan dengan hal ini, Aisyah berkata, “Wahyu yang pertama
kali diterima oleh Rasulullah SAW adalah berupa mimpi yang baik. Dalam
mimpinya, beliau melihat kedatangan wahyu yang mirip dengan
bintang subuh. Setelah mendapatkan mimpi itu, beliau lebih sedang
mengasingkan diri di Gua Hira. Dalam beberapa malam, beliau merenung
dan beribadah disana sebelum kembali ke rumah istrinya, Khadijah, untuk
mempersiapkan perbekalan dan kembali ke Gua Hira, hingga datanglah
Malaikat Jibril menemuinya dan berkata, “Ia mendekapku hingga aku
merasakan sesak nafas. Ia berkata lagi, “Bacalah.” Aku pun menjawab
“Aku tidak dapat membaca”, Ia mengulangi lagi untuk ketiga kalinya
hingga ia membacakan ayat :
)3-1 : (قلع ا
Dalam sebuah riwayat dikatakan sampai ayat :
)1 : (رثدمال
Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari Abi Salamah bin Abd Ar-Rahman,
meriwayatkan bahwa Abd Rahman bertanya kepada Jabir bin Abdillah
tentang ayat yang pertama kali diturunkan :
22
Untuk mengompromikan kedua teori yang kontradiktif itu, para ulama
memunculkan beberapa pendapat. Pendapat yang paling masyhur
menyebutkan bahwa hadits Jabir di atas berkaitan dengan perintah yang
datang pertama kepada Nabi untuk memberikan peringatan kepada umatnya,
yakni, ayat yang pertama kali turun tentang misi kerasulan :
23
4. Ayat yang pertama kali turun berkenaan dengan khamar adalah surat Al-
Baqarah ayat 219.
5. Surat yang pertama kali turun membawakan ayat sajadah adalah surat
An-Najm.
6. Ayat yang pertama kali turun di Mekkah berkenaan dengan makanan
adalah :
ي
ّ ِبا نَاّم قِّبقل م اكةرذّك لها اوُةػتا َاااَون ْلما نيذَا هقػياآ
َا َا َا َا ُة َا َا َا اَ َا َا
ِ َ ِ ُ
Teori ini diperkuat oleh riwayat Al-Bukhari dan perkataan Ibnu ُ ْ
Abbas.
3. Ayat :
وي اوُةػتقاق
ػت ةم ػ ةلَا لً ْل
ْلا
َ ّوع
ويفف
َا
ِِ
ْ ْ ُ ُ َ ْل َا
4 ك. Ayat tentang utang. Teori ini diperkuat oleh Sa‟id bin Al-
Musayyab.
Menurut As-Suyuti, riwayat Al-Musayyab itu merupakan hadits
mursal, tetapi sanadnya sahih.
Teori kedua dan sesudahnya sebenarnya dapat dikompromikan
dengan cara melihat bahwa ayat-ayat itu diturunkan secara
24
bersamaan sebagaimana terlihat urutannya di dalam mushaf. Oleh
karena itu, benarlah kalau dikatakan bahwa ayat-ayat
tersebut merupakan ayat yang paling terakhir turun.
20
http//samudrahati.blogspot.com
25
)38 : (ةرقبال
Artinya : “Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga
itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang
siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran
atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" (Q.S. Al-
Baqarah : 38).
4. Dapat lebih meresapkan inti ajaran Al-Qur‟an ke dalam hati
sanubari Nabi Muhammad SAW dan umatnya, QS Al-Furqan : 32
26
3. ASBAB AN-NUZUL
21
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Pustaka Firdaus, ha. 153
22
Alimin Mesra MA, Ulumul Qur‟an. Pusat Study Wanita, h.80
27
Yakni, sesuatu kejadian yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad
SAW, atau sesuatu pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi dan turunlah
suatu atau beberapa ayat dari Allah SWT yang berhubungan dengan kejadian
itu, atau dengan penjawaban pertanyaan itu, baik peristiwa itu merupakan
pertengkaran ataupun merupakan kesalahan yang dilakukan maupun
merupakan suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik.
Definisi yang dikemukakan ini dan yang di istilahi, menghendaki agar
ayat-ayat Al-Qur‟an dibagi dua :
1. Ayat yang ada sebab nuzulnya
2. Ayat yang tidak ada sebab nuzulnya
M
emang demikianlah ayat-ayat Al-Qur‟an, ada yang diturunkan tanpa
didahului oleh suatu sebab dan ada yang diturunkan sesudah didahului sebab.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turunnya
setiap ayat, karena tidak semua ayat Al-Qur‟an diturunkan karena timbul
suatu peristiwa dan kejadian. Oleh karena itu, tujuan studi al-Qur‟an
mencakup beberapa permasalahan yang hendaknya harus dipelajari bukan
saja masalah Asbab An-Nuzul. Tetapi juga mempelajari masalah bagaimana
cara membaca Al-Qur‟an, bagaimana tafsirnya dan juga tidak kalah penting
23
masalah nasakh dan mansukh.
23
http://fadliyanur.multiply.com.journal/item/35
28
dalam ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu
persoalan.
J
ika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan
masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang
24
disebutkan lawannya, maka kedua riwayat ini diteliti dan dianalisis.
Mengenai macam-macam Asbab An-Nuzul dapat dikategorikan ke
dalam beberapa bentuk berikut :
a. Tanggapan atas peristiwa umum misalnya, riwayat Ibnu Abbas
menyebutkan, Rasulullah SAW pernah ke Al-Batha. Ketika turun dari
gunung, beliau berseru :”hai para sahabat, berkumpulah !..” Ketika melihat
orang-orang Quraisy ikut mengelilinginya, beliau pun bersabda :”apakah
engkau akan percaya bila engkau katakan bahwa musuh tengah
mengancam dari balik punggung gunung dan mereka bersiap-siap
menyerang kalian, entah pagi hari atau petang hari?.” Mereka menjawab
:”ya kami percaya hai Al-Amin !..”, kemudian Nabi Muhammad
melanjutkan : “Aku akan menjelaskan kepadamu tentang beberapa
hukuman”. Maka Abu Lahab berkata : “Apakah hanya untuk masalah
seperti ini, engkau kumpulkan kami hai Muhammad ?”
Allah kemudian menurunkan surat Al-Lahab
)5-1 : (بهل ا
Artinya : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia
usahakan. Kelak ia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu
pula), istrinya, pembawa kayu bakar. Yang dilehernya ada tali dari sabut.
b. Tanggapan atas peristiwa khusus. Misalnya sebab-sebab turunnya ayat
yang menjadi tanggapan atas turunnya Surat Al-Baqarah : 158
24
A. Syadili. Ulumul Qur‟an 1. Pustaka Setia, hal 99
29
)158 : (ةرقبال
Artinya : “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi‟ar
Allah SWT. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-
umrah. Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‟i antara keduanya
dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati,
maka sesungguhnya Allah SWT Maha Mensyukuri kebaikan lagi
Maha Mengetahui”.
c. Jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Misalnya proses turunnya surat An-Nisa : 11
30
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Ayat diatas turun untuk menjawab secara tuntas pertanyaan Jabbir
Ibn Abdullah kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang
diriwayatkan Jabir Ibn Abdullah. Rasulullah SAW datang bersama Abu
Bakar dengan berjalan kaki mengunjungiku (karena sakit) di
perkampungan Bani Salamah. Rasulullah SAW menemukanku dalam
keadaan tidak sadar sehingga beliau meminta agar disediakan air.
Kemudian berwudhu dan memercikan sebagian air pada tubuhku. Lalu, aku
sadar dan berkata : “Ya Rasulullah ! Apakah yang Allah SWT perintahkan
berkenaan dengan harta benda milikku ? lalu turunlah ayat diatas.
d. Jawaban atas pertanyaan Nabi Muhammad SAW pada Allah SWT.
Misalnya, Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan, seperti yang
diriwayatkan Ibnu Abbas kepada malaikat Jibril :”Apa yang menghalangi
kehadiranmu sehingga lebih jarang muncul dari pada masa-masa
sebelumnya ?”. Lalu turunlah surat Maryam ayat 64
)64 : (ميرم
Artinya : “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah
Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa
yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya dan
tidaklah Tuhanmu lupa”.
e. Tanggapan atas pertanyaan yang bersifat umum. Dalam bentuk lain, ayat-
ayat Al-Qur‟an diturunkan dalam rangka memberi petunjuk
perihal pertanyaan yang bersifat umum yang muncul di kalangan
sahabat. Misalnya, turunnya surat Al-Baqarah ayat 222 :
31
)222 : (ةرقبال
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : “Haidh
itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah SWT kepadamu. Sesungguhnya
Allah SWT menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri”.
Ayat ini turun untuk menjawab pertanyaan yang bersifat umum dari
kalangan sahabat seperti yang diriwayatkan Tsabit dari Anas bahwa di
kalangan Yahudi bila wanita mereka sedang haid, kaum pria tidak boleh
bersama para isterinya atau tinggal serumah. Para sahabat mengetahui
masalah itu lalu bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal ini dan
turunlah ayat di atas.
f. Tanggapan terhadap orang-orang tertentu. Adakalanya ayat-ayat Al-
Qur‟an turun untuk menanggapi keadaan atau orang-orang tertentu.
Misalnya, rujukan tentang Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur‟an
seperti turunnya surat Al-Qiyamah ayat 16-18 :
)18-16 : (م ي ا
Artinya :”Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur‟an
karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu”.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, ayat ini turun ketika malaikat Jibril
menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Saat itu, Nabi
32
Muhammad SAW tampah menggerak-gerakkan bibirnya. Ini tampak amat
berbahaya baginya dan gerakan tersebut merupakan petunjuk bahwa
wahyu sedang turun.
g. Beberapa sebab, tapi satu wahyu. Boleh jadi sebuah wahyu turun untuk
menanggapi beberapa peristiwa atau sebab. Misalnya turunnya surat Al-
Ikhlas.
)4-1 : (صالخإلا
Artinya : Katakanlah : “Dia-lah Allah SWT, yang Maha Esa, Allah SWT
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia
tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun
yang setara dengan Dia.”
Ayat di atas turun sebagai tanggapan atau sanggahan terhadap orang-orang
musyrik Mekkah sebelum hijrah dan juga terhadap kaum ahli kitab yang
ditemui di Madinah setelah hijrah.
h. Beberapa wahyu, tetapi satu sebab. Ada lagi beberapa ayat yang
diturunkan untuk menanggapi suatu peristiwa. Misalnya ayat-ayat yang
diturunkan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ummu
Salamah tentang mengapa hanya laki-laki yang disebut dalam Al-
Qur‟an yang mendapat ganjaran dan pahala. Seperti dalam Al-Qur‟an
surat An-Nisa ayat 32 :
)32 : (ءآسنلا
Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah SWT kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
33
u
sahakan, dan mohonlah kepada Allah SWT sebagian dari karunia-Nya.
25
Sesungguhnya Allah SWT Maha mengetahui segala sesuatu.
25
Ahmad Izzan M.A, Ulumul Qur‟an. Anggota IKAPI, h. 99
26
Ibid, hal 178
27
Manna‟Khalil Al-Qattan, Study Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, hal 121
28
Ahmad Izzan M.A, Ulumul Qur‟an. Anggota IKAPI, hal 178
34
4. MAKKIYAH DAN MADANIYAH
)3 : (ةدئآلما...
“… Pada hari ini, telah
aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku …” (QS. Al-Maa‟idah (5) : 3).
Ayat tersebut merupakan bagian dari ayat madaniyah, meskipun
turunnya di Arafah pada waktu Haji Wada‟. Contoh berikutnya adalah
ayat berikut :
35
tahu tentang Al-Qur‟an daripada aku, maka seekor unta akan mendatanginya
sedang aku menaikinya”.
1. Terdapat lafazh الك. Lafazh ini terulang sebanyak 33 kali pada bagian
ّ َا
َ
setengah akhir al-Qur‟an.
2. Terdapat ayat sajdah.
3. Diawali dengan huruf tahajji (huruf hijaiah yang terputus-putus), kecuali
surat Al-Baqarah dan surat Ali-Imran.
4. Terdapat kisah para nabi atau umat terdahulu, kecuali surat Al-Baqarah.
Sedangkan, ciri-ciri ayat madaniyah ialah sebagai berikut :
1. Memuat uraian secara detail tentang peraturan dan berbagai macam
penetapan hukum.
2. Terdapat pembahasan tentang jihad dan hukum-hukumnya.
3. Mengandung penjelasan tentang keadaan dan sifat orang-orang munafik
secara rinci.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan bahwa ayat makkiyah
itu berorientasi pada penegakan dalil-dalil keesaan Allah SWT, kebenaran
atas diutusnya Rasulullah SAW, dan menegaskan bahwa hari kiamat
sungguh-sungguh terjadi. Hal ini sebagaimana surat makkiyah selalu
memberikan perhatian terhadap tuduhan-tuduhan
yang orang-orang musyrik dan memberikan
counter dengan menggunakan argumen-argumen
untuk mematahkan tuduhan-tuduhan mereka.
Sedangkan, ayat madaniyah memberikan perhatian secara mendalam
terhadap suatu kejadian berkenaan dengan penetapan berbagai macam hukum,
diantaranya adalah hukum yang berhubungan dengan halal dan haram, ibadah,
muamalah, keluarga dan sebagainya. Ayat ini juga memberikan perhatian
secara mendalam pada dakwah (ajakan) terhadap ahli kitab, serta memberikan
penentangan atas akidah mereka yang sesat dan usaha mereka dalam
36
mengubah kitab suci yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Musa As. dan Nabi Isa As.
Adapun madaniyah itu terdiri dari 20 surat. Kebanyakan dari surat
tersebut mempunyai ciri suratnya panjang-panjang. Sedangkan,
makkiyah terdiri dari 82 surat. Diantara surat makkiyah tersebut, ada yang
panjang dan ada pula yang pendek. Selain itu, terdapat 12 surat yang
sebagian ayatnya adalah makkiyah dan sebagian lainnya madaniyah. Oleh
karena itu, jumlah surat Al-Qur‟an secara keseluruhan adalah 114 surat.
37
5. AYAT-AYAT YANG MENGHAPUSKAN DAN DIHAPUSKAN
HUKUMNYA (ILMU NASIKH WA AL-MANSUKH)
38
c.
Nasakh dapat bermakna tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka
29
dari seseorang kepada orang lain.
d. Nasakh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain
seperti pada perkataan: "Nasakhtu al-kitaba= saya menukilkan isi kitab" yaitu
kita nukilkan apa yang ada di dalarn kitab itu meniru lafal dan tulisannya.
2. Pendapat-pendapat U lama tentang Naskh al-Qur'an
Sebagian ulama menolak makna yang ke-4 (menukilkan). Mereka berhujjah
bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan lafal-lafal yang lain. Akan tetapi As-Sa'dy
berhujjah untuk orang yang memakai makna ini dengan firman Allah: "Inna kunna
nastansikhu ma kuntum ta'malun= bahwasanya Kami menukilkan apa yang telah
kamu kerjakan." (QS. Al Jatsiyah [45]: 29). Yang dihubungkan dengan firman Allah
"Wa innahu fi ummi al-kitabi ladaina la'aliyyun hakim" (dan sesungguhnya AlQur'an
itu dalarn induk Al-Kitab di sisi Kami adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat
banyak mengandung hikmah). (QS. Az Zukhruf 1431: 4).
Al-Kitab
menurut As-Sa'dy tidak lain adalah Lauh al-Mahfuzh atau A1-Kitab
al-Maknun. Penasikh Al-Qur'an yang menukilkannya telah mendatangkan lafal yang
30
dimansukh, dinukil dan diturunkan kepada Rasul.
Sumber perbedaan pendapat dalarn mendefinisikan lafal nasakh kembali
kepada membatasi makna kata secara lughah dan membatasi makna kata secara
istilah, supaya penggunaan lafal nasakh yang telah dilakukan oleh Al-Qur'an dalarn
firman Allah surat Al-Baqarah ayat 106, berlaku menurut uslub bahasa Arab dalarn
menerangkan sesuatu peristiwa yang mempunyai kedudukan yang besar.
3. Pendapat-pendapat Ahli Tahqiq
Menurut pendapat sebagian ahli tahqiq, Al-Qur'an menggunakan lafal nasakh
di segala tempat, sesuai dengan makna yang asli (hakiki) yang hanya itulah makna
yang tergores di dalarn dada masingmasing manusia. Oleh karenanya mentakriflcan
nasakh dengan perkataan: "Raf u al-hukmi asy-syar'iyi bi dalili asy-syar'iyin=
mengangkat sesuatu hukum syara' dengan dalil syara"' adalah tahdid isthilahy yang
paling tepat bagi lafal ini yang sesuai dengan bahasa Arab yang menetapkan bahwa
nasikh itu bermakna "menghilangkan dan mengangkat ke tempat yang lain".
29
Al-Burhan II:29
30
Al-Itqan II:34
39
Nash-nash syara' mengangkat sebagian hukumnya dengan dalildalil yang kuat
dan tegas pada peristiwa-peristiwa yang tertentu, karena mengandung rahasia-rahasia
dan hikmah-hikmah yang hanya diketahui oleh ulama-ulama yang kuat ilmunya.
P
erbedaan pendapat dalarn menetapkan definisi nasakh, membayangkan
kepada kita beberapa macam perselisihan yang lain dalam pokok pembicaraan ini.
Ada yang mengatakan bahwa nasakh hanya di dalam Al-Qur'an, sendiri. Maka tidak
salah Al-Qur'an dinasakhkan oleh Al-Qur'an, karena cukup dalil, baik aqli maupun
naqli yang membolehkan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa As-Sunnah boleh
dinasakhkan oleh Al-Qur'an, seperti menasakhkan puasa hari Asyura dengan ayat
31
Shiyam.
Mengenai hukum menasakhkan Al-Qur'an dengan hadits maka Asy-Syafi'y
32
tidak dapat membenarkannya . Tentang menasakhkan sunnah dengan sunnah,
kebanyakan ulama membolehkan juga. Karena Rasul saw. tidak mensyariatkan itu,
baik sebagai hukum yang mulamula ditetapkan atau sebagai hukum yang
menasakhkan yang lain, terkecuali dengan ilham dari Allah.
Jumhur ulama, sebelum Abu Muslim al-Asfahany (wafat tahun 3z2 H.)
mengatakan bahwa adanya nasakh di dalam Kitabullah adalah suatu hal yang dapat
diterima akal dan hal itu telah terjadi.
Abu Muslim, sebagai seorang ulama ahli tahqiq, tidak membenarkan nasakh
dalam arti yang umum. Abu Muslim membatalkan beberapa macam nasakh, yang
menurut pendapatnya, berlawanan dengan firman Allah dalam surat Fushshilat ayat
42. Beliau mengatakan bahwa dimaksud dengan nasakh ialah takhshish. Beliau
mengatakan demikian, untuk menghindari per.dirian membatalkan sesuatu hukum
yang telah diturunkan Allah. Masing-masing golongan ini telah mengemukakan dalil-
dalilnya.
Dalam pada itu kita harus menegaskan bahwa pihak yang membenarkan
adanya nasakh telah berlebih-lebihan dalam menetapkan ayat-ayat mansukh,
bahkan sebagian ayat-ayat yang umum yang dikhususkan, digolongkan juga
ke dalam golongan mansukh.
31
Al-Burhan II:32
32
Ar-Risalah: 137-146
40
Di antara tindakan mereka yang berlebih-lebihan ialah mereka membagi
sebuah ayat kepada dua bagian, lalu mereka mengatakan bahwa permulaannya
dimansukhkan oleh akhirnya, seperti firman Allah surat Al-Maidah ayat 105. Akhir
ayat itu menyeru kita supaya menyuruh ma'ruf dan mencegah munkar. Maka akhir
ayat ini menurut pendapat Ibnu Al-Araby menasakhkan permulaannya Bahkan
Ibnu Al-Araby mengatakan bahwa permulaan ayat 199 surat Al-A'raf dan demikian
33
pula akhirnya adalah mansukh. Hanya pertengahannya saja yang muhkam .
Di antara tindakan mereka yang berlebih-lebihan pula ialah mereka
memasukkan ke dalam golongan yang dimansukhkan, segala adat jahiliyah
yang dibatalkan oleh Al-Qur'an, seperti mengharamkan isteri ayah, mensyariatkan
diyat qishash dan membatasi talak 3 kali dan menghapuskan syariat-syariat yang
dahulu, seperti me:nbolehkan kita memakan sebagian makanan yang diharamkan
atas umat dahulu.
Ahli tahqiq mengatakan bahwa ini semuanya harus dikeluarkan dari bagian
yang dikatakan nasikh. Mereka berkata jika ayat-ayat ini dikatakan nasikh, tentulah
semua isi Al-Qur'an, dikatakan nasikh, karena kebanyakannya menghapuskan apa
yang berlaku dalam kalangan orang kafir dan ahli kitab. Nasikh dan mansukh
hanyalah mengenai ayat dengan ayat.
Kegemaran mereka menyingkap mana yang mansukh dalam ayat-ayat Al-
Qur'an, menjerumuskan mereka ke dalam berbagai kesalahan yang layak, mereka
menjauhinya. Tidaklah tersembunyi bagi siapa pun bahwa yang dikatakan Al-Qur'an
hanyalah yang diterima dengan jalan mutawatir, sedang khabar-khabar ahad adalah
zhanniyah. Mereka ini menjadikan nasakh dalam Al-Qur'an terbagi kepada 3 macam:
a. Menasakhkan hukum, tidak tilawah.
b. Menasakhkan tilawah, tidak hukum dan
c. Menasakhkan hukum dan tilawah.
Dengan nekat mereka mengatakan, ada ayat-ayat yang
dinasakhkan tilawahnya, tidak hukumnya; dan ada ayat-ayat yang dinasakhkan
hukumnya dan tilawahnya.
Tindakan ini nyata salah, karena membagi sesuatu masalah kepada beberapa
bagian, hanya dapat dilakukan apabila dapat dikemukakan beberapa syahid untuk
33
Ahkam al-Qur‟an I:388
41
tiap-tiap bagian itu, supaya mudah kita istinbathkan sesuatu kaidah daripadanya.
Semua yang mereka sebutkan itu, hanyalah merupakan khabar ahad dan kita tidak
dapat menetapkan bahwa sesuatu itu Al-Qur'an atau sesuatu itu menasakhkan Al-
Qur'an dengan khabar-khabar ahad.
Dengan pendapat yang benar ini Ibnu Dhafar (wafat tahun 508 H.) di dalam
kitabnya Al-Yanbu, menolak pendapat orang yang mengatakan demikian. Dengan
tegas beliau berkata: "Khabar ahad, tidak bisa dipakai untuk menetapkan bahwa
34
sesuatu itu adalah Al-Qur'an .
Bahkan golongan yang sangat rindu mencari-cari ayat Al-Qur'an
yang mansukhah, mengatakan lagi bahwa ayat nasikhah itu bisa menjadi mansukhah
pula. Mereka berkata: "Ayat ke-6 dari surat Al-Kafirun dimansukhkan oleh ayat ke-5
surat At-Taubah, kemudian ayat ke-5 surat At-Taubah itu, dimansukhkan oleh ayat 29
surat At-Taubah."
Sikap berlebih-lebihan dari sebagian ulama tentang nasikh dan mansukh
kadang-kadang tidak masuk akal.
Hibatullah ibn Salamah al-Baghdady (wafat tahun qso H.) mengatakan bahwa
surat Al-Insan adalah muhkamah, selain dari dua ayat dan sebagian ayat yaitu lafal
asiran dalam ayat kedelapan. Hibatullah berkata: "Ayat ini dinasakhkan oleh ayat-
ayat saif (ayat pedang) yaitu ayat yang kelima dari surat At-Taubah"
P
ernah putri dari Ibnu Salamah membantah pendapatnya, anaknya berkata:
"Hai ayah, engkau keliru dalam hal ini." Ibnu Salamah bertanya: "Bagaimana hal
itu?" Anaknya menjawab: "Seluruh umat Islam menetapkan bahwa tawanan harus
diberikan makan, tidak boleh dibunuh dengan jalan tidak diberikan makan. Setelah
35
dia mendengar sanggahan anaknya, dia pun berkata: "Benar yang engkau katakan."
Ashhab an Naskh telah menjadikan ayat-ayat yang makluushah sebagai ayat-
ayat mansukhah. Berapa ayat yang dikhususkan dengan sesuatu pengecualian, dengan
sesuatu ghayah atau dengan sesuatu ayat yang lain yang mereka mengatakan bahwa
ayat itu mansukh, tanpa memperhaukan siyaq al-kalam dan hubungan akhir ayat
dengan awalnya.
34
Al-Burhan II:36
35
Al-Burhan II:29; Al-Itqan II:29.
42
As-Sayuthy berkata: "Ada sebagian yang dipandang mansukh oleh sebagian
36
ulama, sebenarnya masuk bagian makhsush bukan mansukh." Ibnu Al-Araby telah
mengumpulkan ayat-ayat yang masuk ke dalam bagian makhsush ini, seperti firman
Allah surat Al-Ashr [103] ayat 2, firman Allah surat Asy-Syu'ara [26] ayat 244 dan
lain-lain dari ayatayat yang dikhususkan dengan pengecualian atau dengan ghayah.
Salahlah orang yang memasukkannya ke dalam golongan mansukh.
Di antara yang mereka masukkan ke dalam bidang mansukh ialah firman
Allah swt.: "Wala tankihu al-musyrikati hatta yu'minn(a)= dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman." (QS. Al-Baqarah [2] :
221)
Ada yang mengatakan bahwa ayat ini telah dinasakhkan oleh firman Allah
swt.: "Wa al-muhshanatu min al-ladzina utu al-kitaba min qablikum= dan segala
wanita yang muhshanah dari wanita yang diberikan kitab sebelummu". (QS. Al-
Maidah [S]: 5). Sebenamya, ayat-ayat itu dikhususkan dengan ayat ini.
Banyak pula ayat-ayat yang digolongkan oleh orang yang membanyakkan
ayat-ayat mansukhah, yang sebenarnya tidak masuk ke dalam bab nasakh, tidak pula
ke dalam takhshish dan tidak ada hubungan sama sekali dengan nasakh dan
takhshish, seperti firman Allah swt: "Wa mimma razaqnahum yunfiqun = dan mereka
naflcahkan sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepada mereka." (QS. Al-
Baqarah 121: 3)
Mereka berkata: "Segala ayat yang di dalamnya diterangkan sesuatu
pemberian yang selain dari zakat, telah dinasakhkan oleh ayat zakat."
Para muhaqqiq berkata: "Ayat nifaq adalah suatu khabar dalam rangka
memuji orang-orang yang takwa. Hal itu dapat diartikan dengan zakat, dapat pula
diartikan dengan memberikan nafkah kepada urusan-urusan yang disunnahkan,
seperti memberikan pertolongan dan menjamu tamu."
Pada umumnya ahli tafsir menyangka bahwa firman Allah: "Alaisallahu bi
ahkami al-hakimin= bukankah Allah hakim yang paling adil?" (QS. At-Tin [9S): 8),
telah dinasakhkan dengan ayat saif, padahal ayat ini tidak dapat dinasakhkan dan
tidak pula dapat ditakhshishkar.. Banyak sekali ayat-ayat yang mereka katakan
telah
36
Al-Itqan II:36
43
dinasakhkan oleh ayat saif, padahal wahyu-wahyu itu tidak dapat menerima nasakh
dan takhshish.
Mereka memasukkan ke dalam bidang mansukhah sesuatu yang diperintahkan
karena sesuatu sebab, kemudian hilang sebabnya, seperti menyuruh bersabar ketika
lemah dan berjumlah kecil dan memberi ampunan kepada orang-orang yang
mengharap akan berjumpa dengan Allah, kemudian kata mereka, suruhan itu
dinasakhkan dengan ayat saif. Sebenarnya, hal ini tidaklah masuk ke dalam bidang
nasakh, tetapi masuk ke dalam menangguhkan keterangan kepada waktu diperlukan
keterangan itu. Suruhan berperang, ditangguhkan hingga umat Islam memperoleh
tenaga dan di waktu lemah disuruh supaya sabar apabila mengalami gangguan.
Oleh
karenanya, tepatlah apa yang dikemukakan oleh Az-Zarkasyi dalam
mengomentari masalah ini. Beliau berkata: "Dengan pentahqiqan ini nyatalah
lemahnya apa yang dikatakan oleh kebanyakan ahli tafsir terhadap ayat-ayat
yang menyuruh kita bersikap lemah bahwa ayat-ayat itu telah dimansukhkan
dengan ayat pedang. Sebenarnya bukanlah demikian yaitu setiap perintah yang
datang, wajib kita ikuti di waktu kita memperoleh illat, perintah itu. Apabila
illatnya telah hilang, berpindahlah kita kepada hukum yang lain dan ini tidak
dinamakan nasakh. Nasakh adalah menghilangkan hukum sama sekali, dalam arti
37
tidak boleh dilakukan selama-lamanya."
Islam menyuruh orang-orang muslim pada permulaan dakwahnya supaya
38
memperhatikan keadaan diri sendiri tanpa menghiraukan orang lain." Kemudian
Allah mewajibkan atas mereka, menyuruh ma'ruf, mencegah munkar dan berperang
karenanya, tatkala dakwah Islamiyah telah kuat. Tegasnya, Allah menurunkan
kepada Nabi-Nya dalam setiap keadaan apa yang sesuai dengan suasana yang
meliputi orang-orang mukmin. Oleh karenanya sebagian ulama menyuruh kita
berdamai dan berhenti memerangi ahli munkar di waktu kita dalam keadaan lemah.
Sebagian ulama pula memandang bahwa surat An-Nisa' ayat 6, menasakhkan
ayat yang terletak sesudahnya dalam tertib mushaf yaitu surat An-Nisa' ayat 10.
37
Al-Burhan II:42
38
QS. Al-Maidah [5]: 105
44
P
adahal tidak ada nasikh dan mansukh di sini. Ayat pertama menerangkan apa yang
39
tidak dipandang penganiayaan karena memakan harta anak yatim."
Y
ang sangat mengherankan kita lagi ialah ada ulama tafsir yang mengatakan
bahwa dalam hal beberapa peristiwa pun masuk nasikh mansukh. Padahal akal tidak
dapat menerima bahwa sesuatu peristiwa yang telah terjadi, dapat dinasikhkan oleh
peristiwa yang datang kemudian. Mereka mengatakan bahwa ayat saif menasakhkan
ayat 83 surat Al-Baqarah, padahal ayat itu menceritakan perjanjian yang telah dibuat
40
oleh Bani Israil.
Akhir
usaha golongan ini ialah menyingkap tabir dari ayat-ayat mansukh,
yang lama masa diamalkannya sebelum dinasakhkan hukumhukumnya, seperti
mereka mengatakan bahwa ayat 9 surat Al-Ahqaf yaitu "Katakanlah, tidaklah aku
Rasul yang mula-mula didatangkan. Dan aku tidak mengetahui apa yang dilakukan
terhadap diriku atau terhndap dirimu" (QS. Al-Ahqaf [46]: g); 16 tahun lamanya
berlaku dalam masyarakat sebelum dinasakhkan oleh permulaan surat Al-Fat'hu. Ibnu
Salamah berpendapat bahwa permulaan ayat ini muhkam. Yang dimansukhkan
hanyalah perl:ataan wama adri ma yuf alu bi wala bikum. Dia menetapkan bahwa
Nabi telah mengamalkan ayat ini di Makkah selama lo tahun dan beliau itu diaibkan
oleh orang-orang musyrik. Kemudian beliau berhijrah ke Madinah lalu selama 6
tahun pula beliau mengamalkan ayat itu dan orang-orang musyrik tetap
mengaibkannya. Kemudian baru diturunkan permulaan surat Al-Fat'hu yang
41
menasakhkan ayat ini.
Golongan yang menetapkan adanya nasakh dalam Al-Qur'an telah membagi
surat-surat Al-Qur'an kepada beberapa bagian:
a. 43 surat yang tidak ada nasikh mansukh.
b. 6 surat yang terdapat nasikh saja.
c. 40 surat yang terdapat mansukh saja.
d. 42
31 surat yang terdapat nasikh mansukh.
39
Tafsir Ibnu Katsir I:455
40
Tafsir Ibnu Katsir I:119-120; Al-Itqan II:36
41
An-Nasikh wa al-Mansukh, karangan Ibnu Salamah:279
42
An-Nasikh wa al-Mansukh, oleh Ibnu Salamah:14 dan Al-Burhan, oleh Az-
Zarkasyi II: 233
45
Perlulah diketahui dan dipegangi bahwa ayat Al-Qur'an semuanya muhkam,
bukan mansukh, terkecuali jika ada dalil yang tegas yang menunjukkan kepada
kemansukhannya.
Para ulama ahli tahqiq telah mempelajari ayat-ayat Al-Qur'an yang dikatakan
mansukhah oleh sebagian ahli tafsir dan mereka membahasnya dari berbagai jalan
sehingga mereka dapat membatasi ayatayat yang dikatakan mansukhah dalam
bilangan yang kecil. Dan pendapat itu kemudian dikoreksi lagi oleh ulama-ulama
belakangan dan dapat mengurangi lagi jumlahnya yang dikatakan mansukhah itu.
A
s-Sayuthy umpamanya mengatakan dalam AI-Itqan bahwa ayat mansukhah
hanya Zi ayat yang sebagiannya diperselisihkan pula kemudian dia mengecualikan
ayat isti'zhan dan ayat qismah yaitu surat AnNur [a4] ayat 58 dan surat An-Nisa' [4]
ayat 7. As-Sayuthy menegaskan bahwa ayat ini muhkamah. Maka tinggallah 19 ayat
43
yang mansukhah menurut As-Sayuthy.
Pedoman, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Al-Hashshar yang kita
pergunakan untuk menetapkan nasikh dan mansukh ialah nukilan yang tegas dari
Rasulullah atau dari sahabat-sahabatnya yang tegas menyatakan ayat ini
dinasakhkan oleh ayat itu. Dan dapat juga kita menetapkan kemansukhan sesuatu
ayat apabila terdapat pertentangan dengan sesuatu ayat yang lain yang tidak dapat
dipertemukan serta diketahui sejarahnya, agar kita mengetahui mana yang terdahulu
dan mana yang kemudian. Dalam masalah nasakh kita tidak dapat berpegang
kepada pendapat ahli-ahli tafsir, tidak pula kepada ijtihad para mujtahid tanpa ada
nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan yang nyata, karena nasakh, berarti
mengangkat suatu hukum yang telah tetap di masa Nabi. Pegangan kita dalam
hal ini hanyalah naqal dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad.
P
ara muhaqqiq menandaskan bahwa kebanyakan ayat yang disangka oleh ahli
tafsir mansukhah atau nasikhah, sebenarnya hanya penangguhan hukum atau suatu
kemujmalan yang ditunda penjelasannya sampai kepada waktu dirasa perlu atau
untuk yang khusus. Mereka menyangka bahwa yang demikian itu nasakh, padahal
44
bukan.
43
Al-It-qan II:37-38
44
Untuk mempelajari dalit-dalil golongan yang mengatakan, tidak ada di dalam Al-
Qur'an ayat-ayat mansukhoh itu satu sama lainnya, hendaklah kita mempelajari
Tarikh at-Taryri a(-Is(amy, oleh Al-Khudhari, Din Allah oleh Dr. Taufiq, Abu
46
6. MUNASABAH AL-QUR'AN
A. Pengertian Munasabah
M
unasabah dalam pengertian bahasa adalah cocok, patut atau sesuai,
mendekati. Jika dikatakan bahwa A munasabah dengan B, berarti A mendekati atau
45
menyerupai B.
K
ata munasabah juga berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian,
kecocokan, dan kepantasan. Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam
terminology ahli-ahli ilmu Qur'an sesuai dengan pengertian harfiahnya diatas ialah:
segi-segi hubungan atau persesuaian Al-Qur'an antara bagian demi bagian dalam
berbagai bentuknya. Yang dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian adalah
semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian
dengan bagian yang lainnya. Sedangkan yang dimaksud bagian demi bagian adalah
semisal antara kata atau kalimat dengan kata atau kalimat, antara ayat dengan ayat,
antara awal surah dengan akhir surah, antara surah yang satu dengan surah yang
lain, dan begitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa Al-Qur'an itu
46
satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh (holistik).
Munasahab adalah salah satu bagian pembahasan `ulum Al-Qur'an.
Munasabah berasal dari kata َ بَا َاس اَاُة- ُةبَاس نقػي- ًمبَاس نمyang berarti dekat, serupa,
ُة َا
ِ
mirip dan rapat. Sementara menurut As-Suyuthi berarti al-musyakalah (keserupaan)
dan Al-Muqarabah (kedekatan).
Sedangkan menurut istilah, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang
terdapat pada halhal tertentu dalam Al-Qur'an baik surat maupun ayat-ayatnya
yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
Hanifah, Asy-Syafi'y, Malik, Ahmad ibn Hanbal oleh Muhammad Abu Zahrah; Ad-
Din at-Is(omy, oleh Amir Ati can bacatah pula buku kami: Sejarah don Pengantar
Ilmu Hadits.
45
Ahmad Izzan, M.Ag, Ulumul Qur'an, (Bandung:kelompok Humaniora, 2005), h.
187
46
Z Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an 3 (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004), h. 144
47
Sementara Az-Zarkasyi memberikan definisi, bahwa munasabah adalah
perkara yang menyangkut tafsiran akal. Munasabah ayat terdiri dari hubungan antara
permulaan dan penutup ayat. Menurut Manna' al-Qaththan, munasabah ialah sisi
keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat pada
beberapa ayat, atau antar surat di dalam Al-Qur'an. Menurut Ibn `Arabi,
munasabah ialah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur'an sehingga seolah-olah merupakan
satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Menurut Al-Biqa'i, munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui
alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur'an, baik ayat
dengan ayat maupun surat dengan surat.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa munasabah ialah pengetahuan
yang mempelajari berbagai hubungan (relevansi) antara ayat atau surat dalam Al-
Qur'an. Jadi, dalam konteks `Ulum Al-Qur'an, munasabah berarti menjelaskan
korelasi makna antarayat atau antarsurat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus;
rasional (aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi berupa sebab-
akibat, `illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
P
ara ulama tafsir mengelompokkan munasabah ke dalam dua kelompok besar,
yaitu hubungan dalam bentuk keterkaitan redaksi dan hubungan dalam bentuk
keterkaitan makna (kandungan) ayat atau surat. Nama lain dari ilmu ini adalah ilmu
tanasubil ayati was suwari, yang artinya juga sama, ilmu yang menjelaskan
persesuaian antara ayat atau surah yang satu dengan ayat atau surat yang lain. Istilah
lain mengenai rnunasabah ialah, ta'alluq (pertalian) yang digunakan ar-Razi, yakni
ketika menafsirkan ayat 16 - 17 surat Hud. Kemudian Sayyid Qutub menggunakan
istilah irtibath (pertalian) sebagai pengganti munasabah, ketika menafsirkan surat Al-
Baqarah ayat 188. Al-Alusi menggunakan istilah tartib ketika menafsirakan surat
Maryam dan Thaha. Bahkan Sayyid Ridla menggunakan dua istilah yakni al-ittishal
dan at ta'lil. Dalam ilmu ushul fiqih, munasabah dilihat pada hubungan suatu kasus
dan makna yang terkandung oleh nash (Quran dan hadits), sehingga hukumnya dapat
ditentukan. Kata munasabah dalam hubungan ini tetap diartikan sebagai keterkaitan
47
antara sesuatu dan yang lainnya.
47
http://dasep-hanan.blogspot.com/2009/05/munasabah-ayat-Al-Qur'an.html
48
D
alam pengertian istilah, ada beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli
bahasa. Menurut Manna Al-Qaththan, munasabat berarti segi-segi hubungan antara
satu kata dan kata lainnya dalam satu ayat, antara satu ayat dan ayat lainnya,
atau antara satu surah dan surah lainnya. M. Hasbi Ash Shiddieqy membatasi
pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja. Al-Baghawi
menyamakan munasabah dengan tawil. Az-Zarkasyi dan AsSuyuthi merumuskan
bahwa yang dimaksud munasabah ialah hubungan yang mencakup antar ayat
atau antar surah. Jadi munasabah adalah ilmu yang membahas tentang hikmah
kolerasi urutan ayat Al-Qur'an, atau usaha pemikiran manusia untuk menggali
rahasia hubungan antar ayat atau surah yang dapat diterima oleh akal. Melalui
ilmu ini, rahasia Illahi dapat terungkap dengan sangat jelas yang dengannya
sanggahan dari-Nya bagi mereka yang selalu meragukan keberadaan Al-Qur an
48
sebagai wahyu akan tersampaikan.
Munasabah menurut bahasa berarti musyakalah (keserupaan) dan muqarabah
(kedekatan). Sedangkan menurut istilah `ulum Al-Qur°an berarti pengetahuan tentang
berbagai hubungan di dalam Al-Qur'an.
B. Hubungan-hubungan Munasabah
1. Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi
menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah al-Fatihah/1:6
disebutkan:
Artinya: " Tunjukilah kami jalan yang lurus. "
Lalu dijelaskan di dalam surah Al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah
mengikuti petunjuk Al-Qur'an, sebagaimana disebutkan:
48
Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an … h. 187
49
an-Nisa' (perempuan) karena di dalamnya banyak menceritakan tentang
persoalan perempuan.
3. Hubungan antara fawatih al-suwar (ayat pertama yang terdiri dari
beberapa huruf) dengan isi surah. Hubungan fawatih al-suwar dengan isi
surahnya bisa dilacak dari jumlah huruf-huruf yang dijadikan sebagai
fawatih al-suwar. Misalnya jumlah huruf alif, lam, mim pada surah-surah
yang dimulai dengan alif, lam, mim ( )م ػ اsemuanya dapat dibagi 19.
4. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya
surah al-Mu'minun dimulai dengan:
50
Artinya: "Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Maha
Besar."
Lalu surah berikutnya, yakni surah al-Hadid/57 ayat l:
49
M. Quraisy Shihab dkk, Sejarah & Ulum Al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001) cet ke-3, h. 75
51
lafazh-lafazh'am, khash, mutlaq, muqayyad, mujmal, musykil, khafi, muhkam,
mutasyabih dan yang lainnya.
Ketiga, selain dari kedua masalah tersebut di atas, perlu diingat pula bahwa
sifat-sifat Al Qur'an, rutbahnya, dan maksud-maksudnya, dimana nilai petunjuk Al-
Qur'an dapat berjalan terus untuk sepanjang masa. Untuk kepentingan hal ini, rasanya
tidak mungkin tafsir-tafsir klasik mampu menjawab kebutuhan zaman dewasa ini,
yang dinamikanya sangat tinggi. Oleh karenanya, munasabah ayat merupakan metode
yang logis dan wajar di zamannya.
Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi (wafat 324 H)
sebagai orang pertama melahirkan ilmu munasabah di Bagdad. Syekh 'Izzudin ibn
:Abd al-Salam (w 660 H) menilai munasabah sebagai ilmu yang baik, Menurut al-
Suyuti (w 911 H), orang pertama yang melahirkan ilmu munasabah adalah Syekh
Abu Bakar al-Nasaiburi. Apabila Al-Qur'an dibacakan kepadanya, ia bertanya
mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelahnya dan apa hikmah surat ini
ditempatkan di samping surat sebelahnya.
Abu
Ja'far ibn al-Zubair Syekh Abi Hayyan secara khusus menyusun sebuah
kitab mengenai munasabah ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur'an dengan judul, Al-
Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Quran. Kemudian, syekh Burhan al-Din Al-
Biqa'I menyusun kitan dalam bidang yang sama dengan judul Nuzum al-Durar fi
50
Tanasub al-Ayi wa al-Suwar.
52
mempunyai topik yang menonjol yang bersifat umum, kemudian di atas topik-topik
tadi tersusun bagian-bagian surat yang berhubungan satu sama lainnya.
As-Suyuthi menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk
menemukan munasabah ini, yaitu: 1) memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat
yang menjadi objek pencarian ; 2) memperhatikan uraian ayat-ayat yang
sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat; 3) menentukan tingkatan uraian-
uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak; dan 4) dalam mengambil
kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasannya dengan
benar dan tidak berlebihan.
S
ementara menurut Abdul Qadir Ahmad ' Ata, langkah-langkah yang
ditempuh untuk menemukan munasabah antara lain sebagai berikut : 1) melihat tema
sentral dari surat tertentu; 2) melihat premis-premis yang diperlukan untuk
mendukung tema sentral; 3) mengadakan kategorisasi terhadap premis-premis
berdasarkan jauh dekatnya kepada tujuan; dan 4) melihat kalimat-kalimat yang saling
mendukung antara yang satu dengan lainnya. Di samping langkahlangkah tersebut,
sebagai petunjuk umum, untuk mengetahui munasabah ayat harus didukung pula
dengan berbagai pengetahuan lain mengenai Al-Qur an, teruatama misalnya
51
pengetahuan mengenai zauq adabi (rasa bahasa) dan asbab nuzul.
53
Maudhu' I (tematik) dan atau tafsir Al-Muqoron (komparasi). Bukankah satu dari
sekian banyak langkah tafsir Al-Maudhu' I dan tafsir al-muqorron menuntut mufassir
supaya memperhatikan keterkaitan (munasabah) antara ayat yang berbicara tentang
masalah yang sejenis.
Dianta
ra kegunaan ilmu munasabah seperti dikemukakan Az-Zarkasyi adalah
dapat menjadikan bagian demi bagian pembicaraan menjadi tersusun demikian rupa
laksana sebuah bangunan yang tampakkokoh lagi serasi antara bagian demi
bagiannya. Itulah sebabnya mengapa al-imam Abu Bakr an-Naysaburi, konon
katanya selalu menegur ulama-ulama Baghdad tempo dulu karena minimnya
52
pengetahuan mereka tentang ilmu munasabah.
Dalam referensi yang lain Abdul Djalal menjelaskan bahwa manfaat
mempelajari munasabah ialah sebagai berikut;
1) Mengetahui persambungan/hubungan antara bagian Al-Qur'an baik antara
kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-surat, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur'an;
2) Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalagahan bahasa Al-Qur'an dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya sehingga lebih
menyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-Quran benar-benar dari Allah SWT;
3) 53
Membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.
52
Amin Suma, Op. Cit (Jakarta: Puataka Firdaus, 2004), h. 166
53
http://dasep-hanan.blogspot.com/2009/05/munasabah-ayat-Al-Qur'an.html
54
7. HURUF-HURUF YANG DIGUNAKAN PADA PEMBUKA
SURAT (FAWATIH AS-SUWAR)
55
B. Pendapat Ulama tentang Makna Fawatih as-Suwar
Dengan penjelasan ini menunjukkan bahwa fawatih as-suwar (pembuka-
pembuka surat) ada 29 macam yang terdiri dari tiga belas bentuk. Huruf yang paling
banyak terdapat dalam pembuka surat ialah alif dan lam, kemudian mim, kemudian
ha, kemudian ra, kemudian sin, kemudian tha, kemudian shad, kemudian ha dan ya
dan 'ain dan qaf dan akhimya kaf dan nun.
Huruf-huruf yang dipakai dalam pembukaan surat dengan tidak berulang-
ulang ada 14 atau separuh huruf Hijaiyah. Karenanya para mufassir berkata: "Disebut
fatihah-fatihah surat dalam Al-Qur'an adalah untuk menunjukkan bahwa Al-Qur'an
tersusun dari huruf-huruf Hijaiyah yang terkenal yang sebagiannya terdiri dari satu-
satu huruf. Sedangkan sebagian yang lain terdiri dari satu huruf agar nyata kepada
bangsa Arab bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan mempergunakan huruf-huruf yang
mereka kenal. Ini merupakan bukti kelemahan mereka dalam mendatangkan susunan
kata yang menyerupai Al-Qur'an."
Hal ini telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Az-Zamakhsyary dan Al-
Baidhawy. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H.)
dan Al-Hafizh Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
K
esimpulan uraian-uraian beliau ialah bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam
bahasa Arab, sedangkan bangsa Arab tidak dapat menandingi Al-Qur'an yang
diturunkan dalam bahasa tnereka sendiri. Hal ini menunjukkan kepada kelemahan
mereka. Andaikata Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa yang lain dari bahasa Arab
54
sudah wajar mereka tidak dapat menandinginya.
Golongan ini memperhatikan lebih jauh bahwa tahaddi Al-Qur'an kepada
bangsa Arab yaitu meminta agar mereka mendatangkan yang seperti Al-
Qur'an, menambah jelas keadaannya dan menghasilkan sesuatu kekuatan
dengan suatu kenyataan yang aneh. Kita takjub memperhatikan orang-orang Arab
itu mempelajari Al-Qur'an dan memberikan perhatian mereka kepadanya.
Al-Qur'an tidak saja melengkapi fawatih yang berbagai macam rupa
yang jumlah hurufnya sebanyak huruf Hijaiyah dan yang susunannya terdiri dari
separoh huruf Hijaiyah, bahkan meliputi dari setiap jenis separohnya. Di antara
huruf-huruf
54
Al-Kasysyaf I:12
56
halaq
yaitu ق – ع – ح – غ – خ- اterdapat ق – عdan ح. Di antara
huruf-huruf mahmusah yaitu ق – ث – ح – س – خ – ش – ؾ – صdan
ط–ؽ–ي-ر dan فl. Di antara dua huruf syafahi, terdapat ـ. Di antara
huruf qalqalah, terdapat ؽdan ط, hingga akhimya. 55
55
Al-Kasysyaf I:17; Al-Burhan I: 165-166
56
Al-Itqan II:13
57
.ّ ِققّة ُهس ك ٌّق َاسِق ب َاكلك ٍ ِقكا فآ لْاِق ِق
ّس ا لئا لُْة
ةرو
َا َا َا
ِ ِقdalam Al-Qur'an ialah permu-
"Di tiap-tiap kitab ada rahasianya. Rahasianya
ُِ ُ ِ ُ
laan-permulaan surat."
Ahli-ahli hadits menukillcan dari Ibnu Mas'ud dan Khulafa' Rasyidir. bahwa
beliau-beliau itu berkata:
57
Tafsir al-Manar VIII: 302
58
Diriwayatkan oleh Al-Izz ibn Abd as-Salam bahwa Ali ibn Abi Thalib telah
mengeluarkan pendapat mengenai pertempuran Mu'awiyah dari ha mim. `ain sin qaf
( م. قسع ).
ق ق ق
ا وةُة َاسُة ٌّ َا ِّقلع طلَاصة
ِْ
"Jalan yang ditempuh Ali adalah jalan yang benar, kitaُ memeganginya."
ِ ُ ِ
Pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama sunnah dengan suatu istinbath dari
fawatih sendiri, dari huruf-huruf yang dipakai oleh segolongan Syi'ah yang tidak
berulang-ulang itu yaitu:
59
Allah
telah menjadikan permulaan surat, yang tidak diketahui pengertiannya pada 29
surat. Dia itu adalah kesempurnaan rupa. Dan yang ke-29 itulah sumbu falak ini,
itulah illat ujud falak dan itulah surat Ali Imran (alif lam mim. Allahu). Andaikata
tidak demikian, tentulah tidak ada yang 28 itu. Jumlah semuanya dengan mengulangi
huruf-huruf itu ialah 78 huruf. Maka yang 8 huruf itulah hakikat kalimat bidh'un,
yang terdapat dalam sabda Rasulullah saw. "A1-imanu bidh'un wa sab'una= huruf-
huruf ini ada 78." Maka tidaklah seseorang hamba dapat menyempurnakan rahasia-
60
rahasia iman sehingga dia mengetahui hakikat huruf-huruf ini pada surat-suratnya."
Di lain tempat Ibnu Arabi (wafat tahun 638 H.) berkata: "Kemudian Allah
menjadikan huruf-huruf ini dalam beberapa martabat. Di antaranya ada yang
maushul, di antaranya ada yang maqthu' dan di antaranya ada yang mufrad,
yang mutsanna dan yang jamak. Kemudian Allah mengingatkan bahwa pada
tiap-tiap washal ada qatha'nya. Tetapi tidak ada pada tiap-tiap qatha', washalnya.
Maka tiap-tiap washal, menunjuk kepada fashal. Tetapi tidaklah tiap-tiap fashal
menunjuk kepada washal. Jelasnya, washal dan fashal terdapat pada jamak dan pada
yang bukan jamak."
Apa yang Allah ifradkan dari yang demikian ini maka dia memberi isyarat
kepada lenyapnya gambaran tubuh hamba pada masa azali. Dan apa yang
Allah isbatkan maka dia itu merupakan isyarat kepada adanya gambaran tubuh
hamba pada masa sekarang. Dan apa yang Allah jamakkannya maka itu
merupakan isyarat laut azali. Jamak menunjuk kepada laut abadi. Mutsanna,
menunjuk kepada barzakh Muhammady insany. Alif mengisyaratkan kepada
tauhid. Mim mengisyaratkan kepada pemerintahan yang tidak lenyap-lenyapnya.
Lam yang di antara keduanya merupakan perantaraan supaya ada ikatan antara
keduanya.
Syathahat sufiyah ini semata-mata menggambarkan pendapat orangorang sufi,
karena syathahat-syathahat ini berdasar kepada apa-apa yang mereka rasakan dan
syathahat-syathahat ini dipetik kerahasiaannya dari istilah-istilah mereka dan rahasia-
rahasia mereka. Maka tidaklah mungkin ryathahat ini memberikan gambaran yang
benar tentang tafsir Islamy yang dapat kita pegang untuk fawatih as-suwar.
Terhadap gelanggang yang tidak dapat kita pahamkan itu, berkatalah
segolongan orang yang tidak mempergunakan istilah-istilah ulama tasawuf dan tidak
60
Tafsir al-Alusy I:102
60
berpegang pula kepada Addu Abi jad dan kepada ahli-ahli hisab yang lain:
"Sesungguhnya fawatih as-suwar adalah huruf-huruf yang terpotong-potong
yang masing-masingnya diambil dari nama Allah atau yang tiap-tiap hurufnya
merupakan pengganti dari suatu kata, yang bersama-sama kata itu kita dapat
membentuk beberapa kalimat yang berhubungan maknanya dengan yang
sesudahnya atau huruf itu menunjuk kepada maksud yang dikandung oleh surat
yang dimulai dengan kata tersebut."
Di
antara yang demikian ialah pendapat Ibnu Abbas tentang kaf ha ya `ain
shad. Kaf diambil dari karim, ha diambil dari hadin, ya diambil dari hakim, `ain
61
diambil dari `alim dan shad, diambil dari shadiq.
Dan seperti pendapat Ibnu Abbas tentang alif lam mim ra. Alif menunjuk
kepada Ana. Lam menunjuk kepada Allah. Ra menunjuk kepada ara. Maka alif lam ra
maknanya Anallahu ara = Aku adalah Allah, Aku melihat.
Dan pendapat Ibnu Abbas terhadap ahf lam mim shad Alif menunjukkan
kepada Ana. Lam menunjuk kepada Allah Shad menunjuk kepada ufashshilu Maka
alif lam mim shad maknanya Ana Allahu ufashshilu= Aku adalah Allah, Aku
menjelaskan segala sesuatu. Di antaranya pula ialah pendapat orang yang mengatakan
bahwa tha sin mim, maknanya Thursina dan Musa karena kedua surat yang dimulai
dengan hurufhuruf ini mengisahkan Musa di Thursina.
Semuanya ini dapat dikatakan, dugaan-dugaan belaka. Sesungguhnya banyak
benar pendapat yang telah dikemukakan terhadap apa yang telah diterangkan di atas
ini.
Diriw
ayatkan dari Ibnu Abbas sendiri mengatakan bahwa kaf ha ya `ain shad,
menunjukkan kepada kafin, hadin, amin, `alim shadiq. Dan diriwayatkan pula dari
Ibnu Abbas bahwa makna kaf ha ya `ain shad ialah kaf itu diambil dari muik, ha dari
Allah, ya dan `ain dari AI-Aziz dan shad dari AI-Mushawwir. Dan diriwayatkan pula
62
bahwa makna kaf ha ya lain shad adalah kabir, hadin, amin, aziz dan shadiq.
Adh-Dhahhak berpendapat bahwa makna alif lam ra ialah Ana Allahu a'lamu
wa arfa'u = Aku adalah Allah, Aku mengetahui dan Aku :nengangkat. Ibnu Abbas
61
Al-Itqan II:13
62
Al-Itqan II:14
61
menggabu
ngkan kepada alif lam ra, ha mim dan nun. Lalu menjadilah menurut
63
pendapatnya huruf Ar-Rahman di pecah-pecah kepada beberapa surat.
Adapun alif lam mim shad maka kadang-kadang dikatakan makna Ana Ailahu
ash-shadiqu= Aku adalah Allah yang benar. Dan kadangkadang rrienunjuk kepada
nama Allah Al-Mushawwir. Dan kadang-kadang mengisyaratkan kepada tiga nama,
alif diambil dari Allah. Mint diambil dari Ar-Rahman. Dan shad, diambil dari Ash-
Shamad.
B
agaimana caranya kita menunjukkan bahwa alif, lam, mim adalah huruf-
huruf yang menunjuk kepada Ar-Rahman, bukan huruf-huruf yang menunjak
64
kepadaAr-Rahim."
S
egolongan ulama berpendapat pula bahwa fawatih as-suwar adalah ismullah
al-A'zham, yang ditakbirkan dengan berbagai macam takbir yang berbeda-beda dari
takbir-takbir yang biasa kita lakukan. Dan dekat dengan pendapat ini ialah pendapat
yang mengatakan bahwa fawatih as-suwar adalah kata yang Allah pergunakan untuk
sumpahNya. Karena setiap suatu fatihah dari fawatih as-suwar adalah suatu nama dari
nama-nama Allah. Dan ada pula yang mengatakan bahwa huruf-huruf ini adalah
nama alamiah Al-Qur'an atau bagi sebagian surat-surat Al-Qur'an yang surat itu
65
dimulai dengan kata tersebut.
Pendapat yang lebih ganjil dari pendapat-pendapat yang sudah diterangkan
ialah pendapat Noldeke yang mula-mula dikemukakan bahwa huruf-huruf itu, tidak
lain dari potongan-potongan yang menunjukkan kepada nama-nama sebagian sahabat
yang mempunyai naskah-naskah dari surat-surat Al-Qur'an. Misalnya sin adalah po-
tongan dari nama Saad ibn Abi Waqqash, mint dari Abu Hurairah, nun dari Utsman
ibn Affan dan ha dari Abu Hurairah. Pendapat ini kemudian telah ditinggalkan oleh
Noldeke.
63
Ath-Thabari II:57
64
Ar-Razy IV: 177; Al-Itqan II:218
65
Ath-Thabari II:67; Ibnu Katsir I:36
62
pendapatnya dan lebih jelas tafsirnya dalam menerangkan maksud dari fawatih as-
suwar ini.
Mereka memperhatikan bahwa sebagian surat-surat Al-Qur'an dimulai dengan
huruf-huruf ini sebagaimana qasidah-qasidah dimulai dengan la dan bal. Maka pada
mula-mulanya mereka mengatakan bahwa huruf-huruf ini adalah pembuka surat yang
Allah sendiri menetapkannya. Pendapat ini adalah pendapat Mujahid. Kemudian
pendapat ini beralih kepada bidang yang lebih luas yaitu ketika pembuka surat ini
dipandang sebagai tanbihat atau adat-adat tanbih, supaya lebih dapat mengetuk hati
para pendengar.
Al-Khuwaiby mengatakan bahwa kata-kata itu merupakan tanbih bagi Nabi.
Mungkin pada suatu waktu Nabi berada dalam keadaan sibuk maka Allah menyuruh
kepada Jibril, di waktu Jibril turun kepada Nabi, supaya mengatakan alif lam mim,
alif lam ra, supaya Nabi lebih dahulu mendengar suara itu, lalu Nabi memberikan
perhatian kepada apa yang disampaikan kepadanya.
As-Sayid Rasyid Ridha, penyusun Tafsir al-Manar, memandang jauh dari
kebenaran apa yang dikemukakan oleh Al-Khuwaiby ini. Beliau mengatakan bahwa
Nabi selalu dalam keadaan sadar dan siap menanti kedatangan wahyu.
As-Sayyid Rasyid Ridha berpendapat bahwa tanbih ini
sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang musyrik di Makkah, kemudian kepada
ahli kitab di Madinah. Pendapat yang dikemukakan oleh beliau, sesuai dengan
pendapat Ar-Razy yang dinukilkan dari Ibnu Rauq (wafat tahun 168 H.) dan
Quthrub (wafat tahun zo6 H.), bahwa orang-orang kafir manakala mereka berkata:
)26 : (تلصف
"...Jangan kamu
mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur'an ini dan lakukanlah
keributan, supaya kamu dapat mengalahkan mereka." (QS. Fushshilat
[41]: 26)
Dan mereka satu sama lain, menganjurkan supaya tidak mendengar Al-Qur'an
di waktu Nabi membacanya, Allah pun berkehendak untuk menarik perhatian mereka
dan mendatangkan kepada mereka sesuatu yang mereka tidak ketahui yang
menyebabkan mereka diam dan mendengar apa yang dibacakan. Yaitu menurunkan
Al-Qur'an dengan memulai surat-suratnya dengan huruf-huruf Hijaiyah. Maka
apabila mereka mendengar huruf-huruf itu, mereka merasa heran dan menwruh
63
teman-teman mereka supaya mendengarkan apa yang akan dibaca oleh Nabi. Sesudah
mereka memberikan perhatian, barulah dibacakan ayat-ayat selanjutnya.
Dengan demikian, mereka dapat mengambil manfaat dari apa yang mereka dengar
itu.
Makna ini telah diterangkan oleh Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan, oleh As-
Sayuthy dalam AI-Itqan dan jauh lebih dahulu oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir dalam
tafsir-tafsirnya.
Dalam hal menerangkan maksud dimulainya sebagian surat-surat Al-Qur'an
dengan huruf-huruf potongan ini maka As-Sayid Rasyid Ridha lah mufassir yang
terbaik di antara para mufassir yang telah menerangkan maksud-maksud tersebut.
Beliau berkata:
ِِق ق ِ
قل فاليرقلَّْا اََاكقعنَاػَْاإلاَا عمّداَُةللْقال ـ َاّهػقفال هَاػُةَاػي َا َِتُةا َايربع اػَا َاَالَاالبْلقكَا فَايػبَاْلا نسُةقلقنَامل
ِ ص ا لْاِقكِقو الك قِت َّهم لىا بَقِققخ لْا مقلِاَال ا وبػني ق ِفأ ىلع ص َِّي ك ِِب لىكل ا د
ك م ن
ْل ْل َا ََاْل مَا ال ة َْاَا ْ َا ة
ُ َ
ا
ُة َاْ َاْل ةْ ُة ة َا اأ َا َاَُة ْ ْ مْ َا َا
ق ِق ق ِق ِ ِ قِِق ِق ِق ا ُق قق ِق َا
َ
يي ط ع ل و لِ
ب ي ي ُ ى و م ن ه ك ل َ
ي ه د ا ا اِِ
ل م ن ِ ةلِز نمِقلْض َفا ق وقس ػ
ا ل َا ُ ُة َ ُة ل ْل ُةَ َا اَا َ َْا ل َا َا ا َ ا َا َا َاة ْ َاَا َُ َا ْل
ػ ػ
ػَِ اِل ِوقِقبنْلػَا ِق ْلَذ ق ب
ل ا ب ادق اِقّى ونِم ب عِ ا تلع دق قك قهػنمِ ا ش ِوتو ػي اليَا ِب ِق
َُاْ َاُّة َاَ ا ْ َا َاَا َ َا ْل َْا َا لَاُة َا ل ُنة َا ْل َا ْلا َاَاْ ْل َاَا ُة ُة َاَا
لبَاِيْلذَاا ٍفآ ُة اْ َادِيليْل فاْقَاٌْلِق بةاَا َّيْلفقحلَاْلَا َا ِسلإْلاّْلِقةادا ِقلكْلِقويبنػَا ِق
ّلق ِق َُاَُاز َا علإالد ِقغ ُّػا ِ
َا َ َا ِقَا ْل َا َا َا
َ ِق ِ ُ .ِْفَايػباق نس لكْلقْ اَ اَالب ِاق
ْ ْل ْ ْل ْ َا َا
َا ُةtujuan
"Di antara kebagusan penjelasan dan balaghahnya ta'bir, yang menjadi
ِ ِ ْل ِ
balaghah itu memahamkan apa yang dikehendaki denganْ memberikan
kepuasan dan tekanan ialah pembicara mengingatkan orang yang dihadapi
dengan hat-hat yang terpenting dari pembicaraannya dan maksud-maksud
pokok dan pembicara berupaya wpaya si pendengar mengetahui apa yang
dikehendakinya serta bersungguh-sungguh menempatkan maksud-maksud itu
pada seutama-utama tempat. Di antara yang demikian ialah memberi tanbih
kepada maksud-makwd itu sebelum dimulai pembicaraan supaya tiadatah
luput sesuatu pun daripadanya. Orang Arab telah menjadikan tanbih dan Mat
istiftah di antara cara mentanbihkan itu. Maka apakah yang dipandang ganjil
apabila Al-Qur'an yang mencapai puncak kebagusan penjelasannya, menam-
bah atas yang demikian itu. Dan wajiblah Al-Qur'an itu menjadi imam yang
64
ditelad
ani dalam hat ini sebagaimana ia tetah menjadi imam dalam hat
66
perbaikan dan petunjuk."
66
Tafsir al-Manar VIII: 296, 298-299; Al-Burhan I:170
67
Tafsir Ibnu Katsir I: 37-38
65
8. AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH
Artinya : “Alif laam raa,
Artinya :
68
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qu'ran. Zikra Multi Service. Jakarta 2009
hal 103
69
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qu'ran. Zikra Multi Service. Jakarta 2009
hal 104
66
Muhkam adalah yang menunjukkan kepada maknanya dengan terang.
Sedikitpun tak ada yang tersembunyi padanya. Sedang mutasyabih adalah
70
yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk kepada maknanya .
Pendapat para ulama berbeda-beda dalam memberikan muhkam dan
mutasyabih, namun yang terpenting diantaranya ialah :
Golongan ahlusunnah wal jamaah mengatakan lafal muhkam adalah lafal
yang mudah diketahui maksudnya oleh manusia sedangkan mutasyabih
hanya Allah SWT sendiri yang mengetahui.
Ulama golongan Hanafiah mengatakan lafal muhkam ialah lafal yang
jelas petunjuknya sehingga tidak terjangkau oleh pikiran manusia ataupun
tidak tercantum dalam dalil-dalil nash.
Imam ibnu hambal dan pengikutnya mengatakan hal lafal muhkam adalah
ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan
keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukan penjelasan dengan
71
merujuk kepada ayat-ayat yang lain.
Sedangkan dalam referensi lain mengatakan pengertian secara terminologi
(istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti berikut ini :
1. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan
gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat mutasyabih
adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah SWT, seperti saat
kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqaththa'ah.
Defenisi ini dikemukakan oleh kelompok Ahlussunnah.
2. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat
mutsyabih sebaliknya.
3. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan
sisi arti lain, sedangkan ayat mutasyabih mempunyai kemungkinan sisi
arti banyak. Defenisi ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas.
4. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami akal,
seperti bilangan raka'at shalat kekhususan bulan Ramadhan untuk
pelaksanaan
70
M. Hasbi ash shiddieq. Ilmu-ilmu AI-Qur'an. Bulan Bintang. Jakarta 1992. hal 167
71
Abdul Jalal. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur'an.Dunia Ilmu. Surabaya 2000 ha1240
67
puasa wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya. pendapat ini
dikemukakan Al-Mawardi.
5. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat
diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan
penakwilan untuk mengetahui maksudnya.
6. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam
pemaknaannya), sedangkan ayat mutasyabih bergantung pada ayat-ayat lain.
7. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang,
sedangkan ayat-ayat mutasyhabih sebaliknya.
8. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefardhuan>
ancaman dan janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-
kisah dan perumpamaan-perumpamaan.
9. Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib dari Ibn
Abbas yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
menghapus (nasikh), berbicara tentang haram-haram, ketentuan-ketentuan
(hudud), kefardhuan, serta yang harus diimani dan diamalkan. Adapun ayat-
ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus (mansukh), yang berbicara
tentang perumpamaan-perumpamaan (amstal), sumpah (aqsam), dan yang
harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
10. Abdullah bin Hamid mengeluarkan sebuah riwayat dari Adh-Dhahak bin Al-
Muzahim yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat
tidak dihapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus.
11. Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqatil bin Hayyan
yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah seperti: Alif lam
miim, Alif lam raa, dan Alif lammim raa.
12. Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa Ikrimah, Qathadah bin Dhuamah, dan
yang lainnya menyatakan baliwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
Melihat pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa inti
muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Masuk
ke dalam katagori muhkam adalah nash (kata yang menunjukkan sesuatu
yang
68
dimaksud dengan terang dan tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan)
dan zhahir (makna lahir). Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas. Masuk dalam katagori mutasyabih. Ini adalah
72
mujmal (global), mu'awwal (harus ditakwil), musykil dan mubham (ambigius) .
Artinya : “Alif lam raa,
Artinya : “Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) AI-
Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah SWT.
Itulah petunjuk Allah SWT, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang
72
Drs. Rosihan Anwar M. Ag. Ulumul Qur'art. CP Pustaka Setia. Bandung .2004
cetakan kedua. Hal 125-127
69
dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah SWT,
niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun". (Q.S. az-Zumar :23)
73
Sukardi K.D. Studi khazanah ilmu AI-Quran. PT Lentera Basritama. Jakarta 2002
cetakan pertama.
74
Muhammad Chrizin,. Al Qur'an dan ulumul Quran. Dana Bhakti Prima
Yasa.yogyakarta 1998 h. 73
70
Artinya :Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. ( Q.S. Al-Ikhlas : 3)
Artinya : Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia(Allah).(Q.S.As-
Syuura:ll)
Artinya : (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas Arsy.
(Q.S, Taha :5)
...
Artinya : tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuaii Allah SWT. (Q.S. AI-
Qashash:88)
...
Artinya: Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu. (Q.S. Ar-
Rahman :27)
71
memanfaatkannya. Akan tetapi jika Al-Qur'an mengandung muhkam dan
mutasyabih maka masing-masing dari penganut mazhab akan mendapatkan
dalil yang menguatkan pendapatnya. Selanjutnya, semua penganut
mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya. Sekiranya
mereka terus menggalinya maka ayat-ayat muhkamat menjadi
penafsirannya.
3. Jika Al-Qur'an mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk
memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan
lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika,
ma'ani, ilmu bayan, ushul fikh dan sebagainya.sekiranya hal itu
demikian sudah barang tentu ilmu-ilmu tersebut tidak muncul.
4.
Al-Qur'an berisi da'wah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang-
75
orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak.
75
Ramli Abdul Wahid, M.A. Ulumul Quran.PT Raja Grafindo Persada jakarta 1993
h. 110-111
72
9. I’JAZ AL- QUR'AN
Al-Qur'an adalah kitab petunjuk dan hidayah bagi manusia dan seluruh
makhluk yang bertaqwa di atas bumi ini. Sesuai dengan penegasan al-Qur'an : Kitab
(AI-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa
(QS al-Baqarah [2]: 2), agar mereka dapat hidup teratur dan tertib serta benar dalam
kehidupan ini. Seluruh alam yang luas beserta isinya dari bumi, laut dan segala isinya
akan menjadi kecil di hadapan manusia yang lemah, karena ia telah diberi
keistimewaan-keistimewaan seperti kemampuan berpikir untuk mengelola seluruh
yang ada di hadapannya.
Allah tidak akan membiarkan manusia tanpa adanya wahyu pada setiap masa,
agar mendapat petunjuk dan menjalankan kehidupannya dengan terang dan benar.
Maka Allah mengutus Rasul-Nya dengan mu’jizat yang sesuai dengan kecanggihan
kaum pada masanya, agar manusia mempercayai bahwa ajaran yang ia bawa datang
dari Allah swt. Oleh karena akal manusia pada masa pertama perkembangannya lebih
dapat menerima mu’jizat yang bersifat materi, maka mu'jizat juga berbentuk materi
seperti mu‟jizat tongkat Nabi Musa as., yang bisa berubah menjadi ular besar, juga
mu'jizat Nabi Isa as., yang dapat menghidupkan orang yang mati dengan izin Allah,
dan dapat menyembuhkan orang buta.
K
etika akal manusia mencapai kesempurnaannya, Allah memberikan risalah
Muhammad yang kekal kepada seluruh umat manusia yang tidak terbatas pada kaum
di masanya saja. Maka mu'jizatnya adalah mu jizat yang kekal sesuai dengan
76
kematangan perkembangan akal manusia.
Sifat kekekalan dan keterpeliharaan ini memang dijamin dalam al-Qur'an
sendiri yakni dalam surat al-Hijr (15) ayat 9. Tidak ada campur tangan manusia
bahkan sekalipun dari sang rasul pembawa risalah ini, Muhammad saw. Pada awal
masa Islam para ahli sastra ditantang untuk membuat yang seumpama dengannya,
namun tantangan itu gagal mereka layani. Sampai saat ini pun sejarah mencatat tidak
ada yang sanggup menandingi al-Qur'an.
76
Manna' al-Qaththan, Mabahits fi 'ulum al-Qur'an, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1995), h. 257.
73
A. Pengertian I'jaz al-Qur'an
عsemakna dengan
اَ لْ أyang
َا َا
Menurut bahasa, kata mu‟jizat berasal dari kata kata
ض
( َاعأ اذكة نعَا تل َا َاعأ ْلَاaku melemahkan sesuatu maka menjadi
ْلَا
77
اََا
perkataan
ْل ْ ُ
عِق
ٌن ْلُة
lemah). Sedangkan sang pelaku disebut . Sementara kalau kemampuan
م
melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan,
َق
maka dinamakan sebagaiةةِلعمان dengan mendapat tambahan (E) yang
Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu membuat seperti burung
gagak ini, untuk menguburkan mayat saudaraku ini. (QS.aIMaidah (5):31)
77
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Fikr, tth) h. 369
74
Sesuatu dinamakan mu'jizat karena manusia lemah untuk mendatangkan
yang sama dengannya atau saingannya, sebab mu'jizat memang datang sebagai
hal-hal yang bertentangan dengan adat, keluar dari batas batas yang telah dikenal
78
atau faktor yang telah diketahui dan dipahami oleh manusia. Hal-hal luar biasa
itu hanya bisa ditunjukkan oleh Allah swt.
Secara terminologi, yang dimaksud dengan I'jaz adalah tanda-tanda
kebenaran seorang Nabi dalam pengakuannya sebagai rasul dengan cara
menampakkan kelemahan orang-orang yang tidak mempercayai untuk
menghadapi mu jizatnya. Jadi i'jaz al-Qur'an (kemukjizatan a1-Qur'an) ialah ke-
kuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki al-Qur'an yang
menetapkan kelemahan manusia, baik 'secara berpisahpisah maupun secara
berkelompok, untuk bisa mendatangkan sesuatu yang serupa atau
menyamainya. Hal ini menunjukkan atas kebenaran Rasulullah di dalam
79
mengemban misi dakwahnya. Seperti jawaban Allah atas pertanyaan kafir
Quraisy yang tercantum dalam Surat al-Ankabut (29): 50-51 yakni :
78
M. Ali al- Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1985) h. 93
79
Abd al-Qadir Attha, Adhimah al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, tt.) h 54
75
kepada mereka? Sesungguhnya dalam (alQur'an) itu terdapat rahmat yang besar
dari pelajaran bagi orang-orang yang beriman.
Y
ang dimaksud dengan kemu'jizatan al-Quran bukan berarti melemahkan
manusia dengan pengertian melemahkan yang sebenamya (seperti yang dianut
oleh faham al-sharfah). Artinya memberi pengertian kepada mereka tentang
kelemahan mereka untuk mendatangkan sesuatu yang sejenis dengan al Qur'an
menjelaskan bahwa kitab al-Qur'an ini haq dan bukan buatan Muhammad, dan
80
rasul yang membawanya adalah rasul yang benar.
Ulama
kalam mengatakan bahwa mu'jizat adalah sesuatu yang berbeda
dengan adat kebiasaan yang terjadi di dunia untuk menunjukkan kebenaran
kenabian para Nabi. Seperti al-Thusi mendefinisikan mu'jizat sebagai terjadinya
sesuatu yang tidak biasa terjadi, atau terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi
81
yang disertai dengan perombakan adat kebiasaan sesuai dengan tuntutan.
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa kemu'jizatan al-Qur'an itu antara
lain terletak pada segi fashahah dan balaghahnya, susunan dan gaya bahasanya,
serta isinya yang tiada bandingannya. Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya sengaja
menantang seluruh manusia dan jin untuk membuat yang serupa dengan al-
Qur'an. Bentuk tantangan itu termaktub dalam surat Bani Israil ayat 88 yang
berbunyi :
80
Al-Shabuni, AI-Tibyan, h. 93
81
Abu Zahra al-Najd, al-Qur an dan Rahasia Angka-Angka, terj, Agus Effendi
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991) h. 17
76
Pada ayat di atas, Allah menunjukkan kelemahan orang-orang Arab untuk
menandingi al-Qur'an, padahal mereka memiliki modal dan potensi untuk itu.
Kebiasaan orang-orang Arab pra Islam yang selalu memperlombakan sya'ir-
sya'ir, dan bagi pemenangnya, syair tersebut selalu digantung di dinding Ka'bah.
Namun setelah Islam datang kekuatan sya'ir mereka kalah dengan gaya bahasa
al-Qur'an yang bersajak. Ini merupakan bukti tersendiri bagi kelemahan bahasa
Arab di mana pada masa tersebut bahasa ini berada pada puncak kejayaannya.
Mengakhiri pengertian I'jaz al-Qur'an ini ada baiknya mengutip
pernyataan Muhammad Abduh dalam kitabnya Risalah Tauhid yang
menerangkan bagaimana ketinggian dan kemajuan bahasa serta sastra Arab pada
masa turunnya al-Qur'an, yaitu al-Qur'an diturunkan pada suatu masa di mana
pada masa itu banyak sekali terdapat para ahli sastra dan retorika yang
menguasai ilmu ini dengan sangat baik. Kemudian ia berkata mengenai tantangan
al-Qur'an terhadap ahli sastra tersebut :
"
Benarlah bahwa al-Qur'an itu suatu mu'jizat. Telah berlalu masa yang
panjang, telah silih berganti datangnya angkatan demi angkatan, tantangan al-
Qur'an tetap berlaku, tetapi tak seorang pun yang dapat menjawabnya… semua
kembali dengan tangan hampa karena lemah dan tiada berdaya. Bukankah
lahimya kitab al-Qur'an ini dibawa oleh seorang Nabi yang ummi, suatu mu'jizat
yang terbesar yang dapat membuktikan bahwa ia bukan buatan manusia, memang
sebenarnya ia mu'jizat untuk membuktikan kebenaran Nabi Muhammad yang
82
terpancar dari ilmu Ilahi.
B. Macam-Macam Mujizat
Secara garis besar Mujizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan
kepada Nabi-nabi pendahulunya dapat digolongkan ke dalam dua jenis yakni :
83
mu’jizat hissi dan mu’jizat maknawi ('aqliyah). " Adapun mujizat,hissi vaitu-
mujizat yang dapat dilihat secara kasat mata, didengar oleh telinga, dirasa dan
82
Tim Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Madinah alMunawwarah, 1991) h. 91
83
Muhammad Ibn Alawi, Zubdah al-Itqan f i 'Ulumi al-Qur'an (Makkah al-
Mukarramah: Dar al-Syurucy 1983) h. 118
77
ditangkap, oleh.panca indra. Mu‟jizat semacam ini adalah mu'jizat yang
berlaku secara temporal sesuai dengan kebutuhan. Mujizat Nabi-nabi terdahulu
semuanya masuk pada tipe yang pertama ini. Seperti tidak terbakamya
Ibrahim as., berubahnya tongkat Musa as., menjadi ular, Isa as., yang
menghidupkan orang mati, juga terjadi pada diri Nabi Muhammad saw., ada
kisah memancamya air dari jari-jari tangan beliau, membelah bulan
84
sebagaimana diabadikan pada awal surah al-Qamar. Mu jizat semacam ini
sengaja ditunjukkan kepada manusia yang tak mampu menggunakan akal
pikiran dan kecerdasannya untuk menangkap keagungan Allah.
S
edangkan maknawi adalah.mulizat yang tidak dapat dicapai
dengan kekuatan panca indra semata, tapi dicapai dengan kekuatan dan
kecerdasan akal pikiran. Hanya orang-orang yang mempunyai akal sehat dan
kecerdasan yang tinggi, mempunyai hati nurani serta berbudi luhur sajalah yang
85
mampu manang-kap dan memahami kebesaran mu'jizat model ini.
Kedua jenis mu'jizat ini diberikan kepada Nabi Muhammad dan al-Qur'an
mengandung keduanya. Bahkan yang maknawi ('aqli) jauh lebih besar porsinya
dibandingkan dengan yang hissi. Sebab al-Qur'an memang dipersiapkan untuk
menghadapi dan mengantisipasi serta mengendalikan segala zaman, sebagai
konsekuensi dari proses kenabian dan kerasulan yang terhenti dan Muhammad
sebagai khatam an-nabiyyin.
Dengan daya nalar akal manusia, misteri-misteri yang berhasil disingkap
oleh ilmu pengetahuan modern hanyalah merupakan sebagian kecil dari
fenomena jagat raya. Hakikat-hakikat yang tertinggi yang terkandung dalam
misteri alam merupakan bukti eksistensi Sang Pencipta dan perencanaanNya.
Atas dasar inilah Albert Einstein sebagaimana dinukil oleh Quraish Shihab,
bahwa dia berujar: "Apa yang terjadi, semuanya diwujudkan oleh suatu kekuatan
84
Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 2000) eet. VIII, h. 35
85
Munawar Khalil, Al-Qur'an dari Masa ke Masa, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985) h.
59-60
78
86
Yang Maha Dahsyat lagi Maha Mengetahui. " Itulah yang dikemukakan dan
diisyaratkan oleh al-Qur'an secara global.
86
Quraish Shihab, Mukjizat AI-Qur'an, h. 30.
79
Paham Sharfah
Al-Syarif al-Murtadha berpendapat bahwa al-Qur'an itu mu'jiz bi al
sharfah. Maksudnya, Allah swt., memalingkan hamba-hamba-Nya dengan
menarik kehendak mereka dan mengelukan lidah-lidah mereka untuk membuat
yang serupa dengan al-Qur'an. Sehingga campur tangan Tuhan terlalu dominan
dalam menghalang-halangi manusia. Paham ini mengatakan seandainya jika
proses pemalingan tidak ada maka manusia akan mampu membuat yang semisal
87
dengan alQur'an. Sementara al-Khitabi menolak pendapat al-Qur'an mu'jizat bi
al sharfah. Beliau mengatakan bahwa al-sharfah merupakan hal yang tidak
begitu berbeda dengan I'jaz, hanya saja petunjuk ayat menunjukkan sebaliknya.
87
Attha, 'Adhimah al-Qur'an, h. 85. untuk lebih jelasnya lihat M. Quraish Shihab,
Mukjizat Al-Qur'an, , h. 155
80
sama persis dengan al-Qur'an secara keseluruhan (QS. Al-Isra' (17): 88);
kemudian datang tantangan dengan sepuluh surat (QS. Hud (11): 13); selanjutnya
tantangan dengan satu surat (QS. Yunus (10): 38); dan dengan suatu pembicaraan
yang menyerupai al-Qur'an (QS. al-Thur (52): 34). Namun demikian tidak dapat
dikatakan bahwa kemu jizatan itu hanya terletak pada kadar-kadar tertentu saja.
Pada bunyi huruf dan alunan kata al-Qur'an, ayat-ayat dan surat-suratnya, dapat
dirasakan bahwa al-Qur'an adalah kalamullah.
Untuk menengarai perdebatan tentang kadar ukuran tentang seberapa al-
Qur'an dapat dikatakan mu'jizat, dapat diambil jalan tengah bahwa mu'jizat itu
ukurannya dengan surat terpendek dalam al-Qur'an. Artinya bagian dari al-
Qur'an dapat dikatakan mu'jiz apabila kadarnya tidak kurang dari ukuran surat
terpendek yang ada. Sedangkan surah paling pendek adalah surah al-Kautsar.
Setiap manusia yang memusatkan perhatiannya pada alQur'an akan
menemukan rahasia-rahasia kemu'jizatan itu dalam keteraturan bahasanya,
bunyinya yang indah melalui nada-nada hurtifnya. Hal ini sesuai dengan
yang digambarkan Allah :
Dan sekiranya al-Qur'an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka akan
mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. alNisa' (4): 82)
81
Qur'an. Al-Qur'an telah membangunkan kembali (reawakeing) pada diri setiap
muslim akan kesadaran ilmiah untuk memikirkan, memahami dan menggunakan
akal sesuai dengan firman Allah :
88
Al-Qaththan, Mabahits,h. 379.
82
1. Susunannya yang indah, berbeda dengan susunan yang ada dalam bahasa
orang-orang Arab.
2. Terdapat uslub yang unik yang berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa
Arab.
3. Ia mengandung sifat mungkin dan membuka peluang bagi seorang makhluk
untuk mendatangkan yang sejenisnya.
4. Bentuk undang-undang yang detail lagi sempuma melebihi setiap undang-
undang buatan manusia.
5. Menggambarkan hal-hal yang gaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan
wahyu.
6. Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang
dipastikan kebenarannya.
7. Menepati janji yang ada dalam al-Qur'an.
8.
Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan di dalamnya.
89
9. Berpengaruh kepada semua pengikut dan musuhnya.
Ak
an tetapi Quraish Shihab berpendapat bahwa pada garis besamya mu'jizat
al-Our'an-ihz tampak dalam tiga hal pokok. Pertama, susunan redaksinya yang
mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab. Kedua, kandungan ilmu
pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang diisyaratkannya. KetiQa, ramalan-
90
ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenararmya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum al-Qur'an itu mu'jizat
dengan segala makna yang dibawa dan dikandung oleh lafadz-lafadznya dan juga
uslubnya. Satu huruf darinya merupakan bagian dari mu'jizat yang diperlukan
oleh lainnya dalam ikatan kata; suatu kata yang berada di tempatnya juga
merupakan bagian mu'jizat dalam ikatan kalimat, dan satu kalimat yang ada di
tempatnya juga merupakan bagian mu'jizat dalam jalinan surat.
89
Al-Shabuni, A!-Tibyan,h. 105
90
Quraish Shihab, Membumikati AI-Qur'an, h. 62 lihat pula Quraish Shihab, Mukjizat
Al-Qur'an, h. 212-214
83
10. KISAH-KISAH DI DALAM AL-QUR'AN
(ILMU QASHASH AL-QUR'AN)
A.Pengertian Qashash
Qa
shash adalah mashdar dari qashsha yang berarti mencari bekasan atau
91
mengikuti bekasan (jejak). Qashash bermakna urusan, berita, khabar dan
92
keadaan. Qashash juga berarti berita-berita yang berurutan.
Qashash al-Qur'an ialah khabar-khabar AI-Qur'an tentang keadaankeadaan
umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi.
Al-Qur'an meliputi keterangan-keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri serta menerangkan
bekasan-bekasan dari kaum-kaum purba itu.
84
3. Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa
Rasulullah saw., seperti perang Badar dan Uhud yang diterangkan di dalam
surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk yang diterangkan di dalam
surat AtTaubah, perang Ahzab yang diterangkan dalam surat AlAhzab dan
Hijrah serta Isra' dan lain-lain.
93
QS. Al-Anbiya [21]: 25.
94
QS. Hud [11]: 120.
95
QS. Ali Imran [3]: 93.
96
QS. Yusuf [12]: 111.
85
1. Menandaskan kebalaghahan Al-Qur'an dalam bentuk yang paling tinggi. Di
antara keistimewaan-keistimewaan balaghah ialah menerangkan sebuah
makna dalam berbagai macam susunan. Dan di tiap-tiap tempat disebut
dengan susunan kalimat yang berbeda dari yang telah disebutkan. Dengan
demikian selalu terasa nikmat kita mendengar dan kita membacanya.
2. Menampakkan kekuatan i‟jaz. Menyebut suatu makna dalam berbagai
bentuk susunan perkataan yang tidak dapat ditantang salah satunya oleh
sastrawan-sastrawan Arab, menjelaskan bahwa Al-Qur'an itu benar-benar dari
Allah.
3. Memberikan perhatian penuh kepada kisah itu. Mengulangulangi kisah adalah
salah suatu cara ta'kid dan salah satu dari tanda-tanda besamya perhatian,
seperti keadaannya kisah Musa dan Fir'aun.
4. Karena berbeda tujuan yang karenanyalah disebut kisah itu. Di suatu tempat
diterangkan sebagiannya, karena itu saja yang diperlukan dan di tempat-
tempat yang lain disebut lebih sempurna karena yang demikianlah yang
dikehendaki keadaan.
86
11. PERUMPAMAAN-PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR'AN
(ILMU AMTSAL AL-QUR'AN)
AMTSAL jamak dari matsal. Matsal, mitsl dan matsil sama dengan syabah,
syibh dan syabih (semakna). Matsal dimaknakan dengan keadaan, kisah dan sifat
yang menarik perhatian, menakjubkan, seperti firman Allah swt.:
...
"Yakni kisah surga dan sifatnya yang menakjubkan yang dijanjikan kepada orang-orang
yang takwa...." (QS. Ar-Ra'd [13]: 35)
87
A. Faedah-faedah Amtsal
Di antara faedah-faedah amtsal ialah :
1. Melahirkan sesuatu yang dapat dipahami dengan akal dalam bentuk rupa yang
dapat dirasakan oleh panca indera, lalu mudah diterima oleh akal, lantaran
makna-makna yang dapat dipahamkan dengan akal tidaklah tetap di dalam
ingatan, terkecuali apabila dituangkan dalam bentuk yang dapat
dirasakan yang dekat kepada paham.
2. Mengungkap hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang jauh dari
pikiran seperti mengemukakan sesuatu yang dekat pada pikiran.
3. Mengumpulkan makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek.
Allah banyak menyebut amtsal di dalam Al-Qur'an untuk pengajaran dan
peringatan. Allah swt. berfirman:
"Dan sungguh telah Kami buat untuk manusia datam Al-Qur'an ini
berbagai macam rupa matsal. Mudah-mudahan mereka mengambil
pengajaran dari padanya." (QS. Ar-Zumar [39]: 27)
"Itulah matsal-matsal yang Kami buat untuk manusia dan tidaklah dapat
di-pahamFan matsat-matsal itu melainkan oleh orang-orang yang berilmu." (QS.
Al-Ankabut [29]: 43)
88
3. Amtsal yang terlepas (mursalah).
Amtsal musharrahah ialah yang ditegaskan di dalamnya lafal matsal atau
yang menunjuk kepada tasybih.
Di
antaranya perumpamaan yang Allah berikan terhadap orangorang
97
munafik dalam surat Al-Baqarah. Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua
perumpamaan bagi orang munafik. Pertama, perumpamaan yang berhubungan
dengan api. Dan yang kedua perumpamaan yang berhubungan dengan air. Dan
Allah membuat dua perumpamaan pula, perumpamaan yang berhubungan
dengan air dan perumpamaan yang berhubungan dengan api dalam surat Ar-
98
Ra'd.
Amtsal kaminah ialah yang tidak ditegaskan lafal tamsil. Tetapi dia
menunjuk kepada beberapa makna yang indah yang mempunyai tekanan
apabila ia dipindahkan kepada yang menyerupainya. Para ulama telah
membuat contoh tentang amtsal ini dengan beberapa perumpamaan.
Di antaranya ayat yang senada dengan perkataan :
"... Sapi betina yang tidak tua tidak muda, pertengahan antara
99
itu...." (QS. AI-Baqarah [2]: 68)
Dan yang senada dengan perkataan :
97
QS. Al-Baqarah [2]: 17-20.
98
Q5. Ar-Ra'd [13]: 17.
99
QS. Al-Furqan [25): 67; QS. Al-Isra' [17]: 29, 110.
89
...
َ ك ق
.يدتَا ةَا
فادت نل ُة
َاِ ُة ا
"Sebagaimana engkau lakukan terhadap orang lain,
ُ ْ
begitulah dilakukan
terhadap engkau."
ialah firman Allah swt.:
“...Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalasnya dengan ke-
jahatannya itu...." (QS. An-Nisa' [4]: 123)
Dan yang senada dengan perkataan :
ة
ْمَاٍْلة ِققة نمْل لْا غدَال
.َّاػيلَاق ـػت
َ
ُة
ُ
ِْ ِ ُ ُة
'Tiadalah seorang mukmin masuk ke dalam lobang binatang buas ُ sampai dua
kali."
ialah firman Allah swt.:
...
90
...
100
“...Sekarang ini jelaslah kebenaran itu...." (QS. Yusuf [12]: 51)
100
QS. An-Najm [53]: 58; QS. Yusuf [12]: 51; QS. Hud [11]: 58; Q5. Al-An'am [6]:
67; QS. Fathir [35]: 43; QS. Al-Isra' [17]: 84; QS. Al-Baqarah [2]: 216; QS. Al-
Muddatstsir [74]: 38; QS. Al-Mukminun [23]: 58; QS. Al-Hijr [15]: 74; Q5. Ash-
Shaffat [37]: 61; QS. At-Maidah [5]: 100; QS. Al-Baqarah [2]: 29; QS. Al-Hasyr
[59]: 14.
91