A. Definisi
B. Faktor Risiko
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis asma klasik adalah serangan episodic batuk, sesak napas,
dan mengi. Pada awal serangan, gejala yang timbul tidak khas, seperti rasa berat di
dada dan pada asma alergik bisa disertai pilek atau bersin. Pada awalnya, batuk tidak
disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya, batuk akan diserai sekret, baik
yang mukoid maupun purulen.
a. Cough variant asthma
Cough variant asthma hanya memiliki gejala batuk. Jika kondisi
tersebut dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah diberikan bronkodilator atau uji provokasi bronkus menggunakan
metakolin.
b. Asma alergik
Asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus
nonalergik, seperti asap rokok dan perubahan cuaca.
c. Asma akibat pekerjaan
Gejala asma akibat pekerjaan memburuk pada awal minggu dan
membaik menjelang akhir minggu. Jika gejalanya memburuk sepanjang
minggu, gejalanya akan membaik jika pasien dijauhkan dari lingkungan
kerjanya. Pada asma akibat pekerjaan, perlu pemantauan menggunakan peak
flow meter atau uji provokasi dengan bahan suspect yang ada di lingkungan
kerja.
E. Diagnosis
a. Anamnesis
a) Keluhan: batuk, sesak napas, mengi, atau rasa berat di dada. Kadang-
kadang pasien hanya mengeluh batuk yang umumnya timbul pada
malam hari atau saat melakukan aktivitas fisik. Gejala sering timbul
pada malam hari atau musim tertentu.
b) Riwayat penyakit pasien atau keluarga: rhinitis alergi atau dermatitis
atopik.
b. Pemeriksaan Fisik
Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat
sampai sianosis.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan
diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan
sesudah pemberikan bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 12% atau 200 mL
menunjukkan diagnosis asma, tetapi respons < 12% atau <200 mL
bukan berarti bukan asma. Hal tersebut dapat dijumpai pada kondisi
yang mendekati normal atau normal. Respons terhadap bronkodilator
tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat karena obat
tunggal bronkodilator tidak cukup kuat untuk memberikan efek.
Untuk melihat reversibilitas pada kondisi tersebut, diperlukan
kombinasi obat golongan adrenergic beta, teofilin, dan korikosteroid
dalam jangka waktu 2 – 3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa
pengobatan dengan melihat hasil spirometri yang dilakukan pada saat
yang berbeda, misalnya beberapa hari atau bulan kemudian. Selain
itu, pemeriksaan spirometri juga penting untuk menilai derajat
obstruksi saluran napas dan efek pengobatan.
b) Uji provokasi bronkus
Jika pemeriksaan spirometri normal, dilakukan uji provokasi
bronkus dengan histamin, metakolin, aktivitas fisik, suhu dingin,
larutan garam hipertonik, atau aqua destilata untuk menunjukkan
adanya hipereaktivitas bronkus. Penurunan VEP1 20% dianggap
bermakna. Uji provokasi dengan aktivitas fisik dilakukan dengan
berlari cepat selama 6 menit untuk mencapai denyut jantung 80 –
90% dari maksimum dan dianggap bermakna jika terjadi penurunan
APE 10%. Uji provokasi menggunakan alergen hanya dilakukan
pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji.
c) Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat khas pada asma. Selain itu, kristal
Charcot-Leyden, Spiral Curschmann, dan miselium Aspergillus
fumigatus juga dapat dilihat pada pemeriksaan sputum.
d) Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat.
Pemeriksaan eosinofil total dapat dipakai sebagai acuan untuk
menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid.
e) Uji kulit
Uji kulit dilakukan untuk menunjukkan adanya IgE spesifik.
Uji kulit hanya menyokong anamnesis karena uji alergen yang (+)
tidak selalu merupakan penyebab asma.
f) Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Pemeriksaan IgE total hanya menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna jika uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
g) Foto toraks
Foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan proses patologis di
paru atau komplikasi aspa, seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, atelektasis, dll.
h) Analisis gas darah
Analisis gas darah hanya dilakukan pada asma yang berat.
Pada awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO 2 < 35
mmHg), kemudian pada serangan yang lebih berat PaCO 2 justru
mendekati normal sampai normokapnia. Selanjutnya, pada serangan
yang sangat berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 45 mmHg),
hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
PPOK
A. Definisi
B. Faktor Risiko
1. Asap rokok
Rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, terutama rokok
sigaret. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok pertahun, dan lamanya merokok (Indeks
Brinkman). Selain itu, perokok pasif juga memiliki risiko karena terjadi
peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas dari asap rokok. Di sisi lain,
kebiasaan merokok juga dipengaruhi oleh genetik.
Pencatatan riwayat merokok:
a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b. Derajat berat merokok menggunakan Indeks Brinkman:
Ringan : 0 – 200
Sedang : 200 – 600
Berat : > 600
2. Polusi udara
Ukuran dan jenis partikel memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya
dan beratnya PPOK.
Polusi di dalam ruangan
o Asap rokok
o Asap kompor
Kayu, serbuk gergaji, batu bara, dan minyak tanah yang
dijadikan sebagai bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi
polusi di dalam ruangan karena menghasilkan asap. Selain itu,
pemanas ruangan dengan ventilasi yang kurang baik juga berisiko.
Polusi di dalam ruangan memiliki risiko lebih besar daripada polusi
sulfat atau gas buang kendaraan.