Anda di halaman 1dari 9

Asma

A. Definisi

B. Faktor Risiko

C. Patogenesis dan Patofisiologi


a. Patogenesis
Dasar gejala asma adalah inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Menurut
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6 Jilid I, asma dapat dibedakan berdasarkan
penyebabnya, yaitu asma alergik dan asma nonalergik. Asma alergik dan asma
nonalergik memiliki jalurnya masing-masing. Jalur imunologis, yang terutama
didominasi oleh IgE, terlibat pada asma alergik, sedangkan jalur saraf otonom terlibat
pada asma nonalergik.
Pada jalur imunologis, alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diolah oleh
APC. Kemudian, hasil olahannya akan dikomunikasikan kepada sel Th. Sel Th lah
yang akan memberikan instruksi melalui IL atau sitokin supaya sel-sel plasma
membentuk IgE, mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, dan
limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi, seperti histamin, PG, LT,
PAF, bradikinin, TX, metakolin, dll yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus, dan
fibrosis subepitel sehingga menimbulkan obstruksi dan hipereaktivitas saluran napas.
Di sisi lain, jalur nonimunologik merangsang sel-sel inflamasi dan sistem saraf
otonom untuk menyebabkan inflamasi dinding bronkus sehingga menimbulkan
obstruksi dan hipereaktivitas saluran napas.
Selain itu, hipereaktivitas saluran napas juga dapat disebabkan oleh kerusakan
epitel karena akan meningkatkan penetrasi alergen, merangsang pengeluaran
mediator-mediator inflamasi, yang didukung juga oleh adanya gangguan otot polos
saluran napas, dan menyebabkan iritasi ujung-ujung saraf saraf otonom sehingga lebih
mudah terangsang. Kerusakan epitel juga dapat mengganggu mediator yang bersifat
sebagai bronkodilator yang terdapat di dalam epitel bronkus sehingga bronkonstriksi
lebih mudah terjadi didukung oleh adanya gangguan otot polos yang menyebabkan
spasme otot bronkus.
Hipereaktivitas saluran napas juga dapat disebabkan oleh peningkatan respons
saraf parasimpatis dan gangguan otot polos saluran napas yang menyebabkan
hipertrofi otot polos saluran napas.
b. Patogenesis
Obstruksi saluran napas akan memberat selama ekspirasi karena saluran napas
menyempit pada saat ekspirasi sehingga udara di distal tempat terjadinya obstruksi
terperangkap dan tidak dapat diembuskan. Kemudian, terjadi peningkatan volume
residu (volume udara yang tetap berada di dalam paru setelah ekspirasi maksimal) dan
kapasitas residu fungsional (volume udara yang tersisa di paru setelah akhir ekspirasi
normal) = volume cadangan ekspirasi (volume udara yang masih bisa dikeluarkan dari
paru setelah ekspirasi) + volume residu dan pasien akan bernapas pada volume yang
tinggi mendekati kapasitas paru total (volume maksimum paru yang dapat
dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa) = kapasitas vital paru
(volume udara maksimal yang dapat masuk atau keluar paru pada saat inspirasi atau
ekspirasi maksimal selama satu siklus pernapasan) + volume residu. Kondisi
hiperinflasi tersebut bertujuan supaya saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas
berjalan dengan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi, dibutuhkan otot-otot
bantu napas.
Mengi menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan
batuk dan sesak lebih menandakan terjadinya penyempitan di saluran napas kecil.
Penyempitan saluran napas tidak terjadi secara merata. Darah kapiler yang
melalui area yang kurang mendapatkan ventilasi mengalami hipoksemia. Untuk
mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi sehingga lebih
banyak CO2 yang dikeluarkan yang mengakibatkan PaCO 2 menurun sehingga
menimbulkan alkalosis respiratorik.
Pada serangan asma yang lebih berat, saluran napas dan alveoli sudah banyak
yang tersumbat oleh mukus sehingga tidak terjadi pertukaran gas. Kondisi tersebut
menyebabkan hipoksemia, kerja otot-otot pernapasan memberat, dan terjadi
peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 dan penurunan ventilasi alveoli
menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan asidosis respiratorik atau gagal napas.
Hipoksemia yang berlangsung lama menimbulkan asidosis metabolik dan konstriksi
pembuluh darah paru yang menyebabkan shunting (peredaran darah tanpa melalui
unit pertukaran gas yang baik) sehingga mengakibatkan perburukan hiperkapnia.
Dengan demikian, obstruksi saluran napas pada asma menyebabkan:
1. Gangguan ventilasi (hipoventilasi).
2. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (distribusi ventilasi tidak sebanding
dengan sirkulasi darah paru).
3. Gangguan difusi gas di alveoli.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis asma klasik adalah serangan episodic batuk, sesak napas,
dan mengi. Pada awal serangan, gejala yang timbul tidak khas, seperti rasa berat di
dada dan pada asma alergik bisa disertai pilek atau bersin. Pada awalnya, batuk tidak
disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya, batuk akan diserai sekret, baik
yang mukoid maupun purulen.
a. Cough variant asthma
Cough variant asthma hanya memiliki gejala batuk. Jika kondisi
tersebut dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah diberikan bronkodilator atau uji provokasi bronkus menggunakan
metakolin.
b. Asma alergik
Asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus
nonalergik, seperti asap rokok dan perubahan cuaca.
c. Asma akibat pekerjaan
Gejala asma akibat pekerjaan memburuk pada awal minggu dan
membaik menjelang akhir minggu. Jika gejalanya memburuk sepanjang
minggu, gejalanya akan membaik jika pasien dijauhkan dari lingkungan
kerjanya. Pada asma akibat pekerjaan, perlu pemantauan menggunakan peak
flow meter atau uji provokasi dengan bahan suspect yang ada di lingkungan
kerja.

E. Diagnosis
a. Anamnesis
a) Keluhan: batuk, sesak napas, mengi, atau rasa berat di dada. Kadang-
kadang pasien hanya mengeluh batuk yang umumnya timbul pada
malam hari atau saat melakukan aktivitas fisik. Gejala sering timbul
pada malam hari atau musim tertentu.
b) Riwayat penyakit pasien atau keluarga: rhinitis alergi atau dermatitis
atopik.
b. Pemeriksaan Fisik
Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat
sampai sianosis.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan
diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan
sesudah pemberikan bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1  12% atau  200 mL
menunjukkan diagnosis asma, tetapi respons < 12% atau <200 mL
bukan berarti bukan asma. Hal tersebut dapat dijumpai pada kondisi
yang mendekati normal atau normal. Respons terhadap bronkodilator
tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat karena obat
tunggal bronkodilator tidak cukup kuat untuk memberikan efek.
Untuk melihat reversibilitas pada kondisi tersebut, diperlukan
kombinasi obat golongan adrenergic beta, teofilin, dan korikosteroid
dalam jangka waktu 2 – 3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa
pengobatan dengan melihat hasil spirometri yang dilakukan pada saat
yang berbeda, misalnya beberapa hari atau bulan kemudian. Selain
itu, pemeriksaan spirometri juga penting untuk menilai derajat
obstruksi saluran napas dan efek pengobatan.
b) Uji provokasi bronkus
Jika pemeriksaan spirometri normal, dilakukan uji provokasi
bronkus dengan histamin, metakolin, aktivitas fisik, suhu dingin,
larutan garam hipertonik, atau aqua destilata untuk menunjukkan
adanya hipereaktivitas bronkus. Penurunan VEP1  20% dianggap
bermakna. Uji provokasi dengan aktivitas fisik dilakukan dengan
berlari cepat selama 6 menit untuk mencapai denyut jantung 80 –
90% dari maksimum dan dianggap bermakna jika terjadi penurunan
APE  10%. Uji provokasi menggunakan alergen hanya dilakukan
pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji.
c) Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat khas pada asma. Selain itu, kristal
Charcot-Leyden, Spiral Curschmann, dan miselium Aspergillus
fumigatus juga dapat dilihat pada pemeriksaan sputum.
d) Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat.
Pemeriksaan eosinofil total dapat dipakai sebagai acuan untuk
menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid.
e) Uji kulit
Uji kulit dilakukan untuk menunjukkan adanya IgE spesifik.
Uji kulit hanya menyokong anamnesis karena uji alergen yang (+)
tidak selalu merupakan penyebab asma.
f) Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Pemeriksaan IgE total hanya menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna jika uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
g) Foto toraks
Foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan proses patologis di
paru atau komplikasi aspa, seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, atelektasis, dll.
h) Analisis gas darah
Analisis gas darah hanya dilakukan pada asma yang berat.
Pada awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO 2 < 35
mmHg), kemudian pada serangan yang lebih berat PaCO 2 justru
mendekati normal sampai normokapnia. Selanjutnya, pada serangan
yang sangat berat terjadi hiperkapnia (PaCO2  45 mmHg),
hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
PPOK

A. Definisi

B. Faktor Risiko

1. Asap rokok
Rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, terutama rokok
sigaret. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok pertahun, dan lamanya merokok (Indeks
Brinkman). Selain itu, perokok pasif juga memiliki risiko karena terjadi
peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas dari asap rokok. Di sisi lain,
kebiasaan merokok juga dipengaruhi oleh genetik.
Pencatatan riwayat merokok:
a. Riwayat merokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Bekas perokok
b. Derajat berat merokok menggunakan Indeks Brinkman:
 Ringan : 0 – 200
 Sedang : 200 – 600
 Berat : > 600
2. Polusi udara
Ukuran dan jenis partikel memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya
dan beratnya PPOK.
 Polusi di dalam ruangan
o Asap rokok
o Asap kompor
Kayu, serbuk gergaji, batu bara, dan minyak tanah yang
dijadikan sebagai bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi
polusi di dalam ruangan karena menghasilkan asap. Selain itu,
pemanas ruangan dengan ventilasi yang kurang baik juga berisiko.
Polusi di dalam ruangan memiliki risiko lebih besar daripada polusi
sulfat atau gas buang kendaraan.

 Polusi di luar ruangan


o Gas buang kendaraan bermotor
o Debu jalanan
 Polusi tempat kerja
o Bahan kimia
o Zat iritasi
o Gas beracun
3. Stres oksidatif
Oksidan endogen dan eksogen menjadi faktor risiko terjadinya PPOK.
Oksidan endogen berasal dari sel fagosit, sedangkan oksidan eksogen berasal dari
polutan dan asap rokok.
Ekses oksidan dan/atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stress
oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan kerusakan paru dan menimbulkan
aktivitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
4. Infeksi saluran napas bawah berulang
 Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas dan menimbulkan
eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak menyebabkan hiperesponsif
jalan napas, penurunan fungsi paru, dan meningkatkan gejala respirasi saat
dewasa.
 BBLR meningkatkan infeksi viral.
 TB berhubungan dengan obstruksi jalan napas pada usia > 40 tahun.
5. Sosial ekonomi
 Pemukiman padat penduduk.
6. Malnutrisi dan penurunan BB menurunkan kekuatan dan ketahanan otot Tumbuh
kembang paru
BBLR mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak-anak.
7. Asma (obstruksi jalan napas ireversibel)
8. Gen
Kekurangan alpha-1 antitripsin sebagai inhibitor protease serin menjadi
faktor risiko terjadinya PPOK. Seseorang dengan kekurangan alpha-1 antitripsin
yang berat biasanya ditemukan pada usia muda dengan emfisema panlobular dan
penurunan fungsi paru. Selain itu, TGF-1, mEPHX1, dan TNF juga berisiko.

Anda mungkin juga menyukai