Anda di halaman 1dari 38

Moch.

Al-Irsyad
201910515327
Psi. Sosial 2-A6

Bab 4

4. Persepsi Sosial Bagaimana Kita Memahami Orang Lain

Sebuah Kisah dari De Marco menjelaskan pentingnya


memahami mengapa orang berperilaku seperti yang terlihat
dalam kisah menyentuh yang dikirim ke the New York Times.
Sebuah Cerita yang melibatkan seorang teman wanita yang
membuang surat cinta, kartu, dan puisi dari mantannya
setelah menjalin hubungan. Mantan pacarnya menelepon untuk
menanyakan mengapa dia melakukan hal tersebut. Seorang pria
tunawisma menemukan surat-surat itu saat mencari makanan di
tempat sampah dan menjadi penasaran tentang akhir hubungan
itu. Dia menelepon mantan pacarnya orang yang mempunyai
surat tersebut, karena dia menemukan nomornya di salah satu
surat. (De Marco, 1994).

Bahkan untuk seorang pria tunawisma, berjuang secara


finansial yang tidak punya uang, makanan dan tempat hangat
namun merasa penasaran oleh kondisi pasangan tersebut dan
berusaha memahami mengapa pasangan itu bisa putus. Dia
bahkan rela menyisihkan sedikit uang nya untuk mencari tahu
alasan hal itu bisa terjadi.

Kita semua memiliki ketertarikan untuk menjelaskan dan


menggali perilaku orang lain, tetapi kita tak tahu alasan
mengapa di balik sikap mereka menunjukan perasaan yang
tersembunyi karena kita tidak bisa membaca pikiran. Namun
dengan mengandalkan perilaku yang dapat diamati, seperti
tindakan, kata-kata, ekspresi wajah, gerak tubuh, dan nada
suara, untuk mencoba memahami orang lain Dengan mengandalkan
isyarat halus dan kesan pertama untuk membuat kesimpulan
yang akurat.

(Weiner, 1985) Memahami orang lain adalah keinginan


mendasar manusia yang meluas ke dalam hobi dan kehidupan
kita. Bahkan Produser televisi telah Memakai aspek ini
dengan menayangkan acara dengan orang sungguhan, bukan
aktor, dan merekamnya saat mereka menjalani kehidupan
mereka. Ada serial acara populer di luar sana seperti Duck
Dynasty, yang menggambarkan kegiatan sehari-hari keluarga
Robertson, yang menjadi populer karena ketertarikan mereka
untuk mencoba mencari tahu orang lain. Saat kami menonton
ini, kami memberi kesan dari individu yang bersangkutan dan
membuat atribusi tentang mereka, mencapai kesimpulan tentang
motivasi, pilihan, dan perilaku mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, Program yang disiarkan


televisi menjadi semakin fokus pada karakter yang kompleks,
seperti kisah Tokoh Walter White dalam Serial Breaking Bad
yang memikat. Aspek pertunjukan yang benar-benar menarik dan
terpolarisasi adalah pertanyaan yang berhubungan dengan
istri karakter tersebut (Anna Gunn), aktris yang memerankan
Skyler, istri Walter, memainkan peran penting dalam
mendobrak popularitas acara tersebut. Karakter Anna Gunn
menjadi titik nyala yang kontroversial bagi pemirsa, dengan
beberapa berempati dengan penderitaannya dan yang lain
mengecamnya sebagai penjahat sejati acara tersebut.

Manusia memiliki daya tarik dasar dengan karakter yang


lumayan kompleks dan berlawanan, dan sebagian besar energi
mental sehari-hari kita dikhususkan untuk menganalisis orang
lain, Sebab memikirkan orang lain dan dengan membantu mereka
kita memahami dan memprediksi dunia sosial kita (Heider,
1958; Kelley, 1967).

Komunikasi Nonverbal
4.1 Bagaimana orang menggunakan isyarat nonverbal untuk
memahami orang lain?
Dalam interaksi sehari-hari, isyarat nonverbal
kita memberikan informasi berharga tentang kita
dan membantu kita belajar tentang orang lain,
karena isyarat tersebut kita tidak mengharuskan
untuk benar-benar mengatakan apa pun (Gifford,
1991; Hall, Gunnery, & Andrzejewski, 2011; Hall,
Murphy, & Schmid Mast, 2007). Menurut (Knapp et
al., 2014), Komunikasi nonverbal, termasuk
ekspresi wajah dan posisi tubuh, merupakan aspek
penting dari komunikasi, mengungkapkan isyarat dan
perilaku halus yang dapat digunakan untuk
menyampaikan makna dan menyampaikan emosi. Isyarat
nonverbal memainkan peran penting dalam
komunikasi, memungkinkan kita untuk
mengekspresikan emosi, sikap, dan ciri kepribadian
kita. Misalnya, mengekspresikan kemarahan melalui
mata menyipit, menurunkan alis, dan meluruskan
mulut dapat menyampaikan kemarahan. Demikian pula,
mengekspresikan ciri-ciri kepribadian seperti
ekstraversi melalui gerak tubuh yang luas dan nada
serta perubahan suara yang sering dapat
menyampaikan ciri-ciri kepribadian (Knapp et al.,
2014). Psikolog sosial semakin menyadari
pentingnya komunikasi nonverbal dalam berbagai
aspek kehidupan. seperti dalam debat politik dan
konferensi pers, pakar sering menganalisis bahasa
tubuh yang berdasarkan literatur ilmiah yang
ekstensif. Sementara beberapa penelitian berfokus
pada tatapan mata, gerak tubuh, dan postur tubuh,
yang lain meneliti peran postur tubuh dalam
persepsi sosial. Namun, dalam kehidupan sehari-
hari, isyarat nonverbal terjadi secara bersamaan
dalam orkestrasi informasi simultan yang memukau,
sehingga penting bagi para peneliti untuk memahami
dan menafsirkan isyarat ini secara efektif.
Seseorang yang memiliki julukan (Profesi) "pakar
bahasa tubuh" sekarang dikenal sama dengan "
koresponden politik." (Archer & Akert, 1980; Knapp
et al., 2014).
4.1.1 Ekspresi Emosi Wajah
Komunikasi memiliki sejarah yang panjang,
khususnya dalam komunikasi nonverbal, yang telah
diteliti secara ekstensif dan ditekankan sebagai
aspek penting dari komunikasi yang efektif.
Seperti Buku Charles Darwin tahun 1872, The
Expression of the Emotions in Man and Animals,
memperkenalkan konsep emosi. Keunggulannya adalah
karena komunikatif yang luar biasa dari wajah
manusia (Becker, et al., 2007; Fernández-Dols &
Crivelli, 2013; Kappas, 1997; Wehrle, et al.,
2000).
4.1.2 Evolusi dan Ekspresi Wajah
Ekspresi wajah adalah aspek penting dari
komunikasi manusia, mengekspresikan emosi secara
universal. Penelitian Darwin tentang ekspresi
wajah telah memengaruhi secara signifikan berbagai
bidang, menunjukkan bahwa semua manusia dapat
memecahkan kode dan menafsirkan emosi ini dengan
akurasi yang sebanding. Ketertarikannya pada
evolusi membuatnya percaya bahwa bentuk komunikasi
nonverbal bersifat spesifik spesies, bukan
spesifik budaya. Dia mengusulkan bahwa ekspresi
wajah adalah sisa-sisa reaksi fisiologis yang dulu
berguna, seperti misalnya rasa tidak puas terhadap
makanan yang tidak enak. Penelitian Joshua
Susskind mendukung pandangan Darwin dengan
meneliti ekspresi wajah jijik dan takut. Mereka
menemukan bahwa gerakan otot dari emosi-emosi ini
berlawanan, dengan" wajah takut "meningkatkan
persepsi dan" wajah jijik " menguranginya.
Ketakutan melibatkan peningkatan masukan sensorik,
seperti pelebaran bidang visual dan peningkatan
volume udara di hidung, sedangkan rasa jijik
melibatkan penurunan masukan dari indera-indera
ini, seperti mata yang menyipit dan berkurangnya
penghirupan udara, yang merupakan respons berguna
terhadap bau atau rasa yang menjijikkan (Susskind
et al., 2008). Walter Friesen dan Paul Ekman
pernah melakukan penelitian di New Guinea pada
tahun 1971 untuk menyelidiki kemampuan penguraian
kode suku South Fore. Para peneliti, yang tidak
memiliki kontak dengan peradaban Barat, menyajikan
cerita singkat dan foto pria dan wanita Amerika
yang mengungkapkan enam emosi utama kepada orang-
orang Fore. Orang-orang Fore diminta untuk
mencocokkan ekspresi wajah dengan cerita, dan
ketika diperlihatkan kepada peserta Amerika,
mereka menerjemahkan foto-foto tersebut secara
akurat. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan
menafsirkan enam emosi utama bersifat lintas
budaya, menunjukkan bahwa ekspresi wajah merupakan
aspek universal dari kodrat manusia, bukan produk
dari pengalaman budaya (Biehl et al., 1997; Ekman,
1993; Ekman et al., 1987; Elfenbein & Ambady,
2002; Haidt & Keltner, 1999; Izard, 1994;
Matsumoto & Wilingham, 2006). Studi menunjukkan
bahwa bukti sementara mendukung ekspresi
emosional universal, itu hanya didukung sebagian
besar saja. Budaya Barat mempertahankan batasan
yang lebih kaku antara enam emosi utama saat
menerapkannya pada wajah, sementara responden Asia
menunjukkan tumpang tindih dalam penggunaan
kategori ini. Ini memperumit pemahaman tentang
ekspresi emosional universal (Jack, Garrod, Yu,
Caldara, & Schyns, 2012). Penelitian menunjukkan
universalitas dalam mencocokkan label emosional
dengan wajah lintas budaya, tetapi perbedaan
lintas budaya terlihat jelas ketika memungkinkan
orang untuk secara bebas mengurutkan wajah ke
dalam sistem pengelompokan mereka sendiri(Gendron,
Roberson, van der Vyver, & Barrett, 2014). Para
peneliti sedang mengeksplorasi variasi budaya
dalam pengkodean dan penguraian kode emosi,
termasuk penghinaan, kecemasan, rasa malu, tekad,
iri hati, dan rasa malu. Mereka mengeksplorasi
ekspresi wajah yang khas untuk memahami keadaan
emosional yang dikomunikasikan oleh budaya yang
berbeda (Ekman, O’Sullivan, & Matsumoto, 1991;
Harmon-Jones, Schmeichel, Mennitt, & Harmon-Jones,
2011; Harrigan & O’Connell, 1996; Keltner &
Shiota, 2003; van de Ven, Zeelenberg, & Pieters,
2011).
 Catatan:
*Encode atau menyandikan, Untuk mengekspresikan
atau memancarkan perilaku nonverbal, seperti
tersenyum atau menepuk punggung seseorang.
*Decode atau menguraikan sandi, Untuk
menafsirkan makna perilaku nonverbal yang
diungkapkan orang lain, seperti memutuskan
bahwa tepukan di punggung adalah ekspresi
merendahkan dan bukan kebaikan
4.1.3 Kenapa Decoding Terkadang menyusahkan?
Mengartikan ekspresi wajah merupakan tantangan
karena berbagai alasan, termasuk seringnya
menampilkan campuran pengaruh (Du, Tao, &
Martinez, 2014; Ekman & Friesen, 1975). Ekspresi
wajah dapat dipengaruhi oleh berbagai register
wajah, masing-masing mencatat emosi yang berbeda.
Campuran pengaruh adalah ekspresi yang
menggabungkan rasa jijik dan marah ketika
seseorang memberi tahu Anda sesuatu yang
mengerikan atau tidak pantas. Selain itu, aspek
ekspresi wajah yang sama dapat memiliki implikasi
yang berbeda berdasarkan konteks dan isyarat
lainnya, sehingga sangat penting untuk mengenali
dan menafsirkan ekspresi ini secara akurat
(Barrett, Mesquita, & Gendron, 2011; Hassin,
Aviezer, & Bentin, 2013; Parkinson, 2013).
Decoding atau mengartikan ekspresi adalah
keterampilan penting dalam memahami dan
menafsirkan emosi. Ini melibatkan mengenali target
emosi, seperti kemarahan, dan bersiap untuk
konfrontasi. Di sisi lain, untuk emosi yang
berorientasi pada penghindaran seperti rasa takut,
penguraian kode menjadi lebih mudah ketika wajah
menampilkan pandangan yang dihindari,
mengungkapkan lokasi yang tepat dari objek
menakutkan dan menunjukkan rasa takut ke arah yang
menakutkan itu (Adams & Kleck, 2003).
 Catatan: * Affect Blends Facial expressions
adalah di mana satu bagian wajah mencatat satu
emosi, sementara bagian wajah lainnya mencatat
emosi yang berbeda.
4.1.4 Budaya dan Saluran Komunikasi Nonverbal
Norma budaya Amerika melarang tampilan emosional
pada pria, seperti kesedihan atau tangisan,
sementara memungkinkan tampilan emosi di wajah
pada wanita. Sebaliknya, aturan budaya tradisional
Jepang melarang wanita menunjukkan senyum lebar
tanpa hambatan, yang menyebabkan wanita Jepang
menyembunyikan senyum lebar mereka di balik tangan
mereka (Henley, 1977; La France, Hecht, & Paluck,
2003). Norma Jepang mendorong orang untuk
menyembunyikan ekspresi wajah negatif dengan
senyuman dan tawa, dan umumnya menampilkan
ekspresi wajah yang lebih sedikit daripada yang
ada di Barat (Argyle, 1986; Aune & Aune, 1996;
Gudykunst, Ting-Toomey, & Nishida, 1996; Richmond
& McCroskey, 1995).
Komunikasi nonverbal, termasuk ekspresi wajah,
dipengaruhi oleh faktor budaya. Kontak mata dan
tatapan adalah isyarat nonverbal yang kuat, dengan
budaya Amerika sering menimbulkan kecurigaan
ketika seseorang tidak "menatap matanya" saat
berbicara. Sebaliknya, dalam budaya lain, tatapan
mata langsung dianggap invasif atau tidak sopan,
menyoroti pentingnya memahami dan menafsirkan
isyarat nonverbal. Komunikasi nonverbal melibatkan
penggunaan ruang pribadi, yang secara signifikan
dapat memengaruhi kesan seseorang. Penyimpangan
dari jarak normatif, seperti berdiri terlalu dekat
atau jauh, dapat secara signifikan memengaruhi
gaya komunikasi dan interaksi antar individu
secara keseluruhan (Hall, 1969; Hogh-Olesen,
2008). Komunikasi nonverbal memainkan peran
penting dalam memahami sikap, emosi, dan niat
orang. Emosi utama, seperti kontak mata, jarak
pribadi, dan gerak tubuh, dapat ditafsirkan secara
berbeda lintas budaya. Namun, jelas bahwa banyak
dari apa yang dikatakan dalam percakapan sehari-
hari disampaikan secara nonverbal, yang
menunjukkan bahwa sikap dan niat orang dipengaruhi
oleh isyarat nonverbal. Terlepas dari perbedaan
budaya, interpretasi informasi nonverbal sangat
penting dalam memahami interaksi manusia.
4.2 Kesan Pertama: Cepat tapi Tahan Lama Seberapa cepat
kesan pertama terbentuk, dan mengapa kesan itu
bertahan?
Buku Sam Gosling Snoop (2008) mengeksplorasi
konsep "what your stuff says about you", menyoroti
bagaimana kepemilikan pribadi dapat mengungkapkan
kepribadian seseorang. Gosling menyarankan bahwa
ruangan, poster, dan benda yang berantakan atau
teratur dapat menjadi petunjuk tentang jati diri
seseorang. Misalnya, kantor atau mobil yang bersih
dapat menunjukkan pemisahan yang jelas antara
pribadi dan pekerjaan, atau ciri kepribadian
ekstraversi yang rendah. Dengan memeriksa kamar
sendiri, seseorang dapat belajar tentang kepribadian
teman-temannya dan isyarat yang mereka berikan
tentang kepribadiannya sendiri. Komunikasi nonverbal
memainkan peran utama dalam komunikasi, karena
memungkinkan kita membentuk kesan awal berdasarkan
penampilan wajah dalam waktu kurang dari 100
milidetik Bar, Neta, & Linz, 2006; Willis & Todorov,
2006). Sebuah contoh lain nya seperti dari pemilu
yang dipengaruhi oleh peringkat kesan pertama dari
kandidat politik Kanada, dengan kandidat yang lebih
kuat menang dengan persentase baik dan kandidat yang
terlihat seperti "Bersahaja" lebih kecil
kemungkinannya untuk menang (Rule & Ambady, 2010;
Todorov, Said, Engell, & Oosterhof, 2008). Kekuatan
wajah seorang kandidat merupakan prediktor
signifikan atas keberhasilan mereka, terlepas dari
waktu, uang, dan upaya yang dihabiskan untuk
kampanye pemilu. Ini menyoroti pentingnya pakar
bahasa tubuh dalam memengaruhi kandidat. Nalini
Ambady dan rekan-rekannya menyebut persepsi sosial
berdasarkan cuplikan perilaku singkat sebagai Thin-
Slicing. Thin-Slicing adalah Menarik kesimpulan yang
berarti tentang kepribadian atau keterampilan orang
lain berdasarkan contoh perilaku yang sangat
singkat. Studi Ambady & Rosenthal (1993)
mengeksplorasi bagaimana mahasiswa membentuk kesan
tipis terhadap instruktur mereka. Lalu mereka
merekam lebih dari selusin instruktur dan memilih
tiga klip acak berdurasi 10 detik dari masing-
masingnya. Setelah menghapus trek audio, siswa
diperlihatkan klip video hening dan diminta untuk
menilai instruktur pada berbagai variabel. Prediksi
Ambady adalah bahwa kesan yang diiris tipis ini akan
bermakna, tidak hanya cepat. Para peneliti
membandingkan peringkat yang dibuat oleh peserta
dengan evaluasi pengajaran akhir semester yang
diterima dari siswa yang sebenarnya. Hasil
penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat
antara kesan irisan tipis dan persepsi mahasiswa
yang menghabiskan satu semester penuh dengan
instruktur (Ambady & Rosenthal, 1992). Persepsi
sosial sangat dipengaruhi oleh kesan pertama, yang
seringkali dengan cepat menghilang dari pandangan.
Namun, hal itu penting, karena berdampak signifikan
terhadap cara orang lain memandang dan berinteraksi
dengan individu, menyoroti pentingnya kesan yang
bertahan lama.
4.2.1 Pengaruh yang Tersisa dari Kesan Awal
Skema berfungsi sebagai jalan pintas mental,
memberikan informasi tambahan untuk mengisi celah
dalam informasi yang terbatas (Fiske & Taylor,
2013; Markus & Zajonc, 1985). Pemahaman melibatkan
penggunaan kesan dan skema awal untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih dalam tentang orang lain,
menyoroti kekuatan abadi dari kesan ini dalam
membentuk interpretasi kita. Sebagai contoh,
Keith, seorang individu hipotetis, digambarkan
sebagai individu yang menarik, cerdas, rajin,
impulsif, kritis, keras kepala, dan iri. Kesannya
beragam, dengan beberapa menggambarkannya sebagai
orang yang rajin, sementara yang lain
menggambarkannya sebagai orang yang impulsif dan
kritis. Penting untuk mempertimbangkan kualitas
dan perspektif unik Keith untuk membentuk
pemahaman yang komprehensif. Kevin, orang asing,
digambarkan sebagai individu yang menarik dengan
sifat-sifat seperti iri hati, keras kepala,
berpikir kritis, impulsif, rajin, dan cerdas,
menjadikannya karakter yang menarik untuk
dipertimbangkan. Studi Solomon Asch tahun 1946
pada individu dengan deskriptor menemukan bahwa
urutan deskriptor ini secara signifikan
memengaruhi kesan yang terbentuk orang tentang
Keith dan Kevin. Keith, digambarkan sebagai orang
yang cerdas-rajin-impulsif kritis-keras kepala-
iri, menciptakan filter yang melaluinya ciri-ciri
ini memungkinkan orang untuk melihat ciri-ciri
Keith sebagai orang yang cerdas dan pekerja keras
sebagai hal yang positif, seperti kemampuannya
membuat keputusan cepat dan mengkritik pekerjaan
orang lain. Di sisi lain, Kevin, yang dikenal
karena rasa iri dan kekeraskepalaannya, mudah
dianggap negatif, membawa mereka sesuai dengan
ekspektasi awal. Ini menyoroti pentingnya
mempertimbangkan urutan deskriptor saat
mendeskripsikan individu, karena kesan pertama
sangat kuat.
Efek keutamaan dalam persepsi sosial dipengaruhi
oleh informasi pertama yang kita pelajari tentang
orang lain, yang memengaruhi cara kita memandang
informasi yang kita pelajari selanjutnya. Skema,
yang mengelompokkan ciri-ciri yang diketahui
bersama-sama, membantu kita menentukan kemungkinan
karakteristik seseorang (Sedikides & Anderson,
1994; Werth & Foerster, 2002; Willis & Todorov,
2006). Primacy Effects dan skema memainkan peran
penting dalam membentuk persepsi sosial. Kesan
pertama memiliki efek yang bertahan lama, karena
kita cenderung percaya pada kesimpulan awal bahkan
ketika informasi yang dipelajari menunjukkan
sebaliknya. Kecenderungan ini telah diamati dalam
banyak penelitian selama beberapa dekade, di mana
para peserta terus berpegang pada kesan awal
mereka bahkan ketika dibantah atau salah.
Primacy Effects dan skema memainkan peran penting
dalam membentuk persepsi sosial. Primary Effect
adalah hal pembentukan kesan, ciri-ciri pertama
yang kita rasakan pada orang lain memengaruhi cara
kita memandang informasi yang terlambat kita
pelajari tentangnya. Kesan pertama memiliki efek
yang bertahan lama, karena kita cenderung percaya
pada kesimpulan awal bahkan ketika informasi yang
dipelajari menunjukkan sebaliknya. Kecenderungan
ini telah diamati dalam banyak penelitian selama
beberapa dekade, di mana para peserta terus
berpegang pada kesan awal mereka bahkan ketika
dibantah atau salah (Anderson, 1995; Ross, Lepper,
& Hubbard, 1975). Belief Perseverance atau
Keyakinan ketekunan disebut-sebut sebagai alasan
mengapa juri dan ilmuwan berjuang untuk
mengabaikan bukti yang tidak dapat diterima atau
menolak kesimpulan penelitian yang dibuat-buat.
* Belief Perseverance adalah Kecenderungan untuk
tetap berpegang pada penilaian awal bahkan dalam
menghadapi informasi baru yang seharusnya
mendorong kita untuk mempertimbangkan kembali

4.2.2 Menggunakan Kesan Pertama dan Komunikasi Nonverbal


untuk Keuntungan Kita
Penelitian memiliki implikasi yang jelas untuk
berbicara di depan umum, menekankan pentingnya
kesan pertama dalam memengaruhi evaluasi orang
lain, seperti pakaian, kontak mata, dan kualitas
jabat tangan, dalam wawancara kerja (Chaplin,
Phillips, Brown, & Clanton, 2000; Stewart, Dustin,
Barrick, & Darnold, 2008).
Andy Yap, Amy Cuddy, dan Dana Carney (2010)
melakukan penelitian tentang "pose kekuatan" untuk
mengeksplorasi dampak komunikasi nonverbal
terhadap persepsi diri. Studi ini melibatkan
peserta dengan asumsi postur tubuh nonverbal yang
berbeda selama 2 menit, dengan pose kekuatan
tinggi menjadi lebih kuat dan pose kekuatan rendah
menjadi kurang kuat. Para peserta melaporkan
merasa lebih kuat dan mengadopsi strategi yang
lebih berisiko dalam tugas perjudian, dengan
analisis air liur menunjukkan lonjakan testosteron
dibandingkan dengan orang yang memiliki kekuatan
rendah yang merasa kurang kuat dan menjadi lebih
menghindari risiko. Penelitian ini menyoroti
pentingnya komunikasi nonverbal dalam membentuk
pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang (Carney
et al., 2010). Studi ini menunjukkan bahwa dengan
berpose pahlawan super yang di depan cermin kamar
mandi sebelum wawancara kerja dapat menjadi
strategi potensial untuk meningkatkan kinerja yang
mengesankan. Strategi ini, seperti yang dijelaskan
oleh penulis penelitian, dapat menjadi alat yang
ampuh untuk mengubah diri menjadi kinerja yang
lebih percaya diri dan mengesankan.
4.3 Atribusi Kausal: Menjawab Pertanyaan "Mengapa"
Bagaimana orang menentukan mengapa orang lain
melakukan apa yang mereka lakukan?
Komunikasi nonverbal dan perilaku nonverbal sangat
penting dalam membentuk kesan pertama. Namun,
perilaku ini bukanlah indikator yang sangat mudah
untuk mengetahui pikiran atau perasaan seseorang
yang sebenarnya. Komunikasi nonverbal dapat dengan
mudah diterjemahkan, tetapi masih ada ambiguitas
substansial dalam memahami maksud sebenarnya
seseorang (Ames & Johar, 2009; DePaulo, 1992;
DePaulo, Stone, & Lassiter, 1985).
Teori atribusi adalah studi yang berfokus pada
menyimpulkan penyebab perilaku orang lain dengan
menggunakan pengamatan langsung untuk memahami sifat
dan motivasi mereka yang sebenarnya. Ini membantu
kita membentuk kesimpulan kompleks tentang apa yang
memotivasi orang untuk bertindak seperti yang mereka
lakukan.
4.3.1 Sifat Atribusi
Fritz Heider, bapak teori atribusi, secara
signifikan memengaruhi persepsi sosial dan terus
memengaruhi penelitian saat ini (Crandall, Silvia,
N’Gbala, Tsang, & Dawson, 2007; Kwan & Chiu,
2014). Konsep Heider tentang psikologi "naif"
menunjukkan bahwa orang, seperti ilmuwan amatir,
berusaha memahami perilaku orang lain dengan
menggabungkan informasi untuk sampai pada
penjelasan atau penyebab yang masuk akal.
Warisannya terus mempengaruhi persepsi sosial
Surian, Caldi, & Sperber, 2007; Weiner, 2008).
Dikotomi sederhana Heider menawarkan kontribusi
berharga dalam memahami perilaku manusia. Hal ini
memungkinkan adanya dua atribusi: atribusi
internal, di mana penyebabnya dikaitkan dengan
disposisi, kepribadian, sikap, atau karakter
individu, atau atribusi eksternal, di mana
situasi, bukan kepribadian atau sikap individu,
yang menyebabkan perilaku tersebut. Pendekatan ini
membantu dalam mengidentifikasi dan menangani
perilaku manusia yang kompleks.
Atribusi eksternal dan atribusi internal secara
signifikan memengaruhi persepsi kita tentang
seorang ayah, dengan atribusi internal membentuk
kesan negatif dan atribusi eksternal memberikan
informasi terbatas tentang tindakan ayah.
Dikotomi atribusi internal / eksternal sangat
penting dalam hubungan intim, dengan pasangan
dalam pernikahan yang bahagia dan puas membuat
atribusi yang berbeda. Pasangan yang puas
mengaitkan perilaku positif dengan pasangannya,
sedangkan perilaku negatif dikaitkan dengan
penyebab internal. Dalam pernikahan yang
bermasalah, pola sebaliknya terjadi, dengan
perilaku positif dikaitkan dengan penyebab
eksternal dan perilaku negatif dengan penyebab
internal. Ini dapat memiliki konsekuensi yang
mengerikan bagi masa depan hubungan (Bradbury &
Fincham, 1991; Fincham, Bradbury, Arias, Byrne, &
Karney, 1997; McNulty, O’Mara, & Karney, 2008).
 Catatan: *Teori Atribusi Deskripsi tentang
cara orang menjelaskan penyebab perilaku
mereka sendiri dan orang lain.

*Atribusi Internal adalah Kesimpulan bahwa


seseorang berperilaku dengan cara tertentu
karena sesuatu tentang orang tersebut,
seperti sikap, karakter, atau kepribadian.

*Atribusi Eksternal adalah Kesimpulan bahwa


seseorang berperilaku dengan cara tertentu
karena sesuatu tentang situasi yang dia
hadapi; asumsinya adalah bahwa kebanyakan
orang akan merespons dengan cara yang sama
dalam situasi itu.
4.3.2 Model Kovariat: Atribusi Internal versus
Eksternal
Teori atribusi, yang dikembangkan oleh Harold
Kelley (Kelley, 1967, 1973), menyatakan bahwa
orang membuat atribusi internal atau eksternal
berdasarkan banyak informasi. Pendekatan ini, yang
dikenal sebagai model kovariat (Sebuah teori yang
menyatakan bahwa untuk membentuk atribusi tentang
apa yang menyebabkan perilaku seseorang, kita
secara sistematis mencatat pola antara ada
tidaknya kemungkinan faktor penyebab dan apakah
perilaku tersebut terjadi), mengkaji berbagai
perilaku dari waktu dan situasi yang berbeda untuk
memahami mengapa seseorang menolak meminjamkan
sesuatu, seperti mobil.
Kelley (1967) dan Heider sama-sama menekankan
pentingnya memeriksa kovariat dalam atribusi,
dengan fokus pada bagaimana perilaku seseorang
berubah di waktu dan tempat, tergantung pada
targetnya. Mereka mengidentifikasi tiga jenis
utama informasi kovariat: informasi konsensus
(Informasi Konsensus, Yaitu Informasi tentang
sejauh mana orang lain berperilaku dengan cara
yang sama terhadap stimulus yang sama seperti yang
dilakukan aktor), Informasi kekhasan (Informasi
Kekhasan ialah Informasi tentang sejauh mana satu
aktor tertentu berperilaku dengan cara yang sama
terhadap rangsangan yang berbeda), dan informasi
konsistensi (Informasi Konsistensi adalah
Informasi tentang sejauh mana perilaku antara satu
aktor dan satu stimulus adalah sama sepanjang
waktu dan keadaan). Dengan memeriksa jenis
informasi kovariat ini, peneliti dapat menentukan
apa yang menyebabkan perilaku seseorang, seperti
bos meneriaki karyawan lain atau situasi di
sekitar dan memengaruhi mereka. Pendekatan ini
membantu dalam memahami penyebab yang mendasari
perilaku seseorang.
Seperti contoh pada kasus ini, Tingkah laku
Hannah dipengaruhi oleh prestasi kerjanya, seperti
yang terlihat pada model penilaian kovariat Kelley
(1967, 1973). Informasi konsensus mengacu pada
bagaimana orang lain bereaksi terhadap rangsangan
yang sama, sedangkan informasi kekhasan berfokus
pada respons aktor terhadap rangsangan lain.
Informasi konsistensi mengukur frekuensi perilaku
yang diamati sepanjang waktu dan keadaan, seperti
kritik bos terhadap Hannah.
Teori Kelley mengemukakan bahwa atribusi dapat
dibuat berdasarkan konsistensi informasi. Atribusi
internal mungkin terjadi ketika konsensus dan
kekhasan rendah tetapi konsisten, seperti bos yang
meneriaki Hannah. Atribusi eksternal mungkin
terjadi ketika konsensus, kekhasan, dan
konsistensi tinggi. Ketika konsistensi rendah,
atribusi situasional mengasumsikan sesuatu yang
tidak biasa pasti telah terjadi, seperti bos nya
yang kehilangan kesabaran.
(Forsterling, 1989; Gilbert, 1998a; Hewstone &
Jaspars, 1987; Hilton, Smith & Kim, 1995; Orvis,
Cunningham, & Kelley, 1975; White, 2002) semuanya
berkontribusi pada model kovariat, yang
menyarankan orang membuat atribusi kausal yang
rasional dan logis berdasarkan Informasi
konsensus, Informasi kekhasan, dan Informasi
konsistensi, dengan dua pengecualian. Studi
mengungkapkan bahwa orang tidak terlalu
mengandalkan informasi konsensus seperti yang
diprediksi oleh teori Kelley, melainkan lebih
mengandalkan konsistensi dan kekhasan saat
membentuk atribusi (McArthur, 1972; Wright, Lüüs,
& Christie, 1990). Penelitian menunjukkan bahwa
orang sering berjuang untuk mendapatkan ketiga
dimensi Kelley, seperti informasi konsistensi,
karena kurangnya informasi yang relevan. Dalam
kasus seperti itu, orang menggunakan informasi
yang ada dan jika perlu, membuat tebakan tentang
data yang hilang, seperti yang ditunjukkan dalam
situasi. (Fiedler, Walther, & Nickel, 1999;
Kelley, 1973).
Model kovariat menggambarkan orang sebagai
detektif ahli, menyimpulkan penyebab perilaku
secara sistematis dan logis seperti Sherlock
Holmes. Namun, orang mungkin tidak selalu logis
atau rasional saat membuat penilaian tentang orang
lain. Mereka mungkin mendistorsi informasi untuk
harga diri atau menggunakan jalan pintas mental
yang dapat menyebabkan penilaian yang tidak
akurat. Beberapa kesalahan atau bias dalam proses
atribusi termasuk jalan pintas umum untuk berpikir
bahwa tindakan orang lebih disebabkan oleh sifat
mereka, daripada situasi mereka saat ini.
4.3.3 Kesalahan Atribusi Mendasar: Orang sebagai
Psikolog Kepribadian
Pada tahun 1955, seorang penjahit kulit hitam di
Montgomery, Alabama, menolak menyerahkan kursinya
di bus kota kepada seorang pria kulit putih,
menyoroti undang-undang segregasionis "Jim Crow"
yang menurunkan status orang Afrika-Amerika ke
kelas dua. Bagian tengahnya kosong, tetapi ketika
bus penuh, mereka harus menyerahkan kursi kepada
orang kulit putih, dengan 10 baris depan hanya
diperuntukkan bagi orang kulit putih (Feeney,
2005). Pada hari itu di tahun 1955, Rosa Parks
melanggar hukum dan menolak untuk melepaskan
kursinya. Kemudian, dia berkata, "Orang-orang
selalu mengatakan saya tidak melepaskan kursi saya
karena saya lelah, tetapi itu tidak benar. Saya
tidak lelah secara fisik. . . . Tidak, satu-
satunya lelah saya, lelah menyerah" (Feeney, 2005,
hlm. A1, B8). Tantangan Rosa Parks yang berhasil
terhadap undang-undang segregasi menyebabkan orang
Afrika-Amerika memboikot bus Montgomery selama
lebih dari setahun, yang pada akhirnya mengarah
pada keputusan Mahkamah Agung yang berhasil pada
tahun 1956, melarang segregasi di bus, menandai
dimulainya gerakan hak-hak sipil Amerika (Shipp,
2005).
Asosiasi Transportasi Umum Amerika telah
menyatakan 1 Desember sebagai "Hari Penghormatan
kepada Rosa Parks" untuk menghormati Rosa Parks,
yang meninggal pada 24 Oktober 2005. Bus-bus di
seluruh negeri telah menetapkan satu kursi kosong
di belakang pengemudi untuk hari itu, dengan
tanda-tanda yang dipasang di jendela yang
menyoroti foto Rosa Parks dan tulisan "Semuanya
dimulai dengan bus." (Ramirez, 2005).
Seorang jurnalis Kota New York mengunjungi bus
untuk menemukan kursi kosong, barang yang
didambakan di bus yang penuh sesak. Meskipun
kesulitan menemukan tempat duduk pada jam-jam
sibuk, sebagian besar pengendara memenuhi
permintaan tersebut, bahkan ada yang duduk di
kursi khusus (Ramirez, 2005).
Rosa Parks menghadapi tindakan yang tidak
terhormat secara mencolok, sebuah hal yang memicu
perkembangan yang menarik. Para "pengasuh"
ditanyai tentang sikap berprasangka dan rasis
mereka, dengan atribusi disposisi negatif yang
dibuat tentang mereka. Hal ini menimbulkan
pertanyaan tentang motif di balik tindakan
tersebut dan potensi biasnya.
Ramirez (2005) menemukan bahwa penumpang memilih
tempat duduk khusus karena adanya rambu-rambu
kecil, yang mudah terlewatkan saat menjadwalkan
pengumuman. Penjelasan situasional atas keputusan
mereka didasarkan pada tanda-tanda yang
ditempatkan dengan penempatan yang buruk.
Penumpang dengan cepat menyadari tanda itu, yang
merupakan tanda kebebasan, setelah membacanya.
Seorang pria, dengan cemas, mengucapkan kata-kata
kotor yang keras, menyatakan dia tidak menyadari
itu ada di sana, menyoroti pentingnya kebebasan
(Ramirez, 2005, hlm. B1). Seorang pria kulit hitam
dan seorang wanita kulit hitam sedang duduk dalam
perjalanan, tetapi berhenti di tengah jalan ketika
mereka melihat sebuah tanda. Pria itu mengupas
tanda itu dan memindahkannya ke tepi kursi,
menjanjikan bahwa orang-orang sekarang akan
melihatnya (Ramirez, 2005, hlm. B1). Atribusi
penumpang yang salah di bus telah dibuat, dengan
beberapa pengendara percaya bahwa perilaku mereka
disebabkan oleh penumpang yang buruk daripada
rambu yang penempatan lokasinya tidak tepat,
akhirnya menyebabkan kesalahpahaman yang salah.
Teori fundamental menyatakan bahwa perilaku
manusia dipengaruhi oleh disposisi internal
daripada situasi sosial. Perspektif ini, yang
sering disalahpahami, mengabaikan dampak situasi
sosial terhadap perilaku, yang mengarah pada
kesalahan atribusi mendasar, yang melebih-lebihkan
peran faktor eksternal Heider, 1958; Jones, 1990;
Ross, 1977; Ross & Nisbett, 1991). The fundamental
attribution error has also been called the
correspondence bias (Gilbert, 1998b; Gilbert &
Jones, 1986; Gilbert & Malone, 1995; Jones, 1979,
1990).
Bukti empiris menunjukkan bahwa perilaku orang
sering dikaitkan dengan disposisi dan keyakinan
mereka, daripada dipengaruhi oleh situasi (Arsena,
Silvera, & Pandelaere, 2014; Gawronski, 2003a;
Miller, Ashton, & Mishal, 1990; Miller, Jones, &
Hinkle, 1981). Edward Jones dan Victor Harris
melakukan penelitian pada tahun 1967, melibatkan
mahasiswa yang membaca esai tentang pemerintahan
Fidel Castro di Kuba, dan meramalkan perasaan
penulis terhadap Castro. Para peneliti
mengungkapkan bahwa penulis, yang memilih untuk
menulis demi Castro, bersimpati padanya. Namun,
mahasiswa tidak menyadari bahwa penulis ditugaskan
sebagai peserta debat, sehingga sulit untuk
membedakan perasaannya yang sebenarnya.
Peserta dalam sebuah penelitian tersebut
mengasumsikan keyakinan penulis yang sebenarnya,
bahkan tanpa pilihan antara posisi pro-Castro dan
anti-Castro. Meskipun perkiraan mereka sedikit
berbeda, mereka tetap yakin bahwa konten tersebut
mencerminkan perasaan penulis yang sebenarnya
sampai batas tertentu.
Eksperimen Jones dan Harris (1967) menyoroti
kesalahan atribusi mendasar, di mana orang sering
meremehkan pengaruh eksternal terhadap perilaku,
bahkan ketika pengaruh situasinya terlihat jelas.
Kesalahan ini menyoroti kekuatan situasi sosial
dalam membentuk perilaku dan kebutuhan akan
atribusi yang efektif (Li, Johnson, Cohen,
Williams, & Knowles, 2012; Newman, 1996; Ross,
Amabile, & Steinmetz, 1977; Ross & Nisbett, 1991).
 Catatan: * Kesalahan Atribusi Mendasar ialah
Kecenderungan untuk melebih-lebihkan sejauh
mana perilaku orang lain disebabkan oleh
faktor internal, disposisi, dan meremehkan
peran faktor situasional.
4.3.4 Peran Arti-penting Persepsi dalam Kesalahan
Atribusi Fundamental
Kesalahan atribusi mendasar terjadi ketika
individu lebih fokus pada orangnya daripada
situasi saat menjelaskan perilaku seseorang (Baron
& Misovich, 1993; Heider, 1944, 1958; Jones &
Nisbett, 1972). Penyebab situasional dari perilaku
orang lain seringkali hampir tidak terlihat oleh
kita (Gilbert, 1998b; Gilbert & Malone, 1995).
Memahami perilaku saat ini membutuhkan pemahaman
menyeluruh tentang faktor-faktor situasional yang
menyebabkannya. Informasi situasional, seperti
kinerja individu sebelumnya, tidak dapat digunakan
untuk memprediksi perilaku mereka saat ini. Bahkan
jika kita mengetahui situasinya, sangat penting
untuk memahami bagaimana individu menafsirkannya,
karena pengetahuan ini dapat membantu menilai
secara akurat dampak situasi terhadap perilaku
mereka.
Teori Heider menunjukkan bahwa ketika informasi
tentang penyebab situasional perilaku tidak
tersedia atau sulit untuk ditafsirkan, arti-
penting persepsi individu diabaikan. Mata dan
telinga kita memperhatikan orang, dan apa yang
kita perhatikan tampak seperti penyebab yang masuk
akal dan logis dari perilaku yang diamati. Arti-
penting persepsi ini bagi orang-orang, bukan
situasinya, membuat kita berpikir bahwa mereka
sendirilah yang menyebabkan perilaku mereka
(Heider, 1958; Lassiter, Geers, Munhall, Ploutz-
Snyder, & Breitenbecher, 2002).
 Catatan: * Arti Penting Persepsi adalah
pentingnya informasi yang menjadi fokus
perhatian orang

Susan Fiske dan Shelley Taylor (1975), melakukan


penelitian tentang arti-penting persepsi dalam
percakapan. Mereka melakukan percakapan
"berkenalan" dengan dua siswa laki-laki, yang
mengikuti naskah. Enam peserta berpartisipasi dalam
penelitian ini, dengan dua pengamat di setiap sisi
dan dua di belakang masing-masing aktor. Para
peserta memiliki pandangan yang berbeda tentang
pembicara, dengan yang satu memiliki tampilan
profil yang jelas dan yang lainnya memiliki
tampilan belakang. Pembicara yang menonjol secara
visual dimanipulasi dengan cerdik.

Percakapan tersebut melibatkan dua pria, yang


dianggap memiliki perspektif berbeda tentang
berbagai topik. Pengamat yang melihat mahasiswa A
sebagai pemimpin mengira dia telah memilih topik,
sedangkan mereka yang melihat keduanya sama-sama
berpikir keduanya sama-sama berpengaruh.

G. Daniel Lassiter penelitian tentang arti-


penting dalam interogasi polisi menyoroti peran
penting persepsi dalam menafsirkan percakapan
berisiko tinggi (2007; Lassiter, 2010). Responden
polisi dan hakim di ruang sidang diberikan rekaman
video seseorang yang mengaku melakukan kejahatan.
Mereka diperlihatkan tiga versi rekaman video yang
berbeda: (a) satu hanya berfokus pada tersangka,
(b) satu berfokus pada detektif, atau (c) fokus
yang sama pada keduanya. Responden hakim dan polisi
menilai kesukarelaan pengakuan tersebut lebih
tinggi dalam versi rekaman video yang hanya
berfokus pada tersangka (Lassiter et al., 2007).
Selandia Baru telah mengadopsi aturan perspektif
kamera "fokus yang sama" untuk interogasi yang
direkam dalam video, sebagai tanggapan atas
kekhawatiran tentang bias atribusi. Arti-penting
persepsi tersangka memicu kesalahan atribusi
mendasar, membuatnya tampak lebih bersalah daripada
saat kurang menonjol secara persepsi. Keputusan ini
sebagai tanggapan atas keprihatinan tentang
prosedur operasi standar dalam banyak investigasi
kriminal nyata (Lassiter, Ratcliff, Ware, & Irvin,
2006).

Perceptual Salience (Arti-penting persepsi), atau


sudut pandang visual kita, memainkan peran penting
dalam kesalahan atribusi mendasar. Orang sering
fokus pada orangnya daripada situasi di sekitarnya,
yang mengarah pada kecenderungan atribusi yang
mungkin tidak sepenuhnya akurat. Misalnya, ketika
mendengar seseorang berdebat mendukung rezim Castro
di Kuba, pada awalnya kita mungkin berasumsi bahwa
mereka adalah seorang sosialis. Namun, kita dapat
menyesuaikan penilaian kita untuk mempertimbangkan
penjelasan situasional, seperti yang ditunjukkan
dalam eksperimen Jones dan Harris (1967). Peserta
yang mengetahui bahwa penulis esai tidak memiliki
pilihan topik percaya bahwa esai tersebut memberi
tahu mereka sesuatu tentang sikap mereka yang
sebenarnya, tetapi tidak cukup menyesuaikan dari
informasi yang paling menonjol, posisi yang diambil
dalam esai (Quattrone, 1982).

4.3.5 Proses Atribusi Dua Langkah


Proses atribusi internal Gilbert dan Krull
(Gilbert, 1989, 1991, 1993; Krull, 1993)
melibatkan proses dua langkah. Langkah pertama
melibatkan asumsi bahwa perilaku seseorang
disebabkan oleh sesuatu tentang dirinya. Langkah
kedua melibatkan penyesuaian atribusi berdasarkan
situasi orang tersebut. Namun, kita sering gagal
melakukan penyesuaian yang cukup, sering
melewatkan langkah kedua saat teralihkan atau
disibukkan (Gilbert & Hixon, 1991; Gilbert &
Osborne, 1989; Gilbert, Pelham, & Krull, 1988).
Atribusi internal, langkah penting dalam
pengambilan keputusan, melibatkan atribusi
internal yang cepat dan spontan, sementara
penyesuaian terhadap situasi membutuhkan perhatian
dan upaya sadar pada tingkat saraf. Studi
pencitraan otak baru-baru ini menunjukkan bahwa
kecenderungan kita untuk secara spontan
mempertimbangkan keadaan mental sering kali
menghalangi pertimbangan penjelasan situasional
yang potensial di kemudian hari (Brosch, Schiller,
Mojdehbakhsh, Uleman, & Phelps, 2013; Moran,
Jolly, & Mitchell, 2014).
 Catatan: *Two-Step Atribution Process adalah
Proses atribusi internal melibatkan proses
dua langkah, dimulai dengan atribusi
otomatis dan kemudian mempertimbangkan
alasan situasional sebelum menyesuaikan
atribusi asli.

Langkah kedua dari pemrosesan atribusi melibatkan


perlambatan secara sadar dan berpikir dengan hati-
hati sebelum mencapai penilaian, jika kita secara
kognitif waspada dan termotivasi untuk membuat
penilaian yang akurat. Langkah ini dilakukan
ketika kita curiga dengan perilaku orang yang
dituju, percaya bahwa mereka memiliki motif
tersembunyi (Hilton, Fein, & Miller, 1993; Risen &
Gilovich, 2007; Webster, 1993). Model atribusi dua
langkah mungkin tidak berlaku untuk individu dalam
budaya di mana atribusi internal bukan merupakan
respons default (Mason & Morris, 2010).

4.3.6 Atribusi Melayani Diri Sendiri


Imani, seorang siswa di kelas kimiawinya, sangat
cemas dengan nilai tengah semester. Setelah
menerima nilai A, dia merefleksikan kesuksesan dan
atribusinya. Dia percaya kesuksesannya adalah
karena kecerdasannya dan pandai kimia. Namun, jika
dia mendapat nilai buruk, dia menyalahkan
peristiwa eksternal di luar kendalinya, seperti
ujian profesor yang tidak adil. Atribusi
mementingkan diri sendiri ini adalah kecenderungan
umum ketika harga diri terancam, karena orang
sering memuji keberhasilan mereka secara internal
dan menyalahkan faktor eksternal atas kegagalan
mereka (Kestemont et al., 2014; McAllister, 1996;
Miller & Ross, 1975; Pronin, Lin, & Ross, 2002;
Robins & Beer, 2001).
Mempelajari atribusi melayani diri sendiri dalam
olahraga mengungkapkan bahwa atlet dan pelatih
sering mengaitkan kemenangan tim mereka dengan
faktor internal, dengan 80% atribusi kemenangan
dengan faktor internal. Sebaliknya, kekalahan
lebih cenderung dikaitkan dengan penyebab
eksternal, seperti nasib buruk atau permainan
superior tim lain, di luar kendali tim (Lau &
Russell, 1980). Studi Aamir khan dan Roesch (1997)
mengungkapkan bahwa keterampilan, pengalaman, dan
jenis olahraga atlet dapat memengaruhi
kecenderungan atribusi. Atlet yang kurang
berpengalaman cenderung membuat atribusi yang
mementingkan diri sendiri, karena mereka mengakui
kekalahan sebagai tanggung jawab mereka dan tidak
selalu dapat sepenuhnya menghargai kemenangan.
Atlet solo, seperti pemain tenis, juga cenderung
membuat atribusi yang lebih mementingkan diri
sendiri, karena mereka merasa bertanggung jawab
untuk menang dan kalah.
Atribusi melayani diri sendiri adalah strategi
yang digunakan untuk mempertahankan harga diri
dengan mengubah pemikiran atau keyakinan. Ini
melibatkan penempatan "kausalitas" di tempat yang
paling baik, sehingga mendistorsi realitas dan
memengaruhi persepsi kita tentang apa yang telah
terjadi (Greenberg, Pyszczynski, & Solomon, 1982;
Shepard, Malone, & Sweeny, 2008; Snyder & Higgins,
1988). Atribusi melayani diri sendiri adalah hal
biasa ketika kita merasa tidak dapat berkembang
setelah kegagalan saat ini. Atribusi eksternal ini
melindungi harga diri kita, tetapi jika kita yakin
kita dapat meningkat, kita mengaitkan kegagalan
kita saat ini dengan penyebab internal dan
berupaya untuk meningkatkannya (Duval & Silvia,
2002). Alasan untuk ini bukan tentang persepsi
diri kita melainkan bagaimana kita menampilkan
diri kita kepada orang lain (Goffman, 1959).
Kinerja yang buruk dapat dikaitkan dengan faktor
eksternal, yang bertujuan untuk mempertahankan
citra positif dan menghindari persepsi negatif.
Ron, seorang siswa yang mengikuti tes kimia,
membuat atribusi mementingkan diri sendiri,
percaya bahwa tes itu tidak adil, meskipun
mengetahui bahwa dia biasanya berkinerja baik.
namun Profesor, bagaimanapun, mengaitkan kinerja
Ron yang buruk dengan tingkat kesulitan ujian nya
(Miller & Ross, 1975; Nisbett & Ross, 1980).
Penyakit terminal, serangan acak, dan kecelakaan
fatal adalah peristiwa tragis yang dapat
mengganggu dan menyebabkan orang mengubah
atribusinya. Peristiwa-peristiwa ini dapat
mengingatkan kita bahwa jika itu terjadi pada
orang lain, itu bisa terjadi pada kita. Untuk
mengatasinya, orang mungkin percaya bahwa hal-hal
buruk hanya terjadi pada orang jahat atau membuat
kesalahan bodoh, sehingga mereka dapat yakin bahwa
hal-hal buruk tidak akan terjadi pada mereka.
Melvin Lerner (1980, 1998) mengacu pada keyakinan
akan dunia yang adil, adalah suatu bentuk atribusi
defensif di mana orang menganggap hal-hal buruk
terjadi pada orang jahat dan hal-hal baik terjadi
pada orang baik (Aguiar, Vala, Correia, & Pereira,
2008; Hafer, 2000; Hafer & Begue, 2005). Keyakinan
dunia yang adil, suatu bentuk atribusi defensif,
dapat menyebabkan konsekuensi yang tragis ketika
orang menganggap hal-hal buruk terjadi pada orang
jahat dan hal-hal baik terjadi pada orang baik.
Keyakinan ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang
tindakan, pemicu, dan niat korban, menyebabkan
orang merasa lebih baik tentang situasi tersebut
dengan menyalahkan korban. Proses atribusi
defensif ini dapat memiliki konsekuensi yang
tragis dalam berbagai situasi (Burger, 1981;
Lerner & Miller, 1978; Stormo, Lang, & Stritzke,
1997; Walster 1966). Penelitian menunjukkan bahwa
korban kejahatan atau kecelakaan sering disalahkan
atas nasibnya sendiri, seperti pemerkosaan dan
kekerasan dalam rumah tangga (Abrams, Viki,
Masser, & Bohner, 2003; Bell, Kuriloff, & Lottes,
1994; Summers & Feldman, 1984). Bias atribusi
mencegah korban mengakui keacakan menjadi korban,
sehingga mengurangi pemikiran yang memicu
kecemasan tentang keselamatan, sehingga
mempromosikan dunia yang adil dan mencegah potensi
kecelakaan atau aktivitas kriminal.
4.3.7 Titik Buta Bias
Emily Pronin melakukan studi tentang bias
atribusi telah mengungkapkan titik buta bias, di
mana kita sering percaya bahwa orang lain lebih
rentan terhadap bias ini daripada kita. Titik buta
ini adalah kecenderungan untuk percaya bahwa orang
lain lebih rentan terhadap bias atribusi daripada
kita, yang menunjukkan "titik buta" saat
merefleksikan proses berpikir kita sendiri. Ini
menyoroti pentingnya memahami dan mengatasi bias
atribusi untuk menghindari atribusi yang
mementingkan diri sendiri dan mempertahankan
pemikiran yang akurat (Hansen, Gerbasi, Todorov,
Kruse, & Pronin, 2014; Pronin, Gilovich, & Ross,
2004; Pronin, Lin, & Ross, 2002).
Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi titik
buta bias dengan menghadirkan deskripsi bias
kepada peserta, khususnya atribusi yang
mementingkan diri sendiri dan menyalahkan korban.
Peserta diminta untuk menilai kerentanan mereka
terhadap kecenderungan ini, dengan rata-rata orang
Amerika dinilai jauh lebih rentan. Peserta merasa
mereka hanya" agak " rentan terhadap atribusi
mementingkan diri sendiri, sementara rata-rata
orang Amerika dinilai jauh lebih rentan. Temuan
ini menunjukkan bahwa meskipun kita menyadari
bahwa pemikiran yang bias secara atribusi dapat
terjadi pada orang lain, kita tidak pandai
menemukannya dalam diri kita sendiri. Ini
menunjukkan bahwa kita perlu merefleksikan lebih
hati-hati pada proses penilaian kita dan menyadari
potensi titik buta bias.
4.4 Budaya dan Persepsi Sosial
Peran apa yang dimainkan budaya dalam proses
persepsi dan atribusi sosial?
Psikolog sosial semakin mengkaji pengaruh budaya
terhadap persepsi sosial, khususnya dalam ranah
komunikasi nonverbal, untuk memahami bagaimana pola
asuh kita memengaruhi persepsi kita terhadap orang
lain dan perilaku mereka.
Budaya Amerika Utara mencerminkan nilai-nilai dan
motifnya, menekankan otonomi individu dan
pengendalian diri, memastikan bahwa perilaku
mencerminkan ciri-ciri internal dan ciri-ciri
internal (Markus & Kitayama, 1991). Sejarah
intelektual dari nilai budaya ini dapat ditelusuri
kembali ke kepercayaan Yahudi-Kristen pada jiwa
individu dan tradisi hukum Inggris tentang hak-hak
individu (Kitayama et al., 2006; Menon, Morris,
Chiu, & Hong, 1999). Budaya Asia Timur, termasuk
Cina, Jepang, dan Korea, menekankan otonomi
kelompok, dengan individu sering kali memperoleh
rasa diri mereka dari kelompok sosial. Keyakinan ini
berakar pada tradisi Konfusianisme, Taoisme, dan
Buddhisme, dengan konsep seperti "manusia komunitas"
dan" makhluk sosial " yang memengaruhi sejarah
intelektual masyarakat ini (Menon et al., 1999, hlm.
703; Zhu & Han, 2008).
4.4.1 Pemikiran Holistik versus Analitik
Cina, Jepang, dan Korea adalah contoh budaya
kolektivistik yang menumbuhkan gaya berpikir
holistik. Budaya-budaya ini, yang dicirikan oleh
nilai-nilai individualistis, mendorong orang untuk
fokus pada sifat-sifat benda atau orang, sambil
mengabaikan konteks di sekitarnya. Pendekatan ini
kontras dengan gaya berpikir analitik yang lazim
dalam budaya Barat, yang cenderung berfokus pada
objek atau properti seseorang, sambil mengabaikan
konteks dan hubungan di antara mereka (Nisbett,
2003; Nisbett & Masuda, 2003). Gaya berpikir dalam
budaya yang berbeda menunjukkan perbedaan umum,
memprediksi bagaimana kita memandang orang lain.
Meskipun perbedaan-perbedaan ini belum tentu
baik/atau, mereka berkontribusi pada kompleksitas
perbedaan budaya.
Dalam pengaturan kelompok, gaya berpikir
individu dapat dipengaruhi oleh dinamika kelompok.
Pemikiran analitik melibatkan pemfokusan pada
ekspresi satu teman, sedangkan pemikiran holistik
melibatkan membandingkan wajah orang lain dalam
kelompok dan membuat keputusan berdasarkan reaksi
mereka.
Studi Takahiko Masuda dan kolega (2008) tentang
ekspresi wajah kelompok menemukan bahwa ekspresi
tokoh sentral tidak banyak berpengaruh pada
peringkat orang Amerika. Namun, ekspresi wajah
anggota kelompok lain berpengaruh signifikan
terhadap peringkat peserta Jepang. Senyum lebar
diartikan sangat bahagia jika anggota kelompok
juga tersenyum, sedangkan ekspresi sedih atau
marah diartikan kurang bahagia. Arti ekspresi
wajah tergantung pada konteks kelompok (Masuda et
al., 2008). Para peneliti mengukur gerakan
pelacakan mata para peserta, mengungkapkan bahwa
peserta Jepang menghabiskan lebih banyak waktu
untuk melihat karakter sentral di latar belakang
daripada orang Amerika, memindai karakter lain
setelah 1 detik (Masuda et al., 2008).
4.4.2 Bukti Ilmu Saraf Sosial
Studi Masuda (2008) tentang pemikiran holistik
mengungkapkan bahwa hasil pelacakan mata
mengungkapkan perbedaan tingkat fisiologis dalam
respons otak terhadap rangsangan sosial, yang
menunjukkan hubungan kompleks antara gaya berpikir
budaya Knowles, Morris, Chiu, & Hong, 2001; Mason
& Morris, 2010). Trey Hedden dan timnya
menggunakan fMRI (pencitraan resonansi magnetik
fungsional) untuk mempelajari peran otak dalam
pengalaman budaya. Mereka mempelajari peserta,
termasuk orang Asia Timur dan Amerika, yang
diminta untuk menilai panjang garis di dalam
kotak. Meskipun sama akuratnya, orang Asia Timur
menunjukkan lebih banyak aktivitas otak ketika
diinstruksikan untuk mengabaikan konteks. Peserta
Amerika menunjukkan aktivasi yang lebih besar di
wilayah kortikal tingkat tinggi ketika diminta
untuk memperhatikan konteks, sementara peserta
Asia Timur menunjukkan aktivitas yang lebih besar
di wilayah otak yang sama ketika diminta untuk
mengabaikan konteks (Hedden et al., 2008). Para
peneliti telah menggunakan potensi terkait
peristiwa (ERP) untuk mengukur aktivitas otak di
berbagai budaya (Go to, Ando, Huang, Yee, & Lewis,
2010; Goto, Yee, Lowenberg, & Lewis, 2013). Para
peneliti melakukan penelitian menggunakan ERP
untuk analisis penembakan saraf yang terperinci,
dengan fokus pada target dan konteks tertentu,
membandingkannya dengan fMRI untuk pemahaman yang
lebih komprehensif (Lewis, Goto, & Kong, 2008).
Penelitian ini melibatkan peserta dari latar
belakang etnis Eropa Amerika dan Asia Timur
Amerika, mengungkapkan bahwa peserta Eropa Amerika
lebih fokus pada target, sedangkan peserta Asia
Timur Amerika lebih fokus pada konteks di sekitar
target.
4.4.3 Perbedaan Budaya dalam Kesalahan Atribusi Mendasar
Budaya Timur cenderung lebih menyukai faktor
disposisi daripada faktor situasional, yang
mengarah pada kesalahan atribusi fundamental yang
lebih kuat. Budaya individualis cenderung lebih
menyukai atribusi disposisional, sedangkan budaya
kolektivis lebih menyukai atribusi situasional.
Ini menyoroti pentingnya memahami dan menangani
faktor disposisi dalam budaya Timur dan Barat
(Newman & Bakina, 2009; Tang, Newman, & Huang,
2014).
Joan Miller (1984) melakukan penelitian yang
melibatkan peserta dari dua budaya, Hindu di India
dan Amerika di Amerika Serikat, untuk menjelaskan
perilaku teman-temannya. Peserta Amerika
menggunakan penjelasan disposisional, sedangkan
peserta India tertarik pada penjelasan
situasional. Miller menguji hipotesis ini dengan
membandingkan perilaku yang dihasilkan oleh
peserta India dengan yang dijelaskan oleh orang
Amerika. Terlepas dari perbedaannya, orang Amerika
menemukan penyebab internal dan disposisi atas
perilaku yang diyakini orang India disebabkan oleh
situasi tersebut.
Penelitian Miller (1984) tentang persepsi sosial
menyoroti peran utama pengalaman budaya dalam
membentuk persepsi. Dia menganalisis kecenderungan
atribusi anak-anak Amerika dan India, menemukan
bahwa anak-anak dari kedua budaya memiliki
penjelasan yang sama untuk perilaku teman mereka.
Temuan Miller menunjukkan bahwa pengaruh budaya
membentuk gaya berpikir kita dari waktu ke waktu,
bukan sejak lahir.
Studi Ying-Yi Hong (2003) terhadap mahasiswa
Tionghoa Hong Kong mengungkapkan kesalahan
atribusi mendasar dalam identitas bikultural
mereka. Para siswa, yang berbudaya dua dan
memiliki paparan budaya Tionghoa Hong Kong dan
Barat, dilengkapi dengan gambar-gambar yang
mewakili budaya Amerika dan Tionghoa. Studi ini
menemukan bahwa peserta yang memiliki citra budaya
China lebih cenderung membuat atribusi situasional
tentang ikan, sedangkan mereka yang memiliki citra
budaya Amerika cenderung tidak membuat atribusi
situasional. Ini menyoroti pentingnya keragaman
budaya dalam atribusi (Hong, Chiu, & Kung, 1997;
Hong, Morris, Chiu, & Benet-Martinez, 2000).
Budaya Barat dan Timur berbeda dalam pendekatan
mereka terhadap perilaku, dengan budaya Barat
berfokus pada psikolog kepribadian dan budaya
Timur pada psikolog sosial. Sementara kedua budaya
cenderung memandang perilaku secara disposisional,
budaya kolektivis lebih sadar akan efek
situasional dan atribusi disposisional (Choi,
Dalal, Kim-Prieto, & Park, 2003; Choi & Nisbett,
1998; Choi, Nisbett, & Norenzayan, 1999; Krull et
al., 1999; Miyamoto & Kitayama, 2002). Orang-orang
dalam budaya kolektivis cenderung melampaui
penjelasan disposisi, dengan mempertimbangkan
informasi tentang situasinya juga.
4.4.4 Budaya dan Bias Atribusi Lainnya
Amy Mezulis dan rekan-rekannya (2004) melakukan
meta-analisis terhadap 266 studi, mengungkapkan
komponen budaya yang kuat untuk bias melayani diri
sendiri, sebuah fenomena yang lazim di Amerika
Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Afrika,
Eropa Timur, dan Rusia. Terlepas dari perbedaan
bias mementingkan diri sendiri di antara kelompok
etnis yang berbeda, beberapa budaya Asia
menunjukkan tingkat yang rendah atau tidak ada
(Mezulis et al., 2004).
Mahasiswa Tionghoa, kelompok tradisional Asia,
sangat dihargai atas pendidikan berkualitas tinggi
mereka, sebuah konsep yang menekankan kesopanan
dan keharmonisan dengan orang lain. Mereka
mengaitkan keberhasilan mereka dengan guru, orang
tua, dan kualitas lingkungan sekolah mereka secara
keseluruhan (Bond, 1996; Leung, 1996). Peserta
penelitian China, yang dipengaruhi oleh tradisi
budaya mereka, kurang menghargai keberhasilan
mereka dibandingkan dengan peserta AS, yang
cenderung mengaitkan kesuksesan mereka dengan
bakat atau kecerdasan mereka, tidak seperti AS
(Anderson, 1999; Lee & Seligman, 1997). Mahasiswa
Tionghoa mengaitkan kesuksesan mereka dengan
nilai-nilai budaya, yang mencerminkan keadaan dan
keadaan unik mereka.
Produk budaya, termasuk iklan, lirik lagu, dan
seni, mencerminkan budaya individualistis dan
kolektivistik, dengan budaya Barat menunjukkan
konten yang lebih individualistis dan konten
kolektivistik, sementara negara-negara seperti
Jepang, Korea, Cina, dan Meksiko menunjukkan
konten yang lebih kolektivistik (Morling &
Lamoreaux, 2008). Studi Hazel Markus tentang
komentar olahraga Jepang dan Amerika mengungkapkan
bahwa media Amerika sering kali berfokus pada
kemampuan dan bakat unik atlet peraih medali emas
mereka, sedangkan media Jepang berfokus pada
kemampuan individu, pengalaman masa lalu, dan
peran pelatih, rekan satu tim, dan keluarga.dalam
kesuksesan mereka. Liputan Amerika cenderung
berfokus pada aspek positif, sedangkan liputan
Jepang berfokus pada aspek positif dan negatif,
menyoroti perbedaan liputan media antara kedua
negara Markus dkk., 2006, hlm. 106-107).
Singkatnya, kutipan dari peraih medali emas
menyoroti dampak budaya pada bagaimana individu
menjelaskan tindakan mereka. Mereka menekankan
pentingnya tetap fokus dan percaya pada kemampuan
seseorang untuk menunjukkan kepada dunia, terlepas
dari keraguan dan keraguan, untuk mencapai
kesuksesan (Misty Hyman, peraih medali emas
Amerika di nomor kupu-kupu 200 meter putri).
(Markus dkk., 2006, hlm. 103) Naoko Takahashi,
peraih medali emas maraton putri, memuji
kesuksesannya atas dukungan pelatih dan
manajernya, serta orang-orang yang membantunya
meraih kemenangannya (Markus et al., 2006, hlm.
103).
Mengaitkan kegagalan dengan penyebab internal
dalam budaya kolektivis, seperti Cina, kontras
dengan bias mementingkan diri sendiri dalam budaya
individualistis, di mana orang cenderung melihat
kegagalan dari luar (Anderson, 1999; Oishi, Wyer,
& Colcombe, 2000). Dalam budaya Asia, anggota
kelompok sering terlibat dalam atribusi kritis
terhadap diri sendiri, menumbuhkan saling
ketergantungan dan empati, ikatan bersama yang
tertanam kuat dalam masyarakat mereka (Kitayama &
Uchida, 2003).
Adrian Furnham menyoroti atribusi defensif dari
dunia yang adil sebagai komponen budaya, menyoroti
bahwa dalam masyarakat dengan kekayaan dan
kemiskinan yang ekstrim, atribusi dunia yang adil
lebih umum daripada masyarakat dengan kekayaan
yang lebih merata. Atribusi ini membantu menjaga
visi hidup yang aman, teratur, dan dapat
diprediksi (Dalbert & Yamauchi, 1994; Furnham,
1993; Furnham & Procter, 1989).

Anda mungkin juga menyukai