Anda di halaman 1dari 2

Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU

KPK) telah mendapat persetujuan dari DPR pada tahun 2019 dan telah diundangkan dengan
undang-undang Nomer 19 Tahun 2019. Sesungguhnya Upaya untuk mengubah UU KPK telah
menjadi program legislasi sejak masa keanggotaan DPR RI tahun 2009-2014 dan berhasil diubah
pada masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 yaitu tepatnya beberapa hari menjelang
berakhirnya masa keanggotaan DPR 2014-2019 dan hal itu menimbulkan berbagai kritik
dari masyarakat banyak terutama pengiat anti korupsi karena dianggap, Pemerintah dan DPR
ingin melemahkan KPK dan mengingkari tujuan reformasi, bahkan para pengkritik meminta
presiden untuk mengeluarkan Perpu untuk mencabut UU itu nantinya, namun Presiden lebih
memilih untuk tidak menandatangani atau mengesahkan RUU menjadi UU dan meminta
masyarakat melakukan proses hukum dengan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah
Konstitusi. Meskipun perubahan Undang-Undang KPK banyak mendapat protes dan kritik dari
berbagai kalangan namun perubahan tersebut sesuai dengan UUD tahun 1945 telah sah menjadi
Undang-Undang.

PERTANYAAN:

Ketentuan apa saja dalam perubahan UU Nomer 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dapat dianggap
tidak sesuai dengan semangat Reformasi khususnya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia. ? berikan pendapat saudara

Jawaban

Berdasarkan UU No.30 tahun 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan sebagai
serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi - melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan - dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Rumusan undang-undang tersebut menyiratkan bahwa upaya pemberantasan korupsi
tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran masyarakat.

Setelah Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan pasal 53 UU No. 30


Tahun 2002 bertentangan dengan konstitusi maka kasus korupsi tidak bisa diadili di dua
pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan tipikor Jakarta dan pengadilan umum. Pembentukan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai pengadilan yang memiliki kompetensi untuk
memeriksa perkaraperkara TIpikor dilatarbelakangi oleh semangat pembaruan untuk memberantas
Tindak Pidana Korupsi yang marak di Indonesia.Hal ini tercermin dalam UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada tahun 2006, melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006


tanggal 19 Desember 2006 Pembentukan Pengadilan Tipikor dalam UU 30 Tahun 2002 dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Penbentukan Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan
undangundang khusus yang terpisah dari UU 30 Tahun 2002, dengan demikian lahirlah UU No.
46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Pro dan kontra di dalam masyarakat khususnya mahasiswa yang merupakan tongkat dari
revolusi bangsa, terjadi karena Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (revisi UU KPK) dianggap merugikan lembaga KPK itu sendiri. Bahkan banyak kalangan
yang menyebutkan bahwa adanya revisi UU KPK ini juga merupakan kegiatan pelemahan
terhadap lembaga antirasuah tersebut. Akibatnya terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
oleh para mahasiswa seluruh Indonesia pada tanggal 9 September 2019 yang menolak Rancangan
Undang-Undang selanjutnya disingkat menjadi RUU mengenai lembaga KPK.

Demonstrasi tersebut membahas mengenai rancangan revisi UU KPK yang dianggap tidak
sesuai dengan tujuan dan tugas KPK sebagai lembaga negara yang independen dalam
pemberantasan korupsi. Oleh sebab itu terjadi problematika yang membuat masyarakat
beranggapan bahwa UU KPK yang baru ini tidak sesuai dengan tujuan awal dibentuknya KPK.

( http://scholar.unand.ac.id/73227/2/Bab%20I.pdf
https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/234/pdf )

Anda mungkin juga menyukai