Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH Delik Khusus Di Luar

KUHP (Tindak Pidana Korupsi)

Dosen :
Prof. DR. Nikmah Rosidah, S.H.,M.H. & Dona Raisa
Monica, S.H.,M.H.
Nama Kelompok 2:
Yudit Putra Anggara 1812011036
Putra Hidayatulloh 1812011038
Rendie Meita Sarie Putri 1812011070
M. Ryas Ihza At-thoriq 1812011076
Haya Anastasya Azra 1812011079
Lespiana Br. Sitanggang 1812011082
Denis Anelka 1812011084
Vira Kamila Azzahra 1812011085
Vilda Aslinda 1812011122
Abdurahman Cury 1812011227
Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi secara harfiah berasal dari kata
Tindak Pidana dan Korupsi. Sedangkan secara yuridis-
formal pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam
Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2
sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai
dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK.
Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian
tindak korupsi tersebut tentu saja akan memberi banyak
masukan dalam perumusan UU PTPK, sehingga sanksi
hukuman yang diancamkan dan ditetapkan dapat
membantu memperlancar upaya penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi.
Perkembangan Peraturan Perundang-
undangan tentang Tindak Pidana Korupsi
1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971
Korupsi pada awalnya diatur dalam Peraturan Militer
Nomor PRT/PM/06/1957 yang berlaku untuk daerah
kekuasaan Angkatan Darat, Peraturan tersebut
diimplementasikan dalam peraturan pelaksana pada
Peraturan Pemerintah Perang Pusat Kepala Staf Angkatan
Darat Nomor PRT/PEPERPU/031.1958 dan Peraturan
Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut
Nomor PRT/z.1/1/7.1958 tanggal 17 April 1958.
Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi merupakan perubahan dari
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, sebagai
konsekuensi bahwa Peraturan Penguasa Perang
Pusat tentang pemberantasan korupsi itu bersifat
darurat, temporer, yang berlandaskan kepada
Undang-Undang Keadaan Bahaya, dicabut karena
keadaan sudah menjadi normal
2. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971

Pada tahun 1971 lahir Undang-Undang Nomor 3


Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Perumusan tindak pidana korupsi dalam
undang-undang ini mengalami kemajuan dibanding
peraturan sebelumnya. Namun Undang-undang ini
tidak sesuai dengan perkembangan kejahatan tindak
pidana korupsi pada tahun 1999.
3. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001

Pasca gerakan reformasi, disahkan Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah
mengalami perubahan dengan UndangUndang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kedua
undang-undan ini masih berlaku hingga sekarang.
Undang-Undang Komisi Pemberantasakan Korupsi

1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN


2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pada masa reformasi tahun 1999, lahir UU Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari KKN serta UU Nomor 31 Tahun 1999. Pada
2001, lahir 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai ganti dan
pelengkap UU Nomor 31 Tahun 1999. Dengan UU Nomor
20 Tahun 2001, akhirnya terbentuk KPK.
Sebagai tindak lanjut pada 27 Desember 2002 dikeluarkan
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dengan lahirnya KPK ini, maka
pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami babak baru.
2. PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ini dibentuk karena adanya kekosongan keanggotaan
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah mengganggu
kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Maka dari itu dibentuknya
PERPU ini ialah untuk menjaga keberlangsungan dan kesinambungan
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
pengaturan mengenai pengisian keanggotaan sementara Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi dan ketentuan mengenai pengisian
keanggotaan sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN
2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2OO2 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Perubahan-perubahan yang terdapat dalam UU
Nomor 19 Tahun 2019 ini diantaranya adalah
Kedudukan KPK sebagai lembaga dalam rumpun
eksekutif Sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat
3 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun
kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas
pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.
2.3. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 jo, Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001, terdapat beberapa ruang lingkup korupsi, dan menurut
Hendarman Supandji ruang lingkup tersebut terbagi dalam 5 (lima)
kelompok yaitu :
1. Kelompok delik yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
2. Kelompok delik yang berkaitan dengan suap menyuap dan
gratifikasi.
3. Kelompok delik yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
4. Kelompok delik yang terkait dengan pemerasan dalam jabatan.
5. Kelompok delik yang terkait dengan pemborongan, leveransir dan
rekanan
2.4. Kekhususan Pidana Materiil

Kekhususan pidana materil, itu terletak bagaimna terdapat


suatu aturan yang tidak di bahas dalam KUHP atau KUHAP
yang di buat dalam sebuah naskah undang-undang khusus
guna menegakkan aturan khusus tersebut supaya
pelanggaran terdapat aturannya
Adapun beberapa aturan khusus yang tidak di atur dalam
KUHP :
1. UU TIPIKOR (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
2. UU TERORISME (Undangan-undangan Nomor
5 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme)
3. UU ITE (Undangan-undangan Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik)
4. UU TPPO (Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang)
5. UU TPPU atau PENCUCIAN UANG (Undang-
undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
Dan lain sebagainya.
2.5. Penyimpangan Pidana Formil
Penyimpangan terhadap hukum pidana formil sebagai berikut :
1. Penyidikan dapat dilakukan oleh jaksa, penyidik KPK.
2. Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain.
3. Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana
korupsi.
4. Penuntutan kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara.
5. Perkara pidana khusus diadili di pengadilan khusus.
6. Dianutnya peradilan in absentia.
7. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank.
8. Dianut pembuktian terbalik.
9. Larangan menyebutkan identitas pelapor.
10. Perlunya pegawai penghubung.
11. Diatur TTS dan TTD.
2.6. Contoh Tindak Pidana Korupsi

Korupsi PLN Batubara dengan PT Tansri Madjid Energi (PT TME)


senilai Rp 477 Miliar. Kasus bermula saat PLN membentuk anak usaha
PT PLN Batubara pada Agustus 2008. Tugas anak usaha ini untuk
memasok batubara ke PLN agar pasokan listrik bisa stabil. Kasus korupsi
ini ditengarai bermula ketika PLN mencari batu bara untuk pembangkit
daya pada 2011. Kokos yang bergerak di usaha batu bara menawarkan
pasokan dari Muaraenim, Sumatera Selatan. Dirut PT Tansri Madjid
Energi (PT TME) Kokos Jiang dan Dirut PT PLN Batubara Khairil
Wahyuni (periode 2011-2012) mengatur nota kesepahaman atau MoU
operasi pengusahaan batu bara agar diberikan kepada PT TME.
Diketahui Kokos Jiang alias Kokos Leo Lim mengatur agar proyek bisa
jatuh ke perusahaannya. Kerja sama kedua pihak itu berlangsung sejak
2012. Untuk eksplorasi pertama, PLN Batubara mentransfer dana Rp 30
miliar kepada PT TME. Kemudian, Rp 447 miliar selanjutnya menyusul
setelah analisis laporan konsultan keluar.
Khairil Wahyuni yang mulai menduduki Dirut PLN BatuBara
pada 12 November 2010 itu menyetujui proposal bermasalah
itu. Alhasil, pasokan batubara ke PLN menjadi bermasalah.
Uang Rp 477 miliar pun menguap. Di tengah jalan, PT TME
justru tidak melakukan desk study dan kajian teknis seperti
yang disepakati. Batu bara yang diperjualbelikan merupakan
pasokan cadangan dan tidak sesuai dengan spesifikasi.
”Banyak hal yang tidak sesuai peraturan perundang-
undangan dan seharusnya kepada PT TME tidak dilakukan
pembayaran. Tapi, oleh PT PLN Batubara, dilakukan
pembayaran sejumlah Rp 477 miliar”. Seperti yang
dijelaskan di laman web Kejaksaan RI, seharusnya spesifikasi
batu bara untuk 16 PLTU tertinggi adalah 5.7 Kcal/Kg Ar dan
terendah 4.000 Kcal/Kg Ar. Namun, spesifikasi dalam nota
kesepahaman yang dibuat adalah sekitar 2.600 Kcal/Kg Ar
Kejaksaan akhirnya menyeret Khairil Wahyuni ke
pengadilan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Pada 12 Juni 2019, Pengadilan
Tipikor Jakarta menyatakan Khairil Wahyuni
tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana Korupsi
sebagaimana dalam dakwaan subsider. Oleh sebab
itu, Khairil Wahyuni dijatuhi hukuman 2 22 tahun
penjara dan denda sejumlah Rp 100 juta. Vonis ini
satu tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa. Putusan
itu dikuatkan pada 19 September 2019.
Sedangkan, Dirut PT Tansri Madjid Energi (PT TME)
Kokos Jiang yang sebelumnya divonis bebas oleh
Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 Juni 2019. Setelah
berstatus buron sejak putusan MA dikeluarkan pada 17
Oktober, tim dari kejaksaan berusaha menangkap Kokos di
rumahnya di Ciracas, Jakarta Timur. Namun, Kokos
ditangkap ketika sedang periksa kesehatan di RS Bina
Waluya, Jakarta Timur. Kokos ditangkap tim tangkap buron
(tabur) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada Senin, 11
November 2019 dan langsung dijebloskan ke penjara. Lima
hari mendekam di penjara, Kokos mengembalikan uang
sejumlah kerugian negara tersebut secara tunai. Dia dijatuhi
hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta
subsider enam bulan kurungan.

Anda mungkin juga menyukai