Anda di halaman 1dari 4

Tindak Pidana Language Crime Dalam Perspektif Lingusitik Forensik dan

Pola Pembinaan Terhadap Pelaku

Kejahatan berbahasa (Language Crime) dalam pergaulan hidup sehari-hari kian


banyak ibarat metastatis yang sulit untuk ditepis. Akhir-akhir ini, di Indonesia
muncul pemberitaan-pemberitaan mengenai kejahatan berbahasa seperti ujaran
kebencian (hate speech), berita bohong atau palsu (hoax), hasutan (provokasi),
fitnah, pencemaran nama baik, penistaan atau penghinaan, penyuapan, ancaman
dan sebagainya (Sholihatin, 2019: 5). Peraturan Perundang-undangan terkait
mengenai ujaran kebencian, defamasi (penghinaan/pencemaran nama baik)
banyak dijumpai dalam KUHP, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Selain itu, dapat dijumpai juga dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis.
Menurut data Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) Periode
Agustus 2018 – 31 Mei 2023, terdapat temuan isu hoax dengan kategori penipuan
sebanyak 1.938 kasus, dan pencemaran nama baik sebanyak 473 kasus. Kejahatan
berbahasa tidak hanya ditemukan dalam kehidupan nyata namun menyasar pada
kehidupan maya yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk melakukan tindakan
yang merugikan orang lain, sehingga banyak terdengar korban penipuan, korban
bullying, korban pencemaran nama baik, dan lain sebagainya.

Lingusitik Forensik
McMenamin (2002) menyatakan bahwa studi lingusitik forensic adalah studi
ilmiah bahasa yang diterapkan pada konteks forensic untuk tujuan yang berkaitan
dengan forensic (pembuktian hukum). McMenamin (2002) juga menjelaskan
aplikasi lingusitik forensic meliputi identifikasi suara, interpretasi makna yang
dinyatakan dalam hukum dan tulisan-tulisan hukum, analisis wacana dalam
pengaturan hukum, interpretasi makna yang dimaksudkan dalam laporan lisan dan
tertulis (misalnya pengakuan), identifikasi penulis, bahasa hukum, analisis bahasa
ruang siding yang digunakan peserta sidang (misalnya hakim, pengacara, dan
saksi), hukum merek dagang, defamasi (fitnah, penghinaan, pencemaran nama
baik), interpretasi, dan terjemahan ketika lebih dari satu bahasa harus digunakan
dalam konteks hukum.
Adanya keterkaitan antara ilmu bahasa dan pembuktian dalam hukum, muncullah
cabang ilmu linguistik forensic. Lingusitik forensik adalah disiplin linguistik yang
kajiannya erat dengan tujuan hukum dalam sistem peradilan (Aghagolzadeh,
2010: 425). Menurut Endang Sholihatin (2019: 3), satu tujuan ilmu lingusitik
forensic adalah penggunaan bahasa sebagai bukti dalam kasus peradilan seperti
merek dagang, persengketaan kontrak (perjanjian), defamasi (fitnah, pencemaran
nama baik, penghinaan/penistaan), hasutan, konspirasi, penyuapan, sumpah palsu
(keterangan/kesaksian palsu), pengancaman, penyuapan, dan praktik-paktik
penipuan perdagangan. Endang Sholihatin (2019: 5) menyimpulkan bahwa
lingusitik forensic adalah kajian ilmiah bahasa dalam pembuktian hukum yang
bertujuan memecahkan masalah hukum untuk membantu proses penegakan
keadilan. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan ilmu lingusitik penting dalam
kaitannya dengan penyelesaian masalah hukum.

Pelaku Kejahatan Berbahasa di Lapas dan Rutan


Diantara ragam kejahatan berbahasa, mungkin yang acapkali ditemui di Lapas
maupun Rutan adalah pelaku penipuan yang ancaman pidananya paling lama 4
(empat) tahun pidana penjara dalam Pasal 378 KUHP. Sebagai informasi, tindak
pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP lama masih berlaku dan
Pasal 492 UU No. 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal
diundangkan dan tambahannya dikenakan denda kategori V yaitu di atas Rp. 500
juta.
Pelaku kejahatan berbahasa memerlukan pola pembinaan dan pengajaran dengan
pendekatan keagamaan agar dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan
tidak mengulanginya kembali karena narapidana dan tahanan sama-sama berhak
mendapatkan pendidikan, dan pengajaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 7
huruf c dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang
Pemasyarakatan. Selain itu, bunyi Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan menyebutkan bahwa: “Setiap Lapas wajb melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pengajaran”. Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan
di Lapas dan Rutan pada prinsipnya didasarkan atas prinsip-prinsip sistem
pemasyarakatan untuk merawat, membina mendidik, dan membimbing warga
binaan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna.
Pembinaan terhadap narapidana baik kasus narkotika dan lain sebagainya maupun
sekalipun kasus kejahatan berbahasa diberikan pelayanan berupa layanan
kepribadian yang dimaksudkan untuk merubah perilaku yang tidak baik menjadi
perilaku yang taat norma hukum serta berkesesuaian dengan norma agama
sehingga tujuan pembinaan mental dan spiritual bagi narapidana bisa tercapai.

Tindak Tutur dan Memilih Kata-kata


Tanpa disadari atau tidak, dalam dinamika informasi dan transaksi elekronik,
bertutur kata yang baik dan memilih kata-kata yang sopan untuk diucapkan dalam
bermedia social merupakan langkah yang arif dan bijaksana dalam menghindari
terjadinya masalah hukum. Cukup banyak peraturan perundang-undangan yang
menjerat ke arah pemidanaan apabila tidak arif dan bijaksana dalam bermedia
social seperti melakukan penipuan, dan pencemaran nama baik. Oleh karenanya,
perlu memilih dan memilah, serta bertutur dengan baik kepada orang lain. Semua
agama pun diyakini memerintahkan umatnya untuk melakukan hal demikian.
Dalam Islam, terdapat banyak ayat yang memerintahkan untuk berkata
diantaranya Q.S Al-Isra ayat 53 yang berbunyi “dan katakanlah kepada hamba-
hamba Ku itu, supaya mereka ucapkan kata-kata yang lebih baik. Sesuangguhnya
syaitan akan mengacau di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu bagi manusia
adalah musuh nyata”.
Menurut Buya Hamka yang menafsirkan Q.S Al-Isra ayat 53 dalam Tafsir Al-
Azhar, bahwasanya bahasa yang diucapkan oleh manusia dengan lidahnya,
disadari atau tidak, adalah timbul daripada budinya. Budi adalah keadaan rohani
manusia atau sifat batinnya. Sifat batin itulah yang dinamai makna, dan kalimat-
kalimat yang mengalir dari mulut dan lidah adalah umgkapan daripada makna
yang terkandung dalam batin itu. Lantaran itu maka bahasa manusia dipengaruhi
oleh budinya (Hamka, 1982: 4072). Apabila kita renungkan maksud ayat di atas,
dapat dipahami bahwa memilih kata-kata yang baik dan benar adalah termasuk
budi pekerti yang tinggi.
Jadi, pendekatan keagamaan dinilai mampu dan berprospek terhadap keberhasilan
dalam pembinaan dan pengajaran kepada pelaku kejahatan berbahasa, sehingga
pelaku yang saat ini berada di Lapas dan Rutan maupun pelaku yang diluar sana
menggunakan cara-cara berkomunikasi yang melangar hukum dapat tersadar dan
tidak mengulanginya.

Anda mungkin juga menyukai