Anda di halaman 1dari 134

PERANCANGAN JALAN

Oleh : SUMARJONO

PELATIHAN FUNGSIONAL PENATA KELOLA JALAN DAN JEMBATAN


AHLI PERTAMA

PUSAT PENGEMBANGAN KOMPETENSI JALAN, PERUMAHAN, DAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH


BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
KOMPETENSI DASAR
Setelah mengikuti pembelajaran pada mata pelatihan
ini, diharapkan peserta mampu melaksanakan
perancangan jalan

INDIKATOR KEBERHASILAN
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta dapat:
1. Melaksanakan survei dan investigasi;
2. Memilih data primer dan data sekunder;
3. Membedakan jenis, sumber, penggunaan dan
proses manajemen data;
4. Melaksanakan proses dan tahapan perancangan
jalan.
5. Melaksanakan desain geometrik jalan;
6. Melaksanakan desain perkerasan jalan.
Outline MATERI 1 SURVEY DAN INVESTIGAS

2 DATA PRIMER DAN DATA SKUNDER

3 JENIS, SUMBER, PENGGUNAAN DAN PROSES


MANAJEMEN DATA

4 PROSES DAN TAHAPAN PERANCANGAN JALAN

5 DESAIN GEOMETRIK JALAN

6 DESAIN PERKERASAN JALAN


1
Survei
1. Survei Teknis
2. Survei Harga Satuan Upah/Bahan/Alat
3. Survei Calon Tenaga Kerja
1. SURVEI TEKNIS

❑ Survei teknis dilakukan untuk penyusunan desain bangunan;


❑ Sasaran survei teknis ini adalah untuk mendapatkan data-
data/informasi kondisi/situasi awal lokasi pembangunan
infrastruktur yang sebenarnya.
❑ Jenis data/informasi yang diperlukan tergantung pada jenis
infrastruktur yang akan dibangun.
❑ Seperti: Kondisi fisik lokasi (luasan, batas-batas, topografi),
kondisi tanah (keras/lunak), keadaan air tanah, peruntukan lahan,
rincian penggunaan lahan, perkerasan, penghijauan, dan lain-lain.
2. Survei Harga Satuan Upah/Bahan/Alat
❑ Sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas
pemanfaatan dana kegiatan maka harga-harga satuan
upah/bahan/alat yang akan dipergunakan dalam pelaksanaan
kegiatan.
❑ Apabila seluruh harga satuan upah/bahan/alat terendah hasil
survei pelaksana adalah sama dengan harga satuan terendah
yang telah ditentukan maka pelaksana dapat langsung
menggunakan harga hasil ketetapan.
3. Survei Calon Tenaga Kerja
❑ Tenaga kerja yang akan terlibat dalam pelaksanaan
pekerjaan diprioritaskan dan diharapkan sebanyak mungkin
dari masyarakat setempat.
❑ Informasi ketersediaan tenaga kerja proyek sangat penting.
Hal ini terutama karena akan menjadi dasar pemilihan
teknologi / metode kerja pelaksanaan pembangunan fisik.
❑ Selain jumlah, kualifikasi tenaga kerja juga sangat penting
diketahui dari hasil survei,
3. Lanjutan ……. Survei Calon Tenaga Kerja
❑ Pengalaman/keterampilan yang dimiliki calon tenaga kerja
terutama guna menjamin cara pelaksanaan pekerjaan dapat
dilaksanakan secara benar.
❑ Selain ketiga survey diatas juga terdapat survey sosial yang
harus diperhatikan, secara umumnya dapat dibagi menjadi
tiga macam survey sosial, yaitu;
▪ Budaya dan ekonomi setempat;
▪ Mata pencaharian; dan
▪ Kepemilikan tanah secara umum.
Secara umum tujuan pekerjaan survey adalah untuk :

❑ Menentukan posisi sembarang bentuk yang berbeda diatas


permukaan bumi
❑ Menentukan letak ketinggian (elevasi) segala sesuatu yang
berbeda diatas atau dibawah suatu bidang yang berpedoman
pada bidang permukaan air laut tenang
❑ Menentukan bentuk atau relief permukaan tanah beserta
luasnya
❑ Menentukan panjang, arah dan posisi dari suatu garis yang
terdapat diatas permukaan bumi yang merupakan batas dari
suatu arealtertentu.
SURVEI
Tahap awal sebelum melangkah pada tahapan perencanaan, maka
untuk memperoleh data yang akan mendukung dasar-dasar
perencanaan jalan, maka dilakukan kegiatan survai. Beberapa survai
yang pentinguntuk dilakukan adalah :
a. Survei Lalu Lintas.
b. Survei Topografi.
c. Survei Geoteknik.
d. Survei Amdal
a. Survai Lalu Lintas
❑ Survai lalu lintas dilakukan pada jalan yang sudah ada
(eksisting) sebagai dasar merencanakan jalan baru.
❑ Survai ini diperlukan untuk mengetahui gambaran / pola lalu
lintas serta komposisi kendaraan yang diperkirakan akan
melalui jalan yang akan dibangun tersebut.
❑ Selain itu terdapat pula survai asal tujuan ( origin-destination
survey ) yang dilakukan untukmengetahui pola perjalanan
dalam rangka merencanakan kebutuhan pergerakan.
Kebutuhan pergerakan selanjutnya dipakai untuk
merencanakan perlu tidaknya suatu jalan dibangun.
❑ Survai lalu lintas melibatkan seorang ahli teknik lalu lintas
/traffic engineer
b. Survei Topografi
❑ Survei topografi bertujuan untuk memindahkan kondisi
permukaan bumi dari lokasi rencana jalan ke dalam suatu
peta yang dinamakan peta planimetri.
❑ Peta ini nantinya akan digunakan untuk melakukan plotting
perencanaan geometrik jalan, dalam hal ini perencanaan
alinemen horizontal.
❑ Selain itu survei topografi juga mencakup pengukuran
penampang memanjang yang akan dipakai dalam
perencanaan alinemen vertikal.
❑ Survei topografi melibatkan seorang tenaga ahli geodesi
/geodetic engineer
c. Survei Geoteknik
❑ Survei geoteknik meliputi survei geologi dan penyelidikan
tanah ( soil investigation ), tujuannya adalah untuk
mengetahui kondisi tanah / batuan dasar dari lokasi
rencana jalan.
❑ Hasil survei ini akan memberikan informasi mengenai jenis
tanah, daya dukung tanah serta stabilitas lereng yang
didukung hasil uji laboratorium.Survai ini melibatkan
seorang tenaga ahli geologi dan tanah / geotechnic
engineer.
d. Survei Amdal
❑ Survei amdal dilakukan untuk mengetahui kondisi air, udara
dan kebisingan di lokasi rencana jalan yang akan dibangun,
selain itu survei juga mengamati kondisi sosial-ekonomi-
budaya masyarakat di sekitar lokasi rencana jalan.
❑ Survei amdal melibatkan seorang tenaga ahli lingkungan /
environmental engineer
INVESTIGASI
Investigasi adalah Upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan,
pencarian, pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan
temuan lainnya untuk mengetahui/membuktikan kebenaran atau
bahkan kesalahan sebuah fakta yang kemudian menyajikan
kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.

Lalu apa sih sebenarnya pengertian atau definisi dari kata


investigasi itu sendiri? Investigasi adalah sebuah penyelidikan.
Di mana dalam sebuah penyelidikan, penyelidik atu peneliti turun
turun langsung ke lapangan atau melakukan observasi.
2
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data
sekunder.
❖ Data primer dilakukan dengan cara survey lapangan,
❖ Data sekunder didapatkan dari instansi yang
berwenang dalam penentuan kebijakan transportasi
seperti Dinas Perhubungan dan Pemerintah Daerah.
Data primer yang diperlukan untuk analisis adalah:
❑ Data kinerja lalu lintas saat ini, yang diukur dengan
volume, kecepatan dan kepadatan lalu lintas;
❑ Data penyebaran dan pembebanan perjalanan
pada tiap ruas jalan dan simpang;
❑ Volume lalu lintas saat ini dan akan datang sesuai
dengan tahun rencana.
Data sekunder yang dapat diperoleh dari instansi
terkait adalah :
❖ Peta jaringan jalan dan peruntukan lahan (land use)
❖ Data jumlah penduduk
❖ Kondisi sosial ekonomi penduduk daerah studi
❖ Kebijakan manajemen transportasi yang diterapkan
Data yang diperoleh dari hasil survey diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang keadaan yang ada di lapangan,
sehingga data ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
sebagai berikut :
❑ Pemantauan (monitoring);
❑ Prakiraan (forecasting);
❑ Kalibrasi (calibration);
❑ Validasi (validation).
DATA PENDUKUNG / DATA SEKUNDER
Selain data-data yang didapat dari hasil survai, diperlukan pula data-data
pendukung (data sekunder) lainnya untuk melengkapi kebutuhan
perencanaan, yaitu :
1. Rencana Tata Ruang berperan dalam menentuan pemanfaatan ruang
yang ada di suatu wilayahperencanaan, baik dalam skala nasional,
provinsi, kabupaten atau kota.
2. Data Penduduk dan EkonomiData penduduk dan ekonomi sangat
diperlukan untuk merencanakan kebutuhan pergerakan
dimasamendatang.
3. Kondisi WilayahData ini terdiri dari kondisi geografis, kondisi fisik
dasar (topografi, hidrologi, klimatologi) dan tata guna lahan.
Lanjutan ……..DATA PENDUKUNG / DATA SEKUNDER
4. Peta DasarTerdapat beberapa peta dasar yang dapat digunakan
sebagai acuan di dalam perencanaan. Peta-peta dasar tersebut
adalah :
a. Peta Jaringan Jalan
Peta jaringan jalan dapat diperoleh dari Departemen PU
ataupun Dinas PU Provinsi/Kabupaten.Peta ini berisi jaringan
jalan yang ada di dalam satu wilayah provinsi atau kabupaten
atau kota dandilengkapi dengan data panjang jalan, batas
ruas jalan dan fungsi jalan
b. Peta Geologi
Peta geologi dapat diperoleh dari Direktorat Geologi
Departemen Pertambangan dan Mineral. Isi daripeta geologi
adalah informasi mengenai kondisi geologi daerah tertentu
yang terdiri dari formasibatuan, struktur dan umur lapisan
permukaan bumi.
c. Peta Rupa Bumi
Peta ini diperoleh dari BAKORSURTANAL (Badan Koordinasi
Survey Pertanahan Nasional). Daripeta yang berskala 1 :
50.000 ini dapat dijadikan sebagai peta dasar perencanaan,
karena berisitentang kondisi suatu wilayah dengan lengkap
(tata guna lahan, jalan dan utilitas lainnya).
d. Foto Udara
❑ Foto udara merupakan rekaman gambar wilayah yang
diambil melalui satelit berupa foto.
❑ Foto udara sangat membantu dalam perencanaan karena
dapat melihat jelas penyebaran / penggunaan lahan sesuai
dengan kondisi yang sesungguhnya.
3
Jenis – jenis Data
Berdasarkan jenisnya data dikelompokkan menjadi dua macam yaitu,
data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif
❑ Merupakan data yang menunjukkan mutu atau kualitas sesuatu yang
ada, baik proses, keadaan, peristiwa, kejadian dan lainnya yang
dinyatakan ke dalam bentuk pertanyaan atau berupa kata-kata.
❑ Penentuan kualitas data tersebut menurut kemampuan memberikan
nilai tentang bagaimana mutu dari sesuatu. Misalnya : Tanah
timbunan, tanah pilihan , batu, pasir dan lain sebagainya.
Data Kuantitatif

❑ Merupakan data yang berbentuk angka-angka sebagi hasil


pengukuran ataupun hasil observasi. Misalnya jumlah semen =
200 zak, jumlah besi dia 22 = 100 batang, jumlah agregat klas A
= 1.000 m3 dan lain sebagainya.
❑ Data kuantitatif didapatkan dari pengukuran langsung dan dari
angka-angka yang diperoleh dengan mengubah data kualitatif
menjadi data kuantitatif. Data kuantitatif mempunyai sifat
objektif dan dapat ditafsirkan sama oleh semua orang.
Data Berdasarkan Sumber dan Penggunanya
Data penelitian berdasarkan sumber dan penggunannya adalah
serangkaian rencana sekaligus prosedur untuk melakukan riset yang
mencakup langkah-langkah mulai dari pengumpulan, metode
penelitian yang dipergunakan, hingga pada tahapan analisis dan
interpretasi.
Jenis Data Berdasarkan Sumber dan Penggunanya
Berdasarkan sumber dan penggunanya, data statistik bisa dibedakan
menjadi dua :
Data internal adalah informasi, statistik, dan tren yang yang dimiliki
oleh suatu organisasi melalui operasi atau kegiatan yang mereka
lakukan. Jenis data statistik dan statistika ini mencakup fakta dan
angka yang dimiliki oleh perusahaan dalam database internal,
perangkat lunak, pelanggan, pengambilan keputusan, dan laporan.
Data internal termasuk beberapa bentuk data berikut:
Data eksternal adalah setiap validasi data penelitian yang
dihasilkan dari luar organisasi. Data ini bisa berasal dari
berbagai sumber, dan inisiatif data terbuka sekarang berlimpah,
menyediakan banyak data eksternal untuk keperluan analisis.
Sumber data bisa dikelompokkan berdasarkan dua hal, yaitu
berdasarkan subjek di mana data melekat, dan berdasarkan wilayah
sumber data. Berdasarkan subjek di mana data melekat sumber data
dapat diklasifikasikan menjadi 4 singkatan huruf P (4p) dari bahasa
Inggris, yaitu:
P = person, sumber data yang berupa orang. Merupakan sumber data
yang dapat memberikan data berupa jawaban lisan/wawancara atau
jawaban tertulis melalui angket. Sumber datanya disebut responden.
P = place, sumber data yang berupa tempat. Merupakan sumber data
yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam, seperti alat, benda,
warna, kondisi ruangan dan sebagainya.
P = process, sumber data aktivitas atau kegiatan. Merupakan sumber
data yang menyajikan tampilan berupa keadaan yang bergerak, seperti
kegiatan belajar, kinerja, gerak taian dan lain sebagainya.
P = paper, sumber data yang berupa simbol. Merupakan sumber data
yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, simbol, dan gambar
lain.
Pengumpulan data yang dilakukan atas populasi menghasilkan data
dan kesimpulan yang lebih akurat karena tidak ada kesalahan yang
terjadi. Hal ini dikarenakan seluruh objek datanya dikumpulkan, dan
dianalisis. Akan tetapi pengumpulan data yang seperti ini tidak jarang
tidak bisa dilakukan karena berbgai kendala. Dengan kondisi yang
demikian biasanya pengumpulan data hannya dilakukan dari sampel.
4
Setiap perencanaan teknis jalan baik yang
dilakukan perorangan maupun oleh Badan Hukum
termasuk Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota harus mengacu
kepada persyaratan teknis Jalan dan memenuhi
Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.
❑ Kriteria Perencanaan Teknis Jalan adalah ketentuan
teknis jalan yang harus dipenuhi dalam suatu
perencanaan teknis jalan.
❑ Prosedur Pelaksanaan Perencanaan Teknis Jalan
adalah tahapan dan ketentuan pelaksanaan
perencanaan teknis jalan yang harus diikuti oleh para
perencana jalan.
DASAR PERENCANAAN JALAN
❑ Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi darat yang
berfungsi untuk melayani pergerakan manusia dan barang.
❑ Jalan dikatakan baik jika direncanakan sedemikian rupa sehingga
unsur keselamatan dankenyamanan pemakai jalan dapat terjamin
dengan baik.
❑ Setiap daerah memiliki kondisi wilayah dan karakteristik yang
berbeda.
Lingkup Persyaratan Teknis Jalan meliputi :
a. Kecepatan rencana;
b. Lebar badan jalan;
c. Kapasitas jalan;
d. Jalan masuk;
e. Persimpangan sebidang dan fasilitas berputar balik;
f. Bangunan pelengkap jalan;
g. Perlengkapan jalan;
h. Penggunaan jalan sesuai dengan fungsinya; dan
i. Ketidak terputusan jalan.
Tahapan perencanaan teknis jalan meliputi:
a. Perencanaan Teknis Awal, yang melingkupi:
1) perencanaan beberapa alternatif alinemen jalan yang akan
dibangun;dan
2) pertimbangan teknis, ekonomis, lingkungan, dan keselamatan
yang melatar belakangi konsep perencanaan;
b. Kajian kelayakan jalan (Feasibility study), yang melingkupi:
1) kajian kelayakan teknis dan kajian kelayakan finansial untuk
setiap alternatif alinemen jalan keluaran perencanaan teknis
awal; dan
2) menetapkan pilihan alternatif yang paling layak baik secara
teknis maupun finansial, serta keselamatan lalu lintas jalan;
c. Perencanaan Teknis Akhir (Final Engineering Design), terdiri dari:
1) desain pendahuluan, yang diawali dengan pelengkapan data
pendukung untuk perencanaan termasuk tinjauan lapangan
untuk penetapan alinemen Jalan yang final untuk alternatif
alinemen terpilih hasil kajian kelayakan jalan;
2) perencanaan teknis rinci (Detail Engineering Design);
3) audit keselamatan jalan (AKJ); dan
4) perencanaan teknis akhir.
Lingkup Kriteria Perencanaan Teknis Jalan meliputi:
a. Fungsi jalan;
b. Kelas jalan;
c. Bagian-bagian jalan;
d. Dimensi jalan;
e. Muatan sumbu terberat, volume lalu lintas, dan kapasitas jalan;
f. Persyaratan geometrik jalan;
g. Konstruksi jalan;
h. Konstruksi bangunan pelengkap jalan;
i. Perlengkapan jalan;
j. Kelestarian lingkungan hidup; dan
k. Ruang bebas.
PROSEDUR DESAIN
Prosedur dalam menggunakan bagan desain untuk mencapai hasil
yang maksimal secara teknis dan optimal secara ekonomis adalah
sebagai berikut:
1). Perkerasan Lentur
Prosedur-prosedur ini harus diikuti sebagai berikut :
1. Tentukan umur rencana
2. Tentukan nilai-nilai ESA4 dan atau ESA5 sesuai umur rencana
yang dipilih
3. Tentukan tipe perkerasan atau pertimbangan biaya (analisis
discounted life-cycle cost).
4. Tentukan segmen tanah dasar dengan daya dukung yang
seragam.
5. Tentukan struktur fondasi perkerasan.
6. Tentukan struktur perkerasan atau Bagan Desain lainnya
yang sesuai.
7. Tentukan standar drainase bawah permukaan yang
dibutuhkan.
8. Tetapkan kebutuhan daya dukung tepi perkerasan
9. Tentukan kebutuhan pelapisan (sealing) bahu jalan
2). Perkerasan Kaku
1. Tentukan umur rencana
2. Tentukan volume kelompok sumbu kendaraan niaga.
3. Tentukan stuktur fondasi jalan
4. Tentukan daya dukung efektif tanah dasar menggunakan
solusi tanah normal atau tanah lunak.
5. Tentukan struktur lapisan perkerasan
6. Tentukan jenis sambungan (umumnya berupa sambungan
dengan dowel).
7. Tentukan jenis bahu jalan (biasanya menggunakan bahu
beton).
8. Tentukan detail desain yang meliputi dimensi pelat beton,
penulangan pelat, posisi dowel & tie bar, ketentuan
sambungan dan sebagainya.
9. Tetapkan kebutuhan daya dukung tepi perkerasan
5
PENDAHULUAN
1. Lima unsur dasar
desain berdampak Alinyemen
Potongan
pada keselamatan Kecepatan horizontal Alinemen Jarak
melintang
rencana dan Vertikal. pandang
jalan
sebagai dasar untuk superelevasi
pemahaman desainer,
menyangkut:

2. Pemahaman akan
karakteristik zona
konteks jalan:
3. Proses desain
Geometrik Jalan
5.1 Alinemen Horizontal
1. Alinemen Horizontal, berupa serangkaian bagian-bagian jalan
yang lurus dan melengkung berbentuk busur lingkaran,
dihubungkan oleh lengkung peralihan atau tanpa lengkung
peralihan.

1) Kecepatan kendaraan digunakan rambu batas kecepatan.

2) Ketentuan lengkung horizontal.

3) Radius lengkungan harus cukup besar.

4) Dipilih sebisa mungkin lurus dengan radius tikungan sebesar


mungkin, kecuali panjangnya yang perlu dibatasi.
5.1.1 Tahapan Desain

Langkah-langkah berikut ini hendaknya diikuti dalam melakukan desain


alinemen horizontal:
1) Dengan mengacu kepada kriteria desain;
2) Tentukan kecepatan desain;
3) Siapkan alinemen-alinemen percobaan menggunakan serangkaian
garis lurus dan lengkung, karena cenderung menjadi penyebab
kecelakaan;
4) Siapkan draf alinemen vertikal dengan memperhatikan Pesyaratan
Teknis Jalan (PTJ) untuk desain alinemen vertikal, koordinasi antara
alinemen horizontal dan vertikal, serta drainase;
5) Pertimbangkan untuk lengkung horizontal pada turunan, terutama
turunan tajam, mungkin radiusnya perlu diperbesar;

6) Atur alinemen horizontal sedemikian sehingga semua PTJ


terpenuhi, terutama radius lengkung yang sesuai;

7) Hasil percobaan burtir 3 s.d. 6 dikaji lagi untuk menilai


kelayakannya dari aspek; teknis, ekonomi, dan lingkungan, jika
perlu dikaji dari aspek; sosial, politik, budaya, pertahanan, dan
keamanan. Alinemen yang paling layak atau memenuhi kriteria
pemilihan yang ditentukan, maka akan menjadi alinemen desain
final.
5.1. LENGKUNG HORIZONTAL

Jenis lengkung horizontal yang paling umum digunakan untuk


menghubungkan bagian-bagian jalan yang lurus adalah kurva lingkaran.
1. Jenis lengkung alinemen horizontal;
2. Tikungan dengan Kurva Lingkaran;
3. Tikungan Gabungan;
4. Tikungan Gabungan Searah (Brokenback curve);
5. Tikungan Gabungan Balik (kurva S);
6. Panjang Bagian Alinemen Yang Lurus;
7. Lengkung Peralihan;
8. Radius maksimum yang memerlukan lengkung peralihan
(spiral);
9. Kekesatan melintang;
10. Radius Minimum untuk Nilai Superelevasi Desain;
11. Turunan curam;
12. Panjang minimum lengkung horizontal dan sudut defleksi
yang tidak memerlukan lengkung horizontal;
13. Superelevasi;
14. Penempatan runoff superelevasi tanpa lengkung peralihan;
15. Penempatan Runoff Superelevasi dengan lengkung
peralihan;
16. Panjang Lengkung Peralihan Spiral (Ls) yang dikehendaki
13. Superelevasi
1) Metode pencapaian superelevasi;
2) Nilai Superelevasi Maksimum;
3) Nilai Superelevasi Minimum;
4) Penerapan Superelevasi;
5) Panjang Pencapaian Superelevasi;
6) Laju Rotasi;
7) Kelandaian Relatif;
8) Panjang pencapaian superelevasi;
14. Penempatan runoff superelevasi tanpa lengkung
peralihan

1) Lengkung busur lingkaran (tangent-lingkaran-


tangent) pada lengkung F-C;
2) Tikungan Gabungan Balik;
3) Tikungan Gabungan Searah;
15. Penempatan Runoff Superelevasi dengan lengkung
peralihan

1) Tangent-peralihan-lingkaran-peralihan-tangent (S-C-S);
2) Lengkung peralihan balik;
16. Panjang Lengkung Peralihan Spiral (Ls) yang dikehendaki
Ls dikehendaki seperti ditunjukkan dalam Tabel 5-41 - PDGJ. Jika lengkung peralihan yang
diinginkan ternyata kurang dari panjang minimum yang ditentukan dari persamaan tsb di
bawah ini, maka panjang lengkung peralihan minimum yang digunakan dalam desain
adalah: Ls,min sebaiknya lebih besar dari:

𝟐 𝟎.𝟎𝟐𝟏𝟒 𝑽𝟑
𝑳𝑺 = 𝟐𝟒 𝑷𝒎𝒊𝒏 𝑹 atau 𝑳𝑺,𝒎𝒊𝒏 =
𝑹𝑪

Keterangan:
Ls, min = panjang minimum lengkung peralihan
P min = jarak offset lateral minimum antara bagian lurus dan
busur lingkaran (0,20m)
R = radius busur lingkaran, m
V = kecepatan desain, Km/Jam
C = laju maksimum perubahan akselerasi lateral
(1,20m/detik3)

Panjang lengkung peralihan yang dikehendaki, seperti tercantum pada


Tabel 5-41 – PDGJ, berikut.
Tabel 5-41. Panjang lengkung peralihan yang dikehendaki
1. Penggunaan kemiring. melintang normal, dikenal sebagai kemiringan melintang yang
berlawanan (adverse) karena bentuk penampang melintang normal memiliki kemiringan
normal biasanya +2% dan -2% yang salah satu kemiringannya berlawanan dengan arah
tikungan, biasanya dihindari, kecuali pada tikungan dengan radius besar yang bisa
dianggap sebagai jalan lurus.

2. Kemiringan melintang adverse tidak melebihi 3%, kecuali untuk tikungan di dalam
perkotaan dengan kecepatan operasi <40Km/Jam pada daerah-daerah yang terbatas,
dan belokan persimpangan atau bundaran.

3. Secara umum, faktor kekesatan maksimum dibatasi menjadi setengahnya (atau dua
pertiganya jika faktor resultan < 0,08 (0,033 hingga 0,048) yang memperbolehkan
tikungan dengan superelevasi.
4. Penggunaan kemiringan melintang adverse dibatasi pada jalan Antar kota dan
JBH, dimana kedalaman air pada perkerasan bisa dikurangi.

5. Kemiringan melintang normal sebaiknya dihindari dalam kondisi-kondisi berikut:

1) Pada pendekat persimpangan atau daerah pengereman lainnya;

2) Daerah yang rawan aquaplaning;

3) Jalan berkecepatan tinggi dengan kelandaian menurun melebihi 4%;


PELEBARAN PERKERASAN PADA TIKUNGAN
HOROZONTAL

1. Perkerasan bisa diperlebar pada tikungan untuk menjaga ruang


bebas samping antar kendaraan, sejajar ruang bebas yang ada pada
jalan lurus.
2. Besaran pelebaran yang dibutuhkan tergantung pada:
1) Radius tikungan
2) Lebar lajur pada jalan lurus
3) Panjang dan lebar kendaraan
4) Ruang bebas kendaraan.
3. Faktor-faktor lainnya seperti julur depan kendaraan, jarak sumbu
roda, dan lebar lintasan roda kendaraan juga ikut berperan.

4. Terdapat kebutuhan melebarkan perkerasan jalan pada tikungan


horizontal untuk digunakan oleh kendaraan yang lebih besar dari
kendaraan desain.

5. Tidak ada komponen keleluasaan kemudi tambahan untuk


kesulitan mengemudi pada tikungan karena:
6. Nilai pergeseran di tikungan ini dapat dihitung menggunakan
persamaan;

7. Untuk tikungan tanpa lengkung peralihan, praktisnya semua pelebaran


tikungan di sisi dalam tikungan dengan garis marka tengah jalan
kemudian diimbangi (offset) dari garis kontrol agar lebar lajur
semuanya sama.

8. Tikungan radius kecil hendaknya didesain dengan bantuan template


belokan atau program komputer turn path.
DESAIN TIKUNGAN

1. Full-Circle;
2. Spiral-Circle-Spiral (S-C-S);

3. Spiral-Spiral (S-S);
4. Kriteria pemilihan penggunaan bentuk tikungan.
1. Alinemen vertikal merupakan profil memanjang sepanjang
garis tengah jalan, yang terbentuk dari serangkaian segmen
dengan kelandaian memanjang dan lengkung vertikal. Profilnya
tergantung topografi, desain alinemen horizontal, kriteria
desain, geologi, pekerjaan tanah, dan aspek ekonomi lainnya.

2. Topografi, dibedakan atas tiga katagori golongan medan,


yaitu: datar, bukit, dan gunung.
KOTROL DESAIN
1. Ketinggian alinemen vertikal jalan pada setiap lokasi di sepanjang rute
sebagian besar dikendalikan oleh fitur-fitur yang dilintasi jalan. Berikut ini
adalah hal hal yang harus diperhatikan dalam mendesain alinemen vertikal:
1) Topografi eksisting.
2) Kondisi geoteknis.
3) Persimpangan eksisting.
4) Jalur masuk properti.
5) Overpass (ruang bebas vertikal, jarak pandang, dan pelapisan ulang).
6) Underpass.
7) Akses pejalan kaki.
8) Aset pelayanan utilitas dan persyaratan perlindungannya.
9) Bukaan median.
2. Desain harus memperhatikan dampak profil melintang badan jalan yang berbatasan
atau memotong jalan yang bisa mempengaruhi desain geometrik vertikal, khususnya
ketika mempertimbangkan drainase dan/atau perubahan-perubahan dalam:
1) Profil melintaing atau superelevasi
2) Posisi puncak kemiringan melintang jalan
3) Penambahan atau pengurangan lajur lalu lintas
4) Sudut antara jalan dan objek.

3. Kesemuanya bisa berdampak pada ruang bebas vertikal dan harus diperiksa
terhadap pemenuhannya. Harus dipertimbangkan spesifikasi kendaraan yang
panjang bagi struktur di atas jalan, sebagaimana ditunjukkan Gambar berikut.
Objek-objek relatif besar seperti overpass dan pepohon harus diperiksa dampaknya
terhadap jarak pandang, terutama jika terjadi di dekat lengkung vertikal cekung,
memakai tinggi mata pengemudi truk sebesar 2,40m dan tinggi lampu belakang
kendaraan sebesar 0,80m. Situasi ini ditunjukkan dalam Gambar berikut.
Gambar. Ruang bebas untuk kendaraan panjang.
MUKA AIR TANAH
1. Muka Air Tanah atau Ketinggian Banjir. Kebanyakan perkerasan jalan dan tanah
dasar jalan akan kehilangan kekuatannya ketika jenuh air. Agar perkerasan tetap
kering, level tanah dasar hendaknya di atas ketinggian muka air tanah atau muka
air banjir. Ketinggian minimum tanah dasar di atas muka air tanah ini mengacu
pada Tabel berikut.
2. Pada medan berbukit, drainase bawah permukaan (cut-off) mungkin diperlukan
untuk memastikan bahwa konstruksi perkerasan berada di atas muka air tanah.
Pada jalan lainnya, atas pertimbangan biaya, bisa saja tinggi ruang bebas di atas
muka air tanah dikurangi. Jalan arteri harus bebas banjir, tetapi dalam kondisi
tertentu adanya air pada perkerasan jalan untuk sesaat pada air hujan desain
masih bisa diterima.
3. Untuk semua proyek jalan, ruang bebas minimum di atas muka banjir dan muka
air tanah ditentukan oleh penyelenggara jalan.
Tabel 5-45 - PDGJ. Tinggi minimum tanah dasar di atas muka
air tanah banjir.
5.2.4. Ruang Bebas Vertikal
Tipikal ruang bebas vertikal untuk objek-objek yang dibangun di atas jalan diuraikan dalam
Tabel. Dalam semua kasus, desainer bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ruang
bebas ini terpenuhi dan terkonfirmasi terhadap pihak yang berwenang pengelola utilitas di atas
jalan yang sedang didesain.
Tabel. Ruang bebas vertikal minimum di atas badan
jalan dan jalur pejalan kaki
5.2.5. Jaringan Layanan Utilitas Bawah
Tanah
1. Semua jaringan layanan bawah tanah di sekitar pekerjaan jalan harus diidentifikasi dan
dipastikan bahwa ketentuan ruang bebas minimum dipenuhi. Layanan yang umumnya
terlibat meliputi:
a. Jaringan pipa gas
b. Jaringan pipa air
c. Drainase air hujan
d. Buangan air limbah
e. Kabel telekomunikasi
f. Kabel listrik bawah tanah
g. Aset pengelola jalan untuk sinyal lalu lintas dan penerangan jalan

2. Dalam setiap kasus, desainer agar berkonsultasi dengan pihak berwenang terkait untuk
menentukan ruang bebas minimum. Contohnya untuk pipa gas, ruang bebasnya
tergantung pada tekanan pipa.
5.2.6. Titik Grading

3. Titik grading adalah titik referensi desain pada penampang melintang jalan sebagaimana
ditampilkan dalam Gambar 1. Pada jalan dua lajur dua arah, titik grading biasanya
ditempatkan di atas puncak kemiringan melintang pada titik persimpangan teoritis
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2. Pada titik ini dibentuk superelevasi.

Gambar 1. Titik grading pada jalan dua lajur dua arah


5.2.6. Titik Grading
4. Pada jalan yang dilengkapi median:
1) Perlu perhatian ketika memilih lokasi titik grading, terutama pada jalan yang akan
dibangun bertahap, karena posisi yang dipilih berdampak pada pekerjaan tanah, drainase,
estetika, dan tahapan pekerjaan.
2) Perlu diperhitungkan pengembangan selanjutnya dari jalan bermedian tersebut. Biasanya,
badan jalan satu lajur dengan kemiringan melintang searah dibangun terlebih dahulu dan
seiring kenaikan volume lalu lintas, lajur kedua dibangun.
3) Lebih baik jika bada jalan pertama dikonstruksi pada saat bersamaan dengan kemiringan
melintang jalan searah yang mengikuti arah lalu lintas. Jika tidak, mungkin akan timbul
permasalahan drainase di dalam median.
4) Penampang melintang pada Gambar 2 adalah opsi-opsi untuk badan jalan ganda pada
jalan Antar kota dengan median lebar.

Gambar 2. Titik grading tipikal pada jalan arteri antar kota


5.2.6. Titik Grading
5. Kelebihan utama penampang melintang paling atas adalah menghemat pekerjaan
tanah dalam tahap pertama. Permasalahan yang bisa terjadi ketika jalan ditingkatkan
untuk melebarkan penampang melintang jalan meliputi:
1) Kelandaian median harus mengizinkan kebutuhan drainase di masa mendatang.
Kemunculan titik-titik genangan drainase pada titik-titik grading.
2) Kemunculan perbedaan level antara tepi perkerasan sepanjang median dalam
penampang melintang akhir
3) Perbedaan level pada median yang baru, bisa menyebabkan lereng curam dan
memerlukan penggunaan pagar pengaman.

6. Penampang melintang paling bawah memiliki lebih banyak pekerjaan tanah pada
bagian superelevasi jalan dan lebih mahal pada tahap pertama. Titik grading
ditetapkan pada level lebih tinggi sehingga berada di tepi perkerasan ketika
ditingkatkan dan menghindari permasalahan seperti dalam penampang melintang
teratas.
5.2.7. Kelandaian Memanjang Minimum
1. Jalan dengan kelandaian datar dan tanpa kerb biasanya bisa memberikan
drainase permukaan yang baik dimana kemiringan melintangnya mencukupi untuk
membuang air secara lateral melalui bahu dan kemudian ke saluran samping.
Kelandaian minimum yang pantas biasanya 0,3 persen (Tabel 5-47 - PDGJ).
2. Akan tetapi, drainase tepi jalan dan median mungkin memerlukan kelandaian lebih
curam daripada kelandaian jalan agar bisa mengalirkan air dengan baik.

Tabel 5-47. Kelandaian memanjang minimum


5.2.8. Kelandaian Memanjang Maksimum

1. Semua segmen jalan didesain dengan kecepatan operasi yang seragam.

2. Kendaraan penumpang umumnya dapat mengatasi kelandaian antara 4-5%, tetapi,


tidak pada truk. Umumnya kecepatan Truk pada turunan akan bertambah sampai
dengan 5% dan pada tanjakan akan menurun sampai dengan 7% atau bahkan lebih
dibandingkan kecepatannya di daerah datar.

3. Grafik menunjukkan bahwa truk hanya bisa berakselerasi hingga kecepatan 40Km/Jam
atau lebih pada kelandaian kurang dari 5,5%.

4. Sesuai dengan kemajuan teknologi dewasa ini, wt/hp truk cenderung menurun yang
berarti bahwa truk-truk dewasa ini memiliki kemampuan menanjak yang lebih.
Penurunan wt/hp tersebut sampai dengan ±85 kg/kw.
5. Mengacu pada Permen PU No.19/PRT/M/2011, kelandaian maksimum yang diterapkan
menurut spesifikasi penyediaan prasarana jalan dengan jenis medan yang berbeda
ditampilkan dalam Tabel 5-48 - PDGJ.
6. Pada jalan kelas I dengan kendaraan desain kendaraan besar (Truk berat semi trailer),
kemampuannya melintasi tanjakan dengan kecepatan 40Km/Jam paling tinggi kira-kira
5,5% sehingga kelandaian maksimum perlu dibatasi sesuai kemampuan tersebut. Jika
kelandaian maksimum lebih besar dari 5,5% sangat dimungkinkan akan ditemui
kendaraan besar dengan kecepatan < 40Km/Jam.
Tabel 5-48. Kelandaian Maksimum
5.2.9. Panjang Kelandaian Kritis

1. Kelandaian maksimum yang ditentukan di atas bukan untuk kontrol sepenuhnya karena
harus dipertimbangkan terhadap pengoperasian kendaraan.
2. Istilah ‘Panjang Kelandaian Kritis’ digunakan untuk mengindikasikan panjang
maksimum tanjakan dimana truk bermuatan bisa beroperasi tanpa adanya
pengurangan kecepatan berlebihan.
3. Panjang kelandaian kritis untuk truk dan/atau Tabel berikut berdasarkan penurunan
kecepatan 15 s.d 25Km/Jam, lihat Gambar grafik 5-32 dan Tabel 5-49 (PDGJ).
Tabel. Panjang Kelandaian Kritis
5.2.10. Lajur Pendakian (LP)
1. LP diterapkan hanya pada jalan dua lajur dua arah dapat mengimbangi penurunan
kecepatan operasi lalu lintas yang disebabkan oleh:
1) efek kelandaian,
2) peningkatan arus lalu lintas,
3) keberadaan kendaraan berat (truk),
4) menyediakan cara yang relatif murah untuk menunda rekonstruksi dalam waktu
lama.
2. LP dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang bermuatan berat atau kendaraan
lain yang lebih lambat dari kendaraan-kendaraan lain pada umumnya, agar
kendaraan-kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus
berpindah lajur menggunakan lajur arah berlawanan.
3. LP harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian yang besar,
menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat.
4. Penambahan lajur pendakian dilakukan dengan ketentuan:
1) Pada jalan arteri atau kolektor, dan
2) Apabila panjang tanjakan melampaui panjang kritis; memiliki LHRTD > 3.750
SMP/hari (ekivalen dengan Ratio Volume per Kapasitas, RVK > 0,3), dan
persentase truk > 15%.
3) Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur desain.
4) Lajur pendakian dimulai 30m dari awal perubahan kelandaian dengan serongan
sepanjang 45m dan berakhir 50m sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45m (lihat Gambar 5-33).
5) Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5Km (lihat Gambar 5-34).
6) Ketika panjang kelandaian kritis maximum tercapai, harus disediakan Bordes
dengan panjang tertentu sebelum tanjakan berikutnya berlanjut.
Gambar 5-33. Tipikal Lajur Pendakian Gambar 5-34. Jarak antara dua Lajur
Pendakian
JALUR PENYELAMAT
1. Maksud dan Kebutuhan
Turunan curam dan panjang bisa menyebabkan pengemudi kendaraan berat kehilangan
kendali akibat keg' galan mekanis, kehilangan daya pengereman, atau gagal mengganti
gigi. Konsekuensi 'y ', lebih baik mengambil langkah untuk mencegah terjadinya dan
membatasi konsekuensi kendaraan berat yang kehilangan kendali.

2. Sarana penahan pada jalur penyelamat


Jenis-jenis sarana penahan kendaraan kehilangan kendali termasuk:
1) Ramp pengaman gravitasi
2) Arrester beds, atau
3) Jaring pengaman (dragnets)
Sarana-sarana tersebut bisa digunakan secara tersendiri atau kombinasi, tergantung
pada kondisi lapangan. Perlu dipertimbangkan pemasangan pagar pengaman penyerap
energi di ujung ramp pengaman jika kendaraan tidak sepenuhnya diperlambat oleh ramp
atau arrester bed.
JALUR PENYELAMAT
3. Ramp pengaman gravitasi
Ramp pengaman gravitasi menggunakan kelandaian menanjak untuk mengurangi kecepatan
kendaraan yang kehilangan kendali. Biasanya berpermukaan keras dan memanfaatkan kelandaian
alam yang ada pada daerah pegunungan. Akan tetapi, jenis ini jarang diaplikasikan karena tidak
mencegah kendaraan bergerak mundur sepanjang ramp dan terjungkal atau kembali masuk ke jalan.
Solusinya adalah mendesain ramp dengan membuat lereng galian yang terjal sehingga pengemudi
bisa mengarahkan kendaraan ke lereng begitu kendaraan bergerak mundur.

4. Arrester Beds
Arrester beds merupakan landasan panjang yang permukaannya terbuat dari partikel kerikil bulat
kecil dan dirancang untuk menghentikan truk kehilangan kendali. Truk dihentikan oleh kekesatan dan
hambatan begitu roda kendaraan tenggelam ke dalam landasan kerikil. Ada tiga jenis arrested beds
yakni, gravitasi, horizontal dan menurun, seperti ditunjukkan dalam Gambar 1. s.d. 3. Dari ketiga jenis
ini, arrester bed gravitasi adalah yang paling sering digunakan karena memanfaatkan kelandaian
sehingga panjang landasan lebih pendek. Kerikil lepas juga membantu dalam menahan kendaraan
begitu sudah berhenti.
Arrester bed adalah tipe pasir, yang terdiri dari tumpukan pasir kering lepas
yang ditempatkan pada ramp dan panjangnya tidak lebih dari 120m
Penempatan Jalur
Penyelamat
5. Jaring pengaman (Dragnets)
Jaring penahan (dragnets) kendaraan terdiri dari serangkaian jaring rantai yang
dipasang ke tiang-tiang penyerap energi untuk menahan dan menghentikan
kendaraan.
6. Dasar untuk investigasi
Turunan yang cukup panjang, bagi kendaraan berat berpotensi menyebabkan
kehilangan daya pengereman dan harus dipertimbangkan penanganannya yang dapat
mengurangi risiko kehilangan kendali. Kombinasi panjang dan derajat kelandaian yang
mendasari dilakukannya investigasi untuk penetapan penanganan ditampilkan dalam
Tabel berikut.

Tabel. 5-30
Dasar tipikal untuk analisa
kendaraan kehilangan kendali
7. Lokasi dan jarak jalur penyelamat
1) Sarana jalur penyelamat jangan dibangun pada lokasi di sebelah kanan turunan.
2) Pada jalan tanpa median, jalur penyelamat idealnya ditempatkan pada awal
tikungan ke kanan karena kendaraan yang kehilangan kendali bisa dengan
mudah melalui jalur lurus ke dalam jalur penyelamat.
3) Pada badan jalan bermedian lebar, jalur penyelamat bisa ditempatkan pada salah
satu sisi badan jalan dengan menyediakan rambu-rambu peringatan yang
memadai, yang dipasang sebelum masuk jalur penyelamat.
4) Agar jalur penyelamat menjadi efektif, perlu lokasi yang strategis. Jalur
penyelamat ini harus ditempatkan sebelum atau pada permulaan tikungan yang
radiusnya lebih kecil pada alinemen.
5) Suhu rem kendaraan merupakan persamaan dari panjang kelandaian, jadi jalur
penyelamat biasanya di tempatkan setelah setengah bagian dari alinemen
curam.
6) Tabel 5-51 bisa digunakan sebagai pedoman, ketika mempertimbangkan
kebutuhan jalur penyelamat pada kelandaian lebih dari 6% dan dengan jumlah
kendaraan niaga melebihi 150 per hari.
7) Jarak-jarak dalam Tabel 5-51 tidaklah mutlak dan dapat lebih panjang, karena
lokasi tergantung pada faktor-faktor lainnya.
8) Kebutuhan akan sarana akan lebih diperlukan, jika jumlah kendaraan niaga
lebih dari 250 per hari dan penurunan kecepatan operasi maksimum di antara
tikungan-tikungan sebelumnya mendekati batasan yang ditetapkan dalam Tabel
5-32 berikut.
Tabel 5-52. Pengurangan kecepatan maksimum
Tabel. 5-31 Perkiraan jarak dari puncak ke antara
jalur penyelamat tikungan-tikungan sebelumnya
8. Pertimbangan Utama Desain
Desain, konstruksi, dan pemeliharaan sarana jalur penyelamat, agar mempertimbangkan hal-
hal berikut:
1) Panjang jalur penyelamat mencukupi untuk menyerap energi kinetik kendaraan.
2) Alinemen jalur penyelamat adalah menyudut (tangent) atau pada kelengkungan sangat
datar untuk meminimalkan kesulitan pengemudi mengendalikan kendaraan.
3) Lebar ramp cukup lebar untuk mengakomodasi dua kendaraan jika dipertimbangkan
bahwa kendaraan kedua perlu memanfaatkan ramp tersebut dalam waktu singkat
setelah yang pertama.
4) Ruang kerja yang memadai tersedia untuk mengeluarkan kendaraan berat (misal: crane
pengangkat).
5) Material arrester bed bersih, tidak mudah dipadatkan atau terkonsolidasi dan memiliki
nilai koefisien hambatan tinggi.
6) Kedalaman penuh arrester bed dicapai dalam 50m pertama masuk ke arrester bed,
menggunakan kedalaman yang mengerucut (taper) dari 50mm di permulaan hingga
kedalaman penuh pada jarak 50m.
7) Landasan harus mempunyai drainase yang baik.
8) Jalan masuk ke ramp didesain agar kendaraan berkecepatan tinggi bisa masuk
dengan aman. Sudut datang 5° atau kurang dibutuhkan, dan jarak pandang
sejauh mungkin disediakan. Tepian awal arrester bed harus normal terhadap arah
masuk kendaraan untuk memastikan kedua roda depan kendaraan memasuki
landasan bersamaan.
9) Akses ke jalur penyelamat agar dipasang rambu-rambu lalu lintas dengan jelas
dan sesuai standar yang berlaku untuk mengingatkan pengemudi akan adanya
jalur penyelamat. Lokasi rambu, perlengkapan jalan atau kabel listrik di atas agar
tidak menghalangi pengoperasian arrester bed atau operasi penarikan
kendaraan.
10) Angkur untuk membantu penarikan kendaraan yang terjebak, ditempatkan pada
50m hingga 100m sepanjang arrester bed agar truk derek bisa dengan aman,
saat mengeluarkan kendaraan yang terjebak.
11. Sebagai tambahan, faktor operasional berikut ini hendaknya
dipertimbangkan:
1) Alinemen semua tikungan menjelang jalur penyelamat agar diperiksa untuk
memastikan bahwa kendaraan kehilangan kendali bisa melintasinya dengan aman
dengan kecepatan yang diperkirakan akan terjadi. Lihat Tabel 5-51.
2) Kendaraan yang memasuki jalur penyelamat harus ditarik keluar karena tak mungkin
bisa keluar dari arrester bed. Jalan akses di samping ramp diperlukan untuk
memungkinkan penarikan kendaraan.
3) Jika lokasi jalur penyelama' tidak cu1 >p panjang, sehingga tidak memadai untuk
menghentikan kendaraan kehilangan kendali, peralatan pengurangan kecepatan
mungkin diperlukar. \e ^ti-hadan diperlukan untuk memastikan peralatan tidak
menyebabkan masalah lebih banyak dari pada penyelesaiannya, karena penghentian
mendadak pada truk bisa menyebabkan muatan bergeser dengan potensi konsekue
^si buruk bagi pengemudi dan kendaraan. Crash cushion atau tumpukan pasir/kerikil
pernah digunakan sebagai peralatan untuk kesempatan penyelamatan terakhir.
12. Material Arrester Bed
Tahanan gulir perkerasan arrester bed akan berdampak besar terhadap panjang
yang diperlukan bagi sarana penahan kendaraan. Nilai-nilainya ditampilkan dalam
Tabel 5¬53 digunakan untuk perhitungan panjang.

Tabel 5-53. Momen tahanan material permukaan jalan


13. Panjang Arrester bed
Panjang sarana penahan kendaraan akan bervariasi tergantung pada kecepatan
masuk, kelandaian, permukaan perkerasan, dan jenis sarana. Kecepatan masuk
kendaraan 140Km/Jam digunakan sebagai kecepatan permulaan untuk menentukan
panjang arrester bed. Panjang arrester bed ditentukan oleh persamaan berikut;
𝑉2
𝐿=
254 (𝑅+𝐺)
Keterangan:
L = panjang arrester bed (m)
V = kecepatan masuk ke arrester bed (Km/Jam)
R = kelandaian dalam persen
G = tahanan gulir dinyatakan sebagai kelandaian dalam persen.

Dimana terdapat perubahan kelandaian arrester bed, persamaan tersebut bisa


digunakan untuk menghitung panjang yang diperlukan untuk setiap kelandaian.
Kecepatan akhir suatu bagian menjadi kecepatan permulaan bagian berikutnya.
Perhatikan bahwa ketika setengah arrester bed digunakan, panjangnya menjadi dua kali
panjang arrester bed berlebar penuh.
11. Tipikal tata letak ArresterBed
Tipikal tata letak arrester bed
ditunjukkan dalam Gambar berikut.
Perhatikan bahwa tata letak ini
menunjukkan dua jalan akses
tetapi biasanya hanya satu yang
disediakan. Akan tetapi, jika
muatan berat atau sulit diangkut
pada rute, maka keduanya
mungkin diperlukan untuk
kendaraan penarik bekerja di
kedua sisi.
5.2.12. Daerah Pengecekan Rem
1. Area turn out atau pull off di puncak lengkung vertikal bisa digunakan pengemudi
untuk menghentikan dan mengecek remnya atau daerah wajib berhenti untuk
pengemudi memeriksa muatan, kendaraan dan suhu rem kendaraannya sebelum
menuruni turunan.
2. Untuk memastikan bahwa pengemudi mulai menuruni turunan pada kecepatan nol dan
gigi rendah yang membuat perbedaan antara turunan dikontrol dan tak terkendali.
3. Perlu informasi mengenai ada turunan di depan termasuk jarak lokasi jalur
penyelamat.
4. Daerah ini hanya perlu lajur diperkeras di sebelah bahu jalan atau pelebaran bahu
jalan dimana truk bisa berhenti.
5. Jarak pandang yang baik menuju daerah ini dan lajur percepatan dan perlambatan
agar disediakan.
6. Rambu-rambu yang layak juga digunakan untuk mencegah masyarakat umum
menggunakannya.
5.2.13. Lajur Mendahului
1. Lajur untuk mendahului didasarkan atas; volume lalu lintas, persentase kendaraan
lambat (jenis truk), dan ketersediaan kesempatan mendahului.
2. Badan jalan dua arah dua lajur (2/2-TT), Gambar 5-40 berikut.
3. Lajur mendahului disediakan pada salah satu atau kedua arah untuk memecah
iring-iringan lalu lintas dan meningkatkan kinerja lalu lintas yang disebabkan
kurang memadainya kesempatan untuk mendahului, bisa dari 10 hingga 100Km.
4. Lajur ini ditempatkan secara sistematis pada interval reguler.
5. Tata letak yang dikehendaki pada lokasi awal atau akhir penyatuan lajur sepanjang
tiga detik waktu tempuh, untuk meminimalkan kecelakaan antara kendaraan dari
arah berlawanan.

Gambar. 5-40 Ruas lajur mendahului pada jalan dua lajur


6. Tata letak yang bisa diterima jika kondisi geometrik tidak menyediakan
alternatif yang mengizinkan pada awal menyatu (merging) berlawanan satu
sama lain.
7. Gambar 5-41 juga menunjukkan konfigurasi yang tidak dikehendaki dan tidak
dapat diterima, pada lokasi menyatu (merge area) di akhir lajur mendahului,
yang tidak

Gambar Contoh konfigurasi lajur mendahului pada awal dan akhir taper
8. Berikut ini ringkasan prosedur desain lajur mendahului:
1) Alinemen vertikal dan horizontal harus didesain untuk memberikan jarak pandang mendahului
sebanyak mungkin dari jalan.
2) Volume lalu lintas desain mendekati kapasitasnya, berdampak pada kurangnya kesempatan
mendahului dan mengurangi tingkat pelayanan.
3) Jika desain sudah selesai dan panjang serta frekuensi kesempatan mendahului masih terlalu
sedikit, perlu dipertimbangkan penyediaan lajur mendahului.

9. Saat mendesain lajur mendahului, hal-hal berikut ini agar diperhitungkan:


1) Lokasi idealnya adalah medan berbukit, khususnya dimana alinemennya berliku- liku atau
profil vertikalnya termasuk dengan kelandaian yang panjang.
2) Panjang minimum lajur mendahului adalah 300m, di luar taper masuk dan keluar. Hal ini
setidaknya mengizinkan satu manuver mendahului.
3) Panjang ideal lajur mendahului adalah antara 0,8Km hingga 3,2Km, agar dapat
mengurangkan iring-iringan yang berarti.
4) Bahu jalan bersebelahan dengan lajur mendahului dapat dipersempit dari pada ruas jalan
lainnya. Biasanya lebar ini bisa dikurangi menjadi 1,2m.
5) Bagian ruas 4 (empat) lajur tidak perlu disediakan lajur mendahului.
5.2.14. Bentuk Lengkung Vertikal
1. Alinemen vertikal jalan terdiri dari serangkaian kelandaian memanjang dengan
lengkung vertikal, dimanfaatkan untuk menerapkan perubahan gradual di antara profil
memanjang.
2. Lengkung vertical berupa lengkung cekung atau cembung ditunjukan pada Gambar di
bawah ini.
3. Alinemen vertikal hendaknya mengikuti medan alami, mempertimbangkan
keseimbangan pekerjaan tanah, penampilan, keselamatan, drainase, dan
kelengkungan vertikal maksimum dan minimum yang diizinkan; dinyatakan sebagai
nilai K.
4. Besaran nilai lengkung vertikal K yang ditetapkan ini cukup ekonomis. Nilai lengkung
vertikal K minimum, hendaknya dipilih berdasarkan tiga faktor pengendali, yakni:
1) Jarak pandang: persyaratan dalam semua situasi untuk keselamatan pengemudi.
2) Penampilan: biasanya diperlukan pada situasi timbunan rendah dan topografi
datar.
3) Kenyamanan berkendara.
Gambar. Jenis-jenis lengkung vertikal
5. Pada umumnya lengkung vertikal didesain menggunakan persamaan ;

𝑆2
𝐿 = 𝐾 𝐴 . . . . 1) 𝐾= untuk S ≤ L …. 2)
200 ( 2 ℎ1 − ℎ2

2
2
200 ℎ1 − 2 ℎ2
2𝑆
𝐾=
𝐴

𝐴2
untuk S ≥ L . . . . . 3)

Keterangan:
L = panjang lengkung vertikal, m
K = panjang lengkung vertikal dalam meter untuk setiar perubahan kelandaian
1%
A = perubahan kelandaian aljabar, %
S = jarak pandang, m
h1 = tinggi mata pengemudi, digunakan untuk menetapkan jarak pandang, m
h2 = tinggi objek, digunakan untuk menetapkan jarak pandang, m
6. Lengkung Vertikal Cembung
1) Pengendali utama untuk ; penyediaan jarak pandang yang cukup, mendapatk sudut pandang
yang aman, kenyamanan, dan penampilan.
2) Panjang lengkung minimum untuk nilai-nilai perubahan A yang menyediakan JPH minimum
untuk setiap VD ditunjukkan pada Gambar 5-43. Lengkung garis putus-putus di kiri bawah
yang melintasi garis-garis ini, menunjukkan S = L. Perhatikan bahwa di sebelah kanan garis S
= L, nilai K, atau panjang lengkung vertikal per perubahan persen A, adalah bentuk sederhana
dan mudah untuk melakukan kontrol desain. Pemilihan lengkung desain difasilitasi dengan
panjang minimum lengkung dalam meter adalah sama dengan K dikali perbedaan aljabar
kemiringan jalan A dalam persen, L = KA.
3) Tabel 5-55 menunjukkan nilai K dihitung untuk panjang lengkung vertikal sesuai dengan jarak
pandang berhenti untuk setiap kecepatan desain.
4) Untuk tujuan praktis, panjang minimal lengkung vertikal dapat dinyatakan sekitar 0,6 kali VD
(Km/Jam), Lmin = 0,6 VD, di mana VD Km/Jam dan L adalah dalam m.
5) Secara praktis, jarak pandang lebih panjang mungkin lebih dikehendaki, dimana lebih sesuai
dengan kondisi medan dan tidak berbenturan dengan pengendali desain lainnya. Lengkung
vertikal yang terlalu besar hendaknya dihindari untuk mencegah genangan
Gambar 5-43. Panjang Lengkung Vertikal Cembung (m).
Tabel 5-55. Kontrol Desain (K) untuk lengkung vertikal
cembung berdasarkan JPH
7. Jarak pandang mendahului pada lengkung cembung
Nilai desain untuk JPM pada lengkung vertikal cembung berbeda karena berbedanya
kriteria jarak pandang dan tinggi objek. Menggunakan tinggi objek 1,08 m dan
formula yang sama, nilai K di dalam Tabel 5-56 bisa diterapkan.

Tabel 5-56.
Kontrol desain (K) untuk lengkung
vertical cembung berdasarkan
JPM.
8. Lengkung Vertikal Cekung
1) Terdapat empat kriteria untuk menentukan panjang lengkung vertikal cekung, yakni:
a. Kenyamanan pengemudi
b. Silau sorotan lampu
c. Pengendalian drainase, dan
d. Penampilan

2) Pengemudi dan Penampilan


a. Penampilan adalah penting ketika mempertimbangkan perubahan kecil maupun besar
terhadap kelandaian.
b. Lengkung vertikal cekung biasanya dirancang untuk memenuhi kriteria kenyamanan
sebagai minimum.
c. Untuk jalan Antarkota tanpa penerangan, lengkung vertikal cekung lebih dikehendaki
didesain untuk kriteria sorotan lampu. Jalan-jalan berstandar lebih tinggi (JRY dan JBH)
biasanya didesain dengan lengkung cekung yang melebihi jarak pandang sorotan lampu.
d. Pada jalan dua lajur, panjang lengkung cekung lebih dari 750m hendaknya dihindari atas
dasar alasan drainase. Untuk jalan dengan kerb, panjang maksimum lengkung cekung
dengan kelandaian kurang dari 0,5% hendaknya dibatasi hingga 50m.
e. Untuk meminimalkan ketidak-nyamanan pengemudi dan penumpang ketika
melintasi suatu kelandaian ke lainnya, biasanya dilakukan pembatasan akselerasi
vertikal yang dibangkitkan pada lengkung vertikal hingga nilai kurang dari 0,05g
dimana g adalah percepatan gravitasi yang nilainya adalah 9,81 m/detik2.
f. Nilai lengkung vertikal cekung K minimum untuk kriteria kenyamanan bisa dihitung
dengan persamaan :
𝑉𝐷2
𝐾=
1296 𝑎

Keterangan:
K = panjang lengkung vertikal cekung (m) untuk perubahan kelandaian 1%
a = akselerasi vertikal yang nilai terbesarnya 0,05g, m/detik2
VD = kecepatan kendaraan desain, Km/Jam
9. Silau Sorotan Lampu
Jarak pandang pada lengkung cekung tidak dibatasi oleh geometrik vertikal di siang hari
atau malam hari dengan penerangan jalan lengkap, kecuali bila ada halangan di atas jalan.
Pada jalan tanpa penerangan di malam hari, keterbatasan sorotan cahaya lampu
kendaraan membatasi jarak pandang antara 120m hingga 150m pada lengkung cembung.
Pada jalan berkecepatan tinggi tanpa penerangan jalan, perlu dipertimbangkan jarak
pandang sorotan lampu.

10. Nilai K untuk desain lengkung vertikal cekung


Panjang minimum lengkung cekung untuk berbagai kategori jalan, menggunakan ke dua
kriteria kenyamanan dan jarak pandang sorotan lampu, dijabarkan dalam Gambar 5-44.
Grafik tersebut dikembangkan menggunakan kriteria berikut ini untuk menentukan batasan
bawah:
1) Jalan berstandar rendah, kriteria kenyamanannya adalah a = 0,1 g
2) Jalan Antarkota dan Perkotaan lainnya dengan penerangan jalan, kriteria kenyamanan-
nya adalah a = 0,05 g
3) Jalan Antarkota dan Perkotaan lainnya tanpa penerangan jalan, kriterianya adalah jarak
pandang sorot lampu dengan waktu reaksi 2,0 detik dan koefisien perlambatan 0,61.
Gambar 5-44. Rentang nilai K untuk lengkung cekung
10. Nilai K untuk desain lengkung vertikal cekung (Lanjutan)

4) JRY dan JBH:


a. Kriteria minimum adalah jarak pandang sorot lampu dengan waktu reaksi 2,5
detik dan koefisien perlambatan 0,36
b. Kriteria yang dikehendaki adalah jarak pandang henti lengkung cekung dengan
waktu reaksi 2,0 detik dan koefisien perlambatan 0,36.
c. Atau mengacu pada Tabel 5-55 untuk kontrol desain lengkung vertikal cekung
minimum. Jarak pandang lampu digunakan dan sebagian besar adalah dasar
untuk menentukan panjang lengkung vertikal cekung direkomendasikan di sini.
d. Ketika kendaraan melintasi lengkung vertikal cekung di malam hari, bagian jalan
raya depan diterangi tergantung pada posisi lampu dan arah sinar.
e. Ketinggian lampu depan umumnya diasumsikan 600 mm dengan 1 derajat ke
atas dari sum b longitu jnal kendaraan.
f. Penyebaran sinar ke atas dengan sudut divergensi 1 derajat memberikan
panjang tambahan penglihatan jalan, tetapi umumnya tidak dipertimbangkan
dalam desain.
Tabel 5.5. Kontrol desain (K) untuk lengkung vertikal cembung
berdasarkan JPH
11. Panjang dari lengkung vertikal cekung atas dasar nilai-nilai VD dan K didapat dari
Gambar 5-44 di atas, panjang tsb adalah nilai minimum berdasarkan kecepatan
desain, lengkung lebih panjang diinginkan secara praktis, dan perhatian khusus
untuk drainase, jika nilai K lebih dari 51.

Nilai K yang ditentukan untuk kondisi cembung, pada umumnya cocok untuk
cekung.

Gambar. Panjang dari lengkung vertikal cekung atas dasar nilai-


nilai VD dan K
12. Halangan di atas jalan

1) Seperti overpass jalan atau jalan Kereta Api, portal rambu atau bahkan pepohonan
bisa membatasi jarak pandang yang tersedia pada lengkung vertikal cekung,
khususnya truk dengan tinggi mata pengemudi yang lebih tinggi.

2) Dengan penerapan ketentuan ruang bebas minimum di atas yang biasa untuk jalan,
halangan tersebut tidak akan mengganggu jarak pandang henti minimum.

3) Desainer juga perlu mempertimbangkan ketentuan spesifik bagi kendaraan lebih


panjang untuk struktur-struktur di atas jalan, seperti ditunjukkan dalam Gambar di
bawah.
4) Untuk jarak pandang halangan
atas, K bisa dihitung
menggunakan persamaan, jika
S > L:
𝑆2
𝐾= 2
2
200 ( 𝐻 − ℎ1 − 2 𝐻 − ℎ2 )

Keterangan:
H = tinggi halangan di atas jalan
Gambar. Ruang bebas kurang tinggi bagi (m)
kendaraan panjang h1 = tinggi mata pengemudi
truk (2,4 m)
h2 = tinggi objek (0,60 m)
S = jarak pandang henti (m)
L = panjang lengkung (m)
5.2.15. Kontrol Umum Alinemen Vertikal
Kontrol umum berikut ini perlu diperhitungkan dalam desain:
a. Garis kelandaian yang halus dengan perubahan gradual konsisten dengan kelas
jalan dan medan hendaknya dicari daripada garis dengan banyak patahan dan
kelandaian yang pendek.
b. Profil jenis “roller coastef’ atau “hidden dip’’ hendaknya dihindari.
c. Profil ini biasanya relatif lurus, alinemen horizontal dan profil jalan mengikuti
permukaan tanah asli yang naik-turun.
d. Cekungan tersembunyi menyulitkan pengemudi untuk mendahului. Bahkan cekungan
yang dangkal menyulitkan pengemudi melihat perkerasan jalan dan tidak tahu
apakah akan mendahului atau tidak. Hal ini bisa dihindari dengan penggunaan
lengkung horizontal atau kelandaian yang lebih gradual.
e. Kelandaian memanjang bergelombang, terutama yang berkaitan turunan panjang
dan tidak diawali oleh tanjakan, menjadikan truk untuk mendapatkan kecepatan
berlebihan yang dapat menyebabkan kecelakaan.
Kontrol umum berikut ini perlu diperhitungkan dalam desain:
f. Kelandaian memanjang broken back atau dua lengkung vertikal searah terpisah oleh
ruas jalan yang pendek dengan kelandaian lurus hendaknya dihindari, terutama pada
lengkung cekung dimana tampilan kedua lengkung tidak memuaskan. Jika panjang
memanjang lurus melamr aui 0,4V (dimana V = kecepatan operasional) maka
lengkung tersebut tidak dianggap sebagai broken back.
g. Dimana terdapat kelandaian memanjang yang cukup panjang, mungkin lebih baik
untuk mendatarkan kelandaian tersebu1 deka. puncaknya tetapi tidak dengan
menaikkan kelandaian dasar.
h. Dimana persimpangan sebidang tersebut dapat suatu kelandaian memanjang jalan,
kemiringan tersebut agar didatarkan pada persimpangan untuk membantu
pergerakan kendaraan berbelok pada persimpangan.
i. Lengkung cekung hendaknya dihindari pada galian kecuali drainase memadai bisa
diterapkan.
5
 Prosedur Desain dengan 4 Kondisi Tanah:
A. Kondisi tanah dasar normal, CBR > 3% & dapat dipadatkan secara mekanis, kondisi
normal inilah yang sering diasumsikan oleh desainer.
B. Kondisi tanah dasar langsung diatas timbunan ren-dah (< 3m) diatas tanah lunak aluvial
jenuh. CBR lab. tidak dapat digunakan, karena optimasi kadar air dan pemadatan secara
mekanis tidak mungkin dilakukan di lapangan. Kepadatan dan daya dukung tanah asli
rendah sampai kedalaman yang signifikan sehingga diperlukan prosedur stabilisasi khusus.
C. Sama dng kondisi B namun tanah lunak aluvial dalam kondisi kering. CBR lab. memiliki
validitas yang terbatas karena kepadatan tanah yg rendah dapat muncul pada kedalaman
pada batas yg tidak dapat dipadatkan dengan peralatan konvensional. Kondisi ini
membutuhkan prosedur stabilisasi khusus
D. Tanah dasar diatas timbunan diatas tanah gambut
Metoda A (tanah normal) :
Kondisi A1 : tanah dasar bersifat plastis atau berupa lanau, tentukan
nilai batas-batas Atterberg (PI), gradasi, potensi pengembangan
(potential swelling), letak muka air tanah, zona iklim, galian atau
timbunan dan tetapkan nilai CBR dari Bagan Desain1 atau dari uji
laboratorium perendaman 4 hari
Kondisi A2 : tanah dasar bersifat berbutir atau tanah residual tropis
(tanah merah, laterit), nilai desain daya dukung tanah dasar harus
dalam kondisi 4 hari perendaman, pada 95% kepadatan kering
modifi-kasi.
Untuk kedua kondisi, pilih tebal perbaikan tanah dasar dari Bagan
Desain 2
BAGAN DESAIN 2 : SOLUSI DESAIN PONDASI JALAN MINIMUM3
Lalu Lintas Lajur Desain
Umur Rencana 40 tahun
Prosedur
Kelas Kekuatan Tanah Uraian Struktur (juta CESA5)
CBR Tanah Dasar Desain
Dasar Pondasi Jalan <2 2-4 >4
Pondasi
Tebal minimum
peningkatan tanah dasar
≥6 SG6 Tidak perlu peningkatan
Perbaikan tanah
5 SG5 100
dasar meliputi bahan
4 SG4 A 100 150 200
stabilisasi kapur atau
3 SG3 150 200 300
timbunan pilihan
2.5 SG2,5 175 250 350
(pemadatan berlapis
Tanah ekspansif (potential swell > 5%) AE ≤200 mm tebal lepas) 400 500 600

Lapis penopang
Perkerasan lentur 1000 1100 1200
(capping layer) (2)(4)
diatas tanah SG1 aluvial1 B
Atau lapis penopang
lunak5 650 750 850
dan geogrid (2)(4)
Tanah gambut dengan HRS atau
Lapis penopang
perkerasan Burda untuk jalan kecil (nilai D 1000 1250 1500
berbutir(2)(4)
minimum – peraturan lain digunakan)
1. Nilai CBR lapangan. CBR rendaman tidak relevan (karena tidak dapat dipadatkan secara mekanis).
2. Diatas lapis penopang harus diasumsikan memiliki nilai CBR ekivalen tak terbatas 2,5%.
3. Ketentuan tambahan mungkin berlaku, desain harus mempertimbangkan semua isu kritis.
4. Tebal lapis penopang dapat dikurangi 300 mm jika tanah asli dipadatkan (tanah lunak kering pada saat
konstruksi.
5. Ditandai oleh kepadatan yang rendah dan CBR lapangan yang rendah di bawah daerah yang
dipadatkan
Metoda B (tanah aluvial jenuh) :
Lakukan survei DCP (kalibrasi terlebih dahulu) atau survei resistivitas dan
karakterisasi tanah untuk mengidentifikasi sifat dan kedalaman tanah
lunak & daerah yg membutuhkan perbaikan tambahan
Jika tanah lunak < 1 m, tinjau efektitas biayanya jika opsi pengangkatan
semua tanah lunak. Jika tidak, tetapkan tebal lapisan penopang
(capping layer) & perbaikan tanah dasar dari Bagan Desain 2.
Tetapkan waktu perkiraan awal pra-pembebanan dari Tabel 10.2.
Sesuaikan waktu perkiraan awal tersebut (umumnya primary settlement
time) jika dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan jadwal pelaksanaan
melalui analisis geoteknik dan pengu-kuran seperti beban tambahan
(surcharge) atau vertikal drain
Struktur Pondasi Jalan
Tabel 10.2 Perkiraan Waktu Pra-pembebanan Timbunan
diatas Tanah Lunak

Ketinggian Timbunan Final (m)


Kedalaman sampai
CBR lapangan 2% <2 2 – 2.5 > 2.5
(m) Waktu pra-pembebanan (bulan)

< 1,5 3 4 5
1,5 – 2,0 5 6 9
2,0 – 2,5 8 10 13
2,5 – 3,0 12 14 19

Jika waktu pra-pembebanan berlebihan atau terdapat batas ketinggian timbunan


(misal pada kasus pelebaran jalan eksisting atau untuk jalan dibawah jembatan,
maka bisa digunakan metode stabilisasi lainnya misal cakar ayam, pemacangan
atau pencampuran tanah dalam.
Struktur Pondasi Jalan

Metoda C (tanah aluvial kering) :


Umumnya kekuatannya sangat rendah (misal CBR < 2%) di bawah
lapis permukaan kering yang relatif keras. Kedalaman berkisar
antara 400 – 600 mm. Identifikasi termudah untuk kondisi ini
adalah menggunakan uji DCP. Umumnya terdapat pada dataran
banjir kering dan area sawah kering
Daya dukung yang baik dapat hilang akibat penga-ruh dari lalin
konstruksi dan musim hujan. Penanganan pondasi harus sama
dengan penanganan pada tanah aluvial jenuh, kecuali jika
perbaikan lanjutan dilakukan setelah pelaksanan pondasi jalan
selesai pada musim kering, jika tidak perbaikan Metode B harus
dilakukan.
Metode perbaikan lanjutan tersebut adalah:
Struktur Pondasi Jalan

❑ Jika lapis atas dapat dipadatkan menggunakan pemadat pad foot


roller, maka tebal lapis penopang dari Bagan Desain 2 dapat
dikurangi sebesar 200 mm (keterangan ini harus dimasuk-kan
dalam Gambar Rencana)

❑ Digunakan metode pemadatan yang lebih dalam terbaru seperti


High Energy Impact Compaction (HEIC) atau pencampuran tanah
yg lebih dalam dapat mengurangi kebutuhan lapis penopang.
Struktur Pondasi Jalan
Tanah Ekspansif :

Tanah dengan Potensi Pengembangan (Potential Swell) > 5%, diuji dengan SNI
No.03-1774-1989 pada OMC dan 100% MDD. Persyaratan tambahan untuk
desain pondasi jalan diatas tanah ekspansif (prosedur AE pada Bagan
Desain 2) adalah sbb :

❑ Tebal lapisan penopang minimum seperti dalam Bagan Desain 2. Bagian


atas dari lapis penopang atau lapis timbunan pilihan harus memiliki per-
meabilitas rendah atau seharusnya merupakan lapisan yang distabilisasi

❑ Variasi kadar air tanah dasar harus diminimasi. Opsinya termasuk lapis
penutup untuk bahu jalan, saluran dng pasangan, saluran penangkap
(cut off drains), penghalang aliran. Drainase bawah permukaan
digunakan jika dapat meng-hasilkan penurunan variasi kadar air
Struktur Pondasi Jalan
Tanah Gambut :

▪ Konstruksi harus dilaksanakan bertahap utk mengakomodasi terjadinya konsolidasi sebelum


pengham-paran lapis perkerasan beraspal. Perkerasan kaku (tidak termasuk cakar ayam &
micropile slab) tidak boleh dibangun diatas tanah gambut.

▪ Jika dibutuhkan timbunan tinggi, seperti oprit jembatan, extended structure harus digunakan
atau timbunan harus dipancang untuk mengurangi beban lateral pada tiang pancang
jembatan. Kemiringan timbunan tidak boleh lebih curam dari 1:3 kecuali terdapat bordes
(berm).

▪ Jika pengalaman yg lalu dari kinerja jalan akibat lalin diatas tanah gambut terbatas, maka
timbunan per-cobaan harus dilaksanakan. Timbunan percobaan harus dipantau untuk
memeriksa stabilitas timbun-an, waktu pembebanan & data lainnya. Tidak boleh ada
pelaksanaan pekerjaan sebelum percobaan sele-sai (ket. ini harus dimasukkan dalam Gbr
Rencana)
Struktur Pondasi Jalan

Perbaikan Tanah Dasar dengan Stabilisasi :


❑ Termasuk : material timbunan pilihan, stabilisasi kapur, atau stabilisasi semen. Pelebaran
perke-rasan pada area galian sering terjadi pada dae-rah yg sempit atau tanah dasar yg
dibentuk tak teratur, yg sulit untuk distabilisasi. Dalam hal ini, timbunan pilihan lebih
diutamakan.
❑ Daya dukung material stabilisasi yg digunakan untuk desain harus diambil konservatif dan
tidak lebih dari nilai terendah dari :
▪ Nilai CBR laboratorium rendaman 4 hari
▪ < 4 x daya dukung material asli yg digunakan untuk stabilisasi
▪ < nilai yg diperoleh dari formula :
CBR lapis atas tanah dasar distabilisasi = CBR tanah asli x 2^ (tebal tanah dasar stabilisasi/150)
Struktur Pondasi Jalan

Tinggi Minimum Tanah Dasar diatas Muka Air Tanah dan Muka Air Banjir

Kelas Jalan Tinggi tanah dasar diatas muka air Tinggi tanah dasar diatas
tanah (mm) muka air banjir (mm)
Jalan Bebas 1200 (jika ada drainase bawah 500 (banjir 50 tahunan)
Hambatan permukaan di median)
1700 (tanpa drainase bawah
permukaan di median)
Jalan Raya 600 (jika ada drainase di median)
Jalan Sedang 600 500 (banjir 10 tahunan)
Jalan Kecil 400 Tidak digunakan
1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 5/Prt/M/2023
Tentang Persyaratan Teknis Jalan Dan Kriteria Perencanaan
Teknis Jalan
2) Manual Perkerasan Jalan (REVISI Juni 2017) Nomor
04/SE/Db/2017
3) Permen PU No. 13 Thn 2011, Tentang Pemeliharaan dan
Penilikan
4) Permen PANRB No. 1 tahun 2023
TERIMAKASIH
PUSAT PENGEMBANGAN KOMPETENSI JALAN, PERUMAHAN, DAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

@pusat3bpsdmpupr bpsdm.pu.go.id/pusat3
CONTACT US
J l . Abdu l Ha m i d, Ci ca he u m – Ba ndu ng 40195
tlp. & fax 022 – 7208024
PUSAT 3 BPSDM PUPR @pusat3bpsdmpupr Em a i l . Pu s a t 3_ b p s d m @ p u . go . i d

Anda mungkin juga menyukai