Anda di halaman 1dari 15

POLA DAN KEPERCAYAAN YANG TERBENTUK PADA

KONTRAK KEMITRAAN ANTARA PABRIK GULA DENGAN


PETANI TEBU
(STUDI KASUS: PABRIK GULA KEBON AGUNG
KECAMATAN PAKISAJI KABUPATEN MALANG)

JURNAL ILMIAH

Disusun Oleh:

Ardhitya Nanda U.D

0910213064

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel Jurnal dengan judul: Pola dan Kepercayaan yang Terbentuk Pada
Kontrak Kemitraan Antara Pabrik Gula dengan
Petani Tebu (Studi Kasus: Pabrik Gula Kebon
Agung Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang)
Disusun oleh:
Nama : Ardhitya Nanda Umar Dessatria
Nim : 0910213064
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : Ilmu Ekonomi

Bahwa artikel jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang
dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 3 Juni 2013

Malang, 24 Juni 2013

Dosen Pembimbing,

Farah Wulandari P., SE, ME.


NIP.19820423 200502 2 001
POLA DAN KEPERCAYAAN YANG TERBENTUK PADA KONTRAK
KEMITRAAN ANTARA PABRIK GULA DENGAN PETANI TEBU

(STUDI KASUS: PABRIK GULA KEBON AGUNG KECAMATAN


PAKISAJI KABUPATEN MALANG)

Ardhitya NandaUmar Dessatria

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang

Email: ardhityananda@yahoo.com

ABSTRAKSI
Kemitraan antara PG Kebon Agung dengan petani tebu bermula sejak pihak Pabrik Gula
kekurangan pasokan bahan baku tebu dan menggiling tebu di bawah kapasitas giling, sedangkan
petani tidak memiliki jaminan pasar dan butuh pengolahan lebih lanjut agar tebu lebih bernilai.
Dengan demikian, terdapat hubungan saling membutuhkan antara pabrik gula dengan petani tebu
rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola apa yang diterapkan pada kontrak
kemitraan antara Pabrik Gula Kebon Agung Malang dengan petani tebu dan juga untuk
mengetahui bagaimana kepercayaan dapat terbentuk diantara keduanya. Analisis yang digunakan
adalah analisis kualitatif dengan pendekatan Interaksi Simbolik. Hasilnya, merujuk dalam SK
Mentan No. 940/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang pedoman kemitraan usaha pertanian dikemukakan
pola yang digunakan PG Kebon Agung Malang dengan petani tebu tergolong dalam bentuk pola
inti plasma. Karena di dalam temuan lapang disebutkan bahwa PG Kebon Agung bertindak
sebagai inti melakukan kemitraan dengan petani tebu/plasma yang berkewajiban memberikan
berbagai bentuk insentif dan monitoring seperti dana pinjaman, saprodi/sarana produksi,
penyuluhan dan bimbingan. Sementara itu, petani plasma melakukan budidaya sesuai anjuran
serta menyerahkan hasil kepada perusahaan mitra/inti sesuai kesepakatan. Jika dilihat dengan
teori ekonomi kelembagaan, maka dalam hal ini terjadi asymmetric information karena petani
tidak memiliki cukup banyak akses modal sampai jaminan pasar. Sehingga petani tidak memiliki
kekuatan yang cukup bahkan cenderung tergantung pada perusahaan. Sementara itu,
kepercayaan yang terbentuk sehingga kontrak kemitraan ini dapat dilaksanakan yaitu karena
pihak PG Kebon Agung telah melaksanakan proses penegakan kontrak dengan semestinya
sehingga menciptakan reputasi yang baik di mata petani. Selain itu, pihak perusahaan juga
memberikan jaminan pasar kepada petani, pelayanan dan bimbingan simpatik sebagai bentuk
monitoring untuk terus mengevaluasi petani mitranya. Sedangkan pihak PG Kebon Agung
mengutamakan petani yang “loyal” untuk menjaga keberlanjutan usaha.

Kata Kunci: Kontrak, Kemitraan, Insentif, Monitoring


A. LATAR BELAKANG
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dilihat
dari sisi konsumsi, gula merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dan tingkat
konsumsi nasional yang cenderung meningkat. Artinya gula juga merupakan komoditas penting
karena menjadi sumber penghidupan petani tebu. Meskipun demikian, pada dekade terakhir,
Menurut Badan Litbang Departemen Pertanian, industri gula Indonesia mulai menghadapi
berbagai masalah serius, baik karena faktor internal maupun eksternal. Salah satu indikatornya
adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat Masalah klasik pada tingkat usaha tani
Menurut Badan Litbang Departemen Pertanian adalah rendahnya produktivitas dan rendemen.
Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh ketidaksesuaian lahan, teknik budidaya yang
belum optimal, kesulitan kredit/modal, bias kebijakan pemerintah, dan instabilitas harga.
Keterbatasan dana yang dimiliki petani dan kesulitan dalam memperoleh kredit, khususnya pada
perkebunan rakyat, menyebabkan usaha tani tebu tidak optimal. Sedangkan Kondisi pabrik gula,
terutama yang ada di Jawa umumnya sudah tua. Selain itu, ketersediaan bahan baku semakin
terbatas sehingga PG sering mengalami kesulitan untuk mencapai kapasitas minimum Untuk
mengatasi masalah inefisiensi di tingkat usaha tani dan pabrik. Masalah inefisiensi serta masalah-
masalah lain juga membuat banyak PG tidak mampu bertahan Di pulau Jawa dimana kepemilikan
lahan per individu atau per perusahaan relatif sempit merupakan tempat dimana kemitraan dapat
menjadi pilihan yang rasional untuk dilakukan. PT Kebon Agung sebagai salah satu produsen gula
di Jawa yang memiliki dua pabrik gula (PG) yaitu PG Kebon Agung di Malang dan PG Trangkil di
Jawa Tengah. PG Kebon Agung dan petani tebu di sekitarnya melakukan suatu kemitraan karena
kecilnya proporsi lahan tebu sendiri terhadap lahan tebu rakyat menjadi salah satu faktor
pendorong. Karena dalam memenuhi kebutuhan bahan baku sangat tergantung dari keberadaan
tanaman yang diusahakan oleh Petani Tebu Rakyat (TR) mencapai kurang lebih 95% dan sebagian
berasal dari tanaman tebu sendiri (TS) kurang lebih 5%. Model kemitraan ini dibilang cukup
berhasil. Keberhasilan ini menjadi penting karena sebagian besar PG di Jawa belum secara baik
melakukan usaha kemitraan sehingga petani maupun PG tidak dapat meningkatkan efisiensi.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Teori Kontrak dan Informasi Asimetris


Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan
tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsekuensi adanya
tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Dalam kenyataannya, kontrak selalu tidak
lengkap karena dua alasan (Klein, 1980:356-358; dalam yustika, 2008:105). Pertama, adanya
ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya
contingencies, sehingga hal itu berimplikasi kepada munculnya biaya untuk mengetahui dan
mengidentifikasi dalam rangka merespons seluruh kemungkinan ketidakpastian tersebut. Kedua,
kinerja kontrak khusus (particular contractual performance), misalnya menentukan jumlah energi
yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex task), mungkin
membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan pengukuran. Oleh karena itu, adanya
pelanggaran kontrak sering kali menyulitkan pihak ketiga (pengadilan) untuk memberikan bukti
sebagai dasar keputusan. Munculnya faktor ketidakpastian sebetulnya dapat ditelusuri dari realitas
adanya informasi asimetris (asymmetric information) dalam kegiatan ekonomi. Secara teknis,
informasi asimetris tidak lain merupakan kondisi di mana keridaksetaraan informasi atau
pengetahuan (unequal knowledge) yang dialami oleh pelaku-pelaku (parties) untuk melakukan
transaksi di pasar. Sebagai contoh, pembeli dan penjual memiliki informasi yang tidak sarna
tentang harga, kualitas, atau aspek lainnya tentang barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan
(McConnel dan Brue, 2005:572; dalam yustika, 2008:105). Di sinilah dibutuhkan suatu kontrak
yang lengkap sehingga eksistensi informasi asimetris tadi dapat dikurangi atau direduksi.
George A. Akerlof's, yang dianggap sebagai pioner teori informasi asimetris, lewat karya
monumentalnya, yakni The Market of "Lemons": Quality Uncertainty and the Market Mechanism
(1970), berpendapat bahwa informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku transaksi dapat
direduksi melalui kelembagaan pasar perantara (intermediary market institutions), yang sering
disebut dengan kelembagaan penghalang (counteracting institutions). Contoh yang bagus untuk
menunjukkan kelembagaan dimaksud adalah jaminan/garansi (guarantees) atas barang. Garansi
memberikan pembeli kecukupan waktu untuk memeroleh informasi yang sama tentang barang
sebaik pengetahuann yang dimiliki oleh penjual. Di luar garansi, instrumen kelembagaan lain
adalah merek (brand-names), kongsi (chains), dan waralaba (franchise) sebagai mekanisme
jaminan bagi pembeli, setidaknya menyangkut kualitas produk (Auronen, 2003:9; dalam yustika,
2008:106).

Mekanisme Penegakan Kontrak dan Instrumen Ekstralegal


Faktor perbedaan jenis kontrak (Menard, 2000:236; dalam Yustika, 2008:110). Pertama,
jangka waktu (duration) dari kontrak. Hampir semua studi empiris yang dilakukan menunjukkan
bahwa jangka waktu kontrak sangat berhubungan dengan atribut dari transaksi. Oleh karena itu,
jangka waktu sekaligus juga menggambarkan komitmen (signal commitment) dari para mitra.
Kedua, derajat kelengkapan (degree of completeness), yang mencakup variabel-variabel harga,
kualitas, aturan keterlambatan (delay), dan penalti. Beberapa studi menunjukkan bahwa derajat
kelengkapan kontrak meningkat seiring dengan spesifikasi aset dan menurun bersamaan dengan
ketidakpastian. Ketiga, kontrak biasanya bersinggungan dengan insentif.
Mekanisme tersebut antara lain adalah sistem tingkat yang tetap (piece-rate systems),
upah berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, pengembalian aset yang dibayarkan
kepada pemilik, dan sewa yang dibagi di antara mitra yang bergabung dalam proyek. Keempat,
prosedur penegakan (enforcement procedures) yang berlaku. Kontrak berhubungan dengan mitra
untuk tujuan yang saling menguntungkan (mutual advantage), tetapi pada tempo yang bersamaan
kontrak juga menyimpan risiko kerugian (disadvantage) melalui sikap oportunis (opportunism):
entah disebabkan oleh kontrak yang tidak lengkap maupun kondisi pelaksanaan yang berbeda
dengan situasi pada saat negosiasi, atau bisa karena keduanya. Isu yang utama adalah mencari
kesepakatan yang optimal, yakni kontrak didesain sebegitu rupa sehingga pelaku (agents)
memiliki insentif yang memadai untuk mematuhi atas kontrak yang sudah dimufakati. Kontrak
semacam ini semestinya harus dapat memaksakan sendiri (self-enforcing), dalam arti
implementasinya tergantung kepada mekanisme otomatis (built-in mechanism).

Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif


Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan kuat
(strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) [Miller, 1992:24; dalam Yustika,
2008:120]. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai produk dari
tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab munculnya analisis pilihan
rasional. Sedangkan pendekatan lemah menempatkan halangan sosial dan kelembagaan sebagai
suatu kerangka yang pasti ada (given framework) karena aktor-aktor rasional berupaya
memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dengan mencermati deskripsi
tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial, dan kelembagaan sama-sama
eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun, dalam pendekatan kuat diandaikan hambatan
sosial dan kelembagaan sebagai pemicu munculnya tindakan rasional. Sebaliknya, dalam
pendekatan lemah hambatan sosial dan kelembagaan lahir akibat pertarungan rasional antara
individu yang berupaya memaksimalisasikan laba dan meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan
keluar untuk menyelesaikan persoalan tindakan kolektif dari dua versi teori pilihan rasional
tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana yang eksis.
Apabila pendekatan kuat yang disepakati sebagai sebab munculnya tindakan rasional,
maka sekurangnya terdapat tiga solusi internal yang bisa direkomendasikan (Miller, 1992:25).
Pertama, perlunya solusi internal yang kuat (dengan asumsi tidak ada perubahan dalam keyakinan
dan preferensi) terhadap problem penunggang bebas. DeNardo (1985 dalam Yustika, 2008:120)
mengidentifikasi dua kemungkinan: (i) individu terlalu percaya (overestimate) terhadap
pentingnya partisipasi mereka dalam tindakan kolektif, seperti ekspektasi bahwa tindakan mereka
pasti akan berdampak positif (keuntungan); dan (ii) sensitivitas kepuasan dan kesempatan untuk
bertemu dengan orang-orang membuat kegunaan partisipasi berdampak positif terhadap
pencapaian tindakan (outcome of the action).
Kedua, mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang untuk
berpartisipasi. Sebagai ilustrasi, jika demonstrasi akan dilakukan, maka tidak perlu membahas
masalah ideologi ataupun agenda politik yang muluk-muluk, cukup disediakan kopi ataupun
makanan yang membuat para demonstran mau terlibat dalam aksi protes tersebut. Ketiga, Taylor
(1987 dalam Yustika, 2008:121) dan Elster (1989 dalam Yustika, 2008:121) berpendapat tentang
perlunya memunculkan "kerjasama kondisional yang saling menguntungkan" (mutual conditional
cooperation). Postulat ini mengemuka berdasarkan teori "prisoner's dilemma" yang sudah cukup
mapan.

Kemitraan yang Bertumpu Pada Trust


Sistem kemitraan bertumpu pada kepercayaan. Dengan ciri-cirinya, antara lain : (1)
persamaan dan organisasi yang lebih landai: (2) hierarki aktualisasi yang luwes (di mana
kekuasaan dipedomani oleh nilai-nilai seperti caring dan caretaking); (3) spiritualitas yang
berbasis alamiah; (4) tingkat kekacauan yang rendah yang terbentuk dalam sistem; dan (5)
persamaan dan keadilan gender.
Dalam SK Mentan No. 940/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang pedoman kemitraan usaha pertanian
dikemukakan pola-pola kemitraan usaha sebagai berikut :

a) Pola Kemitraan Inti Plasma


Dalam model ini pengusaha-pengusaha besar, pengusaha industri pengolahan hasil
(misalnya PT Indofood Fritolay Makmur,PG Kebon Agung,dll) bertindak sebagai perusahaan
mitra/inti melakukan kemitraan dengan petani produsen (petani mitra/plasma). Kemitraan
dilakukan dengan kelompok tani, sehingga kegiatan produksi dapat dilakukan secara lebih
terkoodinir dalam satu hamparan dengan skala usaha gabungan minimum tertentu. Perusahaan
mitra/inti berkewajiban antara lain dalam : (a) penyediaan dan penyiapan lahan, (b) penyediaan
sarana produksi, (c) pemberian bimbingan teknis pola budi daya dan pasca panen, (d) pembiayaan
seperti pengolahan lahan,pemanenan, (e) pemberian bantuan lain,seperti peningkatan efisiensi dan
produktivitas usaha. Sementara itu, petani plasma melakukan budidaya sesuai anjuran serta
menyerahkan hasil kepada perusahaan mitra/inti sesuai kesepakatan.

b) Model Contract Farming


Pada kegiatan usaha agribisnis contract farming nampaknya menjadi alternative yang
menarik bagi perusahaan-perusahaan pengolahan. Contract farming adalah suatu cara mengatur
produksi pertanian dimana petani-petani kecil atau “outgrowers” diberikan kontrak untuk
menyediakan produk-produk pertanian bagi sebuah perusahaan inti sesuai dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam sebuah perjanjian. Perusahaan inti yang membeli hasil tersebut dapat
menyediakan bimbingan teknis,manajerial,kredit sarana produksi serta menampung hasil dan
melakukan pengolahan dan pemasaran. (Kirk, 1987 :46-47 dalam white,1998)
Contract farming dapat dipilah menjadi tiga jenis menurut sampai sejauh mana “inti”
melibatkan dirinya dalam keputusan-keputusan produksi di tingkat petani-petani ”satelit”nya
(White,1998): (1) kontrak pemasaran (marketing conract). Di dalam kontrak pemasaran
terkandung ketentuan bagaimana menentukan jenis dan atau jumlah produk pertanian yang akan
diserahkan, tetapi jarang menyebut kegiatan-kegiatan atau metode-metode khusus mana yang
harus diikuti dalam proses produksi, juga tidak mengharuskan pihak inti untuk menyediakan
masukan-masukan tertentu. (2) kontrak produksi(production contract), yaitu perjanjian antara
petani dan perusahaan yang menentukan jenis serta jumlah produk pertanian yang akan dihasilkan,
dan juga dapat menetapkan varietas bibit kegiatan-kegiatan dalam proses produksi, serta masukan-
masukan atau bantuan teknis mana yang harus disediakan oleh si pemberi kontrak. (3) integrasi
vertikal (vertical integration), dimana semua tahapan produksi dirangkul dalam satu perusahaan,
sedangkan pasar tidak berperan dalam pengkoordinasian berbagai tahapan produksi.
c) Model Sub Kontrak
Pola kemitraan sub kontrak dapat diartikan sebagai hubungan kemitraan antar kelompok
mitra dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan
oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pola ini banyak dijumpai pada produk
industri,seperti industri otomotif di jepang. Dalam model ini, usaha kecil (UK) memproduksi
komponen atau jasa yang merupakan bagian dari produksi usaha menengah (UM) atau usaha besar
(UB). Model kemitraan ini menyerupai pola kemitraan contract farming tetapi pada pola ini
kelompok UK tidak melakukan kontrak secara langsung dengan perusahaan pengolah (processor)
tetapi melalui agen atau pedagang.
Sebagai upaya Usaha Menengah atau Usaha Besar untuk lebih meningkatkan dan pemberdayaan
Usaha Kecil, Usaha Menengah atau Usaha Besar meningkatkan ketrampilan teknis dan
manajemen, serta menjamin kepastian pasar yang dapat menjamin kelangsungan usahanya, daya
inovasi dan kewirausahaan Usaha Kecil. Model ini dapat dijumpai pada pengadaan cabai merah
antara petani dengan industry pengolah atau supermarket yang dimediasi oleh agen atau pedagan
hasil pertanian.

d) Pola Kemitraan Dagang Umum


Pola kemitraan dagang umum, yaitu hubungan kemitraan usaha antara kelompok tani
(UK) dengan perusahaan (UM/UB), dimana kelompok mitra memasok kebutuhanperusahaan mitra
sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Dalam model ini, UM atau UB memasarkan hasil
produksi UK, dapat juga UK memasok kebutuhan yang diperlukan oleh UM atau UB.

e) Pola Kemitraan Keagenan


Pada model ini kelompok mitra (UK) diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan
jasa usaha perusahaan mitra (UM atau UB). Keunggulan dari hubungan pola kemitraan ini adalah
berupa keuntungan dari hasil penjualan, ditambah komisi/fee yang diberikan oleh perusahaan
mitra. Model ini dijumpai pada penyaluran atau distribusi sarana produksi. Dan biasanya pedagang
sarana produksi ada yang bertindak sebagai distributor (agen) dan penyalur tersebut biasanya
hanya menjual jenis benih,pupuk,dari produksi perusahaan tertentu atau merk tertentu.

f) Pola Kemitraan Kerja Sama Operasional Agribisnis


Pada model ini, kelompok mitra menyediakan lahan,sarana, dan tenaga kerja. Sedangkan
perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal dan sarana untuk mengusahakan atau
membudidayakan suatu komoditi pertanian. Perusahaan mitra dapat berbentuk sebagai perusahaan
inti atau perusahaan pembina. Ia melaksanakan pembukaan lahan, mempunyai usaha budi daya
dan memiliki unit pengolahan yang dikelola sendiri. Perusahaan inti juga melaksanakan
pembinaan berupa penanganan dalam bidang teknologi, sarana produksi, permodalan atau kredit,
pengolahan hasil, menampung produksi dan memasarkan hasil dari kelompok mitra

Modal Sosial dan Trust


Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang/perusahaan bisa melakukan kegiatan
(ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal
manusia. Hal inilah yang menyebabkan Coleman (1988:98) mendefinisikan modal sosial
berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah entitas tunggal (single entity), tetapi
entitas majemuk yang mengandung dua element (i) modal sosial mencakup beberapa aspek dari
struktur sosial; dan (ii) modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor) baik
individu maupun perusahaan di dalam struktur tersebut (within the structure). Dari perspektif ini,
sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni membuat
pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis.
Dengan deskripsi tersebut, melalui modal sosial, aktor dapat meraih akses langsung terhadap
sumber daya ekonomi (pinjaman yang bersubsidi, saran saran investasi, pasar yang terlindungi);
mereka bisa meningkatkan modal budaya (cultural capital) lewat kontak dengan ahli-ahli atau
individu yang beradab (yang melekat dalam modal budaya); atau -alternatifnya- mereka dapat
berafiliasi dengan institusi yang membahas nilai-nilai terpercaya/ valued credentials (pelembagaan
modal budaya) [Portes, 1998:3-4].

C. METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dapat
diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun
tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Taylor dan Bogdan,
1984 dalam Hendrarso, 2007:166). Sehingga peneliti beranggapan bahwa penelitian kualitatif
dapat digunakan untuk memahami kehidupan sosial sepenuhnya dari bagaimana kepercayaan
dapat dibangun pada kontrak kemitraan antara PG. Kebon Agung dengan petani. Dan apa-apa saja
unsur-unsur sosial yang ada dalam pola kemitraan ini dan pada kepercayaan antar perusahaan
dengan petani mitranya.

Unit Analisis
Dengan memperhatikan kondisi riil di lapangan, maka unit analisis dalam penelitian ini
adalah interaksi antar individu pada kontrak kemitraan yang dilakukan petani dengan PG Kebon
Agung serta persepsi yang timbul dari terteliti saat terlibat dalam interaksi tersebut. Berdasarkan
interaksi itulah dapat dijadikan dasar untuk menganalisis permasalahan yang telah diungkapkan.
Oleh karena pendekatan pada penelitian ini bersifat mikro dan sudut pandang terhadap manusia
yang cenderung sebagai homosociologus ketimbang homoeconomicus, maka penelitian ini tidak
menggunakan pendekatan deduktif, yang berarti menentukan terlebih dahulu teori baku sebagai
dasar pelaksanaan dan analisis dari penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kekhawatiran bahwa hal-hal penting dari kompleksitas realitas di lapangan bisa jadi justru menjadi
terabaikan.

Metode Pengumpulan Data


Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode yaitu :
Pertama, yang digunakan adalah wawancara mendalam dan tidak terstruktur (tidak menggunakan
kuisoner) terhadap para informan. Kedua, observasi di lapangan, kegiatan ini tidak hanya
dilakukan terhadap kenyataan-kenyataan yang terlihat, tetapi juga terhadap yang terdengar.
Berbagai macam ungkapan atau pertanyaan yang terlontar dalam percakapan sehari-hari juga
termasuk bagian dari kenyataan yang bisa diobservasi; observasinya melalui indera pendengaran.
(Bungin, 2010:66). Ketiga, teknik dokumentasi yang dilakukan untuk mendapatkan bukti-bukti
penelitian yang dilakukan pada Pabrik Gula Kebon Agung Malang. Dokumentasi yang dilaporkan
peneliti dalam bentuk file dokumen publik (sumber Tata Usaha), bentuk perjanjian kontrak
kemitraan, kumpulan hasil rekaman wawancara dan foto kegiatan keseharian dalam kontrak
kemitraan antara Pabrik Gula Kebon Agung dan petani.

Teknik Analisis Data


Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data
berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara,
peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang di
wawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan
pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel.
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif interaksi simbolik. karena perspektif
interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subyek. Mulyana
(2006:71) menjelaskan secara rinci bagaimana melakukan analisis penelitian dengan menggunakan
premis-premis yang mendasari Interaksionisme Simbolik yaitu : Pertama, individu merespon suatu
situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk obyek fisik (benda) dan obyek sosial
(perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut
bagi mereka.
Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada obyek,
melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena
manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa
(bahkan tanpa kehadiran obyek fisik, tindakan atau peristiwa itu), namun juga gagasan yang
abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai obyek, tindakan, peristiwa
atau gagasan itu bersifat arbiter (sembarang). Artinya, apa saja bisa dijadikan simbol dan karena
itu tidak ada hubungan logis antara nama atau simbol dengan obyek yang dirujuknya, meskipun
terkadang sulit untuk memisahkan keduanya.
Ketiga, makna yang diintepretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan
dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi
dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan
dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan.
Dalam proses ini, individu mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif-alternatif ucapan
atau tindakan yang akan ia lakukan. Individu membayangkan bagaimana orang lain akan merespon
ucapan atau tindakan mereka.

D. POLA INTI PLASMA PADA KONTRAK KEMITRAAN ANTARA


PABRIK GULA KEBON AGUNG MALANG DENGAN PETANI
Kemitraan antara PG Kebon Agung dengan petani tebu bermula sejak pihak Pabrik Gula
kekurangan pasokan bahan baku tebu dan menggiling tebu di bawah kapasitas giling, sedangkan
petani tidak memiliki jaminan pasar dan butuh pengolahan lebih lanjut agar tebu lebih bernilai.
Dengan demikian, terdapat hubungan saling membutuhkan antara pabrik gula dengan petani tebu
rakyat.
Dengan demikian, merujuk dalam SK Mentan No. 940/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang
pedoman kemitraan usaha pertanian dikemukakan pola yang digunakan PG Kebon Agung Malang
dengan petani tebu tergolong dalam bentuk pola inti plasma. Karena di dalam temuan lapang
disebutkan bahwa PG Kebon Agung bertindak sebagai perusahaan mitra/inti melakukan kemitraan
dengan petani tebu (petani mitra/plasma). Kemitraan ini juga dilakukan dengan kelompok tani,
sehingga kegiatan produksi dapat dilakukan secara lebih terkoodinir dalam satu hamparan dengan
skala usaha gabungan minimum tertentu. Perusahaan mitra/inti berkewajiban antara lain dalam :
(a) penyediaan dan penyiapan lahan, (b) penyediaan sarana produksi, (c) pemberian bimbingan
teknis pola budi daya dan pasca panen, (d) pembiayaan seperti pengolahan lahan,pemanenan, (e)
pemberian kredit. Sementara itu, petani plasma melakukan budidaya sesuai anjuran serta
menyerahkan hasil kepada perusahaan mitra/inti sesuai kesepakatan.
Bentuk-bentuk fasilitas yang akan diberikan oleh pihak inti / PG Kebon Agung kepada
pihak plasma yaitu petani begitu juga sebaliknya akan dideskripsikan sebagai berikut :

Penyediaan Dana Pinjaman sebagai Bentuk Insentif Pengikat Berlangsungnya Kontrak


Petani selama ini di dalam setiap musim tanam telah menerima fasilitas dana pinjaman
untuk biaya pengelolaan tanaman tebunya berupa uang tunai dengan sumber dana yang berasal
dari :

a) Pemerintah
Kredit KKPE yang memperoleh subsidi bunga dari pemerintah disalurkan melalui Bank
Pelaksana atas rekomendasi PG dan sekaligus Perusahaan sebagai penjamin atau avalis dari
seluruh pinjaman tersebut.

b) Perusahaan
Petani juga memperoleh pinjaman dari perusahaan berupa pinjaman dana talangan untuk
penebusan pupuk bersubsidi melalui tim-5 di PG Kebon Agung. Pembelian bibit antar petani atau
dari luar daerah, pinjaman jasa traktor dari pihak luar atau ketiga. Sebelum musim giling petani
memperoleh pinjaman untuk biaya tebang angkut (UMTA)
Mekanisme kontrol teori agen menyatakan ada dua cara utama yang berkaitan dengan
perbedaan tujuan dan asymmetric information, yakni monitoring dan insentif. Dan PG Kebon
Agung memahami masalah tersebut dengan pemberian dana insentif untuk ikut mengatasinya
dengan memberikan pinjaman yang dikenal dengan Uang Muka Tebang dan Angkut (UMTA).
Sehingga dengan begitu petani setiap hari mampu membiayai kegiatan panen tebunya.
Penyediaan Saprodi sebagai Bentuk Insentif untuk Pengikat Berlangsungnya Kontrak
Pemberian saprodi atau sarana produksi bagi petani sangat membantu bagi petani yang
sekiranya kesulitan untuk mencari bibit maupun yang baik, sehingga mereka tidak perlu mencari
atau membeli lagi ke pasar yang nantinya akan semakin menambah biaya transaksi. Dengan
adanya penyediaan saprodi ini, para petani akan semakin termotivasi untuk bermitra dengan PG.
Kebon Agung sehingga tingkat produktivitas mereka semakin meningkat dengan adanya inovasi-
inovasi baru dan bibit unggul yang disediakan oleh PG. Kebon Agung.

Penyediaan Penyuluhan dan Pembinaan sebagai Monitoring / Pengawasan kepada Petani


Agar dalam melaksanakan program kemitraan dapat berjalan baik, PG Kebon Agung
dengan kemampuan dan fasilitas yang ada selalu melakukan pembinaan, membimbing dan
melakukan penyuluhan kepada petani terutama terkait dengan budidaya tanaman tebu aspek
pengembangannya. Pendekatan kepada petani dalam melakukan penyuluhan melaui Forum Temu
Kemitraan (FTK) di tingkat pabrik gula maupun Forum Musyawarah Pelaksana Wilayah (FMPW)
tingkat kecamatan. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan sistem latihan dan kunjungan (Laku) yang
lebih intensif kepada setiap petani, dengan harapan petani bersedia menanam tebu dengan teknik
budidaya dengan benar dan mengembangkan areal dengan cara memperluas tanamannya sampai di
luar wilayah kerja yaitu di wilayah pengembangan.
Dalam temuan lapang, terlihat bahwa kedekatan personal antara petugas PG Kebon
Agung dengan petani tak jarang berperan besar dalam membangun kemitraan. Kuncinya adalah
respek dari petani terhadap petugas PG. Karena itu membekali Petugas Lapang PG (PLPG)
kemampuan untuk bertindak sebagai semacam pengarah dan konselor menjadi sebuah kebutuhan.
Bermacam pelatihan dan kunjungan kerja dilakukan agar para petugas mempunyai bekal yang
cukup dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan petani. Tak luput juga sarana untuk
melakukan aktivitas komunikasi, seperti sarana transportasi,dsb.
Dengan begitu temuan di lapang cukup sesuai dengan prinsip kemitraan yang
menekankan : equality, prinsip kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Temuan di lapang petani
merasa dihargai dan merasa mendapatkan peran dalam hal pencapaian keputusan untuk bermitra
bisnis sehingga secara tidak langsung perusahaan sangat bergantung pada petani. Yang mana
pelayanan yang baik dari petugas lapang kepada petani sangat jelas terlihat dalam penelitian ini
yang akan dapat mencapai win-win solution antar kedua belah pihak.

Pasokan Bahan Baku dari Petani yang Digilingkan pada Pihak Pabrik Gula sebagai Bentuk
Timbal Balik
Pada pelaksanaannya PG.Kebon Agung telah menjalankan peranannya sebagai perusahaan
mitra yaitu telah memberikan penyediaan pinjaman kredit maupun pembinaan kepada petani tebu
mitranya mengenai kualitas gula yang diminta pasar. Penediaan insentif maupun fasilitas lainnya
yang diberikan kepada petani tebu mitra tidak semata-mata untuk dapat membantu memenuhi
kebutuhan petani, melainkan sebagai pengikat agar petani tebu rakyat menjual seluruh gula
kepada PG. Dengan demikian posisi tawar petani mitra pun menjadi lemah. Hal ini tentu saja
bertentangan dengan teori kemitraan yang dikemukakan oleh Hafsah (2000) bahwa pada dasarnya
maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “Win-Win Solution Partnership”. Dalam suatu
kemitraan harus adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing pihak yang
bermitra.

E. KEPERCAYAAN YANG TERBENTUK PADA PROSES KONTRAK


KEMITRAAN

Proses Penegakan Kontrak sebagai Bentuk Reputasi Pabrik Gula Kebon Agung
Untuk mencegah perilaku-perilaku menyimpang dari petani mitranya atau untuk terus
menjadi daya tarik agar petani semakin meningkatkan kerjasama dengan perusahaan, PG Kebon
Agung juga telah menjalankan suatu instrument tambahan semacam jaminan ekstralegal yang
mana pihak perusahaan menjaga reputasi mereka di mata petani dengan menjalankan
kewajibannya seperti kecepatan pembayaran hasil lelang, ketepatan jadwal tebang, dan terus
menjaga kelancaran antrian. Dengan begitu, itulah yang menjadi modal bagi perusahaan untuk
tetap menjaga kepercayaan bagi petaninya. Sehingga secara tidak langsung petani akan
bekerjasama dalam jangka panjang dengan PG Kebon Agung. Dan jika dihubungkan dalam
kegiatan ekonomi modern tipe kontrak setidaknya bisa dipilah dalam tiga jenis, yakni teori kontrak
agen (agency-contract theory), teori kesepakatan otomatis (self-enforcing agreements theory), dan
teori kontrak-relasional (relational-contract theory) [Furubotn dan Richter, 2000:147; dalam
Yustika 2008:107]. jika dalam teori kontrak agensi diasumsikan kesepakatan bisa ditegakkan
secara hukum (legally), berbeda dengan jika penegakan kontrak ini diaplikasikan dengan kontrak
relasional terjadi yang mana penegakan kontrak di kasus ini tidak diselesaikan lewat pengadilan
tetapi dicapai melalui keseimbangan kerjasama dan pemaksaan (coercion), serta komunikasi dan
strategi. Jadi, kontrak relasional biasa diaplikasikan dalam situasi di mana terdapat ketergantungan
dua pihak (bilateral dependence) pelaku yaitu PG Kebon Agung membutuhkan bahan baku dari
petani, dan petani sendiri membutuhkan fasilitas-fasilitas mulai dari dana, saprodi, maupun dalam
hal budidaya. Sehingga penegakan kontrak dalam hal ini juga terbentuk karena adanya saling
kepercayaan antara kedua pelaku yang merasa saling membutuhkan.

Jaminan Pasar Bagi Petani Mitra untuk Menjual Seluruh Bahan Baku
Dalam hal ini PG. Kebon Agung tidak membeli tebu kepada petani tetapi menerapkan
sistem bagi hasil kepada petani tebu, yaitu 66% gula untuk petani dan 34% gula untuk PG. Kebon
Agung. Jadi PG. Kebon Agung hanya menyediakan jasa penggilingan tebu kepada petani dengan
upah 34% gula yang dihasilkan. Gula yang dihasilkan akan dijual dengan sistem lelang. Lelang
gula ini dilakukan tiap minggu sekali. PG. Kebon Agung memberikan kebebasan kepada petani
untuk mengambil 66% gulanya atau menitipkannya untuk dilelang. Maka PG. Kebon Agung akan
melelangkan 90% gulanya sedangkan 10% nya akan diberikan kepada petani dalam bentuk gula.
Selain itu, (George A. Akerlof's; dalam Yustika 2008:107) yang dianggap sebagai pioner
teori informasi asimetris, lewat karya monumentalnya, yakni The Market of "Lemons": Quality
Uncertainty and the Market Mechanism (1970), berpendapat bahwa informasi asimetris yang
terjadi di antara pelaku transaksi dapat direduksi melalui kelembagaan pasar perantara
(intermediary market institutions), yang sering disebut dengan kelembagaan penghalang
(counteracting institutions). Contoh yang bagus untuk menunjukkan kelembagaan dimaksud
adalah jaminan/garansi (guarantees) atas barang. Dan dalam kaitannya dengan hal ini adalah
dengan meyakinkan petani agar memasok seluruh hasil produksinya ke PG Kebon Agung, maka
PG Kebon Agung juga memberikan garansi kepada para petani mitranya dalam hal penjualan ke
pasar. Artinya seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa seluruh hasil produksi petani akan dijual
lewat lelang terbuka. Dengan begitu, walaupun pihak perusahaan memiliki informasi yang lebih
atau terjadi informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku transaksi maka pihak PG secara tidak
langsung bertanggung jawab sesuai teori George A. Akerlof's yang menyebutkan bahwa informasi
asimetris dapat direduksi melalui kelembagaan pasar perantara dengan jaminan pasar kepada
petani.

Pemberian Reward untuk Memacu Kinerja Petani


Kinerja petani dalam hal budidaya tebunya juga tergantung pada kinerja atau kemauan
untuk dapat berprestasi agar dapat bersaing ataupun paling tidak dapat menambah pendapatannya.
Namun pihak PG Kebon Agung dalam pembinaan juga dapat berperan dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengendalikan para petani mitranya agar selalu member motivasi untuk selalu
berkembang dan berprestasi. Melihat situasi seperti ini PG Kebon Agung menciptakan sebuah
peluang kepada setiap petani mitranya dengan bentuk nyata yaitu Berkaitan hal di atas, ketika
petani mitra sudah dapat berprestasi maka PG Kebon Agung memberikan perhatian terhadap
prestasi yang diperoleh oleh para petani mitranya dengan cara pemberian reward (hadiah, imbalan,
dan penghargaan). Sebuah reward ini dapat memunculkan suatu motivasi untuk peningkatan
kinerja petani mitranya, memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap tugasnya. Sehingga suatu
perusahaan akan mudah dalam memenuhi tujuan yang direncanakan dan tidak ada pihak yang rugi
karena adanya timbal balik.

Pelayanan dan Bimbingan Simpatik kepada Petani


Salah satu peningkatan produktivitas tebu dan rendemen gula yang sekaligus ditujukan
untuk meningkatkan pendapatan sangat berkaitan dengan masalah atau kendala petani yang harus
dipecahkan. Petani tebu umumnya dalam skala usaha kecil dengan serba keterbatasan khususnya
dalam mengakses teknologi karena masalah permodalan dan pendidikan. Di samping itu usaha
peningkatan akses petani kecil adalah melalui peningkatan terhadap akses sarana produksi serta
pasar harus menjadi perhatian. Oleh karena itu masalah akses petani ini harus dipelajari secara
mendalam agar dipeloreh suatu kebijakan untuk meningkatan kemampuan akses petani terhadap
teknologi, sarana produksi serta pasar.
Penyuluhan bertujuan mengidentifikasi kemampuan akses petani kecil terhadap
teknologi baru, sarana produksi diharapkan mampu menjadi bahan rumusan rekomendasi petani
kecil terhadap mewujudkan swasembada gula, serta pasar dalam usahatani tebu. Sehingga dengan
adanya penyuluhan dan bimbingan yang simpatik ini juga ditujukan agar petani merasa
diperhatikan yang mana nantinya akan saling menumbuhkan rasa saling percaya untuk tetap
menjalin usha demi tujuan bersama.

Mengutamakan Petani yang “Loyal” untuk Menjaga Keberlanjutan Kontrak


Bahwa PG Kebon Agung mengutamakan bermitra dengan para petani tebu yang
mengutamakan loyal. Artinya, pihak perusahaan tidak akan mau mengambil resiko bermitra
dengan petani yag hanya memiliki banyak lahan namun tidak loyal terhadap PG Kebon Agung.
Dengan demikian, tidak sembarangan pihak PG Kebon Agung melaksanakan kontrak kemitraaan
dengan petani yang belum pernah menjalani kontrak dengan PG. Petani baru yang ingin bermitra
dengan PG harus lebih dulu bergabung dengan kelompok tani yang mana ketuanya telah lama atau
merupakan petani kepercayaan perusahaan yang nantinya akan membimbing petani baru tersebut
untuk bermitra dengan perusahaan. Dengan begitu, petugas lapang akan lebih mudah dalam
mengawasi petani baru tersebut apakah petani tersebut loyal dan mempunya track record yang
baik dalam hal pengembalian dana kredit karena ketua kelompok juga berkewajiban sebagai
penanggung jawab setiap anggota kelompoknya masing-masing.

Temuan Penelitian
Ada berbagai realita yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan selama ini. Penulis
berusaha sedikit mengulas lagi dan memberikan apa saja yang ditemukan fakta yang terjadi dalam
interaksi yang terjadi pada kontrak kemitraan antara Pabrik Gula Kebon Agung Malang dengan
petani. Dengan demikian, merujuk dalam SK Mentan No. 940/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang
pedoman kemitraan usaha pertanian dikemukakan pola yang digunakan PG Kebon Agung Malang
dengan petani tebu tergolong dalam bentuk pola inti plasma. Karena di dalam temuan lapang
disebutkan bahwa PG Kebon Agung bertindak sebagai perusahaan mitra/inti melakukan kemitraan
dengan petani tebu (petani mitra/plasma). Yang mana pihak inti yaitu Pabri Gula Kebon Agung
dalam melaksanakan kontrak wajib untuk menyediakan dana pinjaman dari pemerintah yaitu
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) yang dalam hal ini bertindak sebagai Avalis yaitu
penanggung segala resiko terhadap pinjaman yang diberikan kepada petani mitra yang
pengembaliaanya langsung dipotongkan pada saat pencairan lelang. Selain itu, pihak perusahaan
masih menyediakan Uang Muka Tebang Angkut (UMTA). Bedanya, UMTA ini disediakan bagi
petani tanpa bunga. Masih lagi ditunjang dengan penyediaan penyuluhan dan bimbingan kepada
petani dalam hal pola budidaya tebu yang baik. Ada pula penyediaan sarana produksi dari Pabrik
Gula Kebon Agung semisal bibit unggul, traktor yang diperuntukkan untuk menunjang usaha
petani.
Namun berbagai penyediaan yang ditujukan untuk petani di atas tidak serta merta bantuan
untuk membantu petani sepenuhnya. Karena hal tersebut diperuntukkan untuk mengikat petani
agar memasok seluruh bahan baku kepada pihak perusahaan sesuai perjanjian dalam kontrak.
Karena pada dasarnya pihak perusahaan tidak memiliki lahan sebagai pemasok produksi mereka.
Lahan sendiri yang dimiliki pihak perusahaan yaitu kurang dari 1%, sehingga mau tidak mau
mereka harus memenuhi kebutuhan produksi dari lahan petani mitra Pabrik Gula Kebon Agung
Malang.
Kepercayaan yang terbentuk sehingga terciptanya kontrak kemitraan yang dijalankan
antara Pabrik Gula Kebon Agung Malang dengan petani dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
adanya penegakan kontrak yang telah dilaksanakan dengan baik oleh pihak perusahaan. Yang
antara lain kecepatan pembayaran hasil lelang gula. Berbeda dengan kebanyakan parik gula lain,
PG Kebon Agung mencairkan uang hasil lelangnya per periode sekali, atau kurang lebih satu
minggu sekali sehingga dirasa petani dapatmempercepat balik modal mereka. Kelancaran antrian
truk tebu, dan ketepatan jadwal tebang juga dirasa petani menjadi daya tarik untuk melakukan
kontrak kemitraan bersama PG Kebon Agung. Yang paling utama dari kepercayaan yang terbentuk
pada kontrak kemitraan ini yaitu adanya jaminan pasar yang disediakan oleh pihak perusahaan
dengan adanya system lelang terbuka sehingga hasil produksi petani dapat terjual semuanya
dengan bagi hasil sesuai perjanjian. Pemberian reward kepada petani dan bimbingan yang simpatik
membuat petani merasa dihargai dan semakin termotivasi untuk menjalankan usaha dengan sebaik
mungkin. Karena pihak perusahaan lebih memilih petani yang “loyal” daripada banyaknya bahan
baku namun petani tersebut menyimpang atau mencabang pasokan bahan bakunya ke pabrik lain.

F. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan temuan lapang dan pembahasan yang telah dilakukan dalam kasus pola dan
kepercayaan Pada Kontrak Kemitraan Antara PG. Kebon Agung Dengan Petani Tebu maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Pola yang diterapkan pada kontrak kemitraan antara PG Kebon Agung dan petani tebu
tergolong dalam bentuk pola inti plasma. Karena di dalam temuan lapang disebutkan bahwa PG
Kebon Agung bertindak sebagai perusahaan mitra/inti melakukan kemitraan dengan petani tebu
(petani mitra/plasma). Kemitraan ini juga dilakukan dengan kelompok tani, sehingga kegiatan
produksi dapat dilakukan secara lebih terkoodinir dalam satu hamparan dengan skala usaha
gabungan minimum tertentu. Perusahaan mitra/inti yang dalam hal ini adalah PG Kebon Agung
berkewajiban antara lain dalam : (a) penyediaan kredit, (b) penyediaan sarana produksi, (c)
pemberian bimbingan teknis pola budi daya dan pasca panen. Sementara itu, petani plasma
melakukan budidaya sesuai anjuran serta menyerahkan hasil kepada perusahaan mitra/inti sesuai
kesepakatan.
Dengan berbagai insentif yang diberikan perusahaan kepada petani, ditujukan agar petani
dapat memasok tebu mereka ke PG Kebon Agung. Walaupun dengan keunggulan pihak
perusahaan yang mana menimbulkan informasi asimetris namun tidak serta merta membuat PG
Kebon Agung lepas tangan, mereka menyediakan jaminan pasar terhadap petani mitranya yang
secara tidak langsung akan mendorong petani loyal terhadap PG Kebon Agung. Petani bahkan
menganggap bimbingan dan pelayanan yang simpatik menjadi faktor dominan lainnya dalam
terbentuknya kepercayaan (trust) pada kontrak kemitraan ini. Dengan begitu, baik dari sisi
perusahaan maupun petani akan merasa saling menguntungkan dan dapat menjaga keberlanjuta
usaha dalam mencapai tujuan bersama.

Saran
Kemitraan yang ideal masih dalam proses, yang tidak mungkin proses tersebut semata-
mata diserahkan pada swasta dan petani. Campur tangan pemerintah dalam membuat kebijakan,
memperkuat kelembagaan di tingkat lokal yang kondusif untuk mencapai pola kemitraan yang
ideal sangat diperlukan
Pedoman Kemitraan Agribisnis yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian tahun 2003,
mensyaratkan bahwa petani atau kelompok tani yang disarankan ikut dalam pola kemitraan adalah
yang telah dibina oleh pemerintah. Namun, dalam penelitian ini bahwa penyuluh pemerintah tidak
tersedia di lokasi petani, sehingga syarat tersebut kurang relevan. Petani baru yang akan
melakukan kemitraan dengan PG. Kebon Agung setelah ditemui juga mengungkapkan bahwa
mereka mencari informasi kepada sumber informasi yang ada di sekitarnya, yaitu petugas lapang
PG. Kebon Agung, KUD, maupun ketua kelompok tani yang sebelumnya juga telah dahulu
menjalin kemitraan dengan PG. Kebon Agung.

G. DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Deptan. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu.
http://www.litbang.deptan.go.id (diakses 17 Juni 2012)

Bariroh Elis. 2008. Analisis Pola Kemitraan Petani Tebu Dengan Pabrik Gula Berdasarkan
Pendekatan Biaya Transaksi.
http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/21496/1/Analisis-Pola-Kemitraan-Petani-
Tebu-Dengan-Pabrik-Gula-Berdasarkan-Pendekatan-Biaya-Transaksi-%3a-Kasus-di-
Desa-Krembung%2c-Kecamatan-Krembung%2c-Kabupaten-Sidoarjo.pdf diakses 2
Desember 2012
Bryden, J.S.M., and Murphy, C. 1998a and 1998b. Evaluation and Monitoring of the Loggan
Community Forestry Initiative, Inception report andfinal report, Scottish Office,
Edinburh, in (www.abdn.ac.uk/arkleton/npp/parte1.do, diakses 17 Desember 2012)

Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hal
66

Coleman, James S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital, American Journal
of Sociology, Vol. 95, Supplement: 95-120

Dhesi, Autar S. 2000. Social Capital and Community Development. Community Development
Journal. Vol. 30, No. 3, July:199-214

Eisenhard, K. 1989. Agency Theory: An Assessment and Review. The Academy of Management
Review, Vol. 14, No. 1. 57-74. (http://links.jstor.org/sici?sici=0363-
7425%28198901%2914%3A1%3C57%3AATAAAR%3E2.0.CO%3B2-P, diakses 19 Mei
2013)

Eisler, Rione & Montuori, Alfonso. 2001. The Partnership Organization : A System Approach.
OD Practitioner, Vol. 33, No 2, 2001.

Fine, Ben dan Costal Lapavitsas. 2004. Social Capital and Capitalist Economies. South Eastern
Europe Journal of Economics, No. 1: 17-34

Goel, Shri. A.K. 2003. Contract Farming Ventures in India: A Few Successful Cases. SPICE.
The Director General, National Institute of Agricultural Extension Management
(MANAGE). Series Editor: Dr. Vikram Singh Vol. 1 No. 4 : March 2003. Hal 1

Hafsah, Muhammad Jafar. 2000. Kemitraan Usaha. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Harjanto, Sri. 2000. Teori mengenai Kemitraan Penelitian. http://www.mail-


archive.com/itb@itb.ac.id/msg19350.html (diakses tanggal 05 Agustus 2012)

Hendrarso, Emy Susanti. 2007. Penelitian Kualitatif : Sebuah Pengantar. Dalam Metode
Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Editor Bagong Suyanto dan
Sutinah. Jakarta : Kencana

Iftauddin. 2005. Analisis Kemitraan antara PT Atina dengan Petani Udang di Desa Banjar
Panji, Kecamatan Sidoarjo, Jawa Tengah.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/45004/A10cna.pdf, diakses 17
Desember 2012

Manzilati, Asfi. 2011. Kontrak Yang Melemahkan Relasi Petani Dan Korporasi. Malang:
Universitas Brawijaya Press. Hal 52-53

Miller, Byron. 1992. Collevtive action and Rational Choice: Place, Community, and the
Limits to Individual Self-interest. Economic Geography, Vol. 68. No. 1, January: 22-42

Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Hal 70 dan 71

Nee, Victor. 1998. Norms and Networks in Economic and Organizational Performance. The
American Economic Review. Vol 88, Issue 2, May: 85-89

Noorjaya, Tika. 2001. Business Linkage: Enhancing Access of SME to Financing Institutions.
http://www.bappenas.go.id. (diakses tanggal 05 Agustus 2012)

Portes, Alejandro. 1998. Social Capital: Its Origins and Application in Modern Sociology,
Annual Review Sociology, Vol. 24: 1-24
Pratama, Yogi Pasca. 2010. Mengkaji “Trust” Pada Kontrak Kemitraan Antara Petani
Penggarap Kopi dengan Perum Perhutani.
http://elibrary.ub.ac.id/handle/123456789/33048 (diakses 17 Desember 2012)

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Hal 22

Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan
Perdagangan Bebas terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian. Asosiasi Penelitian
Perkebunan Indonesia, Bogor.

Tim Tolok Ukur Kegiatan Pengkajian Sistem Dinamis Manajemen Industri Gula Nasional. 2004.
Permasalahan dan Alternatif Kebijakan Sistem Manajemen Industri Gula. Makalah.

Utari, Yuni. 2008. Model Kemitraan Tebu Rakyat Kerja Sama Usaha (TRKSU) antara
Petani Tebu dengan Pabrik Gula (PG) Candi Baru Sidoarjo.
(http://elibrary.ub.ac.id/handle/123456789/32407, diakses 18 Desember 2012)

Wallis, Joe, Paul Killerby, dan Brian Dollery. 2004. Social Economics and Social Capital.
International Journal of Social Economics. Vol. 31, No.3:239-258.
(http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=847849&show

White, T. and Smucker, G. (1998) Social Capital and Governance in Haiti: Traditions and
Trends, in The Challenges of Poverty Reduction, World Bank, Washington.

Williamson, Oliver E. 1993. Calculativeness, Trust, and Economic Organization. J. Law Econ.
36. 453–86.

Woolcock, M. and Narayan D. 2000. Social Capital: Implications for Development Theory,
Research, and Policy. Vol 15, No. 2: 225-227
(http://www.iim.uniflensburg.de/vwl/upload/lehre/wise0607/ba/woolcock_narayan.pdf,
diakses 19 Mei 2013)

Woolcock, Michael. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical
Synthesis and Policy Framework. Theory and Society, No. 27: 151-205

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi. Malang:
Bayumedia. Hal 104-112

_____________________.2008. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi. Malang:


Bayumedia. Hal 120-125

http://www.ptkebonagung.com/prpgkebon.htm yang diakses pada tanggal 7 Oktober 2012 jam


15.24

http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr245026.pdf yang diakses pada tanggal 17 Mei 2013

Anda mungkin juga menyukai