Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah, keberadaan Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) selalu eksis dan tidak berubah. Sejak diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, kemudian
diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan
selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, selalu terdapat pasal yang mengatur keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja. Ini
berarti ketika zaman terus berubah, keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja tidak berubah, dan
selalu dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal tersebut sesuai dengan
peran strategis Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu
sebagimana tercantum dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa :”Untuk membantu Kepala Daerah dalam
menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja".
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah di atas, dapat ditegaskan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja
memiliki 2 (dua) tugas yaitu :
1. Menegakkan Peraturan Daerah
Peran ini berkaitan erat dengan eksistensi Pemerintah Daerah, karena keberadaannya
didukung dengan berbagai Peraturan Daerah yang ada, misalnya peraturan daerah yang
mengatur tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah. Disamping itu
kemampuan daerah juga ditentukan oleh berbagai peraturan daerah, seperti peraturan
yang mengatur APBD, Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi, Peraturan
Daerah tersebut jelas mempengaruhi kapasitas daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
2

2. Menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.


Peran ini berkaitan dengan salah satu tugas pokok Pemerintah Daerah, yaitu
menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Tanpa dikondisikan
dengan baik, ketertiban umum dan ketentraman masyarakat akan mengganggu
jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tentu tugas ini harus ada kerjasama
dan koordinasi yang baik dengan pihak kepolisian setempat secara berjenjang dari
Polda, Polwil, Polres dan Polsek.
Untuk melaksanakan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah ini, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Selanjutnya, guna merealisasikan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja,
dalam rangka meningkatkan tata kehidupan Kota Bogor yang tertib, teratur, nyaman,
tenteram, serta berdisiplin, diperlukan adanya pengaturan di bidang ketertiban umum yang
mampu melindungi warga kota, serta sarana dan prasarana kota. Melalui Peraturan Daerah
Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Ketertiban Umum. Dalam Pasal 1 angka 6
disebutkan bahwa : “Ketertiban adalah suatu keadaan kehidupan yang serba teratur dan tertata
dengan baik sesuai ketentuan perundang-undangan guna mewujudkan kehidupan masyarakat
yang dinamis, aman, tenteram lahir dan batin”. Sementara dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa :
“Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan ketertiban umum di daerah.”
Upaya Polisi Pamong Praja sebagai aparat Pemerintah Daerah dalam penegakan Perda
dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Banyak faktor yang mempengaruhinya, baik itu pengaruh
internal maupun pengaruh eksternal. Hal itu dapat dilihat pada saat melaksanakan tugasnya
baik dalam penegakan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum, dan ketentraman
masyarakat, tidak selalu mendapat sambutan positif dari masyarakat. Ada banyak pihak yang
kurang setuju bahkan menolaknya dengan keras. Selain penolakan karena tidak disukai
juga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat tertentu.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih
lanjut mengenai pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana di atur dalam
Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah di Provinsi
Jawa Barat dan dituangkan dalam bentuk Laporan Internship/Magang dengan judul :
3

"Pelaksanaan Tugas Satuan Polisi Pamong Praja Di Bidang Ketertiban Umum Dan
Ketenteraman Masyarakat Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2006”.

1.2 Rumusan Masalah


Penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan tugas satuan polisi pamong praja di bidang ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor
Nomor 8 Tahun 2006?
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi Satuan Polisi Pamong Praja dalam
melaksanakan tugas di bidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2006? Dan upaya apa yang
dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja bidang ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat dalam menghadapi dan mengatasi kendala-kendala tersebut ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Internship


1.3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas satuan polisi pamong praja di bidang ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor
Nomor 8 Tahun 2006.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Satuan Polisi Pamong Praja dalam
melaksanakan tugas di bidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2006 serta upaya apa yang
dilakukan dalam menghadapi kendala-kendala tersebut.
1.3.2 Kegunaan Internship
1. Laporan kegiatan Internship ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang
praktek kegiatan dilingkungan Pemerintah Daerah.
4

1.4 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan pengamatan terhadap objek yang diteliti.
2. Menggunakan teknik wawancara dengan individu/informan yang terlibat langsung
dalam proses kegiatan Intership/Magang. Wawancara dilakukan dengan Kepala dan
anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor

3. Data-data sekunder yang terkait dengan permasalahan dan tujuan kegiatan Internship.

1.5 Waktu dan Tempat Internship


Kegiatan Internship di Kantor Polisi Pamong Praja Kota Bogor yang beralamat di
Jalan Raya Prajajaran No. 121 Kota Bogor.Waktu pelaksanaan Internship/Magang dilakukan
adalah selama 2 (dua) minggu, terthitung mulai sejak tanggal 18 Juli 2016 sampai dengan
tanggal 25 Agustus 2016.
Internship dilaksanakan sesuai dengan jadwal kerja yang telah ditetapkan oleh Kantor
Polisi Pamong Praja Kota Bogor, yaitu selama 5 (lima) hari kerja, yaitu hari senin sampai
dengan hari jumat, dalam kurun waktu 8 (delapan) jam setiap harinya mulai pukul 08.00
sampai dengan pukul 16.00 WIB.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori
6

BAB III

KEADAAN UMUM

3.1 Gambaran Umum Dinas Sat Pol PP


Satuan Polisi Pamoing Praja ( Satpol PP ) mempunyai tugas membantu kepala daerah
untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga
penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat
melakukan kegiatannya dengan aman. Oleh karena itu, disamping menegakkan Perda,
Satpol PP juga dituntut untuk menegakkan kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu
peraturan kepala daerah.
Untuk mengoptimalkan kinerja Satpol PP perlu dibangun kelembagaan Satpol PP yang
mampu mendukung terwujudnya kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur.
Penataan kelembagaan Satpol PP tidak hanya mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah
penduduk suatu daerah, tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab yang diemban,
budaya, sosiologi, serta risiko keselamatan polisi pamong praja.
Dasar hukum tentang tugas dan tanggung jawab Satpol PP adalah PP Nomor 6 Tahun
2010 tentang Satuan Polisi Pamoing Praja yang ditetapkan pada tanggal 6 Januari 2010.
Dengan berlakunya PP ini maka dinyatakan tidak berlaku PP Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4428 ).
Berikut kutipan isi PP Nomor 6 tahun 2010 tentang Satpol PP.
Pengertian ( Pasal 3 )
(1) Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda,
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
(2) Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan dibawah dan
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.
Syarat menjadi Satpol PP ( Pasal 16 )
Persyaratan untuk diangkat menjadi Polisi Pamong Praja adalah:
a. pegawai negeri sipil;
7

b. berijazah sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau yang setingkat;


c. tinggi badan sekurang-kurangnya 160 cm ( seratus enam puluh sentimeter ) untuk laki-
laki dan 155 cm ( seratus lima puluh lima sentimeter ) untuk perempuan;
d. berusia sekurang-kurangnya 21 ( dua puluh satu ) tahun;
e. sehat jasmani dan rohani; dan
f. lulus Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong Praja.
Kedudukan ( Pasal 3 ayat (2) )
Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan dibawah dan
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.
(Pertanggungjawaban Kepala Satpol PP kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah
adalah pertanggungjawaban administratif. Pengertian “melalui” bukan berarti Kepala
Satpol PP merupakan bawahan langsung sekretaris daerah. Secara struktural Kepala
Satpol PP berada langsung bawah kepala daerah).
Tugas ( Pasal 4 )
Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat.
(Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat merupakan urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah termasuk penyelenggaraan
perlindungan masyarakat).
Fungsi ( Pasal 5 )
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Satpol PP
mempunyai fungsi:
a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;
b. pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah;
c. pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
daerah;
d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; (Tugas perlindungan masyarakat
merupakan bagian dari fungsi penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat, dengan demikian fungsi perlindungan masyarakat yang selama ini
8

berada pada Satuan Kerja Perangkat Daerah bidang kesatuan bangsa dan
perlindungan masyarakat menjadi fungsi Satpol PP)
e. pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur
lainnya;
f. pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan
mentaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan
g. pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.
Wewenang ( Pasal 6 )
Polisi Pamong Praja berwenang:
a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala
daerah; (Tindakan penertiban nonyustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh
Polisi Pamong Praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum
dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan
kepala daerah dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan tidak sampai proses peradilan)
b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat; ( Yang dimaksud dengan ”menindak” adalah
melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran Perda untuk diproses melalui
peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ).
c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;
d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan
hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala
daerah; dan ( Yang dimaksud dengan “tindakan penyelidikan” adalah tindakan Polisi
Pamong Praja yang tidak menggunakan upaya paksa dalam rangka mencari data
dan informasi tentang adanya dugaan pelanggaran Perda dan/atau peraturan
kepala daerah, antara lain mencatat, mendokumentasi atau merekam kejadian/keadaan,
serta meminta keterangan ).
9

e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan


hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah. (Yang
dimaksud dengan “tindakan administratif” adalah tindakan berupa pemberian surat
pemberitahuan, surat teguran/surat peringatan terhadap pelanggaran Perda
dan/atau peraturan kepala daerah).
Kewajiban ( Pasal 8 )
Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib:
a. menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial
lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat; (Yang dimaksud dengan ”norma
sosial lainnya” adalah adat atau kebiasaan yang diakui sebagai aturan/etika yang
mengikat secara moral kepada masyarakat setempat).
b. menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik Polisi Pamong Praja;
c. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; (Yang dimaksud dengan ”membantu
menyelesaikan perselisihan” adalah upaya pencegahan agar perselisihan antara
warga masyarakat tersebut tidak menimbulkan gangguan ketenteraman dan ketertiban
umum).
d. melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya atau
patut diduga adanya tindak pidana; dan (Yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah
tindak pidana di luar yang diatur dalam Perda)
e. menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas ditemukannya atau
patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
Pemberhentian ( Pasal 18 )
Polisi Pamong Praja diberhentikan karena:
a. alih tugas;
b. melanggar disiplin Polisi Pamong Praja;
c. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap; dan/atau
d. tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Polisi Pamong Praja.
10

Tata Kerja
Satpol PP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya wajib menerapkan prinsip
koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik secara vertikal maupun horizontal. ( Pasal 25 )
Setiap pimpinan organisasi dalam lingkungan Satpol PP provinsi dan kabupaten/kota
bertanggung jawab memimpin, membimbing, mengawasi, dan memberikan petunjuk bagi
pelaksanaan tugas bawahan, dan bila terjadi penyimpangan, mengambil langkah-langkah
yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.( Pasal 26.)
Kerja sama dan Koordinasi ( Pasal 28 )
(1) Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan dan/atau bekerja
sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau lembaga lainnya.
(2) Satpol PP dalam hal meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan/atau lembaga lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak
selaku koordinator operasi lapangan.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional,
saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum
dan memperhatikan hierarki dan kode etik birokrasi.
Pasal 35
Pedoman organisasi Satpol PP untuk Provinsi Daerah, diatur dengan Peraturan
Menteri dengan pertimbangan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang
aparatur negara.
Satuan Polisi Pamong Praja, disingkat Satpol PP, adalah perangkat Pemerintah Daerah
dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah.
Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Satpol PP dapat berkedudukan Daerah Provinsi dan Daerah / Kota.
 Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah
 Daerah / Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada dibawah
dan bertanggung jawab kepada Bupati / Walikota melalui Sekretaris Daerah.
11

Sejarah Sat Pol PP


Pamong Praja berasal dari kata Pamong dan Praja, Pamong artinya pengasuh yang
berasal dari kata Among yang juga mempunyai arti sendiri yaitu mengasuh. Mengasuh anak
kecil misalnya itu biasanya dinamakan mengemong anak kecil, sedangkan Praja adalah
pegawai negeri. Pangreh Praja atau Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pamong Praja adalah Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan Negara.
Definisi lain Polisi adalah Badan Pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban umum atau pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan. Berdasarkan
definisi - definisi yang tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja adalah
Polisi yang mengawasi dan mengamankan keputusan pemerintah wilayah kerjanya.
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman
Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan “Polisi Pamong Praja adalah aparatur Pemerintah
Daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan
ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah”.
Keberadaan Polisi Pamong Praja dimulai pada era Kolonial sejak VOC menduduki
Batavia di bawah pimpinan Gubernur Jenderal PIETER BOTH , bahwa kebutuhan
memelihara Ketentraman dan Ketertiban penduduk sangat diperlukan karena pada waktu itu
Kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis baik dari pendduduk lokal maupun
tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap gangguan Ketentraman dan Keamanan.
Untuk menyikapi hal tersebut maka dibentuklah BAILLUW, semacam Polisi yang merangkap
Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan hukum yang terjadi antara VOC
dengan warga serta menjaga Ketertiban dan Ketentraman warga. Kemudian pada masa
kepemimpinan RAAFFLES dikembangkanlah BAILLUW dengan dibentuk Satuan lainnya
yang disebut BESTURRS POLITIE atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu
Pemerintah Tingkat Kawedanan yang bertugas menjaga Ketertiban dan Ketentraman serta
Keamanan warga. Menjelang akhir era Kolonial khususnya pada masa pendudukan Jepang
Organisasi polisi Pamong Praja mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi
tidak jelas, dimana secara struktural Satuan Kepolisian dan peran dan fungsinya bercampur
baur dengan Kemiliteran. Pada masa Kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian Organisasi dari
12

Kepolisian karena belum ada Dasar Hukum yang mendukung Keberadaan Polisi Pamong
Praja sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948.
Secara definitif Polisi Pamong Praja mengalami beberapa kali pergantian nama namun
tugas dan fungsinya sama, adapun secara rinci perubahan nama dari Polisi Pamong Praja
dapat dikemukakan sebagai berikut :
 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948 pada tanggal 30 Oktober
1948 didirikanlah Detasemen Polisi Pamong Praja Keamanan Kapanewon yang pada
tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja;
 Tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan Mendagri No.UP.32/2/21 disebut
dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja.
 Pada Tahun 1962 sesuai dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi
Daerah No. 10 Tahun 1962 nama Kesatuan Polisi Pamong Praja diubah menjadi Pagar
Baya.
 Berdasarkan Surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun
1963 Pagar Baya dubah menjadi Pagar Praja.
 Setelah diterbitkannnya PP No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah, maka Kesatuan Pagar Praja diubah menjadi Polisi Pamong Praja, sebagai
Perangkat Daerah.
 Dengan Diterbitkannya PP No.22 Tahun 1999 nama Polisi Pamong Praja diubah
kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah.
 Terakhir dengan diterbitkannya PP no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
lebih memperkuat Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai pembantu Kepala
Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban umum
dan ketentraman Masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
Meskipun keberadaan kelembagaan Polisi Pamong Praja telah beberapa kali
mengalami perubahan baik struktur organisasi maupun Nomenklatur, yang kemungkinan
dikemudian hari masih berpeluang untuk berubah, namun secara subtansi tugas pokok Satuan
Polisi Pamong Praja tidak mengalami perubahan yang berarti.
“Keberadaan Polisi Pamong Praja dalam jajaran Pemerintah Daerah mempunyai arti
khusus yang cukup strategis, karena tugas-tugasnya membantu Kepala Daerah dalam
13

pembinaan ketentraman dan ketertiban serta penegakan Peraturan Daerah sehinga dapat
berdampak pada upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”.
Mengenai pengertian Polisi Pamong Praja mengalami perbedaan atau perubahan antara
Undang - undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pengertian Polisi Pamong Praja menurut Undang -undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah
perangkat wilayah yang bertugas membantu kepala wilayah dalam menyelenggarakan
pemerintah umum khususnya dalam melaksanakan wewenang, tugas dan kewajiban bidang
ketentraman dan ketertiban masyarakat (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah).
Pengertian Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah adalah perangkat daerah yang bertugas membantu kepala daerah
dalam rangka menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan
Peraturan Daerah (Pasal 148 ayat (1) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah).
Bila melihat pengertian Polisi Pamong Praja tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
perbedaan Polisi Pamong Praja menurut Undang - undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang -
undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah :
 Polisi Pamong Praja menurut Undang - undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah sebagai
aparat daerah yang bertanggungjawab kepada kepala wilayah artinya aparat
Pemerintah Pusat yang dipekerjakan daerah, (Undang - undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok -Pokok Pemerintahan Daerah). Sedangkan Polisi Pamong Praja
menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai aparat daerah yang
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah ( Pasal 148 ayat (1) Undang -Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ).
 Ruang lingkup tugas kerja Polisi Pamong Praja menurut Undang - undang Nomor 5
Tahun 1974 hanya membantu Kepala wilayah bidang ketentraman dan ketertiban
masyarakat, (Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah). Sedangkan ruang lingkup tugas Polisi Pamong Praja menurut Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 diperluas selain menyelenggarakan pembinaan
ketentraman dan ketertiban umum juga ketentraman masyarakat dalam penegakan
14

Peraturan Daerah (Pasal 148 ayat (1) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah).
Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat maka dalam melaksanakan tugasnya Polisi
Pamong Praja melakukan berbagai cara seperti memberikan penyuluhan, kegiatan patroli
dan penertiban terhadap pelanggaran Peraturan Daerah, keputusan kepala daerah yang
didahului dengan langkah - langkah peringatan baik lisan maupun tertulis.
Lingkup fungsi dan tugas Polisi Pamong Praja dalam pembinaan ketentraman dan
ketertiban umum pada dasarnya cukup luas, sehingga dituntut kesiapan aparat baik jumlah
anggota, kualitas personil termasuk kejujuran dalam melaksanakan tugas - tugasnya. Polisi
Pamong Praja sebagai lembaga dalam pemerintahan sipil harus tampil sebagai pamong
masyarakat yang mampu menggalang dan dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat
dalam menciptakan dan memelihara ketentraman dan ketertiban sehingga dapat menciptakan
iklim yang lebih kondusif.
Penampilan Polisi Pamong Praja dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban harus
berbeda dengan aparat kepolisian ( Polisi Negara ), karena kinerja Polisi Pamong Praja akan
bertumpu pada kegiatan yang lebih bersifat penyuluhan dan pengurusan, bukan lagi berupa
kegiatan yang mengarah pada pemberian sanksi atau pidana.
Tugas Polisi Pamong Praja adalah selain melakukan penegakan Peraturan Daerah, juga
membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan pembinaan ketentraman dan ketertiban ( Pasal
148 ayat (1) Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ).
Mengingat luasnya daerah dan menjamin tindakan yang cepat serta tepat pada
waktunya Kepala Daerah dalam “keadaan biasa” diberikan wewenang pembinaan ketentraman
dan ketertiban daerahnya yang meliputi ( Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi ) :
a. Wewenang pengaturan untuk dapat mendorong terciptanya ketentraman dan ketertiban
masyarakat.
b. Wewenang pengaturan - pengaturan kegiatan penanggulangan bencana alam maupun
bencana akibat perbuatan manusia.
c. Wewenang pengaturan kegiatan - kegiatan dibidang politik, ekonomi dan sosial
budaya.
15

Tujuan dari pembinaan ketentraman dan ketertiban adalah untuk menghilangkan atau
mengurangi segala bentuk ancaman dan gangguan terhadap ketentraman dan ketertiban
didalam masyarakat, serta menjaga agar roda pemerintahan dan peraturan pemerintah serta
peraturan perundang - undangan daerah dapat berjalan lancar, sehingga pemerintah dan rakyat
dapat melakukan kegiatan secara umum, tertib dan teratur dalam rangka memantapkan
ketahanan nasional ( Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Pasal 2 Tahun 1993 tentang
pembinaan ketentraman dan ketertiban daerah ).
Ketentraman dan ketertiban yaitu suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat
melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2
Pasal 1 Tahun 1993 tentang pembinaan ketentraman dan ketertiban daerah). Pembinaan
ketentraman dan ketertiban daerah adalah segala usaha, tindakan dan kegiatan yang
berhubungan dengan perencanaan, penyusunan, pengembangan, pengarahan, pemeliharaan
serta pengendalian segala masalah ketentraman dan ketertiban secara berdaya guna dan
berhasil guna meliputi kegiatan pelaksanaan atau penyelenggaraan dan peraturan agar segala
sesuatunya dapat dilakukan dengan baik, tertib dan seksama sesuai ketentuan petunjuk, sistem
dan metode yang berlaku untuk menjamin pencapaian tujuan secara maksimal ( Pasal 150 ayat
(1) Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan mutlak
diperlukan adanya suatu kondisi ketentraman dan ketertiban yang mantap. Dalam hal ini
urusan pembinaan ketentraman dan ketertiban daerah, Walikota atau Bupati dalam tugasnya
dibantu oleh yang namanya Polisi Pamong Praja (Undang-undang No. 32 Pasal 148 ayat 1
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Visi dan Misi Sat Pol PP
VISI :
Visi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor adalah ”MEWUJUDKAN KOTA
BOGOR YANG AMAN, TERTIB DAN NYAMAN”

MISI :
Meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan Anggota Satuan Polisi Pamong Praja
yang profesional yang mewujudkan Kota yang aman, tertib dan nyaman.
Meningkatkan sarana operasional Satuan Polisi Pamong Praja yang semakin lengkap.
16

Mengembangkan sistem manajemen opersional yang tangguh, cepat dan terpadu untuk
mewujudkan Kota yang aman, tertib dan nyaman.
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang - undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah ( Bupati
/ Walikota ). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus
daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang - undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah terdiri atas :
a. Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi
dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota, yang berlaku Kabupaten / Kota tersebut. Peraturan
Daerah Kabupaten / Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten / Kota dengan persetujuan
bersama Bupati / Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota tidak sub ordinat terhadap
Peraturan Daerah Provinsi.
Peraturan Daerah (Perda) adalah instrumen aturan yang secara sah diberikan kepada
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sejak Tahun 1945 hingga
sekarang ini, telah berlaku beberapa undang -undang yang menjadi dasar hukum
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan Perda sebagai instrumen
yuridisnya.
Kedudukan dan fungsi Perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan
sistem ketatanegaraan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Daerah (PPD) / Konstitusi
dan Peraturan Pemerntah (PP). Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi muatan
yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada Pemerintah Daerah.
Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap
pembentukan dan pelaksanaan Perda mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola
hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Setiap perancang Perda,
terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positif tentang Pemerintahan
Daerah, Peraturan Pemerintah tentang Perundang - undangan, Peraturan pelaksanaan yang
secara khusus mengatur tentang Perda.
Untuk merancang sebuah Perda, perancang pada dasarnya harus menyiapkan diri
secara baik dan mengusai hal-hal sebagai berikut :
17

a. Analisis data tentang persoalan sosial yang akan diatur.


b. Kemampuan teknis perundang - undangan. Pengetahuan teoritis tentang pembentukan
aturan.
c. Hukum perundang - undangan baik secara umum maupun khusus tentang Perda.
Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan
konstitusionalnya dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan ( vide Pasal 18 ayat ( 6 ) UUD 1945 ). Selanjutnya Pasal 12
PP No. 10/2004 menggariskan materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam
rangka: penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan, menampung kondisi khusus daerah
serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi.
Perda adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan
terendah dalam hierarki peraturan perundang - undangan, Perda secara teoritik memiliki
tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat - sekat peraturan
nasional yang ratusan jumlahnya. Dalam pendekatan Stufenbaudes Recht yang diajarkan Hans
Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis - lapis, peraturan yang
rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori
tersebutlah kemudian dalam ilmu hukum turun menjadi asas “lex superior derogat legis
inferiori.”
Perda dianggap sebagai peraturan yang paling dekat untuk mengagregasi nilai – nilai
masyarakat daerah. Peluang ini terbuka karena Perda dapat dimuati dengan nila-nilai yang
diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itulah banyak Perda yang materi
muatannya mengatur tentang pemerintahan terendah yang bercorak lokal seperti Nagari
Sumatera Barat, Kampong Aceh, atau yang terkait pengelolaan sumber daya alam seperti
Perda pengelolaan hutan berbasis masyarakat, hutan rakyat, pertambangan rakyat dan lain
sebagainya. disamping itu, posisi Perda yang terbuka acap juga menjadi instrumen Pemerintah
Daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda
pajak daerah atau Perda retribusi daerah. Perda jenis terakhir inilah yang paling mendominasi
jumlah Perda sepanjang otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya PP No 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan Perda dibuat oleh Pemerintah Daerah
baik pada level Provinsi maupun Kabupaten / Kota. Data yang diperoleh dari Departemen
18

Keuangan, sampai Desember 2007 terdapat 9.617 Perda yang terkait dengan perizinan, pajak
dan retribusi daerah. Dari sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan
kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak
dan retribusi daerah. Data yang diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan
bahwa sejak tahun 2002 sampai tahun 2007 Perda yang dibatalkan baru berjumlah 761 Perda.
Perda-Perda yang dianggap bermasalah itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi daerah serta
juga membebani masyarakat dan lingkungan.
Terkait dengan banyaknya Perda yang dianggap bermasalah, karena menimbulkan
ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat daerah dan berdampak pada kerusakan
lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, maka Indonesia memiliki perangkat hukum
untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesai
konflik peraturan dilakukan lewat pengujian peraturan perundang - undangan. Sekarang ini,
Perda yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga lewat dua model kewenangan, yaitu
judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah c.q Departemen
Dalam Negeri.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman diberi
kewenangan oleh UUD 1945 untuk dapat melakukan pengujian peraturan perundang -
undangan di bawah Undang - Undang Dasar terhadap undang - undang. Kewenangan
demikian ini kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan
perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah Agung, kewenangan
judicial review juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-
undang terhadap UUD. Bila dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang -
undangan yang diatur dalam Pasal 7 PP No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.
Dasar kewenangan Mahkamah Agung dapat melakukan pengujian terhadap tiga jenis
peraturan yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang -undangan. Mulai dari dasar
konstitusional dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b PP
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) PP No. 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
19

Mahkamah Agung: Mahkamah Agung memberi ukuran atau alasan suatu peraturan dibawah
undang -undang dapat dibatalkan, yaitu: karena bertentangan dengan peraturan perundang -
undangan yang lebih tinggi ( aspek materil ) atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku ( aspek formil ).
Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945: Mahkamah agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang - undangan DIbawah undang-undang terhadap undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang - undang.
Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman: Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah
Agung.
Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung : Mahkamah Agung menyatakan tidak
sah peraturan perundang - undangan dibawah undang -undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku.
Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan,Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1
Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004.
Anehnya, Perma ini mempersempit kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh
UUD dan PP diberi kewenangan menguji materil dan formil peraturan perundang - undangan
menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap materi muatan peraturan perundang-
undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak akan memeriksa atau menguji aspek formil
penyusunan dan pembentukan peraturan perundang - undangan dibawah undang - undang,
termasuk Perda. Dasar hukumnya adalah Pasal 1 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang
Hak Uji Material.
Sejak tahun 2003 sampai tahun 2007, Mahkamah Agung telah menerima 175
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan, 28 dari jumlah itu adalah permohonan
pengujian Perda.
Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian Perda lahir dari kewenangan
yang disebut judicial review. Dalam hal itu, maka Mahkamah Agung adalah lembaga yang
20

diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk peraturan
perundang - undangan misalkan Perda. Dalam menjalankan fungsi itu, Mahkamah Agung
bersifat pasif menanti datangnya permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan
di daerah. Ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah menjawab
pertanyaan, apakah suatu Perda: bertentangan dengan peraturan perundang -undangan yang
lebih tinggi dan / atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Material, bila
satu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan / atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan dan memerintahkan pemerintah daerah bersama dengan DPRD
untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan
pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan peninjauan
kembali (PK).
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Material
ditemukan bahwa Perda atau peraturan perundang - undangan dibawah undang - undang
lainnya hanya dapat diajukan permohonan keberatan ( pengujian ) kepada Mahkamah Agung
paling lambat sebelum 180 ( seratus delapan puluh ) hari pengundangan peraturan tersebut.
Batasan waktu ini tentu berimplikasi terhadap terbatasnya hak warga negara untuk
mengajukan permohonan pengujian peraturan yang dianggap bermasalah dikemudian hari
setelah 180 hari yang dibatasi oleh Mahkamah Agung tersebut.
Tidak jelas benar dari mana asal muasal batas waktu 180 tersebut, dan mengapa tidak
lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari juga tidak ada seleksi waktu yang dapat dimengerti
secara rasional, karena bila syarat untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap
berlakunya suatu Perda adalah anggapan kerugian publik dari pemohon, maka potensi
kerugian publik itu tidak bisa dibatasi waktunya. Bisa saja, misalnya Perda yang sudah
berlaku selama satu tahun dianggap tidak bermasalah oleh masyarakat, kemudian dua atau tiga
tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya Perda tersebut baru menimbulkan masalah
sosial, sehingga bila hal tersebut terjadi maka masyarakat kehilangan hak untuk mengajukan
permohonan karena dipangkas oleh aturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak.
Salah satu kelemahan lagi dari Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil oleh
Mahkamah Agung adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-
21

undangan, termasuk Perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu
penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan
majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas
waktu proses itu sangat ironis mengingat dalam Perma tersebut Mahkamah Agung malah
membatasi waktu hak warga negara untuk menyampaikan permohonan keberatan.
Ketiadaan batas waktu pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah
menumpuknya perkara kasasi Mahkamah Agung berpotensi membuat Perda yang sedang diuji
terkatung - katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama. Perma No 1 Tahun
2004 juga tidak merumuskan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses
pengujian oleh Mahkamah Agung. Dari rumusan Perma No. 1 Tahun 2004 sendiri sudah
nampak bahwa Mahkamah Agung masih bersifat pasif padahal objek yang sedang
disengketakan adalah objek yang terkait dengan kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (
regeling ) yang berlaku umum di masyarakat.
Model pengujian Perda yang kedua dilakukan oleh pemerintah c.q Departemen Dalam
Negeri. Pengujian Perda oleh Pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (
toetzingrecht ) dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan pengawasan
pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan ( otonomi ) Pemerintahan Daerah.
UU No 32 Tahun 2004 memberi perintah bahwa Perda yang dibuat oleh DPRD
bersama kepala daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan. Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 ayat (4) UU No 32/2004 tentang
Pemda menyebutkan bahwa “Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /
atau peraturan perundang -undangan yang lebih tinggi.”Kemudian Pasal 145 ayat (2) UU
tersebut menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau
peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.” Ayat (3)
menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda ... ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling
lama 60 ( enam puluh ) hari sejak diterimanya Perda...” selanjutnya ayat (5) menyebutkan
“Apabila provinsi / kabupaten / kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.”
UU No 32 Tahun 2004 memberi perintah bahwa Perda yang dibuat oleh DPRD
bersama kepala daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
22

ditetapkan. Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 ayat (4) UU No 32/2004 tentang
Pemda menyebutkan bahwa “Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”Kemudian Pasal 145 ayat (2) UU
tersebut menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau
peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.” Ayat (3)
menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda ... ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling
lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda...” selanjutnya ayat (5) menyebutkan
“Apabila provinsi / kabupaten / kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang - undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.”
Ada dua bentuk pengawasan dalam executive reviewi yang dapat dilakukan oleh
Pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif
dilakukan terhadap rancangan Perda yang bermuatan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah
serta Perda tata ruang. Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah
dan retribusi daerah serta tata ruang kabupaten / kota dilakukan oleh Walikota, sedangkan
Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah
serta tata ruang provinsi dilakukan oleh pemerintah ( pusat ). Selanjutnya pengawasan represif
dilakukan terhadap seluruh Perda yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah, termasuk Perda
yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif.
Berbeda dengan judicial review, Perda yang dilakukan pengawasan oleh lembaga
kehakiman, Mahkamah Agung, executive review Perda dalam bentuk pengawasan oleh
pemerintah dilakukan melalui beberapa lembaga negara/departemen, yaitu Departemen Dalam
Negeri, Departemen Keuangan terhadap Perda bermuatan keuangan, Kementerian Pekerjaan
Umum terhadap Perda tata ruang, serta departemen sektoral sumber daya alam terhadap Perda
yang bermuatan sumber daya alam. Tidak jarang proses evaluasi / pengujian Perda oleh
Pemerintah dilakukan lintas departemen yang dikoordinasikan oleh Departemen Dalam
Negeri selaku “pembina” pemerintah daerah. Pengujian Perda merupakan kewenangan
pemerintah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan otonomi
daerah oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 26 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan, Rancangan Peraturan Daerah ( RanPerda ) dapat berasal dari DPRD
23

atau kepala daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota). RanPerda yang disiapkan oleh Kepala
Daerah disampaikan kepada DPRD. RanPerda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan Pembahasan RanPerda DPRD dilakukan oleh
DPRD bersama Gubernur atau Bupati / Walikota. Pembahasan bersama tersebut melalui
tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi / panitia / alat kelengkapan DPRD yang
khusus menangani legislasi dan dalam rapat paripurna.
Berdasarkan Pasal 42 Undang - Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan RanPerda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan
Gubernur atau Bupati / Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau
Bupati / Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari
sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati /
Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut
disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati / Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak
RanPerda tersebut disetujui bersama tidak ditand tangani oleh Gubernur atau Bupati /
Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -
undangan merupakan landasan yuridis pembentukan peraturan perundang – undangan baik
tingkat pusat maupun daerah. Undang - Undang ini memuat secara lengkap pengaturan baik
menyangkut sistem, asas, jenis dan materi muatan, proses pembentukan yang dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan dan penyebarluasan. Tertib pembentukan peraturan perundang - undangan,
baik tingkat pusat maupun daerah, diatur sesuai dengan proses pembentukan dari jenis dan
hirarki serta materi muatan peraturan Perundang - Undangan.
Untuk kepastian hukum dan ketertiban dalam pembentukan peraturan perundang –
undangan tingkat pusat telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 Tentang
Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang - Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Peraturan Presiden Republik
24

Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan


Peraturan Perundang - Undangan.
Berdasarkan perintah Pasal 27 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Pasal 140
ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu
ditetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah.
Rancangan Peraturan Presiden tersebut telah disiapkan oleh Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Hukum dan HAM dan telah disampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan
menjadi Peraturan Presiden.
Urgensi pengaturan tata cara pengajuan Rancangan Peraturan Daerah adalah agar lebih
tercapai koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam penyiapan Rancangan
Peraturan Daerah dan efektifitas proses pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah.
Kondisi yang baik dalam perencanaan dan persiapan penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah dan harmonisasi materi atau substansi Rancangan Peraturan Daerah antar Satuan Kerja
Perangkat Daerah akan melahirkan Peraturan Daerah yang baik dan berkualitas.
Pasal 27 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 berbunyi: Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari Gubernur
atau Bupati / Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 140 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 berbunyi: Tata cara
mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur atau Bupati / Walikota diatur
dengan Peraturan Presiden.
Secara normatif dan umum, Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menegaskan bahwa Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 136 ayat (4) menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang
berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum
dan terganggunya ketentraman, ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Norma yang ada dalam pasal dan penjelasan pasal tersebut bersifat umum, sehingga perlu
parameter atau kriteria yang lebih rinci.
Konsekuensi dari Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi adalah dibatalkannya Peraturan Daerah
tersebut. Larangan Peraturan Daerah bertentangan dengan peraturan perundang - undangan
25

yang lebih tinggi selain sesuai dengan hirarki peraturan perundang - undangan, juga menjaga
agar Peraturan Daerah tetap berada dalam sistem hukum nasional.
Sejak tahun 1999 sampai dengan November 2007 sebanyak 1.406 Peraturan Daerah
telah dibatalkan oleh Pemerintah. Peraturan Daerah yang telah dibatalkan tersebut umumnya
Peraturan Daerah yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah disamping
Peraturan Daerah yang telah dibatalkan, terdapat berbagai Peraturan Daerah yang
kontroversial ditengah masyarakat terkait dengan hak manusia, diskriminatif, kesetaraan
jender, pencemaran lingkungan dan sebagainya. Terhadap Peraturan Daerah terkait sebagian
telah diajukan judicial review Mahkamah Agung. Terkait dengan banyaknya Peraturan Daerah
yang telah dibatalkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan kritik dan
arahan yang disampaikan dalam Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan
Daerah pada tanggal 23 Agustus 2006 didepan sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia sebagai berikut :
“Pemerintah Pusat, setelah mengkaji berbagai jenis Peraturan Daerah (Perda) tentang
pungutan dan retribusi daerah yang bertentangan dengan undang - undang, telah mengambil
langkah membatalkannya. Saya minta perhatian Pemerintah Daerah untuk tidak menerbitkan
lagi Peraturan Daerah tentang pajak, pungutan dan retribusi yang bertentangan dengan undang
- undang dan peraturan yang lebih tinggi. Penyusunan Perda haruslah dikoordinasikan dengan
instansi - instansi Pemerintah Pusat. Aspek - aspek hukum penyusunan Perda itu, akan
menjadi lebih baik jika dikoordinasikan dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
baik langsung, maupun dengan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang ada
disetiap provinsi.”
Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 188.34/1586/S
tanggal 25 Juli 2006 perihal Tertib Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah. Dalam
Surat Edaran tersebut ditegaskan bahwa para Walikota, Bupati / Walikota, dapat
mendayagunakan keberadaan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM daerah masing -
masing untuk melakukan evaluasi dan harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah dan
Peraturan Daerah.
Merespons dan menindaklanjuti arahan Presiden, Departemen Hukum dan HAM
bekerja sama dengan United Nations Development Program (UNDP) membentuk tim yang
26

terdiri dari Departemen / Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) serta para pakar
untuk menyusun “Panduan Praktis Teknik Pembuatan Peraturan Daerah.
Pertama, menyangkut materi / substansi Rancangan Peraturan Daerah. Terkait materi
atau substansi Peraturan Daerah, dalam kajian ini akan dimuat parameter agar Rancangan
Peraturan Daerah memuat atau setidak - tidaknya tidak bertentangan dengan :
a. Prinsip hak asasi manusia, termasuk kesetaraan jender.
b. Prinsip good sustainable development.
c. Prinsip dan arahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD, pajak
dan retribusi daerah dan tata ruang.
d. Arahan materi Peraturan Daerah yang mengatur perangkat organisasi daerah.
Kriteria / parameter atas merupakan titik tolak, tolak ukur dan kendali bagi pembentuk
termasuk perancang pembuatan Rancangan Peraturan Daerah agar Peraturan Daerah
yang dihasilkan sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang - undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang
berbunyi :
Dalam membentuk Peraturan Perundang - undangan harus berdasarkan
Pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi :
 Kejelasan tujuan.
 Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat.
 Kesesuaian antara jenis dan materi muatan.
 Dapat dilaksanakan.
 Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
 Kejelasan rumusan; dan
 Keterbukaan.
Kedua, menyangkut teknik penyusunan. Ketentuan mengenai teknik penyusunan
peraturan perundang - undangan yang tercantum dalam Lampiran Undang – Undang Nomor
10 Tahun 2004 berisi teknik penyusunan terhadap semua jenis peraturan perundang -
undangan. Para perancang peraturan perundang - undangan tingkat daerah memerlukan
pedoman penyusunan untuk peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Membuat rumusan
yang jelas termasuk asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mulai dari judul,
pembukaan, batang tubuh (termasuk ketentuan pidana dan ketentuan peraliha), penjelasan,
27

pendelegasian kewenangan dan juga penggunaan bahasa harus dipahami secara baik oleh
perancang peraturan perundang - undangan tingkat daerah.
Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk elemen penting untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Peran aparatur Pemerintahan Daerah dalam
pembentukan Peraturan Daerah sangat ditentukan oleh kompetensi dan kapasitasnya dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya.

3.2 Organisasi dan Sumber Daya Manusia

 Satuan terdiri dari:


1. Kepala Satuan;
2. Sekretariat;
3. Bidang Penegakkan Peraturan Daerah;
4. Bidang Ketenteraman dan Ketertiban;
5. Bidang Pengendalian dan Operasional.
28

 Sekretariat
Tugas : Sekretariat dipimpin oleh seorang Sekretaris yang mempunyai tugas pokok
melaksanakan sebagian fungsi Satuan di bidang pengelolaan kesekretariatan.
Fungsi:
1. Pelaksanaan koordinasi dalam penyusunan rencana dan program kerja di lingkungan
Satuan;
2. Pelaksanaan tugas administrasi umum dan administrasi kepegawaian, perlengkapan,
keuangan, kearsipan dan kerumahtanggaan;
3. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Sekretariat membawahkan :
1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
2. Sub Bagian Keuangan;
3. Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan.
Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
Tugas : Sub Bagian Umum dan Kepegawaian dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian yang
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi sekretariat di bidang umum dan
kepegawaian.
Fungsi:
1. pengelolaan administrasi umum dan administrasi kepegawaian;
2. pengelolaan kearsipan, kerumahtanggaan dan perlengkapan di lingkungan Satuan;
3. pelaksanaan pelaporan sub bagian umum dan kepegawaian.
Sub Bagian Keuangan
Tugas : Sub Bagian Keuangan dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian yang mempunyai
tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi sekretariat di bidang keuangan.
Fungsi:
1. Penyiapan bahan penyusunan anggaran Satuan;
2. Pengelolaan administrasi keuangan dan pelayanan di bidang keuangan;
3. Penyusunan laporan realisasi anggaran dan neraca keuangan Satuan;
4. Pelaksanaan pelaporan sub bagian keuangan.
Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan.
29

Tugas : Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian
yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi sekretariat di bidang
perencanaan dan pelaporan.
Fungsi:
1. Penyusunan rencana dan program kerja lingkup Satuan;
2. Pengolahan, penyusunan dan penyajian data sebagai bahan informasi;
3. Pengelolaan administrasi perencanaan dan pelaporan;
4. Pelaksanaan pelaporan kegiatan Satuan.
 Bidang Penegakkan Peraturan Daerah
Tugas : Bidang Penegakkan Peraturan Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi Satuan di bidang penegakkan
peraturan daerah.
Fungsi:
1. Perumusan kebijakan dan bimbingan teknis di bidang penegakkan Peraturan Daerah;
2. Pelaksanaan dan pengkoordinasian kegiatan di bidang penegakkan Peraturan Daerah;
3. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Bidang Penegakkan Peraturan Daerah membawahkan :
1. Seksi Penegakkan;
2. Seksi Penyidikan dan Penindakan.
3. Seksi Penegakkan;
Seksi Penegakkan.
Tugas : Seksi Penegakkan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang mempunyai tugas pokok
melaksanakan sebagian fungsi bidang Penegakkan Peraturan Daerah di bidang penegakkan
Peraturan Daerah.
Fungsi:
1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dan bimbingan teknis di bidang penegakkan
Peraturan Daerah;
2. Penyiapan bahan pelaksanaan kegiatan penegakkan Peraturan Daerah;
3. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan penegakkan Peraturan
Daerah.
Seksi Penyidikan dan Penindakan.
30

Tugas : Seksi Penyidikan dan Penindakan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi bidang penegakkan Peraturan Daerah
di bidang penyidikan dan penindakan.
Fungsi :
1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dan bimbingan teknis penyidikan dan
penindakan;
2. Penyiapan bahan pelaksanaan kegiatan penyidikan dan penindakan;
3. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan penyidikan dan penindakan.
 Bidang Ketenteraman dan Ketertiban
Tugas : Bidang Ketenteraman dan Ketertiban dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi Satuan di bidang ketenteraman dan
Ketertiban.
Fungsi :
1. Perumusan kebijakan dan bimbingan teknis di bidang ketenteraman dan ketertiban;
2. Pelaksanaan dan pengkoordinasian kegiatan di bidang ketenteraman dan ketertiban;
3. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Bidang Ketenteraman dan Ketertiban membawahkan :
1. Seksi Pembinaan Masyarakat;
2. Seksi Perlindungan Masyarakat.
Seksi Pembinaan Masyarakat;
Tugas : Seksi Pembinaan Masyarakat dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang mempunyai
tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi bidang Ketenteraman dan Ketertiban di bidang
pembinaan masyarakat.
Fungsi :
1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dan bimbingan teknis pembinaan masyarakat;
2. Penyiapan bahan pelaksanaan kegiatan pembinaan masyarakat;
3. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan pembinaan masyarakat.
Seksi Perlindungan Masyarakat.
Tugas : Seksi Perlindungan Masyarakat dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang mempunyai
tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi bidang Ketenteraman dan Ketertiban di bidang
perlindungan masyarakat.
31

Fungsi :
1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dan bimbingan teknis perlindungan
masyarakat;
2. Penyiapan bahan pelaksanaan kegiatan perlindungan masyarakat;
3. Pelaksanaan monitoring evaluasi dan pelaporan kegiatan perlindungan masyarakat.
 Bidang Pengendalian dan Operasional
Tugas : Bidang Pengendalian dan Operasional dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi Satuan di bidang pengendalian dan
operasional.
Fungsi :
1. Perumusan kebijakan dan bimbingan teknis di bidang pengendalian dan operasional;
2. Pelaksanaan dan pengkoordinasian kegiatan di bidang pengendalian dan operasional;
3. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Bidang Pengendalian dan Operasional membawahkan :
1. Seksi Pengendalian dan Operasional;
2. Seksi Potensi dan Pengerahan.
Kelompok Jabatan Fungsional
Tugas : Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas pokok melaksanakan kegiatan
Satuan secara profesional sesuai dengan keahlian, keterampilan dan kebutuhan.
Fungsi:
1. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah tenaga dalam jenjang jabatan
fungsional yang yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang keahlian
dan keterampilan.
2. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk
diantara tenaga fungsional yang ada di lingkup Satuan Polisi Pamong Praja.
3. Jumlah Jabatan Fungsional ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja.
4. Jenis dan jenjang jabatan fungsional diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
32

Tugas dan Fungsi


Tugas : Satuan dipimpin oleh seorang kepala Satuan yang mempunyai tugas pokok
menegakkan Peraturan Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat serta perlindungan masyarakat.
Fungsi:
1. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakkan Peraturan Daerah, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;
2. Pelaksanaan kebijakan penegakkan Peraturan Daerah dan peraturan Kepala Daerah;
3. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat di daerah;
4. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;
5. Pelaksanaan koordinasi penegakkan Peraturan Daerah dan peraturan Kepala Daerah,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian
negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah dan/atau aparatur
lainnya;
6. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan
menaati Peraturan Daerah dan peraturan Kepala Daerah; dan
7. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
VISI :
Visi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor adalah ”MEWUJUDKAN KOTA BOGOR
YANG AMAN, TERTIB DAN NYAMAN”
MISI :
Meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan Anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang
profesional yang mewujudkan Kota yang aman, tertib dan nyaman
Meningkatkan sarana operasional Satuan Polisi Pamong Praja yang semakin lengkap
Mengembangkan sistem manajemen opersional yang tangguh, cepat dan terpadu untuk
mewujudkan Kota yang aman, tertib dan nyaman.
33

3.3 Fasilitas dan Program


34

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Rincian Pekerjaan


4.1.1 Bentuk Kegiatan Yang Dilakukan Oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor
Secara Teknis Di Bidang Ketertiban Umum Dan Ketenteraman Masyarakat.
Dalam upaya menangani permasalahan ketertiban umum, Pemerintah Daerah Kota
bogor menerbitkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Ketertiban
Umum, melalui Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2006 diatur mengenai Tentang
Ketertiban Umum sebagaimana tersebut dalam BAB II Bagian pertama Pasal 2 bahwa :
“Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan ketertiban umum di daerah”. dan pasal
3 bahwa : Penyelenggaraan ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi :
a. tertib jalan, trotoar, jalur hijau, taman, dan fasilitas umum lainnya;
b. tertib usaha tertentu;
c. tertib lingkungan;
d. tertib sungai, saluran air, dan sumber air;
e. tertib penghuni bangunan;
f. tertib kawasan tanpa rokok;
g. tertib minuman beralkohol;
h. tertib susila;
i. tertib sosial’.
Sesuai dengan tugas Satpol PP yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bogor
Nomor 8 Tahun 2006, tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Bogor berkaitan dengan penegakan Perda serta penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketenteraman Masyarakat, yang sesuai dengan tugas dan fungsi :
1. Memimpin pelakasanaan tugas Seksi Pembinaan Ketentraman Ketertiban.
2. Menyusun rencana kerja Seksi Pembinaan Ketentraman Ketertiban.
3. Mendistribusikan pekerjaan dan memberi petunjuk pelaksanaan tugas kepada
bawahan.
4. Membimbing, mengendalikan dan mengevaluasi hasil kerja bawahan dalam upaya
35

meningkatkan produktivitas kerja.


5. Menyusun konsep kebijakan teknis, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis di bidang pembinaan ketentraman ketertiban.
6. Menyusun konsep naskah dinas yang berkaitan dengan Seksi Pembinaan Ketentraman
Ketertiban.
7. Melaksanakan sosialisasi Peraturan Daerah yang memuat sanksi pidana Para Kepala
Seksi Ketentraman dan Ketertiban Kelurahan, Kecamatan se-Kota Bogor dan
Masyarakat.
8. Melaksanakan operasi atau razia anak jalanan, gelandangan dan pengemis.
9. Melaksakan monitoring terhadap tempat tempat hiburan, café, Club music/music live,
10. music center, night club, rumah billiard dan lain lain.
11. Menyiapkan kelengkapan pelaksanaan Upacara Hari Ulang Tahun Satuan Polisi
Pamong Praja, Peringatan Hari Hari Besar Nasional(PHBN).
12. Menghimpung, mengolah dan menganalisis data ketentraman dan ketertiban.
13. Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan seksi Pembinaan
Ketentraman Ketertiban.
14. Menyusun konsep Standar Operasional Prosedur (SOP), Standar Pelayanan(SP) dan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Seksi Pembinaan Ketentraman Ketertiban.
15. Menyusun RKA dan DPA serta melaksanakan DPA.
16. Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait.
17. Memberikan saran pertimbangan kepada atasan.
18. Menyusun laporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan seksi Pembinaan
Ketentraman Ketertiban.
19. Melaksakan tugas dinas lainnya.

4.1.2 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Satuan Polisi Pamong Praja Dalam


Melaksanakan Tugas Dibidang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat.
Kendala internal adalah minimnya personil Satpol PP Dibidang Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat yaitu 6 orang. Sementara jumlah personil sebanyak ini tidak sepadan
dengan tuntutan lapangan yang sangat besar. Kendala lainnya yang tergolong internal adalah,
lemahnya sarana prasarana penunjang operasional. Masih rendahnya SDM yang dimiliki oleh
36

personil Satpol PP, adalah juga sangat memengaruhi kinerja Satpol PP Kota Bogor. Dari
jumlah itu, sekitar 58%, yakni 80 orang berpendidikan tidak sarjana atau tamatan SLTA. Juga
25%, dari jumlah itu, yakni sebanyak 27 orang adalah Pegawai Tidak Tetap (PTT). Hal ini
disebabkan karena belum adanya rekruitmen khusus personil Satpol PP dan belum adanya
sekolah khusus Satpol PP. Selain itu, lemahnya sarana prasarana penunjang operasional
adalah juga kendala internal yang dialami.
Kendala eksternal saya kira adalah belum terjalinnya koordinasi yang baik antara
SKPD-SKPD dengan Satpol PP. Satpol PP dipandang hanya sebagai pengawal saja. Ini sikap-
sikap skeptis bukan saja dari masyarakat biasa, tetapi dari SKPD yang ada. Selain itu saya
pikir adalah terdapatnya rasa kurang senang masyarakat terhadap Satuan Polisi Pamong Praja
yang kadangkala memperlihatkan sikap permusuhan.

4.2 Rincian Kegiatan yang dilakukan

4.3 Analisis Kompentensi


37

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Setelah penulis memaparkan bab demi bab dalam tulisan ini, dan berdasarkan hasil
penelitian dan analisa masalah yang ada, penulis berkesimpulan, bahwa:
1. Pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja di Bidang Ketertiban Umum dan
Ketenteraman Masyarakat Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8
Tahun 2006 adalah Melaksanakan operasi atau razia anak jalanan, gelandangan
dan pengemis, Melaksakan monitoring terhadap tempat tempat hiburan, café, Club
music/music live, dan meningkatkan tata kehidupan Kota Bogor yang tertib,
teratur, nyaman, tenteram, serta berdisiplin, yang mampu melindungi warga kota,
serta sarana dan prasarana kota dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketenteraman Masyarakat.
2. Kendala-kendala yang dihadapi Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan
tugas di bidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2006 adalah kendala internal dan
kendala eksternal sedangkan upaya yang dilakukan dalam menghadapi kendala-
kendala tersebut adalah melakukan pembinaan internal secara intensif, yaitu
mengadakan penyuluhan-penyuluhan internal dan pelatihan, serta pendidikan,
meski masih kurang memadai dan memperbaiki image (citra) Polisi Pamong Praja
di mata masyarakat yaitu dengan menerapkan Standar Operasional dengan
semestinya dan menghindari konflik.
5.2 Saran
Bertitik tolak dari pemaparan di atas, dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Satuan Polisi Pamong Praja harus berwibawa dan simpatik, sehingga image terhadap
Satuan Polisi Pamong Praja sebagai penegak Peraturan Daerah, penyelenggara
Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat tidak miring, dalam arti semakin
disegani dan dipandang oleh masyarakat.
38

2. Satuan Polisi Pamong Praja agar bekerja sesuai dengan Standar Operasional yang telah
digariskan dan tidak melenceng dari Prosedur yang telah ditetapkan.
3. Satpol PP semakin meningkatkan kualitas pelayanannya dan kapabilitas diri, baik
institusi maupun individu. Pemulihan citra diri Satpol PP adalah beban moral dan
tanggung jawab Satpol PP itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai