Sistem muskuloskeletal dalam perspektif Islam dilihat sebagai bagian penting dari
anugerah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan dengan penuh kehormatan. Menurut
ajaran Islam, tubuh manusia merupakan karunia Ilahi yang harus dijaga, dihormati, dan
dirawat dengan baik. Oleh karena itu, sistem muskuloskeletal, yang menjadi kerangka utama
tubuh manusia, memegang peran yang sangat penting dalam menjaga keselamatan dan
kesehatan seseorang. Islam juga menekankan pentingnya menjaga kesehatan fisik sebagai
bagian dari ibadah kepada Allah, karena tubuh yang sehat memungkinkan seseorang untuk
melaksanakan kewajiban agamanya dengan lebih baik.
Selain itu, ajaran Islam mendorong umatnya untuk aktif bergerak dan berolahraga
secara teratur untuk menjaga kebugaran fisik. Etika Islam juga memandang bahwa
pengobatan dan perawatan terhadap gangguan muskuloskeletal harus dilakukan dengan
penuh kasih sayang, keadilan, dan empati terhadap pasien, serta dengan menjunjung tinggi
norma-norma moral dan etika dalam setiap tindakan medis. Dengan demikian, dalam
perspektif Islam, sistem muskuloskeletal tidak hanya dipahami sebagai struktur fisik yang
kompleks, tetapi juga sebagai bagian integral dari keberadaan manusia yang harus
diperlakukan dengan hormat dan perawatan yang memadai sesuai dengan ajaran agama.
(Nurcholis 2021)
Fisiologi tubuh manusia, yang mengacu pada fungsi dan mekanisme kerja sistem
biologis dalam tubuh, termasuk organ, sistem saraf, sistem hormonal, dan metabolisme,
dilihat dalam perspektif Islam sebagai bagian dari konsep fitrah. Fitrah ini menggambarkan
keadaan alami atau kodrat manusia yang diciptakan oleh Allah, menekankan bahwa tubuh
manusia adalah anugerah yang harus dijaga dengan baik. Al-Qur'an menekankan pentingnya
menjaga tubuh sebagai amanah dari Allah, menggarisbawahi bahwa tubuh harus dijaga dan
tidak boleh disia-siakan. Perspektif Islam tentang fisiologi tubuh manusia juga mencakup
aspek sosial dan lingkungan, di mana menjaga kesehatan tubuh berarti juga menjaga
lingkungan dan masyarakat agar tetap sehat. Dengan demikian, Islam menekankan
pentingnya menjaga kesehatan tubuh sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah, serta
memperhatikan hubungan antara tubuh, lingkungan, dan masyarakat dalam mencapai
kesehatan yang holistik.(Azzuhriyyah and Soleh 2023)
Konsep biologi sel dan genetika juga dapat dilihat dalam konteks Al-Qur'an, dengan
mencerminkan sifat rumit dan sistematis organisme hidup. Ayat-ayat Al-Qur'an dapat
ditafsirkan sesuai dengan konsep biologi seluler dan genetik, menyoroti penciptaan dan
pengorganisasian makhluk hidup serta pewarisan sifat dan keanekaragaman genetik. Islam
juga menggarisbawahi pentingnya keseimbangan dan moderasi dalam segala aspek
kehidupan, yang sejalan dengan konsep homeostatis dalam fisiologi manusia. Konsep
"Mizan" atau keseimbangan dalam Islam mencerminkan prinsip homeostatis dalam sistem
biologis, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam segala aspek kehidupan
untuk mencapai kesejahteraan fisik, mental, dan spiritual. Oleh karena itu, pandangan Islam
tentang fisiologi tubuh manusia dan konsep-konsep ilmiah seperti biologi seluler, genetika,
dan homeostatis saling melengkapi, menciptakan pemahaman yang holistik tentang kesehatan
dan kesejahteraan manusia.
Integrasi antara sistem muskuloskeletal (sistem kerangka dan otot) dengan prinsip-
prinsip Islam mencakup berbagai aspek yang meliputi pemahaman tentang kesehatan fisik,
spiritual, dan etika. Ini bisa menjadi kombinasi antara ilmu kedokteran modern dan nilai-nilai
yang terdapat dalam ajaran Islam sebagai berikut:
Daftar Pustaka
Asrul, Nur Al Marwah, Muhammad Al Qadri Burga, and Taufiq Al Islam Asrul. 2023.
“Peningkatan Kesadaran Spiritual Mahasiswa Melalui Pemahaman Fisiologi Tubuh
Manusia Pada Mata Kuliah Ilmu Biomedik Dasar:” Al-Musannif 5 (2): 125–34.
Azzuhriyyah, Imroatus Sholikha, and Achmad Khudori Soleh. 2023. “KONSEP MANUSIA
SEBAGAI AL-BASYAR DALAM AL-QUR’AN.” Qolamuna : Jurnal Studi Islam 8
(2): 94–107. https://doi.org/10.55120/qolamuna.v8i2.740.
Nurcholis, Moch. 2021. “Integrasi Islam Dan Sains: Sebuah Telaah Epistemologi.”
FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman 12 (1): 116–34.