Anda di halaman 1dari 18

BAB III

UNSUR INTEREN DAN EKSTERN

DALAM NOVEL “TEMBANG LARA”

3.1 Biografi Pipiet Senja

Pipiet Senja nama pena dari Etty Hadiwati Arief. Ia dilahirkan di

Sumedang, 16 Mei 1957, dari pasangan Hj. Siti Hadijah dengan alm.

SM.arief, seorang putri sulung dari tujuh bersaudara ini sejak kecil sering

sakit-sakitan. Bahkan, sejak kelas 5 SD hingga sekarang, secara berkala terus

menjalani transfusi darah (Thallesmia). Pada umur 17 tahun, dia divonis

dokter hanya bisa hidup tiga bulan lagi. Selain Thallesmia di juga mengalami

komplikasi penyakit seperti tipus, paru-paru, dan liver.

Inspirasi yang dia dapatkan lansung dituangkan dengan menulis. Dia

juga sering menulis melalui perasaan dan pengalamannya sendiri. dengan

penyakitnya itu ia sering bersyukur, karena dengan begitu ia bisa menjadi

penulis seperti sekarang. Di samping itu menulis baginya bisa menjadi obat

atau terapi yang menyehatkan dirinya.

Pipet Senja yang menikah dengan Drs. H.E. Yassin Sirigar, telah

dikaruniai dua orang anak yakni: MK. Haekal (23th) dan Adzimattinur

Siregar (15th). Mereka berdua mengikuti jejak Ibunya sebagai seorang

penulis dan aktifis forum lingkar pena. Kini Teh Pipiet (nama panggilannya )

tinggal di Depok Jakarta berserta keluarga.

38
39

Pada tahun 1975, Pipiet Senja mulai menulis yang saat itu berusia

21tahun, telah mengahasilkan karya yang dibukukan seperti novel perdananya

Biru Yang Biru (1978), dan novel lainnya Sepotong Hati Di Sudut Kamar

(1980) Nyayian Pagi Lautan, Serenada Cinta (1981), Mawar Elok Rimba

Tampomas (1982), dan lainnya.

Pada tahun 1984 Pipiet Senja bergabung dengan Forum Lingkar

Pena, ia merupakan penulis yang produktif, oleh Helvy Tianarosa, ia digelari

penulis prolifik. Karena ia tetap konsisten penulis dalam bahasa karuhunnya,

Sunda. Banyak karya-karya yang telah ditebitkan dengan bahasa Sunda

melalui majalah Mangle, Harian Gala, dan Galura.

3.2 Deskripsi Novel

Novel “Tembang Lara” tampil dalam bentuk buku dengan ukuran

panjang 17,5 cm dan tebal 1,5 cm, serta terdiri dari 264 halaman. Halaman 1-

6 memuat tulisan basmalah, UU hak cipta, cover dalam dan daftar isi. Cerita

ini dimulai pada halaman 7 berakhir pada halaman 261. halaman 262-263

berisi biografi penulis, sedangkan 264 berisi tentang koleksi buku-buku novel

Islami terbaru yang diterbitkan oleh penerbit gema insani.

Cover luar dari novel “Tembang Lara” ini tampil dengan cover

bergambar tokoh utama novel, mulai ia kecil, remaja, hingga dia dewasa

menjadi seorang pelukis dengan memakai jilbab. Ilustrasi tokoh utama ini

digambarkan dengan ekspresi wajah kecilnya yang pucat, penuh dengan

ketakutan, berbeda dengan ekspresi wajahnya ketika ia dewasa, dia begitu


40

tenang dan bersinar serta ekspresi wajah ketika ia sukses digambarkan dengan

balutan jilbabnya, ia terlihat begitu lebih tenang dan sejuk dipandang,

walaupun pada ilustrasi wajah kelihatan pucat namun itu yang akan

memberikan kesan kepada pembaca mengenai karakter tokoh utama. Ilustrasi

gambar tersebut akan memberikan gambaran kepada pembaca mengenai

sosok seorang perempuan yang mandiri dalam menghadapi cobaan hidup

(penderitaan).

Dalam tulisan judul “Tembang Lara” ditulis dengan huruf sambung

berwarna kuning dengan gaya formal. Tulisan ini dimaksud untuk

mendukung ilustrasi tokoh utama, sehingga tulisan ini dapat menjadi center of

interest bagi pembaca.

Pada cover terdapat kombinasi warna keseluruhan yang terdiri dari

warna biru tua, yang menjadi dasar warna dengan gambar daun-daunnan

warna hijau tua, warna kuning menjadi warna pada tulisan judul dan warna

putih pada tulisan nama pengarang, sehingga antara nama pengarang dengan

gambaran ilustrasi tokoh utama dapat memberikan kesan lembut dan tidak

mencolok. Kesan lembut tersebut itulah yang akan membuat para konsumen

tertarik untuk membeli dan membacanya.

3.3 Sinopsis

Arestia terus dirundung penderitaan, pada umur lima tahun ia sudah

divonis menderita “Tallasemia” atau kelainan darah bawaan. Penyakit yang

belum ada obatnya itu, ia hanya mengandalkan transfusi darah tiap 2-3 bulan
41

sekali. Penyakit itu juga yang telah merenggut kehidupan kakak-kakaknya

(Dewi, Ratih dan Ratnani). Menginjak ia dewasa dan menikah dengan Binsar,

seminggu kemudian ayah dan ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan

ketika pulang dari seminar.

Binsar, suami yang sangat dicintainya, ternyata menikahinya hanya

untuk balas dendam, karena Arestia orang satu-satunya yang masih hidup dari

pihak keluarganya. Binsar semakin kasar dan sering menganiaya Arestia,

bahkan Binsar sampai menuduh Arestia yang tidak tahu apa-apa dituduh

membunuh mertuanya sendiri.

Penderitaan yang bertubi-tubi itu belum juga membukakan hati Arestia

untuk memahami apa rencana Allah dibalik penderitaan yang tiada hentinya

itu. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menetap di lingkungan pesantren.

Dalam beberapa minggu saja, hidup diantara para santri telah membuka

ketertutupan dirinya selama ini. Dia mulai belajar mengaji dan mengerjakan

perintah Allah dengan rutin dan baik.

Hidayah itu telah sampai ke dalam kalbu Arestia, sejak saat itu Arestia

merasa banyak diberkahi oleh Sang Khaliq. Dia telah memberi banyak

kesempatan kepadaku untuk menaikan ibadah puasa dengan nikmat,

melahirkan anak secara alami dan selamat serta berhasil meluluhkan hati

suaminya untuk bertobat dan memaafkan segala kesalahan suaminya.

3.4 Kritik Intern Novel “Tembang Lara” karya Pipiet Senja

3.3.1 Tema dan Amanat


42

Tema suatu cerita yang hanya dapat diketahui dan ditafsirkan

setelah membaca ceritanya, serta menganalisisnya. Hal itu dapat

dilakukan dengan mengetahui alur cerita dan dialog-dialognya, karena

unsur yang satu dengan yang lainnya saling bersangkutan, maka

diperlukan ketajaman berfikir, untuk menemukan tema atau pokok

persoalan tersebut (Nurgiyantoro, 1998 : 66).

Pada novel “Tembang Lara” terdapat masalah-masalah yang

ditampilkan, seperti :

a. Masalah keluarga penderita Tallasemia

Masalah keluarga ini dalam novel diceritakan melalui

tokoh Masayu yang menikah dengan dr. Faris (penderita

Tallasemia) dan memiliki empat putri (Dewi, Ratih, Ratnani, dan

Arestia). Keempat putrinya juga menderita Tallasemia. Putri

pertama dan kedua meninggal dan putri ketiganya terbaring tak

berdaya, seperti terdapat dalam kutipan berikut :

“Tallasemia…, kenapa hanya putri-putriku yang tak berdosa ini,


mbak Nis ?. Tuhan seolah belum puas, setelah mengambil Dewi
dan Ratih dari pelukanku. Apa dia mau ambil Ratnani juga ? Duh,
mbak … Derita ini, laraku ini tak tertahan lagi, hikks !’ (hlm 11).

b. Masalah kawin bersyarat

Demi membahagiakan putrinya (Arestia), putri yang

tinggal satu-satunya, Masayu dan Faris mencarikan pasangan

hidup, namun apa yang terjadi bukan kebahagiaan tapi

penderitaan yang dialami. Seperti dalam kutipan berikut :


43

“Kami ingin bikin kesepakatan denganmu anak muda” kata Faris


tanpa tandang aling-aling. “Kalau kamu ingin menperistri putri
kami, kamu akan mendapatkan banyak kesenangan. Ini kunci
sebuah rumah dan mobil” (hlm.112).

c. Masalah Cinta

Arestia selalu memaafkan suaminya yang telah berbuat

kasar dan menganiaya, karena rasa cinta dan sayang itulah yang

meluluhkan hatinya untuk memaafkan, seperti dalam kutipan

berikut:

“Aku menyesali sikapku kepadamu tempo hari itu. Aku tak kan
menggulanginya lagi. Tolong, berilah kesempatan kepadaku
untuk menjadi suami yang baik…”. Arestia yang begitu rapuh dan
kepercayaan yang kuat, langsung luluh dan ikut kepada suaminya
(hlm. 135).

Dari masalah-masalah di atas dapat diketahui bahwa

pokok persoalan atau tema pada novel “Tembang Lara” adalah

kemandirian seorang penderita Tallasemia dalam menghadapi

penderitaan yang bertubi-tubi dalam hidupnya. Sedangkan ajaran

atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca

adalah pesan-pesan yang menyangkut masalah keagamaan

(agama Islam) yaitu bahwa seorang penderita Tallasemia dengan

penuh ketabahan dan kesabaran menghadapi cobaan hidup. Hal

ini tampak dalam novel, penulis menceritakan tokoh utama

Arestia dengan penyakit yang dideritanya tetap gigih

mempertahankan keimanannya. Seperti dalam kutipan berikut:

“Netty menyekap Arestia dalam gudang. Seorang lelaki


menyiramkan seember air dingin kewajah Ariesta”
44

“Hhhh, hehh, heepp……”, Arestia gelagapan sulit bernafas.


“Kenapa nggak sekalian minum, hemm? Puasa, ya? Alaah jangan
alimlah di sini. Ayo boy. Paksa minum dia!”.
“Ariestia berusaha keras mengatupkan mulutnya rapat”.
“Ya Allah, kuatkanlah hamba-Mu yang dhoif ini, jeritnya dalam
hati” (hlm.230).
3.3.2. Penokohan

Dalam novel “Tembang Lara” digambarkan jelas oleh

pengarang dengan menampilkan tokoh utama “Arestia”, karena

karakter inilah yang paling dominan mewarnai dari awal sampai akhir

cerita, selain itu novel ini juga menceritakan tentang penderitaan

Arestia dalam menjalani kehidupannya.

Seorang tokoh utama tidak dapat berdiri sendiri atau berlaku

sendiri tanpa kehadiran tokoh lain (Sugihastuti dan Suharto, 2002 :

136). Oleh karena itu di dalam novel “Tembang Lara” pun dihadirkan

tokoh-tokoh lain agar cerita terasa benar-benar hidup. Tokoh itu

antara lain Masayu, Faris, Dewi, Ratih, Ratnani, Binsar, Imelda,

Ruhut, Sirait, Prof. Hilmi, Mang Diman, Bibi Kiyah, Bang Tigor,

Mayor Bayu Pratama, Aliet, Iqbal, Yani, Intan, Kyai Yusuf, Ummi

Saidah dan Ibu Mariam. Ada pula tokoh yang tidak disebut namanya

secara langsung seperti laki-laki, Mamak, Suster, Teteh, Bapak.

Watak tokoh dalam cerita ini sebagian dideskripsikan,

diuraikan dan dijelaskan secara langsung, dibaca berulang-ulang agar

dapat diketahui karakter tokoh tersebut. Watak tokoh yang diuraikan

secara langsung dalam cerita ini adalah Binsar dan Arestia , seperti

dalam kutipan berikut :


45

“Suami neng itu orangnya nggak pedulian, angkuh dan kasar. Dia
sering cari gara-gara dengan pemuda disini …..”arestia tak
menggubrisnya.
“Heh kamu perempuan sial!” hardiknya sambil mendoronr dada
arestia kuat-kuat, hingga terjengkang kepalanya membentur tembok”.
(hlm 120)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Binsar lelaki yang dicintai dan

dinikahinya adalah lelaki yang kasar, brutal, dan tidak

berperikemanusiaan, sedangkan Arestia adalah seorang perempuan baik

hati dan penderita Tallasemia yang mandiri dan tegar seperti kutipan

berikut:

“Nanti alatnya lepas nih, Bang! “


“Alat desferal yang menempel diperutnya akhirnya copot juga. Darah
pun mengucur kemana-mana. Binsar tak menggubrisnya. Dia terus
menggelandangnya menuju pelataran parker. Sambil membetulkan
desferalnya, akhirnya berhasil.“ (hlm.153)

3.3.3. Plot atau Alur

Plot atau alur adalah jalan cerita yang berupa peristiwa-

peristwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut

hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita (Sumarjono dan

Saini, 1983: 89) dari pengertian tersebut jelas bahwa peristiwa tidak

berdiri sendiri. Peristiwa yang satu akan menimbulkan peristiwa yang

lain, peristiwa lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa

berikutnya dan seterusnya.

Dalam novel “Tembang Lara “, Pipiet Senja menggunakan

alur maju, yaitu alur yang susunannya mulai dari peristiwa pertama,

kedua, ketiga dan seterusnya sampai cerita berakhir (Sumarjono dan


46

Saini, 1983: 92). Adapun alur dalam novel ini disusun sebagai

berikut:

1. Hlm. 7 – 24 : Arestia dan ketiga kakaknya menderita

“Tallasemia” atau kelainan darah bawaan.

2. Hlm. 25 – 35 : Binsar dan keluarganya dari Batak, datang ke

Jakarta untuk menetap.

3. Hlm. 36 – 51 : Arestia enggan pergi ke Sekolah karena sering

diejek teman-teman dan tetangga di lingkungannya

tinggal.

4. Hlm. 52 – 55 : Kakak Arestia (Ratnani) tidak mau dioperasi

ginjalnya

5. Hlm. 56 – 59 : Binsar bertemu abang Tigar di Jakarta yang

bekerja jadi sopir angkot.

6. Hlm. 60 – 64 : Binsar membawa adiknya (Imelda) ke rumah sakit,

karena sakit demam berdarah dan membutuhkan

banyak darah golongan AB.

7. Hlm. 65 – 69 : Ibu Arestia (Masayu) memberikan kantong darah

AB kepada mamaknya Binsar.

8. Hlm. 70 – 78 : Ratnani meninggal, setelah meminta dibawa pulang

ke rumah.

9. Hlm. 79 – 96 : Arestia merayakan Ultah ke – 25 dan berkenalan

dengan Binsar yang telah menjadi sopir taksi.

Arestia jatuh cinta padanya.


47

10. Hlm. 97 – 106 : Arestia pergi ke Yayasan Tallasemia untuk

transfusi darah diantar oleh Binsar

11. Hlm.107 – 111 : Binsar melamar Arestia di hadapan keluarganya

dan kedua oang tua menerima lamarannya.

12. Hlm. 112 – 113 : Orang tua Arestia membuat perjanjian kesepakatan

dengan Binsar apabila ia menikah dengan putrinya

dan menjadikan istri yang baik, ia akan

mendapatkan apa yang diinginkannya dan Arestia

pun melangsungkan pernikahannya.

13. Hlm.114 – 117 : Arestia mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya

meninggal dalam kecelakaan, sepulang dari

seminar.

14. Hlm. 118 – 121 : Pegawai bank menyita rumah peninggalan orang

tuanya untuk membayar hutang yang ditinggalkan

orang tuanya. Arestia-pun mengikuti suaminya

tinggal di kontrakan rumah

15. Hlm. 122 – 133 : Binsar berubah menjadi kasar, dan sering

menganiaya Arestia.

16. Hlm. 134 – 143 : Arestia melarikan diri ke Magelang dan Binsar

menemukannya dan mengajaknya pulang dengan

ramah.

17. Hlm. 144 – 153 : Binsar melarang Arestia untuk tranfusi darah dan

menyuruh menggugurkan kandungannya


48

18. Hlm. 154-156 : Binsar dan Netty di grebeg warga, dan diusir dari

kontrakannya,karena kelakuan tak bermoralnya.

19. Hlm. 157- 163 : Binsar memaksa arestia bekerja menyanyi di kafe-

kafe malam untukmenghidupi kebutuhan sehari-

harinya

20. Hlm. 164 -179 : Arestia tinggal bersama mertuanya yang kasar dan

galak. Ia sering memperlakukan Arestia seperti

seorang tahanan.

21. Hlm.180 – 187 : Arestia tak tahan dengan mertuanya dan ia

memilih tinggal di Villa puncak, satu-satunya

peninggalan orang tuanya yang ada. Di Villa ia

berhasil membuat lukisan-lukisan dengan tenang.

22. Hlm.188 – 196 : Perangai Binsar dan Netty yang kasar, datang ke

Villa dan menganiaya Arestia. Akhirnya ia

menetap di pesantren dan menemukan ketenangan

serta kedamaian di situ.

23. Hlm.197 – 212 : Mertua Arestia meninggal. Binsar menuduh Arestia

yang telah membunuhnya.

24. Hlm. 213 – 219 : Arestia berpuasa di bulan Ramadhan untuk pertama

kalinya dalam hidupnya. Kini lebih tekun untuk

beribadah dan menjadi muslimah yang baik.

25. Hlm. 220 -247 : Binsar dan Netty mencari Arestia di Pesantren dan

menyekapnya dalam gudang.


49

26. Hlm. 248 – 253 : Polisi menyergap Netty dan komplotannya, Netty

mati tertembak dan Binsar dimasukkan penjara

untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

27. Hlm. 254 – 261 : Binsar menyadari kesalahannya yang menuduh

Arestia dan meminta maaf dan Arestia

memaafkannya, serta ia menunggunya sampai

keluar dari penjara.

3.5 Latar (Setting)

Latar atau setting merupakan penggambaran situasi tempat dan waktu,

serta suasana terjadinya peristiwa. Unsur yang dapat dibedakan ke dalam

unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walaupun

masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan pada

kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang

lainnya (Nurgiyantoro, 1998 : 227)

Dalam novel “Tembang Lara” terdapat berbagai unsur latar tersebut

diantaranya :

a. Latar Waktu

Latar waktu dapat memberikan penjelasan mengenai masa atau

zaman terjadinya cerita. Penggunaan waktu dalam novel “Tembang Lara”

ini dengan menyebutkan waktu seperti, dua puluh tahun kemudian,

seminggu berlalu, malam, pagi, siang. Gambaran tersebut setelah

pernikahan mereka”.
50

“Seminggu berlalu setelah pernikahan mereka”.


“Arestia mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya meninggal
dalam kecelakaan sepulang dari seminar”. (hlm. 113)
“Malam itu, ambulans telah disiapkan untuk mengangkut Ratnani
pulang” (hlm. 65)
“Si Big Bos pada malam ke-27 Bulan Ramadhan, diciduk aparat
polisi di sebuah kafe”. (hlm. 238)

b. Latar Tempat

Latar tempat dapat berupa lokasi terjadinya cerita. Dalam novel

“Tembang Lara” terdapat beberapa latar tempat seperti, kafe, villa, rumah

sakit, kuburan, yayasan Tallesemia dan ruangan. Selain itu dalam novel

ini juga disebutkan nama kota, seperti Jakarta, Magelang, Cipanas, Bogor

dan Batak.

“Pemandangan di sebuah rumah sakit hampir seragam selalu


mengesankan tersibukkan para medis, lalu lalang para pengunjung,
wajah resah para pengantar, dan keluh kesah para pasien. Semua
mengesankan kemuraman, menyimpan tragedi manusia”.(hlm. 21)

Kutipan di atas menggambarkan sebuah pemandangan di rumah

sakit yang begitu mengerikan. Di bawah ini kutipan yang

menggambarkan tempat dimana Arestia biasa melakukan transfusi

darahnya.

“Di sebuah ruangan khusus transfusi. Diantara anak-anak yang


sedang di transfusi, tampak Arestia memasuki ruangan.
Dibelakangnya ada 5 gadis sesama penyandang Tallasemia” (hlm.
97).

Di samping itu juga terdapat kutipan tentang tempat pemakaman

kedua orang tua Arestia dimakamkan. Ia merasakan kesedihan yang

dalam, karena ditinggalkan oleh orang yang sangat ia cintai.

“Proses pemakaman di Tanah Kusir, siang hari”.


51

“Wajah Arestia bersimbah air mata. Ia hamper tak mampu


menjejakkan kaki-kakinya ke bumi. Melepas jenazah kedua orang
yang amat mengasihi dirinya, baginya merupakan hal yang amat
memilukan” (hlm. 114).

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa latar

sangat diperlukan untuk mendukung unsur-unsur instrinsik yang lainnya

seperti tokoh dan penokohan, sehingga dapat menjadi suatu karya sastra

yang estetik.

c. Latar Sosial

Latar sosial merupakan penggambaran keadaan masyarakat atau

kelompok sosial tertentu, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada suatu

tempat, dan waktu tertentu, pandangan hidup, sikap hidup, adat istiadat

dan sebagainya (Nurgiyantoro, 1998 : 233).

Latar sosial yang ada dalam novel “Tembang Lara” ini adalah

mengenai sikap hidup. Hal ini digambarkan pada kisah keluarga Binsar

yang berasal dari Batak, dimana Imelda adik Binsar tidak memiliki

pandangan hidup seperti kakak dan ibunya. Orang batak yang perangai

biasanya galak, kasar dank eras, tidak tampak pada sifat Imelda seperti

dalam kutipan berikut:

“Selama ini Imelda sering berbantahan dengan abang dan ibunya.


Mereka sering berbeda pendapat, tapi biasanya Imelda mengalah.
Tidak mau lama-lama ribut dengan keluarganya”. Tapi kali ini ia
menggugat abangnya. “Abang ini sudah jadi suami belian! apa
abang tak punya malu, harga diri dan kehormatan lagi ? He,
dimana Bang Binsar yang dulu ku kenal ?”. (hlm. 165).
52

3.3.5 Judul

Judul adalah cerminan keseluruhan tulian-tulisan . dalam

novel “Tembang Lara” judul tersebut mencerminkan sebuah

penderitaan seseorang yang akan mengingatkan pada nyanyian-

nyanyian yang memilukan. Karena awal penderitaan dimulai

setelah ia menyanyikan lagu yang terakhir di sebuh restoran

mewah atas permintaan kedua orang tuanya, sebelum meninggal.

3.3.6 Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view adalah cara pandangan

yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,

tindakan dan latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita

dalam sebuah karya fiksi pada pembaca (Nurgiyantoro, 1998: 128).

Sudut pandang itu sendiri menurut Nurgiyantoro (1998: 266) dapat

dibedakan menjadi tiga yaitu :

a. Pengarang sebagai pelaku, pengarang seolah-olah menjadi

pelaku dalam cerita itu, kemudian dia bercerita tentang

berbagai peristiwa yang dialaminya. Kata ganti yang digunakan

adalah kata ganti orang pertama, seperti saya, aku, kami, kita.

b. Pengarang sebagai penonton, pengarang ini menempatkan diri

sebagai penonton, ia seolah-olah melihat para tokoh mengalami

berbagai peristiwa, kemudian ia menceritakannya. Kata ganti

yang digunakannya adalah kata ganti orang ketiga, seperti; dia,

mereka.
53

c. Pengarang serba tahu atau campuran, di sini pengarang

menempatkan diri sebagai orang yang serba tahu, serba melihat

dan serba mendengar peristiwa yang dialami pelaku. Pengarang

berada di luar cerita.

Dalam hal ini novel “Tembang Lara” pengarang (Pipiet

Senja) menempatkan diri sebagai orang yang serba tahu, walaupun

ia sendiri seorang penderita Tallasemia. Dia tidak mau menjadikan

dirinya sebagai tokoh utamanya, tetapi dia menampilkan tokoh

utama dengan nama “Arestia”.

3.3.7 Gaya Bahasa

Unsur-unsur kebahasaan dalam suatu novel merupakan

sumber bahan yang cukup luas untuk dipelajari. Unsur-unsur yang

perlu dipelajari itu antara lain meliputi : dialek, register, idiolek

personal dan sebagainya yang dipakai oleh si penulis di dalam

sebuah novel. Untuk mendeskripsikan dan membuat definisi di

dalam novelnya, biasanya penulis menggunakan pola kebahasaan

yang seragam dari awal sampai akhir. Pola kebahasaan ini biasanya

sangat dipengaruhi oleh kepribadian pengarang. Akan tetapi untuk

menuliskan bentuk narasi atau cakapan langsung, penulis sering

memodifikasikan pola kebahasaan untuk merefleksikan pikiran-

pikiran dan perasaan dari perwatakan khusus pada saat yang

khusus pula (Brahmanto, 1996: 74).


54

Dalam hal ini bahasa yang digunakan dalam novel

“Tembang Lara”, karya Pipiet Senja menggunakan bahasa, yaitu

percampuran antara bahasa Indonesia, Batak, Sunda, Arab dan

Jawa. Meskipun bahasa yang digunakan secara keseluruhan bahasa

Indonesia, namun terdapat selipan-selipan bahasa yang lain,

misalnya bahasa Indonesia dengan Batak seperti dalam kutipan

berikut :

“Benar” begitu Amang ?


“Perintah aku terima dari Tolang Soritua, memang
begitulah katanya…….” (hlm. 26).

Dalam bahasa Batak, kata Amang berarti sebutan untuk

anak laki-laki dan Tulang Soritua berarti sebutan untuk bapak

mertua atau sekedar sebutan kehormatan pada lelaki tua.

Selain itu juga terdapat selipan bahasa Sunda, seperti

“Mangga, mangga we teras ka luhur …..” (hlm. 217).

Kalimat di atas yang berarti, silakan – silakan terus saja ke atas.

“Lelaki ……….. si atah adol we tamah !” (hlm. 205).

Kalimat tersebut sebuah ungkapan makian yang berarti kurang ajar.

Dalam novel juga terdapat salipan bahasa Jawa seperti :

“Nuwun nggih ……..”


“Sekarang mbak sudah mau curah hati, ya kan ?” (hlm. 131)

kata tersebut biasa diungkapkan oleh orang Jawa untuk

mempersilahkan orang yang baru dikenalnya, dengan cara nuwun

nggih yang berarti mohon maaf.


55

Dalam novel selain bahasa yang telah disebutkan di atas

juga terdapat bahasa Arab. Namun bahasa Arab yang digunakan

dalam hal ini sifatnya hanya kepada ungkapan seperti

Assalamu'alaikum, Wa’alikum Salam, puji-pujian (Alhamdulillah,

Subhanallah, dan lain-lain) dan Istighfar “Astaghfirullah”.

Anda mungkin juga menyukai