PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan hasil cipta pengarang yang berisi tentang kehidupan manusia.
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, difahami, dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Melalui karya sastra pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan
masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Nurhayati (dalam Umi 2018:1)
mengemukakan bahwa karya sastra dapat diibaratkan sebagai potret kehidupan sebagai hasil
kreasi manusia yang di dalamnya terkandung pandangan-pandangan pengarangnya (dari
mana dan bagaimana pengarang melihat kehidupan tersebut). Kehidupan mencakup
hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, dan antar
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Sebuah karya sastra jika hanya dibaca
saja maka tidak akan ditemukan sesuatu yang unik di dalamnya. Untuk lebih mengenal
sebuah karya sastra pembaca harusnya dapat menganalisis dengan kritis karya itu, agar
terlihat keunikan dan keistimewaan karya itu. Namun untuk menganalisis sebuah karya
sastra, pembaca harus memiliki senjata. Senjata itu bisa berupa ilmu yang dapat membedah
isi dari karya sastra. Salah satu ilmu itu adalah kritik sastra.
Kritik Sastra adalah salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan
analisis, penafsiran, serta juga penilaian terhadap teks sastra. Kritik sastra terdapat
bermacam-macam salah satunya adalah Psikologi sastra. Menurut Elysa (2017:2) Psikologi
sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan.
Psikologi sastra merupakan interdisiplin antara psikologi dan sastra. Psikologi dan sastra
merupakan ilmu yang sama-sama membicarakan tentang manusia. Daya tarik psikologi sastra
adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa ke dalam karya sastra. Tidak
hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Maka
dari itu psikologi sastra merupakan ilmu yang mempelajari kejiwaan dalam sebuah karya
sastra.
Membicarakan mengenai sastra yang memiliki sifat imajinasi atau imaji, kita
berhadapan dengan tiga jenis genre sastra, yakni prosa, puisi dan drama. Salah satu jenis dari
prosa adalah Cerpen (cerita pendek). Menurut Endah (2010:126) cerita pendek adalah salah
satu bentuk karya fiksi, memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik peristiwa yang
diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku dan jumlah kata yang digunakan. Perbandingan ini jika
dikaitkan dengan bentuk prosa lain misalnya novel. Cerpen memiliki isi cerita yang pendek,
tetapi mengandung kesan yang dalam dengan mengutamakan kepadatan ide didalamnya.
Menulis sebuah cerpen tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari seorang pengarang.
Seringkali pengarang menggunakan psikologisnya dalam menciptakan sebuah karya sastra.
Dengan mencampur rasa kejiwaan dan perasaan pengarang membuat sebuah karya menjadi
semakin hidup. Seperti dalam cerpen yang berjudul “Biarlah Kau Menjadi Puisiku” karya
Hardi Alunaza. Banyak tersaji aktivitas psikologis di dalamnya. Aktivitas psikologis dalam
cerpen ini sebagai alasan tertarik untuk menganalisisnya lebih dalam cerpen ini, selain itu
judul yang sedikit melankolis juga merupakan alasan mengapa cerpen ini dipilih
Pendekatan Psikologi sastra yang digunakan dalam menganalisis cerpen “Biarlah
Kau Menjadi Puisiku” karya Hardi Alunaza lebih terfokus pada perasaan yang tokoh utama
alami. Menurut Max Scheler (dalam, Simplisius Dioni Resianto 2010: 10-11) berpendapat
bahwa ada 4 macam tingkatan perasaan, yakni 1. Perasaan Indrawi; 2. Perasaan
Vital/Perasaan Hati; 3. Perasaan Psikis; 4. Perasaan Kepribadian. Maka dari itu pada artikel
ini akan membahas mengenai aktivitas psikologis tokoh utama yang berkaitan dengan 4
macam tingkatan perasaan.
PEMBAHASAN
Sinopsis Cerpen “Biarlah Kau Menjadi Puisiku” karya Hardi Alunaza
Cerpen Biarlah Kau Menjadi Puisiku karya Hardi Alunaza SD, diterbitkan pada tahun
2014 ole media online yaitu www.nulisbuku.com. Cerpen ini bercerita tentang seorang
wanita bernama Distia yang hidupnya serasa penuh polemik karena putus berpisah dengan
kekasihnya. Dalam cerpen ini penuh berisi dengan perasaan Distia yang mencoba tegar
menghadapi kehisupanya meski tanpa kekasih. Di awal cerita Distia merasakan kurang
percaya diri dengan dirinya, dia merasa kurang mampu dalam melakukan segal hal, dia selalu
bertanya-tanya mengenai kondisiny yang seperti itu. Selanjutnya Distia memiliki berbagai
keinginan untuk menjadi artis ataupun memiliki keharmonisan hubungan seperti Adam dan
Hawa. Distia sangat frustasi dengan perginya kekasihnya, dia sering melamun dan bersedih.
Tentu saja Distia mencoba untuk lepas dari belenggu kesedihan ini, dia mencoba untuk iklas
meskipun rasa rindu kepada sang kekasih sangat tinggi, dia selalu menyemangati dirinya
sendiri dengan harapan dia bisa melangkah maju. Dia hannya meminta kekasih-kekasihnya
yang lalu untuk menjadi puisinya yang pernah hadir dalam kehidupanya.
Hasil Analisis
Max Scheler dalam Shalahuddin berpendapat ada empat tingkatan perasaan. Empat
tingkatan perasaan itu antara lain perasaan indrawi, perasaan vital/suasana hati, perasaan
psikis, dan perasaan kepribadian (1994: 119). Pada bab ini empat tingkatan perasaan
tersebut akan dibahas lebih lanjut oleh peneliti.
1. Perasaan indrawi
Perasaan indrawi adalah perasaan yang timbul sebagai akibat adanya perangsang-
perangsang jasmaniah (fisik): seperti rangsangan sakit, panas, dingin, berat, harum dan lain
sebagainya. Perasaan ini dapat dilokalisir atau dibatasi, disamping juga dapat ditimbulkan
dengan sengaja.
Berdasarkan data dari Cerpen Biarlah kau Menjadi Puisiku tidak ditemukan adanya
perasaan indrawi karena pada cerpen ini tidak ditemukan perasaan yang dikaitkan dengan
perangsang-perangsang jasmaniah atau fisik. Serta cerita yang ada pada cerpen tersebut
lenih terfokus pada perasaan batin bukan perasakan fisik sang tokoh.
Dalam kedua kutipan di atas menjelaskan bahwa Distia selaku tokoh utama
merasakan rindu terhadap kekasihnya, dia berharap dapat bertemu dan menjalin kasih
kemnali dengan pacarnya.
Perasaan Memotivasi
Berdasarkan data dalam cerpen Biarlah Kau Menjadi Puisiku, berikut kutipan cerpen
yang menunjukkan perasaan memotivasi,
“Jangan gugup, jangan pula merasakan resah berkepanjangan jika harus
menaklukan tantangan hidup ini, inilah perjuangan,” pikirku sambil terus tersenyum dan
berdiri meluapkan tawa makin melebar. (2014:2)
“Sudahlah Distia, sudah saatnya dirimu berdamai dengan keadaan, melupakan
semua kenangan, menghapus bayang semu akan dirinya yang takkan mungkin lagi kembali
memintamu menemani perjalanan hidupnya,” begitulah seru sahabatku Vidia setiap kali ia
menemuiku dalam lamunan mendalam. (2014:4)
Pada kutipan diatas menjelaskan bahwa Distia yang menilai dirinya sendiri apakah dia
mampu untuk bertahan dan mampu untuk mengayuh langkah kakinya kedepan. Dia
tidak percaya diri dengan dirinya sendiri yang mengakibatkan rasa putus asa pada
dirinya muncul.
Gugup dan Ragu
Berdasarkan data dalam cerpen Biarlah Kau Menjadi Puisiku, berikut kutipan cerpen
yang menunjukkan rasa gugup dan ragu,
Aku juga tak mungkin menumpahkan semua rasa yang aku punya. Karena setiap kali
aku ingin bercerita pada Vidia, aku merasa gugup dan ragu untuk menumpahkan segala
rasa kecewaku, batinku yang tertekan karena cinta. (2014:4-5)
Pada kutipan diatas Distia menilai dirinya sendiri bahwa dia selalu merasa gugup dan
ragu jika bercerita dengan Vidia sahabatnya. Meskipun rasa kecewa dan batinya
tertekan karena cinta.
Penilaian Terhadap Cerpen “Biarlah Kau Menjadi Puisiku” karya Hardi Alunaza
Kelebihan Pada Cerpen Biarlah Kau Menjadi Puisiku karya Hardi Alunaza
Pada cerpen Biarlah Kau Menjadi puisiku, memilki keunikan pada judulnya.
Judul cerpen yang terlihat puitis, mengakibatkan calon pembaca akan tertarik untuk
membaca cerpen ini. Cerita yang disajikan pada cerpen ini juga menarik, kesedihan
dan rasa campur aduk sang tokoh utama rasakan mengenai cinta, membuat pembaca
seakan terhanyut saat pembacanya terutama pembaca yang mengalamai nasip sama
yakni putus cinta. Jenis penulisan pada cerpen ini juga unik dengan menggunakan
ukuran tulisan yang relatif agak besar, membuat pembaca betah karena tidak butuh
usaha lebih untuk membaca cerpen ini.
Kekurangan Pada Cerpen Biarlah Kau Menjadi Puisiku karya Hardi Alunaza
Kekurangan pada cerpen Biarlah Kau Menjadi Puisiku terletak pada bahasa
yang digunakan pada cerpen ini. Cerpen ini menggunakan bahasa yang terlalu puitis
yang mengakibatkan pembaca harus ekstra untuk memahami maksud penulis. Jika
dilihat dari bahasa penulisan cerpen ini, maka cerpen ini kurang cocok di baca anak
umur 13 tahun kebawah. Kemungkinan mereka akan sulit memahami cerpen ini
disebabkan karena bahasanya yang terlalu puitis dan terbilang mendayu-dayu.
PENUTUP
Berdasarkan Analisis diatas, cerpen Biarlah Kau Menjadi Puisiku dapat di kritik
menggunakan pendekatan psikologi sastra. Ditemukan aspek kejiwaan yang terfokus pada
perasaan-perasaan sang tokoh cerpen. Perasaan di bagi menjadi 4 yakni, perasaan indrawi,
perasaan vital, perasaan psikis, dan perasaan pribadi. Dalam cerpen ini dominan
menggunakan perasaan psikis dan pribadi. Tidak ditemukan sama sekali perasaan indrawi
karena pada cerita yang digunakan pada cerpen ini lebih mengarah kepada perasaan batin
bukan fisik atau jasmaniah. Cerpen Biarlah Kau Menjadi Puisiku layak untuk dijadikan
sebagai bahan bacaan karena memiliki keunikan tersendiri meskipun lebih membutuhkan
kemampuan ekstra dalam membacanya.
DAFTAR RUJUKAN