Anda di halaman 1dari 2

Christmas Truce

“Mentari terbenam, suara dentuman senapan perlahan mereda bersamaan dengan bulan
yang terbit. Malam 25 Desember, sebuah malam yang sangat berarti bagi masyarakat Eropa.
Para pemuda biasanya makan-makan di rumah, menghiasi rumah, dan bersenda gurau
bersama kerabat dan tetangga, di bawah dinginnya salju di malam natal. Kali ini mereka
tetap merayakan malam sukacita tersebut, namun dalam parit yang gelap, lembab, dingin
dan suram” -Tulisku dalam buku harian sebagai prajurit.
Malam yang sunyi, tenang, dan damai, di tanah tak bertuan, Resimen 1 Skotlandia yang
dikomandani Kopral Dua Jackie Stewart melantunkan Auld Lang Syne, sebuah lagu
tradisional SKotlandia tentang sukacita perayaan natal dan tahun baru.
“For auld lang syne, my dear. For auld lang syne. We’ll tak a cup o' kindness yet. For days of
auld lang syne” terdengar dari parit pihak Inggris dengan iringan dari bagpipe, sebuah alat
musik tiup tradisional asal Skotlandia, memecah kesunyian di malam ditengah perang itu
“Das ist Englisch, sie singen, sollten wir/Suaranya dari (pihak) Inggris, mereka bernyanyi,
haruskah kita (Bernyanyi merayakan malam natal)?” bisik diriku, seorang pemuda
berpangkat sersan satu asal Brunau am Inn, Austria, berusia 25 tahun dengan tinggi 172cm
dengan menenteng tas kulit khas dari Tirol; kepada komandan divisi. Tak lama, rekanku yang
berpangkat sersan secara spontan berdiri, dengan yakin dan lantang, membawakan Stille
Nacht, lagu natal yang sangat populer di daerah-daerah berbahasa Jerman,.

Pihak Prancis, yang merasa berada di situasi yang sangat tidak penting bagi mereka,
menganggap situasi ini hanya sebuah jebakan dari Jerman untuk mengelabui pihak Entente
dalam situasi perang
“Ce qu’ils font?/Apa yang mereka lakukan?” tanya Pierre
“Chanteunt ils/Mereka bersenandung” jawab rekannya seraya me-reload senjatanya
‘’Ah, ce n’est qu’un piege, ces salauds German!/Ah, itu hanya jebakan dari orang Jerman”
lanjut Pierre yang bercerita kepadaku

Tak lama, rekan-rekanku keluar dari parit, dengan langkah hati-hati, berjalan melewati No
Man’s Land. Dengan seragam coklat musim dingin dan topi yang khas, kali ini menenteng
sekotak coklat, bukan peluru. Suasana mendadak mencekam. Suara bagpipe dari parit
inggris berubah dengan suara senapan yang sedang di rakit. Tentara Prancis yang telah
curiga tengah menunggu aba aba dari komandan divisi. Kedinginan malam itu berubah jadi
kehangatan.
Menyadari kami yang keluar dengan tangan kosong, situasi di pihak Inggris sepertinya agak
mereda, Kopral muda Coulthard Bersama 2 orang lainnya memainkan lagu Silent Night yang
memiliki nada yang sama dengan Stille Nacht di bagpipe mereka. Rekanku menjawab alunan
nada tersebut dengan nyanyian vokal yang berat, suaranya seolah menyingkirkan awan
gelap yang menyelimuti rembulan. Kolaborasi ini tak membuat tentara Prancis meleleh,
mereka tetap bersikeras di posisi mereka sembari menanti perintah atasan. Tak lama,
tentara Inggris keluar dari parit mereka, dengan membawa hadiah. Charles Leclerc, orang
nomor 1 di divisi Prancis tersebut menyuruh anak buahnya untuk meletakkan senjata, dia
spontan naik ke atas untuk bergabung. Keputusan ini mengagetkan semua tentara Prancis
Aku berjalan, dengan hati-hati, di tanah becek nan berlumpur, mendekati orang Skotlandia
itu yang sama-sama berjalan mendekati pihak kami. Tanpa senjata, tanpa rasa kebencian,
kami bersalaman satu sama lain, aku menyalami George Russell, seorang letnan asal
Manchester yang tergabung dalam Scottish Regiment, dia adalah orang Inggris pertama
yang kusalami
“Gud nacht” sapaku hangat
“Good night, is that a chocolate?” jawabnya dengan aksen Cockney yang sangat unik
“Ja, für meine mӓdel” sahut Floda dengan tertatih-tatih
“Ah good, how are you? here is a shoe I bring for you” dia membalas
“feine…feine…, ee..danke!”, sahutku saat menerima sepatu itu
Tiba tiba, tentara Prancis keluar dari paritnya dengan tangan kosong, namun mereka tidak
menyambut kami dengan ramah. Srgt. Jackie Stewart, Corp. Charles Leclerc, dan Ltn.
Reinhard Alfred Sinaga, perwakilan dari pihak Inggris, Prancis dan Jerman tengah
merundingkan gencatan senjata sementara selama 1 hari, mereka berkomunikasi dengan
Bahasa Inggris yang kacau, namun kesepakatan diambil
Sebagai tentara yang bertugas di garis depan, hal ini tentu saja sangat menggembirakan bagi
kami. Api unggun dinyalakan, lantunan lagu dimainkan, saling berbagi hadiah dan
kegembiraan, menjadi perayaan kami di waktu ceasefire tersebut. Tak ada kebencian, hanya
sukacita menyambut natal. Paginya, mereka menyelenggarakan pertandingan sepakbola
yang dimenangkan tim Inggris. Kehangatan kami waktu itu mampu melelehkan es di kutub.
Namun kegembiraan itu hanya sebentar, sesuai perjanjian, gencatan senjata hanya berlaku
1 hari. Keesokan harinya aku Kembali ke parit dengan hadiah sepatu boot buatan pengrajin
local Manchester. Kegembiraan malam itu telah sirna, digantikan orchestra peluru dan
artileri yang bernyanyi setiap hari.

Anda mungkin juga menyukai