Anda di halaman 1dari 5

Suasana Malam di Kota Hamburg

Kilatan cahaya tampak menghiasi pekatnya langit malam Kota Hamburg. Saat menatapnya aku
selalu merasa bahwa mereka semua itu merupakan bintang yang selalu menyinari gelapnya langit
malam Kota Hamburg. Namun sesaat kemudian aku dikejutkan dengan sebuah suara ledakan yang
sangat besar tepat sekitar lima puluh meter di sebelahku. Lalu akupun kembali sadar dari lamuanku, ini
bukanlah langit malam Kota Hamburg seperti yang kubayangkan dan yang selama ini aku lihat. Sekarang
kota yang dahulunya sangt cantik itu, kini telah berubah menjadi sebuah bara api yang menyala – nyala
dengan api neraka yang bersahut – sahutan di sana di mari. Teriakan seorang suami yang mencari jasad
isterinya, teriakan seorang ibu yang mencari jasad anaknya. Serta teriakan orang – orang yang melarikan
diri menyelamatkan nyawa mereka masing – masing. Semua suara itu berbaur menjadi satu
menjadikannya sebagai sebuah lantunan melodi yang sangat menyayat hati, mengiris daging dan
membuat sebuah luka menjadi lebih besar.

“Vater, Mutter, wo seid ihr?” teriak salah seorang anak perempuan yang sedang menangis
mencari kedua orang tuanya. Merasa iba melihatnya hati kecilku bergejolak, disatu sisi aku ingin
membantunya menuju ke tempat pengungsian agar aku juga bisa selamat dan keluar dari neraka ini. Di
sisi lain aku juga memiliki tugas untuk mempertahankan kota dari serangan udara. Di tengah – tengah
kebimbanganku tiba – tiba saja seorang rekanku datang menabrakku sampai aku terjungkal kebelakang
sembari berteriak “Bombe!!! in Deckung gehen!!!”.

Merasa kaget dengan kehadirannya, aku hampir saja menembaknya dengan senapan Karabiner
98 kurz milikku. Dan benar sekali, tepat setelah dia berhasil menyelamatkanku dengan cara
menabrakku, sebuah bomb seberat 500 lbs jatuh menimpa tanah. Semua yang berada di sekitar area
bomb tersebut lenyap seketika, bagaikan angin yang berhembus kencang membawa debu pergi dari
tanah. Anak kecil yang kulihat sedang mencari kedua orangtuanya pun ikut tersapu. Melihat hal itu
perasaan dalam hatiku bergejolak tiada henti. Semua perasaan serta emosi yang kumiliki bersatu padu
di dalam hatiku. Seolah – olah mereka semua ingin mengoyakkan tubuhku dan keluar seraya berteriak
“Aaaaaagggggghhhhhhh”.

Namun, sekali lagi lamunanku di kacaukan oleh temanku yang baru saja menyelamatkanku.
Namanya Frederick Hans Gorman, ia berkata “Bist du dumm? Sie können sich dort drüben umbringen
lassen”. Mendengar apa yang ia baru saja katakan, aku memantapkan hatiku untuk menjatuhkan
sebanyak mungkin anjing – anjing Inggris dari langit kota tercintaku, kota Hamburg.

“Hilf mir, das Flugabwehrgeschütz zu bemannen” kataku bangkti dari tanah dan berlari menuju
salah satu meriam pertahanan udara yang masih berfungsi.

“Roger, ich bin auf deiner Sechs” jawabnya dengan semangat.

“Hahahaha….Das ist der Michael, den ich kenne” lanjutnya dengan nada yang sedikit
mengejekku.

“Bring mich nicht zum Lachen, Arschloch” jabawku dengan raut muka yang kesal.
Memang candaan waktu itu dapat membuatku sedikit rileks dan seakan aku lupa dengn waktu
bahwa saat ini aku sedang di tengah medan perang. Sesampainya di sebuah meriam anti udara Flak 88
mm, aku segera menduduki kursi penembak sembari berteriak kepada Hans “Laden Sie die Waffe”.

“Roger, ich bin dabei” jawabnya dengan singkat sembari memasukan sebutir peluru peledak
berkekuatan tinggi.

“Lassen Sie mich Ihnen helfen, diese britischen Hunde zu finden” teriak salah seorang perwira
yang melihat kami masih berusaha melakukan perlawanan terhadap para pengebom Inggris.

Mendengar apa yang dikatakan oleh perwira itu sontak raut bahagia tampak di sekujur wajahku
dan Hans. Kami berdua seperti merasakan adanya secercah cahaya harapan ditengah pekatnya awan
kelam yang menyelimuti kota ini.

“Achtung feindlicher Bomber kommt weg, lass sie nicht entkommen” teriak perwira itu sambil
terus memegangi teropongnya, mencari sasaran bagaikan seekor burung hantu yang sedang mencari
mangsa.

“Jawohl” jawab kami berdua secara singkat sembari mengarahkan mulut dari Flak 88 mm kami
yang saat ini sedang haus akan mangsa.

“Das Geschütz ist in Position und bereit, das Feuer zu eröffnen, Herr Kommandant” ucapku yang
sudah tak sabar lagi untuk memangsa seekor heavy bomber milik Royal Air Force Avro Lancaster.

“Feuer an” sahut perwira itu yang ternyata tak lain adalah Peter William Muller, pelatih
sekaligus pemimpin peleton pasukan tempat dimana aku dan Hans ditugaskan.

Seketika juga sebuah muntahan peluru peledak berkekuatan tinggi ukuran 88mm segera
melesat ke udara. Dan beberapa momen kemudian “bang” sebuah ledakan besar terdengar dari
kejauhan.

“verfehlen, schnell die Waffe nachladen und wieder das Feuer eröffnen” teriak Peter sembari
mengkonfirmasi bahwa tembakan kami sebelumnya meleset, “Kurs auf 0810 und 180 Grad ändern”
lanjutnya memberikan arahan untuk tembakan selanjutnya.

“Jawohl” sekali lagi jawabku dan Hans serentak dengan semangat yang masih membara.

“Das Geschütz ist in Position und bereit, das Feuer zu eröffnen, Herr Kommandant” ucapku.

“Feuer an” jawab Peter.

Tanpa menunggu lagi aku segera menginjak pedal yang menjadi pemicu tembakan dari Flak itu
dan seketika peluru peledak berkuatan tinggi ukuran 88mm segera menukik ke angkasa, dan kali ini
sebuah ledakan besar terdengar “duar” dari kejauhan aku dapat melihat bahwa tembakan kami kali ini
tepat mengenai sasaran. Sebuah Royal Air Force heavy bomber, Avro Lancaster terkena tepat di bagain
tengah dari pesawat itu yang seketika membuat tubuh dari pesawat itu hancur berkeping – keeping,
hanya menyisakan serpihan – serpihan yang terbakar jatuh menuruni cakrawala.

“Wuuuuaaaaahhhh…..” teriakku dan Hans dengan lantang.


Kami sangat senang bukan main karena itulah pertama kalinya kami dari divisi invanteri ke-13
resimen ke-6 batalyon ke-7 yang tidak pernah sekalipun menyentuh meriam Flak 88mm, berhasil
menorehkan kill pertama kami dengan meriam andalan Luftwaffe dan Werchmart.

“Heben Sie sich Ihren Spaß für später auf, Sie können nur ein Flugzeug abschießen, während sie
die frühe Stadt mit mehr als einem Dutzend Flugzeugen zerstören” kata Peter yang masih berdiri
memengangi teropongnya sembari mencari mangsa untuk diterkam kembali.

“Jawohl” jawab kami berdua yang langsung kembali ke tempat kami masing – masing. Aku tetap
sebagai penembak dan Hans sebagai pengisi meriamnya.

Melihat keberhasilan kami menjatuhkan seekor anjing Inggris dari langit Kota Hamburg,
semangat juang pasukan penjaga kota yang sebelumnya melemah, kini mulai bangkit kembali. Mereka
yang sebelunya bersembunyi bagaikan seorang anak yang berlindung di bawah selimut, kini mulai
bangkit dan melawan para anjing – anjing Inggris itu dengan gagah berani. Segala senjata yang berada di
hadapan mereka segera mereka ambil dan mengarahkannya ke udara. Seolah – olah mereka sedang
mengincar sesuatu, tiba- tiba “bang…. bang…. ddddddrrrrrrtttttt….. ddddddrrrrrrtttttt….. bang… bang…
ddddddrrrrrrtttttt.... ddddddrrrrrrtttttt….“ suara – suara dari berbagai macam meriam pertahanan anti
udara yang tersisa mulai ikut memainkan melodi yang telah kumulai sebelumnya. Malam itu terasah
lebih meriah dibandingkan dengan pesta ulang tahunku yang ke – 17 tahun dan pesta pernikahan
pamanku yang kuhadiri sekitar dua hingga empat hari yang lalu.

Pesta itu diakhiri dengan bangunnya sinar mentari dari ujung timur benua ini dan diikuti dengan
menghilangnya kawanan heavy bomber milik Royal Air Force itu ke atas kolom – kolom awan yang
berbadul di angkasa. Melihat bahwa semua anjing – anjing Inggris itu telah meninggalkan langit kota
Hamburg, kamipun bersorak – sorai “yyyyyaaaahhhhh…..” teriak semua orang. Semua orang saling
berpelukan menyatakan ungkapan rasa syukur mereka setelah berhasil melalui suatu malam yang begitu
meriah. Saat aku akan memeluk Hans, sosok yang kulihat didepan kepalaku telah berubah. Ia bukanlah
Hans yang kukenal, ia bukanlah Hans yang sebelunya telah menyelamatkan nyawaku. Lalu kutolehkan
kepalaku kepada Peter yang semenjak tadi malam membantuku mengarahkan meriam Flak 88mm yang
kugunakan, dan ternyata perwira yang semenjak tadi malam menemaiku itu bukanlah Peter.

“Glückwunsch mein Freund, Glückwunsch, es ist uns gelungen, die englischen Hunde vom
Himmel unserer geliebten Stadt zu vertreiben, Glückwunsch” kata salah seorang prajurit yang menjadi
pengisi meriam Flak 88mm yang kugunakan semalam.

Ia dan seorang lagi yang ternyata adalah perwira yang kusangka ia adalah Peter memelukku
dengan erat di saat mukaku bagaikan seorang yang tidak percawa bahwa belahan jiwanya telah tiada.
Mereka memelukku dengan erat seolah mereka seperti dipertemukan dengan belahan jiwanya yang
telah lama tidak dipertemukan. Setelah itu mereka melepaskan pelukan erat mereka dan pergi untuk
meapor kepada perwira yang lebih berwenang.

“Lassen Sie uns dem Hauptmann Bericht erstatten, sie brauchen vielleicht mehr Mann, um
gegen diese britischen Hunde zu kämpfen” kata salah seorang perwira yang ternyata ia berbangkat
sersan.

“Genau” jawab prajurit yang menjadi co-operator ku semalam.


Karena masih tidak percaya dengan apa yang kulihat, akupun berlari kesana kemari bagaikan
sebuah kelopak bunga di tengah – tengah genangan air yang sedang bergejolak. Hingga tanpa sadar aku
menabrak salah seorang prajurit.

“Hast du Augen? Wenn ja, verwenden Sie sie, um die Straße zu sehen!” maki prajurit itu yang
kutabrak hingga ia terjatuh.

“Es tut mir so leid, geht es dir gut?” ucapku meminta maaf sembari menawarkan bantuan.

“Ja, mir geht es gut, aber hilf mir, die Erkennungsmarken zu sammeln” katanya dengan nada
ucapan yang sedikit kesal.

“ok ok”jawabku dengan pengucapan yang gagap karena masih kebingunangan mencari kedua
temanku itu. Disaat aku sedang mengumpulkan dog tags yang dibawa oleh prajurit itu, secara tak
sengaja aku melihat dua buah dog tags dengan nama yang cukup familiar dan tidak asing bagiku. Ya,
kedua dog tags tersebut merupakan dog tags milik Peter dan Hans. Sontak aku yang mengambilnya
hanya dapat duduk melongo tidk percaya. Dua orang temanku yang selama ini telah bersama – sama
denganku melalui berbagai pertempuran, kini harus berpisah denganku.

“Wo zum Teufel sind diese beiden Männer?” tanyaku kepada prajurit yang kubantu untuk
mengumpulkan dog tags yang ia bawa.

“Suchen Sie den Besitzer all dieser Erkennungsmarken? Sie sind dort drüben” jawabnya sambil
menolehkan kepala ke suatu arah.

Segera aku berlari ke arah prajurit itu menoleh. Betapa terkejutnya diriku, ternyata arah yang
prajuit itu toleh saat aku bertanya, menunjukan sebuah lokasi dimana puluhan ribu bahkan ratusan ribu
orang tergeletak tak bernyawa. Dan diantara tumpukan mayat itu aku dapat dengan jelas mengenali dua
orang temanku yang telah berbaring diatas tanah tidak bernyawa. Seketika aku langsung syok, namun
aku tidak berlarut larut dalam kesediahanku itu. Aku sadar, ini adalah medan perang. Apapun dapat
terjadi di medan perang, dan kau harus siap dengan apapun yang terjadi. Setelah memberikan
pemakaman yang layak kepada kedua temanku, aku segera ikut dengan sisa – sisa pasukan yang
rencananya akan dikirim ke pantai utara Prancis, yaitu Normandy.

Dua minggu telah berlalu sejak kejadian yang menimpaku dan para pasukan penjaga kota
Hamburg. Saat ini kami telah dipindah tugaskan ke dalam divisi infanteri ke 113 resimen ke 68 batalyon
ke 17 yang dikomandani oleh seorang perwira muda yang baru saja lulus dari Berlin Military University.
Perwira itu bernama Fritz Benedict Norman, ia lulus di usia belia, yaitu sekitar usia 27 hingga 28
tahunan. Ya sedikit lebih muda lah dari ku.

Ia memiliki kepribadian yang sangat ramah, hampir setiap prajurit yang berada dalam batalyon
ia sapa dan ia kunjungi hanya untuk sekedar menanyakan kondisi mereka. Melihat pribadinya yang
seperti itu membuatku mengingat kembali masa – masa dimana aku, Hans, dan Peter pertama kali
masuk ke akademi. Masa – masa dimana kami selalu melewati segala macam situasi bersama – sama,
baik itu senang susah maupun sedih. Namun kini semua itu hanyalah tinggal kenangan belaka, Hans dan
Peter kini telah tenang di alam sana. Sedangkan bagiku, ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang
dan melelahkan.

“Oi Michael, wie ist dein Zustand ?” Sapa Norman


Aku seketika tersadar kembali dari lamuanku sembari menjawabnya “nichts ist gut, wie immer.”

“Dann mach weiter, behalte deinen Geist an.” Upcapnya menyemangatiku yang tengah
memasang barikade anti tank.

“Jawohl.” Jawabku singkat sembari kembali menlanjutkan pekerjaanku.

Tak berapa lama kemudian terdengar suara lonceng yang menandakan bahwa jam kerja telah
usai, semua tentara yang telah bekerja membangun barikade pertahanan di sepanjang garis pantai
diperbolehkan untuk istirahat dan melakukan apapun yang mereka sukai. Namun bagi diriku yang sudah
mati ini, kesempatan itu hanya akan membuatku berhayal dan mendambakan masa laluku bersama Has
dan Peter.

Setelah aku selesai melapor dan membersihkan badan satu satunya hal yang dapat ku lakukan
adalah tidur lebih cepat dan selalu mengambil waktu jaga pada malam hari.

Anda mungkin juga menyukai