Anda di halaman 1dari 122

STATUS GIZI IBU SEBAGAI FAKTOR RISIKO PANJANG

BAYI LAHIR RENDAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP


PERTUMBUHAN LINIER DAN PERKEMBANGAN
KOGNITIF ANAK USIA TIGA TAHUN

PUSPARINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Status Gizi Ibu sebagai
Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah serta Dampaknya terhadap Pertumbuhan
Linier dan Perkembangan Kognitif Anak Usia Tiga Tahun adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Pusparini
NIM I16212004
RINGKASAN

PUSPARINI. Status Gizi Ibu Sebagai Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah
serta Dampaknya terhadap Pertumbuhan Linier dan Perkembangan Kognitif Anak
Usia Tiga Tahun. Dibimbing oleh: HARDINSYAH, DODIK BRIAWAN, dan
FITRAH ERNAWATI.

Gangguan pertumbuhan linier atau tinggi badan tidak mencapai standar,


merupakan salah satu masalah gizi yang banyak ditemukan di negara berkembang,
yang terjadi karena defisiensi asupan zat gizi dan penyakit. Stunting merupakan
salah satu bentuk gangguan pertumbuhan linier yang didefinisikan sebagai panjang
atau tinggi badan dengan nilai Z-skor kurang dari minus dua standar deviasi. Hasil
Riskesdas 2013, didapatkan 20.2% bayi yang dilahirkan tergolong pendek atau
panjang badan < 48 cm. Angka ini semakin meningkat seiring bertambahnya usia,
prevalensi tertinggi terjadi pada usia 24-35 bulan yaitu sebesar 42.0%. Secara
keseluruhan prevalensi balita adalah sebesar 37.2%. Anak yang dilahirkan stunting
memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, stunting
dapat meningkatnya angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas)
terutama akibat penyakit infeksi sehingga proses pertumbuhan anak mengalami
gangguan. Sedangkan akibat jangka panjang stunting adalah dapat menurunkan
tingkat kecerdasan dan produktivitas, mengakibatkan pendapatan lebih rendah
dibandingkan mereka yang tidak stunting. Selain itu, pada masa dewasa, anak
stunting memiliki risiko menderita kegemukan dan komplikasi metabolik lainnya,
sehingga lebih berisiko menderita penyakit degeneratif.
Beberapa penelitian memberikan bukti pengaruh status gizi makro ibu hamil
terhadap hambatan pertumbuhan janin dengan indikator berat badan lahir rendah
(BBLR). Namun demikian bagaimana pengaruh kekurangan zat gizi pada ibu hamil
baik makro dan mikro yang terjadi secara bersamaan terhadap pertumbuhan linier
janin dengan indikator panjang badan bayi yang dilahirkan serta dampak jangka
panjang terhadap pertumbuhan linier dan perkembangan kognitif anak usia tiga
tahun secara longitudinal belum banyak diteliti.
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menganalisis status gizi
makro dan mikro ibu hamil sebagai faktor risiko terjadinya panjang bayi lahir
rendah; (2) menganalisis pengaruh panjang bayi lahir rendah terhadap pola
pertumbuhan linier anak usia 3 tahun; (3) menganalisis pengaruh gangguan
pertumbuhan linier terhadap perkembangan kognitif anak usia 3 tahun.
Analisis faktor risiko panjang bayi lahir rendah menunjukkan bahwa 41.3%
ditentukan oleh status gizi ibu hamil dengan faktor risiko utama adalah defisiensi
vitamin A (retinol serum < 20 µg/dl) pada trimester kedua dengan OR = 11.12 (95%
CI= 2.034-60.840) dan indeks massa tubuh (IMT) < 18.5 kg/m2 pada awal
kehamilan, dengan nilai OR= 8.84 (95% CI= 1.586-49.268).
Gangguan pertumbuhan linier saat lahir, usia 6 bulan dan 1 tahun berpengaruh
terhadap pertumbuhan linier anak usia 3 tahun. Anak dengan panjang lahir rendah
sulit untuk memiliki panjang normal sebaliknya anak dengan panjang badan lahir
normal memiliki peluang besar mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia
3 tahun. Faktor risiko gangguan pertumbuhan linier anak usia 3 tahun adalah adanya
gangguan pertumbuhan linier pada usia 1 tahun (OR = 10.51; 95% CI= 3.527-
31.325), morbiditas pada satu bulan terakhir (OR = 2.52; 95% CI= 1.033-6.159),
dan kekurangan zat gizi mikro terutama seng dan vitamin A.
Analisis faktor risiko perkembangan kognitif anak usia 3 tahun menunjukkan
bahwa 37.6% perkembangan kognitif anak usia 3 tahun ditentukan dari
pertambahan tinggi badan anak usia 0-3 tahun, status anemi ibu hamil trimester tiga,
anak pernah menderita Tuberkulosis (TB) paru dan pola asuh psikososial, dengan
faktor risiko utama adalah pola asuh psikososial (OR = 10.51; 95% CI= 2.693-
41.008), status gizi ibu hamil trimester tiga (OR = 5.06; 95% CI= 1.663-15.387)
dan pertambahan tinggi badan anak usia 0-3 tahun (OR = 3.45; 95% CI= 1.158-
10.258).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status gizi ibu hamil baik makro
maupun mikro merupakan faktor risiko panjang bayi lahir rendah. Gangguan
pertumbuhan linier anak usia 0-3 tahun, morbiditas, kekurangan zat gizi mikro dan
pola asuh psikososial berpengaruh terhadap pertumbuhan linear dan perkembangan
kognitif anak usia 3 tahun. Hal ini menunjukkan pentingnya status gizi yang baik
sebelum dan selama kehamilan untuk mencegah panjang lahir rendah. Pemantaun
status gizi makro anak melalui pengukuran panjang atau tinggi badan, peningkatan
status gizi mikro anak untuk mencegah tingginya angka kesakitan dan pola asuh
psikososial yang baik perlu dilakukan untuk mencegah gangguan pertumbuhan
linier dan perkembangan kognitif anak usia 3 tahun.

Kata kunci: morbiditas, perkembangan kognitif, pertumbuhan linier, pola asuh


psikososial, status gizi ibu hamil.
SUMMARY

PUSPARINI. Maternal Nutritional Status as Risk Factors of Stunted at Birth and


its effect on 3-Years-Old Toddlers Linear Growth and Cognitive Development.
Supervised by: HARDINSYAH, DODIK BRIAWAN, and FITRAH ERNAWATI.

Linear growth failure (LGF) or height below the standard is a nutritional


problem commonly found in developing countries. Stunting is one form of linear
growth failure that is defined as the length or height with the value of Z-score of
less than two standard deviations. Riskesdas 2013, showed that 20.2% of newborns
babies classified as short or birth length <48 cm. This number increasing by age,
the highest prevalence occurs at age 24-35 months, namely by 42.0%. The overall
stunting prevalence of children under five is 37.2%. The child who born stunted
due to fetal malnutrition not only have low height-for-age but also may have a short-
and long-term effects. In short term, stunting may increase morbidity and mortality
rates, mainly due to infectious diseases thus, resulting in growth failure of the
children. Stunting also has long-term effects such as decreasing intelligence level,
lowering the productivity, and resulting in lower earnings than the ones who are not
stunted. In addition, in adulthood, stunted children are at risk of becoming
overweight and having other metabolic complications, and ultimately at a higher
risk of having degenerative diseases.
Several studies provide evidence for the effects of pregnancy macro
nutritional deficiency fetal growth restriction with indicators of low birth weight
(LBW). Nevertheless, the influence of nutrient deficiency in pregnant women both
macro and micro that occurring simultaneously to linear growth of the fetus with a
birth length indicator as well as long-term impact on linear growth and cognitive
development of children three years of age have not been studied longitudinally.
This study has three main objectives, namely: (1) to analyze risk factors
related to pregnancy nutritional status on stunted at birth, (2) to analyze the effect
of stunted at birth on linear growth of three years old toddlers, (3) to analyze the
effect of linear growth failure on cognitive development of toddlers.
Analysis of risk factors of stunted at birth showed that 41.3% nutritional
status of pregnant women with major risk factors are a deficiency of vitamin A
(retinol serum <20 mg/dL) in the second trimester with OR = 11.12 (95% CI =
2.034-60.840) and body mass index (BMI) < 18.5 kg/m2 at early pregnancy (OR =
8.84; 95% CI = 1.586-49.268).
Linear growth failure at birth, age 6 months and 1-year influenced the linear
growth of children aged 3 years. Children which stunted at birth are difficult to have
a normal body length, otherwise, the child with normal birth length has opportunity
linear growth failure at 3 years old. The risk factors of linear growth failure of 3
years old children are their linear growth failure at 1 year (OR = 10:51; 95% CI =
3527-31325), morbidity in the last month (OR = 2.52; 95% CI = 1033-6159), and
micronutrient deficiencies (zinc and vitamin A).
Analysis of risk factors for cognitive development of 3 years old children
37.6% was affected by maternal hemoglobin status, height gained, psychosocial
care giving and children ever suffered from tuberculosis (TB), with the main risk
factor are psychosocial care giving (OR = 10.51; 95% CI = 2.693-41.008), maternal
hemoglobin status at third trimester (OR = 5.06; 95% CI = 1.663-15.387) and height
gained of children aged 0-3 years (OR = 3.45; 95% CI = 1.158-10.258).
The conclussions indicate that the pregnancy nutritional status both macro
and micro is a risk factor of stunted at birth. Linear growth failure and cognitive
development of toddlers were significantly affected by the growth failure at the first
year of life, morbidity rate, micronutrient deficiencies and psychosocial caregiving.
This implies the need to prevent fetal linear growth failure by improving the
nutritional status of pregnant women and improving micronutrient status of
children, preventing morbidity, as well as psychosocial caregiving for them.

Keywords: cognitive development, linear growth, morbidity, pregnancy nutritional


status, psychosocial caregiving
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STATUS GIZI IBU SEBAGAI FAKTOR RISIKO PANJANG
BAYI LAHIR RENDAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN LINIER DAN PERKEMBANGAN
KOGNITIF ANAK USIA TIGA TAHUN

PUSPARINI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Gizi Manusia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji luar komisi pada ujian tertutup:
1. Dr Abas Basuni Jahari, MSc
(Peneliti pada Puslitbang Upaya Kesehatan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI)
2. Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc
(Staf Pengajar Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Penguji luar komisi pada ujian promosi:


1. Dr dr Trihono, MSc
(Koordinator Health Policy Unit Kemenkes RI)
2. Dr Ir Hadi Riyadi, MSc
(Staf Pengajar Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Judul Disertasi : Status Gizi Ibu Sebagai Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah
serta Dampaknya terhadap Pertumbuhan Linier dan
Perkembangan Kognitif Anak Usia Tiga Tahun
Nama : Pusparini
NIM : I162120041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hardinsyah, MS
Ketua

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Dr Fitrah Ernawati, MSc


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Gizi Manusia

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Prof Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal ujian tertutup : 7 April 2017 Tanggal Lulus:


Tanggal ujian promosi : 19 Mei 2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 sampai
September 2015 ini adalah Status Gizi Ibu sebagai Faktor Risiko Panjang Bayi
Lahir Rendah serta Dampaknya terhadap Pertumbuhan Linier dan Perkembangan
Kognitif Anak Usia Tiga Tahun.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada
Prof Dr Ir Hardinsyah, MS sebagai ketua komisi pembimbing beserta anggota
komisi pembimbing Prof Dr Ir Dodik Briaawaan, MCN dan Dr Fitrah Ernawati,
M.Sc yang telah banyak memberi masukan, arahan, bimbingan dan motivasi yang
diberikan selama penelitian dan penyusunan disertasi ini. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Prof Dr drh Clara Meliyanti Kusharto, M.Sc sebagai penguji
prelim lisan, Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc sebagai pembahas pada kolokium
dan ujian tertutup dan Dr Abas Basuni Jahari, M.Sc sebagai penguji pada prelim
lisan, kolokium dan ujian tertutup serta Dr dr Trihono, MSc dan Dr Ir Hadi Riyadi,
MS sebagai penguji luar komisi pada sidang promosi doktor, atas masukan dan
koreksi untuk penyempurnaan disertasi ini.
Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Arif Satria,
MS sebagai Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Dr Ir Budi Setiawan, MS dan Dr
Rimbawan sebagai Ketua Departemen Gizi dan Prof drh M Rizal Damanik,
MRepSc, PhD, Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dan Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
sebagai Ketua Program Studi Gizi Manusia serta kepada Guru Besar dan Bapak/Ibu
Dosen Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB yang telah memberikan wawasan
keilmuan selama penulis menuntut ilmu di IPB.
Ucapan terima kasih kepada Kepala Badan PPSDM Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI, Drs Sutikno, M.Kes dan Dr Ir Osman Syarief, MKM sebagai
Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung, Ichwanuddin SKM,M.Kes dan
Holil M. Par’i, SKM,M.Kes sebagai Ketua Jurusan Gizi Poltekkes Bandung beserta
teman teman dosen dan staf Jurusan Gizi yang telah memberikan izin dan
dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program doktor di IPB.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Badan Litbangkes
Kementerian Kesehatan RI dan Kepala Pusat Teknologi Terapan dan Epidemiologi
Kesehatan (PT2KEK) yang telah memberikan izin menggunakan data dan
melibatkan penulis dalam penelitian Studi Longitudinal Stunting, serta teman teman
peneliti dan litkayasa PT2KEK atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan
data.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman seperjuangan di
program Doktor Ilmu Gizi Manusia (GMA), khususnya GMA 2012, pak Tonny C
Maigoda, bu Refdanita, mbak Nunung C Dainy dan bu Listyani Hidayati atas
kebersamaan dan persahabatan yang baik. Rangkaian ucapan terimakasih juga
penulis sampaikan kepada senior GMA 2011 : bu Yuni, bu Dara, bu Trini, dan bu
Nurul, senior GMA 2010 : pak Nurahman, pak Slamet, bu Ainia, bu Betty, bu Tetty,
pak Muksin dan pak Dadi. Rekan-rekan GMA 2013 : mba Ketut, bu Nur, pak
Sudikno, pak Mahani, mas Renan, mas Ade, bu Retno, dan pak Nurfi, GMA 2014:
teh Cica, bu Rina, bu Wiwit, bu Tita, bu Deni, mbak Erry, pak Aripin, pak Syahrial,
dan pak Made atas segala dukungan dan motivasinya.
Rasa hormat dan ungkapan terima kasih untuk kedua orangtuaku bapak P
Mardi (alm) dan ibu Siti Mariyam (almh) serta bapak Agus Natawijaya (alm) dan
ibu Dedeh Kuraisin (almh) atas kasih sayang, dukungan dan doa yang selalu
dipanjatkan untuk penulis. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada keluarga
besar P Mardi (mas Yanto, mbak Puji, mas Toro, mbak Tuti, mbak Nining, mas
Pujo dan mas Putut) dan keluarga besar Agus Natawijaya ( A Sonny, teh Ineu,
Rizky dan Iman) atas dukungan dan doanya.
Ungkapan terima kasih dan rasa sayang yang tak terhingga kepada suamiku
Rudy Ridwan Effendi dan kedua putri kami Qothrunnada Effendi dan Alya Shafira
Effendi atas izin, dukungan baik moril maupun materil, dan doa yang diberikan
serta pengorbanan dan pengertian atas waktu yang tersita selama penulis
menempuh pendidikan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu yang telah mendukung dan membantu penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung sejak masa perkuliahan, penelitian sampai
tersusunnya disertasi ini.
Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna, namun demikian
penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2017

Pusparini
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii


DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Hipotesis Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5
Kebaruan Penelitian 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 6
Kehamilan 6
Pertumbuhan dan Perkembangan Janin 8
Pertumbuhan Bayi dan Anak 15
Perkembangan Bayi dan Anak 21
Kerangka Teoritis 27
Kerangka Operasional 29
3 METODE 30
Waktu dan Tempat 30
Disain 30
Populasi dan Subjek Penelitian 30
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 32
Pengawasan Kualitas Data 34
Pengolahan Data 35
Analisis Data 36
Definisi Operasional 38
4 STATUS GIZI IBU HAMIL SEBAGAI FAKTOR RISIKO PANJANG
BAYI LAHIR RENDAH 40
Pendahuluan 40
Metode 41
Hasil dan Pembahasan 43
Simpulan dan Saran 49
5 PENGARUH PANJANG BAYI LAHIR RENDAH, MORBIDITAS DAN
KEKURANGAN GIZI MIKRO TERHADAP PERTUMBUHAN LINIER
ANAK USIA 3 TAHUN 50
Pendahuluan 50
Metode 51
Hasil dan Pembahasan 53
Simpulan dan Saran 61
6 PENGARUH PERTUMBUHAN LINIER DAN POLA ASUH
PSIKOSOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK
USIA TIGA TAHUN 62
Pendahuluan 62
Metode 63
Hasil dan Pembahasan 65
Simpulan dan Saran 72
7 PEMBAHASAN UMUM 73
Faktor Risiko Gangguan Panjang Badan Bayi Lahir 73
Pertumbuhan Linier Anak Usia 0-3 Tahun 76
Perkembangan Kognitif Anak Usia 3 Tahun 77
Generalisasi Penelitian 79
Keterbatasan penelitian 79
Implikasi Hasil Penelitian 79
8 SIMPULAN DAN SARAN 81
Simpulan 81
Saran 81
DAFTAR PUSTAKA 82
LAMPIRAN 90
RIWAYAT HIDUP 102
DAFTAR TABEL

1. Kebutuhan Gizi Wanita (19- 30 tahun) dan Wanita Hamil (TM II dan
III) 7
2. Rekomendasi Pertambahan Berat Badan Kehamilan 11
3. Hubungan Status Gizi Ibu Hamil dan Status Gizi Bayi yang
Dilahirkan 12
4. Pengaruh Intervensi Zat Gizi terhadap Pertumbuhan Bayi 14
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak 20
6. Faktor faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak 24
7. Pengaruh Intervensi Gizi terhadap Perkembangan 26
8. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 33
9. Karakteristik Ibu Hamil dan Bayi Saat Lahir 44
10. Status Gizi Makro Ibu Hamil dan Panjang Bayi Lahir 45
11. Status Gizi Mikro Ibu Hamil dan Panjang Bayi Lahir 46
12. Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah 47
13. Karakteristik Keluarga 53
14. Status Gizi Anak Usia 0-3 Tahun 53
15. Hubungan Gangguan Panjang Lahir, Morbiditas, Status Gizi Mikro
dengan Pertumbuhan Linier Anak Usia 0-3 Tahun 59
16. Faktor Risiko Pertumbuhan Linier Anak Usia 1-3 Tahun 60
17. Karakteristik Ibu dan Keluarga 65
18. Panjang Badan Anak Usia 3 Tahun 66
19. Status Gizi Mikro Ibu Hamil Trimester 3 68
20. Pola Asuh Psikososial Anak Usia 3 Tahun 69
21. Pola asuh psikososial anak usia 3 tahun 70
22. Faktor risiko perkembangan anak usia 3 tahun 71

DAFTAR GAMBAR

1. Periode Pertumbuhan dan Perkembangan Janin 9


2. Bagian-bagian Sel Saraf 16
3. Proses Perkembangan Sistem Saraf Pusat 17
4. Pertumbuhan Sistem Saraf 19
5. Kerangka Teoritis Penelitian 28
6. Kerangka Operasional Penelitian 29
7. Skema Pengambilan Subjek Penelitian 32
8. Rerata Z Skor TB/U Anak (0-3 Tahun) pada Tiap Kelompok Status
Gizi saat Lahir dan Usia 3 Tahun 54
9. Laju Pertumbuhan TB Anak Usia 0-3 Tahun (cm/bln) 55
10. Laju Pertumbuhan TB Anak Usia 0-6 Bulan (cm/bln) Berdasarkan
Status BBLR, Pemberian ASI dan Frekuensi Sakit 56
11. Laju Pertumbuhan TB Anak Usia 6-12 Bulan (cm/bln)
BerdasarkanTingkat Kecukupan Energi dan Protein, Pemberian ASI
dan Frekuensi Sakit 57
12. Kohor Perubahan Gangguan Pertumbuhan Linier Anak Pada Setiap
Tahap Usia 58
13. Tinggi Badan Menurut Umur pada Anak PLR dan Normal 67

DAFTAR LAMPIRAN

1. Etik Penelitian 91
2. Output Hasil Penelitian 92
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Stunting merupakan masalah gizi yang banyak ditemukan pada hampir semua
negara berkembang, stunting didefinisikan sebagai tinggi badan tidak normal atau
relatif rendah terhadap sekelompok anak-anak pada umur dan jenis kelamin yang
sama. Stunting merupakan efek kumulatif adanya gangguan pertumbuhan pada
masa lalu dan sekarang, diakibatkan karena asupan zat gizi yang tidak memadai dan
diperparah dengan seringnya terkena penyakit infeksi. Dengan menggunakan
referensi standar pertumbuhan WHO tahun 2006, pada tahun 2010, prevalensi
stunting pada anak bawah lima tahun (balita) mencapai 38.2% di Afrika, 13.5% di
Wilayah Amerika Latin, dan 27.6% Asia (Uauy et al. 2011). Berdasarkan data
WHO, pada kurun waktu tahun 2002 – 2012, prevalensi stunting anak balita di
negara Asia adalah sebagai berikut Thailand 15.7%, Malaysia 17.2%, Filipina
32.3% dan Indonesia 39.2% (WHO 2013)
Besarnya masalah stunting di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan
dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan 20.2% bayi dilahirkan dengan kondisi
stunting (panjang badan < 48 cm). Angka ini semakin meningkat seiring
bertambahnya usia, prevalensi stunting pada balita adalah sebesar 37.2%
mengalami peningkatan dari Riskesdas 2010, yaitu 35.7%. Berdasarkan propinsi,
prevalensi stunting di Indonesia berkisar antara 22.5% - 58.4%, hal ini
menunjukkan bahwa masalah stunting masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di semua propinsi di Indosesia berdasarkan batas “non public health
problem” menurut WHO sebesar 20% (Balitbangkes 2013)
Stunting sering kali tidak mendapat perhatian terutama pada masyarakat
dimana kasus tersebut banyak ditemukan. Bahkan di kalangan dunia kesehatan,
masalah stunting umumnya tidak mendapat perhatian yang sama seperti halnya
underweight atau wasting. Pada wanita hamil yang stunting, yaitu tinggi badan
kurang dari 145 cm, terjadi hambatan aliran darah pada plasenta maupun rahim dan
berakibat pada terganggunya pertumbuhan janin. Hambatan pertumbuhan dalam
rahim atau Intrauterine Growth Restriction (IUGR) berhubungan dengan banyak
hal merugikan pada janin dan bayi yang dilahirkan. Selama kehamilan, IUGR dapat
menyebabkan gangguan pada janin atau bahkan menyebabkan kematian janin.
Setelah dilahirkan, bayi dengan IUGR seringkali mengalami penundaan
perkembangan neurologis dan intelektual, serta pencapaian tinggi badan tidak
maksimal seperti bayi pada umumnya dan hal ini berlanjut sampai dewasa (Alive
dan Thrive 2010).
Penyebab utama stunting diantaranya adalah hambatan pertumbuhan dalam
kandungan, asupan zat gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan
dan perkembangan yang cepat pada masa bayi dan anak-anak, serta seringnya
terkena penyakit infeksi selama awal masa kehidupan (Alive dan Thrive 2010).
Pertumbuhan janin dalam kandungan terjadi dalam beberapa fase dimulai dengan
pembentukan berbagai sistem organ (fase organogenesis) pada trimester pertama,
2

dilanjutkan dengan fase hiperplasia seluler hingga trimester kedua, fase hiperplasia
disertai hipertrofi dan akhirnya terjadi hipertrofi organel dan sitoplasma sel pada
akhir trimester kedua dan trimester ketiga, ditandai dengan peningkatan berat dan
ukuran tubuh serta pematangan berbagai sistem organ. Bila proses hiperplasia dan
hipertrofi yang terjadi pada trimester kedua dan trimester ketiga tidak terjadi dengan
optimal, dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan baik berat maupun ukuran
tubuh janin, serta gangguan pematangan sistem metabolisme janin. Keadaan
demikian disebut dengan istilah pertumbuhan janin terhambat (Brown 2005).
National Family Health Survey 2005-2006 di India dan Reproductive Health
Survey 2008-2009 di Guatemala menunjukkan bahwa status gizi ibu memiliki peran
yang besar dalam terjadinya stunting. Ibu yang pendek (tinggi badan < 150 cm),
dan kurus (indeks masa tubuh < 18.5 kg/m2) memiliki risiko lebih besar melahirkan
bayi stunting dibandingkan ibu yang memiliki status gizi baik. Sekitar 1 dari 5 anak
di India dan Guatemala mengalami pertumbuhan terhambat pada bulan pertama
kehidupan, hal ini menunjukkan adanya kegagalan pertumbuhan sejak janin masih
berada dalam kandungan. Kondisi stunting tidak berubah sampai tahun kedua
kehidupan dan hanya mengalami sedikit perubahan pada kelompok umur yang
lebih tua. Keadaan ini menyiratkan bahwa kecepatan pertumbuhan tinggi badan
pada anak setelah umur 2 tahun tidak secepat pertumbuhan sebelumnya seperti yang
digambarkan pada standar WHO. Temuan penelitian di dua negara ini,
memperlihatkan bahwa kegagalan pertumbuhan linier terbatas pada 1000 hari
pertama kehidupan, yaitu mulai dari masa kehamilan sampai dengan 2 tahun
pertama (Martorell dan Young 2012).
Selain kekurangan zat gizi makro, masalah kekurangan zat gizi mikro seperti
vitamin A, vitamin D, asam folat, vitamin B12, zat besi, seng dan iodium juga dapat
berpengaruh terhadap perkembangan bayi dan anak. Penelitian Black dan Duran
menunjukkan bahwa pemberian zat besi dan seng secara terpisah maupun
bersamaan dapat mempengaruhi perkembangan mental dan motorik anak usia 12
bulan (Black et al. 2004; Duran et al. 2001).
Masalah gizi pada ibu hamil di Indonesia masih memprihatinkan, hasil
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa 23.79% ibu hamil menderita Kurang
Energi Kronis (KEK) dan 37.1% menderita anemia (Balitbangkes 2013). Hasil
penelitian Ernawati dan kawan-kawan pada ibu hamil di Kabupaten Bogor (2012),
didapatkan 14.9% ibu hamil trimester pertama menderita anemia (Hb < 11.0 g/dl),
angka tersebut meningkat menjadi 43.0% pada trimester ketiga. Selain anemia,
masalah kekurangan gizi mikro pada ibu hamil lainnya adalah rendahnya kadar
vitamin A (<20 µg/dl) sebesar 22.1% dan rendahnya kadar seng (< 0.7 mg/L)
sebesar 57.9%.
Pengaruh status gizi ibu hamil terhadap status gizi bayi yang dilahirkan,
secara longitudinal diteliti oleh Kusin dan Sri Kardjati (1994) di tiga desa di
Madura, selama 1981-1989, membuktikan bahwa kekurangan energi kronik pada
ibu hamil berhubungan dengan gangguan pertumbuhan janin, penurunan
konsentrasi lemak pada ASI dan gangguan pertumbuhan bayi usia 6 bulan.
Penelitian Hidayati (2005) di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa ibu hamil
yang menderita KEK dan anemia mempunyai peluang melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) lebih besar dibandingkan dengan ibu dengan
3

status gizi normal. Penelitian serupa oleh Talahatu (2006) di Kota Ambon,
menunjukkan bahwa IMT ibu sebelum hamil, pertambahan BB selama kehamilan,
status anemia dan ukuran lingkar lengan atas mempengaruhi pertumbuhan bayi
yang dilahirkan. Hasil penelitian Schmidt et al. tahun 2002 di Bogor Jawa Barat,
menunjukkan status gizi dan asupan zat gizi yang baik saat menjelang dan selama
kehamilan berpengaruh terhadap status gizi dan pertumbuhan selama masa bayi.
Pentingnya zat gizi mikro terhadap pertumbuhan bayi dibuktikan oleh
Herawati, Prihananto dan Saragih melalui pemberian pangan berupa susu, biskuit,
dan bihun yang difortifikasi vitamin A, asam folat, vitamin C, zat besi, seng, dan
Iodium pada ibu hamil menunjukkan bahwa proporsi bayi dengan berat badan lahir
rendah (< 2.5 kg) lebih rendah pada ibu yang mendapatkan pangan berfortifikasi
dibandingkan kelompok control. Pertumbuhan linier (PB/U) bayi usia 6 bulan pada
kelompok pangan fortifikasi lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu
pemberian pangan fortifikasi dapat mempengaruhi perkembangan mental dan
psikomotorik bayi usia 6 bulan (Prihananto 2007; Saragih et al. 2007; Herawati
2003).
Menurut Uauy et al. (2011) Anak yang dilahirkan stunting akibat kekurangan
gizi saat janin tidak hanya bertubuh pendek pada umurnya, tetapi juga dapat
memberikan efek baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka
pendek, stunting dapat meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) dan angka
kematian (mortalitas) terutama akibat penyakit infeksi seperti diare, campak,
saluran pernafasan, dan malaria, sehingga proses pertumbuhan anak juga
mengalami gangguan. Sedangkan efek jangka panjang dapat menurunkan tingkat
kecerdasan pada masa sekolah, menurunkan produktivitas pada masa produktif dan
mengakibatkan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak
stunting. Selain itu, pada masa dewasa, anak stunting memiliki risiko menderita
kegemukan dan komplikasi metabolic lainnya, dan pada akhirnya lebih berisiko
menderita penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh darah.
Secara ekonomi, akibat jangka pendek dan jangka panjang dari stunting dapat
menurunkan rata-rata 3.4% pendapatan kotor suatu wilayah (Gross Domestic
Product/GDP).
Terjadinya gizi kurang saat bayi berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif anak usia 2 tahun, hal ini terlihat dari penelitian Drewett (2001) di Etiopia,
menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekurangan gizi (dilihat dari Z-skor
berat badan menurut umur) pada saat bayi memiliki skor perkembangan psikomotor
dan mental lebih rendah dibandingkan dengan anak seusianya yang tidak
mengalami kekurangan gizi. Hasil serupa ditemukan oleh Crookston et al. (2011
dan 2013) pada penelitiannya di Etiopia, India, Peru dan Vietnam, menunjukkan
bahwa kemampuan kognitif anak saat masuk sekolah dipengaruhi oleh kondisi
stunting pada usia 6-18 bulan dan pengaruh lebih kuat oleh kondisi stunting pada
usia 4.5-6 tahun. Anak dengan panjang badan lahir pendek tetapi menjadi normal
pada usia 8 tahun, memiliki kemampuan kognitif lebih baik dibanding anak yang
tetap pendek pada usia 8 tahun
4

Perumusan Masalah

Uraian di atas memberikan bukti pengaruh status gizi ibu pada masa
kehamilan dalam hal ini Kurang Energi Kronis (KEK) dan anemia, terhadap
hambatan pertumbuhan janin dengan indikator berat badan lahir rendah (BBLR),
telah banyak di teliti. Namun demikian bagaimana pengaruh kekurangan zat gizi
pada ibu hamil baik makro dan mikro yang terjadi secara bersamaan terhadap
pertumbuhan linier janin dengan indikator panjang badan bayi yang dilahirkan serta
dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan linier dan perkembangan kognitif
anak usia tiga tahun secara longitudinal belum banyak diteliti. Berdasarkan hal
tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah kekurangan gizi makro dan mikro pada ibu hamil merupakan faktor
risiko panjang bayi lahir rendah ?
2. Apakah ada pengaruh panjang bayi lahir rendah terhadap pertumbuhan
linier anak usia 3 tahun ?
3. Apakah ada pengaruh gangguan pertumbuhan linier terhadap
perkembangan kognitif anak usia 3 tahun ?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh status gizi ibu
sebagai faktor risiko panjang lahir rendah serta dampaknya terhadap pertumbuhan
linier dan perkembangan kognitif anak usia tiga tahun. Adapun tujuan khusus
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis status gizi makro dan mikro ibu hamil sebagai faktor risiko
terjadinya panjang bayi lahir rendah
2. Menganalisis pengaruh panjang bayi lahir rendah terhadap pertumbuhan
linier anak usia 3 tahun
3. Menganalisis pengaruh gangguan pertumbuhan linier terhadap
perkembangan kognitif anak usia 3 tahun

Hipotesis Penelitian

1. Status gizi makro ibu hamil merupakan faktor risiko terjadinya panjang bayi
lahir rendah
2. Status gizi mikro ibu hamil merupakan faktor risiko terjadinya panjang bayi
lahir rendah
3. Panjang bayi lahir rendah berpengaruh terhadap pertumbuhan linier anak
usia 3 tahun
4. Gangguan pertumbuhan linier berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif anak usia 3 tahun
5

5. Terdapat pengaruh pola asuh psikososial dan kejadian penyakit terhadap


perkembangan kognitif anak usia 3 tahun

Manfaat Penelitian

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat


memberikan bukti bahwa kekurangan gizi baik makro maupun mikro pada ibu
hamil merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pertumbuhan pada janin terlihat
dari panjang badan rendah saat dilahirkan dan akibat yang ditimbulkan terhadap
pertumbuhan linier dan perkembangan anak pada usia selanjutnya. Bagi pengambil
kebijakan, hasil tersebut dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
penyusunan program penurunan terjadinya stunting dengan meningkatkan upaya
perbaikan gizi bagi ibu sebelum dan selama kehamilan serta upaya promosi
kesehatan bagi masyarakat agar dapat meningkatkan status gizi secara mandiri.

Kebaruan Penelitian

1. Penggunaan indikator indeks massa tubuh awal kehamilan sampai dengan


minggu ke 10 dapat digunakan sebagai gambaran status gizi ibu sebelum hamil
yang selama ini menggunakan IMT sebelum kehamilan yang sulit didapatkan
2. Meneliti hubungan antara panjang lahir rendah dengan menggunakan cut off
point Z-skor PB/U <-1 SD, laju pertumbuhan linier anak usia 0-3 tahun dan
perkembangan kognitif pada usia 3 tahun untuk melihat interaksi antara
pertumbuhan dan perkembangan secara bersamaan
3. Penelitian dilakukan secara longitudinal dimulai sejak janin dalam kandungan
sampai anak usia 3 tahun, sehingga dapat melihat pengaruh faktor ‘nature’
yaitu bawaan dari orang tua yang terbentuk saat dalam kandungan dan faktor
‘nurture’ yaitu lingkungan dan pola asuh yang diperoleh terhadap tumbuh
kembang anak
6

2. TINJAUAN PUSTAKA

Kehamilan

Kehamilan adalah proses pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada


periode antara pembuahan dan kelahian. Kehamilan diawali dengan konsepsi yang
terjadi sekitar 14 hari sebelum jadwal menstruasi berikutnya, usia kehamilan
normal biasanya berkisar antara 38 – 40 minggu atau 266 – 280 hari, dihitung sejak
hari pertama siklus menstruasi terakhir (Papalia, Feldman dan Martorell 2014).
Perubahan fungsi dan komposisi tubuh ibu terjadi dengan urutan yang spesifik dan
mutlak, perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu tersebut merupakan faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin (Brown 2005). Secara garis
besar, perubahan fisiologis pada ibu hamil dibagi menjadi dua fase yaitu fase
anabolik dan fase katabolik. Berkembangnya kapasitas tubuh ibu dalam
mengirimkan sejumlah besar darah, oksigen dan zat gizi kepada janin terrjadi pada
fase anabolik (20 minggu pertama kehamilan). Fase ini ditandai dengan
peningkatan volume darah dan pengeluaran darah dari jantung (cardiac output),
pembentukan cadangan lemak, glikogen dan zat gizi lainnya, perkembangan organ
kandungan ibu, serta peningkatan hormon-hormon anabolik. Sedangkan pada fase
katabolik (20 minggu terakhir kehamilan) terjadi peningkatan transfer energi dan
zat gizi kepada janin, ditandai dengan mobilisasi cadangan lemak, glikogen hati dan
zat gizi lainnya, peningkatan kadar gula, trigliserid dan asam lemak di dalam darah,
serta peningkatan kadar hormon-hormon katabolik. Dari kedua fase tersebut, dapat
diperkirakan 10% pertumbuhan janin terjadi pada fase pertama sedangkan 90%
sisanya terjadi pada fase kedua (Brown 2005).
Peningkatan volume plasma darah sebesar 50% terjadi pada akhir kehamilan,
namun jumlah sel darah merah hanya meningkat sebesar 15-20%. Kondisi ini
disebut dengan “hemodilution of pregnancy” yang mengakibatkan kadar
hemoglobin, albumin, dan vitamin-vitamin larut air di dalam darah mengalami
penurunan. Tetapi di sisi lain terjadi peningkatan kadar globulin, lipid darah seperti
trigliserid dan kolesterol, serta vitamin-vitamin larut lemak (Allen 2012; Erick
2008). Perubahan hormonal yang terjadi selama proses kehamilan melibatkan
hormon-hormon plasenta seperti Human Chorionic Gonadotropin (hCG) and
Human Placental Lactogen (hPL) yang meningkat konsentrasinya sejak awal
kehamilan. HPL berperan meningkatkan peran plasenta dalam pertumbuhan janin,
membantu nutrisi langsung ke janin dengan merangsang pemecahan lemak ibu,
merangsang perkembangan kelenjar payudara sebagai persiapan untuk proses
menyusui. Sintesis estrogen juga meningkat dari awal kehamilan yang berpengaruh
terhadap metabolisme karbohidrat dan lipid, meningkatkan tingkat turnover tulang
ibu, dan merangsang konversi sel somatotroph pada hipofisis ibu menjadi prolaktin
- mensekresi mammotrophs yang diperlukan untuk inisiasi dan pemeliharaan
laktasi. Progesteron merileksasi sel-sel otot polos saluran pencernaan dan rahim,
merangsang respirasi ibu, membantu pengembangan lobulus kelenjar susu, dan
mencegah sekresi susu pada saat kehamilan (Allen 2012).
7

Tabel 1 Kebutuhan Gizi Wanita (19- 30 tahun) dan Wanita Hamil (TM II dan III)

IOM 2002/2005 AKG 2013


Zat Gizi Tidak Tidak
Hamil Hamil
Hamil Hamil
Zat Gizi Makro
- Energi (kkal) 2000-2200 +340 / +452 2250 +300
- Karbohidrat (g) 130 175 309 349
- Protein (g) 46 71 56 76
- Lemak Total (g) 75 85
- Linoleat (g) 12 13 12 14
- Asam Linoleat (g) 1.1 1.4 1.1 1.4
Vitamin
- Vitamin A (mcg) 700 770 500 800
- Vitamin D (mcg) 15 15 15 15
- Vitamin E (mg) 15 15 15 15
- Vitamin C (mg) 75 85 75 85
- Thiamin (mg) 1.1 1.4 1.1 1.4
- Riboflavin (mg) 1.1 1.4 1.4 1.7
- Vitamin B6 1.3 1.9 1.3 1.7
- Folate (mcg) 400 600 400 600
- Vitamin B12 (mcg) 2.4 2.6 2.4 2.6
- Biotin (mcg) 30 30 30 30
- Cholin (g) 425 450 425 450
Mineral
- Kalsium (mg) 1000 1000 1100 1300
- Phospor (mg) 700 700 700 700
- Magnesium (mg) 320 350 310 350
- Besi (mg) 18 27 26 39
- Seng (mg) 8 11 10 16
- Iodium (mg) 150 220 150 220
- Selenium (mcg) 55 60 30 35
- Fluor (mg) 3 3 2.5 2.5
Sumber : (IOM 2002; Kemenkes 2013)

Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan mengakibatkan


perubahan pada kebutuhan zat gizi ibu hamil. Sebagian besar zat gizi yang
direkomendasikan bagi ibu hamil dihitung dengan menggunakan pendekatan
faktorial, dengan mempertimbangkan perkiraan penambahan jumlah gizi untuk
disimpan pada ibu dan janin, dan faktor untuk pemenuhan ketidak-efisiensi
pemanfaatan zat gizi untuk pertumbuhan jaringan (Allen 2012). Kebutuhan energi
meningkat selama kehamilan, sebagai konsekuensi dari pertumbuhan janin,
peningkatan volume darah dan berat badan ibu. Peningkatan kebutuhan energi pada
ibu hamil bervariasi dengan kisaran antara 210-570 kkal per hari untuk trimester
pertama, tambahan 340 kkal per hari pada trimester kedua, dan 452 kkal per hari
untuk trimester ketiga. Sekitar 50-65% dari total asupan energi harus bersumber
dari karbohidrat terutama karbohidrat yang mengandung serat tinggi dan fitokimia
yang bermanfaat dalam pengaturan gerakan usus. Pergeseran dalam metabolisme
8

protein yang kompleks, dan perubahan secara bertahap selama kehamilan,


memastikan bahwa konservasi nitrogen untuk pertumbuhan janin dioptimalkan
selama seperempat periode terakhir dari kehamilan, sehingga dianjurkan
penambahan 25 gram protein sehari. Asam lemak esensial omega 3 memainkan
peranan penting dalam perkembangan otak bayi pada periode kehamilan dan
menyusui. Selama kehamilan, kebutuhan mikronutrien juga meningkat, terutama
besi, folat, seng, selenium, kromium, iodium, riboflavin, niasin, vitamin A, B6, B12,
C, dan asam pantotenat. (Labuschagne et al. 2012).

Pertumbuhan dan Perkembangan Janin

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua peristiwa yang terjadi secara


bersamaan dalam siklus hidup manusia. Pertumbuhan adalah perubahan pada
jumlah, ukuran, dan fungsi dari organ atau sel dalam tubuh manusia. Pertumbuhan
biasanya dilihat dari aspek fisik dan diukur menggunakan satuan berat, panjang
maupun densitas. Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan
fungsi organ atau sel dalam tubuh mengikuti suatu pola yang teratur akibat proses
pematangan (Supariasa et al. 2002). Secara garis besar pertumbuhan dan
perkembangan dibagi menjadi 2, yaitu masa prenatal, merupakan pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi saat janin berada dalam kandungan dan masa postnatal
yang merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi setelah bayi
dilahirkan.

Fase pertumbuhan dan perkembangan janin


Laju pertumbuhan dan perkembangan manusia lebih tinggi selama kehamilan
dibandingkan dengan waktu sesudahnya. Periode kritis pertumbuhan dan
perkembangan janin adalah waktu dimana sel, jaringan dan organ penting terbentuk
dan terintegrasi satu dengan lainnya. Periode kritis yang terjadi pada dua bulan
pertama setelah konsepsi ini merupakan one way street, dimana bila terjadi
kekurangan atau keterlambatan pada pertumbuhan dan perkembangan, maka
kekurangan tersebut tidak dapat diperbaiki dan terus terbawa sepanjang hidup.
Periode kritis pertumbuhan dan perkembangan ditandai dengan terjadinya
hyperplasia, yaitu meningkatnya proses perbanyakan jumlah sel. Otak merupakan
organ pertama di dalam tubuh manusia yang mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan sistem saraf pusat. Dalam kondisi keterbatasan persediaan
energi, zat gizi dan oksigen pada janin, kebutuhan sistem saraf pusat dipenuhi
terlebih dahulu sebelum organ atau jaringan lainnya. Jantung dan kelenjar adrenal
merupakan target pemenuhan zat gizi berikutnya setelah sistem saraf pusat.
Kekurangan persediaan zat gizi selama periode perbanyakan jumlah sel dapat
mengakibatkan gangguan jangka panjang pada struktur dan fungsi dari organ
maupun jaringan (Brown 2005).
Fase kedua pertumbuhan dan perkembangan pada janin adalah hyperplasia
dan hypertrophy, yaitu proses perbanyakan jumlah sel mulai menurun disertai
dengan meningkatnya ukuran sel. Pembesaran ukuran sel diakibatkan adanya
akumulasi protein dan lemak di dalam sel, pembesaran ukuran sel dapat dideteksi
dengan kandungan protein dan lemak di dalam sel. Pada fase ini, fungsi khusus
9

organ atau sel mulai terbentuk, seperti diproduksinya enzim pencernaan oleh usus
halus. Fase ketiga disebut dengan hypertrophy, dimana perbanyakan jumlah sel
sudah terhenti sedangkan proses pembesaran ukuran sel masih terus berlanjut.
Kekurangan zat gizi pada fase ini dapat mengakibatkan penurunan fungsi organ
atau sel, yang masih dapat diperbaiki dengan memberikan tambahan asupan zat
gizi. Fase terakhir adalah pematangan proses pertumbuhan dan perkembangan, fase
ini terjadi setelah organ dan sel terbentuk dengan sempurna (Brown 2005).
Pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan, dibagi menjadi 3
periode yaitu periode germinal, embrio dan periode fetus. Periode germinal terjadi
sejak pembuahan sampai dua minggu pertama setelah pembuahan, dimulai dari
pembentukan zigot yang mengandung 100-150 sel, dilanjutkan dengan pembelahan
sel baik pada lapisan dalam (blastocyst) maupun lapisan luar (trophoblast) dan
diakhiri dengan melekatnya zigot pada dinding rahim (Berk 2008).

Sumber: (Berk 2008)


Gambar 1 Periode Pertumbuhan dan Perkembangan Janin
Periode embrio terjadi pada 2 - 8 minggu pertama kehamilan ditandai dengan
diferensiasi sel telur yang telah dibuahi dengan cepat membentuk sistem organ
dalam tubuh atau disebut dengan periode kritis pertumbuhan dan perkembangan.
Setengah bulan pertama, perubahan terjadi pada tiga lapisan sel, yaitu lapisan dalam
sel (endoderm) berkembang menjadi sistem pencernaan dan sistem pernapasan.
Lapisan luar sel dibagi menjadi dua bagian yaitu: mesoderm dan ektoderm.
Mesoderm atau lapisan tengah sel berkembang menjadi sistem peredaran darah,
tulang, otot, sistem ekskresi, dan sistem reproduksi. Ektoderm lapisan terluar
berkembang menjadi sistem saraf, reseptor sensorik seperti telinga, hidung, dan
mata, serta bagian kulit seperti rambut dan kuku. Pada bulan kedua, pertumbuhan
terjadi dengan pesat, organ-organ luar seperti mata, telinga hidung, leher, lengan
dan kaki terus terbentuk, demikian juga organ dalam yaitu usus, hati, limpa dan
10

pembentukan bilik pada jantung. Ukuran janin pada periode ini kurang lebih 2.5 cm
dan berat mencapai 4 gram (Berk 2008).
Periode fetus terjadi pada usia kehamilan 9 minggu sampai dengan kelahiran,
dibagi menjadi periode fetus dini yaitu sejak usia kehamilan 9 minggu sampai
trimester kedua, dimana terjadi proses percepatan pertumbuhan dan pembentukan
jasad manusia sempurna lengkap dengan sistem saraf, organ tubuh dan otot yang
terorganisir dan mulai berfungsi. Periode fetus lanjut terjadi pada trimester akhir
kehamilan ditandai dengan adanya pertumbuhan yang berlangsung cepat serta
perkembangan fungsi-fungsi otak dan organ tubuh. Pada akhir usia kehamilan
(minggu ke 38-40) panjang badan janin sekitar 50 cm dengan berat badan sekitar
3000-3400 gram (Santrock 2011).

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin


Pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan sangat dipengaruhi
oleh status kesehatan dan gizi ibu. Ibu hamil dengan kondisi kesehatan yang baik,
tidak sering menderita sakit, dan tidak memiliki gangguan gizi, baik pada masa
sebelum hamil maupun pada saat hamil, akan menghasilkan bayi dengan berat dan
tinggi badan normal dan lebih sehat dibandingkan ibu yang memiliki masalah
kesehatan dan gizi. Status gizi kurang pada ibu hamil dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pertumbuhan pada janin yang dikandungnya. Ukuran tubuh
ibu merupakan gambaran ukuran dari plasenta dan indikator kesehatan plasenta.
Plasenta tidak hanya berfungsi untuk mentranspor makanan, tetapi juga mampu
menseleksi, memproses dan mensitesis kembali zat-zat gizi dengan bantuan
hormon. Karbohidrat merupakan sumber energy utama bagi janin yang diperoleh
dari transfer glukosa darah ibu melalui plasenta, sedangkan lemak ditransfer secara
terbatas dalam bentuk asam lemak melalui plasenta. Pertumbuhan sel janin
merupakan hasil sintesis protein yang berasal dari asam amino yang ditransfer
melalui plasenta (Soetjiningsih and Ranuh 1995). Wanita dengan berat badan
rendah telah terbukti memiliki ukuran plasenta yang kecil, rasio protein/DNA
menurun, permukaan vilous berkurang yang mengakibatkan berkurangnya
pertukaran darah antara ibu dengan janin dan meningkatkan risiko melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (Erick 2008).
Kekurangan zat gizi makro pada ibu hamil dan menyusui dapat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandung dan bayi yang
disusui, bentuk kekurangan zat gizi makro pada bayi disebut dengan Kurang Energi
Kronis (KEK) yaitu kondisi kekurangan energi dan protein pada ibu akibat
kekurangan asupan makanan yang berlangsung dalam waktu lama yang berdampak
pada gangguan kesehatan ibu. KEK merupakan gambaran status gizi ibu di masa
anak-anak hingga remaja dan disertai dengan seringnya menderita sakit yang
berulang, menyebabkan bentuk tubuh yang pendek (stunting) atau kurus (wasting)
pada saat dewasa. Ibu yang memiliki postur tubuh demikian berisiko mengalami
gangguan pada masa kehamilan dan melahirkan bayi dengan berat dan tinggi badan
yang rendah (Soetjiningsih and Ranuh 1995).
Status KEK pada orang dewasa menurut Food and Agricultural Organization
(FAO) dan World Health Organization (WHO) ditentukan dengan menggunakan
Indeks Massa Tubuh (IMT), kategori KEK ringan ditetapkan bila nilai IMT = 17.0-
11

18.5, KEK sedang bila IMT = 16.0-17.0, dan KEK berat bila IMT < 16.0. Selain
IMT, pertambahan berat badan selama kehamilan dapat digunakan sebagai
indikator status gizi ibu hamil. Pertambahan berat badan yang ideal selama
kehamilan bervariasi tergantung pada status gizi ibu sebelum atau pada awal
kehamilan. Ibu hamil dengan IMT rendah (< 18.5) memerlukan pertambahan berat
badan lebih besar dibandingkan ibu hamil dengan IMT normal, hal ini disebabkan
ibu hamil dengan BMI rendah memerlukan sebagian pertambahan berat badan
untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya sendiri (Allen 2012) .

Tabel 2 Rekomendasi Pertambahan Berat Badan Kehamilan

Kecepatan Pertambahan
IMT sebelum
Pertambahan Berat Badan pada
Kategori hamil (kg/
Berat Badan (kg) Trimester Kedua dan
m2 )
Ketiga (kg/minggu)
Underweight <18.5 12.5 - 18 0.51 (0.44 – 0.58)
Normal
18.5 - 24.9 11.5 – 16 0.42 (0.35 – 0.50)
Weight
Overweight 25.0 - 29.9 7 – 11.5 0.28 (0.23 – 0.33)
Obese >30.0 5-9 0.22 (0.17 – 0.27)
Sumber : (IOM 2009)

Status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan faktor yang banyak
berperan pada status gizi anak yang dilahirkan. Penelitian kohor pada 1.065 ibu
hamil trimester ketiga dan ditindaklanjuti sampai bayi berusia 1 tahun di Etiopia,
menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah, status gizi ibu yang buruk, fasilitas
sanitasi rumah tangga miskin dan tinggal di daerah pedesaan merupakan prediktor
yang signifikan terhadap gizi kurang pada anak usia 6 bulan dan 1 tahun dilihat dari
berat badan dan tinggi badan (Medhin et al. 2010).
Di Indonesia penelitian serupa dilakukan oleh Hidayati dan Talahatu.
Penelitian Hidayati et al. (2005) di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa ibu
hamil yang menderita KEK dan anemia mempunyai peluang melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) 5.5 kali lebih besar dibandingkan dengan
ibu dengan status gizi normal. Hasil senada ditemukan juga pada penelitian
Talahatu et al. (2006) di Kota Ambon, dimana pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh
IMT ibu sebelum hamil, pertambahan BB selama kehamilan, status anemia dan
ukuran lingkar lengan atas. Di Bogor Jawa Barat, penelitian Yongki (2007)
menunjukkan bahwa berat lahir bayi dipengaruhi oleh usia kehamilan, pertambahan
BB, TB dan IMT ibu awal kehamilan, dan skor pengetahuan gizi ibu di akhir
kehamilan, sedangkan panjang lahir bayi dipengaruhi oleh usia kehamilan, TB ibu,
pertambahan BB selama kehamilan, dan IMT ibu pada awal kehamilan.
Selain ukuran antropometri, status gizi ibu secara biokimia, berpengaruh
terhadap status gizi bayi yang dilahirkan. Penelitian Mohsen dan Wafay (2007)
menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kadar albumin dan fibronetin rendah
melahirkkn bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Hasil yang sama
ditunjukkan oleh Yin Shu et al. (2013), kadar albumin serum ibu hamil memiliki
korelasi positif dengan berat dan panjang badan bayi yang dilahirkan. Albumin
12

merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam menentukan status protein
dalam tubuh.

Tabel 3 Hubungan Status Gizi Ibu Hamil dan Status Gizi Bayi yang Dilahirkan

Peneliti (Tahun)
Metode Hasil
Tempat
Medhin et al. Disain : Kohor Jenis kelamin laki-laki, BBLR,
(2010) Sampel : 1065 ibu status gizi kurang pada ibu hamil,
Ethiopia hamil trimester 3 fasilitas sanitasi rumah jelek, dan
diikuti sampai anak tinggal di pedesaan merupakan
berusia 1 tahun predictor gizi kurang pada bayi
usia 6 bulan (OR=2.00) dan bayi
usia 12 bulan (OR=2.08).
Hidayati et al. Disain : nested case  Ibu KEK memiliki risiko 4.71
(2005) control kali melahirkan bayi BBLR
Nusa Tenggara Sampel : 126 bayi  Ibu anemia memiliki resiko 3.70
Barat BBLR dan 252 bayi kali melahirkan bayi BBLR
non BBLR  Ibu KEK dan anemia memiliki
risiko 5.5 kali melahirkan bayi
BBLR
Talahatu (2006) Disain : cross  Faktor yang mempengaruhi
Kota Ambon sectional berat badan bayi lahir adalah
Sampel : 200 ibu IMT ibu sebelum hamil,
nifas (18-35 tahun) pertambahan BB selama
kehamilan, status anemia &
LILA (R2 = 0.734).
Yongky (2007) Disain : Kohor  BB ibu selama kehamilan
Jakarta dan Sampel : 638 ibu dipengaruhi oleh status sosial
Bogor hamil 8 minggu ekonomi, TB ibu awal
diikuti sampai kehamilan & usia kehamilan (R2
melahirkan = 0.23).
 Berat lahir bayi dipengaruhi
oleh usia kehamilan ibu,
pertambahan BB ibu, TB ibu
awal kehamilan, IMT ibu awal
dan skor pengetahuan gizi ibu di
akhir kehamilan (R2 = 0.25).
 Panjang lahir bayi dipengaruhi
oleh usia kehamilan ibu, TB ibu
awal kehamilan (cm),
pertambahan BB ibu dan IMT
ibu hamil awal kehamilan (R2 =
0.19).
13

Anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah
merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari kekurangan salah satu atau
beberapa unsur makanan yang esensial dalam pembentukan sel darah merah, yang
mengakibatkan pasokan oksigen di dalam tubuh menjadi terhambat. Anemia
defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi yang ditemukan pada ibu hamil
seiring meningkatnya kebutuhan zat besi untuk memenuhi kebutuhan ibu, janin dan
persiapan proses persalinan, serta dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pertumbuhan janin dalam kandungan (Intra Uterine Growth Retardation/IUGR).
Anemia yang terjadi pada awal kehamilan meningkatkan risiko kelahiran prematur
dan berat badan lahir rendah sebesar tiga kali lipat. Sedangkan anemia yang terjadi
sepanjang periode kehamilan berhubungan dengan rendahnya skor kecerdasan,
kemampuan bahasa dan motorik pada anak usia 5 tahun. Hal ini disebabkan
terjadinya penurunan transport oksigen pada plasenta dan fetus, meningkatnya
risiko terkena infeksi serta terganggunya fungsi neurotransmitter dan pembentukan
impuls saraf janin pada ibu penderita anemia defisiensi besi (Brown 2005).
Penetapan status anemia pada kehamilan dapat dilakukan dengan pengukuran kadar
hemoglobin dan serum ferritin. Anemia ditemukan bila kadar hemoglobin < 11.0
g/dL pada kehamilan trimester pertama dan ketiga atau hemoglobin < 10.5 g/dL
pada kehamilan trimester kedua. Bila berdasarkan kadar serum ferritin, anemia
ditegakkan bila serum ferritin < 15 ng/mL (Gibson 2005).
Selain anemia, kekurangan zat gizi mikro yang banyak terjadi pada ibu hamil
adalah kekurangan seng dan vitamin A. Kekurangan seng (Zn) pada ibu hamil dapat
mengakibatkan hambatan pertumbuhan janin, hal ini terjadi karena menurunnya
transportasi seng pada plasenta dan mempengaruhi pasokan seng untuk janin.
Konsentrasi seng yang rendah dalam plasma darah, juga mempengaruhi sirkulasi
dari sejumlah hormon yang terkait dengan proses kehamilan, menurunkan fungsi
kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi sistemik dan
intra-uterus (Hill 2013). Kekurangan seng dalam tubuh ditegakkan bila kadar seng
dalam plasma < 0.7 mg/L (Gibson 2005).
Penelitian eksperimental pemberian zat mikro selama kehamilan memberikan
bukti bahwa zat tersebut banyak berkontribusi dalam pertumbuhan janin dan bayi.
Pemberian biskuit multigizi pada ibu hamil sejak usia kehamilan 4-6 bulan sampai
saat menjelang persalinan mempengaruhi pertumbuhan linier (panjang badan dan
indeks ponderal) bayi saat dilahirkan sampai dengan usia 6 bulan (Herawati 2003).
Intervensi pangan berfortifikasi vitamin A, asam folat, vitamin C, zat besi, seng,
dan Iodium dalam bentuk susu, biscuit dan bihun pada ibu hamil terbukti dapat
mempertahankan kadar hemoglobin, menurunkan prevalensi anemia dan
kekurangan vitamin A, meningkatkan berat badan lahir bayi, meningkatkan
pertumbuhan linier dilihat dari panjang badan saat bayi berusia 6 bulan dan
pertambahan panjang badan bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (Prihananto 2007;
Saragih et al. 2007).
Vitamin A mengatur diferensiasi sel primitif menjadi sel-sel spesifik untuk
setiap sistem organ, kekurangan vitamin A pada periode ini mengakibatkan organ-
organ tidak berkembang dengan normal. Organ utama terpengaruh dari kekurangan
vitamin A adalah jantung , saraf pusat, peredaran darah , urogenital dan sistem
pernapasan, pengembangan tengkorak , kerangka dan anggota badan . Menurut Zile
dalam (Enig 2010), defisiensi vitamin A bahkan mempengaruhi pengembangan
14

sistem saraf pusat, memainkan peran kunci dalam pengembangan sistem visual
retina, telinga bagian dalam, saraf tulang belakang, daerah kraniofasial termasuk
faring, lengkungan branchial dan timus, kelenjar tiroid dan paratiroid. Berdasarkan
kadar serum retinol dalam darah, WHO menetapkan defisiensi vitamin A tingkat
sedang bila kadar serum retinol dalam darah 10-19.9 µg/dL, dan defisiensi vitamin
A tingkat berat bila kadar serum retinol dalam darah < 10 µg/dL (WHO 1996).

Tabel 4 Pengaruh Intervensi Zat Gizi terhadap Pertumbuhan Bayi

Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Herawati Disain : Randomized  Pertumbuhan linier (PB/U) bayi
(2003) Control Trial 0-6 bulan dipengaruhi oleh selisih
Bogor Sampel : 170 ibu Z skor BB/U dan biskuit dengan
hamil Intervensi : vitamin A, asam folat, Fe, seng
Biskuit multigizi dan Iodium.
3X/minggu sejak  Indeks ponderal bayi dipengaruhi
hamil 4-6 bulan oleh biskuit dengan vitamin A,
sampai menjelang asam folat, Fe, seng dan Iodium,
persalinan berat badan lahir dan selisih Z
skor BB/U
Prihananto Disain : Randomized  Persentase berat badan lahir bayi
(2007) Control Trial >2.5 kg adalah 100% pada
Sampel : 210 ibu kelompok pangan fortifikasi,
hamil Intervensi : 94.7% pada kelompok pangan
Pangan fortifikasi Vit unfortifikasi dan 96.4% pada
A, asam folat, Vit C, kelompok control
Fe, Zn, dan Iodium
(susu, biskuit, bihun)
Saragih et al. Disain : Randomized  Pertumbuhan linier (PB) bayi 0-
(2007) Control Trial 6 bulan lebih besar ditemukan
Bogor Sampel : 120 ibu pada kelompok pangan fortifikasi
hamil Intervensi : dibandingkan kelompok pangan
Pangan fortifikasi Vit unfortifikasi (2.18 cm) dan
A, asam folat, Vit C, kelompok control (1.53 cm).
Fe, Zn, dan Iodium  Pertumbuhan linier (PB/U) pada
(susu, biskuit, bihun) bayi usia 6 bulan pada kelompok
pangan fortifikasi lebih baik
dibandingkan kelompok pangan
unfortifikasi dan kelompok
kontrol.
15

Pertumbuhan Bayi dan Anak

Pertumbuhan dan perkembangan masa bayi mengikuti prinsip cephalo-


caudal dan prinsip proximodistal. Prinsip cephalo-caudal adalah pola pertumbuhan
dan perkembangan selalu terjadi dari atas ke bawah. Pertumbuhan fisik terjadi
secara bertahap dimulai dari bagian kepala terlebih dahulu, dikuti dengan
pertumbuhan pada bagian dada, perut dan kaki. Demikian halnya dengan
perkembangan sensorik dan motorik, kemampuan bayi melihat benda terjadi
sebelum mereka dapat mengontrol tubuhnya dan mereka dapat menggunakan
tangan mereka jauh sebelum mereka bisa merangkak atau berjalan. Prinsip
proximodistal adalah pola pertumbuhan dan perkembangan terjadi dari pusat tubuh
keluar, saat dalam rahim kepala dan badan badan berkembang lebih dulu sebelum
tangan dan kaki. Selama masa bayi dan anak-anak, anggota badan tumbu lebih cepat
daripada tangan dan kaki, demikian halmya dengan kemampuan anak lebih dahulu
menggunakan lengan atas dan kaki bagian atas, kemudian lengan dan kaki bagian
bawah dan akhirnya jari tangan dan kaki (Papalia, Feldman dan Martorell 2014).

Pertumbuhan fisik bayi dan anak


Pertumbuhan linier adalah proses fisiologis yang berlangsung pada masa
intrauterin dan masa ekstrauterin yaitu pada masa bayi, anak-anak dan pubertas.
Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan linier, kecukupan gizi merupakan
salah satu faktor yang sangat berperan, pada kondisi kekurangan energi dan protein,
pertumbuhan linier dapat mengalami keterlambatan sehingga tidak dapat mencapai
target yang optimal. Indikator pertumbuhan linier dapat dinilai secara fisik maupun
biokimia. Secara fisik dilakukan dengan pengukuran antropometri seperti tinggi
badan, trunk length, leg length and relative leg length (proporsi panjang kaki
terhadap perawakan tubuh) merupakan indikator yang banyak digunakan pada
penelitian-penelitian epidemiolgis. Rata-rata pertambahan panjang badan bayi pada
tahun pertama sekitar 2.5 cm per bulan, sehingga pada usia 1 tahun panjang badan
bayi akan mencapai 1.5 kali panjang badan lahir (Santrock 2011).

Secara biokimia, pengukuran beberapa zat gizi dalam tubuh dapat


memberikan petunjuk adanya gangguan pertumbuhan linier, seperti kandungan
protein, vitamin A, zat besi dan seng. Ukuran biokimia lain yang dapat digunakan
adalah leptin, insulin growth faktor (IGF). Leptin adalah suatu hormon yang
dihasilkan oleh jaringan adiposit dan berperan dalam merangsang sekresi growth
hormone (GH) dan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi tulang rawan. Hasil
penelitian di Afrika Selatan, menunjukkan bahwa anak usia 1 tahun yang
mengalami stunting memiliki kadar leptin lebih rendah dibandingkan anak dengan
tinggi badan normal. Kadar leptin yang rendah juga ditemukan pada bayi baru lahir
yang mengalami small for gestational age (SGA) dibandingkan bayi adequate for
gestational age (AGA) (Gavana et al. 2013).
16

Pertumbuhan otak
Otak terdiri dari sejumlah neuron atau sel saraf yang berfungsi untuk
menerima dan mengirim informasi, antara neuron dihubungkan dengan sinaps. Tiap
bagian neuron tersusun atas: (1) badan neuron dengan nucleus sebagai pusat
bekerjanya otak, (2) akson yang berfungsi untuk mengirimkan pesan dari badan
neuron yang satu ke yang lain, atau dari neuron ke otot dan jaringan, (3) dendrit
sebagai penerima pesan dari sel lain dan (4) myelin sheath yang berfungsi sebagai
pelindung dan membantu mempercepat implus saraf (Berk 2008).
badan neuron
sinaps

akson dari nukleus


neuron akson
sebelumnya
badan neuron

nukleus
akson dendrit dari
tips neuron
sesudahnya

sinaps sinyal
elektrik

dendrit
Sumber : Berk 2008
Gambar 2 Bagian-bagian Sel Saraf

Pertumbuhan otak tergantung pada waktu dan proses perkembangan yang


berbeda terjadi secara kronologis pada usia tertentu. Berbagai wilayah otak
memiliki kurva pertumbuhan individu mereka sendiri, dan tumbuh pada waktu yang
dan tingkat yang berbeda pula. Sekali waktu untuk fase pertumbuhan telah berlalu,
tidak dapat dimulai kembali.
Periode pertumbuhan otak pada anak terjadi sejak 3 minggu kehamilan
sampai usia 3 tahun. Pada bulan pertama kehamilan, bagian utama otak (otak depan,
tengah dan belakang) mulai tumbuh. Otak kecil yang berfungsi untuk
mempertahankan keseimbangan dan koordinasi motorik tumbuh pesat selama 1
tahun kehidupan. Permukaan luar otak besar (korteks serebral) yang mengatur
penglihatan, pendengaran, dan informasi sensoris lainnya tumbuh pesat beberapa
bulan setelah kelahiran dan mengalami pematangan pada usia 6 bulan. Sedangkan
daerah korteks frontal yang bertanggungjawab untuk pemikiran abstrak, mengingat
dan respon motorik yang disengaja, tumbuh dengan lambat pada periode ini dan
mengalami pematangan selama beberapa tahun. Pertumbuhan otak yang cepat pada
17

periode ini membutuhkan zat gizi yang cukup, apabila pada usia tersebut anak
mengalami kekurangan gizi maka pertumbuhan otak akan terganggu.
Perkembangan perilaku juga tergantung pada waktu namun lebih bervariasi
dibandingkan pertumbuhan otak. Gangguan pertumbuhan otak dapat berpengaruh
terhadap perkembangan perilaku seorang anak, sehingga penting bagi orang tua
untuk memenuhi kebutuhan gizi anak pada usia 3 tahun dimana terjadi
pertumbuhan otak (Papalia, Feldman dan Martorell 2014 dan Morgan 1990).

Sumber: Thompson dan Nelson 2001

Gambar 3 Proses Perkembangan Sistem Saraf Pusat

Menurut Prado dan Dewey (2014) serta Thompson dan Nelson (2001),
perkembangan sistem saraf pusat pada manusia dimulai sejak dalam embrio dan
berlanjut selama beberapa tahun kehidupan setelah lahir. Proses perkembangan
saraf dibagi menjadi beberapa tahap (Gambar 3), yaitu:
1. Proliferasi neuron, yaitu proses pembentukan sel-sel neuron baru melalui
pembelahan sel, dimulai pada minggu ketujuh kehamilan dan terus berlanjut
sampai usia 4.5 bulan setelah lahir, tetapi beberapa neuron dapat terus
dibuat pada usia dewasa.
2. Akson dan dendrit, merupakan cabang yang tumbuh keluar dari badan sel
neuron sebagai penghubung dengan sel-sel lain. Pertumbuhan akson
berakhir pada minggu ke-15 sampai minggu ke-32 kehamilan, sedangkan
pertumbuhan dendrit dimulai pada minggu ke-15 kehamilan sampai usia 2
tahun setelah lahir.
3. Sinaps merupakan penghubung antara neuron yang satu dengan yang lain,
pembentukan sinaps dimulai selama kehamilan (sekitar minggu ke-23) dan
terus berlangsung selama kehidupan. Puncak kepadatan sinaps terjadi pada
waktu yang berbeda antara bagian otak yang satu dengan yang lain. Pada
18

bagian korteks visual dan auditory terjadi saat bayi usia 4 - 12 bulan, bagian
bahasa reseptif dan produksi kata-kata (usia 7-12 bulan) dan bagian korteks
prefrontal yang menentukan fungsi kognitif (1-6 tahun). Penurunan
kepadatan sinaps mencerminkan pemangkasan sinaps.
4. Myelin merupakan selaput putih berbahan dasar lemak, berfungsi
melindungi akson dan mempercepat penerimaan impuls saraf. Mielinisasi
dimulai sejak dini yaitu usia 12-14 minggu kehamilan di sumsum tulang
belakang dan berlanjut sampai dewasa. Periode paling signifikan mielinisasi
terjadi pada pertengahan usia kehamilan sampai usia 2 tahun. Sebelum lahir,
mielinisasi terjadi di bagian otak yang terlibat dalam orientasi dan
keseimbangan, setelah lahir, mielinisasi pada daerah yang terlibat dalam
penglihatan dan pendengaran dan dilanjutkan dengan mielinisasi pada
daerah yang mendasari kemampuan bahasa.
5. Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram, melalui berbagai
mekanisme. Neuron apoptosis bertepatan dengan periode sinaptogenesis,
dimulai selama kehamilan dan terus berlanjut sampai remaja.
Saat lahir, ukuran otak lebih mendekati ukuran otak dewasa dibandingkan
struktur fisik lainnya dan terus berkembang sampai usia bayi dan balita. Kandungan
myelin pada otak bayi baru lahir relatif rendah, peningkatan utama selubung myelin
lipid terjadi selama dua tahun pertama kehidupan. Ada hubungan yang positif
antara kemampuan bahasa dan tonggak pengembangan myelin, artinya semakin
banyak myelin, kemampuan bahasa anak tersebut semakin meningkat (Berk 2008).
Para ilmuwan sepakat bahwa perkembangan manusia dibentuk oleh dua
faktor, yaitu alami (biologi) dan pengasuhan (pengalaman). Hasil-hasil penelitian
membuktikan bahwa interaksi alam dan pengasuhan memiliki pengaruh terbesar
pada perkembangan awal, dan memiliki efek jangka panjang pada setiap domain
perkembangan sepanjang masa. Secara alamiah, gen mengarahkan pertumbuhan
neuron, akson dan dendrit ke lokasi yang benar, tetapi pada saat serat ini
dihubungkan secara bersamaan dan berfungsi, pengalaman mengambil alih peran
gen dan membentuk kembali serta menyempurnakan sambungan tersebut.
Lingkungan akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan otak baik secara
struktural maupun fungsinya. Karena lingkungan pengasuhan merupakan faktor
penting pada perkembangan bayi/balita, penting bagi seorang ibu untuk menyadari
tanggung jawab mereka untuk memelihara perkembangan dan pembelajaran bayi
dan balita. Pengasuhan perkembangan bayi / balita dapat terjadi dalam berbagai
cara, antara lain: hubungan yang hangat dan responsive. Penyediaan lingkungan
yang sehat dan aman, kemampuan pengasuhan (USDHHS 2010).
Pertumbuhan sistem saraf secara detil ditampilkan pada ambar 4. Sistem saraf
sensorik seperti penglihatan dan pendengaran merupakan sistem yang pertama
berkembang, mulai dari masa kehamilan sampai usia 2 tahun. Perkembangan ini
secara simultan juga terjadi pada sistem saraf motorik dan berlanjut sampai usia 5
tahun. Sistem saraf integratif merupakan sistem saraf yang terakhir berkembang,
yaitu dimulai pada tahun pertama kehidupan dan berlanjut sampai usia dewasa awal
(Morgan 1990).
Sistem saraf memerlukan stimulasi atau rangsangan selama proses
perkembangannya agar menjadi berfungsi dengan baik dan maksimal. Stimulasi
19

pertumbuhan neuronal merupakan karakteristik penting dalam proses


perkembangan otak. Selama proses perkembangannya, semakin diperkaya dengan
rangsangan dari lingkungan maka ukuran dan volume otak semakin besar. Pada
proses pembentukan koneksi atau sinap pada neuron, faktor baru yaitu berupa
rangsangan dari lingkungan menjadi sangat penting dalam kelangsungan hidup
neuron-neuron tersebut agar dapat terus membangun sinap-sinap baru. Neuron yang
jarang memperoleh rangsangan dari lingkungan akan segera kehilangan sinap
mereka atau disebut dengan proses 'pemangkasan sinaps. Neuron yang kehilangan
sinaps akan mengecil dan pada akhirnya akan mati sehingga tidak dapat berfungsi
lagi. Pentingnya rangsangan dari lingkungan dapat digambarkan dari berat dan
ketebalan otak antara hewan yang dipelihara dengan baik dan hewan yang hidup
dalam ruang isolasi. Ternyata otak hewan yang dipelihara sebagai hewan peliharaan
memiliki berat dan ketebalan yang besar dibandingkan dengan otak hewan
dibesarkan dalam ruang isolasi (Papalia, Feldman dan Martorell 2014).

Kandungan Tahun Pertama 1-10 Tahun 10-30 Tahun

SISTEM SENSORIK

SISTEM MOTORIK

SISTEM INTEGRASI

Sumber : Morgan 1990


Gambar 4 Pertumbuhan Sistem Saraf

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bayi dan anak


Pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
faktor internal (genetik) dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor genetik adalah
faktor bawaan melalui gen yang ada pada sel telur dan sperma orang tua. Sedangkan
faktor lingkungan adalah kondisi lingkungan dimana janin atau bayi tumbuh.
Secara garis besar faktor lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan pranatal
dan lingkungan pascanatal. Lingkungan pranatal antara lain status kesehatan, gizi
dan kejiwaan ibu saat hamil, cemaran bahan biologis, kimia maupun toksin.
Lingkungan pasca natal adalah lingkungan biologis, fisik dan kimia, penyakit,
20

faktor psikososial, pola asuh dan adat istiadat dimana anak tersebut tinggal
(Tanuwidjaya 2008).
Tabel 5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak

Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Espo et al. Disain : Kohor Prediktor tejadinya severe stunting :
(2002) Sampel : 613 bayi  Wasting (Z skor BB/TB <-1) pada
Malawi baru lahir diikuti usia 3 bulan (aOR = 3.00)
sampai anak berusia  Pola penyapihan tidak tepat (aOR =
1 tahun 2.20)
 TB ibu < 150 cm (aOR = 1.9)
 Jenis kelamin laki-laki (aOR = 1.7)
Schmidt et al . Disain : Kohor  Gangguan pertumbuhan mulai
(2002) Sampel : 366 ibu terjadi pada usia 6-7 bulan, terlihat
Bogor hamil 18 minggu dari meningkatnya status wasting
diikuti sampai anak dan stunting
berusia 15 bulan  Berat dan panjang lahir merupakan
prediktor positif terhadap berat
dan panjang anak usia 15 bulan
Meirita et al. Disain : Cross  Anak dengan KEP berat umumnya
(2000) Sectional telah diberi makanan tambahan
Bogor Sampel : 42 anak sebelum usia 4 bulan, tidak punya
usia 13-60 bulan jadwal makan, tidak ada interaksi
antara ibu dan anak saat pemberian
makan
 Terdapat korelasi positif antara
kualitas waktu pengasuhan untuk
makan dengan status gizi balita
(r=0.284).

Status gizi bayi saat dilahirkan, dilihat dari berat badan maupun panjang
badan lahir merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bayi dan anak. Penelitian
kohor berbasis masyarakat pada anak usia 1 tahun di daerah pedesaan Malawi,
membuktikan bahwa ibu dengan tinggi badan < 150 cm, berat badan lahir,
pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat, angka kesakitan tinggi
merupakan faktor penyebab terjadinya stunting pada usia 1 tahun (Espo et al. 2002).
Hasil penelitian Schmidt dan kawan-kawan tahun 2002 di Bogor Jawa Barat,
menunjukkan berat badan dan tinggi badan lahir merupakan prediktor kuat pada
status gizi dan pertumbuhan linier bayi sampai usia 15 bulan, berarti status gizi dan
asupan zat gizi yang baik saat menjelang dan selama kehamilan berpengaruh
terhadap status gizi dan pertumbuhan selama masa bayi (Schmidt et al, 2002).
Pola asuh merupakan faktor yang berperan dalam pertumbuhan balita, hal ini
sesuai dengan penelitian Meirita dan kawan-kawan di Bogor pada anak usia 13-60
bulan, dimana terdapat korelasi positif antara kualitas waktu pengasuhan untuk
makan dengan status gizi balita. Anak dengan KEP berat umumnya telah diberi
21

makanan tambahan sebelum usia 4 bulan, tidak mempunyai jadwal makan, tidak
ada interaksi antara ibu dan anak saat pemberian makan, sebaliknya anak yang
berstatus gizi baik adalah anak yang diberi kolostrum dan ketika anak makan ibu
bercerita atau bercanda dengan anak (Meirita et al. 2000).

Perkembangan Bayi dan Anak

Perkembangan adalah perubahan fisik dan psikis pada anak yang terjadi pada
fase tertentu sebagai hasil dari proses pematangan yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, pengalaman dan proses belajar. Perkembangan mencakup berbagai
aspek antara lain perkembangan kecerdasan (kognitif), perkembangan motorik,
perkembangan bahasa, dan perkembangan sosioemosional. Pencapaian dari
berbagai proses perkembangan, misalnya: perkembangan motorik halus dan kasar,
perkembangan individu dan sosial, serta perkembangan bahasa terjadi secara
bersamaan dan tidak dapat dipisahkan. Dengan bertambahnya usia anak,
pertumbuhan dan pematangan kognitif terjadi, mengakibatkan anak memiliki
kemampuan fungsi kognitif yang semakin kompleks. Pencapaian berbagai
perkembangan dan fungsi kecerdasan terjadi secara bertahap, hal ini menunjukkan
bahwa proses pematangan neuron (neuromaturational) terjadi di Sistem Saraf Pusat
(SSP) terutama pada bagian korteks (Papalia, Feldman dan Martorell 2014).
Perkembangan kognitif merupakan perkembangan yang berhubungan dengan
kemampuan berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan, kecerdasan
dan bakat. Perkembangan kognitif mempunyai lingkup yang luas mencakup
kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengatasi masalah dalam
kehidupan sehari-hari, kemampuan mengingat, konsentrasi, perhatian dan persepsi
serta kemampuan imajinasi dan kreativitas. Pembentukan kognitif pada anak terjadi
secara bertahap dimulai sejak dalam kandungan sampai usia balita, dilanjutkan
dengan proses pematangan fungsi fisiologis. Seorang anak dapat melakukan
koordinasi gerak tangan kaki maupun kepala setelah saraf maupun otot organ
tersebut telah berkembang dengan metang. Banyak faktor yang mempengaruhi
kecerdasan baik secara alami yang diturunkan dari orang tua, yang diperoleh dari
proses belajar ataupun distimulasi oleh lingkungan (Yuniarti 2015).
Perkembangan kognitif pada bayi merupakan area yang paling sulit untuk
dinilai atau diukur, hal ini disebabkan karena dua alasan berikut:
1. Indikasi adanya kecerdasan pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak
dapat ditemukan pada bayi seperti memori verbal, kemampuan pemecahan
masalah, dan kemampuan mengingat dan memproses informasi dengan
cepat
2. Kemampuan kognitif harus disimpulkan dengan melalui serangkaian
pengamatan yang intensif.
Kemampuan berbahasa merupakan aspek penting dari perkembangan
kognitif, namun demikian kemampuan bahasa adalah tindakan sosial, sehingga
tidak hanya kapasitas kognitif yang berperan tetapi perlu adanya interaksi dengan
lingkungan. Anak yang tumbuh tanpa kontak sosial akan mengalami keterlambatan
perkembangan bahasa. Sampai usia 3 tahun, otak mengalami proses pengembangan
22

dan pematangan, masa ini merupakan periode paling penting untuk memperoleh
kemampuan berbicara dan bahasa. Jika periode kritis terlewati tanpa paparan
bahasa, maka anak akan lebih sulit untuk belajar. Anak-anak memiliki
perkembangan bicara dan kemampuan bahasa yang bervariasi, namun mereka
mengikuti perkembangan alami sesuai pola penguasaan keterampilan bahasa.
Perkembangan normal berbicara dan kemampuan bahasa pada anak-anak dimulai
sejak lahir sampai usia 5 tahun, maka jika seorang anak mengalami keterlambatan
kemampuan bahasa dapat disebabkan adanya gangguan pendengaran atau adanya
gangguan pada fungsi kognitif atau sebagai prediktor keterbelakangan intelektual.
Keterlambatan ini dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam belajar dan dapat
terus berlanjut selama bertahun-tahun di usia sekolah (Papalia, Feldman dan
Martorell 2014).
Perkembangan motorik merupakan kemampuan pengendalian gerakan-
gerakan tubuh secara terkoordinasi antara saraf pusat, urat saraf dan otot.
Keterampilan motorik anak meliputi motorik kasar yaitu kemampuan melakukan
gerakan-gerakan yang melibatkan bagian atau otot besar dari tubuh seperti berjalan,
duduk, berlari atau melompat. Sedangkan motorik halus adalah kemampuan
melakukan gerakan yang melibatkan otot-otot kecil seperti memegang, meraih,
menulis atau melempar (Yuniarti 2015).
Perkembangan tidak hanya terjadi pada sebuah kontinum tetapi juga
terintegrasi di seluruh domain. Sebagai contoh, perkembangan bahasa
membutuhkan keterampilan kognitif utuh untuk membangun kerangka kerja
konseptual dan pembangunan fisik untuk mengkoordinasikan respon oral-motor
yang diperlukan. Bahasa juga sangat bergantung pada interaksi sosial - hubungan
yang bermakna dan mencakup pertukaran bahasa secara signifikan. Demikian pula
saat anak mengembangkan kemampuan motorik berdampak pada perkembangan
lainnya misalnya bahasa, dan kemampuan sosial (US Department of Health &
Human Services 2010).
Meskipun anak mengembangkan bahasa dengan caranya sendiri, ada pola
tertentu dalam perkembangan bahasa yang terkait dengan pertumbuhan motorik.
Pada usia sekitar 6 bulan, anak mulai duduk sendiri, dan peningkatan kemampuan
mengoceh (prespeech) terjadi. Memasuki usia 1 tahun, anak bisa berdiri dan mulai
berjalan, sedangkan dari kemampuan bahasa, anak sudah mulai dapat mengucapkan
kata-kata yang mengandung arti. Pada usia 18 bulan, anak bisa berjalan dengan
lancar serta mengucapkan satu atau dua kata dan saat mendekati usia 2 tahun anak
sudah dapat berlari dan mengucapkan sekitar 20 buah kata (Papalia, Feldman dan
Martorell 2014).

Tes perkembangan
Ada beberapa test untuk mengukur perkembangan pada bayi dan anak yang
telah dikembangkan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Bayley Scale of Infant and Toddler Development
Tes yang paling sering digunakan untuk perkembangan bayi usia 1 bulan
sampai anak usia 3.5 tahun adalah Bayley Scale. Alat ini dikembangkan oleh
Nancy Bayley tahun 1933 dan berkembang lagi termasuk langkah-langkah
23

pengukuran perkembangan motorik dan mental. Kemudian pada tahun 2005,


berkembang menjadi skala Bayley. Skor yang diperoleh pada tes ini dapat
mengukur kelemahan, kekuatan dan kompetensi anak pada 5 area
perkembangan, yaitu kognitif, bahasa, motorik, sosio-emosi dan perilaku
adaptif. Skor perkembangan (Developmental Quotients/DQs) juga dapat
dihitung untuk mendeteksi secara dini gangguan emosi, sensoris, sistem saraf
dan kurangnya stimulus lingkungan (Papalia, Feldman dan Martorell 2014).
b. Denver Development Screening Test
Tujuan dari Denver Development Screening Test adalah untuk memantau
masalah perkembangan pada anak atau mengkonfirmasi adanya masalah
dengan menggunakan ukuran yang obyektif. Pemantauan anak beresiko pada
masalah perkembangan didasarkan pada laporan 125 item kinerja anak dan
orang tua pada empat bidang fungsi, yaitu adaptasi motorik, motorik kasar,
personal-sosial, dan keterampilan bahasa (Ringwald 2008).
c. Habituation Events
Habituasi terhadap rangsangan visual dan pemulihan perhatian selanjutnya
terhadap stimulus baru (dishabituation), dianggap sebagai indikasi integritas
otak dan kemampuan kognitif, serta tingkat kecepatan atau pembiasaan.
Jumlah pemulihan perhatian terhadap stimulus baru dianggap sebagai ukuran
kecepatan dan jumlah pengolahan informasi.Seperti diketahui bahwa
tindakan tersebut menunjukkan perbedaan individual pada bayi dan banyak
studi melaporkan adanya korelasi prediktif sederhana antara ukuran habituasi
dan dishabituation pada masa bayi dan skor IQ selanjutnya (Johnson dan
Slater 2007).

Faktor yang mempengaruhi perkembangan bayi dan anak


Status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan berpengaruh terhadap
pertumbuhan janin, status gizi bayi saat dilahirkan dan akhirnya berpengaruh pula
pada perkembangan bayi sampai anak usia sekolah. Hasil penelitian Moura et al.
(2010) pada perkembangan anak usia 2 tahun di Brazil, menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan ibu, berat badan lahir rendah, lahir premature, riwayat sakit dan
mempunyai riwayat keterlambatan perkembangan pada usia 1 tahun merupakan
faktor risiko terjadinya keterlambatan perkembangan saat anak tersebut berusia 2
tahun diukur dengan menggunakan Battelle Developmental Screening Inventory
(BSDI). Penelitian Gage et al. (2013) di Inggris pada anak usia 4, 8 dan 16 tahun,
menunjukkan bahwa pertambahan berat badan selama kehamilan berperan terhadap
skor saat masuk sekolah, IQ, dan hasil ujian akhir sekolah.
24

Tabel 6 Faktor faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Moura et al. Disain : Kohor Keterlambatan perkembangan anak
(2010) Sampel : 3869 ibu hamil
usia 2 tahun dipengaruhi oleh:
Brazil diikuti sampai anak  Sosiodemografi : pendidikan ibu
berusia 2 tahun  Reproduksi ibu : jarak kelahiran
Test : Battelle Screening
dan pemeriksaan kehamilan
 Kehamilan : diabetes kehamilan
Development Inventory
 Kondisi bayi lahir : lahir
premature, BBLR, dan nilai
APGAR
 Gizi dan penyakit : riwayat rawat
inap di RS, dan keterlambatan
perkembangan pada usia 1 tahun
 Stimulasi : ketersediaan buku anak
dan kebiasaan bercerita pada anak
Gage et al. Disain : Kohor  Bayi yang dilahirkan dari ibu
(2013) Sampel : 5832 anak usia dengan pertambahan BB kehamilan
United 4 tahun, 5191 anak usia dibawah standar memiliki rata-rata
Kingdom 8 tahun, 7339 anak usia skor tes awal masuk sekolah dan
16 tahun pencapaian hasil ujian akhir yang
Test : School Entry rendah
Assessment Skor,  Pertambahan BB awal kehamilan
Wechsler Intelligence (18 minggu) berhubungan dengan
Scale for Children dan skor tes awal masuk sekolah dan
School Final IQ.
Examination Results  Pertambahan BB akhir kehamilan
(28-28 minggu) berhubungan
dengan IQ dan hasil ujian akhir.
Drewett et al. Disain : Nested case Anak yang mengalami kekurangan
(2001) control gizi (BB/U) pada usia 4 bulan maupun
Etiopia Sampel : 197 anak usia 1 tahun memiliki rata-rata skor
2 tahun perkembangan psikomotor dan mental
Test : Bayley Scales of lebih rendah dibandingkan dengan
Infant Development II anak seusianya yang tidak mengalami
kekurangan gizi.
Eickmann et Disain : Kohor Pemberian ASI eksklusif selama 1
al. (2007) Sampel : 191 bayi bulan berhubungan dengan
Brazil diikuti sampai usia 12 perkembangan perilaku dan mental
bulan anak usia 1 tahun yang lebih baik
Test : Bayley Scales of dibandingkan dengan anak yang tidak
Infant Development II ASI eksklusif
25

Tabel 6 Faktor faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak (lanjutan)


Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Crookston et Disain : Kohor  Skor lebih tinggi ditemukan pada
al. (2011) Sampel : 1674 bayi usia anak yang dilahirkan dari ibu lebih
Etiopia, 6-18 bulan – anak usia tua, memiliki tingkat pendidikan
India, Peru 4.5-6 tahun tinggi, tinggal di daerah perkotaan,
dan Vietnam Test : Peabody Picture mengikuti pendidikan pra-sekolah,
Vocabulary Test saudara kandung lebih sedikit dan
(PPTV) dan Cognitive status ekonomi tinggi
development  Kemampuan kognitif anak saat
Assessment (CDA) masuk sekolah dipengaruhi oleh
kondisi stunting pada usia 6-18
bulan dan pengaruh lebih kuat oleh
kondisi stunting pada usia 4.5-6
tahun.
Belfort et al. Disain : Kohor  Lama pemberian ASI berhubungan
(2013) Sampel : 1312 ibu dan dengan peningkatan skor Peabody
United anak usia 3 dan 7 tahun Picture Vocabulary Test anak usia
States Test : Peabody Picture 3 tahun dan IQ usia 7 tahun.
Vocabulary Test, Wide  Kemampuan visual yang lebih baik
Range Assessment of ditemukan pada anak yang disusui
Visual Motor, Kaufman oleh ibu yang mengkonsumsi ikan
Brief Intelligence Test > 2 porsi per minggu
dan Wide Range
Assessment of Memory
& Learning
Gale et al. Disain : Kohor Anak pada usia 6-12 bulan banyak
(2009) Sampel : 241 anak 4 mengkonsumsi sayur, buah dan
United tahun makanan yang disiapkan di rumah
Kingdom Test : Wechsler memiliki verbal IQ dan
Intelligence Scale for kemampuan memory yang lebih
Children, Development baik saat usia 4 tahun
Psychological
Assessment & Test of
Visual Perceptual

Pengaruh waktu terjadinya gizi kurang terhadap perkembangan kognitif


menggunakan Bayley Scales of Infant Development II (BSID II) pada anak usia 2
tahun di Etiopia, memperlihatkan bahwa anak yang mengalami kekurangan gizi
(dilihat dari Z skor berat badan menurut umur) pada usia 4 bulan maupun 1 tahun
memiliki skor perkembangan psikomotor dan mental lebih rendah dibandingkan
dengan anak seusianya yang tidak mengalami kekurangan gizi. Namun tidak ada
perbedaan skor perkembangan psikomotor dan mental antara anak yang mengalami
kekurangan gizi pada usia 4 bulan maupun 1 tahun (Drewett et al. 2001). Hasil
serupa ditemukan oleh Crookston et al. (2011) pada penelitiannya di Etiopia, India,
26

Peru dan Vietnam, menunjukkan bahwa kemampuan kognitif anak saat masuk
sekolah dipengaruhi oleh kondisi stunting pada usia 6-18 bulan dan pengaruh lebih
kuat oleh kondisi stunting pada usia 4.5-6 tahun.

Pemberian ASI eksklusif dan lamanya pemberian ASI berpengaruh terhadap


perkembangan bayi dan anak, penelitian Eickmann di Brazil memperlihatkan
bahwa pemberian ASI eksklusif selama 1 bulan berhubungan dengan
perkembangan perilaku dan mental anak usia 1 tahun yang lebih baik dibandingkan
dengan anak yang tidak ASI eksklusif (Eickmann et al. 2007). Penelitian terbaru
Belfort di Amerika Serikat mendukung hasil penelitian Eickmann, dimana lamanya
pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan skor Peabody Picture
Vocabulary Test pada anak usia 3 tahun sebesar 0.21 point per bulan dan
peningkatan IQ pada usia 7 tahun sebesar 0.35 verbal point dan 0.29 non-verbal
point per bulan. Kemampuan visual yang lebih baik juga ditemukan pada anak yang
disusui oleh ibu yang mengkonsumsi ikan lebih dari 2 porsi per minggu (Belfort et
al. 2013).
Tabel 7 Pengaruh Intervensi Gizi terhadap Perkembangan

Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Durán et Disain : Double blind  Pemberian suplemen Zn tidak
al. (2001) trial berpengaruh terhadap berat dan panjang
Chili Sampel : 150 bayi usia badan bayi usia 12 bulan
5-12 bulan  Proporsi gangguan perkembangan
Intervensi : Suplement mental dan motorik pada kelompok
Zn selama 7 bulan yang mendapat suplemen Zn lebih
Test : BSID II rendah dibandingkan kelompok plasebo
Black et Disain : Double blind  Pemberian Fe dan Zn secara bersamaan
al. (2004) trial dengan mikronutrien lainnya
Banglade Sampel : 221 bayi (6- berpengaruh tehadap perkembangan
sh 12 bulan) motorik bayi
Intervensi : Suplement Pemberian Fe dan Zn secara terpisah
Fe, Zn, vit B2 selama 6 berpengaruh tehadap perkembangan
bulan orientasi
Test : BSID II
Herawati Disain : Randomized  Perkembangan mental bayi usia 6
(2003) Control Trial bulan dipengaruhi oleh pemberian
Bogor Sampel : 170 ibu hamil ASI ekslusif, pengasuhan, dan
Intervensi : Biscuit biscuit dengan vitamin A, asam
multigizi 3X/minggu folat, Fe, seng dan Iodium
sejak hamil 4-6 bulan  Perkembangan motorik bayi usia 6
sampai menjelang bulan dipengaruhi oleh pemberian
persalinan ASI eksklusif, biscuit dengan
vitamin A, asam folat, Fe, seng dan
Iodium, berat badan lahir dan selisih
Z skor TB/U
27

Pemberian supplemen seng selama 7 bulan pada 150 bayi usia 5 bulan di
Chili, walaupun tidak berpengaruh terhadap berat dan panjang badan, namun dapat
mempengaruhi perkembangan mental dan motorik bayi usia 12 bulan, hal ini
terlihat dari rendahnya proporsi gangguan perkembangan mental dan motorik pada
kelompok yang mendapat suplemen seng dibandingkan kelompok placebo (Durán
et al. 2001). Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Black pada 221 bayi usia
6-12 bulan, pemberian zat besi dan seng secara terpisah maupun bersamaan dapat
mempengaruhi perkembangan mental dan motorik anak usia 12 bulan (Black et al.
2004; Durán et al. 2001). Penelitian Herawati di Indonesia berupa pemberian
biscuit multigizi pada ibu hamil sejak usia kehamilan 4-6 bulan sampai saat
menjelang persalinan tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan linier, tetapi juga
berpengaruh terhadap perkembangan mental dan motorik bayi usia 6 bulan
(Herawati 2003).

Kerangka Teoritis

Tinjauan pustaka menguraikan bahwa status gizi bayi saat dilahirkan


menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan yang
dipengaruhi oleh kondisi kehamilan. Kondisi kehamilan dapat dilihat dari
bagaimana proses perawatan kehamilan yang dilakukan ibu dan pertambahan berat
badan selama kehamilan. Kondisi kehamilan yang baik akan memberikan
ketersediaan makanan yang cukup bagi pertumbuhan dan perkembangan janin.
Gangguan pertumbuhan janin dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain
kondisi keehatan dan gizi ibu yang dapat mempengaruhi pertumbuhan plasenta dan
transfer zat gizi maupun hormon dari ibu ke janin.
Status gizi bayi saat dilahirkan akan memperngaruhi pertumbuhan fisik dan
perkembangan pada masa bayi (0-12 bulan) dan masa anak terutama anak di bawah
usia lima tahun (balita). Selain itu pola asuh yang diberikan ibu meliputi perawatan
kesehatan, pola pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (MP ASI) serta
stimulasi sosial yang diberikan juga memiliki peranan dalam pertumbuhan dan
perkembangan bayi dan anak.
Kerangka teoritis pada Gambar 5 merupakan modifikasi dari beberapa
sumber sesuai dengan tujuan penelitian (Christian et al. 2015, Lin et al. 2015, Alive
dan Trive 2012).
28

Kondisi ibu hamil: Gangguan pertumbuhan


 Kekurangan zat gizi plasenta:
 Penyakit infeksi dan non  Ukuran plasenta
infeksi  Jaringan vili
 Rokok – Alkohol  Lemak
 Obat-obatan

Kondisi janin:
Penurunan transfer zat gizi  Infeksi janin
dan hormon dari ibu ke janin  Cacat bawaan
 Kehamilan kembar

Gangguan pertumbuhan janin


(IUGR)

Gangguan pertumbuhan janin: Gangguan pertumbuhan dan


 Perubahan metabolik dan perkembangan otak:
hormonal  Penurunan volume otak
 Penurunan pertumbuhan sel,  Struktur otak tidak normal
jaringan dan organ  Kadar neurotransmitter rendah
 Penurunan massa otot  Perubahan pada faktor
pertumbuhan (BDNF)

Gangguan pertumbuhan
linier anak
Perkembangan kognitif
anak terhambat
Angka kesakitan

Sanitasi lingkungan Pola asuh

Gambar 5 Kerangka Teoritis Penelitian


29

Kerangka Operasional

Berdasarkan kerangka teoritis pada Gambar 5, maka ditetapkan status gizi ibu
hamil baik makro maupun mikro, asupan energi dan protein ibu hamil sebagai
variabel yang mempengaruhi gangguan panjang badan bayi saat dilahirkan. Adanya
gangguan panjang badan saat bayi lahir, morbiditas atau kejadian sakit dan
pemberian ASI merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap pola
pertumbuhan linier anak usia 3 tahun dan selanjutnya dengan adanya pola asuh
psikososial berpengaruh pula perkembangan kognitif anak usia 3 tahun.

Status Gizi Ibu Hamil


 Makro : TB, IMT awal
kehamilan, Pertambahan BB Asupan energi
hamil, kadar albumin dan dan protein ibu
protein darah hamil
 Mikro : kadar hemoglobin
darah, retinol serum, seng
serum

Pola konsumsi
 Pemberian ASI Panjang Lahir
 Asupan Energi Rendah
dan Protein

Pertumbuhan Linier
Anak usia 3 tahun
Morbiditas

Pola Asuh Perkembangan


Psikososial Kognitif Anak usia 3
tahun

Gambar 6 Kerangka Operasional Penelitian


3 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Puskesmas pada wilayah kerja Kecamatan Cigudeg,


Cibungbulang, Cibinong, Bojong Gede dan Sukaraja pada bulan September 2014
sampai dengan Februari 2015.

Disain

Penelitian ini berawal dari studi longitudinal Faktor Risiko Terjadinya


Stunting pada Anak Baduta (Bawah Dua Tahun), yang dilaksanakan oleh Pusat
Teknologi Terapan Kesehatan Epidemiologi Klinik (PT2KEK) Badan Litbangkes
Kemenkes RI pada lima kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011-2012 (tahap 1
dan 2). Dalam penelitian ini ibu hamil dengan usia kehamilan 12-14 minggu
direkrut sebagai sampel kemudian diikuti perkembangan kehamilan sampai proses
persalinan. Bayi yang dilahirkan diamati pertumbuhanya sampai usia 1 tahun.
Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nested Case-Control
dimana pada tahap 3 tahun 2015, bayi yang dilahirkan ibu hamil pada penelitian
induk diamati pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia tiga tahun untuk
melihat pengaruh gangguan panjang badan saat lahir terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak pada usia tiga tahun.

Populasi dan Subjek Penelitian

Populasi penelitian adalah bayi yang dilahirkan dari ibu hamil yang menjadi
subjek pada penelitian induk. Besar subjek penelitian dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Sastroasmoro dan Ismail 2000).
Perhitungan besar subjek penelitian dilakukan dengan rumus kasus kontrol
(untuk melihat kekurangan gizi makro dan mikro pada ibu hamil sebagai faktor
risiko gangguan pertumbuhan janin) dan kohor (untuk melihat pengaruh gangguan
pertumbuhan janin terhadap pertumbuhan linier dan perkembangan anak). Jumlah
subjek penelitian yang diambil adalah jumlah terbesar dari perhitungan tersebut.
Studi Kasus Kontrol

n1  n 2 
Z  2 PQ  Z  p 0 q 0  p1 q1 
2

 p 0  p1 2
Keterangan :
n = Jumlah subjek penelitian yang dibutuhkan
Z1-α = Derajat kepercayaan yaitu 95% (two tailed) = 1.96
Z1-β = Kekuatan uji yaitu 90% = 1.28
31

P0 = Proporsi ibu hamil penderita anemia 43.0% atau KEK 37.1%


(Riskesdas 2013)
OR = Odd rasio anak stunting pada ibu hamil anemia 3.7 atau KEK 4.7
(Hidayati et al. 2005)

Studi Kohor

n1  n 2 
Z  2 PQ  Z  p1 q1  p 2 q 2 
2

 p1  p2 
2

Keterangan :
n = Jumlah subjek penelitian yang dibutuhkan
Z1-α = Derajat kepercayaan yaitu 95% (two tailed) = 1.96
Z1-β = Kekuatan uji yaitu 90% = 1.28
P2 = Proporsi balita yang mengalami perkembangan terhambat 20.0%
(Salimar 2010)
RR = Risiko relatif perkembangan terhambat pada anak stunting
sebesar 2.00 (estimasi)
Dari perhitungan di atas, diperoleh subjek penelitian minimal pada studi kasus
kontrol sebesar 30 orang dan pada studi kohor sebesar 55 orang. Dalam penelitian
ini perbandingan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 1:3, maka
jumlah subjek penelitian untuk tiap kelompok dihitung dengan rumus:

(𝑘 + 1)𝑛 k= perbandingan jumlah kontrol= 3


𝑛^ =
2𝑘 n= jumlah sampel (1:1) = 55

Maka jumlah subjek penelitian minimal untuk kelompok kasus adalah 37 bayi yang
mengalami gangguan pertumbuhan saat janin dan 111 bayi yang tidak mengalami
gangguan pertumbuhan saat janin.
Subjek penelitian pada kelompok kasus adalah bayi dengan panjang lahir
rendah, kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Lahir cukup bulan (usia kehamilan 36-40 minggu)
2. Z skor Panjang Badan Lahir < -1 SD

Sedangkan subjek penelitian pada kelompok kontrol adalah bayi dengan panjang
lahir normal, kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Lahir cukup bulan (usia kehamilan 36-40 minggu)
2. Z skor Panjang Badan Lahir > -1 SD
3. Bertempat tinggal pada wilayah kerja Puskesmas yang sama dengan
kasus.
Kriteria eksklusi untuk kelompok kasus maupun kontrol, yaitu:
1. Bayi lahir kembar
2. Bayi yang dilahirkan dari ibu hamil yang memiliki kebiasaan merokok
atau minum minuman beralkohol
3. Bayi yang dilahirkan dari ibu hamil yang menderita penyakit diabetes
mellitus, hipertensi atau penyakit kronis lainnya
32

Skema pengambilan subjek penelitian adalah sebagai berikut:

323 ibu hamil


(subjek pada penelitian induk)

262 bayi lahir


(subjek pada penelitian induk)

251 bayi
(data lengkap dan valid)

68 bayi 183 bayi


(Z skor PB lahir < -1 SD) (Z skor PB lahir > -1 SD)

39 bayi 111 bayi


(Kelompok Kasus) (Kelompok Kontrol)

Gambar 7 Skema Pengambilan Subjek Penelitian

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder, data primer
adalah data yang dikumpulkan langsung pada saat anak berusia 3 tahun, sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian induk, yaitu Studi
Longitudinal Faktor Risiko Terjadinya stunting pada Anak Baduta (Bawah Dua
Tahun), yang dilaksanakan oleh Pusat Teknologi Terapan Kesehatan Epidemiologi
Klinik (PT2KEK) Badan Litbangkes Kemenkes RI (Ernawati et al. 2012), dengan
beberapa pengolahan kembali disesuaikan dengan tujuan penelitian. Jenis dan cara
pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 8.
33

Tabel 8 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Waktu
Jenis Data Peubah Cara Pengumpulan
Pengumpulan
Status gizi  Tinggi Badan  Tinggi badan diukur Data sekunder
makro ibu Ibu menggunakan alat ukur  Awal
hamil  IMT awal microtoice (ketelitian 0.1 kehamilan
kehamilan cm)
 Pertambahan  Berat badan diukur  Awal
BB ibu selama menggunakan timbangan kehamilan
kehamilan digital (ketelitian 0.1 kg) dan setiap
 Kadar protein  Kadar protein dan bulan
dalam darah albumin dalam darah  Trimester 2
 Kadar albumin diukur menggunakan dan 3
dalam darah metode enzimatik
Status gizi  Kadar  Kadar Hemoglobin darah Data sekunder
mikro ibu hamil hemoglobin menggunakan metode Trimester 2
 Kadar retinol Cyantmethemoglobin dan 3
serum  Kadar retinol serum
 Kadar seng menggunakan metode
serum HPLC
 Kadar seng serum
menggunakan metode
AAS
Asupan gizi  Asupan Energi Wawancara menggunakan Data sekunder
ibu hamil  Asupan Protein metode Recall 1x24 jam Trimester 1, 2
dan 3
Panjang lahir  Panjang bayi Panjang badan diukur Data sekunder
bayi saat dilahirkan dalam posisi berbaring Maksiml 24
lurus menggunakan papan jam setelah
ukur (ketelitian 0.1 cm) bayi dilahirkan
Pola  ASI eksklusif Wawancara menggunakan Data sekunder
pemberian ASI  Waktu kuesioner Setiap bulan
pemberian bayi usia 0-12
ASI bulan
Asupan gizi  Asupan energi Wawancara menggunakan Data sekunder
bayi  Asupan protein metode Recall 1x24 jam Setiap bulan
usia 0-12 bulan
Status gizi  Hemoglobin  Hemoglobin darah Data
mikro anak darah menggunakan metode sekunder
 Kadar retinol Cyanthmethemoglobin Bayi usia 6
serum  Kadar retinol serum diukur dan 12 bulan
 Kadar seng menggunakan metode Data primer
serum HPLC Anak usia 3
 Kadar seng serum diukur tahun
menggunakan metode
AAS
34

Tabel 8 Jenis dan Cara Pengumpulan Data (lanjutan)


Waktu
Jenis Data Peubah Cara Pengumpulan
Pengumpulan
Morbiditas  Jenis penyakit Wawancara menggunakan Data sekunder
atau Pola infeksi kuesioner Setiap bulan
kejadian  Frekuensi sakit bayi usia 0-12
penyakit infeksi bulan
Data primer
Anak usia 3
tahun
Riwayat  Anak pernah Wawancara, pemeriksaan Data primer
Tuberkulosis menderita TB klinis dan atau test Anak usia 3
(TB) Paru pada Paru mantoux tahun
anak
Pertumbuhan  Panjang badan  PB diukur dalam posisi Data sekunder
linier menurut  Tinggi Badan berbaring menggunakan Setiap bulan
umur (TB/U)  Z skor PB/U dan papan ukur (ketelitian 0.1 bayi usia 0-12
TB/U cm) bulan
 TB diukur dalam posisi Data primer
berdiri menggunakan alat Anak usia 3
ukur microtoice (ketelitian tahun
0.1 cm)
Pola asuh  Pola asuh Wawancara dan observasi Data primer
psikososial langsung menggunakan Anak usia 3
HOME Inventory tahun
kuesioner berusia 3 tahun
Perkembangan  Fungsi kognitif Test Bayley Scale Infant Data primer
anak Development III Anak usia 3
tahun

Pengawasan Kualitas Data

Pengawasan mutu dan kualitas data selama proses pengumpulan dilakukan


dengan:
a. Perekrutan petugas pengumpul data disesuaikan dengan keterampilannya,
yaitu :
– Pengukuran antropometri (panjang dan berat badan) dilakukan oleh
tenaga gizi terlatih dari Pusat Teknologi Terapan Kesehatan
Epidemiologi Klinik (PT2KEK) Badan Litbangkes Kemenkes RI.
– Pengambilan darah dan pemeriksaan albumin, hemoglobin, vitamin A
dan Seng, dilakukan oleh tenaga analis terlatih dari Pusat Teknologi
Terapan Kesehatan Epidemiologi Klinik (PT2KEK) Badan Litbangkes
Kemenkes RI.
35

– Pengukuran tingkat kecerdasan dilakukan oleh seorang psikolog yang


berpengalaman dalam pemantauan perkembangan anak.
b. Standarisasi petugas pengumpul data dengan melakukan pelatihan
wawancara dan pengukuran.
c. Inter observer reliability check terhadap tenaga pelaksana pengumpulan data
dilakukan berulang kali.
d. Standarisasi dan kalibrasi alat yang digunakan untuk pengukuran, antara lain
timbangan berat badan, High Pressure Liquid Chromatografi (HPLC), dan
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).
e. Supervisi dan monitoring dilakukan secara terus menerus oleh peneliti senior
yang berpengalaman.

Pengolahan Data

Pengolahan data dengan melakukan kegiatan editing, coding, entry, cleaning


dan tabulating data. Pengolahan data dilakukan pada tiap-tiap variabel penelitian,
yaitu:
a. Status gizi makro pada ibu hamil diolah dan dikategorikan berdasarkan:
– IMT awal kehamilan dikategorikan berdasarkan kriteria WHO (2005)
menjadi gizi kurang jika IMT < 18.5 dan normal jika IMT > 18.5.
– Tinggi badan ibu hamil dikelompokkan menjadi pendek jika TB ibu <
150 cm dan Normal jika TB ibu > 150 cm.
– Pertambahan berat badan ibu selama hamil dikategorikan baik jika berat
badan selama hamil bertambah sesuai dengan kriteria IOM (2009) dan
kurang jika pertambahan berat badan tidak sesuai dengan kriteria IOM
(2009), yaitu : 12.5-18 kg (ibu hamil dengan IMT awal kehamilan <
18.5), 11.5-16 (ibu hamil dengan IMT awal kehamilan 18.5-24.9) dan 7-
11.5 kg (ibu hamil dengan IMT awal kehamilan > 25.0).
– Kadar Albumin, dikategorikan menjadi rendah, jika kadar albumin < 3.4
mg/dl dan normal, jika kadar albumin > 3.4 mg/dl.
b. Status gizi mikro pada ibu hamil diolah dan dikategorikan berdasarkan:
– Kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah dikategorikan rendah bila kadar Hb
dalam darah < 10.5 g/dL pada trimester kedua dan < 11 g/dL pada
trimester ketiga dan normal bila kadar Hb > 10.5 g/dl pada trimester
kedua dan Hb > 11 g/dl pada trimester ketiga
– Kadar retinol serum dikategorikan menjadi rendah, jika kadar Vit A < 20
µg/dl dan normal, jika kadar Vit A > 20 µg/dl.
– Kadar Seng serum dikategorikan menjadi rendah, jika kadar seng < 0.7
mg/L dan normal, jika kadar seng > 0.7 mg/dL.
c. Pola konsumsi ibu hamil dihitung berdasarkan jenis dan jumlah konsumsi
pangan dari hasil Recall 1 x 24 jam yang dikonversi dengan menggunakan
36

Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) sehingga didapatkan jumlah


asupan energi dan asupan protein. Tingkat kecukupan energi dihitung dengan
membandingkan asupan energi subjek dan kebutuhan energi dikalikan 100,
dikategorikan rendah bila asupan energi < 70% kebutuhan energi dan cukup
bila > 70% kebutuhan energi. Tingkat kecukupan protein dihitung dengan
membandingkan asupan protein subjek dan kebutuhan protein dikalikan 100,
dikategorikan rendah bila asupan protein < 80% kebutuhan protein dan cukup
bila > 80% kebutuhan protein (Kemenkes 2010). Densitas protein dihitung
dengan membandingkan asupan protein dengan asupan energi dikalikan
1.000, dikategorikan rendah bila densitas protein < 20 dan cukup bila > 20
sesuai dengan anjuran FAO (Drewnowski 2005).
d. Panjang bayi lahir rendah dinilai berdasarkan nilai Z skor Panjang Badan bayi
saat dilahirkan dan dikategorikan menjadi panjang lahir rendah, jika Z skor
PB lahir < -1 SD dan normal, jika Z skor PB lahir > -1 SD
e. Pola asuh yang dilakukan oleh orangtua diukur dengan menggunakan
kusioner Home Observation for Measurement of the Environment (HOME)
Inventory untuk kelompok bayi/anak usia 3-5 tahun. Kuesioner terdiri dari 8
sub-skala dengan total pertanyaan sebanyak 55 item, setiap pertanyaan diberi
skor 1 (satu) bila jawaban Ya dan 0 (nol) bila Tidak. Pola asuh dikategorikan
menjadi Rendah bila total skor < 25 dan Baik bila total skor > 25 (Caldwell
dan Bradley, 2003).
f. Pertumbuhan linier dinilai berdasarkan nilai Z-skor panjang badan menurut
umur (PB/U) dikategorikan mengalami gangguan petumbuhan linier (growth
faltering/GF) bila nilai z-skor PB/U < -1 SD dan normal bila nilai Z-skor
PB/U > -1 SD (WHO 2006a).
g. Perkembangan kognitif anak dinilai menggunakan Bayley Scale of Infant and
Toddler Development Third Edition (Bayley-III) yang dikembangkan oleh
Nancy Bayley tahun 1933. Skor dari masing-masing fungsi dikategorikan
menjadi perkembangan sesuai umur dan perkembangan tidak sesuai umur
(terlambat), berdasarkan kriteria BSID III (Bayley 2005).

Analisis Data

Analisis univariat untuk mengetahui sebaran data karakteristik sampel, status


gizi ibu, pertumbuhan linier, morbiditas, pola asuh dan perkembangan kegnitif
anak.
Analisis bivariat dilakukan meliputi :
a. Faktor risiko terjadinya panjang bayi lahir rendah, dengan variabel peubah
adalah pola konsumsi ibu, TB ibu, IMT awal kehamilan, pertambahan berat
badan selama kehamilan, kadar albumin dan protein darah, kadar
hemoglobin, kadar retinol dan seng serum, dianalisis menggunakan analisis
Odd Rasio (OR).
37

b. Perbedaan pertumbuhan linier dan perkembangan kognitif anak usia 0-3


tahun antara anak yang mengalami gangguan pertumbuhan bayi dengan
anak normal dianalisis dengan menggunakan analisis Risiko Relatif (RR).

Analisis multivariat dilakukan untuk menganalisis faktor peubah yang paling


berpengaruh terhadap pertumbuhan linier dan tingkat kecerdasan dengan
menggunakan uji Regresi Logistik dengan menggunakan kemaknaan sebesar 5%
dan derajat kepercayaan 95% dengan kriteria uji bermakna bila nilai p ≤ 0,05
(Hosmer dan Lemeshow, 2000). Tahapan analisis multivariat diawali dengan uji
kolinearitas untuk mengetahui ada tidaknya keterkaitan antara variabel peubah. Bila
hasil analisis multikolinieritas, menunjukkan nilai VIF lebih besar dari 10 diantara
variabel peubah, maka terdapat kolinieritas diantara variabel tersebut sehingga
tidak dapat dimasukkan dalam uji multivariat.

Analisis dilakukan dengan beberapa pemodelan, yaitu :


a. Faktor risiko terjadinya panjang bayi lahir rendah, dengan pemodelan:
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = 𝑎 + 𝑏1 𝑋1+𝑏2 𝑋2 + 𝑏3 𝑋3 +𝑏4 𝑋4 + 𝑏5 𝑋5 + 𝑏6 𝑋6 + 𝑏7 𝑋7 + 𝑏8 𝑋8 + 𝑏9 𝑋9

dimana :
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = Panjang lahir bayi

a = intercept
b1, b2, ...., b9 = slope
X1 = Pola konsumsi ibu (0=Baik, 1=Kurang)
X2 = Tinggi Badan ibu (0=Normal, 1=Pendek)
X3 = IMT awal kehamilan (0=Gizi Baik, 1=Gizi Kurang)
X4 = Pertambahan BB selama kehamilan (0=Sesuai, 1= Tidak Sesuai)
X5 = Status albumin darah ibu (0=Normal, 1=Rendah)
X6 = Status protein darah ibu (0=Normal, 1=Rendah)
X7 = Status hemoglobin darah ibu (0=Normal, 1=Anemia)
X8 = Status retinol serum (0=Normal, 1= Rendah)
X9 = Status seng serum (0=Normal, 1=Rendah)

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan linier anak usia 3 tahun


dengan pemodelan :
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = 𝑎 + 𝑏1 𝑋1 +𝑏2 𝑋2 + 𝑏3 𝑋3 + ⋯ + 𝑏4 𝑋4
38

dimana :
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = Pertumbuhan Linier anak usia 3 tahun

a = intercept
b1, b2, ...., b4 = slope
X1 = Pertumbuhan linear 0-1 tahun (0= normal, 1= pendek)
X2 = Pola penyakit (0=Jarang, 1=Sering)
X3 = Status seng serum anak (0=Normal, 1=Rendah)
X4 = Status retinol serum anak (0=Normal, 1=Rendah)

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak usia 3 tahun


dengan pemodelan :
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = 𝑎 + 𝑏1 𝑋1 +𝑏2 𝑋2 + 𝑏3 𝑋3 + ⋯ + 𝑏4 𝑋4

dimana :
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = Perkembangan kognitif anak usia 3 tahun

a = intercept
b1, b2, ...., b6 = slope
X1 = Pertambahan panjang badan (0= sesuai standar, 1= tidak sesuai
standar)
X2 = Pola penyakit (0=Jarang, 1=Sering)
X3 = Status gizi ibu (0= Baik, 1= Kurang)
X4 = Pola asuh (0=Baik, 1=Kurang)

Definisi Operasional

Status gizi makro adalah kondisi yang menggambarkan keseimbangan antara


asupan energi dan protein dari makanan dengan kebutuhan ibu sebelum dan selama
kehamilan, dilihat secara antropometri menggunakan Tinggi Badan Ibu, Indeks
Massa Tubuh awal kehamilan dan pertambahan berat badan selama kehamilan serta
secara biokimia dilihat dari kadar albumin dan protein dalam darah.
Status gizi mikro adalah kondisi yang menggambarkan keseimbangan antara
asupan vitamin dan mineral dari makanan dengan kebutuhan ibu sebelum dan
selama kehamilan, dilihat secara biokimia menggunakan kadar hemoglobin darah,
kadar retinol dan seng serum.
39

Pola konsumsi ibu hamil adalah asupan energi dan protein yang dikonsumsi oleh
ibu hamil pada trimester pertama, kedua dan ketiga, dikumpulkan dengan
wawancara menggunakan metode Recall 1x24 jam
Panjang bayi lahir rendah adalah terjadinya hambatan pertumbuhan linear saat
janin berada dalam kandungan dilihat dari panjang badan bayi saat dilahirkan
dengan nilai Z skor < -1 SD.
Pola pemberian makanan bayi adalah pemberian ASI dan asupan energi dan
protein bayi sejak lahir sampai usia 12 bulan, diukur dengan wawancara dan
observasi langsung menggunakan kuesioner.
Morbiditas atau pola kejadian penyakit adalah jenis, dan rata-rata frekuensi sakit
dalam sebulan pada bayi sejak lahir sampai usia 12 bulan serta saat usia 3 tahun
diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner
Riwayat Tuberkulosis (TB) Paru pada anak adalah pernah atau tidak anak
didiagnosa atau memiliki tanda dan gejala TB Paru diperoleh dari wawancara,
pemeriksaan klinis dan atau test mantoux pada anak usia 3 tahun
Status gizi anak adalah kondisi yang menggambarkan keseimbangan antara asupan
vitamin dan mineral dari makanan dengan kebutuhan anak, dilihat secara biokimia
menggunakan kadar hemoglobin darah, kadar retinol dan seng serum.
Pola asuh psikososial adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu,
perhatian dan dukungan serta pemberian kasih sayang dan stimulasi terhadap anak
agar dapat berkembang dengan optimal. Pola asuh yang dilakukan oleh orangtua
diukur dengan menggunakan kusioner Home Observation for Measurement of the
Environment (HOME) Inventory untuk kelompok bayi/anak usia 3-5 tahun.
Pertumbuhan linier adalah perubahan pada jumlah dan ukuran sel dalam tubuh
manusia, dilihat berdasarkan pola pertumbuhan linier dan pencapaian pertumbuhan
linier anak
a. Pola pertumbuhan linier adalah proses pertambahan panjang badan bayi, yang
dimonitor setiap bulannya sejak lahir sampai usia 12 bulan dan saat anak
berusia 3 tahun dinilai berdasarkan growth rate dan digambarkan dalam
grafik pertumbuhan sejak lahir sampai usia 3 tahun, dibandingkan dengan
standar WHO.
b. Pencapaian pertumbuhan linier anak adalah panjang atau tinggi badan yang
dicapai pada usia tertentu diukur berdasarkan nilai Z-skor Panjang atau
Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U) untuk mengetahui normal
atau tidaknya status gizi anak.
Perkembangan Anak adalah kemampuan fungsi organ atau sel dalam tubuh
mengikuti suatu pola yang teratur akibat proses pematangan. Perkembangan anak
yang diukur meliputi fungsi kognitif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
motorik, kemampuan bahasa dan sosial emosional anak, menggunakan test Bayley
Scales of Infant Development (BSID) III.
4 STATUS GIZI IBU HAMIL SEBAGAI FAKTOR RISIKO
PANJANG BAYI LAHIR RENDAH

Pendahuluan

Gangguan pertumbuhan linier atau tinggi badan tidak mencapai standar,


merupakan salah satu masalah gizi yang banyak ditemukan di negara berkembang,
yang terjadi karena defisiensi asupan zat gizi dan penyakit (Onis dan Branca 2016).
Stunting merupakan salah satu bentuk gangguan pertumbuhan linier yang
didefinisikan sebagai panjang atau tinggi badan dengan nilai z-skor kurang dari dua
standar deviasi (WHO 2006).
Sebagian besar stunting telah terjadi pada saat bayi lahir dan berlanjut sampai
anak berusia 3 tahun (Shrimpton et al. 2001). Di Indonesia 20.2% bayi yang
dilahirkan tergolong pendek atau panjang badan < 48 cm. Angka ini semakin
meningkat seiring bertambahnya usia, prevalensi tertinggi terjadi pada usia 24-35
bulan yaitu sebesar 42.0%. Secara keseluruhan prevalensi balita stunting adalah
sebesar 37.2% (Balitbangkes 2013).
Masalah gizi pada ibu hamil di Indonesia masih memprihatinkan. Hasil
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 23.79% ibu hamil menderita Kurang Energi
Kronis (KEK) dan 37.1% menderita anemia (Balitbangkes 2013). National Family
Health Survey 2005-2006 di India dan Reproductive Health Survey 2008-2009 di
Guatemala menunjukkan bahwa status gizi ibu memiliki peran dalam terjadinya
stunting. Ibu yang pendek (tinggi badan < 150 cm), dan kurus (indeks massa tubuh
< 18.5 kg/m2) memiliki risiko lebih besar melahirkan bayi stunting dibandingkan
ibu yang memiliki status gizi baik (OR= 3.45 dan 1.83) (Martorell dan Young
2012). Selain masalah terkait gizi makro, kekurangan zat gizi mikro pada ibu hamil
perlu mendapat perhatian. Data Riskesdas oleh Balitbangkes (2013) menunjukkan
bahwa 37.1% ibu hamil menderita anemia (kadar Hb < 11.0 g/dL) dan 24.3% ibu
hamil memiliki risiko kekurangan iodium berdasarkan kategori nilai ekskresi
iodium dalam urine (EIU <100 µg/dL). Data masalah gizi mikro lainnya seperti
kekurangan vitamin A dan seng tidak diteliti secara rutin. Data WHO (2006)
menunjukkan bahwa pada tahun 1998-2000, defisiensi vitamin A (kadar retinol
serum <20 µg/dL) pada wanita usia subur di Indonesia sebesar 14.0%. Penelitian
Ernawati et al. (2012) di Kabupaten Bogor melaporkan 14.9% ibu hamil trimester
pertama menderita anemia (Hb < 11.0 g/dL), angka tersebut meningkat menjadi
43.0% pada trimester ketiga. Selain anemia, masalah kekurangan gizi mikro pada
ibu hamil lainnya adalah rendahnya kadar vitamin A (<20 µg/dL) dan kadar seng
(< 0.7 mg/L) pada trimester kedua kehamilan yaitu sebesar 22.1% dan 57.9%.
Pengaruh status gizi ibu hamil terhadap status gizi bayi yang dilahirkan,
secara longitudinal diteliti oleh Kusin dan Sri Kardjati (1994) di tiga desa di
Madura, selama 1981-1989, membuktikan bahwa kekurangan energi kronik pada
ibu hamil berhubungan dengan gangguan pertumbuhan janin, penurunan
konsentrasi lemak pada ASI dan gangguan pertumbuhan bayi usia 6 bulan. Hasil
penelitian Schmidt (2002) di Bogor Jawa Barat, menunjukkan status gizi dan
41

asupan zat gizi yang baik menjelang dan selama kehamilan berpengaruh terhadap
status gizi dan pertumbuhan selama masa bayi.
Selain ukuran antropometri, status gizi ibu secara biokimia, berpengaruh
terhadap status gizi bayi yang dilahirkan. Penelitian Mohsen dan Wafay (2007)
menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kadar albumin dan fibronetin rendah
melahirkkn bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Hasil yang sama
ditunjukkan oleh Yin Shu et al. (2013), kadar albumin serum ibu hamil memiliki
korelasi positif dengan berat dan panjang badan bayi yang dilahirkan. Albumin
merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam menentukan status protein
dalam tubuh.
Pentingnya zat gizi mikro terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi
dibuktikan oleh peneliti terdahulu melalui pemberian pangan berupa susu, biskuit,
dan bihun yang difortifikasi vitamin A, asam folat, vitamin C, zat besi, seng, dan
iodium pada ibu hamil menunjukkan bahwa pertumbuhan linier (PB/U) bayi usia 6
bulan pada kelompok pangan fortifikasi lebih baik dibandingkan kelompok kontrol
(Saragih et al. 2007). Selain itu juga vitamin D, dan vitamin B12 juga dapat
berpengaruh terhadap perkembangan mental dan motorik anak (Black et al. 2004;
Durán et al. 2001).
Berbagai penelitian menunjukkan kegagalan pertumbuhan linier terutama
terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan mulai awal kehamilan sampai anak
berusia tahun pertama (Martorell dan Young 2012). Namun demikian penelitian
yang telah dilakukan lebih banyak menghubungkan status gizi ibu menggunakan
indikator antropometri dengan pertumbuhan bayi yang diukur berdasarkan berat
badan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko
terkait status gizi ibu hamil baik secara antropometri maupun biokimia terhadap
panjang badan bayi yang dilahirkan.

Metode

Disain, tempat dan waktu


Data diperoleh dari penelitian longitudinal status gizi ibu hamil dan anak yang
dilahirkan yang dilakukan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi
Klinik (PT2TKEK) pada lima kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011-2012
Penelitian dilakukan 2 tahap yaitu tahap 1 tahun 2011 pada ibu dengan usia
kehamilan 12–14 minggu diikuti terus sampai melahirkan, dan tahap 2 tahun 2012
pada bayi usia 0–12 bulan yang dilahirkan dari ibu hamil tahap 1.

Jumlah dan cara pengambilan subjek


Total subjek pada penelitian induk tahap 1 sejumlah 323 ibu hamil dan
penelitian tahap 2 sejumlah 262 bayi. Subjek yang diambil dalam penelitian
sebanyak 251 bayi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu: lahir cukup bulan (36-40
minggu), tidak terlahir kembar, dan ibu tidak memiliki riwayat penyakit kronis.
Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu: kelompok kasus sebanyak 68 bayi
42

dengan gangguan pertumbuhan linier (Z-skor TB/U < -1 SD) dan 183 bayi dengan
panjang lahir normal (Z-skor TB/U > -1 SD).
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari penelitian longitudinal
yang dilakukan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
(PT2TKEK), sehingga persetujuan etik mengacu pada penelitian induk yang
didapatkan dari Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan, nomor:
LB.02.01/5.2/KE.233/2015. Orangtua anak menandatangani informed consent
sebagai persetujuan menjadi subjek penelitian.

Jenis dan cara pengumpulan data


Peubah terikat pada penelitian ini adalah nilai Z-skor panjang badan menurut
umur (PB/U) saat bayi dilahirkan, pengukuran panjang badan dilakukan maksimal
24 jam setelah lahir menggunakan alat ukur panjang badan dengan tingkat ketelitian
0.1 cm.
Peubah bebas yang dianalisis adalah status ibu hamil meliputi: Tinggi badan
(TB), Indeks Massa Tubuh (IMT) awal kehamilan, dan pertambahan berat badan
kehamilan. TB ibu diukur menggunakan alat ukur microtoice (ketelitian 0.1 cm),
IMT awal kehamilan adalah IMT ibu pada saat pemeriksaan kehamilan pertama
(kurang dari 10 minggu kehamilan), dan pertambahan berat badan kehamilan
adalah selisih berat badan akhir kehamilan dengan berat badan awal kehamilan.
Nilai biokimia darah ibu hamil trimester kedua dan ketiga, meliputi: kadar protein
dan albumin darah, hemoglobin, seng serum, dan retinol serum. Kadar protein dan
albumin darah dianalisis menggunakan metode enzimatik, kadar hemoglobin (Hb)
dalam darah dianalisis menggunakan metode cyanmethemoglobin, kadar retinol
serum dianalisis menggunakan metode HPLC, kadar seng serum dianalisis
menggunakan metode AAS. Data konsumsi pangan ibu hamil meliputi: tingkat
kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan densitas protein dikumpulkan
dengan metode Recall 1x24 jam pada trimester pertama, kedua dan ketiga
kehamilan.

Pengolahan dan analisis data


Nilai Z-skor panjang badan menurut umur (PB/U) saat lahir sebagai peubah
terikat dikategorikan mengalami panjang lahir rendah (PLR) bila nilai z-skor PB/U
< -1 SD dan normal bila nilai Z-skor PB/U > -1 SD (WHO 2006a). Status gizi ibu
hamil, meliputi: TB ibu dikategorikan pendek bila TB ibu < 150 cm dan normal
bila TB ibu > 150 cm, IMT awal kehamilan dikategorikan kurus bila IMT ibu <
18.5 dan normal bila IMT ibu > 18.5, pertambahan berat badan kehamilan
dikategorikan di bawah standar bila petambahan berat badan pada ibu kurus < 12.5
kg, ibu normal < 11.5 kg, dan pada ibu gemuk < 7 kg serta dikategorikan sesuai
standar bila petambahan berat badan pada ibu kurus 12.5 - 18 kg, ibu normal 11.5
– 16 kg, dan pada ibu gemuk 7 -11.5 kg (IOM 2009). Kadar protein serum
dikategorikan rendah bila kadar protein < 6.4 mg/dL dan normal bila kadar protein
> 6.4 mg/dL, albumin darah dikategorikan rendah bila kadar albumin < 3.4 mg/dL
dan normal bila kadar albumin > 3.4 mg/dL (Gibson 2005). Tingkat kecukupan
energi dihitung dengan membandingkan asupan energi subjek dan kebutuhan energi
43

dikalikan 100, dikategorikan rendah bila asupan energi < 70% kebutuhan energi
dan cukup bila > 70% kebutuhan energi. Tingkat kecukupan protein dihitung
dengan membandingkan asupan protein subjek dan kebutuhan protein dikalikan
100, dikategorikan rendah bila asupan protein < 80% kebutuhan protein dan cukup
bila > 80% kebutuhan protein (Kemenkes 2010). Densitas protein dihitung dengan
membandingkan asupan protein dengan asupan energi dikalikan 1000,
dikategorikan rendah bila densitas protein < 20 dan cukup bila > 20 sesuai dengan
anjuran FAO (Drewnowski 2005).
Status gizi mikro ibu hamil, yaitu: kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
dikategorikan rendah bila kadar Hb dalam darah < 10.5 g/dL pada trimester kedua
dan < 11 g/dL pada trimester ketiga dan normal bila kadar Hb > 10.5 g/dl pada
trimester kedua dan Hb > 11 g/dl pada trimester ketiga, retinol serum dikategorikan
rendah bila < 20 µg/dL dan normal bila retinol serum > 20 µg/dL, kadar seng serum
dikategorikan rendah bila kadar seng < 0.7 mg/L dan normal bila kadar seng > 0.7
mg/L (Gibson 2005).
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik ibu hamil
dan bayi. Analisis bivariat chi-square digunakan unuk mengetahui hubungan antar
peubah status gizi dengan status panjang badan bayi lahir. Analisis regresi logistik
berganda digunakan untuk mengetahui faktor risiko terkait gizi terhadap status
panjang badan bayi lahir.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik subjek
Proporsi bayi lahir dengan panjang lahir rendah pada penelitian ini sebesar
27.1% dengan kategori pendek 6.0% dan sangat pendek 2.8%. Gangguan panjang
badan bayi lahir banyak ditemukan pada bayi laki-laki dibandingkan perempuan
(33.6% dan 21.22%). Hasil ini sejalan dengan penelitian di beberapa negara sub-
sahara Afrika, bayi laki-laki 1.16 kali berisiko pendek dibandingkan bayi
perempuan (Wamani et al. 2007). Di Indonesia, penelitian Aries et al. (2012) dan
Hanum et al. (2014) menunjukkan bahwa anak laki-laki 1.25 kali berisiko pendek
dan sangat pendek. Perbedaan pola pertumbuhan, sistem hormonal, dan kerentanan
terhadap penyakit mengakibatkan laki-laki memiliki risiko pendek lebih besar
dibandingkan perempuan (Wamani et al. 2007). Berdasarkan berat lahir,
didapatkan 88.9% bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) juga mengalami
gangguan pertumbuhan linier, sesuai penelitian Najahah (2014) didapatkan bayi
dengan berat badan lahir rendah memiliki risiko 13.2 kali memiliki panjang badan
lahir pendek dibandingkan bayi dengan berat badan lahir normal. Pertumbuhan
adalah bertambahnya ukuran fisik seseorang menjadi lebih besar baik secara berat
maupun tinggi badan. Gangguan pertumbuhan pada janin mengakibatkan
kegagalan pertumbuhan baik secara berat maupun tinggi badan, akibatnya bayi
terlahir dengan berat badan lahir rendah dan panjang badan di bawah normal
(Kusharisupeni 2002).
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil (86.9%) berusia antara
20-35 tahun, dan 66.9% merupakan kehamilan pertama atau kedua. Usia dan
44

frekuensi kehamilan ini merupakan usia dan kondisi ideal untuk hamil dan
melahirkan (Stewart et al. 2007).
Status pekerjaan ibu hamil, 91.3% adalah ibu rumah tangga yang tidak
bekerja keluar rumah, dan 79.1% ibu hamil memiliki tingkat pendidikan yang
rendah (paling tinggi tamat SMP). Hal ini mencerminkan ibu memiliki banyak
waktu untuk merawat kehamilan dan anak yang dilahirkan, namun rendahnya
tingkat pendidikan ibu tidak menjamin waktu yang cukup tersebut digunakan
dengan baik untuk tujuan gizi dan kesehatan (Semba et al. 2008, Jayanti et al. 2011
dan Sari et al. 2014).

Tabel 9 Karakteristik Ibu Hamil dan Bayi Saat Lahir

Panjang lahir rendah Normal


Karakteristik
n (%) n (%) Nilai p
Jenis kelamin bayi
Laki-laki 40 (33.6) 79 (66.4) 0.039*
Perempuan 28 (21.2) 104 (78.8)
Berat badan lahir (g) 2742.6 + 457.2 3.323,0 + 496.7
< 2500 g 16 (88.9) 2 (1.1) 0.000**
> 2500 g 52 (22.3) 181 (77.7)
Panjang Lahir (cm) 46.4 + 1.7 50.1 + 1.8
Usia Ibu saat hamil
< 20 atau > 35 tahun 10 (30.3) 23 (69.7) 0.814
20 - 35 tahun 58 (26,6) 160 (73.4)
Frekuensi kehamilan
> 2 kali 19 (22.9) 64 (77.1) 0.367
< 2 kali 49 (29.2) 119 (70.8)
Pendidikan Ibu
< SMP 57 (28.8) 141 (71.2) 0.320
≥ SMA 11 (20.8) 42 (79.2)
Pekerjaan Ibu
Bekerja 8 (36.4) 14 (63.6) 0.439
Tidak bekerja 60 (26.2) 169 (73.8)
Uji Chi square *) nilai p <0.05 **) nilai p < 0.01

Hasil analisis bivariat pada Tabel 10, memperlihatkan indeks massa tubuh
(IMT) ibu pada awal kehamilan menunjukkan hubungan yang bermakna, dimana
ibu hamil underweight (IMT < 18.5) memiliki risiko 2.374 kali lebih besar
melahirkan bayi dengan panjang lahir rendah. Tidak ada hubungan bermakna
antara tinggi badan ibu, pertambahan berat kehamilan, tingkat kecukupan energi,
tingkat kecukupan protein dan densitas protein, kadar protein dan albumin darah
dengan panjang lahir rendah.
45

Tabel 10 Status Gizi Makro Ibu Hamil dan Panjang Bayi Lahir
Panjang lahir Normal OR
Variabel Nilai p
rendah n (%) n (%) (CI 95%)
Tinggi Badan Ibu 149.4 + 4.6 149.6 + 4.7
Pendek (< 150 cm) 32 (48.5) 81 (47.6) 1.034 0.908
Normal (> 150 cm) 34 (51.5) 89 (52.4) (0.585-1.827)
IMT awal kehamilan 21.3 + 3.7 22.2 + 3.6
Underweight (< 18.5 kg/m2) 14 (21.5) 17 (10.4) 2.374* 0.032
Normal (> 18.5 kg/m2) 51 (78.5) 147 (89.6) (1.093-5.156)
Pertambahan BB hamil (kg) 10.0 + 4.2 10.1 + 6.2
Tidak sesuai IOM 2009 43 (66.2) 96 (58.5) 1,384 0.284
Sesuai IOM 2009 22 (33.8) 68 (41.5) (0.760-2.524)
Kadar Protein serum T M II 7.4 + 0.5 7.4 + 0.5
Rendah (< 6,40 g/dl) 2 (2.9) 2 (1.1) 2.742 0.327
Normal (>6,40 g/dl) 66 (97.1) 181 (98.9) (0.379-19.865)
Kadar Protein serum TM III 6.6 + 0.6 6.6 + 0.6
Rendah (< 6,40 g/dl) 16 (23.5) 45 (24.6) 0,944 0.861
Normal (>6,40 g/dl) 52 (76.5) 138 (75.4) (0.491-1.814)
Kadar Albumin serum TM II 3.9 + 0.3 3,9 + 0.3
Rendah (< 3.4 mg/dl) 3 (4.4) 11 (6.1) 0.713 0.603
Normal (> 3.4 mg/dl) 65 (95.6) 170 (93.9) (0.193-2.639)
Kadar Albumin serum TM III 3.7 + 0.3 3.9 + 0.3
Rendah (< 3.4 mg/dl) 10 (16.1) 31 (18.7) 0.837 0.653
Normal (> 3.4 mg/dl) 52 (83.9) 135 (81.3) (0.383-1.829)
Tk. Kecukupan Energi TM I 42.6 + 22.7 39.3 + 19.3
Kurang (< 70% AKG) 34 (87.2) 78 (95.1) 0,349
Cukup (> 70% AKG) 5 (12.8) 4 (4.9) (0,088-1,379) 0.133
Tk. Kecukupan Energi TM II 44.5 + 12.7 44.7 + 11.9
Kurang (< 70% AKG) 64 (95.5) 175 (98.9) 0.244
Cukup (> 70% AKG)) 3 (4.5) 2 (1.1) (0.040-1.493) 0.124
Tk. Kecukupan Energi TM III 49.2 + 11.9 51.7 + 15.0
Kurang (< 70% AKG) 43 (95.6) 120 (90.9) 2,150
Cukup (> 70% AKG) 2 (4.4) 12 (9.1) (0.462-9.998) 0.291
Tk. Kecukupan Protein TM I 64.3 + 33.9 55.8 + 28.5
Kurang (< 80% AKG) 49 (79.0) 137 (81.5) 0.853
Cukup (> 80% AKG) 13 (21.0) 31 (18.5) (0.413-1.761) 0.669
Tk. Kecukupan Protein TM II 69.0 + 18.3 68.5 + 17.4
Kurang (< 80% AKG) 47 (77.0) 136 (79,1) 0.889
Cukup (> 80% AKG) 14 (23.0) 36 (20.9) (0.441-1.791) 0.742
Tk. Kecukupan Protein TM III 67.8 + 23.6 73.5 + 25.9
Kurang (< 80% AKG) 26 (70.3) 67 (64.4) 1,305
Cukup (> 80% AKG) 11 (29.7) 37 (35.6) (0.580-2.938) 0.516
Densitas Protein TM I 33.1 + 21.6 43.3 + 13.8
Rendah (< 20) 9 (22.0) 32 (27.2) 0,754
Cukup (> 20) 25 (78.0) 67 (72.8) (0.316-1.800) 0.520
Densitas Protein TM II 32.0 + 14.1 32.7 + 11.8
Rendah (< 20) 7 (10.3) 11 (6.2) 1,742
Cukup (> 20) 11 (89.7) 167 (93.8) (0.646-4.698) 0.283
Densitas Protein TM III 16.6 + 18.1 17.1 + 18.9
Rendah (< 20) 33 (51.6) 87 (51.2) 1,016
Cukup (> 20) 31 (48.4) 83 (48.8) (0.571-1.85) 0.958
TM: Trimester Uji Chi square *) nilai p < 0.05
46

Hasil penilaian status gizi mikro ibu hamil (Tabel 11) memperlihatkan ada
hubungan bermakna antara kadar seng serum ibu hamil trimester kedua dengan
panjang lahir rendah. Kekurangan seng pada ibu hamil akan memengaruhi
pertumbuhan linier janin yang dikandung, ibu hamil yang mengalami defisiensi
seng pada trimester kedua kehamilan (kadar seng serum < 0.7 mg/L) memiliki
risiko 1.891 kali melahirkan bayi dengan panjang lahir rendah. Hal ini sesuai
dengan meta analisis Nriagu (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian
suplementasi seng memiliki efek yang bermakna pada pertumbuhan linier dan berat
badan. Seng berperan pada beberapa proses pertumbuhan melalui pembentukan dan
sekresi hormon pertumbuhan (Growth Hormone) serta aktivasi insulin like growth
factors (IGF) serta pembentukan DNA dan RNA pada proses transkripsi dan
replikasi sel, pembentukan kolagen, osteocalcin, somatomedin-c, insulin dan
alkalin fosfatase serta proses diferensiasi chondrocytes, osteoblast dan fibroblast.
Dalam pembentukan tulang, seng memediasi sejumlah hormon yang terlibat dalam
metabolism kalsium (Chasapis et al. 2012).

Tabel 11 Status Gizi Mikro Ibu Hamil dan Panjang Bayi Lahir

Panjang lahir Normal OR


Variabel Nilai p
rendah n (%) n (%) (CI 95%)
Retinol serum TM II 26.0 + 8.2 26.4 + 7.4
Rendah (<20 µg/dl) 20 (29.4) 35 (19.6) 1.714 0.103
Normal (>20 µg/dl) 48 (70.6) 144 (80.4) (0.905-3.248)
Retinol serum TM III 22.0 + 8.1 21.6 + 7.0
Rendah (<20 µg/dl) 27 (48.2) 66 (42.9) 1,241 0.490
Normal (>20 µg/dl) 29 (51.8) 88 (57.1) (0.672-2.293)
Seng serum TM II 0.69 + 0.2 0.66 + 0.2
Rendah (<0,7 mg/L) 46 (68.7) 95 (53.7) 1.891* 0.033
Normal (>0,7 mg/L) 21 (31.3) 82 (46.3) (1.043-3.427)
Seng serum TM III 0.82 + 0.1 0.79 + 0.2
Rendah (<0,7 mg/L) 8 (80.0) 29 (70.7) 1,655 0.546
Normal (>0,7 mg/L) 2 (20.0) 12 (29.7) (0.306-8.963)
Kadar Hemoglobin TM II 11.6 + 1.2 12.0 + 1.3
Rendah (< 10,5 g/dl) 13 (19.1) 26 (14.3) 1.418 0.357
Normal (> 10,5 g/dl) 55 (80.9) 156 (85.7) (0.681-2.953)
Kadar Hemoglobin TM III 11.4 + 1.4 11.1 + 1.4
Rendah (< 11 g/dl) 22 (44.0) 57 (41.6) 1.103 0.769
Normal (>11 g/dl) 28 (56.0) 80 (58.4) (0.574-2.120)
TM: Trimester Uji Chi square *) nilai p < 0.05

Hasil analisis regresi logistik berganda (Tabel 12) membuktikan kadar retinol
serum trimester kedua dan IMT awal kehamilan merupakan faktor risiko panjang
lahir rendah, dengan OR = 11.12 untuk retinol serum dan OR = 4.60 untuk IMT.
Dari persamaan di atas didapatkan nilai R2 sebesar 0.413 (p value = 0.00),
menunjukkan bahwa 41.3% panjang badan bayi lahir ditentukan dari status gizi ibu
hamil. Sejalan dengan penelitian di Zambia dan Indonesia, status gizi ibu hamil
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan linier janin dan bayi yang dilahirkan
(Hautvast et al. 2000 dan Schmidt et al. 2002).
47

Tabel 12 Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah

Faktor Risiko OR (95% CI) Nilai P


IMT awal kehamilan < 18,5 kg/m2 8.840 (1.586-49.268) 0.013*
Pertambahan BB kehamilan tidak sesuai IOM 4.599 (0.965-21.817) 0.055
2009
Tinggi badan ibu < 150 cm 0.345 (0.080-1.491) 0.154
Kadar protein serum TM II < 6.4 g/dL 3.348 0.527-21.257) 0.200
Kadar albumin serum TM II < 3.4 g/dL 0.496 (0.039-6.329) 0.496
Kadar seng serum TM II < 0.7 mg/L 2.351 (0.497-11.130) 0.281
Kadar retinol serum TM II < 20.0 µg/dL 11.123 (2.034-60.840) 0.005**
Kadar hemoglobin TM II < 10.5 g/dL 4.039 (0.730-22.342) 0.110
Kadar hemoglobin TM III < 11 g/dL 0.925 (0.231-3.703) 0.913
Tingkat kecukupan energi TM III < 70% 0.502 (0.053-4.712) 0.546
Tingkat kecukupan protein TM III < 80% 0.774 (0.172-3.473) 0.738

TM: Trimester Uji Regresi Logistik *) nilai p< 0.05 **) nilai p < 0.01

IMT ibu pada awal kehamilan merupakan faktor risiko panjang lahir rendah
(OR = 8.840). Hal ini menunjukkan bahwa IMT awal kehamilan berhubungan
positif dengan panjang bayi yang dilahirkan. Belum ada penelitian sebelumnya
yang menganalisis IMT awal kehamilan dengan panjang badan bayi yang
dilahirkan. IMT awal kehamilan mencerminkan status gizi ibu saat mengawali
kehamilan. Penelitian Subramanian et al. (2010) membuktikan bahwa IMT ibu
berhubungan terbalik dengan prevalensi gizi kurang, stunting dan wasting pada
anak balita. Fakta ini semua mendukung hasil penelitian bahwa IMT pada awal
kehamilan berhubungan positif dengan panjang badan bayi yang dilahirkan.
Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan positif antara IMT sebelum hamil,
berat badan dan IMT kehamilan dengan berat badan bayi lahir maupun berat
plasenta dan berat bayi dilahirkan (Fikawati et al. 2012, Gernand et al. 2012 dan
Roland et al. 2014). Plasenta merupakan organ dengan berat antara 0.4-0.7 kg
terdiri dari jaringan vili yang menghubungkan darah ibu dan janin. Hampir semua
zat gizi berasal dari ibu akan dikirim kepada janin dalam kandungan melalui
membran syncytio-endothelial plasenta. Transport zat gizi dan produk metabolik,
plasenta berperan sebagai organ endokrin yang melepaskan sejumlah hormon dan
faktor pertumbuhan pada sistem sirkulasi ibu. Sebagian besar pertumbuhan
plasenta terjadi pada akhir trimester kedua kehamilan. Berat plasenta merupakan
prediktor kuat pada ukuran bayi saat lahir, karena menentukan kapasitas plasenta
dalam mentransfer zat gizi dan oksigen yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan
janin (Roland et al. 2014).
Analisis bivariat menunjukkan bahwa kadar seng serum pada trimester kedua
kehamilan merupakan faktor risiko dari panjang lahir rendah, namun hasil uji
multivariat, memperlihatkan bahwa kadar retinol serum pada trimester kedua
kehamilan lebih berperan pada panjang badan bayi saat lahir. Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya, bahwa sampai saat ini, hubungan vitamin A dengan
pertumbuhan linier masih sulit dibuktikan. Meta analisis Lyman dan Fawzi (2012)
menunjukkan vitamin A memiliki efek pada pertumbuhan namun sedikit bukti yang
menunjukkan pengaruh langsung vitamin A saat hamil dengan pertumbuhan bayi,
48

hal ini disebabkan karena kekurangan vitamin A umumnya terkait dengan


kekurangan zat gizi mikro lainnya seperti zat besi dan seng. Fahmida et al. (2007)
mendapatkan adanya kenaikan nilai z-skor TB/U lebih tinggi pada bayi stunting
yang mendapatkan suplementasi seng + zat besi serta suplementasi seng + zat besi
+ vitamin A selama 4 bulan dibandingkan bayi stunting yang hanya mendapatkan
suplementasi seng saja. Hasil serupa didapatkan oleh Souganidis (2012), dengan
mereview beberapa penelitian potong lintang menunjukkan adanya keterkaitan
antara kekurangan vitamin A dan stunting, namun pemberian suplemen vitamin A
tidak menunjukkan hasil yang bermakna terhadap pertumbuhan, hal ini mungkin
disebabkan karena vitamin A merupakan bagian dari kelompok zat gizi yang
diperlukan dalam proses pertumbuhan. Pada proses metabolisme, seng merupakan
salah satu zat pembentuk retinol binding protein yang berperan dalam transport
vitamin A.
Penelitian Tielsch et al. (2008) di India menunjukkan ibu hamil yang
menderita rabun senja berhubungan dengan pertumbuhan bayi pada usia 6 bulan,
panjang badan bayi lebih pendek 0.30 cm dan memiliki risiko stunting sebesar 1.19
dibandingkan anak dari ibu hamil yang tidak menderita buta senja. Hadi et al.
(2000) membuktikan bahwa pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 4 bulan selama
2 tahun dapat meningkatkan pertumbuhan linier anak, peningkatan tinggi badan
lebih besar ditemukan pada anak dengan kadar serum vitamin A < 0.35 mmol/L.
Selain itu pemberian ASI akan melindungi anak usia 6-24 bulan dari gangguan
pertumbuhan linier yang disebabkan kekurangan vitamin A. Penelitian Schmidt et
al. (2002a) di Jawa Barat memperlihatkan pada usia 6 bulan pertama, bayi dengan
konsentrasi serum retinol >0.70 µmol/L memiliki rata-rata z-skor tinggi badan
menurut umur lebih tinggi dibandingkan bayi dengan konsentrasi serum retinol <
0.70 µmol/L.
Peran vitamin A pada pertumbuhan linier janin pada manusia dan hewan
hingga saat ini masih sulit dibuktikan, beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan tersebut. Luca et al. (2000), menunjukkan bahwa peran vitamin A dan
asam retinoat pada pertumbuhan manusia secara langsung pada lempeng
pertumbuhan dan secara tidak langsung membantu sekresi hormon pertumbuhan
(growth hormone) dan hormon tiroid. Secara epidemiologi, terdapat hubungan
antara kadar serum vitamin A dan stunting pada anak batita, 16% dan 42% anak
batita stunting memiliki kadar serum vitamin A marginal dan di bawah normal
(Kurugol et al. 2000). Penelitian Zile (2001) membuktikan tikus yang kekurangan
vitamin A, jumlah sel pada timus, limpa dan kelenjar sublingual kurang dari normal.
Penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa vitamin A berperan pada
diferensiasi dan penggandaan sel jaringan epitel dan dalam proses remodelling
tulang. Namun pemberian suplementasi vitamin A pada anak oleh Bhandari et al.
(2001) hanya memberikan sedikit pengaruh atau tidak ada pengaruhnya terhadap
pertumbuhan linier. Meta analisis penelitian klinis oleh Ramakrishnan (2004),
pemberian vitamin A pada anak dan remaja tidak memberikan pengaruh yang
bermakna terhadap pertumbuhan linier.
Data konsumsi pangan ibu hamil dalam penelitian ini tidak menunjukkan
hubungan yang bermakna dengan gangguan pertumbuhan linier bayi lahir, hal ini
kemungkinan disebabkan karena data konsumsi pada penelitian induk dikumpulkan
dengan metode Recall 24 jam dilakukan 1 kali pada tiap trimester, sehingga tidak
49

mencerminkan asupan harian, Menurut Barbara dan Black (2003), metode food
Recall 24 jam yang valid bila dilakukan lebih dari 2 kali untuk mendapatkan data
asupan makanan yang lengkap terutama makanan yang dikonsumsi pada hari
khusus. Selain itu, asupan zat gizi yang diperoleh dari metode food Recall 24 jam
tergantung pada kemampuan responden maupun pewawancara memberikan dan
menterjemahkan perkiraan porsi makanan yang akurat. Keterbatasan lain dalam
penelitian ini adalah tidak tersedia data penggunaan suplemen tablet tambah darah
pada ibu hamil sehingga tidak dapat dilakukan analisis pengaruh pemberian zat besi
maupun folat yang didapatkan dari tablet tambah darah ibu hamil.

Simpulan dan Saran

Analisis faktor risiko panjang bayi lahir rendah menunjukkan bahwa 41.3%
ditentukan oleh status gizi ibu hamil dengan faktor risiko utama adalah defisiensi
vitamin A (retinol serum < 20 µg/dl) pada trimester kedua dengan OR = 11.12 (95%
CI= 2.034-60.840) dan indeks massa tubuh (IMT) < 18.5 kg/m2 pada awal
kehamilan, dengan nilai OR= 8.84 (95% CI= 1.586-49.268). Hal ini menunjukkan
pentingnya status gizi yang baik dalam mempersiapkan kehamilan untuk mencegah
gangguan pertumbuhan linier bayi. Mempersiapkan status gizi ibu hamil yang baik
perlu dilakukan sejak usia remaja bekerjasama dengan institusi pendidikan dan
pemeriksaan kehamilan rutin untuk memantau pertumbuhan janin. Perlu penelitian
dengan disain eksperimen melalui pemberian intervensi makanan tambahan berupa
pemberian biskuit ibu hamil dengan kandungan zat gizi makro (karbohidrat, protein
dan lemak) dan mikro yaitu 10 macam vitamin (B1, B2, B3, B6, B12, C, D,E dan
asam folat) serta 7 macam mineral (zat besi, selenium, kalsium, natrium seng,
iodium dan fosfor) yang diperlukan untuk meningkatkan status gizi ibu dan
pertumbuhan janinnya. Selain pemberian intervensi tersebut, perlu pemeriksaan
kadar vitamin A, hemoglobin dan seng pada tiap trimester untuk mengetahui
perkembangan status gizi mikro ibu hamil serta menganalisis faktor lain yang dapat
mempengaruhi status gizi ibu dan pertumbuhan janin seperti faktor lingkungan di
sekitar tempat tinggal dan akses terhadap pelayanan pemeriksaan kehamilan.
5 PENGARUH PANJANG BAYI LAHIR RENDAH,
MORBIDITAS DAN KEKURANGAN GIZI MIKRO
TERHADAP PERTUMBUHAN LINIER ANAK USIA 3
TAHUN

Pendahuluan

Gangguan pertumbuhan linier atau tinggi badan di bawah standar merupakan


masalah gizi yang banyak ditemukan negara berkembang. Dengan menggunakan
referensi standar pertumbuhan WHO, prevalensi stunting pada anak bawah lima
tahun (balita) mencapai 38.2% di Afrika, 13.5% di Wilayah Amerika Latin, dan
27.6% Asia. Prevalensi stunting anak balita di Thailand, Malaysia, Filipina dan
Indonesia, masing-masing sebagai berikut 15.7%. 17.2%. 32.3% dan 39.2% (WHO
2010 dan WHO 2013). Prevalensi stunting di Indonesia bervariasi antar provinsi.
berkisar antara 22.5% - 58.4%, hal ini menunjukkan bahwa masalah stunting masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di semua provinsi di Indosesia
berdasarkan batas “non-public health problem” menurut WHO sebesar 20%
(Balitbangkes 2013).
Menurut Uauy et al. (2011), anak yang dilahirkan stunting akibat kekurangan
gizi saat janin tidak hanya bertubuh pendek pada umurnya, tetapi juga dapat
memberikan efek jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek,
stunting dapat meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian
(mortalitas), terutama akibat penyakit infeksi seperti diare, campak, saluran
pernafasan, dan malaria, sehingga proses pertumbuhan anak juga mengalami
gangguan. Efek jangka panjang stunting menurunkan tingkat kecerdasan pada masa
sekolah, menurunkan produktivitas pada masa produktif dan mengakibatkan
pendapatan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak stunting. Selain itu,
pada masa dewasa, anak stunting memiliki risiko menderita kegemukan dan
komplikasi metabolik lainnya, dan pada akhirnya lebih berisiko menderita penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh darah. Secara ekonomi, akibat
jangka pendek dan jangka panjang dari stunting dapat menurunkan rata-rata 3.4%
pendapatan suatu negara.
Meskipun prevalensi stunting pada tingkat regional maupun global cukup
tinggi, sampai saat ini faktor determinan terjadinya gangguan pertumbuhan linear
yang belum didapatkan secara pasti. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan
bahwa pemberian ASI yang kurang optimal, praktek pemberian makanan
tambahan, seringnya terkena penyakit infeksi dan kekurangan mikronutrien dalam
jangka panjang merupakan faktor risiko gangguan pertumbuhan linier. Faktor sosial
seperti akses pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kondisi lingkungan juga
memegang peranan penting pada tingginya angka kejadian gangguan pertumbuhan
linier anak balita (Hermina dan Prihatini 2011, Hairunis et al. 2016).
Status gizi bayi saat dilahirkan, dilihat dari berat badan maupun panjang
badan lahir merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bayi dan anak. Penelitian
kohor berbasis masyarakat pada anak usia 1 tahun di daerah pedesaan Malawi.
51

membuktikan bahwa ibu dengan tinggi badan < 150 cm, berat badan lahir,
pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat, angka kesakitan tinggi
merupakan faktor penyebab terjadinya stunting pada usia 1 tahun (Espo et al. 2002).
Hasil penelitian Schmidt et al. (2002) di Bogor Jawa Barat. menunjukkan berat
badan dan tinggi badan lahir merupakan prediktor kuat pada status gizi dan
pertumbuhan linier bayi sampai usia 15 bulan, berarti status gizi dan asupan zat gizi
yang baik saat menjelang dan selama kehamilan berpengaruh terhadap status gizi
dan pertumbuhan selama masa bayi.
Terjadinya gangguan pertumbuhan linier atau stunting dimulai sejak janin
dalam rahim dan berlanjut sampai usia 2 tahun, yang disebut dengan seribu hari
pertama kehidupan dan merupakan kesempatan untuk dilakukannya tindakan
intervensi. Pola pertumbuhan tinggi badan anak usia bawah lima tahun (balita) di 3
wilayah (Asia, Afrika, Amerika Latin dan Karibia) mempunyai kemiripan, rata-rata
Z skor TB/U mengalami penurunan tajam pada usia 3 bulan sampai 9 bulan, dan
penurunan terus berlanjut sampai usia 24 bulan walaupun tidak sebesar periode
tersebut (Shrimpton et al. 2001).
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
perbedaan pertumbuhan linier antara anak yang mengalami gangguan tumbuh dan
yang normal serta menganalisis faktor risiko gangguan pertumbuhan linier pada
usia 3 tahun.

Metode

Disain, tempat dan waktu


Data diperoleh dari penelitian longitudinal Pusat Pengembangan Teknologi
Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (P2TTKEK) yang dilakukan pada 5
(lima) kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011-2012. Penelitian dilakukan 3
tahap yaitu tahap 1 tahun 2011 pada 323 ibu dengan usia kehamilan 12 – 14 minggu
dilanjutkan tahap 2 tahun 2012 pada bayi usia 0 – 12 bulan yang dilahirkan dari ibu
hamil tahap 1. Penelitian tahap 3 dilakukan pada tahun 2015 saat anak pada
penelitian tahap 2 mencapai usia 3 tahun.

Subjek
Total subjek pada penelitian tahap 1, diperoleh 323 ibu hamil, namun pada
penelitian tahap 2 jumlah subjek yang ada menjadi 262 bayi dan pada penelitian
tahap 3, terkumpul data sebanyak 190 anak usia 3 tahun. Dari jumlah tersebut.
terdapat 150 anak yang memiliki kelengkapan data meliputi tinggi badan saat lahir,
usia 6 bulan, usia 1 tahun dan usia 3 tahun, terdiri dari 39 bayi dengan Z-skor PB
lahir <-1 SD (panjang lahir rendah /PLR) dan 111 bayi dengan Z-skor PB lahir >-
1 SD (normal).
52

Jenis dan cara pengumpulan data


Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perubahan pertumbuhan linier
anak dengan panjang lahir rendah dan anak dengan panjang lahir normal. Variabel
independen untuk perubahan pertumbuhan linier anak usia 3 tahun adalah: status
gizi TB/U lahir, 6 bulan dan 12 bulan, kadar hemoglobin, kadar seng serum dan
kadar retinol serum, dan frekuensi sakit (morbiditas) selama 1 bulan terakhir.
Data pertumbuhan linier diperoleh dari pengukuran panjang badan lahir,
panjang badan usia 6 bulan dan 12 bulan, diukur dengan posisi berbaring
menggunakan alat ukur panjang badan dengan tingkat ketelitian 0,1 cm. Tinggi
badan anak usia 3 tahun diukur dengan posisi berdiri menggunakan alat ukur tinggi
badan Microtoice dengan tingkat ketelitian 0.1 cm. Frekuensi sakit diperoleh
dengan wawancara menggunakan kuesioner, Nilai biokimia darah yang
dikumpulkan meliputi: hemoglobin, seng serum, dan retinol serum. Kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah dianalisis menggunakan metode
cyanmethemoglobin, kadar retinol serum dianalisis menggunakan metode high
pressure liquid spectroscopy (HPLC), kadar seng serum dianalisis menggunakan
metode atomic absorption spectrophotometry (AAS).

Pengolahan dan analisis data


Pertumbuhan linier ditetapkan berdasarkan nilai Z skor indeks tinggi badan
menurut umur (TB/U). dengan kategori mengalami gangguan petumbuhan linier
(GPL) bila nilai Z skor TB/U < -1 SD dan normal bila nilai Z skor TB/U > -1 SD.
Data frekuensi sakit dikagorikan sering bila frekuensi sakit > 4 kali/bulan dan
jarang bila frekuensi sakit < 4 kali/bulan. Status gizi mikro meliputi: kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah dikategorikan rendah bila kadar Hb dalam darah <
11 g/dL dan normal bila kadar Hb > 11 g/dL, retinol serum dikategorikan rendah
bila < 20 µg/dL dan normal bila retinol serum > 20 µg/dL, kadar seng serum
dikategorikan rendah bila kadar seng < 0.7 mg/L dan normal bila kadar seng > 0.7
mg/L (Gibson 2005).
Analisis data meliputi univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat
digunakan untuk menggambarkan karakteristik sampel, perubahan pertumbuhan
linier sejak lahir, usia 1 tahun dan 3 tahun, frekuensi sakit, dan micronutrients
status. Analisis bivariat dilakukan unuk mengetahui perubahan pertumbuhan linier
dan hubungan faktor risiko gangguan petumbuhan linier menggunakan uji chi-
square. Analisis multivariate regresi logistik berganda digunakan untuk mengetahui
faktor risiko yang paling berperan terhadap pola pertumbuhan anak usia 3 tahun.

Kode Etik Penelitian


Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari penelitian longitudinal
yang dilakukan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
(PT2TKEK), sehingga persetujuan etik mengacu pada penelitian induk yang
didapatkan dari Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan, nomor:
LB.02.01/5.2/KE.233/2015. Orangtua anak menandatangani informed consent
sebagai persetujuan menjadi subjek penelitian.
53

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik subjek penelitian


Usia ibu saat hamil, frekuensi kehamilan, pendidikan ibu, dan jumlah anggota
keluarga tidak menunjukkan perbedaaan yang bermakna antara kelompok bayi
dengan gangguan panjang lahir dan normal (Tabel 13).

Tabel 13 Karakteristik Keluarga


Karakteristik PLR n (%) Normal n (%) Nilai p
Usia Ibu saat hamil
< 20 tahun atau > 35 tahun 12 (30.8) 27 (24.3) 0.564
20 -35 tahun 27 (69.2) 84 (75.7)
Frekuensi kehamilan 1.31 + 1.51 1.45 + 1.57
> 2 kali 8 (20.5) 21 (20.6) 1.000
< 2 kali 31 (79.5) 81 (79.4)
Pendidikan Ibu
SMP ke bawah 35 (89.7) 89 (80.2) 0.266
SMA ke atas 4 (10.3) 22 (9.8)
Jumlah anggota rumah tangga 4.56 + 2.27 4.52 + 2.13
> 5 orang 11 (28.2) 31 (27.9) 1.000
< 5 orang 28 (71.8) 80 (72.1)

Tabel 14 memperihatkan bahwa panjang lahir rendah lebih banyak ditemukan


pada bayi laki-laki dibandingkan bayi perempuan (53.9% dan 46.1%). Berat badan
lahir berbanding lurus dangan panjang badan lahir, hal ini terlihat dari 21.9% (p=
0.005) bayi dengan gangguan panjang lahir memiliki berat badan lahir rendah
(BBLR). Panjang badan lahir berhubungan dengan panjang badan bayi usia 12
bulan (p= 0.038).
Tabel 14 Status Gizi Anak Usia 0-3 Tahun
Gangguan Normal Nilai p
Karakteristik
Pertumbuhan
Jenis kelamin bayi
Laki-laki 21 (53.9) 50 (45.0) 0.447
Perempuan 18 (46.1) 61 (55.0)
Berat badan lahir 2835.1+385.3 3347.2+548.6 0.005
< 2500 gram 7 (21.9) 2 (1.8)
> 2500 gram 32 (82.1) 109 (98.2)
Panjang badan lahir 46.87 + 1.19 50.04 + 1.94
Panjang badan 6 bulan 64.91 + 2.53 65.82 + 2.46 0.067
GPL 17 (43.6) 29 (26.1)
Normal 22 (56.4) 82 (73.9)
Panjang badan 12 bulan 72.19 + 2.05 73.16 + 2.58 0.038
GPL 24 (61.5) 45 (40.5)
Normal 15 (38.5) 66 (59.5)
Tinggi badan 3 tahun 91.42 + 2.89 93.06 + 4.20 0.148
GPL 33 (84.6) 79 (71.2)
Normal 6 (15.4) 32 (28.8)
54

Pola pertumbuhan linier anak usia 0-3 tahun


Gambar 8 memperlihatkan saat lahir rerata Z skor PB/U bayi dengan
gangguan pertumbuhan linier (GPL) adalah -1.38 + 0.52 dan rerata Z skor PB/U
bayi dengan panjang lahir normal sebesar 0.35 + 1.03. Pada 3 bulan pertama, bayi
GPL mengalami peningkatan nilai Z-skor PB/U, 15,4% dari 39 bayi GPL terus
mengalami peningkatan Z-skor PB/U pada bulan selanjutnya bahkan pada usia 3
tahun memiliki rerata z-skor TB/U hampir sama dengan bayi dengan panjang lahir
normal (kelompok GPL-Normal). Namun sebagian lagi (84,6%), mengalami
penurunan nilai Z-skor PB/U pada bulan bulan selanjutnya dan pada usia 3 tahun
masuk kategori stunting (Z-skor <-2 SD). Sementara dari 111 bayi dengan panjang
badan lahir normal, 71,2% terus mengalami penurunan Z skor TB/U dan masuk
kategori stunting (Z-skor <-2 SD) pada usia 3 tahun, penurunan cukup besar terjadi
pada rentang waktu bulan ketiga dan keenam.

1.00 .77
.60 .52
.34
.50 .25 .22
.03
-.17 -.10
.00 -.35 -.31
-.38
-.51
Z-skor TB/U

-.63
-.50 -.77
-1.03
-1.00 -1.32 -.81
-.96
-1.12
-1.50 -1.26
-1.39
-2.14
-2.00

-2.50 -2.28
0 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan 3 tahun
Usia
PLR-GPL PLR-Normal Normal-GPL Normal-Normal

Gambar 8 Rerata Z Skor TB/U Anak (0-3 Tahun) pada Tiap Kelompok Status Gizi
saat Lahir dan Usia 3 Tahun

Hasil penelitian ini menunjukkan rerata Z-skor tinggi badan menurut umur
pada bayi baru lahir (-0.1) terus mengalami penurunan sampai usia 3 tahun (-1.7).
Pola pertumbuhan linier pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Prendergast et al. (2014) dan Solomons et al. (2014), yang menyatakan bahwa
Stunting telah dimulai sejak janin dalam rahim dan berlanjut sampai dengan usia 2
tahun. Hal ini terlihat dari rerata Z skor TB/U pada bayi yang baru lahir di negara-
negara berkembang adalah -0.5 SD dan terus menurun setelah kelahiran untuk
mencapai titik terendah sekitar -2.0 SD pada usia 18-24 bulan. Hasil serupa
diperoleh pada penelitian kohor di 5 negara, yaitu Brasil. Guatemala. India.
Filipina. India dan Afrika Selatan. rata-rata Z skor TB/U bayi lahir berkisar antara
-0.22 di Filipina sampai -1.47 di Guatemala dan pada usia 2 tahun. terjadi
penurunan rerata nilai Z skor TB/U dengan kisaran antara -0.61 di Brasil sampai -
3.28 di Guatemala (Stein et al. 2010).
55

GR 0-6 GR 6-12 GR12-36

Laju pertumbuhan TB (cm/bulan)


.87 .85
.79 .93
1.28 .79
1.19 1.34 1.36
1.15

2.91 3.25 2.96


2.54 2.78

GPL 3 tahun (85.6%) Normal 3 tahun (5.4%) GPL 3 tahun (70.4%) Normal 3 tahun (29.6%)
PLR lahir Normal lahir Standar WHO

status pertumbuhan anak 0-3 tahun

Gambar 9 Laju Pertumbuhan TB Anak Usia 0-3 Tahun (cm/bln)

Laju pertumbuhan (growth rate) anak tertinggi terjadi pada rentang usia 0
sampai 6 bulan dengan rata rata 2.7 cm per bulan, kemudian menurun pada rentang
usia selanjutnya. Pada Gambar 10, terlihat bahwa anak dengan gangguan panjang
lahir tetapi menjadi normal pada usia 3 tahun, laju pertumbuhan terbesar terjadi
pada usia 0-6 bulan yaitu sebanyak 3.25 cm per bulan. Sedangkan pada anak dengan
panjang lahir normal tetapi mengalami gangguan panjang badan pada usia 3 tahun,
memiliki tingkat pertumbuhan usia 0-6 bulan paling rendah diantara kelompok
lainnya, yaitu sebesar 2.54 cm perbulan. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk
mengejar pertumbuhan (catch up growth) terjadi pada rentang usia 0-6 bulan, bila
pada rentang tersebut anak gagal mencapai pertumbuhan yang optimal, maka akan
sulit untuk mencapai status gizi normal.

Laju pertumbuhan usia 0-6 bulan tertinggi pada kelompok anak dengan
panjang lahir rendah namun memiliki panjang badan normal pada usia 3 tahun. Bila
dianalisis lebih lanjut terlihat bahwa anak dengan berat badan lahir normal memiliki
laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan anak dengan berat lahir rendah (2.94
cm/bulan vs 2.75 cm/bulan). Demikian juga anak yang masih diberi ASI pada usia
6 bulan dan jarang menderita sakit memiliki rata-rata laju pertumbuhan tinggi badan
lebih besar. Pada kelompok anak dengan panjang lahir rendah namun memiliki
panjang badan normal pada usia 3 tahun 66.7% lahir dengan berat badan normal,
80% masih mendapatkan ASI pada usia 6 bulan dan 100% jarang menderita sakit
pada usia 0-6 bulan (Gambar 10).
56

BBLR Masih diberi ASI pada usia 6 bulan

Laju pertubuhan TB (cm/bulan)


Laju pertumbuhan TB (cm/bulan)

3.41 3.43
2.75 2.94 2.91 2.86 2.87 3.08
2.77 2.53 2.5 2.79 2.78
2.23 2.53

Ya (1.3%)

Ya (3.1%)
Tidak (87.5%)

Tidak (66.7%)

Tidak (98.7%)

Tidak (96.9%)
Ya (12.5%)

Ya (33.3%)

Tidak (92.8%)
Ya (7.2%)

Ya (100.0%)
Tidak (20.0%)
Ya (80.0%)

Ya (98.6%)
Tidak (1.4%)

Tidak (0.0%)
PLR lahir-GPL PLR lahir- Normal lahir- Normal PLR lahir-GPL PLR lahir- Normal lahir- Normal
3 tahun Normal 3 tahun GPL 3 tahun lahir- 3 tahun Normal 3 tahun GPL 3 tahun lahir-
Normal 3 Normal 3
tahun tahun
Pemberian ASI Eksklusif sampai 6 bulan Frekuensi sakit
Laju pertumbuhan TB (cm/bulan)

Laju pertumbuhan TB (cm/bulan)

3.27 3.17 3.04 2.9 3.24 3


2.86 3.06 2.72 2.94 2.53 2.5 2.81
2.54 2.53
Sering (16.1%)

Jarang (100.0%)

Sering (22.5%)

Sering (12.0%)
Jarang (83.9%)

Sering (0.0%)

Jarang (77.5%)

Jarang (88.0%)
Tidak (71.9%)

Tidak (83,3%)

Tidak (66.2%)
Ya (28.1%)

Ya (16.7%)

Ya (33.8%)

Ya (25.0%)
Tidak (75.0%)

PLR lahir-GPL PLR lahir- Normal lahir- Normal


PLR lahir-GPL PLR lahir- Normal lahir- Normal
3 tahun Normal 3 tahun GPL 3 tahun lahir-
3 tahun Normal 3 tahun GPL 3 tahun lahir-
Normal 3
Normal 3
tahun
tahun

Gambar 10 Laju Pertumbuhan TB Anak Usia 0-6 Bulan (cm/bln) Berdasarkan


Status BBLR, Pemberian ASI dan Frekuensi Sakit

Pada Gambar 11, terlihat bahwa laju pertumbuhan usia 6-12 bulan tertinggi
pada kelompok anak dengan panjang lahir normal dan tetap memiliki panjang
badan normal pada usia 3 tahun. Bila dianalisis lebih lanjut terlihat bahwa anak
dengan tingkat kecukupan energi dan protein cukup memiliki rata-rata laju
pertumbuhan tinggi badan lebih besar dibandingkan anak dengan tingkat
kecukupan energi dan protein kurang. Rata-rata laju pertumbuhan tinggi badan
lebih besar juga ditemukan pada anak yabg jarang menderita sakit. Pada kelompok
anak dengan panjang lahir rendah namun memiliki panjang badan normal pada usia
3 tahun, pada rentang usia 6-12 bulan, 66.7% memiliki tingkat kecukupan energi
cukup, 50% memiliki tingkat kecukupan protein cukup dan 100% jarang menderita
sakit.
57

Masih diberi ASI pada usia 12 bulan Tk. Kecukupan Energi

Laju pertumbuhan TB (cm/bulan)

Laju pertumbuhan TB (cm/ bulan)


1.67 1.40 1.51
1.44 1.55 1.21 1.16 1.28
1.28 1.03 1.14 1.19
1.19 1.17 1.18 1.16

Cukup (25.0%)

Cukup (66.7%)

Cukup (28.9%)

Cukup (25.0%)
Kurang (75.0%)

Kurang (33.3%)

Kurang (71.1%)

Kurang (75.0%)
Tidak (10.7%)

Tidak (25.0%)
Ya (89.3%)

Ya (75.0%)

Ya (97.1%)

Ya (96.4%)
Tidak (2.9%)

Tidak (3.6%)
PLR lahir-GPL 3 PLR lahir-Normal Normal lahir-GPL Normal PLR lahir-GPL 3 PLR lahir- Normal lahir- Normal
tahun 3 tahun 3 tahun lahir- tahun Normal 3 tahun GPL 3 tahun lahir-
Normal 3 Normal 3
tahun tahun

Tk. Kecukupan Protein


Frekuensi Sakit

Laju pertumbuhan TB (cm/bulan)


Laju pertumbuhan TB (cm/ bulan)

1.47 1.49 1.37


1.18 1.24 1.13 1.21 1.26 1.22 1.20 1.29 1.19 1.11
1.08 1.11
Kurang (78.1%)

Cukup (21.9%)

Kurang (50.0%)

Cukup (50.0%)

Kurang (75.0%)

Cukup (25.0%)

Kurang (65.6%)

Cukup (34.4%)

Sering (37.5%)

Sering (34.5%)

Sering (31.3%)
Jarang (100.0%)
Jarang (62.5%)

Sering (0.0%)

Jarang (65.5%)

Jarang (68.7%)
PLR lahir-GPL 3 PLR lahir-Normal Normal lahir-GPL Normal PLR lahir-GPL 3 PLR lahir-Normal Normal lahir-GPL Normal
tahun 3 tahun 3 tahun lahir- tahun 3 tahun 3 tahun lahir-
Normal 3 Normal 3
tahun tahun

Gambar 11 Laju Pertumbuhan TB Anak Usia 6-12 Bulan (cm/bln)


BerdasarkanTingkat Kecukupan Energi dan Protein, Pemberian ASI
dan Frekuensi Sakit

Gangguan panjang lahir dan pertumbuhan linier anak usia 0-3 tahun
Pada 6 bulan pertama, dari 39 bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan
linier lahir, 43.6% tetap mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 6 bulan.
Sedangkan pada 111 bayi yang memiliki panjang badan normal saat lahir, 26.1%
mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 6 bulan. Nilai risiko relatif (RR)
sebesar 1.668 menunjukkan bahwa bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan
saat lahir memiliki risiko 1.7 kali lebih besar untuk tetap mengalami gangguan
pertumbuhan linier saat usia 6 bulan (Gambar 12). Dilihat dari proporsinya terjadi
peningkatan masalah gangguan petumbuhan linier pada usia lahir sampai usia 6
bulan yaitu dari 26.0% menjadi 30.7%.
58

Risiko penurunan status gizi meningkat pada usia 6-12 bulan, bayi lahir
dengan gangguan panjang badan dan tidak membaik pada usia 6 bulan, memiliki
risiko relatif (RR) sebesar 2.588 mengalami gangguan pertumbuhan linier saat usia
12 bulan. Demikian juga pada bayi 5 usia 6 bulan yang mengalami gangguan
pertumbuhan linier memiliki peluang 3.535 kali lebih besar untuk tetap mengalami
gangguan pertumbuhan linier saat usia 12 bulan. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Anugraheni dan Kartasurya (2012), dimana bayi dengan panjang lahir rendah
memiliki risiko 2.8 kali mengalami stunting dibandingkan bayi dengan panjang
lahir normal.
Pada periode usia 0-12 bulan, terdapat 61.5% bayi yang mengalami gangguan
pertumbuhan linier saat lahir dan mengalami hal yang sama pada usia 12 bulan. Di
sisi lain pada kelompok bayi lahir dengan panjang badan normal terdapat 40.5%
bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 12 bulan. Sehingga
secara keseluruhan didapatkan risiko relatif sebesar 1.518 (95% CI = 1.086 – 2.122;
p value = 0.023), hal ini menunjukkan bahwa bayi yang mengalami gangguan
pertumbuhan saat lahir memiliki risiko 1.5 kali lebih besar untuk tetap mengalami
gangguan pertumbuhan linier saat usia 1 tahun. Bayi dengan panjang badan lahir
normal memiliki peluang 1.7 kali mengalami penurunan status gizi pada usia 3
tahun (RR =1.665; 95% CI= 1.526-2.080).

PLR

Gambar 12 Kohor Perubahan Gangguan Pertumbuhan Linier Anak Pada Setiap


Tahap Usia
59

Gambar 12 memperlihatkan dari 39 bayi dengan panjang lahir rendah, hanya


15.4% yang memiliki panjang badan normal pada usia 3 tahun. Sebaliknya dari 111
bayi lahir dengan panjang badan normal, 71.2% mengalami gangguan pertumbuhan
linier pada usia 3 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa masalah gangguan
pertumbuhan linier sulit diatasi sampai usia 3 tahun. Pola penurunan Z-skor TB/U
berdampak pada meningkatnya proporsi masalah gangguan petumbuhan linier
seiring dengan pertambahan usia, pada usia lahir 26.0% menjadi 30.7% pada usia
6 bulan, 46.0% usia 12 bulan dan 74.7% pada usia 3 tahun. Peningkatan prevalensi
stunting juga ditemukan pada penelitian Svefors et al. (2016) di Bangladesh.
Pertumbuhan linier pada 3 wilayah (Afrika, Asia serta Amerika Latin dan Karibia)
memiliki pola yang sama, gangguan pertumbuhan linier mulai terjadi pada bulan
pertama kehidupan, lebih cepat dibandingkan terjadinya gangguan pertumbuhan
berat badan pada usia 3 bulan (Shrimpton et al. 2001).

Faktor risiko pertumbuhan linier anak usia 0-3 tahun


Pada Tabel 15 terlihat bahwa, pertumbuhan linier anak usia 0-3 tahun secara
signifikan dipengaruhi oleh gangguan panjang badan usia 6 bulan sampai dengan 1
tahun dengan nilai OR sebesar 5.100 dan 8.800. Tingginya angka morbiditas pada
satu bulan terakhir berpengaruh terhadap pertumbuhan linier anak usia 3 tahun,
anak dengan frekuensi sakit lebih dari 4 kali dalam sebulan terakhir memiliki
peluang 2.4 kali lebih besar mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 3
tahun (OR = 2.357; 95% CI = 1.098-5.059).

Tabel 15 Hubungan Gangguan Panjang Lahir, Morbiditas, Status Gizi Mikro


dengan Pertumbuhan Linier Anak Usia 0-3 Tahun
Variabel GPL Normal OR (95% CI) Nilai P
n (%) n (%)
Panjang badan lahir
GPL (Z skor PB/U < -1 SD) 33 (29.5) 6 (15.8) 2.228 0.085
Normal (Z skor PB/U > -1 SD) 79 (70.5) 32 (84.2) (0.851-5.830)
Panjang badan usia 6 bulan
GPL (Z skor PB/U < -1 SD) 42 (37.5) 4 (8.7) 5.100** 0.001
Normal (Z skor PB/U > -1 SD) 70 (62.5) 34 (89.5) (1.690-15.389)
Panjang badan usia 1 tahun
GPL (Z skor PB/U < -1 SD) 64 (57.1) 5 (7.2) 8.800** 0.000
Normal (Z skor PB/U > -1 SD) 48 (42.9) 33 (86.8) (3.198-24.217)
Frekuensi sakit satu bulan
terakhir 66 (58.9) 14 (37.8) 2.357* 0.026
Sering (> 4 kali) 46 (41.1) 23 (62.2) (1.098-5.059)
Jarang (< 4 kali)
Hemoglobin pada usia 3 tahun
Rendah (Hb < 11 g/dL) 24 (21.8) 7 (18.4) 1,236 0.654
Normal (Hb > 11 g/dL) 86 (78.2) 31 (81.6) (0.484-3.153)
Seng serum pada usia 3 tahun
Rendah (< 0.7 mg/L) 66 (65.3) 16 (44.4) 2.357** 0.029
Normal (> 0.7 mg/L) 35 (34.7) 20 (55.6) (1.086-5.115)
Retinol serum pada usia 3 tahun
Rendah (< 20 µg/dL) 12 (11.3) 1 (2.6) 4.723 0.074
Normal (> 20 µg/dL) 94 (88.7) 37 (97.4) (0.593-37.626)
Uji Chi Square *) nilai p <0.05 **) nilai p<0.01
60

Analisis data faktor risiko pertumbuhan anak usia 0-3 tahun (Tabel 16)
menunjukkan bahwa pertumbuhan linier usia 1 tahun merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pertumbuhan linier pada anak usia 3 tahun dengan nilai OR =
10.511 (95% CI = 3.527-31.325). Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
gangguan pertumbuhan linier pada anak usia 3 tahun adalah defisiensi seng dan
vitamin A serta seringnya menderita sakit pada satu bulan terakhir (OR = 2.522;
7.455; dan 3.031). Dari persamaan di atas didapatkan nilai R2 sebesar 0.349 (p
value = 0.00), menunjukkan bahwa 34.9% gangguan pertumbuhan linier pada anak
usia 3 tahun ditentukan dari pertumbuhan linier usia 1 tahun, rendahnya kadar seng
dan vitamin A serum serta sering menderita sakit pada satu bulan terakhir.
Menurut Victoria et al. (2008), pertumbuhan merupakan proses
berkesinambungan yang terjadi pada empat fase kehidupan yaitu: janin, bayi, anak-
anak dan pubertas, masing-masing fase ini diatur oleh mekanisme pengaturan yang
berbeda dan dipengaruhi oleh faktor endogen yang terdiri dari biologi, genetik dan
etnis penentu dan oleh eksogen faktor-faktor seperti gizi, budaya, lingkungan dan
kondisi sosial. Empat fase pertumbuhan tersebut saling terkait satu dengan lainnya,
bila pada satu fase terjadi gangguan pertumbuhan maka akan berdampak pada
pertumbuhan selanjutnya bila tidak diimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh).
Teori di atas, sejalan dengan penelitian ini, pertumbuhan linier bayi saat lahir
sampai usia 1 tahun berpengaruh terhadap gangguan panjang badan bayi usia 3
tahun. Bayi dengan gangguan pertumbuhan linier pada usia 6 bulan memiliki risiko
22.3 kali lebih besar mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 1 tahun.
Sementara itu pertumbuhan linier anak usia 3 tahun, secara signifikan dipengaruhi
oleh gangguan panjang badan usia 1 tahun dengan nilai OR sebesar 8.800.

Tabel 16 Faktor Risiko Pertumbuhan Linier Anak Usia 1-3 Tahun

Faktor Risiko OR (95% CI) Nilai P


Gangguan pertumbuhan linier usia 1 10.511 (3.527-31.325)** 0.000
tahun
Sering menderita sakit 1 bulan terakhir 2.522 (1.033-6.159)* 0.042
Defisiensi Seng pada usia 3 tahun 3.031 (1.222-7.515)* 0.017
Defisiensi vitamin A pada usia 3 tahun 7.455 (0.802-69.254) 0.077
Uji Regresi Logistik *) nilai p<0.05 **) nilai p <0.01

Morbiditas penyakit infeksi yang tinggi akan mengakibatkan penurunan


status gizi anak usia 3 tahun, hal ini terkait dengan masalah gizi mikro terutama
rendahnya kadar hemoglobin, retinol dan seng serum. Penelitian Schmidt et al.
(2001) membuktikan bahwa serum retinol pada anak yang menderita infeksi saluran
pernafasan atas lebih rendah dibandingkan anak yang sehat. Hasil serupa
didapatkan Mikhail et al. (2013) dan Chasapis et al. (2012), kandungan zat besi,
vitamin A dan seng serum secara signifikan lebih rendah pada anak stunted
dibandingkan anak normal. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin A, seng dan zat
besi memegang peranan penting pada pertumbuhan linier. Seng dan vitamin A
berperan dalam sistim kekebalan tubuh sehingga berpengaruh terhadap angka
kesakitan dan gangguan pertumbuhan. Seng juga berperan pada beberapa proses
61

pertumbuhan melalui pembentukan dan sekresi hormon pertumbuhan (Growth


Hormone) serta aktivasi insulin like growth faktors (IGF) serta pembentukan tulang.

Simpulan dan Saran

Gangguan panjang badan pada usia 6 bulan dan 1 tahun berpengaruh terhadap
pertumbuhan linier anak usia 3 tahun. Anak dengan gangguan panjang lahir sulit
untuk memiliki panjang badan normal pada usia 3 tahun, sebaliknya anak dengan
panjang lahir normal memiliki peluang besar mengalami gangguan pertumbuhan
linier pada usia 3 tahun. Faktor risiko gangguan pertumbuhan linier anak usia 3
tahun adalah adanya gangguan pertumbuhan linier pada usia 1 tahun (OR = 10.51;
95% CI= 3.527-31.325), morbiditas pada satu bulan terakhir (OR = 2.52; 95% CI=
1.033-6.159), dan kekurangan zat gizi mikro terutama seng dan vitamin A.
Perlunya pencegahan gangguan pertumbuhan linier pada masa janin dan bayi
dengan meningkatkan status gizi ibu hamil dan menyusui melalui pola makan gizi
seimbang. Peningkatan laju pertumbuhan linier pada anak dengan panjang lahir
rendah perlu dilakukan sebelum anak berusia 6 bulan dengan pemberian ASI dan
mencegah anak terkena penyakit infeksi. Peningkatan status mikronutrien anak usia
lebih dari 6 bulan dalam bentuk pemberian makanan tambahan yang mengandung
zat gizi makro dan mikro yang cukup untuk mencegah tingginya angka morbiditas
untuk mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan linier anak usia 3 tahun.
6 PENGARUH PERTUMBUHAN LINIER DAN POLA ASUH
PSIKOSOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN
KOGNITIF ANAK USIA TIGA TAHUN

Pendahuluan

Gangguan pertumbuhan linier atau tinggi badan tidak mencapai standar


(Onies dan Branca 2016) terjadi karena asupan zat gizi yang tidak memadai dan
diperparah dengan seringnya terkena penyakit. Hambatan pertumbuhan dalam
rahim atau Intrauterine Growth Restriction (IUGR) berhubungan dengan banyak
hal merugikan pada janin dan bayi yang dilahirkan. Selama kehamilan, IUGR dapat
menyebabkan gangguan pada janin atau bahkan menyebabkan kematian janin.
Setelah dilahirkan, bayi dengan IUGR seringkali mengalami penundaan
perkembangan neurologis dan intelektual, serta pencapaian tinggi badan tidak
maksimal seperti bayi pada umumnya berlanjut sampai dewasa (Alive dan Thrive
2010)
Stunting merupakan salah satu bentuk gangguan pertumbuhan linier yang
didefinisikan sebagai panjang atau tinggi badan dengan nilai z-skor kurang dari dua
standar deviasi (WHO 2006a). Dengan menggunakan referensi standar
pertumbuhan WHO, prevalensi stunting pada anak bawah lima tahun (balita)
mencapai 38.2% di Afrika, 13.5% di Wilayah Amerika Latin, dan 27.6% Asia.
Berdasarkan data WHO, pada kurun waktu tahun 2002 – 2012, prevalensi stunting
anak balita di negara Asia adalah sebagai berikut Thailand 15.7%, Malaysia 17.2%,
Filipina 32.3% dan Indonesia 39.2% (WHO 2013).
Besarnya masalah stunting di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan
dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan 20.2% bayi dilahirkan dengan kondisi
stunting (panjang badan < 48 cm). Angka ini semakin meningkat seiring
bertambahnya usia, prevalensi stunting pada balita adalah sebesar 37.2%
mengalami peningkatan dari Riskesdas 2010, yaitu 35.7%. Berdasarkan propinsi,
prevalensi stunting di Indonesia berkisar antara 22.5% - 58.4%, hal ini
menunjukkan bahwa masalah Stunting masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di semua propinsi di Indosesia berdasarkan batas “non public health
problem” menurut WHO sebesar 20%.
Menurut Uuay et al. (2011), anak yang dilahirkan stunting akibat kekurangan
gizi saat janin tidak hanya bertubuh pendek, tetapi juga dapat memberikan efek baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, stunting dapat
meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas)
terutama akibat penyakit infeksi seperti diare, campak, saluran pernafasan, dan
malaria, sehingga proses pertumbuhan anak juga mengalami gangguan. Sedangkan
efek jangka panjang dapat menurunkan tingkat kecerdasan pada masa sekolah,
menurunkan produktivitas pada masa produktif dan mengakibatkan pendapatan
yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak stunting. Secara ekonomi,
63

akibat jangka panjang dari stunting dapat menurunkan rata-rata 3.4% pendapatan
kotor suatu wilayah (Gross Domestic Product/GDP).
Terjadinya gizi kurang saat bayi berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif anak, hal ini terlihat dari penelitian Crookston et al. (2011 dan 2013) di
Etiopia, India, Peru dan Vietnam, menunjukkan kemampuan kognitif anak saat
masuk sekolah dipengaruhi oleh kondisi stunting pada usia 6-18 bulan dan
pengaruh lebih kuat oleh kondisi stunting pada usia 4.5-6 tahun. Anak dengan tinggi
badan lahir pendek tetapi menjadi normal pada usia 8 tahun, memiliki kemampuan
kognitif lebih baik dibanding anak yang tetap pendek pada usia 8 tahun. Moura et
al. (2010) membuktikan bahwa tingkat pendidikan ibu, berat badan lahir rendah,
lahir prematur, riwayat sakit dan mempunyai riwayat keterlambatan perkembangan
pada usia 1 tahun merupakan faktor risiko terjadinya keterlambatan perkembangan
saat anak tersebut berusia 2 tahun diukur dengan menggunakan Battelle
Developmental Screening Inventory (BSDI).
Hasil penelitian di atas menunjukkan adanya hubungan antara gangguan
pertumbuhan linier (-2 Z-skor) bayi dengan perkembangan kognitif anak pada usia
2 tahun dan saat masuk sekolah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh gangguan pertumbuhan linier bayi (menggunakan
nilai Z-skor minus 1 standar deviasi), morbiditas dan pola asuh dengan
perkembangan kognitif anak usia 3 tahun.

Metode

Sumber data dan jumlah subjek penelitian


Data diperoleh dari penelitian longitudinal PT2TKEK yang dilakukan 3 tahap
yaitu tahap 1 tahun 2011 pada 323 ibu dengan usia kehamilan 12 – 14 minggu
diikuti sampai melahirkan, tahap 2 tahun 2012 pada 262 bayi usia 0 – 12 bulan
yang dilahirkan dari ibu hamil tahap 1, dan tahap 3 tahun 2015 pada 208 anak usia
3 tahun, Penelitian ini menggunakan subjek 150 anak dengan kriteria inklusi lahir
cukup bulan (36-40 minggu), tidak kembar, ibu tidak memiliki riwayat penyakit
kronis, dan memiliki data lengkap.dari tahap 1 sampai tahap 3. Dari 150 sampel,
dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu anak yang mengalami keterlambatan
perkembangan kognitif sebanyak 105 orang dan anak dengan perkembangan
kognitif sesuai umur (35 orang).
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari penelitian longitudinal
yang dilakukan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
(PT2TKEK), sehingga persetujuan etik mengacu pada penelitian induk yang
didapatkan dari Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan, nomor:
LB.02.01/5.2/KE.233/2015. Orangtua anak menandatangani informed consent
sebagai persetujuan menjadi subjek penelitian.
64

Cara Pengumpulan Data


Status gizi bayi saat lahir, 6 bulan dan 12 bulan diukur dengan posisi
berbaring menggunakan alat ukur panjang badan dengan tingkat ketelitian 1 mm,
sedangkan status gizi anak usia 3 tahun dilakukan dengan posisi berdiri
menggunakan alat ukur microtoice dengan tingkat ketelitian 1 mm. Pertambahan
tinggi badan diamati sejak lahir, 6 bulan, 12 bulan dan usia 3 tahun. Status gizi
berdasarkan nilai Z skor Tinggi badan menurut umur (TB/U) dihitung dengan
menggunakan rujukan WHO Anthro 2006. Gangguan pertumbuhan linier (linear
growth faltering) ditetapkan bila nilai Z skor TB/U < -1 SD dan normal bila nilai Z
skor TB/U > -1 SD.
Riwayat menderita menderita Tuberkulosis (TB) paru pada anak didapatkan
dari wawancara dan pemeriksaan klinis. Test mantoux dilakukan bila dicurigai
adanya riwayat Tuberkulosis (TB) paru pada keluarga atau adanya tanda tanda
klinis pada anak.
Pola asuh psikososial adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan
waktu, perhatian dan dukungan serta pemberian kasih sayang dan stimulasi
terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan optimal baik secara fisik, mental
dan sosial. Pola asuh yang dilakukan oleh orangtua diukur dengan menggunakan
kuesioner Home Observation for Measurement of the Environment (HOME)
Inventory untuk kelompok anak-anak usia 3-6 tahun. Kuesioner terdiri dari 8 sub-
skala dengan total pertanyaan sebanyak 55 item, setiap pertanyaan diberi skor 1
(satu) bila jawaban Ya dan 0 (nol) bila Tidak. Pola asuh dikategorikan menjadi
Rendah bila total skor < 25 dan Baik bila total skor > 25 (Caldwell dan Bradley
2003).
Perkembangan Anak adalah kemampuan fungsi organ atau sel dalam tubuh
mengikuti suatu pola yang teratur akibat proses pematangan. Perkembangan anak
yang diukur meliputi fungsi kognitif menggunakan test Bayley Scales of Infant
Development (BSID) III yang dikembangkan oleh Nancy Bayley tahun 1933. Skor
dari masing-masing fungsi dikategorikan menjadi perkembangan sesuai umur dan
perkembangan tidak sesuai umur (terlambat), berdasarkan kriteria BSID III (Bayley
2005).

Analisis statistik
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik sampel,
pola pertumbuhan linier sejak lahir, usia 6 bulan, 12 bulan dan 3 tahun, pola asuh,
frekuensi sakit dalam 1 bulan terakhir, serta riwayat menderita Tuberkulosis (TB)
pru. Analisis bivariat chi-square digunakan unuk mengetahui hubungan antar
peubah bebas dengan status perkembangan kognitif anak usia 3 tahun. Analisis
regresi logistik ganda digunakan untuk mengetahui faktor risiko perkembangan
kognitif anak usia 3 tahun.
65

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Keluarga
Usia ibu saat hamil, frekuensi kehamilan, pendidikan dan pekerjaan ibu, serta
jumlah anggota keluarga tidak menunjukkan perbedaaan yang bermakna antara
kelompok anak gangguan perkambangan kognitif terlambat dan sesuai umur (Tabel
17).

Tabel 17 Karakteristik Ibu dan Keluarga

Perkembangan kognitif
Karakteristik Nilai p
Terlambat Sesuai umur
Usia ibu saat hamil
< 20 tahun atau > 35 tahun 24 (20.9) 6 (17.1) 0.809
20 -35 tahun 91 (79.1) 29 (82.9)
Frekuensi kehamilan
> 2 kali 46 (40.0) 8 (22.9) 0.099
< 2 kali 69 (60.0) 27 (77.1)
Pendidikan ibu
SMP ke bawah 99 (86.1) 25 (71.4) 0.080
SMA ke atas 16 (13.9) 10 (28.6)
Status pekerjaan ibu
Bekerja 17 (14.8) 5 (14.3) 1.000
Tidak bekerja 98 (85.2) 30 (85.7)
Jumlah anggota rumah tangga
> 5 orang 41 (35.7) 8 (22.9) 0.227
< 5 orang 74 (64.3) 27 (77.11)

Perkembangan kognitif anak usia 3 tahun


Dalam penelitian ini, tidak ada perbedaan proporsi keterlambatan
perkembangan kogntitif antara anak laki-laki dan perempuan yaitu 50.4% laki-laki
dan 48.6% perempuan (Tabel 18).
Dilihat dari status gizi berrdasarkan indeks tinggi badan menurut umur
(TB/U), gangguan pertumbuhan linier saat ini lebih banyak berpengaruh terhadap
perkembangan kognitif, terlihat dari semakin besar proporsi anak yang mengalami
gangguan perkembangan kogntitif seiring dengan usia gangguan pertumbuhan
linier anak. Anak dengan gangguan petumbuhan linier pada usia 3 tahun memiliki
risiko 3 kali lebih besar mengalami keterlambatan perkembangan kognitif (95%CI
= 1.334-6.747; nilai p = 0.009). Selain itu, pertambahan tinggi badan anak sejak
lahir sampai usia 3 tahun merupakan faktor risiko terjadinya keterlambatan
perkembangan kognitif anak dengan nilai OR= 2.567 (95%CI = 1.154-5.710; nilai
p = 0.022).
66

Tabel 18 Panjang Badan Anak Usia 3 Tahun

Perkembangan Kognitif OR
Karakteristik Nilai P
Terlambat Sesuai Umur (95% CI)
Jenis Kelamin
Laki-laki 58 (50.4) 14 (40.0) 1.526 0.374
Perempuan 57 (48.6) 21 (60.0) (0.708-3.292)
PB Lahir
Terganggu 29 (25.2) 10 (28.6) 0.843 0.694
Normal 86 (74.8) 25 (71.4) (0.362-.964)
PB Usia 6 bulan
Terganggu 39 (33.9) 7 (20.0) 2.053 0.108
Normal 76 (66.1) 28 (80.0) (0.823-5.119)
PB Usia 12 bulan
Terganggu 55 (47.8) 4 (40.0) 1.375 0.414
Normal 60 (52.2) 21 (60.0) (0.637-2.966)
PB Usia 3 tahun
Terganggu 92 (80.0) 20 (57.1) 3.000 0.009**
Normal 23 (20.0) 15 (42.9) (1.334-6.747)
Pertambahan TB 0-3 tahun
Kurang 89 (77.4) 20 (57.1) 2.567 0.022*
Sesuai WHO 26 (22.6) 15 (42.9) (1.154-5.710)
Pernah menderita TB Paru
Ya 13 (11.6) 1 (2.9) 4.333 0.093
Tidak 99 (88.4) 33 (97.1) (0.546-34.401)
Uji Chi Square *) nilai p < 0.05 **) nilai p < 0.01

Pertambahan tinggi badan


Anak yang mengalami gangguan pertumbuhan linier sejak lahir memiliki
rata-rata tinggi badan lebih rendah dibandingkan anak yang lahir dengan tinggi
badan normal dan standar tinggi badan WHO. Selisih rata-rata tinggi badan anak
dengan gangguan pertumbuhan linier sejak lahir semakin bertambah dengan
bertambahnya umur (selisih panjang badan lahir = 3.01 cm dan selisih tinggi badan
usia 3 tahun = 4.66 cm).
Walaupun pertambahan tinggi badan usia 12 bulan dan 3 tahun pada anak
dengan gangguan panjang badan lahir lebih besar bila dibandingkan anak dengan
panjang badan lahir normal (25.32 cm vs 23.12 cm dan 44.55 cm vs 43.02 cm),
namun pertambahan panjang badan tersebut tidak mampu menyamai tinggi badan
anak dengan panjang badan nomal saat lahir (Gambar 13).
67

96.00

86.00
TINGGI BADAN CM)

76.00

66.00

56.00

46.00
Lahir 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan 3 tahun
PLR 46.87 59.01 64.91 68.98 72.19 91.42
Normal 50.04 60.96 65.82 70.05 73.16 93.06
WHO 49.88 61.43 67.62 71.97 75.75 96.08

PLR : Panjang lahir rendah

Gambar 13 Tinggi Badan Menurut Umur pada Anak PLR dan Normal

Pada rentang usia 0 sampai 6 bulan rata rata pertambahan tinggi badan sebesar
2.7 cm per bulan, kemudian menurun pada rentang usia selanjutnya. Pada Gambar
13, terlihat bahwa anak dengan gangguan panjang lahir tetapi menjadi normal pada
usia 3 tahun, pertambahan tinggi badan terbesar terjadi pada usia 0-6 bulan yaitu
sebanyak 3.25 cm per bulan. Sedangkan pada anak dengan panjang lahir normal
tetapi mengalami gangguan panjang badan pada usia 3 tahun, memiliki
pertambahan tinggi badan paling rendah diantara kelompok lainnya, yaitu sebesar
2.54 cm perbulan. Pada rentang usia selanjutnya pertambahan tinggi badan
mengalami penurunan, yaitu 1.24 cm per bualn pada usia 6-2 bulan dan 0.85 cm
per bulan pada usia 2-36 bualn.

Status gizi mikro ibu hamil


Tabel 19 memperlihatkan hubungan status gizi mikro ibu hamil trimester 3
dengan perkembangan kognitif, hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar
hemoglobin trimester ketiga merupakan faktor risiko terjadinya keterlambatan
perkembangan kognitif dengan nilai OR = 2.744 (95% CI = 1.091-6.904; nilai p =
0.049).
68

Tabel 19 Status Gizi Mikro Ibu Hamil Trimester 3


Perkembangan Kognitif OR
Karakteristik Nilai P
Terlambat Sesuai Umur (95% CI)
Kadar Zn serum
Rendah (< 0,7 mg/L) 22 (81.5) 3 (60.0) 2.933 0.314
Normal (> 0,7 mg/L) 5 (18.5) 2 (40.0) (0.383-22.463)
Kadar Hemoglobin
Rendah (< 11 g/dL) 45 (52.3) 8 (28.6) 2.744 0.049*
Normal (> 11 g/dL) 41 (47.7) 20 (7.4) (1.091-6.904)
Kadar Retinol serum
Rendah (< 20 µg/dL) 42 (40.0) 16 (59.3) 0.458 0.073
Normal (> 20 µg/dL) 63 (60.0) 11 (40.7) (0.194-1.084)
Kadar Protein serum
Rendah (< 6,40 g/dL) 25 (24.3) 10 (28.6) 0.801 0.617
Normal (> 6,40 g/dL) 78 (75.7) 25 (71.4) (0.339-1.895)
Uji Chi Square *) nilai p < 0.05

Pola asuh psikososial anak usia 3 tahun


Lebih dari setengah ibu (59.3%) telah menerapkan pola asuh yang baik pada
anak balitanya. Hubungan pola asuh psikososial dengan perkembangan kognitif
anak usia 3 tahun menunjukkan bahwa 3 dari 8 sub-skala, yaitu stimulasi belajar,
stimulasi bahasa dan stimulasi akademik menunjukkan hubungan yang bermakna,
Stimulasi belajar adalah kemampuan orangtua dalam menyediakan alat bermain
dan belajar bagi anak, stimulasi bahasa adalah kemampuan orangtua mengajari
anak mengenal huruf, mengucapkan kata kata, dan memberi kesempatan anak
untuk berbicara, stimulasi akademik adalah kemampuan orangtua mengajari anak
tentang warna, dimensi, angka dan mengajari bernyanyi.
Pola asuh psikososial dalam keluarga secara keseluruhan berpengaruh
terhadap perkembangan kognitif anak usia 3 tahun dengan nilai OR = 3.541 (95%
CI = 1.432-8.758).
69

Tabel 20 Pola Asuh Psikososial Anak Usia 3 Tahun

Perkembangan Kognitif OR Nilai


Karakteristik
Terlambat Sesuai Umur (95% CI) P
Stimulasi belajar
Kurang 59 (51.3) 7 (20.0) 4.214 0.001**
Baik 56 (48.7) 28 (80.0) (1.704-10.421)
Stimulasi bahasa
Kurang 41 (35.7) 6 (17.1) 2.678 0.031*
Baik 74 (64.3) 29 (82.9) (1.027-6.982)
Stimulasi akademik
Kurang 41 (36.0) 3 (8.6) 5.991 0.001**
Baik 73 (64.0) 32 (91.4) (1.727-20.779)
Modelling
Kurang 7 (6.1) 2 (5.7) 1.079 1.000
Baik 107 (93.9) 33 (94.3) (0.214-5.540)
Kehangatan dan
penerimaan 11 (9.6) 2 (5.7) 1.762 0.451
Kurang 103 (90.4) 33 (94.3) (0.371-8.359)
Baik
Variasi pengasuhan 66 (57.4) 15 (42.9) 1.796 0.132
Kurang 49 (42.6) 20 (57.1) (0.836-3.858)
Baik
Hukuman dan Penerimaan 33 (28.9) 6 (17.1) 1.969 0.151
Kurang 81 (71.1) 29 (82.9) (0.748-5.183)
Baik
Lingkungan Fisik 36 (31.6) 9 (25.7) 1.333 0.504
Kurang 78 (68.4) 26 (74.3) (0.567-3.134)
Baik
Pola asuh total 54 (47.0) 7 (20.0) 3.541
Kurang 61 (53.0) 28 (80.0) (1.432-8.758) 0.003**
Baik
Uji Chi Square *) nilai p < 0.05 **) nilai p < 0.01

Perbandingan skor pola asuh psikososial sub-skala stimulasi belajar, stimulasi


bahasa dan stimulasi akademik antara kelompok anak dengan perkembangan
kognitif terlambat dan perkembangan kognitif sesuai umur menunjukkan bahwa
anak dengan perkembangan terlambat tidak memiliki alat-alat permainan yang
dapat merangsang perkembangan kognitifnya, ibu tidak mengajari anak untuk
mengenal huruf, angka, melatih bicara dan menyanyi serta jarang memberikan
kesempatan anak untuk berbicara (Tabel 21).
70

Tabel 21 Pola asuh psikososial anak usia 3 tahun

Perkembangan Kognitif
Pola asuh psikososial Terlambat Sesuai Umur
(%) (%)
STIMULASI BELAJAR
1. Anak punya mainan untuk belajar tentang warna, 40.0 27.2
bentuk dan ukuran
2. Anak punya 3 mainan yang memiliki peraturan dalam 25.7 14.0
permainannya
3. Anak punya tape recorder dan kaset/VCD 77.1 63.2
4. Anak punya mainan bebas berekspresi (spidol, crayon, 85.7 70.2
cat air)
5. Anak punya mainan untuk melatih gerakan tangan 45.7 24.6
yang halus
6. Anak punya mainan untuk belajar angka 54.3 39.5
7. Anak punya buku sendiri paling sedikit 10 buah 2.9 10.5
8. Keluarga punya buku paling sedikit 10 buah 5.7 7.1
9. Keluarga membeli/membaca koran setiap hari 5.7 1.8
10. Keluarga berlangganan paling sedikit 1 majalah 0.0 2.7
11. Anak diajari tentang bentuk-bentuk 60.0 30.1
STIMULASI BAHASA
1. Anak punya mainan untuk belajar mengenal nama- 60.0 64.9
nama binatang
2. Anak diajari huruf-huruf 80.0 67.0
3. Anak diajari untuk mengucapkan salam, terima kasih, 85.7 66.4
dll
4. Ibu berbicara dengan tata bahasa yang benar 82.9 72.6
5. Anak diberi kesempatan berbicara, ibu mendengarkan 94.3 87.6
6. Kata-kata ibu selalu menyenangkan anak 71.4 49.6
7. Anak diberi kesempatan memilih sendiri makanan 94.3 94.7
yang diinginkan
STIMULASI AKADEMIK
1. Anak diajari tentang warna 91.4 75.0
2. Anak diajari menyanyi 94.3 89.3
3. Anak diajari pengertian ruang/dimensi (besar-kecil, 65.7 37.2
luar-dalam, dll)
4. Anak diajari tentang angka 94.3 85.0
5. Anak diajari membaca kata-kata sederhana 40.0 32.4

Faktor risiko perkembangan anak usia 3 tahun


Hasil analisis multivariat (Tabel 22) menunjukkan bahwa anak usia 3 tahun
memiliki risiko mengalami keterlambatan perkembangan kognitif bila tidak
mendapatkan pola asuh yang baik di rumah (OR= 10.508). Faktor lain yang dapat
meningkatkan risiko keterlambatan perkembangan kognitif adalah ibu hamil
menderita anemia pada trimester ketiga dan pertambahan tinggi badan anak sejak
lahir sampai usia 3 tahun di bawah standar WHO (OR = 5.059 dan 3.447). Dari
persamaan di atas didapatkan nilai R2 sebesar 0.376, menunjukkan bahwa 37.6%
71

perkembangan anak usia 3 tahun ditentukan dari pola asuh, kadar hemoglobin ibu
hamil trimester ketiga, pertambahan tinggi badan sampai usia 3 tahun dan pernah
menderita Tuberkulosis paru.
Hasil penelitian ini menunjukkan pertambahan tinggi badan, status anemi
ibu hamil dan status pola asuh merupakan tiga faktor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif anak pada usia 3 tahun.
Pertambahan tinggi badan anak sejak lahir sampai usia 3 tahun berhubungan
dengan perkembangan kognitif. Hal ini sejalan dengan penelitian Khomsan et al.
(2013) menunjukkan anak pendek sekali memiliki skor kognitif rendah dan
meningkat seiring peningkatan tinggi badan. Penelitian Crookston et al. (2013),
anak dengan tinggi badan lahir pendek dan tetap pendek pada usia 8 tahun memiliki
kemampuan kognitif lebih rendah dibandingkan anak lahir pendek tetapi menjadi
normal pada usia 8 tahun. Gangguan pertumbuhan sejak dalam kandungan dan terus
berlanjut sampai usia 3 tahun, mengakibatkan keterlambatan perkembangan
kognitif melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) Terhambatnya proliferasi neuron
sehingga jumlah sel otak sedikit; (2) Penurunan dendritic dan kompleksitas
percabangan dendrit yang menghubungkan neuron dengan sel; (3) Jumlah sinaps
(penghubung antar neuron) menjadi lebih sedikit dan mengalami perubahan
struktur. Pada hewan oleh Prado dan Dewey (2014), menunjukkan bahwa gangguan
pertumbuhan mengakibatkan penurunan pembentukan myelin dan meningkatkan
apoptosis (kematian sel) akibat penurunan kadar IGF-1 dan IGF-1 binding protein.

Tabel 22 Faktor risiko perkembangan anak usia 3 tahun

Faktor Risiko OR (95% CI) Nilai P


Pertambahan TB di bawah standar WHO 3.447 (1.158-10.258)* 0.026
Pernah menderita Tuberkulosis Paru 8.388 (0.771-5.799) 0,081
Kadar Hb ibu hamil TM III rendah 5.059 (1.663-15.387)* 0.004
Pola Asuh kurang 10.508 (2.693-41.008)** 0.001
TM: Trimester Uji Regresi Logistik *) p value < 0.05 **) p value < 0.01

Anemia yang terjadi sepanjang periode kehamilan berhubungan dengan


rendahnya skor kecerdasan, kemampuan bahasa dan motorik pada anak usia 5
tahun. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan transport oksigen pada plasenta dan
fetus, meningkatnya risiko terkena infeksi serta terganggunya fungsi
neurotransmitter dan pembentukan impuls saraf janin pada ibu penderita anemia
defisiensi besi (Brown 2005).
Menurut Prado dan Dewey (2014), kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat
mempengaruhi perkembangan otak dan perkembangan kognitif bayi yang
dikandung karena zat besi diperlukan oleh enzim ribonukleotida reduktse yang
mengatur pembelahan sel pada sistem saraf pusat, sehingga dapat menurunkan
ukuran hippocampus sebagai struktur yang berperan pada proses pembelajaran dan
memori. Penelitian pada tikus, menunjukkan terjadinya pemotongan cabang
dendritic pada hippocampus dan menyebabkan penurunan kematangan sinaps yang
menghubungkan axons, dendrit dan sel tubuh serta menurunkan metabolism
dopamine dan noreephinephrine. Selain itu, kekurangan zat besi dapat menurunkan
72

sintesa myelin dan mengubah komposisi myelin: lapisan lemak yang melindungi
akson dan membantu mempercpat pengiriman impuls saraf dari satu sel ke sel yang
lain.
Pola asuh psikososial merupakan determinan faktor perkembangan kognitif,
penelitian pada anak usia 17-42 bulan di Brazil (Andrade et al. 2005), menunjukkan
adanya korelasi positif antara skor HOME inventory dangan perkembangan
kognitif. Di Indonesia, penelitian Khomsan et al. (2013) membuktikan bahwa
perkembangan kognitif rendah ditemukan pada anak balita dengan pola asuh
psikososial yang rendah. Penelitian pada anak-anak pengungsi di Amerika Tengah
(Laude 1999), membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
interaksi ibu dan anak terhadap perkembangan kognitif anak usia di bawah 3 tahun,
namun cara ibu merespon anak secara emosional dan penataan lingkungan fisik
dirumah merupakan faktor penting dalam perkembangan kognitif anak.
Lingkungan dan pengalaman memberikan kontribusi pada perkembangan anak, hal
ini dibuktikan pada penelitian hewan yang tinggal di kandang lebih besar dengan
alat alat yang dapat merangsang penglihatan dan gerakan, memiliki berat otak lebih
besar, ketebalan korteks, dan jumlah sinaps (Prado dan Dewey 2014).

Simpulan dan Saran


Analisis faktor risiko perkembangan kognitif anak usia 3 tahun menunjukkan
bahwa 37.6% perkembangan kognitif anak usia 3 tahun ditentukan dari
pertambahan tinggi badan anak usia 0-3 tahun, status anemi ibu hamil trimester tiga,
anak pernah menderita Tuberkulosis (TB) paru dan pola asuh psikososial, dengan
faktor risiko utama adalah pola asuh psikososial (OR = 10.51; 95% CI= 2.693-
41.008), status gizi ibu hamil trimester tiga (OR = 5.06; 95% CI= 1.663-15.387)
dan pertambahan tinggi badan anak usia 0-3 tahun (OR = 3.45; 95% CI= 1.158-
10.258).
Perlunya pencegahan anemi pada ibu hamil dengan pemberian tablet tambah
darah, peningkatan status gizi anak terutama tinggi badan menurut umur dan pola
asuh psikososial yang baik dalam keluarga dengan memberikan pelatihan pada ibu
terintegrasi dengan program pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk mencegah
keterlambatan perkembangan kognitif anak usia 3 tahun.
7 PEMBAHASAN UMUM

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses berkesinambungan yang


terjadi pada empat fase kehidupan yang saling terkait satu dengan lainnya, bila pada
satu fase terjadi gangguan pertumbuhan maka akan berdampak pada pertumbuhan
selanjutnya bila tidak diimbangi oleh kemampuan untuk mengejar pertumbuhan
(catch up growth). Pembahasan umum dibagi menjadi tiga bagian sesuai tujuan
khusus dari penelitian ini, yaitu: (1) faktor risiko gangguan panjang badan bayi
lahir; (2) pertumbuhan anak usia 3 tahun; dan (3) perkembangan kognitif anak usia
3 tahun.

Faktor Risiko Gangguan Panjang Badan Bayi Lahir

Penelitian membuktikan kadar retinol serum trimester kedua dan IMT awal
kehamilan merupakan faktor risiko pertumbuhan linier bayi, dengan OR = 11.12
(95% CI= 2.034-60.840; nilai p = 0.000) untuk retinol serum dan OR = 4.60 (95%
CI= 1.586-49.268; nilai p= 0.013) untuk IMT. Hasil uji regresi logistic berganda
didapatkan nilai R2 sebesar 0.413 (p value = 0.00), menunjukkan bahwa 41.3%
panjang badan bayi lahir ditentukan dari status gizi ibu hamil, meliputi: IMT awal
kehamilan, pertambahan BB kehamilan, kadar protein darah, kadar retinol serum,
seng serum dan hemoglobin.
Pertumbuhan janin dalam rahim terjadi dalam tiga fase, yaitu (1) fase
konsepsi sampai minggu ke 16 kehamilan ditandai dengan peningkatan jumlah sel
(hyperplasia), (2) fase kedua adalah gabungan antara hyperplasia dan hypertrophy,
yaitu penambahan jumlah maupun ukuran sel, terjadi sampai minggu ke 32
kehamilan, (3) fase ketiga, janin hanya mengalami penambahan ukuran sel berupa
peningkatan massa otot dan lemak. Adanya perbedaan pola pertumbuhan pada 3
fase tersebut, mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang terjadi pada tiap periode
memiliki dampak yang berbeda terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya (Robinson 2011).
IMT awal kehamilan mencerminkan status gizi ibu saat mengawali
kehamilan, status gizi ibu sebelum dan awal kehamilan dapat mempengaruhi
ukuran dan fungsi plasenta sehingga berakibat pada tumbuh kembang janin melalui
pertumbuhan plasenta pada awal kehamilan dan pasokan gizi di akhir kehamilan.
Berat badan sebelum hamil merupakaan faktor determinan terhadap berat plasenta
dan berhubungan positif dengan luas permukaan kapiler janin (Bloomfield et al.
2013, Robinson et al. 1997). Plasenta merupakan organ dengan berat antara 0.4-0.7
kg terdiri dari jaringan vili yang menghubungkan darah ibu dan janin. Hampir
semua zat gizi berasal dari ibu akan dikirim kepada janin dalam kandungan melalui
membran syncytio-endothelial plasenta. Transport zat gizi dan produk metabolik,
plasenta berperan sebagai organ endokrin yang melepaskan sejumlah hormon dan
faktor pertumbuhan pada sistem sirkulasi ibu. Sebagian besar pertumbuhan
plasenta terjadi pada akhir trimester kedua kehamilan. Berat plasenta merupakan
74

prediktor kuat untuk ukuran bayi saat lahir, karena menentukan kapasitas plasenta
dalam mentransfer zat gizi dan oksigen yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan
janin (Roland et al. 2014).
Hasil penelitian ini membuktikan IMT awal kehamilan merupakan faktor
risiko gangguan panjang lahir bayi, dengan OR = 4.60. Saat ini sedikit penelitian
yang menganalisis secara langsung IMT awal kehamilan dengan panjang badan
bayi yang dilahirkan, beberapa penelitiaan memperlihatkan hubungan positif antara
IMT awal kehamilan dengan berat badan bayi lahir maupun berat plasenta
(Fikawati et al. 2012, Gernand et al. 2012 dan Roland et al. 2014). Yazdanpanaahi
et al. (2008) membuktikan bahwa berat dan panjang badan, lingkar dada dan lingkar
kepala serta lingkar lengan atas bayi lahir memiliki hubungan yang bermakna
dengan IMT sebelum hamil. Penelitian Subramanian et al. (2010) membuktikan
bahwa IMT ibu berhubungan terbalik dengan prevalensi gizi kurang, stunting dan
wasting pada anak balita. Hasil dari 5 penelitian tersebut menunjukkn bahwa IMT
pada awal kehamilan memiliki hubungan positif dengan status gizi bayi yang
dilahirkan dilihat dari beberapa ukuran antropometri.
Selain IMT awal kehamilan, kadar retinol serum trimester kedua merupakan
faktor risiko panjang lahir dengan OR = 11.12. Secara epidemiologi, terdapat
hubungan antara kadar serum vitamin A dan stunting pada anak batita, 16% dan
42% anak batita stunting memiliki kadar serum vitamin A marginal dan di bawah
normal (Kurugol et al. 2000). Rondo et al. (2001) membuktikan bahwa kekurangan
vitamin A berdampak pada pertumbuhan, dan perkembangan, hal ini terlihat dari
rendahnya kadar vitamin A darah ibu hamil memiliki hubungan bermakna dengan
berat dan panjang lahir serta lingkar dada. Wang et al. (2008) membuktikan adanya
korelasi positif antara kadar serum vitamin A ibu hamil dengan panjang badan bayi,
selain itu vitamin A rasio antara bayi dengan ibu hamil memiliki efek
menguntungkan terhadap panjang badan bayi, hal ini menunjukkan bahwa
tingginya efisiensi transfer vitamin A dari ibu kepada bayi melalui plasenta
berpengaruh terhadap panjang lahir.
Peran vitamin A pada pertumbuhan linier janin pada manusia dan hewan
hingga saat ini masih sulit dibuktikan, beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan tersebut. Luca et al. (2000), menunjukkan bahwa peran vitamin A dan
asam retinoat pada pertumbuhan manusia secara langsung pada lempeng
pertumbuhan dan secara tidak langsung membantu sekresi hormon pertumbuhan
(growth hormone) dan hormon tiroid. Sel embrio mendapatkan retinoid dari ibu
dalam bentuk retinol di dalam sel diubah menjadi retinoid acid (RA) yang
merupakan bentuk aktif untuk signaling. Penelitian Kaiser et al. (2003) dan See et
al. (2008) mengungkapkan fungsi vitamin A dalam pengembangan kerangka aksial
dan apendikularis pada tikus. Tikus yang mengalami kekurangan vitamin A pada
awal kehamilan, gangguan pertumbuhn janin terjadi pada kerangka aksial, namun
bila kekurangan vitamin A terus berlanjut sampai akhur kehamilan, menyebabkan
terjadinya transformasi homeotik anterior memanjang dari leher, toraks, lumbar,
dan vertebra sakral.
Vitamin A adalah zat gizi yang diperlukan dalam jumlah sedikit, namun
memiliki peran penting dalam fungsi penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan,
melindungi jaringan epitel dan fungsi kekebalan tubuh. Pada masa kehamilan,
75

vitamin A diperlukan dalam proses pembelahan sel, pertumbuhan organ dan tulang
rangka, pemeliharaan sistem kekebalan tubuh, dan perkembangn fungsi penglihatan
janin. Cadangan vitamin A yang cukup pada awal kehamilan dapat memenuhi
kebutuhan vitamin A yang tinggi saat janin tumbuh dengan pesat pada trimester 3
kehamilan (WHO 2004, WHO 2011). Beberapa penelitian, menunjukkan adanya
penurunan kadar retinol serum sebesar 9-4% pada ibu hamil trimester pertama
sampai trimester ketiga, sehingga terjadi peningkatan prevalensi kekurangan
vitamin A dari 5% pada trimester pertama menjadi 30% pada trimester ketiga. Hal
ini disebabkan adanya hemodilution, yaitu peningkatan volume darah yang tidak
diimbangi peningkatan sel darah merah dan rendahnya asupan vitamin A (Dibley
and Jeacocke 2001). Dalam penelitian ini, prevalensi kekurangan vitamin A (kadar
retinol serum < 20 µg/dl) pada ibu hamil trimester kedua sebesar 22,3% meningkat
menjadi 44,3% pada trimester ketiga.
Meskipun janin membutuhkan vitamin A untuk pertumbuhan dan
perkembangan, namun, kebutuhan vitamin A pada ibu hamil hanya mengalami
sedikit peningkatan dibandingkan wanita tidak hamil, menurut IOM (2001)
kebutuhan vitamin A sebesar 770 µg/hari atau 800 µg/hari menurut FAO /WHO
(2004). Hal ini untuk menghindari risiko gangguan akibat dosis vitamin A berlebih
pada awal kehamilan yang dapat menimbulkan keracunan pada janin. Pada situasi
ini, biasanya plasenta dapat beradaptasi dengan baik dan hanya mentransfer jumlah
vitamin A sesuai dengan kebutuhan janin. Efek berbahaya dari vitamin A akan
timbul bila tingginya kadar vitamin A darah disertai dengan asupan vitamin A
makanan yang tinggi (WHO 2004, WHO 2011). Asupan vitamin A melebihi batas
tertinggi atau tolerable upper intake level (UL) sebesar 3000 µg (10000 IU) per
hari atau 7500 µg (25000 IU) per minggu dapat mengakibatkan toksisitas pada
ibu dengan gejala pusing, sakit kepala, mual, muntah, pengelupasan kulit, berat
badan menurun dan kelelahan serta dapat mengakibatkan cacat pada janin (IOM
2001, WHO 2011).
Komposisi tubuh ibu, status gizi, dan asupan makanan akan menentukan
ketersediaan zat gizi yang diperlukan janin, plasenta bertanggung jawab untuk
pasokan nutrisi janin. Status gizi ibu sebelum, awal dan selama kehamilan dapat
mempengaruhi ukuran dan fungsi plasenta sehingga berakibat pada tumbuh
kembang janin melalui pertumbuhan plasenta pada awal kehamilan dan pasokan
gizi di akhir kehamilan.
Analisis bivariat menunjukkan bahwa kadar seng serum pada trimester kedua
kehamilan merupakan faktor risiko dari gangguan pertumbuhan linier bayi, namun
hasil uji multivariat, memperlihatkan bahwa kadar retinol serum pada trimester
kedua kehamilan lebih berperan pada pertumbuhan linier bayi. Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya, bahwa sampai saat ini, hubungan vitamin A dengan
pertumbuhan linier masih sulit dibuktikan. Meta analisis Lyman dan Fawzi (2012)
menunjukkan vitamin A memiliki efek pada pertumbuhan namun sedikit bukti yang
menunjukkan pengaruh langsung vitamin A saat hamil dengan pertumbuhan bayi,
hal ini disebabkan karena kekurangan vitamin A umumnya terkait dengan
kekurangan zat gizi mikro lainnya seperti zat besi dan seng. Fahmida et al. (2007)
mendapatkan adanya kenaikan nilai z-skor TB/U lebih tinggi pada bayi stunting
yang mendapatkan suplementasi seng + zat besi serta suplementasi seng + zat besi
+ vit.A selama 4 bulan dibandingkan bayi stunting yang hanya mendapatkan
76

suplementasi seng saja. Hasil serupa didapatkan oleh Souganidis (2012), beberapa
penelitian potong lintang menunjukkan adanya keterkaitan antara kekurangan
vitamin A dan stunting, namun pemberian suplemen vitamin A tidak menunjukkan
hasil yang bermakna terhadap pertumbuhan, hal ini mungkin disebabkan karena
vitamin A merupakan bagian dari kelompok zat gizi yang diperlukan dalam proses
pertumbuhan.
Pada proses metabolisme, seng berperan dalam metabolisme vitamin A
demikian juga sebaliknya. Seng merupakan salah satu zat pembentuk retinol
binding protein (RBP) maupun cell retinol binding protein (cRBP) yang berperan
dalam transport vitamin A, sehingga kekurangan seng dapat berpengaruh
penyerapan vitamin A dan mobilisasi vitamin A dari hati maupun di dalam sel.
Sebaliknya kekurangan vitamin A dapat menurunkan penyerapan dan transport
seng dalam saluran limfe melalui penurunan sintesis zinc dependent binding protein
(Christian dan West 1998).

Pertumbuhan Linier Anak Usia 0-3 Tahun

Pertumbuhan merupakan proses berkesinambungan yang terjadi pada empat


fase kehidupan yaitu: janin, bayi, anak-anak dan pubertas, masing-masing fase ini
diatur oleh mekanisme pengaturan yang berbeda dan dipengaruhi oleh faktor
endogen yang terdiri dari biologi, genetik dan etnis penentu dan oleh faktor eksogen
seperti gizi, budaya, lingkungan dan kondisi sosial. Empat fase pertumbuhan
tersebut saling terkait satu dengan lainnya, bila pada satu fase terjadi gangguan
pertumbuhan maka akan berdampak pada pertumbuhan selanjutnya bila tidak
diimbangi oleh kemampuan mengejar pertumbuhan (Victoria et al. 2008). Menurut
Barker et al. (1997) bayi dengan gangguan pertumbuhan tinggi dan berat badan
secara proporsional akan tetap lebih pendek dan lebih ringan dibandingkan bayi
normal, hal ini disebabkan adanya kekurangan gizi pada awal kehidupan dalam
rahim. Pada penelitian ini, gangguan pertumbuhan janin terlihat dari ukuran berat
maupun panjang badan bayi yang dilahirkan, hal ini terlihat dari 88.9% bayi dengan
berat lahir rendah (BBLR) juga memiliki gangguan panjang lahir. Sesuai penelitian
Najahah (2014) didapatkan bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki risiko
13.2 kali memiliki panjang badan lahir pendek dibandingkan bayi dengan berat
badan lahir normal. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik seseorang
menjadi lebih besar baik secara berat maupun tinggi badan. Gangguan pertumbuhan
pada janin mengakibatkan kegagalan pertumbuhan baik secara berat maupun tinggi
badan, akibatnya bayi terlahir dengan berat badan lahir rendah dan panjang badan
di bawah normal (Kusharisupeni 2002).
Sesuai dengan teori Barker, dalam penelitian ini, pertumbuhan linier bayi saat
lahir sampai usia 1 tahun berpengaruh terhadap gangguan panjang badan bayi usia
3 tahun. Bayi dengan gangguan pertumbuhan linier pada usia 6 bulan memiliki
risiko 22.3 kali lebih besar mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 1
tahun. Sementara itu pertumbuhan linier anak usia 3 tahun, secara signifikan
dipengaruhi oleh gangguan panjang badan usia 1 tahun dengan nilai OR sebesar
8.800.
77

Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata Z-skor tinggi badan menurut umur
pada bayi baru lahir terus mengalami penurunan sampai usia 3 tahun, penurunan
cukup besar terjadi pada rentang waktu bulan ketiga dan keenam. Pola pertumbuhan
linier pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Prendergast dan
Humphrey 2014, Solomons et al. 2014) yang menyatakan bahwa stunting telah
dimulai sejak janin dalam rahim dan berlanjut sampai dengan usia 2 tahun. Hal ini
terlihat dari rata-rata Z skor TB/U pada bayi yang baru lahir di negara-negara
berkembang adalah -0.5 SD dan terus menurun setelah kelahiran untuk mencapai
titik terendah sekitar -2.0 SD pada usia 18-24 bulan. Hasil serupa diperoleh pada
penelitian kohor di 5 negara, yaitu Brasil. Guatemala. India. Filipina. India dan
Afrika Selatan. rata-rata Z skor TB/U bayi lahir berkisar antara -0.22 di Filipina
sampai -1.47 di Guatemala. Dan pada usia 2 tahun. terjadi penurunan rata-rata nilai
Z skor TB/U dengan kisaran antara -0.61 di Brasil sampai -3.28 di Guatemala (Stein
et al. 2010)
Morbiditas penyakit infeksi yang tinggi akan mengakibatkan penurunan
status gizi anak usia 3 tahun, hal ini terkait dengan masalah gizi mikro terutama
rendahnya kadar hemoglobin, retinol dan seng serum. Penelitian Schmidt et al.
(2001) membuktikan bahwa serum retinol pada anak yang menderita infeksi saluran
pernafasan atas lebih rendah dibandingkan anak yang sehat. Hasil serupa
didapatkan Mikhail et al. (2013), kandungan zat besi, vitamin A dan seng serum
secara signifikan lebih rendah pada anak stunted dibandingkan anak normal. Hal
ini menunjukkan bahwa vitamin A, seng dan zat besi memegang peranan penting
pada pertumbuhan linier. Seng dan vitamin A berperan dalam sistim kekebalan
tubuh sehingga berpengaruh terhadap angka kesakitan dan gangguan pertumbuhan.
Seng juga berperan pada beberapa proses pertumbuhan melalui pembentukan dan
sekresi hormon pertumbuhan (Growth Hormone) serta aktivasi insulin like growth
factors (IGF) serta pembentukan tulang (Mikhail et al. 2013, Chasapis et al. 2012).

Perkembangan Kognitif Anak Usia 3 Tahun

Hasil penelitian ini menunjukkan pertambahan tinggi badan, status anemi ibu
hamil dan status pola asuh merupakan tiga faktor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif anak pada usia 3 tahun.
Pertambahan tinggi badan anak sejak lahir sampai usia 3 tahun berhubungan
dengan perkembangan kognitif. Hal ini sejalan dengan penelitian Khomsan et al.
(2013) menunjukkan anak pendek sekali memiliki skor kognitif rendah dan
meningkat seiring peningkatan tinggi badan. Penelitian Crookston (2013), anak
dengan tinggi badan lahir pendek dan tetap pendek pada usia 8 tahun memiliki
kemampuan kognitif lebih rendah dibandingkan anak lahir pendek tetapi menjadi
normal pada usia 8 tahun. Gangguan pertumbuhan sejak dalam kandungan dan terus
berlanjut sampai usia 3 tahun, mengakibatkan keterlambatan perkembangan
kognitif melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) Terhambatnya proliferasi neuron
sehingga jumlah sel otak sedikit; (2) Penurunan dendritic dan kompleksitas
percabangan dendrit yang menghubungkan neuron dengan sel; (3) Jumlah sinaps
(penghubung antar neuron) menjadi lebih sedikit dan mengalami perubahan
struktur. Pada hewan, gangguan pertumbuhan mengakibatkan penurunan
78

pembentukan myelin dan meningkatkan apoptosis (kematian sel) akibat penurunan


kadar IGF-1 dan IGF-1 binding protein.
Menurut Prado dan Dewey (2014), kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat
mempengaruhi perkembangan otak dan perkembangan kognitif bayi yang
dikandung karena zat besi diperlukan oleh enzim ribonukleotida reduktse yang
mengatur pembelahan sel pada sistem saraf pusat, sehingga dapat menurunkan
ukuran hippocampus sebagai struktur yang berperan pada proses pembelajaran dan
memori. Penelitian pada tikus, menunjukkan terjadinya pemotongan cabang
dendritic pada hippocampus dan menyebabkan penurunan kematangan sinaps yang
menghubungkan axons, dendrit dan sel tubuh serta menurunkan metabolism
dopamine dan noreephinephrine. Selain itu, kekurangan zat besi dapat menurunkan
sintesa myelin dan mengubah komposisi myelin: lapisan lemak yang melindungi
akson dan membantu mempercpat pengiriman impuls saraf dari satu sel ke sel yang
lain. Pemberian zat besi pada tikus tidak memberikan efek perbaikan pada fungsi
kognitif, hal ini menunjukkan bahwa zat besi untuk sel-sel otak berlangsung selama
fase awal perkembangan otak dan kekurangan zat besi pada periode ini
menyebabkan kerusakan sel-sel otak yang tidak dapat diperbaiki.
Pola asuh psikososial merupakan determinan faktor perkembangan kognitif,
karena dapat memberikan gambaran interaksi, respon dan emosional
ibu pada anak, ada tidaknya atau pemberian pujian atau hadiah atas perilaku anak
yang baik dan pembatasan perilaku atau hukuman pada perbuatan salah yang
dilakukan anak, penyediaan lingkungan fisik dan materi bermain maupun belajar
serta keterlibatan ibu dalam memberikan pengasuhan yang menunjang anak untuk
belajar (Caldwell dan Bradley 2003). Hubungan pola asuh psikososial dengan
perkembangan kognitif anak usia 3 tahun menunjukkan bahwa 3 dari 8 sub-skala,
yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa dan stimulasi akademik menunjukkan
hubungan yang bermakna dengan perkembangan kognitif anak. Stimulasi belajar
yang dilakukan orangtua adalah dengan menyediakan alat bermain maupun belajar
bagi anak, stimulasi bahasa adalah kemampuan orangtua mengajari anak mengenal
huruf, mengucapkan kata kata, dan memberi kesempatan anak untuk berbicara,
sedangkan dalam stimulasi akademik, orangtua mengajari anak tentang perbedaan
warna, dimensi, dan angka serta mengajari anak bernyanyi.
Pola asuh psikososial merupakan determinan faktor perkembangan kognitif,
karena dapat memberikan gambaran interaksi, respon dan emosional
ibu pada anak, ada tidaknya atau pemberian pujian atau hadiah atas perilaku anak
yang baik dan pembatasan perilaku atau hukuman pada perbuatan salah yang
dilakukan anak, penyediaan lingkungan fisik dan materi bermain maupun belajar
serta keterlibatan ibu dalam memberikan pengasuhan yang menunjang anak untuk
belajar (Caldwell dan Bradley 2003). Hubungan pola asuh psikososial dengan
perkembangan kognitif anak usia 3 tahun menunjukkan bahwa 3 dari 8 sub-skala,
yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa dan stimulasi akademik menunjukkan
hubungan yang bermakna dengan perkembangan kognitif anak. Stimulasi belajar
yang dilakukan orangtua adalah dengan menyediakan alat bermain maupun belajar
bagi anak, stimulasi bahasa adalah kemampuan orangtua mengajari anak mengenal
huruf, mengucapkan kata kata, dan memberi kesempatan anak untuk berbicara,
sedangkan dalam stimulasi akademik, orangtua mengajari anak tentang perbedaan
warna, dimensi, dan angka serta mengajari anak bernyanyi.
79

Penelitian pada anak usia 17-42 bulan di Brazil (Andrade et al 2005), menunjukkan
adanya korelasi positif antara skor HOME inventory dangan perkembangan
kognitif. Penelitian pada anak-anak pengungsi di Amerika Tengah (Laude 1999),
membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara interaksi ibu dan
anak terhadap perkembangan kognitif anak usia di bawah 3 tahun, namun cara ibu
merespon anak secara emosional dan penataan lingkungan fisik dirumah
merupakan faktor penting dalam perkembangan kognitif anak. Di Indonesia,
penelitian Khomsan et al. (2013) membuktikan bahwa perkembangan kognitif
rendah ditemukan pada anak balita dengan pola asuh psikososial yang rendah.
Lingkungan dan pengalaman memberikan kontribusi pada perkembangan anak, hal
ini dibuktikan pada penelitian hewan yang tinggal di kandang lebih besar dengan
alat alat yang dapat merangsang penglihatan dan gerakan, memiliki berat otak lebih
besar, ketebalan korteks, dan jumlah sinaps (Prado dan Dewey 2014).

Generalisasi Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digeneralisasi pada populasi yang lebih besar atau
pada wilayah lain terutama wilayah yang memiliki masalah gizi yang cukup tinggi
pada ibu hamil maupun wanita usia subur, hal ini berdasarkan pertimbangan
sebagai berikut: (1) lokasi penelitian merupakan daerah pedesaan dan semi
perkotaan dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, (2) tingginya
masalah gizi pada ibu hamil pada sampel penelitian ini. Selain karakteristik
wilayah, penelitian ini dapat digeneralisasikan pada bayi yang dilahirkan cukup
bulan, tidak terlahir sebagai bayi kembar, serta dilahirkan dari ibu hamil yng tidak
menderita penyakit diabetes mellitus, hipertensi atau penyakit kronis lainnya serta
tidak memiliki kebiasaan merokok atau minum minuman beralkohol.

Keterbatasan penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini antara lain: (1) sifat penelitian longitudinal
memiliki kelemahan pada kemungkinan sampel drop out atau tidak terlacak (lost to
follow up), hl ini berkibt pada penurunan jumlah sampel dan dapat mempengaruhi
kebermaknaan dan kekuatan hasil analisis data. Jumlah sampel pada tahap pertama
sebesar 323 ibu hamil, kemudian pada tahap kedua berkurang menjadi 262 bayi yng
dilahirkn dari ibu hamil tahap pertema dan tahap 3 jumlah sampel menjadi 190
anak. Pada analisis data jumlah sampel sebanyak 150 anak yang memiliki data
status gizi lengkap; (2) tidak dikumpulkannya data kondisi lingkungan seperti
kebersihan rumah, penggunaan air bersih dan kebiasaan merokok yang dapat
menjadi penyebab tingginya angka kesakitan (3) penggunaan metode pengumpulan
data konsumsi dan pola makan yang tidak beragam pada sampel mengakibatkan
sulitnya menganalisis data konsumsi pangan.

Implikasi Hasil Penelitian

Kehamilan, bayi, dan masa anak-anak awal merupakan periode pertumbuhan


dan perkembangan yang sangat cepat. Gizi yang tidak terpenuhi pada periode ini
80

akan mengakibatkan gangguan petumbuhan dan perkembangan serta masalah


kesehatan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan masih tingginya masalah gizi ibu
hamil dan hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang
dilahirkannya. Program perbaikan gizi pada periode ini perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya masalah tersebut. Namun di Indonesia, pengukuran status gizi
awal kehamilan masih sulit dilakukan, karena umunya ibu hamil datang
memeriksakan kehamilan pada awal trimester kedua. Untuk mengatasi masalah
tersebut perlu dilakukan: (1) penapisan masalah gizi pada remaja putri bekerjasama
dengan lembaga pendidikan, sehingga dapat dilakukan intervensi dini, (2)
pendidikan gizi pada pasangan calon pengantin bekerjasama dengan kementerian
agama (3) upaya perbaikan gizi ibu hamil dengan pemberian tablet tambah darah
maupun biskuit mutigizi dengan pemantauan secara ketat (4) pemeriksaan bayi baru
lahir tidak hanya pengukuran tinggi dan berat badan tetapi dilengkapi dengan
pengukuran lingkar kepala untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pertumbuhan
janin yang bersifat simetris, (5) pemantauan status gizi balita pada kegiatan
posyandu dilengkapi dengan pengukuran tinggi badan minimal 3 bulan sekali untuk
melihat pertumbuhan linier anak, (6) pendidikan gizi pada orangtua tentang pola
asuh yang baik untuk meningkatkan perkembangan kognitif anak berintegrasi
dengan program pendidikan anak usia dini (PAUD) dimulai sejak anak berusia
tahun.
Implikasi penelitian ini dalam pengembangan penelitian selanjutnya adalah
perlunya penelitian intervensi pada tiap tahap pertumbuhan dan perkembangan.
Pada ibu hamil intervensi yang diberikan berupa pemberian biskuit mutigizi dan
pendidikan gizi tentang pentingnya perawatan dan gizi seimbang selama
kehamilan. Sementara intervensi pada bayi usia lebih dari 6 bulan sampai anak
berusia 2 tahun dengan pemberian biskuit untuk anak balita dan pemberian
pendidikan tentang pola asuh yang baik meliputi pola asuh pemberian makan,
perawatan kesehatan maupun pola asuh psikososial, sehingga dapat meningkatkan
status gizi dan perkembangan kognitif anak.
8 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Defisiensi vitamin A pada trimester kedua kehamilan dan rendahnya Indeks


Massa Tubuh awal kehamilan adalah faktor risiko panjang bayi lahir rendah.
2. Anak dengan gangguan panjang lahir sulit untuk memiliki panjang badan
normal pada usia 3 tahun, sebaliknya anak dengan panjang lahir normal
memiliki peluang besar mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 3
tahun. Faktor risiko gangguan pertumbuhan linier anak usia 3 tahun adalah
adanya gangguan pertumbuhan linier pada usia 1 tahun, morbiditas pada satu
bulan terakhir, dan kekurangan zat gizi mikro terutama seng dan vitamin A.
3. Pertambahan tinggi badan anak, status anemi ibu hamil dan status pola asuh
merupakan tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak pada
usia 3 tahun.

Saran

Pentingnya status gizi yang baik dalam mempersiapkan kehamilan untuk


mencegah gangguan pertumbuhan linier saat janin dengan melakukan penapisan
masalah gizi pada remaja putri, pendidikan gizi pada pasangan calon pengantin,
upaya perbaikan gizi ibu hamil, pemeriksaan bayi baru lahir tidak hanya
pengukuran berat badan tetapi dilengkapi dengan pengukuran tinggi badan dan
lingkar kepala, pemantauan status gizi balita pada kegiatan posyandu dilengkapi
dengan pengukuran tinggi badan minimal 3 bulan sekali untuk melihat
pertumbuhan linier anak serta pendidikan gizi pada orangtua tentang pola asuh yang
baik untuk meningkatkan perkembangan kognitif anak berintegrasi dengan
program pendidikan anak usia dini (PAUD). Pengembangan penelitian selanjutnya
adalah perlunya penelitian berupa pemberian intervensi pada tiap tahap
pertumbuhan dan perkembangan dimulai sejak awal kehamilan sampai anak berusia
2 tahun. Perlu dianalisis keterkaitan faktor gizi baik gizi makro maupun mikro,
faktor lingkungan, imunitas dan frekuensi sakit serta pola asuh pemberian makan
maupun pola asuh psikososial yang dapat memengaruhi pertumbuhan linier dan
perkembangan kognitif anak.
DAFTAR PUSTAKA

Alive and Thrive. 2010. Why Stunting Matters. Insight 2nd Issue. A&T Technical
Brief. [Online]. [Accessed 15 Agustus 2013].
Alive and Thrive. 2012. Nutrition And Brain Development In Early Life. Insight 3rd
Issue. A&T Technical Brief. [Online]. [Accessed 15 Agustus 2013].
Allen LH. 2012. Maternal Nutrient Metabolism And Requirements In Pregnancy
And Lactation. In: Jr., J. W. E., Macdonald, I. A. & Zeisel, S. H. (Eds.)
Present Knowledge In Nutrition. 10 Th Ed. Iowa Usa: Wiley Blackwell.
Andrade SA, Santos DN, Bastos AC, Pedromonico MRM, et al. 2005. Family
Environment and Child’s Cognitive Development: an Epidemiological
Approach. Rev Saude Publica : 39(4)
Aries M, Hardinsyah, Tuhiman H. 2012. Determinan Gizi Kurang dan Stunting
Anak Umur 0-36 bulan Berdasarkan Data Progam Keluarga Harapan (PKH)
2007. J Gizi dan Pangan 7(1):119-26.
[Balitbangkes RI] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik
Indonesia. 2010. Laporan Hasil Riskesdas Indonesia 2010. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
[Balitbangkes RI] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik
Indonesia. 2013. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Barbara M and Black A. 2003. Markers of Validity of Reported Energy Intake, The
American Society for Nutritional Sciences. J. Nutr 133: 895S-920S.
Bayley N. 2005. Bayley Scales of Infant and Toddler Development - Third Edition:
Administration Manual. San Antonio, TX Harcourt Assessment
Belfort MB, Rifas-Shiman SL, Kleinman KP, Guthrie LB, Bellinger DC, Taveras
EM, Gillman MW & Oken E. 2013. Infant Feeding And Childhood Cognition
At Ages 3 And 7 Years Effects Of Breastfeeding Duration And Exclusivity.
Jama Pediatrics [Online]. [Accessed 15 Agustus 2013].
Berk LE 2008. Exploring Lifespan Development. Boston: Pearsons Education Inc
Bhandari N, Bahl R, Taneja S. 2001. Effect of micronutrient supplementation on
linier gowth of children. Br J Nutr. 85(Suppl2):S131–7. doi:
10.1049/BJN2000305
Black MM, Baqui AH, Zaman K, Persson LA, Arifeen SE, Le K, Mcnary SW,
Parveen M, Hamadani JD & Black RE. 2004. Iron And Seng Supplementation
Promote Motor Development And Exploratory Behavior Among Bangladeshi
Infants. Am J Clin Nutr 80: 903-910.
Brown JE. 2005. Nutrition During Pregnancy. In: Brown, J. E. (Ed.) Nutrition
Through The Life Cycle. 2nd Ed. Australia: Thomson Wadsworth.
83

Caldwell BM, & Bradley RH. 2003. Home Observation for Measurement of
the Environment: Administration Manual. Tempe, AZ: Family & Human
Dynamics Research Institute, Arizona State University.
Chasapis CT, Loutsidou AC, Spiliopoulou CA, Stefanidou ME. 2012. Zinc and
human health: an update. Arch Toxicol 86(4):521-34. doi:
10.1210/jc.81.8.3123
Crookston BT, Dearden KA, Alder SC, Porucznik CA, Stanford JB, Merrill RM,
Dickerson TT & Penny ME. 2011. Impact Of Early And Concurrent Stunting
on Cognition. Maternal And Child Nutrition, 7, 397-409.
Crookston BT, Schon W, Cueto S, Dearden KA, Eagle A, Georgiadis A, Lundeen
EA, Penny ME, Stein AD, Behrman JR. 2013. Postinfancy growth, schooling,
and cognitive achievement: Young lives. Am J Clin Nutr 98:1555-63.
Drewett R, Wolke D, Asefa M, Kaba M & Tessema F. 2001. Malnutrition And
Mental Development: Is There A Sensitive Period? A Nested Case-Control
Study. J. Child Psychol. Psychiat., 42, 181-187.
Drewnowski A, Spector SE. 2004. Poverty and Obesity: The Role of Energy Score.
Am J Clin Nutr 79:6-16
Durán CC, Perales CG, Hertrampf ED, Marín VB, Rivera FA & Icaza G. 2001.
Effect Of Seng Supplementation On Development And Gowth Of Chilean
Infants. The Journal Of Pediatrics 138, 229-235.
Eickmann SH, Lira PICD, Lima MDC, Coutinho SB, Teixeira MDLPD &
Ashworth A. 2007. Breast Feeding And Mental And Motor Development At
12 Months In A Low-Income Population In Northeast Brazil. Paediatric And
Perinatal Epidemiology, 21, 129-137.
Enig MG. 2010. Vitamin A For Fetal Development. Weston A Price Foundation
[Online].
Erick M. 2008. Nutrition During Pregnancy and Lactation. In: Mahan, L. K. &
Stump, S. E. (Eds.) Krause's Food And Nutrition Therapy. 12th Ed. Canada:
Saunders Elsevier Inc.
Ernawati F, Rosmalina Y, Ridwan E, Permaesih D, Safitri A, Susilawati MD,
Permanasari Y & Luciasari E. 2012. Studi Longitudinal Faktor Risiko
Terjadinya Stunting Pada Anak Bawah Dua Tahun [Laporan Penelitian].
Bogor: Pusat Teknologi Terapan Kesehatan Dan Epidemiologi Klinik
Balitbangkes RI
Espo M, Kulmala T, Maleta K, Cullinan T, Salin M, Ashorn P. 2002. Determinants
Of Linear Growth And Predictors Of Severe Stunting During Infancy In Rural
Malawi. Acta Paediatric, 91: 1364-1370.
Fahmida U, Rumawas JSP, Utomo B, Patmonodewo S, Schultink W. 2007. Zinc-
iron, but not zinc alone suplementation, increased linear growth of stunted
infants with low haemoglobin. Asia Pac J Clin Nutr 16(2):301-309.
Fikawati S, Wahyuni D, Syafiq A. 2012. Status Gizi Ibu Hamil dan berat lahir bayi
pada kelompok vegetarian. Makara Kesehatan 16(1);29-35.
84

Gage SH, Lawlor DA, Tilling K & Fraser A. 2013. Associations Of Maternal
Weight Gain In Pregnancy With Offspring Cognition In Childhood and
Adolescence: Findings from The Avon Longitudinal Study of Parents and
Children. American Journal Of Epidemiology, 177, 402-410.
Gale CR, Martyn CN, Marriott LD, Limond J, Crozier S, Inskip HM, Godfrey KM,
Law CM, Cooper C & Robinson SNM. 2009. Dietary Patterns in Infancy and
Cognitive and Neuropsychological Function In Childhood. Journal Of Child
Psychology And Psychiatry, 50, 816-823.
Gavana MY, Yablonskia GG & Phillip M. 2013. Nutritional Biomarkers For
Growth Outcomes: Perspective of The Endocrinologist. Nutrition and
Growth. World Rev Nutr Diet. Basel, Karger, 106, 19-25.
Gernand AD, Christian P, Paul RR et al. 2012. Maternal Weight and Body
Composition during Pregnancy Are Associated with Placental and Birth
Weight in Rural Bangladesh. The Journal of Nutrition, doi:
10.3945/jn.112.163634.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. New York,
Oxford University Press.
Hadi H, Stoltzfus RJ, Dibley MJ, Moulton LH, West KP, Kjolhede CL, Sadjimin
T. 2000. Vitamin A Supplementation Selectively Improves the Linier Growth
of Indonesian Preschool Children: Results from A Randomized Controlled
Trial. Am J Clin Nutr 71:507-13
Hairunis MN, Rohmawati N, Ratnawati LY. 2016. Determinan Kejadian Stunting
pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Soromandi Kabupaten Bima
Nusa Tenggara Barat. E-Jurnal Pustaka Kesehatan 4(2): 323-329.
Hanum F, Khomsan A, Heryatno Y. 2014. Hubungan Asupan Gizi dan Tinggi
Badan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. J Gizi dan Pangan 9(1):1-6.
Hautvast JLA, Tolboom JJM, Kafwembe EM, Musonda RM, Mwanakasale V,
Staveren WA, Hof MA, Sauerwein RW, Willems JL, Monnens LAH. 2000.
Severe Linear Growth Retardaation in Rural Zambia Children: The Influence
of Biological Variables. Am J Clin Nutr 71:550-559.
Herawati T. 2003. Pengaruh Pemberian Biscuit Ibu Hamil Dan Status Pemberian
Asi Terhadap Pertumbuhan Linier Dan Perkembangan Bayi 0-6 Bulan.
Institut Pertanian Bogor.
Hermina dan Prihatini S. 2011. Gambaran Keragaman Makanan dan
Sumbangannnya Terhadap Konsumsi Energi Protein Pada Anak Balita
Pendek (Stunting) di Indonesia. Bulletin Penelitian Kesehatan 39(2). pp: 62-
73.
Hidayati M, Hadi H dan Susilo J. 2005. Kurang Energi Kronis Dan Anemia Ibu
Hamil Sebagai Faktor Risiko Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah Di Kota
Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sains Kesehatan, 18, 483-491.
Hill ID. 2013. Zinc Supplementation During Pregnancy. E-Library Of Evidence For
Nutrition Actions (Elena) [Online].
85

[IOM] Institute of Medicine. 2002. Dietary Reference Intakes for Energy,


Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino
Acids, Washington Dc, The National Academies Press.
[IOM] Institut of Medicine. 2009. Weight Gain During Pregnancy: Reexamining
The Guidelines, Washington Dc The National Academies Press
Jayanti LD, Effendi YH, Sukandar D. 2011. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) serta Perilaku Gizi Seimbang Ibu kaitannya dengan Status Gizi dan
Kesehatan Balita di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. J Gizi dan Pangan
6(3): 192-199.
Johnson dan Slater. 2007. The Development of Intelligence in Infancy. In: Slater &
Lewis (Eds.) Introduction To Infant Development. Oxford University Press.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Survey
Kesehatan Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2013. Angka Kecukupan Gizi Yang
Dianjurkan Bangsa Indonesia (Permenkes No. 75 Tahun 2013). Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Khomsan A, Anwar F, Hernawati N, Suhanda NS, Warsito O, Herawati T. 2013.
Growth, cognitive development and psychosocial stimulation of preeschool
children in poor farmer and non farmer households. Mal J Nutr 19(3): 325-
337.
Kurugol Z, Egemen A, Keskinoglu P, Darcan S, Aksit S. 2000. Vitamin A
deficiency in healthy children aged 6–59 months in Izmir Province of Turkey.
Paediatr Perinat Epidemiol 14(1):64–9. DOI: 10.1046/j.1365-
3016.2000.00229.x
Kusharisupeni. 2002. Growth faltering pada bayi di Kabupaten Indramayu Jawa
Barat. Makara Kesehatan vol. 6.
Kusin JA dan Kardjati S. 1994. Chronic Undernutrition among Women of
Reproductive Age. Maternal and Child Nutrition in Madura Indonesia.
Amsterdam Netherlands Royal Tropical Institute p: 125-147.
Labuschagne I, Ackerberg T & Lombard M. 2012. Optimal Nutrition During
Pregnancy and Lactation. Prof Nurs Today, 16, 26-29.
Laude M. 1999. Assessment of Nutritional Status, Cognitive Development, and
Mother-child Interaction in Central American Refugee Children. Pan Am J
Public Health 6(3).
Luca F, Uyeda JA, Mericq V, Mancilla EE, Yanovski JA, Barnes KM, Zile MH,
Baron J. 2000. Retinoic Acid is A Potent Regulator of Growth
Chondrogenesis. Endocrinology 141(1): 346-353.
Lyman dan Fawzi. 2012. Vitamin A and Carotenoids During Pregnancy and
Maternal, Neonatal And Infant Health Outcomes: A Systematic Review and
Meta Analysis. Paediatr Perinat Epidemiol 26(01) doi:10.1111/j.1365-
3016.2012.01284.x.
86

Martorell R. & Young MF. 2012. Patterns Of Stunting and Wasting: Potential
Explanatory Faktors. Adv. Nutr, 3, 227-233.
Medhin G, Hanlon C, Dewey M, Alem A, Tesfaye F, Worku B, Tomlinson M. &
Prince M. 2010. Prevalence and Predictors of Undernutrition among Infants
Aged Six and Twelve Months in Butajira, Ethiopia: The P-Mamie Birth
Cohort. BMC Public Health 10, 1-15.
Mehta S, Tandon A, Dua T, Kumari S & Singh SK. 1998. Clinical Assessment of
Nutritional Status at Birth. Indian Pediatrics 35, 423-428.
Meirita, Martianto DH & Sunarti, E. 2000. Hubungan Kuantitas dan Kualitas
Pengasuhan dengan Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun di Desa
Rancamaya Kota Bogor. Media Gizi Dan Keluarga, XXIV, 23-27.
Mikhail WZA, Sobhy HM, El-sayed HH. Khairy SA, Abu Salem HYH, Samy MA.
2013. Effect of Nutritional Status on Growth Pattern of Stunted Preschool
Children in Egypt. Academic Journal of Nutrition 2 (1): 01-09, DOI:
10.5829/idosi.ajn.2013.2.1.7466.
Mohsen dan Wafay. 2007. Influence of Maternal Antropometric Measurement and
Serum Biochemical Nutritional Indicators on Fetal Growth. J Med Sci
7(8):1330-1334
Moura DRD, Costa JC, Santos, I. S., Barros, A. J. D., Matijasevich, A., Halpern,
R., Dumith, S., Karam, S. & Barros, F. C. 2010. Risk Faktors for Suspected
Developmental Delay at Age 2 Years in A Brazilian Birth Cohort. Paediatric
And Perinatal Epidemiology, 24, 211-221.
Najahah I. 2014. Faktor Risiko Panjang Lahir Bayi Pendek di Ruang Bersalin
RSUD Patuh Patju Kabupaten Lombok Barat. Media Bina Ilmiah 8(1):16-23.
Nriagu J. 2007. Zinc Deficiency in Human Health. Elsevier.
Onis M, Branca F. 2016. Childhood Stunting: A Global Perspective. Maternal &
Child Nutrition 12 (Suppl. 1), pp. 12–26
Papalia DE, Feldman RD, Martorell G 2014. Menyelami Perkembangan Manusia.
Jakarta:Salemba Humanika
Prado EL, Dewey KG. 2014. Nutrition and Brain Development in Early Life.
Nutrition Review Vol 72(4):267-284.
Prendergast AJ, Humphrey JH. 2014. Review the Stunting Syndrome in Developing
Countries. Paediatrics and International Child Health DOI:
10.1179/2046905514Y.0000000158.
Prihananto V. 2007. Pengaruh Pangan Fortifikasi Multi Gizi Mikro Terhadap
Status Gizi Ibu Hamil Dan Berat Badan Bayi Lahir. Disertasi, Institut
Pertanian Bogor.
Ramakrishnan U, Aburto N, McCabe G, Martorell R. 2004. Multimicronutrient
interventions but not vitamin A or iron interventions alone improve child
gowth: results of 3 meta-analyses. J Nutr 134(10):2592–602.
Roland MCP, Friis CM, Godang K, Bollerslev J, Haugen G, Henriksen T. 2014.
Maternal Faktors Associated with Fetal Grow and Birthweight are
87

Independent Determinants of Placental Weight and Exhibit Differential


Effects by Fetal Sex. PLoS ONE 9(2):e87303. doi:
10.1371/journal.pone.0087303.
Ringwald. 2008. Developmental Screening And Assessment Instruments.
[Accessed 26 Desember 2012].
Roland MCP, Friis CM, Voldner N, Godang K, Bollerslev J, Haugen G, Henriksen
T. 2012. Fetal Gowth versus Birthweight: The Role of Placenta versus Other
Determinants. PLoS ONE 7(6): e39324. doi:10.1371/journal.pone.0039324
Ruel MT. 2008. Addressing The Underlying Determinants of Undernutrition:
Examples of Successful Integration of Nutrition in Poverty-Reduction and
Agriculture Strategies, 21-29. in SCN News No.36.
Saragih B, Syarief H, Riyadi H. & Nasoetion A. 2007. Pengaruh Pemberian Pangan
Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro pada Ibu Hamil terhadap Pertumbuhan
Linier, Tinggi Lutut Dan Status Anemia Bayi. Gizi Indonesia 30, 12-24.
Sari P, Hapsari D, Dharmayanti I, Kusumawardani N. 2014. Faktor-faktor yang
Berpengaruh terhadap Risiko Kehamilan 4 Terlalu pada Wanita Usia 10-59
Tahun (Analisis Riskesdas 2010). Media Litbangkes 24(3):143-152.
Sastroasmoro S & Ismail S. 2000. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Jakarta, Binarupa Aksara.
Savage MO. 2013. Insulin- Like Growth Factors, Nutrition and Growth. Nutrition
And Growth. World Rev Nutr Diet. Basel, Karger, 106, 52-59.
Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W, Goss R. & Hautvast JG. 2002.
Nutritional Status and Linier Growth of Indonesian Infants in West Java are
Determined More by Prenatal Environment than by Postnatal Factors. J. Nutr
132:2202-2207.
Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W, Gross R, Hautvast JG. 2001.
Vitamin A and iron supplementation of Indonesian pregnant women benefits
vitamin A status of their infants. British Journal of Nutrition. 86, 607–615
Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W, West CE. & Hautvast JG.
2002a. Randomised double-blind trial of the effect of vitamin A
supplementation of Indonesian pregnant women on morbidity and growth of
their infants during the first year of life. Eur J Clin Nutr 56:338-346.
doi:10.1038/sj/ejcn/161318.
Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, Bloem MW. 2008. Effect of
parental formal education on risk of child Stunting in Indonesia and
Bangladesh: a cross-sectional study. Lancet, 371, 322—328.
Shrimpton R, Victora CG, Onis M, Lima RC, Blossner M, Clugston G. 2001.
Timing of Growth Faltering: Implications for Nutritional Interventions.
Pediatrics Vol. 107 No. 5.
Soetjiningsih & Ranuh IG. 1995. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
88

Solomons NW, Vassenaar M, Chomat AM, Doak CM, Kaski KG, Scott ME. 2014.
Stunting at birth: Recognition of Early-Life Linear Growth Failure in The
Western Highlands of Guatemala. Public Health Nutrition. 18(10): 1737-
1745. DOI:10 .1017/S136898001400264X.
Souganidis. 2012. The Relevance of Micronutrients to The Prevention of Stunting.
Sight and Life 26 (2).
Stein AD, Wang M, Martorell R, Norris SA, et al. 2010. Growth Patterns in Early
Childhood and Final Attained Stature: Data from Five Birth Cohorts from
Low- And Middle-Income Countries. American Journal of Human Biology
22: 353–359.
Stewart, C.P., Katz, S.K., LeClerq, S.C., Shrestha, S.R., West, K.P. Christian, P.
2007. Preterm Delivery But Not Intrauterine Growth Retardation is
Associated with Young Maternal Age among Primiparae in Rural Nepal.
Maternal and Child Nutrition 3: 174 - 185
Strakovsky RS, Zhou D, Pan YX. 2010. A Low-Protein Diet during Gestation in
Rats Activates the Placental Mammalian Amino Acid Response Pathway and
Progams the Gowth Capacity of Offspring. The Journal of Nutrition 140:
2116–2120.
Subramanian SV, Ackerson LK, Smith GD. 2010. Parenteral BMI and Childhood
Undernutrition in India: an Assessment of Intrauterine Influence. Pediatrics
126: e663–e671
Sunarno I, Wijayanegara H, Mose JC & Manoe IMSM. 2009. Korelasi Antara
Insulin-Like Growth Factor - 1, Anemia Defisiensi Besi, dan Biometri Janin
pada Kehamilan Trimester III. Indonesian J Obstet Gynecol, 33, 160-166.
Supariasa IDN, Bakri B. & Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi, Jakarta, EGC
Penerbit Buku Kedokteran.
Svefors P, Rahman A, Ekström EC, Khan AI, Lindström E, Persson LA, et al. 2016.
Stunted at 10 Years. Linear Growth Trajectories and Stunting from Birth to
Pre-Adolescence in a Rural Bangladeshi Cohort. PLoS ONE 11(3): e0149700.
DOI:10.1371/journal.pone.0149700.
Talahatu AH. 2006. Kajian Indeks Massa Tubuh (Imt) Dan Pertambahan Berat
Badan Ibu Hamil Serta Hubungannya Dengan Tumbuh Kembang Bayi Lahir
Di Kota Ambon. Institut Pertanian Bogor.
Tanuwidjaya S. 2008. Konsep Umum Tumbuh Dan Kembang. In: Narendra, M. B.,
Sularyo, T. S., Soetjiningsih, Suyitno, H., Ranuh, I. G. & Wiradisuria, S.
(Eds.) Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto
Thompson RA, Nelson CA. 2001. Developmental Science and the Media.
American Psychological Association Vol. 56(1):5-15.
Tielsch JM, Rahmatullah L, Katz J, Thulasiraj RD, Coles C, Sheeladevi S, Prakash
K. 2008. Maternal night blindness during pregnancy is associated with low
birthweight, morbidity, and poor growth in South India. J Nutr. 138:787-792.
89

Uauy R, Kain J, Corvalan C. 2011. How Can The Developmental Origins Of Health
And Disease (Dohad) Hypothesis Contribute To Improving Health In
Developing Countries?. Am J Clin Nutrition 94 (Suppl): 1759s-1764s.
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, et al. 2008. Maternal
and Child Undernutrition: Consequences for Adult Health and Human
Capital. Lancet.;371:340-357.
W.Z.A. Mikhail. H.M. Sobhy. H.H. El-sayed. S.A. Khairy. H.Y.H. Abu Salem.
M.A. Samy. 2013. Effect of Nutritional Status on Growth Pattern of Stunted
.Preschool Children in Egypt. Academic Journal of Nutrition 2 (1): 01-09,
DOI: 10.5829/idosi.ajn.2013.2.1.7466.
Wamani H, Astrom AN, Peterson S, Tumwine JK, Tylleskar T. 2007. Boys are
More Stunted than Girls in Sub-Saharan Africa: A Meta-Analysis of 16
Demogaphic and Health Surveys. BMC Pediatr 7:17. doi: 10.1186/1471-
2431-7-17.
WHO. 2006. Vitamin and Mineral Nutrition Information Systems: WHO Global
Database on Vitamin A Deficiency. Geneva: World Health Organization
WHO. 2006a. Child Growth Standards: Length/Height-for-Age, Weight-for-Age,
Weight-for-Length, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-Age:
Methods nd Development. Geneva: World Health Organization
WHO. 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile
Indicators: Interpretation Guide. Switzerland : World Health Organization.
WHO. 2013. World Health Statistics 2013. Geneva: World Health Organization.
Yongky. 2007. Analisis Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil Berdasarkan Status
Sosial Ekonomi dan Status Gizi Serta Hubungannya dengan Berat Bayi Baru
Lahir. Institut Pertanian Bogor.
Yin Shu W, Wu C, Hsieh T, Lo H, Lin J, Kao D. 2013. Low Body Weight Gain,
Low White Blood Cell Count and High Serum Ferritin as Markers of Poor
Nutrition and Increased Risk for Preterm Delivery. Asia Pac J Clin Nutr
22(1): 90 99.
Yuniarti S. 2015. Asuhan Tumbuh Kembang : Neonatus, Bayi-Balita dan Anak
Prasekolah. Bandung: PT Refika Aditama
Zile MH. 2001. Function of Vitamin A in Vertebrate Embryonic Development. J
Nutr 131:705-708.
90

LAMPIRAN
91

LAMPIRAN

Lampiran 1 Etik Penelitian


92

Lampiran 2 Output Hasil Uji Statistik

1. Status Gizi Ibu Hamil sebagai Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah

Logistic Regression

Dependent Variable Encoding


Original Value Internal Value

Tidak 0
Ya 1

Categorical Variables Codings


Parameter coding

Frequency (1)

RL_Tk_Prot3 Cukup 32 .000

Kurang 41 1.000
RL_WG Sesuai standart 31 .000
Di bawah standart 42 1.000
RL_Zinc1 Zn >= 0.7 mg/l 32 .000
Zn < 0.7 mg/l 41 1.000
RL_vitA1 Vitamin A >=20 58 .000
vit A < 20 15 1.000
RL_Hb1 Hb ibu >=11 g/dl 63 .000
hb ibu < 11 g/dl 10 1.000
RL_TBibu >= 150 39 .000
< 150 34 1.000
RL_Prot2 >= 6.4 52 .000
<6.40 21 1.000
RL_Tk_Eng3 Cukup 9 .000
Kurang 64 1.000
RL_Hb2 Hb ibu >=11 g/dl 40 .000
hb ibu < 11 g/dl 33 1.000
RL_Alb2 alb >= 3.4 63 .000
alb < 3.4 10 1.000
RL_IMT_PP Baik 60 .000

Kurang 13 1.000
93

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b
Predicted

RL_IUGR Percentage
Observed Tidak Ya Correct

Step 0 RL_IUGR Tidak 54 0 100.0

Ya 19 0 .0

Overall Percentage 74.0

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is .500

Variables in the Equation


B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -1.045 .267 15.335 1 .000 .352

Variables not in the Equation


Score df Sig.

Step 0 Variables RL_IMT_PP(1) 6.358 1 .012

RL_WG(1) 2.742 1 .098

RL_Zinc1(1) .510 1 .475

RL_vitA1(1) 7.311 1 .007

RL_Hb1(1) 1.175 1 .278

RL_TBibu(1) .978 1 .323

RL_Prot2(1) .817 1 .366

RL_Alb2(1) .095 1 .758

RL_Hb2(1) .049 1 .826

RL_Tk_Eng3(1) .077 1 .781

RL_Tk_Prot3(1) .031 1 .860

Overall Statistics 22.287 11 .022


94

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients


Chi-square df Sig.

Step 1 Step 24.170 11 .012

Block 24.170 11 .012

Model 24.170 11 .012

Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square

1 59.538a .282 .413

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter


estimates changed by less than .001.

Classification Tablea
Predicted

RL_IUGR

Observed Tidak Ya Percentage Correct

Step 1 RL_IUGR Tidak 51 3 94.4

Ya 10 9 47.4

Overall Percentage 82.2

a. The cut value is .500


95
96

2. Pengaruh Panjang Bayi Lahir Rendah, Morbiditas dan Kekurangan Gizi


Mikro terhadap Pertumbuhan Linier Anak Usia 3 Tahun

Logistic Regression

Dependent Variable Encoding


Original Value Internal Value
Normal 0
GF 1

Categorical Variables Codings


Parameter
coding
Frequency (1)
dummy_vitA_4th vitA<20,0 ug/dl(deficiency) 13 1.000
vitA>20,00 ug/dl (normal) 124 .000
Morbid_1bln_RL Tidak 61 .000
Ya 76 1.000
dummy_Zinc_4th zinc<0,7 mg/l)(deficiency) 82 1.000
Zinc>0,70 (normal) 55 .000
GF_12bln_RL Normal 73 .000
GF 64 1.000

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b
Predicted
GF_3th_RL Percentage
Observed Normal GF Correct
Step 0 GF_3th_RL Normal 0 36 .0
GF 0 101 100.0
Overall Percentage 73.7
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
97

Variables in the Equation


B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant 1.032 .194 28.244 1 .000 2.806

Variables not in the Equation


Score df Sig.
Step 0 Variables GF_12bln_RL(1) 21.139 1 .000
Morbid_1bln_RL(1) 5.438 1 .020
Kat_Zinc_4th(1) 4.826 1 .028
Kat_vitA_4th(1) 2.561 1 .110
Overall Statistics 31.646 4 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients


Chi-square df Sig.
Step 1 Step 37.329 4 .000
Block 37.329 4 .000
Model 37.329 4 .000
Model Summary
-2 Log Cox & Snell R Nagelkerke R
Step likelihood Square Square
1 120.478a .239 .349
a. Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than .001.

Classification Tablea
Predicted
GF_3th_RL Percentage
Observed Normal GF Correct
Step 1 GF_3th_RL Normal 16 20 44.4
GF 10 91 90.1
Overall Percentage 78.1
a. The cut value is .500
98

Variables in the Equation

95% C.I.for
EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a GF_12bln_RL(1) 2.352 .557 17.825 1 .000 10.511 3.527 31.325

Morbid_1bln_RL(1) .925 .455 4.126 1 .042 2.522 1.033 6.159

Kat_Zinc_4th(1) 1.109 .463 5.727 1 .017 3.031 1.222 7.515

Kat_vitA_4th(1) 2.009 1.137 3.120 1 .077 7.455 .802 69.254

Constant -.954 .450 4.499 1 .034 .385


a. Variable(s) entered on step 1: GF_12bln_RL, Morbid_1bln_RL, Kat_Zinc_4th, Kat_vitA_4th.
99

3. Pengaruh Pertumbuhan Linier dan Pola Asuh Psikososial terhadap


Perkembangan Kognitif Anak Usia Tiga Tahun

Logistic Regression

Dependent Variable Encoding


Original Value Internal Value
sesuai 0
bawah 1
Categorical Variables Codings

Parameter coding
Frequency (1)
HOME_RL Baik 65 .000
Kurang 45 1.000
TBParu_RL Tidak 99 .000
Ya 11 1.000
RL_Hb2 Hb>=11.0 59 .000
Hb<11.0 51 1.000
RL_deltaTB_03t Sesuai 32 .000
Kurang 78 1.000
Classification Tablea,b
Predicted
PerKOg_reglog Percentage
Observed sesuai bawah Correct
Step 0 PerKOg_reglog sesuai 0 27 .0
bawah 0 83 100.0
Overall Percentage 75.5
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500

Block 0: Beginning Block


100

Variables in the Equation


B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Ste Constant 1.123 .222 25.693 1 .000 3.074
p0

Variables not in the Equation

Score df Sig.
Step 0 Variables RL_deltaTB_03t(1) 6.300 1 .012
TBParu_RL(1) 1.576 1 .209
RL_Hb2(1) 6.010 1 .014
HOME_RL(1) 13.144 1 .000
Overall Statistics 26.977 4 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients


Chi-square df Sig.
Step 1 Step 31.644 4 .000
Block 31.644 4 .000
Model 31.644 4 .000

Model Summary
-2 Log Cox & Snell Nagelkerke R
Step likelihood R Square Square
1 90.959a .250 .372
a. Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than .001.

Classification Tablea
Predicted
PerKOg_reglog Percentage
Observed sesuai bawah Correct
Step 1 PerKOg_reglog sesuai 9 18 33.3
bawah 1 82 98.8
Overall Percentage 82.7
a. The cut value is .500
101

Variables in the Equation

95% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

S RL_deltaTB_03t(1) 1.237 .556 4.946 1 .026 3.447 1.158 10.258


t TBParu_RL(1) 2.127 1.218 3.050 1 .081 8.388 .771 91.261
e
RL_Hb2(1) 1.621 .568 8.160 1 .004 5.059 1.663 15.387
p
HOME_RL(1) 2.352 .695 11.464 1 .001 10.508 2.693 41.008
1
Constant -1.134 .548 4.284 1 .038 .322
a

a. Variable(s) entered on step 1: RL_deltaTB_03t, TBParu_RL, RL_Hb2, HOME_RL.


102

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember


1968, sebagai anak bungsu dari 8 bersaudara dari pasangan
Bapak P. Mardi (alm) dan Ibu Hj. Siti Mariyam (almh).
Penulis menikah dengan Rudy Ridwan Effendi pada tanggal
27 Juli 1996 dan dikaruniai dua putri bernama Qothrunnada
Effendi dan Alya Shafira Effendi.
Lulus pendidikan Sekolah Menengah Atas pada tahun
1987 dari SMAN 1 Jakarta, meraih Diploma-3 pada tahun
1990 dari Akademi Gizi Depkes RI Jakarta. Sejak 1 Maret
1991, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Akademi Gizi Depkes RI Bandung
yang sekarang berubah struktur menjadi Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan
Kemenkes RI Bandung.
Pada tahun 1997-1999, penulis mengikuti tugas belajar S-1 di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dengan beasiswa dari Depkes RI.
Tahun 1994 mengikuti Statistics and Nutritional Epidemiology Short Course di
University of Queenslands Australia. Pada tahun 2003-2004, mendapat beasiswa
dari Asian Development Bank melalui Intensified Communicable Disease Control
(ICDC) Project untuk mengikuti tugas belajar S-2 pada School of Public Health di
Griffith University Australia dan pada tahun 2012 mendapat kesempatan tugas
belajar S-3 di Program Sudi Gizi Manusia Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor dengan beasiswa dari Kemenkes RI.
Publikasi ilmiah dari hasil penelitian ini adalah: (1) IMT Rendah Pada Awal
Kehamilan Dan Defisiensi Vitamin A Pada Trimester Kedua Sebagai Faktor Risiko
Gangguan Pertumbuhan Linier Pada Bayi Lahir pada Jurnal Gizi dan Pangan
Volume 11 No. 3 November 2016: 191-200; dan (2) Linear Growth of Toddlers is
Affected by Infant Linear Growth, Morbidity and Micronutrient Deficiency pada
International Journal of Science : Basic and Applied Research (IJSBAR) Volume
32 No. 2 (2017) : 11-20.

Anda mungkin juga menyukai