PUSPARINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Status Gizi Ibu sebagai
Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah serta Dampaknya terhadap Pertumbuhan
Linier dan Perkembangan Kognitif Anak Usia Tiga Tahun adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Pusparini
NIM I16212004
RINGKASAN
PUSPARINI. Status Gizi Ibu Sebagai Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah
serta Dampaknya terhadap Pertumbuhan Linier dan Perkembangan Kognitif Anak
Usia Tiga Tahun. Dibimbing oleh: HARDINSYAH, DODIK BRIAWAN, dan
FITRAH ERNAWATI.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STATUS GIZI IBU SEBAGAI FAKTOR RISIKO PANJANG
BAYI LAHIR RENDAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN LINIER DAN PERKEMBANGAN
KOGNITIF ANAK USIA TIGA TAHUN
PUSPARINI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji luar komisi pada ujian tertutup:
1. Dr Abas Basuni Jahari, MSc
(Peneliti pada Puslitbang Upaya Kesehatan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI)
2. Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc
(Staf Pengajar Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Hardinsyah, MS
Ketua
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 sampai
September 2015 ini adalah Status Gizi Ibu sebagai Faktor Risiko Panjang Bayi
Lahir Rendah serta Dampaknya terhadap Pertumbuhan Linier dan Perkembangan
Kognitif Anak Usia Tiga Tahun.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada
Prof Dr Ir Hardinsyah, MS sebagai ketua komisi pembimbing beserta anggota
komisi pembimbing Prof Dr Ir Dodik Briaawaan, MCN dan Dr Fitrah Ernawati,
M.Sc yang telah banyak memberi masukan, arahan, bimbingan dan motivasi yang
diberikan selama penelitian dan penyusunan disertasi ini. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Prof Dr drh Clara Meliyanti Kusharto, M.Sc sebagai penguji
prelim lisan, Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc sebagai pembahas pada kolokium
dan ujian tertutup dan Dr Abas Basuni Jahari, M.Sc sebagai penguji pada prelim
lisan, kolokium dan ujian tertutup serta Dr dr Trihono, MSc dan Dr Ir Hadi Riyadi,
MS sebagai penguji luar komisi pada sidang promosi doktor, atas masukan dan
koreksi untuk penyempurnaan disertasi ini.
Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Arif Satria,
MS sebagai Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Dr Ir Budi Setiawan, MS dan Dr
Rimbawan sebagai Ketua Departemen Gizi dan Prof drh M Rizal Damanik,
MRepSc, PhD, Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dan Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
sebagai Ketua Program Studi Gizi Manusia serta kepada Guru Besar dan Bapak/Ibu
Dosen Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB yang telah memberikan wawasan
keilmuan selama penulis menuntut ilmu di IPB.
Ucapan terima kasih kepada Kepala Badan PPSDM Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI, Drs Sutikno, M.Kes dan Dr Ir Osman Syarief, MKM sebagai
Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung, Ichwanuddin SKM,M.Kes dan
Holil M. Par’i, SKM,M.Kes sebagai Ketua Jurusan Gizi Poltekkes Bandung beserta
teman teman dosen dan staf Jurusan Gizi yang telah memberikan izin dan
dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program doktor di IPB.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Badan Litbangkes
Kementerian Kesehatan RI dan Kepala Pusat Teknologi Terapan dan Epidemiologi
Kesehatan (PT2KEK) yang telah memberikan izin menggunakan data dan
melibatkan penulis dalam penelitian Studi Longitudinal Stunting, serta teman teman
peneliti dan litkayasa PT2KEK atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan
data.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman seperjuangan di
program Doktor Ilmu Gizi Manusia (GMA), khususnya GMA 2012, pak Tonny C
Maigoda, bu Refdanita, mbak Nunung C Dainy dan bu Listyani Hidayati atas
kebersamaan dan persahabatan yang baik. Rangkaian ucapan terimakasih juga
penulis sampaikan kepada senior GMA 2011 : bu Yuni, bu Dara, bu Trini, dan bu
Nurul, senior GMA 2010 : pak Nurahman, pak Slamet, bu Ainia, bu Betty, bu Tetty,
pak Muksin dan pak Dadi. Rekan-rekan GMA 2013 : mba Ketut, bu Nur, pak
Sudikno, pak Mahani, mas Renan, mas Ade, bu Retno, dan pak Nurfi, GMA 2014:
teh Cica, bu Rina, bu Wiwit, bu Tita, bu Deni, mbak Erry, pak Aripin, pak Syahrial,
dan pak Made atas segala dukungan dan motivasinya.
Rasa hormat dan ungkapan terima kasih untuk kedua orangtuaku bapak P
Mardi (alm) dan ibu Siti Mariyam (almh) serta bapak Agus Natawijaya (alm) dan
ibu Dedeh Kuraisin (almh) atas kasih sayang, dukungan dan doa yang selalu
dipanjatkan untuk penulis. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada keluarga
besar P Mardi (mas Yanto, mbak Puji, mas Toro, mbak Tuti, mbak Nining, mas
Pujo dan mas Putut) dan keluarga besar Agus Natawijaya ( A Sonny, teh Ineu,
Rizky dan Iman) atas dukungan dan doanya.
Ungkapan terima kasih dan rasa sayang yang tak terhingga kepada suamiku
Rudy Ridwan Effendi dan kedua putri kami Qothrunnada Effendi dan Alya Shafira
Effendi atas izin, dukungan baik moril maupun materil, dan doa yang diberikan
serta pengorbanan dan pengertian atas waktu yang tersita selama penulis
menempuh pendidikan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu yang telah mendukung dan membantu penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung sejak masa perkuliahan, penelitian sampai
tersusunnya disertasi ini.
Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna, namun demikian
penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.
Pusparini
DAFTAR ISI
1. Kebutuhan Gizi Wanita (19- 30 tahun) dan Wanita Hamil (TM II dan
III) 7
2. Rekomendasi Pertambahan Berat Badan Kehamilan 11
3. Hubungan Status Gizi Ibu Hamil dan Status Gizi Bayi yang
Dilahirkan 12
4. Pengaruh Intervensi Zat Gizi terhadap Pertumbuhan Bayi 14
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak 20
6. Faktor faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak 24
7. Pengaruh Intervensi Gizi terhadap Perkembangan 26
8. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 33
9. Karakteristik Ibu Hamil dan Bayi Saat Lahir 44
10. Status Gizi Makro Ibu Hamil dan Panjang Bayi Lahir 45
11. Status Gizi Mikro Ibu Hamil dan Panjang Bayi Lahir 46
12. Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah 47
13. Karakteristik Keluarga 53
14. Status Gizi Anak Usia 0-3 Tahun 53
15. Hubungan Gangguan Panjang Lahir, Morbiditas, Status Gizi Mikro
dengan Pertumbuhan Linier Anak Usia 0-3 Tahun 59
16. Faktor Risiko Pertumbuhan Linier Anak Usia 1-3 Tahun 60
17. Karakteristik Ibu dan Keluarga 65
18. Panjang Badan Anak Usia 3 Tahun 66
19. Status Gizi Mikro Ibu Hamil Trimester 3 68
20. Pola Asuh Psikososial Anak Usia 3 Tahun 69
21. Pola asuh psikososial anak usia 3 tahun 70
22. Faktor risiko perkembangan anak usia 3 tahun 71
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. Etik Penelitian 91
2. Output Hasil Penelitian 92
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Stunting merupakan masalah gizi yang banyak ditemukan pada hampir semua
negara berkembang, stunting didefinisikan sebagai tinggi badan tidak normal atau
relatif rendah terhadap sekelompok anak-anak pada umur dan jenis kelamin yang
sama. Stunting merupakan efek kumulatif adanya gangguan pertumbuhan pada
masa lalu dan sekarang, diakibatkan karena asupan zat gizi yang tidak memadai dan
diperparah dengan seringnya terkena penyakit infeksi. Dengan menggunakan
referensi standar pertumbuhan WHO tahun 2006, pada tahun 2010, prevalensi
stunting pada anak bawah lima tahun (balita) mencapai 38.2% di Afrika, 13.5% di
Wilayah Amerika Latin, dan 27.6% Asia (Uauy et al. 2011). Berdasarkan data
WHO, pada kurun waktu tahun 2002 – 2012, prevalensi stunting anak balita di
negara Asia adalah sebagai berikut Thailand 15.7%, Malaysia 17.2%, Filipina
32.3% dan Indonesia 39.2% (WHO 2013)
Besarnya masalah stunting di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan
dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan 20.2% bayi dilahirkan dengan kondisi
stunting (panjang badan < 48 cm). Angka ini semakin meningkat seiring
bertambahnya usia, prevalensi stunting pada balita adalah sebesar 37.2%
mengalami peningkatan dari Riskesdas 2010, yaitu 35.7%. Berdasarkan propinsi,
prevalensi stunting di Indonesia berkisar antara 22.5% - 58.4%, hal ini
menunjukkan bahwa masalah stunting masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di semua propinsi di Indosesia berdasarkan batas “non public health
problem” menurut WHO sebesar 20% (Balitbangkes 2013)
Stunting sering kali tidak mendapat perhatian terutama pada masyarakat
dimana kasus tersebut banyak ditemukan. Bahkan di kalangan dunia kesehatan,
masalah stunting umumnya tidak mendapat perhatian yang sama seperti halnya
underweight atau wasting. Pada wanita hamil yang stunting, yaitu tinggi badan
kurang dari 145 cm, terjadi hambatan aliran darah pada plasenta maupun rahim dan
berakibat pada terganggunya pertumbuhan janin. Hambatan pertumbuhan dalam
rahim atau Intrauterine Growth Restriction (IUGR) berhubungan dengan banyak
hal merugikan pada janin dan bayi yang dilahirkan. Selama kehamilan, IUGR dapat
menyebabkan gangguan pada janin atau bahkan menyebabkan kematian janin.
Setelah dilahirkan, bayi dengan IUGR seringkali mengalami penundaan
perkembangan neurologis dan intelektual, serta pencapaian tinggi badan tidak
maksimal seperti bayi pada umumnya dan hal ini berlanjut sampai dewasa (Alive
dan Thrive 2010).
Penyebab utama stunting diantaranya adalah hambatan pertumbuhan dalam
kandungan, asupan zat gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan
dan perkembangan yang cepat pada masa bayi dan anak-anak, serta seringnya
terkena penyakit infeksi selama awal masa kehidupan (Alive dan Thrive 2010).
Pertumbuhan janin dalam kandungan terjadi dalam beberapa fase dimulai dengan
pembentukan berbagai sistem organ (fase organogenesis) pada trimester pertama,
2
dilanjutkan dengan fase hiperplasia seluler hingga trimester kedua, fase hiperplasia
disertai hipertrofi dan akhirnya terjadi hipertrofi organel dan sitoplasma sel pada
akhir trimester kedua dan trimester ketiga, ditandai dengan peningkatan berat dan
ukuran tubuh serta pematangan berbagai sistem organ. Bila proses hiperplasia dan
hipertrofi yang terjadi pada trimester kedua dan trimester ketiga tidak terjadi dengan
optimal, dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan baik berat maupun ukuran
tubuh janin, serta gangguan pematangan sistem metabolisme janin. Keadaan
demikian disebut dengan istilah pertumbuhan janin terhambat (Brown 2005).
National Family Health Survey 2005-2006 di India dan Reproductive Health
Survey 2008-2009 di Guatemala menunjukkan bahwa status gizi ibu memiliki peran
yang besar dalam terjadinya stunting. Ibu yang pendek (tinggi badan < 150 cm),
dan kurus (indeks masa tubuh < 18.5 kg/m2) memiliki risiko lebih besar melahirkan
bayi stunting dibandingkan ibu yang memiliki status gizi baik. Sekitar 1 dari 5 anak
di India dan Guatemala mengalami pertumbuhan terhambat pada bulan pertama
kehidupan, hal ini menunjukkan adanya kegagalan pertumbuhan sejak janin masih
berada dalam kandungan. Kondisi stunting tidak berubah sampai tahun kedua
kehidupan dan hanya mengalami sedikit perubahan pada kelompok umur yang
lebih tua. Keadaan ini menyiratkan bahwa kecepatan pertumbuhan tinggi badan
pada anak setelah umur 2 tahun tidak secepat pertumbuhan sebelumnya seperti yang
digambarkan pada standar WHO. Temuan penelitian di dua negara ini,
memperlihatkan bahwa kegagalan pertumbuhan linier terbatas pada 1000 hari
pertama kehidupan, yaitu mulai dari masa kehamilan sampai dengan 2 tahun
pertama (Martorell dan Young 2012).
Selain kekurangan zat gizi makro, masalah kekurangan zat gizi mikro seperti
vitamin A, vitamin D, asam folat, vitamin B12, zat besi, seng dan iodium juga dapat
berpengaruh terhadap perkembangan bayi dan anak. Penelitian Black dan Duran
menunjukkan bahwa pemberian zat besi dan seng secara terpisah maupun
bersamaan dapat mempengaruhi perkembangan mental dan motorik anak usia 12
bulan (Black et al. 2004; Duran et al. 2001).
Masalah gizi pada ibu hamil di Indonesia masih memprihatinkan, hasil
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa 23.79% ibu hamil menderita Kurang
Energi Kronis (KEK) dan 37.1% menderita anemia (Balitbangkes 2013). Hasil
penelitian Ernawati dan kawan-kawan pada ibu hamil di Kabupaten Bogor (2012),
didapatkan 14.9% ibu hamil trimester pertama menderita anemia (Hb < 11.0 g/dl),
angka tersebut meningkat menjadi 43.0% pada trimester ketiga. Selain anemia,
masalah kekurangan gizi mikro pada ibu hamil lainnya adalah rendahnya kadar
vitamin A (<20 µg/dl) sebesar 22.1% dan rendahnya kadar seng (< 0.7 mg/L)
sebesar 57.9%.
Pengaruh status gizi ibu hamil terhadap status gizi bayi yang dilahirkan,
secara longitudinal diteliti oleh Kusin dan Sri Kardjati (1994) di tiga desa di
Madura, selama 1981-1989, membuktikan bahwa kekurangan energi kronik pada
ibu hamil berhubungan dengan gangguan pertumbuhan janin, penurunan
konsentrasi lemak pada ASI dan gangguan pertumbuhan bayi usia 6 bulan.
Penelitian Hidayati (2005) di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa ibu hamil
yang menderita KEK dan anemia mempunyai peluang melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) lebih besar dibandingkan dengan ibu dengan
3
status gizi normal. Penelitian serupa oleh Talahatu (2006) di Kota Ambon,
menunjukkan bahwa IMT ibu sebelum hamil, pertambahan BB selama kehamilan,
status anemia dan ukuran lingkar lengan atas mempengaruhi pertumbuhan bayi
yang dilahirkan. Hasil penelitian Schmidt et al. tahun 2002 di Bogor Jawa Barat,
menunjukkan status gizi dan asupan zat gizi yang baik saat menjelang dan selama
kehamilan berpengaruh terhadap status gizi dan pertumbuhan selama masa bayi.
Pentingnya zat gizi mikro terhadap pertumbuhan bayi dibuktikan oleh
Herawati, Prihananto dan Saragih melalui pemberian pangan berupa susu, biskuit,
dan bihun yang difortifikasi vitamin A, asam folat, vitamin C, zat besi, seng, dan
Iodium pada ibu hamil menunjukkan bahwa proporsi bayi dengan berat badan lahir
rendah (< 2.5 kg) lebih rendah pada ibu yang mendapatkan pangan berfortifikasi
dibandingkan kelompok control. Pertumbuhan linier (PB/U) bayi usia 6 bulan pada
kelompok pangan fortifikasi lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu
pemberian pangan fortifikasi dapat mempengaruhi perkembangan mental dan
psikomotorik bayi usia 6 bulan (Prihananto 2007; Saragih et al. 2007; Herawati
2003).
Menurut Uauy et al. (2011) Anak yang dilahirkan stunting akibat kekurangan
gizi saat janin tidak hanya bertubuh pendek pada umurnya, tetapi juga dapat
memberikan efek baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka
pendek, stunting dapat meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) dan angka
kematian (mortalitas) terutama akibat penyakit infeksi seperti diare, campak,
saluran pernafasan, dan malaria, sehingga proses pertumbuhan anak juga
mengalami gangguan. Sedangkan efek jangka panjang dapat menurunkan tingkat
kecerdasan pada masa sekolah, menurunkan produktivitas pada masa produktif dan
mengakibatkan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak
stunting. Selain itu, pada masa dewasa, anak stunting memiliki risiko menderita
kegemukan dan komplikasi metabolic lainnya, dan pada akhirnya lebih berisiko
menderita penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh darah.
Secara ekonomi, akibat jangka pendek dan jangka panjang dari stunting dapat
menurunkan rata-rata 3.4% pendapatan kotor suatu wilayah (Gross Domestic
Product/GDP).
Terjadinya gizi kurang saat bayi berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif anak usia 2 tahun, hal ini terlihat dari penelitian Drewett (2001) di Etiopia,
menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekurangan gizi (dilihat dari Z-skor
berat badan menurut umur) pada saat bayi memiliki skor perkembangan psikomotor
dan mental lebih rendah dibandingkan dengan anak seusianya yang tidak
mengalami kekurangan gizi. Hasil serupa ditemukan oleh Crookston et al. (2011
dan 2013) pada penelitiannya di Etiopia, India, Peru dan Vietnam, menunjukkan
bahwa kemampuan kognitif anak saat masuk sekolah dipengaruhi oleh kondisi
stunting pada usia 6-18 bulan dan pengaruh lebih kuat oleh kondisi stunting pada
usia 4.5-6 tahun. Anak dengan panjang badan lahir pendek tetapi menjadi normal
pada usia 8 tahun, memiliki kemampuan kognitif lebih baik dibanding anak yang
tetap pendek pada usia 8 tahun
4
Perumusan Masalah
Uraian di atas memberikan bukti pengaruh status gizi ibu pada masa
kehamilan dalam hal ini Kurang Energi Kronis (KEK) dan anemia, terhadap
hambatan pertumbuhan janin dengan indikator berat badan lahir rendah (BBLR),
telah banyak di teliti. Namun demikian bagaimana pengaruh kekurangan zat gizi
pada ibu hamil baik makro dan mikro yang terjadi secara bersamaan terhadap
pertumbuhan linier janin dengan indikator panjang badan bayi yang dilahirkan serta
dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan linier dan perkembangan kognitif
anak usia tiga tahun secara longitudinal belum banyak diteliti. Berdasarkan hal
tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah kekurangan gizi makro dan mikro pada ibu hamil merupakan faktor
risiko panjang bayi lahir rendah ?
2. Apakah ada pengaruh panjang bayi lahir rendah terhadap pertumbuhan
linier anak usia 3 tahun ?
3. Apakah ada pengaruh gangguan pertumbuhan linier terhadap
perkembangan kognitif anak usia 3 tahun ?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh status gizi ibu
sebagai faktor risiko panjang lahir rendah serta dampaknya terhadap pertumbuhan
linier dan perkembangan kognitif anak usia tiga tahun. Adapun tujuan khusus
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis status gizi makro dan mikro ibu hamil sebagai faktor risiko
terjadinya panjang bayi lahir rendah
2. Menganalisis pengaruh panjang bayi lahir rendah terhadap pertumbuhan
linier anak usia 3 tahun
3. Menganalisis pengaruh gangguan pertumbuhan linier terhadap
perkembangan kognitif anak usia 3 tahun
Hipotesis Penelitian
1. Status gizi makro ibu hamil merupakan faktor risiko terjadinya panjang bayi
lahir rendah
2. Status gizi mikro ibu hamil merupakan faktor risiko terjadinya panjang bayi
lahir rendah
3. Panjang bayi lahir rendah berpengaruh terhadap pertumbuhan linier anak
usia 3 tahun
4. Gangguan pertumbuhan linier berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif anak usia 3 tahun
5
Manfaat Penelitian
Kebaruan Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Kehamilan
Tabel 1 Kebutuhan Gizi Wanita (19- 30 tahun) dan Wanita Hamil (TM II dan III)
organ atau sel mulai terbentuk, seperti diproduksinya enzim pencernaan oleh usus
halus. Fase ketiga disebut dengan hypertrophy, dimana perbanyakan jumlah sel
sudah terhenti sedangkan proses pembesaran ukuran sel masih terus berlanjut.
Kekurangan zat gizi pada fase ini dapat mengakibatkan penurunan fungsi organ
atau sel, yang masih dapat diperbaiki dengan memberikan tambahan asupan zat
gizi. Fase terakhir adalah pematangan proses pertumbuhan dan perkembangan, fase
ini terjadi setelah organ dan sel terbentuk dengan sempurna (Brown 2005).
Pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan, dibagi menjadi 3
periode yaitu periode germinal, embrio dan periode fetus. Periode germinal terjadi
sejak pembuahan sampai dua minggu pertama setelah pembuahan, dimulai dari
pembentukan zigot yang mengandung 100-150 sel, dilanjutkan dengan pembelahan
sel baik pada lapisan dalam (blastocyst) maupun lapisan luar (trophoblast) dan
diakhiri dengan melekatnya zigot pada dinding rahim (Berk 2008).
pembentukan bilik pada jantung. Ukuran janin pada periode ini kurang lebih 2.5 cm
dan berat mencapai 4 gram (Berk 2008).
Periode fetus terjadi pada usia kehamilan 9 minggu sampai dengan kelahiran,
dibagi menjadi periode fetus dini yaitu sejak usia kehamilan 9 minggu sampai
trimester kedua, dimana terjadi proses percepatan pertumbuhan dan pembentukan
jasad manusia sempurna lengkap dengan sistem saraf, organ tubuh dan otot yang
terorganisir dan mulai berfungsi. Periode fetus lanjut terjadi pada trimester akhir
kehamilan ditandai dengan adanya pertumbuhan yang berlangsung cepat serta
perkembangan fungsi-fungsi otak dan organ tubuh. Pada akhir usia kehamilan
(minggu ke 38-40) panjang badan janin sekitar 50 cm dengan berat badan sekitar
3000-3400 gram (Santrock 2011).
18.5, KEK sedang bila IMT = 16.0-17.0, dan KEK berat bila IMT < 16.0. Selain
IMT, pertambahan berat badan selama kehamilan dapat digunakan sebagai
indikator status gizi ibu hamil. Pertambahan berat badan yang ideal selama
kehamilan bervariasi tergantung pada status gizi ibu sebelum atau pada awal
kehamilan. Ibu hamil dengan IMT rendah (< 18.5) memerlukan pertambahan berat
badan lebih besar dibandingkan ibu hamil dengan IMT normal, hal ini disebabkan
ibu hamil dengan BMI rendah memerlukan sebagian pertambahan berat badan
untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya sendiri (Allen 2012) .
Kecepatan Pertambahan
IMT sebelum
Pertambahan Berat Badan pada
Kategori hamil (kg/
Berat Badan (kg) Trimester Kedua dan
m2 )
Ketiga (kg/minggu)
Underweight <18.5 12.5 - 18 0.51 (0.44 – 0.58)
Normal
18.5 - 24.9 11.5 – 16 0.42 (0.35 – 0.50)
Weight
Overweight 25.0 - 29.9 7 – 11.5 0.28 (0.23 – 0.33)
Obese >30.0 5-9 0.22 (0.17 – 0.27)
Sumber : (IOM 2009)
Status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan faktor yang banyak
berperan pada status gizi anak yang dilahirkan. Penelitian kohor pada 1.065 ibu
hamil trimester ketiga dan ditindaklanjuti sampai bayi berusia 1 tahun di Etiopia,
menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah, status gizi ibu yang buruk, fasilitas
sanitasi rumah tangga miskin dan tinggal di daerah pedesaan merupakan prediktor
yang signifikan terhadap gizi kurang pada anak usia 6 bulan dan 1 tahun dilihat dari
berat badan dan tinggi badan (Medhin et al. 2010).
Di Indonesia penelitian serupa dilakukan oleh Hidayati dan Talahatu.
Penelitian Hidayati et al. (2005) di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa ibu
hamil yang menderita KEK dan anemia mempunyai peluang melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) 5.5 kali lebih besar dibandingkan dengan
ibu dengan status gizi normal. Hasil senada ditemukan juga pada penelitian
Talahatu et al. (2006) di Kota Ambon, dimana pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh
IMT ibu sebelum hamil, pertambahan BB selama kehamilan, status anemia dan
ukuran lingkar lengan atas. Di Bogor Jawa Barat, penelitian Yongki (2007)
menunjukkan bahwa berat lahir bayi dipengaruhi oleh usia kehamilan, pertambahan
BB, TB dan IMT ibu awal kehamilan, dan skor pengetahuan gizi ibu di akhir
kehamilan, sedangkan panjang lahir bayi dipengaruhi oleh usia kehamilan, TB ibu,
pertambahan BB selama kehamilan, dan IMT ibu pada awal kehamilan.
Selain ukuran antropometri, status gizi ibu secara biokimia, berpengaruh
terhadap status gizi bayi yang dilahirkan. Penelitian Mohsen dan Wafay (2007)
menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kadar albumin dan fibronetin rendah
melahirkkn bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Hasil yang sama
ditunjukkan oleh Yin Shu et al. (2013), kadar albumin serum ibu hamil memiliki
korelasi positif dengan berat dan panjang badan bayi yang dilahirkan. Albumin
12
merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam menentukan status protein
dalam tubuh.
Tabel 3 Hubungan Status Gizi Ibu Hamil dan Status Gizi Bayi yang Dilahirkan
Peneliti (Tahun)
Metode Hasil
Tempat
Medhin et al. Disain : Kohor Jenis kelamin laki-laki, BBLR,
(2010) Sampel : 1065 ibu status gizi kurang pada ibu hamil,
Ethiopia hamil trimester 3 fasilitas sanitasi rumah jelek, dan
diikuti sampai anak tinggal di pedesaan merupakan
berusia 1 tahun predictor gizi kurang pada bayi
usia 6 bulan (OR=2.00) dan bayi
usia 12 bulan (OR=2.08).
Hidayati et al. Disain : nested case Ibu KEK memiliki risiko 4.71
(2005) control kali melahirkan bayi BBLR
Nusa Tenggara Sampel : 126 bayi Ibu anemia memiliki resiko 3.70
Barat BBLR dan 252 bayi kali melahirkan bayi BBLR
non BBLR Ibu KEK dan anemia memiliki
risiko 5.5 kali melahirkan bayi
BBLR
Talahatu (2006) Disain : cross Faktor yang mempengaruhi
Kota Ambon sectional berat badan bayi lahir adalah
Sampel : 200 ibu IMT ibu sebelum hamil,
nifas (18-35 tahun) pertambahan BB selama
kehamilan, status anemia &
LILA (R2 = 0.734).
Yongky (2007) Disain : Kohor BB ibu selama kehamilan
Jakarta dan Sampel : 638 ibu dipengaruhi oleh status sosial
Bogor hamil 8 minggu ekonomi, TB ibu awal
diikuti sampai kehamilan & usia kehamilan (R2
melahirkan = 0.23).
Berat lahir bayi dipengaruhi
oleh usia kehamilan ibu,
pertambahan BB ibu, TB ibu
awal kehamilan, IMT ibu awal
dan skor pengetahuan gizi ibu di
akhir kehamilan (R2 = 0.25).
Panjang lahir bayi dipengaruhi
oleh usia kehamilan ibu, TB ibu
awal kehamilan (cm),
pertambahan BB ibu dan IMT
ibu hamil awal kehamilan (R2 =
0.19).
13
Anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah
merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari kekurangan salah satu atau
beberapa unsur makanan yang esensial dalam pembentukan sel darah merah, yang
mengakibatkan pasokan oksigen di dalam tubuh menjadi terhambat. Anemia
defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi yang ditemukan pada ibu hamil
seiring meningkatnya kebutuhan zat besi untuk memenuhi kebutuhan ibu, janin dan
persiapan proses persalinan, serta dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pertumbuhan janin dalam kandungan (Intra Uterine Growth Retardation/IUGR).
Anemia yang terjadi pada awal kehamilan meningkatkan risiko kelahiran prematur
dan berat badan lahir rendah sebesar tiga kali lipat. Sedangkan anemia yang terjadi
sepanjang periode kehamilan berhubungan dengan rendahnya skor kecerdasan,
kemampuan bahasa dan motorik pada anak usia 5 tahun. Hal ini disebabkan
terjadinya penurunan transport oksigen pada plasenta dan fetus, meningkatnya
risiko terkena infeksi serta terganggunya fungsi neurotransmitter dan pembentukan
impuls saraf janin pada ibu penderita anemia defisiensi besi (Brown 2005).
Penetapan status anemia pada kehamilan dapat dilakukan dengan pengukuran kadar
hemoglobin dan serum ferritin. Anemia ditemukan bila kadar hemoglobin < 11.0
g/dL pada kehamilan trimester pertama dan ketiga atau hemoglobin < 10.5 g/dL
pada kehamilan trimester kedua. Bila berdasarkan kadar serum ferritin, anemia
ditegakkan bila serum ferritin < 15 ng/mL (Gibson 2005).
Selain anemia, kekurangan zat gizi mikro yang banyak terjadi pada ibu hamil
adalah kekurangan seng dan vitamin A. Kekurangan seng (Zn) pada ibu hamil dapat
mengakibatkan hambatan pertumbuhan janin, hal ini terjadi karena menurunnya
transportasi seng pada plasenta dan mempengaruhi pasokan seng untuk janin.
Konsentrasi seng yang rendah dalam plasma darah, juga mempengaruhi sirkulasi
dari sejumlah hormon yang terkait dengan proses kehamilan, menurunkan fungsi
kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi sistemik dan
intra-uterus (Hill 2013). Kekurangan seng dalam tubuh ditegakkan bila kadar seng
dalam plasma < 0.7 mg/L (Gibson 2005).
Penelitian eksperimental pemberian zat mikro selama kehamilan memberikan
bukti bahwa zat tersebut banyak berkontribusi dalam pertumbuhan janin dan bayi.
Pemberian biskuit multigizi pada ibu hamil sejak usia kehamilan 4-6 bulan sampai
saat menjelang persalinan mempengaruhi pertumbuhan linier (panjang badan dan
indeks ponderal) bayi saat dilahirkan sampai dengan usia 6 bulan (Herawati 2003).
Intervensi pangan berfortifikasi vitamin A, asam folat, vitamin C, zat besi, seng,
dan Iodium dalam bentuk susu, biscuit dan bihun pada ibu hamil terbukti dapat
mempertahankan kadar hemoglobin, menurunkan prevalensi anemia dan
kekurangan vitamin A, meningkatkan berat badan lahir bayi, meningkatkan
pertumbuhan linier dilihat dari panjang badan saat bayi berusia 6 bulan dan
pertambahan panjang badan bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (Prihananto 2007;
Saragih et al. 2007).
Vitamin A mengatur diferensiasi sel primitif menjadi sel-sel spesifik untuk
setiap sistem organ, kekurangan vitamin A pada periode ini mengakibatkan organ-
organ tidak berkembang dengan normal. Organ utama terpengaruh dari kekurangan
vitamin A adalah jantung , saraf pusat, peredaran darah , urogenital dan sistem
pernapasan, pengembangan tengkorak , kerangka dan anggota badan . Menurut Zile
dalam (Enig 2010), defisiensi vitamin A bahkan mempengaruhi pengembangan
14
sistem saraf pusat, memainkan peran kunci dalam pengembangan sistem visual
retina, telinga bagian dalam, saraf tulang belakang, daerah kraniofasial termasuk
faring, lengkungan branchial dan timus, kelenjar tiroid dan paratiroid. Berdasarkan
kadar serum retinol dalam darah, WHO menetapkan defisiensi vitamin A tingkat
sedang bila kadar serum retinol dalam darah 10-19.9 µg/dL, dan defisiensi vitamin
A tingkat berat bila kadar serum retinol dalam darah < 10 µg/dL (WHO 1996).
Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Herawati Disain : Randomized Pertumbuhan linier (PB/U) bayi
(2003) Control Trial 0-6 bulan dipengaruhi oleh selisih
Bogor Sampel : 170 ibu Z skor BB/U dan biskuit dengan
hamil Intervensi : vitamin A, asam folat, Fe, seng
Biskuit multigizi dan Iodium.
3X/minggu sejak Indeks ponderal bayi dipengaruhi
hamil 4-6 bulan oleh biskuit dengan vitamin A,
sampai menjelang asam folat, Fe, seng dan Iodium,
persalinan berat badan lahir dan selisih Z
skor BB/U
Prihananto Disain : Randomized Persentase berat badan lahir bayi
(2007) Control Trial >2.5 kg adalah 100% pada
Sampel : 210 ibu kelompok pangan fortifikasi,
hamil Intervensi : 94.7% pada kelompok pangan
Pangan fortifikasi Vit unfortifikasi dan 96.4% pada
A, asam folat, Vit C, kelompok control
Fe, Zn, dan Iodium
(susu, biskuit, bihun)
Saragih et al. Disain : Randomized Pertumbuhan linier (PB) bayi 0-
(2007) Control Trial 6 bulan lebih besar ditemukan
Bogor Sampel : 120 ibu pada kelompok pangan fortifikasi
hamil Intervensi : dibandingkan kelompok pangan
Pangan fortifikasi Vit unfortifikasi (2.18 cm) dan
A, asam folat, Vit C, kelompok control (1.53 cm).
Fe, Zn, dan Iodium Pertumbuhan linier (PB/U) pada
(susu, biskuit, bihun) bayi usia 6 bulan pada kelompok
pangan fortifikasi lebih baik
dibandingkan kelompok pangan
unfortifikasi dan kelompok
kontrol.
15
Pertumbuhan otak
Otak terdiri dari sejumlah neuron atau sel saraf yang berfungsi untuk
menerima dan mengirim informasi, antara neuron dihubungkan dengan sinaps. Tiap
bagian neuron tersusun atas: (1) badan neuron dengan nucleus sebagai pusat
bekerjanya otak, (2) akson yang berfungsi untuk mengirimkan pesan dari badan
neuron yang satu ke yang lain, atau dari neuron ke otot dan jaringan, (3) dendrit
sebagai penerima pesan dari sel lain dan (4) myelin sheath yang berfungsi sebagai
pelindung dan membantu mempercepat implus saraf (Berk 2008).
badan neuron
sinaps
nukleus
akson dendrit dari
tips neuron
sesudahnya
sinaps sinyal
elektrik
dendrit
Sumber : Berk 2008
Gambar 2 Bagian-bagian Sel Saraf
periode ini membutuhkan zat gizi yang cukup, apabila pada usia tersebut anak
mengalami kekurangan gizi maka pertumbuhan otak akan terganggu.
Perkembangan perilaku juga tergantung pada waktu namun lebih bervariasi
dibandingkan pertumbuhan otak. Gangguan pertumbuhan otak dapat berpengaruh
terhadap perkembangan perilaku seorang anak, sehingga penting bagi orang tua
untuk memenuhi kebutuhan gizi anak pada usia 3 tahun dimana terjadi
pertumbuhan otak (Papalia, Feldman dan Martorell 2014 dan Morgan 1990).
Menurut Prado dan Dewey (2014) serta Thompson dan Nelson (2001),
perkembangan sistem saraf pusat pada manusia dimulai sejak dalam embrio dan
berlanjut selama beberapa tahun kehidupan setelah lahir. Proses perkembangan
saraf dibagi menjadi beberapa tahap (Gambar 3), yaitu:
1. Proliferasi neuron, yaitu proses pembentukan sel-sel neuron baru melalui
pembelahan sel, dimulai pada minggu ketujuh kehamilan dan terus berlanjut
sampai usia 4.5 bulan setelah lahir, tetapi beberapa neuron dapat terus
dibuat pada usia dewasa.
2. Akson dan dendrit, merupakan cabang yang tumbuh keluar dari badan sel
neuron sebagai penghubung dengan sel-sel lain. Pertumbuhan akson
berakhir pada minggu ke-15 sampai minggu ke-32 kehamilan, sedangkan
pertumbuhan dendrit dimulai pada minggu ke-15 kehamilan sampai usia 2
tahun setelah lahir.
3. Sinaps merupakan penghubung antara neuron yang satu dengan yang lain,
pembentukan sinaps dimulai selama kehamilan (sekitar minggu ke-23) dan
terus berlangsung selama kehidupan. Puncak kepadatan sinaps terjadi pada
waktu yang berbeda antara bagian otak yang satu dengan yang lain. Pada
18
bagian korteks visual dan auditory terjadi saat bayi usia 4 - 12 bulan, bagian
bahasa reseptif dan produksi kata-kata (usia 7-12 bulan) dan bagian korteks
prefrontal yang menentukan fungsi kognitif (1-6 tahun). Penurunan
kepadatan sinaps mencerminkan pemangkasan sinaps.
4. Myelin merupakan selaput putih berbahan dasar lemak, berfungsi
melindungi akson dan mempercepat penerimaan impuls saraf. Mielinisasi
dimulai sejak dini yaitu usia 12-14 minggu kehamilan di sumsum tulang
belakang dan berlanjut sampai dewasa. Periode paling signifikan mielinisasi
terjadi pada pertengahan usia kehamilan sampai usia 2 tahun. Sebelum lahir,
mielinisasi terjadi di bagian otak yang terlibat dalam orientasi dan
keseimbangan, setelah lahir, mielinisasi pada daerah yang terlibat dalam
penglihatan dan pendengaran dan dilanjutkan dengan mielinisasi pada
daerah yang mendasari kemampuan bahasa.
5. Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram, melalui berbagai
mekanisme. Neuron apoptosis bertepatan dengan periode sinaptogenesis,
dimulai selama kehamilan dan terus berlanjut sampai remaja.
Saat lahir, ukuran otak lebih mendekati ukuran otak dewasa dibandingkan
struktur fisik lainnya dan terus berkembang sampai usia bayi dan balita. Kandungan
myelin pada otak bayi baru lahir relatif rendah, peningkatan utama selubung myelin
lipid terjadi selama dua tahun pertama kehidupan. Ada hubungan yang positif
antara kemampuan bahasa dan tonggak pengembangan myelin, artinya semakin
banyak myelin, kemampuan bahasa anak tersebut semakin meningkat (Berk 2008).
Para ilmuwan sepakat bahwa perkembangan manusia dibentuk oleh dua
faktor, yaitu alami (biologi) dan pengasuhan (pengalaman). Hasil-hasil penelitian
membuktikan bahwa interaksi alam dan pengasuhan memiliki pengaruh terbesar
pada perkembangan awal, dan memiliki efek jangka panjang pada setiap domain
perkembangan sepanjang masa. Secara alamiah, gen mengarahkan pertumbuhan
neuron, akson dan dendrit ke lokasi yang benar, tetapi pada saat serat ini
dihubungkan secara bersamaan dan berfungsi, pengalaman mengambil alih peran
gen dan membentuk kembali serta menyempurnakan sambungan tersebut.
Lingkungan akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan otak baik secara
struktural maupun fungsinya. Karena lingkungan pengasuhan merupakan faktor
penting pada perkembangan bayi/balita, penting bagi seorang ibu untuk menyadari
tanggung jawab mereka untuk memelihara perkembangan dan pembelajaran bayi
dan balita. Pengasuhan perkembangan bayi / balita dapat terjadi dalam berbagai
cara, antara lain: hubungan yang hangat dan responsive. Penyediaan lingkungan
yang sehat dan aman, kemampuan pengasuhan (USDHHS 2010).
Pertumbuhan sistem saraf secara detil ditampilkan pada ambar 4. Sistem saraf
sensorik seperti penglihatan dan pendengaran merupakan sistem yang pertama
berkembang, mulai dari masa kehamilan sampai usia 2 tahun. Perkembangan ini
secara simultan juga terjadi pada sistem saraf motorik dan berlanjut sampai usia 5
tahun. Sistem saraf integratif merupakan sistem saraf yang terakhir berkembang,
yaitu dimulai pada tahun pertama kehidupan dan berlanjut sampai usia dewasa awal
(Morgan 1990).
Sistem saraf memerlukan stimulasi atau rangsangan selama proses
perkembangannya agar menjadi berfungsi dengan baik dan maksimal. Stimulasi
19
SISTEM SENSORIK
SISTEM MOTORIK
SISTEM INTEGRASI
faktor psikososial, pola asuh dan adat istiadat dimana anak tersebut tinggal
(Tanuwidjaya 2008).
Tabel 5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak
Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Espo et al. Disain : Kohor Prediktor tejadinya severe stunting :
(2002) Sampel : 613 bayi Wasting (Z skor BB/TB <-1) pada
Malawi baru lahir diikuti usia 3 bulan (aOR = 3.00)
sampai anak berusia Pola penyapihan tidak tepat (aOR =
1 tahun 2.20)
TB ibu < 150 cm (aOR = 1.9)
Jenis kelamin laki-laki (aOR = 1.7)
Schmidt et al . Disain : Kohor Gangguan pertumbuhan mulai
(2002) Sampel : 366 ibu terjadi pada usia 6-7 bulan, terlihat
Bogor hamil 18 minggu dari meningkatnya status wasting
diikuti sampai anak dan stunting
berusia 15 bulan Berat dan panjang lahir merupakan
prediktor positif terhadap berat
dan panjang anak usia 15 bulan
Meirita et al. Disain : Cross Anak dengan KEP berat umumnya
(2000) Sectional telah diberi makanan tambahan
Bogor Sampel : 42 anak sebelum usia 4 bulan, tidak punya
usia 13-60 bulan jadwal makan, tidak ada interaksi
antara ibu dan anak saat pemberian
makan
Terdapat korelasi positif antara
kualitas waktu pengasuhan untuk
makan dengan status gizi balita
(r=0.284).
Status gizi bayi saat dilahirkan, dilihat dari berat badan maupun panjang
badan lahir merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bayi dan anak. Penelitian
kohor berbasis masyarakat pada anak usia 1 tahun di daerah pedesaan Malawi,
membuktikan bahwa ibu dengan tinggi badan < 150 cm, berat badan lahir,
pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat, angka kesakitan tinggi
merupakan faktor penyebab terjadinya stunting pada usia 1 tahun (Espo et al. 2002).
Hasil penelitian Schmidt dan kawan-kawan tahun 2002 di Bogor Jawa Barat,
menunjukkan berat badan dan tinggi badan lahir merupakan prediktor kuat pada
status gizi dan pertumbuhan linier bayi sampai usia 15 bulan, berarti status gizi dan
asupan zat gizi yang baik saat menjelang dan selama kehamilan berpengaruh
terhadap status gizi dan pertumbuhan selama masa bayi (Schmidt et al, 2002).
Pola asuh merupakan faktor yang berperan dalam pertumbuhan balita, hal ini
sesuai dengan penelitian Meirita dan kawan-kawan di Bogor pada anak usia 13-60
bulan, dimana terdapat korelasi positif antara kualitas waktu pengasuhan untuk
makan dengan status gizi balita. Anak dengan KEP berat umumnya telah diberi
21
makanan tambahan sebelum usia 4 bulan, tidak mempunyai jadwal makan, tidak
ada interaksi antara ibu dan anak saat pemberian makan, sebaliknya anak yang
berstatus gizi baik adalah anak yang diberi kolostrum dan ketika anak makan ibu
bercerita atau bercanda dengan anak (Meirita et al. 2000).
Perkembangan adalah perubahan fisik dan psikis pada anak yang terjadi pada
fase tertentu sebagai hasil dari proses pematangan yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, pengalaman dan proses belajar. Perkembangan mencakup berbagai
aspek antara lain perkembangan kecerdasan (kognitif), perkembangan motorik,
perkembangan bahasa, dan perkembangan sosioemosional. Pencapaian dari
berbagai proses perkembangan, misalnya: perkembangan motorik halus dan kasar,
perkembangan individu dan sosial, serta perkembangan bahasa terjadi secara
bersamaan dan tidak dapat dipisahkan. Dengan bertambahnya usia anak,
pertumbuhan dan pematangan kognitif terjadi, mengakibatkan anak memiliki
kemampuan fungsi kognitif yang semakin kompleks. Pencapaian berbagai
perkembangan dan fungsi kecerdasan terjadi secara bertahap, hal ini menunjukkan
bahwa proses pematangan neuron (neuromaturational) terjadi di Sistem Saraf Pusat
(SSP) terutama pada bagian korteks (Papalia, Feldman dan Martorell 2014).
Perkembangan kognitif merupakan perkembangan yang berhubungan dengan
kemampuan berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan, kecerdasan
dan bakat. Perkembangan kognitif mempunyai lingkup yang luas mencakup
kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengatasi masalah dalam
kehidupan sehari-hari, kemampuan mengingat, konsentrasi, perhatian dan persepsi
serta kemampuan imajinasi dan kreativitas. Pembentukan kognitif pada anak terjadi
secara bertahap dimulai sejak dalam kandungan sampai usia balita, dilanjutkan
dengan proses pematangan fungsi fisiologis. Seorang anak dapat melakukan
koordinasi gerak tangan kaki maupun kepala setelah saraf maupun otot organ
tersebut telah berkembang dengan metang. Banyak faktor yang mempengaruhi
kecerdasan baik secara alami yang diturunkan dari orang tua, yang diperoleh dari
proses belajar ataupun distimulasi oleh lingkungan (Yuniarti 2015).
Perkembangan kognitif pada bayi merupakan area yang paling sulit untuk
dinilai atau diukur, hal ini disebabkan karena dua alasan berikut:
1. Indikasi adanya kecerdasan pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak
dapat ditemukan pada bayi seperti memori verbal, kemampuan pemecahan
masalah, dan kemampuan mengingat dan memproses informasi dengan
cepat
2. Kemampuan kognitif harus disimpulkan dengan melalui serangkaian
pengamatan yang intensif.
Kemampuan berbahasa merupakan aspek penting dari perkembangan
kognitif, namun demikian kemampuan bahasa adalah tindakan sosial, sehingga
tidak hanya kapasitas kognitif yang berperan tetapi perlu adanya interaksi dengan
lingkungan. Anak yang tumbuh tanpa kontak sosial akan mengalami keterlambatan
perkembangan bahasa. Sampai usia 3 tahun, otak mengalami proses pengembangan
22
dan pematangan, masa ini merupakan periode paling penting untuk memperoleh
kemampuan berbicara dan bahasa. Jika periode kritis terlewati tanpa paparan
bahasa, maka anak akan lebih sulit untuk belajar. Anak-anak memiliki
perkembangan bicara dan kemampuan bahasa yang bervariasi, namun mereka
mengikuti perkembangan alami sesuai pola penguasaan keterampilan bahasa.
Perkembangan normal berbicara dan kemampuan bahasa pada anak-anak dimulai
sejak lahir sampai usia 5 tahun, maka jika seorang anak mengalami keterlambatan
kemampuan bahasa dapat disebabkan adanya gangguan pendengaran atau adanya
gangguan pada fungsi kognitif atau sebagai prediktor keterbelakangan intelektual.
Keterlambatan ini dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam belajar dan dapat
terus berlanjut selama bertahun-tahun di usia sekolah (Papalia, Feldman dan
Martorell 2014).
Perkembangan motorik merupakan kemampuan pengendalian gerakan-
gerakan tubuh secara terkoordinasi antara saraf pusat, urat saraf dan otot.
Keterampilan motorik anak meliputi motorik kasar yaitu kemampuan melakukan
gerakan-gerakan yang melibatkan bagian atau otot besar dari tubuh seperti berjalan,
duduk, berlari atau melompat. Sedangkan motorik halus adalah kemampuan
melakukan gerakan yang melibatkan otot-otot kecil seperti memegang, meraih,
menulis atau melempar (Yuniarti 2015).
Perkembangan tidak hanya terjadi pada sebuah kontinum tetapi juga
terintegrasi di seluruh domain. Sebagai contoh, perkembangan bahasa
membutuhkan keterampilan kognitif utuh untuk membangun kerangka kerja
konseptual dan pembangunan fisik untuk mengkoordinasikan respon oral-motor
yang diperlukan. Bahasa juga sangat bergantung pada interaksi sosial - hubungan
yang bermakna dan mencakup pertukaran bahasa secara signifikan. Demikian pula
saat anak mengembangkan kemampuan motorik berdampak pada perkembangan
lainnya misalnya bahasa, dan kemampuan sosial (US Department of Health &
Human Services 2010).
Meskipun anak mengembangkan bahasa dengan caranya sendiri, ada pola
tertentu dalam perkembangan bahasa yang terkait dengan pertumbuhan motorik.
Pada usia sekitar 6 bulan, anak mulai duduk sendiri, dan peningkatan kemampuan
mengoceh (prespeech) terjadi. Memasuki usia 1 tahun, anak bisa berdiri dan mulai
berjalan, sedangkan dari kemampuan bahasa, anak sudah mulai dapat mengucapkan
kata-kata yang mengandung arti. Pada usia 18 bulan, anak bisa berjalan dengan
lancar serta mengucapkan satu atau dua kata dan saat mendekati usia 2 tahun anak
sudah dapat berlari dan mengucapkan sekitar 20 buah kata (Papalia, Feldman dan
Martorell 2014).
Tes perkembangan
Ada beberapa test untuk mengukur perkembangan pada bayi dan anak yang
telah dikembangkan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Bayley Scale of Infant and Toddler Development
Tes yang paling sering digunakan untuk perkembangan bayi usia 1 bulan
sampai anak usia 3.5 tahun adalah Bayley Scale. Alat ini dikembangkan oleh
Nancy Bayley tahun 1933 dan berkembang lagi termasuk langkah-langkah
23
Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Moura et al. Disain : Kohor Keterlambatan perkembangan anak
(2010) Sampel : 3869 ibu hamil
usia 2 tahun dipengaruhi oleh:
Brazil diikuti sampai anak Sosiodemografi : pendidikan ibu
berusia 2 tahun Reproduksi ibu : jarak kelahiran
Test : Battelle Screening
dan pemeriksaan kehamilan
Kehamilan : diabetes kehamilan
Development Inventory
Kondisi bayi lahir : lahir
premature, BBLR, dan nilai
APGAR
Gizi dan penyakit : riwayat rawat
inap di RS, dan keterlambatan
perkembangan pada usia 1 tahun
Stimulasi : ketersediaan buku anak
dan kebiasaan bercerita pada anak
Gage et al. Disain : Kohor Bayi yang dilahirkan dari ibu
(2013) Sampel : 5832 anak usia dengan pertambahan BB kehamilan
United 4 tahun, 5191 anak usia dibawah standar memiliki rata-rata
Kingdom 8 tahun, 7339 anak usia skor tes awal masuk sekolah dan
16 tahun pencapaian hasil ujian akhir yang
Test : School Entry rendah
Assessment Skor, Pertambahan BB awal kehamilan
Wechsler Intelligence (18 minggu) berhubungan dengan
Scale for Children dan skor tes awal masuk sekolah dan
School Final IQ.
Examination Results Pertambahan BB akhir kehamilan
(28-28 minggu) berhubungan
dengan IQ dan hasil ujian akhir.
Drewett et al. Disain : Nested case Anak yang mengalami kekurangan
(2001) control gizi (BB/U) pada usia 4 bulan maupun
Etiopia Sampel : 197 anak usia 1 tahun memiliki rata-rata skor
2 tahun perkembangan psikomotor dan mental
Test : Bayley Scales of lebih rendah dibandingkan dengan
Infant Development II anak seusianya yang tidak mengalami
kekurangan gizi.
Eickmann et Disain : Kohor Pemberian ASI eksklusif selama 1
al. (2007) Sampel : 191 bayi bulan berhubungan dengan
Brazil diikuti sampai usia 12 perkembangan perilaku dan mental
bulan anak usia 1 tahun yang lebih baik
Test : Bayley Scales of dibandingkan dengan anak yang tidak
Infant Development II ASI eksklusif
25
Peru dan Vietnam, menunjukkan bahwa kemampuan kognitif anak saat masuk
sekolah dipengaruhi oleh kondisi stunting pada usia 6-18 bulan dan pengaruh lebih
kuat oleh kondisi stunting pada usia 4.5-6 tahun.
Peneliti
(Tahun) Metode Hasil
Tempat
Durán et Disain : Double blind Pemberian suplemen Zn tidak
al. (2001) trial berpengaruh terhadap berat dan panjang
Chili Sampel : 150 bayi usia badan bayi usia 12 bulan
5-12 bulan Proporsi gangguan perkembangan
Intervensi : Suplement mental dan motorik pada kelompok
Zn selama 7 bulan yang mendapat suplemen Zn lebih
Test : BSID II rendah dibandingkan kelompok plasebo
Black et Disain : Double blind Pemberian Fe dan Zn secara bersamaan
al. (2004) trial dengan mikronutrien lainnya
Banglade Sampel : 221 bayi (6- berpengaruh tehadap perkembangan
sh 12 bulan) motorik bayi
Intervensi : Suplement Pemberian Fe dan Zn secara terpisah
Fe, Zn, vit B2 selama 6 berpengaruh tehadap perkembangan
bulan orientasi
Test : BSID II
Herawati Disain : Randomized Perkembangan mental bayi usia 6
(2003) Control Trial bulan dipengaruhi oleh pemberian
Bogor Sampel : 170 ibu hamil ASI ekslusif, pengasuhan, dan
Intervensi : Biscuit biscuit dengan vitamin A, asam
multigizi 3X/minggu folat, Fe, seng dan Iodium
sejak hamil 4-6 bulan Perkembangan motorik bayi usia 6
sampai menjelang bulan dipengaruhi oleh pemberian
persalinan ASI eksklusif, biscuit dengan
vitamin A, asam folat, Fe, seng dan
Iodium, berat badan lahir dan selisih
Z skor TB/U
27
Pemberian supplemen seng selama 7 bulan pada 150 bayi usia 5 bulan di
Chili, walaupun tidak berpengaruh terhadap berat dan panjang badan, namun dapat
mempengaruhi perkembangan mental dan motorik bayi usia 12 bulan, hal ini
terlihat dari rendahnya proporsi gangguan perkembangan mental dan motorik pada
kelompok yang mendapat suplemen seng dibandingkan kelompok placebo (Durán
et al. 2001). Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Black pada 221 bayi usia
6-12 bulan, pemberian zat besi dan seng secara terpisah maupun bersamaan dapat
mempengaruhi perkembangan mental dan motorik anak usia 12 bulan (Black et al.
2004; Durán et al. 2001). Penelitian Herawati di Indonesia berupa pemberian
biscuit multigizi pada ibu hamil sejak usia kehamilan 4-6 bulan sampai saat
menjelang persalinan tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan linier, tetapi juga
berpengaruh terhadap perkembangan mental dan motorik bayi usia 6 bulan
(Herawati 2003).
Kerangka Teoritis
Kondisi janin:
Penurunan transfer zat gizi Infeksi janin
dan hormon dari ibu ke janin Cacat bawaan
Kehamilan kembar
Gangguan pertumbuhan
linier anak
Perkembangan kognitif
anak terhambat
Angka kesakitan
Kerangka Operasional
Berdasarkan kerangka teoritis pada Gambar 5, maka ditetapkan status gizi ibu
hamil baik makro maupun mikro, asupan energi dan protein ibu hamil sebagai
variabel yang mempengaruhi gangguan panjang badan bayi saat dilahirkan. Adanya
gangguan panjang badan saat bayi lahir, morbiditas atau kejadian sakit dan
pemberian ASI merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap pola
pertumbuhan linier anak usia 3 tahun dan selanjutnya dengan adanya pola asuh
psikososial berpengaruh pula perkembangan kognitif anak usia 3 tahun.
Pola konsumsi
Pemberian ASI Panjang Lahir
Asupan Energi Rendah
dan Protein
Pertumbuhan Linier
Anak usia 3 tahun
Morbiditas
Disain
Populasi penelitian adalah bayi yang dilahirkan dari ibu hamil yang menjadi
subjek pada penelitian induk. Besar subjek penelitian dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Sastroasmoro dan Ismail 2000).
Perhitungan besar subjek penelitian dilakukan dengan rumus kasus kontrol
(untuk melihat kekurangan gizi makro dan mikro pada ibu hamil sebagai faktor
risiko gangguan pertumbuhan janin) dan kohor (untuk melihat pengaruh gangguan
pertumbuhan janin terhadap pertumbuhan linier dan perkembangan anak). Jumlah
subjek penelitian yang diambil adalah jumlah terbesar dari perhitungan tersebut.
Studi Kasus Kontrol
n1 n 2
Z 2 PQ Z p 0 q 0 p1 q1
2
p 0 p1 2
Keterangan :
n = Jumlah subjek penelitian yang dibutuhkan
Z1-α = Derajat kepercayaan yaitu 95% (two tailed) = 1.96
Z1-β = Kekuatan uji yaitu 90% = 1.28
31
Studi Kohor
n1 n 2
Z 2 PQ Z p1 q1 p 2 q 2
2
p1 p2
2
Keterangan :
n = Jumlah subjek penelitian yang dibutuhkan
Z1-α = Derajat kepercayaan yaitu 95% (two tailed) = 1.96
Z1-β = Kekuatan uji yaitu 90% = 1.28
P2 = Proporsi balita yang mengalami perkembangan terhambat 20.0%
(Salimar 2010)
RR = Risiko relatif perkembangan terhambat pada anak stunting
sebesar 2.00 (estimasi)
Dari perhitungan di atas, diperoleh subjek penelitian minimal pada studi kasus
kontrol sebesar 30 orang dan pada studi kohor sebesar 55 orang. Dalam penelitian
ini perbandingan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 1:3, maka
jumlah subjek penelitian untuk tiap kelompok dihitung dengan rumus:
Maka jumlah subjek penelitian minimal untuk kelompok kasus adalah 37 bayi yang
mengalami gangguan pertumbuhan saat janin dan 111 bayi yang tidak mengalami
gangguan pertumbuhan saat janin.
Subjek penelitian pada kelompok kasus adalah bayi dengan panjang lahir
rendah, kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Lahir cukup bulan (usia kehamilan 36-40 minggu)
2. Z skor Panjang Badan Lahir < -1 SD
Sedangkan subjek penelitian pada kelompok kontrol adalah bayi dengan panjang
lahir normal, kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Lahir cukup bulan (usia kehamilan 36-40 minggu)
2. Z skor Panjang Badan Lahir > -1 SD
3. Bertempat tinggal pada wilayah kerja Puskesmas yang sama dengan
kasus.
Kriteria eksklusi untuk kelompok kasus maupun kontrol, yaitu:
1. Bayi lahir kembar
2. Bayi yang dilahirkan dari ibu hamil yang memiliki kebiasaan merokok
atau minum minuman beralkohol
3. Bayi yang dilahirkan dari ibu hamil yang menderita penyakit diabetes
mellitus, hipertensi atau penyakit kronis lainnya
32
251 bayi
(data lengkap dan valid)
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder, data primer
adalah data yang dikumpulkan langsung pada saat anak berusia 3 tahun, sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian induk, yaitu Studi
Longitudinal Faktor Risiko Terjadinya stunting pada Anak Baduta (Bawah Dua
Tahun), yang dilaksanakan oleh Pusat Teknologi Terapan Kesehatan Epidemiologi
Klinik (PT2KEK) Badan Litbangkes Kemenkes RI (Ernawati et al. 2012), dengan
beberapa pengolahan kembali disesuaikan dengan tujuan penelitian. Jenis dan cara
pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 8.
33
Waktu
Jenis Data Peubah Cara Pengumpulan
Pengumpulan
Status gizi Tinggi Badan Tinggi badan diukur Data sekunder
makro ibu Ibu menggunakan alat ukur Awal
hamil IMT awal microtoice (ketelitian 0.1 kehamilan
kehamilan cm)
Pertambahan Berat badan diukur Awal
BB ibu selama menggunakan timbangan kehamilan
kehamilan digital (ketelitian 0.1 kg) dan setiap
Kadar protein Kadar protein dan bulan
dalam darah albumin dalam darah Trimester 2
Kadar albumin diukur menggunakan dan 3
dalam darah metode enzimatik
Status gizi Kadar Kadar Hemoglobin darah Data sekunder
mikro ibu hamil hemoglobin menggunakan metode Trimester 2
Kadar retinol Cyantmethemoglobin dan 3
serum Kadar retinol serum
Kadar seng menggunakan metode
serum HPLC
Kadar seng serum
menggunakan metode
AAS
Asupan gizi Asupan Energi Wawancara menggunakan Data sekunder
ibu hamil Asupan Protein metode Recall 1x24 jam Trimester 1, 2
dan 3
Panjang lahir Panjang bayi Panjang badan diukur Data sekunder
bayi saat dilahirkan dalam posisi berbaring Maksiml 24
lurus menggunakan papan jam setelah
ukur (ketelitian 0.1 cm) bayi dilahirkan
Pola ASI eksklusif Wawancara menggunakan Data sekunder
pemberian ASI Waktu kuesioner Setiap bulan
pemberian bayi usia 0-12
ASI bulan
Asupan gizi Asupan energi Wawancara menggunakan Data sekunder
bayi Asupan protein metode Recall 1x24 jam Setiap bulan
usia 0-12 bulan
Status gizi Hemoglobin Hemoglobin darah Data
mikro anak darah menggunakan metode sekunder
Kadar retinol Cyanthmethemoglobin Bayi usia 6
serum Kadar retinol serum diukur dan 12 bulan
Kadar seng menggunakan metode Data primer
serum HPLC Anak usia 3
Kadar seng serum diukur tahun
menggunakan metode
AAS
34
Pengolahan Data
Analisis Data
dimana :
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = Panjang lahir bayi
a = intercept
b1, b2, ...., b9 = slope
X1 = Pola konsumsi ibu (0=Baik, 1=Kurang)
X2 = Tinggi Badan ibu (0=Normal, 1=Pendek)
X3 = IMT awal kehamilan (0=Gizi Baik, 1=Gizi Kurang)
X4 = Pertambahan BB selama kehamilan (0=Sesuai, 1= Tidak Sesuai)
X5 = Status albumin darah ibu (0=Normal, 1=Rendah)
X6 = Status protein darah ibu (0=Normal, 1=Rendah)
X7 = Status hemoglobin darah ibu (0=Normal, 1=Anemia)
X8 = Status retinol serum (0=Normal, 1= Rendah)
X9 = Status seng serum (0=Normal, 1=Rendah)
dimana :
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = Pertumbuhan Linier anak usia 3 tahun
a = intercept
b1, b2, ...., b4 = slope
X1 = Pertumbuhan linear 0-1 tahun (0= normal, 1= pendek)
X2 = Pola penyakit (0=Jarang, 1=Sering)
X3 = Status seng serum anak (0=Normal, 1=Rendah)
X4 = Status retinol serum anak (0=Normal, 1=Rendah)
dimana :
𝑝
𝑙𝑛 (1−𝑝) = Perkembangan kognitif anak usia 3 tahun
a = intercept
b1, b2, ...., b6 = slope
X1 = Pertambahan panjang badan (0= sesuai standar, 1= tidak sesuai
standar)
X2 = Pola penyakit (0=Jarang, 1=Sering)
X3 = Status gizi ibu (0= Baik, 1= Kurang)
X4 = Pola asuh (0=Baik, 1=Kurang)
Definisi Operasional
Pola konsumsi ibu hamil adalah asupan energi dan protein yang dikonsumsi oleh
ibu hamil pada trimester pertama, kedua dan ketiga, dikumpulkan dengan
wawancara menggunakan metode Recall 1x24 jam
Panjang bayi lahir rendah adalah terjadinya hambatan pertumbuhan linear saat
janin berada dalam kandungan dilihat dari panjang badan bayi saat dilahirkan
dengan nilai Z skor < -1 SD.
Pola pemberian makanan bayi adalah pemberian ASI dan asupan energi dan
protein bayi sejak lahir sampai usia 12 bulan, diukur dengan wawancara dan
observasi langsung menggunakan kuesioner.
Morbiditas atau pola kejadian penyakit adalah jenis, dan rata-rata frekuensi sakit
dalam sebulan pada bayi sejak lahir sampai usia 12 bulan serta saat usia 3 tahun
diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner
Riwayat Tuberkulosis (TB) Paru pada anak adalah pernah atau tidak anak
didiagnosa atau memiliki tanda dan gejala TB Paru diperoleh dari wawancara,
pemeriksaan klinis dan atau test mantoux pada anak usia 3 tahun
Status gizi anak adalah kondisi yang menggambarkan keseimbangan antara asupan
vitamin dan mineral dari makanan dengan kebutuhan anak, dilihat secara biokimia
menggunakan kadar hemoglobin darah, kadar retinol dan seng serum.
Pola asuh psikososial adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu,
perhatian dan dukungan serta pemberian kasih sayang dan stimulasi terhadap anak
agar dapat berkembang dengan optimal. Pola asuh yang dilakukan oleh orangtua
diukur dengan menggunakan kusioner Home Observation for Measurement of the
Environment (HOME) Inventory untuk kelompok bayi/anak usia 3-5 tahun.
Pertumbuhan linier adalah perubahan pada jumlah dan ukuran sel dalam tubuh
manusia, dilihat berdasarkan pola pertumbuhan linier dan pencapaian pertumbuhan
linier anak
a. Pola pertumbuhan linier adalah proses pertambahan panjang badan bayi, yang
dimonitor setiap bulannya sejak lahir sampai usia 12 bulan dan saat anak
berusia 3 tahun dinilai berdasarkan growth rate dan digambarkan dalam
grafik pertumbuhan sejak lahir sampai usia 3 tahun, dibandingkan dengan
standar WHO.
b. Pencapaian pertumbuhan linier anak adalah panjang atau tinggi badan yang
dicapai pada usia tertentu diukur berdasarkan nilai Z-skor Panjang atau
Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U) untuk mengetahui normal
atau tidaknya status gizi anak.
Perkembangan Anak adalah kemampuan fungsi organ atau sel dalam tubuh
mengikuti suatu pola yang teratur akibat proses pematangan. Perkembangan anak
yang diukur meliputi fungsi kognitif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
motorik, kemampuan bahasa dan sosial emosional anak, menggunakan test Bayley
Scales of Infant Development (BSID) III.
4 STATUS GIZI IBU HAMIL SEBAGAI FAKTOR RISIKO
PANJANG BAYI LAHIR RENDAH
Pendahuluan
asupan zat gizi yang baik menjelang dan selama kehamilan berpengaruh terhadap
status gizi dan pertumbuhan selama masa bayi.
Selain ukuran antropometri, status gizi ibu secara biokimia, berpengaruh
terhadap status gizi bayi yang dilahirkan. Penelitian Mohsen dan Wafay (2007)
menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kadar albumin dan fibronetin rendah
melahirkkn bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Hasil yang sama
ditunjukkan oleh Yin Shu et al. (2013), kadar albumin serum ibu hamil memiliki
korelasi positif dengan berat dan panjang badan bayi yang dilahirkan. Albumin
merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam menentukan status protein
dalam tubuh.
Pentingnya zat gizi mikro terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi
dibuktikan oleh peneliti terdahulu melalui pemberian pangan berupa susu, biskuit,
dan bihun yang difortifikasi vitamin A, asam folat, vitamin C, zat besi, seng, dan
iodium pada ibu hamil menunjukkan bahwa pertumbuhan linier (PB/U) bayi usia 6
bulan pada kelompok pangan fortifikasi lebih baik dibandingkan kelompok kontrol
(Saragih et al. 2007). Selain itu juga vitamin D, dan vitamin B12 juga dapat
berpengaruh terhadap perkembangan mental dan motorik anak (Black et al. 2004;
Durán et al. 2001).
Berbagai penelitian menunjukkan kegagalan pertumbuhan linier terutama
terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan mulai awal kehamilan sampai anak
berusia tahun pertama (Martorell dan Young 2012). Namun demikian penelitian
yang telah dilakukan lebih banyak menghubungkan status gizi ibu menggunakan
indikator antropometri dengan pertumbuhan bayi yang diukur berdasarkan berat
badan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko
terkait status gizi ibu hamil baik secara antropometri maupun biokimia terhadap
panjang badan bayi yang dilahirkan.
Metode
dengan gangguan pertumbuhan linier (Z-skor TB/U < -1 SD) dan 183 bayi dengan
panjang lahir normal (Z-skor TB/U > -1 SD).
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari penelitian longitudinal
yang dilakukan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
(PT2TKEK), sehingga persetujuan etik mengacu pada penelitian induk yang
didapatkan dari Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan, nomor:
LB.02.01/5.2/KE.233/2015. Orangtua anak menandatangani informed consent
sebagai persetujuan menjadi subjek penelitian.
dikalikan 100, dikategorikan rendah bila asupan energi < 70% kebutuhan energi
dan cukup bila > 70% kebutuhan energi. Tingkat kecukupan protein dihitung
dengan membandingkan asupan protein subjek dan kebutuhan protein dikalikan
100, dikategorikan rendah bila asupan protein < 80% kebutuhan protein dan cukup
bila > 80% kebutuhan protein (Kemenkes 2010). Densitas protein dihitung dengan
membandingkan asupan protein dengan asupan energi dikalikan 1000,
dikategorikan rendah bila densitas protein < 20 dan cukup bila > 20 sesuai dengan
anjuran FAO (Drewnowski 2005).
Status gizi mikro ibu hamil, yaitu: kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
dikategorikan rendah bila kadar Hb dalam darah < 10.5 g/dL pada trimester kedua
dan < 11 g/dL pada trimester ketiga dan normal bila kadar Hb > 10.5 g/dl pada
trimester kedua dan Hb > 11 g/dl pada trimester ketiga, retinol serum dikategorikan
rendah bila < 20 µg/dL dan normal bila retinol serum > 20 µg/dL, kadar seng serum
dikategorikan rendah bila kadar seng < 0.7 mg/L dan normal bila kadar seng > 0.7
mg/L (Gibson 2005).
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik ibu hamil
dan bayi. Analisis bivariat chi-square digunakan unuk mengetahui hubungan antar
peubah status gizi dengan status panjang badan bayi lahir. Analisis regresi logistik
berganda digunakan untuk mengetahui faktor risiko terkait gizi terhadap status
panjang badan bayi lahir.
Karakteristik subjek
Proporsi bayi lahir dengan panjang lahir rendah pada penelitian ini sebesar
27.1% dengan kategori pendek 6.0% dan sangat pendek 2.8%. Gangguan panjang
badan bayi lahir banyak ditemukan pada bayi laki-laki dibandingkan perempuan
(33.6% dan 21.22%). Hasil ini sejalan dengan penelitian di beberapa negara sub-
sahara Afrika, bayi laki-laki 1.16 kali berisiko pendek dibandingkan bayi
perempuan (Wamani et al. 2007). Di Indonesia, penelitian Aries et al. (2012) dan
Hanum et al. (2014) menunjukkan bahwa anak laki-laki 1.25 kali berisiko pendek
dan sangat pendek. Perbedaan pola pertumbuhan, sistem hormonal, dan kerentanan
terhadap penyakit mengakibatkan laki-laki memiliki risiko pendek lebih besar
dibandingkan perempuan (Wamani et al. 2007). Berdasarkan berat lahir,
didapatkan 88.9% bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) juga mengalami
gangguan pertumbuhan linier, sesuai penelitian Najahah (2014) didapatkan bayi
dengan berat badan lahir rendah memiliki risiko 13.2 kali memiliki panjang badan
lahir pendek dibandingkan bayi dengan berat badan lahir normal. Pertumbuhan
adalah bertambahnya ukuran fisik seseorang menjadi lebih besar baik secara berat
maupun tinggi badan. Gangguan pertumbuhan pada janin mengakibatkan
kegagalan pertumbuhan baik secara berat maupun tinggi badan, akibatnya bayi
terlahir dengan berat badan lahir rendah dan panjang badan di bawah normal
(Kusharisupeni 2002).
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil (86.9%) berusia antara
20-35 tahun, dan 66.9% merupakan kehamilan pertama atau kedua. Usia dan
44
frekuensi kehamilan ini merupakan usia dan kondisi ideal untuk hamil dan
melahirkan (Stewart et al. 2007).
Status pekerjaan ibu hamil, 91.3% adalah ibu rumah tangga yang tidak
bekerja keluar rumah, dan 79.1% ibu hamil memiliki tingkat pendidikan yang
rendah (paling tinggi tamat SMP). Hal ini mencerminkan ibu memiliki banyak
waktu untuk merawat kehamilan dan anak yang dilahirkan, namun rendahnya
tingkat pendidikan ibu tidak menjamin waktu yang cukup tersebut digunakan
dengan baik untuk tujuan gizi dan kesehatan (Semba et al. 2008, Jayanti et al. 2011
dan Sari et al. 2014).
Hasil analisis bivariat pada Tabel 10, memperlihatkan indeks massa tubuh
(IMT) ibu pada awal kehamilan menunjukkan hubungan yang bermakna, dimana
ibu hamil underweight (IMT < 18.5) memiliki risiko 2.374 kali lebih besar
melahirkan bayi dengan panjang lahir rendah. Tidak ada hubungan bermakna
antara tinggi badan ibu, pertambahan berat kehamilan, tingkat kecukupan energi,
tingkat kecukupan protein dan densitas protein, kadar protein dan albumin darah
dengan panjang lahir rendah.
45
Tabel 10 Status Gizi Makro Ibu Hamil dan Panjang Bayi Lahir
Panjang lahir Normal OR
Variabel Nilai p
rendah n (%) n (%) (CI 95%)
Tinggi Badan Ibu 149.4 + 4.6 149.6 + 4.7
Pendek (< 150 cm) 32 (48.5) 81 (47.6) 1.034 0.908
Normal (> 150 cm) 34 (51.5) 89 (52.4) (0.585-1.827)
IMT awal kehamilan 21.3 + 3.7 22.2 + 3.6
Underweight (< 18.5 kg/m2) 14 (21.5) 17 (10.4) 2.374* 0.032
Normal (> 18.5 kg/m2) 51 (78.5) 147 (89.6) (1.093-5.156)
Pertambahan BB hamil (kg) 10.0 + 4.2 10.1 + 6.2
Tidak sesuai IOM 2009 43 (66.2) 96 (58.5) 1,384 0.284
Sesuai IOM 2009 22 (33.8) 68 (41.5) (0.760-2.524)
Kadar Protein serum T M II 7.4 + 0.5 7.4 + 0.5
Rendah (< 6,40 g/dl) 2 (2.9) 2 (1.1) 2.742 0.327
Normal (>6,40 g/dl) 66 (97.1) 181 (98.9) (0.379-19.865)
Kadar Protein serum TM III 6.6 + 0.6 6.6 + 0.6
Rendah (< 6,40 g/dl) 16 (23.5) 45 (24.6) 0,944 0.861
Normal (>6,40 g/dl) 52 (76.5) 138 (75.4) (0.491-1.814)
Kadar Albumin serum TM II 3.9 + 0.3 3,9 + 0.3
Rendah (< 3.4 mg/dl) 3 (4.4) 11 (6.1) 0.713 0.603
Normal (> 3.4 mg/dl) 65 (95.6) 170 (93.9) (0.193-2.639)
Kadar Albumin serum TM III 3.7 + 0.3 3.9 + 0.3
Rendah (< 3.4 mg/dl) 10 (16.1) 31 (18.7) 0.837 0.653
Normal (> 3.4 mg/dl) 52 (83.9) 135 (81.3) (0.383-1.829)
Tk. Kecukupan Energi TM I 42.6 + 22.7 39.3 + 19.3
Kurang (< 70% AKG) 34 (87.2) 78 (95.1) 0,349
Cukup (> 70% AKG) 5 (12.8) 4 (4.9) (0,088-1,379) 0.133
Tk. Kecukupan Energi TM II 44.5 + 12.7 44.7 + 11.9
Kurang (< 70% AKG) 64 (95.5) 175 (98.9) 0.244
Cukup (> 70% AKG)) 3 (4.5) 2 (1.1) (0.040-1.493) 0.124
Tk. Kecukupan Energi TM III 49.2 + 11.9 51.7 + 15.0
Kurang (< 70% AKG) 43 (95.6) 120 (90.9) 2,150
Cukup (> 70% AKG) 2 (4.4) 12 (9.1) (0.462-9.998) 0.291
Tk. Kecukupan Protein TM I 64.3 + 33.9 55.8 + 28.5
Kurang (< 80% AKG) 49 (79.0) 137 (81.5) 0.853
Cukup (> 80% AKG) 13 (21.0) 31 (18.5) (0.413-1.761) 0.669
Tk. Kecukupan Protein TM II 69.0 + 18.3 68.5 + 17.4
Kurang (< 80% AKG) 47 (77.0) 136 (79,1) 0.889
Cukup (> 80% AKG) 14 (23.0) 36 (20.9) (0.441-1.791) 0.742
Tk. Kecukupan Protein TM III 67.8 + 23.6 73.5 + 25.9
Kurang (< 80% AKG) 26 (70.3) 67 (64.4) 1,305
Cukup (> 80% AKG) 11 (29.7) 37 (35.6) (0.580-2.938) 0.516
Densitas Protein TM I 33.1 + 21.6 43.3 + 13.8
Rendah (< 20) 9 (22.0) 32 (27.2) 0,754
Cukup (> 20) 25 (78.0) 67 (72.8) (0.316-1.800) 0.520
Densitas Protein TM II 32.0 + 14.1 32.7 + 11.8
Rendah (< 20) 7 (10.3) 11 (6.2) 1,742
Cukup (> 20) 11 (89.7) 167 (93.8) (0.646-4.698) 0.283
Densitas Protein TM III 16.6 + 18.1 17.1 + 18.9
Rendah (< 20) 33 (51.6) 87 (51.2) 1,016
Cukup (> 20) 31 (48.4) 83 (48.8) (0.571-1.85) 0.958
TM: Trimester Uji Chi square *) nilai p < 0.05
46
Hasil penilaian status gizi mikro ibu hamil (Tabel 11) memperlihatkan ada
hubungan bermakna antara kadar seng serum ibu hamil trimester kedua dengan
panjang lahir rendah. Kekurangan seng pada ibu hamil akan memengaruhi
pertumbuhan linier janin yang dikandung, ibu hamil yang mengalami defisiensi
seng pada trimester kedua kehamilan (kadar seng serum < 0.7 mg/L) memiliki
risiko 1.891 kali melahirkan bayi dengan panjang lahir rendah. Hal ini sesuai
dengan meta analisis Nriagu (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian
suplementasi seng memiliki efek yang bermakna pada pertumbuhan linier dan berat
badan. Seng berperan pada beberapa proses pertumbuhan melalui pembentukan dan
sekresi hormon pertumbuhan (Growth Hormone) serta aktivasi insulin like growth
factors (IGF) serta pembentukan DNA dan RNA pada proses transkripsi dan
replikasi sel, pembentukan kolagen, osteocalcin, somatomedin-c, insulin dan
alkalin fosfatase serta proses diferensiasi chondrocytes, osteoblast dan fibroblast.
Dalam pembentukan tulang, seng memediasi sejumlah hormon yang terlibat dalam
metabolism kalsium (Chasapis et al. 2012).
Tabel 11 Status Gizi Mikro Ibu Hamil dan Panjang Bayi Lahir
Hasil analisis regresi logistik berganda (Tabel 12) membuktikan kadar retinol
serum trimester kedua dan IMT awal kehamilan merupakan faktor risiko panjang
lahir rendah, dengan OR = 11.12 untuk retinol serum dan OR = 4.60 untuk IMT.
Dari persamaan di atas didapatkan nilai R2 sebesar 0.413 (p value = 0.00),
menunjukkan bahwa 41.3% panjang badan bayi lahir ditentukan dari status gizi ibu
hamil. Sejalan dengan penelitian di Zambia dan Indonesia, status gizi ibu hamil
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan linier janin dan bayi yang dilahirkan
(Hautvast et al. 2000 dan Schmidt et al. 2002).
47
TM: Trimester Uji Regresi Logistik *) nilai p< 0.05 **) nilai p < 0.01
IMT ibu pada awal kehamilan merupakan faktor risiko panjang lahir rendah
(OR = 8.840). Hal ini menunjukkan bahwa IMT awal kehamilan berhubungan
positif dengan panjang bayi yang dilahirkan. Belum ada penelitian sebelumnya
yang menganalisis IMT awal kehamilan dengan panjang badan bayi yang
dilahirkan. IMT awal kehamilan mencerminkan status gizi ibu saat mengawali
kehamilan. Penelitian Subramanian et al. (2010) membuktikan bahwa IMT ibu
berhubungan terbalik dengan prevalensi gizi kurang, stunting dan wasting pada
anak balita. Fakta ini semua mendukung hasil penelitian bahwa IMT pada awal
kehamilan berhubungan positif dengan panjang badan bayi yang dilahirkan.
Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan positif antara IMT sebelum hamil,
berat badan dan IMT kehamilan dengan berat badan bayi lahir maupun berat
plasenta dan berat bayi dilahirkan (Fikawati et al. 2012, Gernand et al. 2012 dan
Roland et al. 2014). Plasenta merupakan organ dengan berat antara 0.4-0.7 kg
terdiri dari jaringan vili yang menghubungkan darah ibu dan janin. Hampir semua
zat gizi berasal dari ibu akan dikirim kepada janin dalam kandungan melalui
membran syncytio-endothelial plasenta. Transport zat gizi dan produk metabolik,
plasenta berperan sebagai organ endokrin yang melepaskan sejumlah hormon dan
faktor pertumbuhan pada sistem sirkulasi ibu. Sebagian besar pertumbuhan
plasenta terjadi pada akhir trimester kedua kehamilan. Berat plasenta merupakan
prediktor kuat pada ukuran bayi saat lahir, karena menentukan kapasitas plasenta
dalam mentransfer zat gizi dan oksigen yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan
janin (Roland et al. 2014).
Analisis bivariat menunjukkan bahwa kadar seng serum pada trimester kedua
kehamilan merupakan faktor risiko dari panjang lahir rendah, namun hasil uji
multivariat, memperlihatkan bahwa kadar retinol serum pada trimester kedua
kehamilan lebih berperan pada panjang badan bayi saat lahir. Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya, bahwa sampai saat ini, hubungan vitamin A dengan
pertumbuhan linier masih sulit dibuktikan. Meta analisis Lyman dan Fawzi (2012)
menunjukkan vitamin A memiliki efek pada pertumbuhan namun sedikit bukti yang
menunjukkan pengaruh langsung vitamin A saat hamil dengan pertumbuhan bayi,
48
mencerminkan asupan harian, Menurut Barbara dan Black (2003), metode food
Recall 24 jam yang valid bila dilakukan lebih dari 2 kali untuk mendapatkan data
asupan makanan yang lengkap terutama makanan yang dikonsumsi pada hari
khusus. Selain itu, asupan zat gizi yang diperoleh dari metode food Recall 24 jam
tergantung pada kemampuan responden maupun pewawancara memberikan dan
menterjemahkan perkiraan porsi makanan yang akurat. Keterbatasan lain dalam
penelitian ini adalah tidak tersedia data penggunaan suplemen tablet tambah darah
pada ibu hamil sehingga tidak dapat dilakukan analisis pengaruh pemberian zat besi
maupun folat yang didapatkan dari tablet tambah darah ibu hamil.
Analisis faktor risiko panjang bayi lahir rendah menunjukkan bahwa 41.3%
ditentukan oleh status gizi ibu hamil dengan faktor risiko utama adalah defisiensi
vitamin A (retinol serum < 20 µg/dl) pada trimester kedua dengan OR = 11.12 (95%
CI= 2.034-60.840) dan indeks massa tubuh (IMT) < 18.5 kg/m2 pada awal
kehamilan, dengan nilai OR= 8.84 (95% CI= 1.586-49.268). Hal ini menunjukkan
pentingnya status gizi yang baik dalam mempersiapkan kehamilan untuk mencegah
gangguan pertumbuhan linier bayi. Mempersiapkan status gizi ibu hamil yang baik
perlu dilakukan sejak usia remaja bekerjasama dengan institusi pendidikan dan
pemeriksaan kehamilan rutin untuk memantau pertumbuhan janin. Perlu penelitian
dengan disain eksperimen melalui pemberian intervensi makanan tambahan berupa
pemberian biskuit ibu hamil dengan kandungan zat gizi makro (karbohidrat, protein
dan lemak) dan mikro yaitu 10 macam vitamin (B1, B2, B3, B6, B12, C, D,E dan
asam folat) serta 7 macam mineral (zat besi, selenium, kalsium, natrium seng,
iodium dan fosfor) yang diperlukan untuk meningkatkan status gizi ibu dan
pertumbuhan janinnya. Selain pemberian intervensi tersebut, perlu pemeriksaan
kadar vitamin A, hemoglobin dan seng pada tiap trimester untuk mengetahui
perkembangan status gizi mikro ibu hamil serta menganalisis faktor lain yang dapat
mempengaruhi status gizi ibu dan pertumbuhan janin seperti faktor lingkungan di
sekitar tempat tinggal dan akses terhadap pelayanan pemeriksaan kehamilan.
5 PENGARUH PANJANG BAYI LAHIR RENDAH,
MORBIDITAS DAN KEKURANGAN GIZI MIKRO
TERHADAP PERTUMBUHAN LINIER ANAK USIA 3
TAHUN
Pendahuluan
membuktikan bahwa ibu dengan tinggi badan < 150 cm, berat badan lahir,
pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat, angka kesakitan tinggi
merupakan faktor penyebab terjadinya stunting pada usia 1 tahun (Espo et al. 2002).
Hasil penelitian Schmidt et al. (2002) di Bogor Jawa Barat. menunjukkan berat
badan dan tinggi badan lahir merupakan prediktor kuat pada status gizi dan
pertumbuhan linier bayi sampai usia 15 bulan, berarti status gizi dan asupan zat gizi
yang baik saat menjelang dan selama kehamilan berpengaruh terhadap status gizi
dan pertumbuhan selama masa bayi.
Terjadinya gangguan pertumbuhan linier atau stunting dimulai sejak janin
dalam rahim dan berlanjut sampai usia 2 tahun, yang disebut dengan seribu hari
pertama kehidupan dan merupakan kesempatan untuk dilakukannya tindakan
intervensi. Pola pertumbuhan tinggi badan anak usia bawah lima tahun (balita) di 3
wilayah (Asia, Afrika, Amerika Latin dan Karibia) mempunyai kemiripan, rata-rata
Z skor TB/U mengalami penurunan tajam pada usia 3 bulan sampai 9 bulan, dan
penurunan terus berlanjut sampai usia 24 bulan walaupun tidak sebesar periode
tersebut (Shrimpton et al. 2001).
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
perbedaan pertumbuhan linier antara anak yang mengalami gangguan tumbuh dan
yang normal serta menganalisis faktor risiko gangguan pertumbuhan linier pada
usia 3 tahun.
Metode
Subjek
Total subjek pada penelitian tahap 1, diperoleh 323 ibu hamil, namun pada
penelitian tahap 2 jumlah subjek yang ada menjadi 262 bayi dan pada penelitian
tahap 3, terkumpul data sebanyak 190 anak usia 3 tahun. Dari jumlah tersebut.
terdapat 150 anak yang memiliki kelengkapan data meliputi tinggi badan saat lahir,
usia 6 bulan, usia 1 tahun dan usia 3 tahun, terdiri dari 39 bayi dengan Z-skor PB
lahir <-1 SD (panjang lahir rendah /PLR) dan 111 bayi dengan Z-skor PB lahir >-
1 SD (normal).
52
1.00 .77
.60 .52
.34
.50 .25 .22
.03
-.17 -.10
.00 -.35 -.31
-.38
-.51
Z-skor TB/U
-.63
-.50 -.77
-1.03
-1.00 -1.32 -.81
-.96
-1.12
-1.50 -1.26
-1.39
-2.14
-2.00
-2.50 -2.28
0 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan 3 tahun
Usia
PLR-GPL PLR-Normal Normal-GPL Normal-Normal
Gambar 8 Rerata Z Skor TB/U Anak (0-3 Tahun) pada Tiap Kelompok Status Gizi
saat Lahir dan Usia 3 Tahun
Hasil penelitian ini menunjukkan rerata Z-skor tinggi badan menurut umur
pada bayi baru lahir (-0.1) terus mengalami penurunan sampai usia 3 tahun (-1.7).
Pola pertumbuhan linier pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Prendergast et al. (2014) dan Solomons et al. (2014), yang menyatakan bahwa
Stunting telah dimulai sejak janin dalam rahim dan berlanjut sampai dengan usia 2
tahun. Hal ini terlihat dari rerata Z skor TB/U pada bayi yang baru lahir di negara-
negara berkembang adalah -0.5 SD dan terus menurun setelah kelahiran untuk
mencapai titik terendah sekitar -2.0 SD pada usia 18-24 bulan. Hasil serupa
diperoleh pada penelitian kohor di 5 negara, yaitu Brasil. Guatemala. India.
Filipina. India dan Afrika Selatan. rata-rata Z skor TB/U bayi lahir berkisar antara
-0.22 di Filipina sampai -1.47 di Guatemala dan pada usia 2 tahun. terjadi
penurunan rerata nilai Z skor TB/U dengan kisaran antara -0.61 di Brasil sampai -
3.28 di Guatemala (Stein et al. 2010).
55
GPL 3 tahun (85.6%) Normal 3 tahun (5.4%) GPL 3 tahun (70.4%) Normal 3 tahun (29.6%)
PLR lahir Normal lahir Standar WHO
Laju pertumbuhan (growth rate) anak tertinggi terjadi pada rentang usia 0
sampai 6 bulan dengan rata rata 2.7 cm per bulan, kemudian menurun pada rentang
usia selanjutnya. Pada Gambar 10, terlihat bahwa anak dengan gangguan panjang
lahir tetapi menjadi normal pada usia 3 tahun, laju pertumbuhan terbesar terjadi
pada usia 0-6 bulan yaitu sebanyak 3.25 cm per bulan. Sedangkan pada anak dengan
panjang lahir normal tetapi mengalami gangguan panjang badan pada usia 3 tahun,
memiliki tingkat pertumbuhan usia 0-6 bulan paling rendah diantara kelompok
lainnya, yaitu sebesar 2.54 cm perbulan. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk
mengejar pertumbuhan (catch up growth) terjadi pada rentang usia 0-6 bulan, bila
pada rentang tersebut anak gagal mencapai pertumbuhan yang optimal, maka akan
sulit untuk mencapai status gizi normal.
Laju pertumbuhan usia 0-6 bulan tertinggi pada kelompok anak dengan
panjang lahir rendah namun memiliki panjang badan normal pada usia 3 tahun. Bila
dianalisis lebih lanjut terlihat bahwa anak dengan berat badan lahir normal memiliki
laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan anak dengan berat lahir rendah (2.94
cm/bulan vs 2.75 cm/bulan). Demikian juga anak yang masih diberi ASI pada usia
6 bulan dan jarang menderita sakit memiliki rata-rata laju pertumbuhan tinggi badan
lebih besar. Pada kelompok anak dengan panjang lahir rendah namun memiliki
panjang badan normal pada usia 3 tahun 66.7% lahir dengan berat badan normal,
80% masih mendapatkan ASI pada usia 6 bulan dan 100% jarang menderita sakit
pada usia 0-6 bulan (Gambar 10).
56
3.41 3.43
2.75 2.94 2.91 2.86 2.87 3.08
2.77 2.53 2.5 2.79 2.78
2.23 2.53
Ya (1.3%)
Ya (3.1%)
Tidak (87.5%)
Tidak (66.7%)
Tidak (98.7%)
Tidak (96.9%)
Ya (12.5%)
Ya (33.3%)
Tidak (92.8%)
Ya (7.2%)
Ya (100.0%)
Tidak (20.0%)
Ya (80.0%)
Ya (98.6%)
Tidak (1.4%)
Tidak (0.0%)
PLR lahir-GPL PLR lahir- Normal lahir- Normal PLR lahir-GPL PLR lahir- Normal lahir- Normal
3 tahun Normal 3 tahun GPL 3 tahun lahir- 3 tahun Normal 3 tahun GPL 3 tahun lahir-
Normal 3 Normal 3
tahun tahun
Pemberian ASI Eksklusif sampai 6 bulan Frekuensi sakit
Laju pertumbuhan TB (cm/bulan)
Jarang (100.0%)
Sering (22.5%)
Sering (12.0%)
Jarang (83.9%)
Sering (0.0%)
Jarang (77.5%)
Jarang (88.0%)
Tidak (71.9%)
Tidak (83,3%)
Tidak (66.2%)
Ya (28.1%)
Ya (16.7%)
Ya (33.8%)
Ya (25.0%)
Tidak (75.0%)
Pada Gambar 11, terlihat bahwa laju pertumbuhan usia 6-12 bulan tertinggi
pada kelompok anak dengan panjang lahir normal dan tetap memiliki panjang
badan normal pada usia 3 tahun. Bila dianalisis lebih lanjut terlihat bahwa anak
dengan tingkat kecukupan energi dan protein cukup memiliki rata-rata laju
pertumbuhan tinggi badan lebih besar dibandingkan anak dengan tingkat
kecukupan energi dan protein kurang. Rata-rata laju pertumbuhan tinggi badan
lebih besar juga ditemukan pada anak yabg jarang menderita sakit. Pada kelompok
anak dengan panjang lahir rendah namun memiliki panjang badan normal pada usia
3 tahun, pada rentang usia 6-12 bulan, 66.7% memiliki tingkat kecukupan energi
cukup, 50% memiliki tingkat kecukupan protein cukup dan 100% jarang menderita
sakit.
57
Cukup (25.0%)
Cukup (66.7%)
Cukup (28.9%)
Cukup (25.0%)
Kurang (75.0%)
Kurang (33.3%)
Kurang (71.1%)
Kurang (75.0%)
Tidak (10.7%)
Tidak (25.0%)
Ya (89.3%)
Ya (75.0%)
Ya (97.1%)
Ya (96.4%)
Tidak (2.9%)
Tidak (3.6%)
PLR lahir-GPL 3 PLR lahir-Normal Normal lahir-GPL Normal PLR lahir-GPL 3 PLR lahir- Normal lahir- Normal
tahun 3 tahun 3 tahun lahir- tahun Normal 3 tahun GPL 3 tahun lahir-
Normal 3 Normal 3
tahun tahun
Cukup (21.9%)
Kurang (50.0%)
Cukup (50.0%)
Kurang (75.0%)
Cukup (25.0%)
Kurang (65.6%)
Cukup (34.4%)
Sering (37.5%)
Sering (34.5%)
Sering (31.3%)
Jarang (100.0%)
Jarang (62.5%)
Sering (0.0%)
Jarang (65.5%)
Jarang (68.7%)
PLR lahir-GPL 3 PLR lahir-Normal Normal lahir-GPL Normal PLR lahir-GPL 3 PLR lahir-Normal Normal lahir-GPL Normal
tahun 3 tahun 3 tahun lahir- tahun 3 tahun 3 tahun lahir-
Normal 3 Normal 3
tahun tahun
Gangguan panjang lahir dan pertumbuhan linier anak usia 0-3 tahun
Pada 6 bulan pertama, dari 39 bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan
linier lahir, 43.6% tetap mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 6 bulan.
Sedangkan pada 111 bayi yang memiliki panjang badan normal saat lahir, 26.1%
mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 6 bulan. Nilai risiko relatif (RR)
sebesar 1.668 menunjukkan bahwa bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan
saat lahir memiliki risiko 1.7 kali lebih besar untuk tetap mengalami gangguan
pertumbuhan linier saat usia 6 bulan (Gambar 12). Dilihat dari proporsinya terjadi
peningkatan masalah gangguan petumbuhan linier pada usia lahir sampai usia 6
bulan yaitu dari 26.0% menjadi 30.7%.
58
Risiko penurunan status gizi meningkat pada usia 6-12 bulan, bayi lahir
dengan gangguan panjang badan dan tidak membaik pada usia 6 bulan, memiliki
risiko relatif (RR) sebesar 2.588 mengalami gangguan pertumbuhan linier saat usia
12 bulan. Demikian juga pada bayi 5 usia 6 bulan yang mengalami gangguan
pertumbuhan linier memiliki peluang 3.535 kali lebih besar untuk tetap mengalami
gangguan pertumbuhan linier saat usia 12 bulan. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Anugraheni dan Kartasurya (2012), dimana bayi dengan panjang lahir rendah
memiliki risiko 2.8 kali mengalami stunting dibandingkan bayi dengan panjang
lahir normal.
Pada periode usia 0-12 bulan, terdapat 61.5% bayi yang mengalami gangguan
pertumbuhan linier saat lahir dan mengalami hal yang sama pada usia 12 bulan. Di
sisi lain pada kelompok bayi lahir dengan panjang badan normal terdapat 40.5%
bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 12 bulan. Sehingga
secara keseluruhan didapatkan risiko relatif sebesar 1.518 (95% CI = 1.086 – 2.122;
p value = 0.023), hal ini menunjukkan bahwa bayi yang mengalami gangguan
pertumbuhan saat lahir memiliki risiko 1.5 kali lebih besar untuk tetap mengalami
gangguan pertumbuhan linier saat usia 1 tahun. Bayi dengan panjang badan lahir
normal memiliki peluang 1.7 kali mengalami penurunan status gizi pada usia 3
tahun (RR =1.665; 95% CI= 1.526-2.080).
PLR
Analisis data faktor risiko pertumbuhan anak usia 0-3 tahun (Tabel 16)
menunjukkan bahwa pertumbuhan linier usia 1 tahun merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pertumbuhan linier pada anak usia 3 tahun dengan nilai OR =
10.511 (95% CI = 3.527-31.325). Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
gangguan pertumbuhan linier pada anak usia 3 tahun adalah defisiensi seng dan
vitamin A serta seringnya menderita sakit pada satu bulan terakhir (OR = 2.522;
7.455; dan 3.031). Dari persamaan di atas didapatkan nilai R2 sebesar 0.349 (p
value = 0.00), menunjukkan bahwa 34.9% gangguan pertumbuhan linier pada anak
usia 3 tahun ditentukan dari pertumbuhan linier usia 1 tahun, rendahnya kadar seng
dan vitamin A serum serta sering menderita sakit pada satu bulan terakhir.
Menurut Victoria et al. (2008), pertumbuhan merupakan proses
berkesinambungan yang terjadi pada empat fase kehidupan yaitu: janin, bayi, anak-
anak dan pubertas, masing-masing fase ini diatur oleh mekanisme pengaturan yang
berbeda dan dipengaruhi oleh faktor endogen yang terdiri dari biologi, genetik dan
etnis penentu dan oleh eksogen faktor-faktor seperti gizi, budaya, lingkungan dan
kondisi sosial. Empat fase pertumbuhan tersebut saling terkait satu dengan lainnya,
bila pada satu fase terjadi gangguan pertumbuhan maka akan berdampak pada
pertumbuhan selanjutnya bila tidak diimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh).
Teori di atas, sejalan dengan penelitian ini, pertumbuhan linier bayi saat lahir
sampai usia 1 tahun berpengaruh terhadap gangguan panjang badan bayi usia 3
tahun. Bayi dengan gangguan pertumbuhan linier pada usia 6 bulan memiliki risiko
22.3 kali lebih besar mengalami gangguan pertumbuhan linier pada usia 1 tahun.
Sementara itu pertumbuhan linier anak usia 3 tahun, secara signifikan dipengaruhi
oleh gangguan panjang badan usia 1 tahun dengan nilai OR sebesar 8.800.
Gangguan panjang badan pada usia 6 bulan dan 1 tahun berpengaruh terhadap
pertumbuhan linier anak usia 3 tahun. Anak dengan gangguan panjang lahir sulit
untuk memiliki panjang badan normal pada usia 3 tahun, sebaliknya anak dengan
panjang lahir normal memiliki peluang besar mengalami gangguan pertumbuhan
linier pada usia 3 tahun. Faktor risiko gangguan pertumbuhan linier anak usia 3
tahun adalah adanya gangguan pertumbuhan linier pada usia 1 tahun (OR = 10.51;
95% CI= 3.527-31.325), morbiditas pada satu bulan terakhir (OR = 2.52; 95% CI=
1.033-6.159), dan kekurangan zat gizi mikro terutama seng dan vitamin A.
Perlunya pencegahan gangguan pertumbuhan linier pada masa janin dan bayi
dengan meningkatkan status gizi ibu hamil dan menyusui melalui pola makan gizi
seimbang. Peningkatan laju pertumbuhan linier pada anak dengan panjang lahir
rendah perlu dilakukan sebelum anak berusia 6 bulan dengan pemberian ASI dan
mencegah anak terkena penyakit infeksi. Peningkatan status mikronutrien anak usia
lebih dari 6 bulan dalam bentuk pemberian makanan tambahan yang mengandung
zat gizi makro dan mikro yang cukup untuk mencegah tingginya angka morbiditas
untuk mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan linier anak usia 3 tahun.
6 PENGARUH PERTUMBUHAN LINIER DAN POLA ASUH
PSIKOSOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN
KOGNITIF ANAK USIA TIGA TAHUN
Pendahuluan
akibat jangka panjang dari stunting dapat menurunkan rata-rata 3.4% pendapatan
kotor suatu wilayah (Gross Domestic Product/GDP).
Terjadinya gizi kurang saat bayi berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif anak, hal ini terlihat dari penelitian Crookston et al. (2011 dan 2013) di
Etiopia, India, Peru dan Vietnam, menunjukkan kemampuan kognitif anak saat
masuk sekolah dipengaruhi oleh kondisi stunting pada usia 6-18 bulan dan
pengaruh lebih kuat oleh kondisi stunting pada usia 4.5-6 tahun. Anak dengan tinggi
badan lahir pendek tetapi menjadi normal pada usia 8 tahun, memiliki kemampuan
kognitif lebih baik dibanding anak yang tetap pendek pada usia 8 tahun. Moura et
al. (2010) membuktikan bahwa tingkat pendidikan ibu, berat badan lahir rendah,
lahir prematur, riwayat sakit dan mempunyai riwayat keterlambatan perkembangan
pada usia 1 tahun merupakan faktor risiko terjadinya keterlambatan perkembangan
saat anak tersebut berusia 2 tahun diukur dengan menggunakan Battelle
Developmental Screening Inventory (BSDI).
Hasil penelitian di atas menunjukkan adanya hubungan antara gangguan
pertumbuhan linier (-2 Z-skor) bayi dengan perkembangan kognitif anak pada usia
2 tahun dan saat masuk sekolah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh gangguan pertumbuhan linier bayi (menggunakan
nilai Z-skor minus 1 standar deviasi), morbiditas dan pola asuh dengan
perkembangan kognitif anak usia 3 tahun.
Metode
Analisis statistik
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik sampel,
pola pertumbuhan linier sejak lahir, usia 6 bulan, 12 bulan dan 3 tahun, pola asuh,
frekuensi sakit dalam 1 bulan terakhir, serta riwayat menderita Tuberkulosis (TB)
pru. Analisis bivariat chi-square digunakan unuk mengetahui hubungan antar
peubah bebas dengan status perkembangan kognitif anak usia 3 tahun. Analisis
regresi logistik ganda digunakan untuk mengetahui faktor risiko perkembangan
kognitif anak usia 3 tahun.
65
Karakteristik Keluarga
Usia ibu saat hamil, frekuensi kehamilan, pendidikan dan pekerjaan ibu, serta
jumlah anggota keluarga tidak menunjukkan perbedaaan yang bermakna antara
kelompok anak gangguan perkambangan kognitif terlambat dan sesuai umur (Tabel
17).
Perkembangan kognitif
Karakteristik Nilai p
Terlambat Sesuai umur
Usia ibu saat hamil
< 20 tahun atau > 35 tahun 24 (20.9) 6 (17.1) 0.809
20 -35 tahun 91 (79.1) 29 (82.9)
Frekuensi kehamilan
> 2 kali 46 (40.0) 8 (22.9) 0.099
< 2 kali 69 (60.0) 27 (77.1)
Pendidikan ibu
SMP ke bawah 99 (86.1) 25 (71.4) 0.080
SMA ke atas 16 (13.9) 10 (28.6)
Status pekerjaan ibu
Bekerja 17 (14.8) 5 (14.3) 1.000
Tidak bekerja 98 (85.2) 30 (85.7)
Jumlah anggota rumah tangga
> 5 orang 41 (35.7) 8 (22.9) 0.227
< 5 orang 74 (64.3) 27 (77.11)
Perkembangan Kognitif OR
Karakteristik Nilai P
Terlambat Sesuai Umur (95% CI)
Jenis Kelamin
Laki-laki 58 (50.4) 14 (40.0) 1.526 0.374
Perempuan 57 (48.6) 21 (60.0) (0.708-3.292)
PB Lahir
Terganggu 29 (25.2) 10 (28.6) 0.843 0.694
Normal 86 (74.8) 25 (71.4) (0.362-.964)
PB Usia 6 bulan
Terganggu 39 (33.9) 7 (20.0) 2.053 0.108
Normal 76 (66.1) 28 (80.0) (0.823-5.119)
PB Usia 12 bulan
Terganggu 55 (47.8) 4 (40.0) 1.375 0.414
Normal 60 (52.2) 21 (60.0) (0.637-2.966)
PB Usia 3 tahun
Terganggu 92 (80.0) 20 (57.1) 3.000 0.009**
Normal 23 (20.0) 15 (42.9) (1.334-6.747)
Pertambahan TB 0-3 tahun
Kurang 89 (77.4) 20 (57.1) 2.567 0.022*
Sesuai WHO 26 (22.6) 15 (42.9) (1.154-5.710)
Pernah menderita TB Paru
Ya 13 (11.6) 1 (2.9) 4.333 0.093
Tidak 99 (88.4) 33 (97.1) (0.546-34.401)
Uji Chi Square *) nilai p < 0.05 **) nilai p < 0.01
96.00
86.00
TINGGI BADAN CM)
76.00
66.00
56.00
46.00
Lahir 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan 3 tahun
PLR 46.87 59.01 64.91 68.98 72.19 91.42
Normal 50.04 60.96 65.82 70.05 73.16 93.06
WHO 49.88 61.43 67.62 71.97 75.75 96.08
Gambar 13 Tinggi Badan Menurut Umur pada Anak PLR dan Normal
Pada rentang usia 0 sampai 6 bulan rata rata pertambahan tinggi badan sebesar
2.7 cm per bulan, kemudian menurun pada rentang usia selanjutnya. Pada Gambar
13, terlihat bahwa anak dengan gangguan panjang lahir tetapi menjadi normal pada
usia 3 tahun, pertambahan tinggi badan terbesar terjadi pada usia 0-6 bulan yaitu
sebanyak 3.25 cm per bulan. Sedangkan pada anak dengan panjang lahir normal
tetapi mengalami gangguan panjang badan pada usia 3 tahun, memiliki
pertambahan tinggi badan paling rendah diantara kelompok lainnya, yaitu sebesar
2.54 cm perbulan. Pada rentang usia selanjutnya pertambahan tinggi badan
mengalami penurunan, yaitu 1.24 cm per bualn pada usia 6-2 bulan dan 0.85 cm
per bulan pada usia 2-36 bualn.
Perkembangan Kognitif
Pola asuh psikososial Terlambat Sesuai Umur
(%) (%)
STIMULASI BELAJAR
1. Anak punya mainan untuk belajar tentang warna, 40.0 27.2
bentuk dan ukuran
2. Anak punya 3 mainan yang memiliki peraturan dalam 25.7 14.0
permainannya
3. Anak punya tape recorder dan kaset/VCD 77.1 63.2
4. Anak punya mainan bebas berekspresi (spidol, crayon, 85.7 70.2
cat air)
5. Anak punya mainan untuk melatih gerakan tangan 45.7 24.6
yang halus
6. Anak punya mainan untuk belajar angka 54.3 39.5
7. Anak punya buku sendiri paling sedikit 10 buah 2.9 10.5
8. Keluarga punya buku paling sedikit 10 buah 5.7 7.1
9. Keluarga membeli/membaca koran setiap hari 5.7 1.8
10. Keluarga berlangganan paling sedikit 1 majalah 0.0 2.7
11. Anak diajari tentang bentuk-bentuk 60.0 30.1
STIMULASI BAHASA
1. Anak punya mainan untuk belajar mengenal nama- 60.0 64.9
nama binatang
2. Anak diajari huruf-huruf 80.0 67.0
3. Anak diajari untuk mengucapkan salam, terima kasih, 85.7 66.4
dll
4. Ibu berbicara dengan tata bahasa yang benar 82.9 72.6
5. Anak diberi kesempatan berbicara, ibu mendengarkan 94.3 87.6
6. Kata-kata ibu selalu menyenangkan anak 71.4 49.6
7. Anak diberi kesempatan memilih sendiri makanan 94.3 94.7
yang diinginkan
STIMULASI AKADEMIK
1. Anak diajari tentang warna 91.4 75.0
2. Anak diajari menyanyi 94.3 89.3
3. Anak diajari pengertian ruang/dimensi (besar-kecil, 65.7 37.2
luar-dalam, dll)
4. Anak diajari tentang angka 94.3 85.0
5. Anak diajari membaca kata-kata sederhana 40.0 32.4
perkembangan anak usia 3 tahun ditentukan dari pola asuh, kadar hemoglobin ibu
hamil trimester ketiga, pertambahan tinggi badan sampai usia 3 tahun dan pernah
menderita Tuberkulosis paru.
Hasil penelitian ini menunjukkan pertambahan tinggi badan, status anemi
ibu hamil dan status pola asuh merupakan tiga faktor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif anak pada usia 3 tahun.
Pertambahan tinggi badan anak sejak lahir sampai usia 3 tahun berhubungan
dengan perkembangan kognitif. Hal ini sejalan dengan penelitian Khomsan et al.
(2013) menunjukkan anak pendek sekali memiliki skor kognitif rendah dan
meningkat seiring peningkatan tinggi badan. Penelitian Crookston et al. (2013),
anak dengan tinggi badan lahir pendek dan tetap pendek pada usia 8 tahun memiliki
kemampuan kognitif lebih rendah dibandingkan anak lahir pendek tetapi menjadi
normal pada usia 8 tahun. Gangguan pertumbuhan sejak dalam kandungan dan terus
berlanjut sampai usia 3 tahun, mengakibatkan keterlambatan perkembangan
kognitif melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) Terhambatnya proliferasi neuron
sehingga jumlah sel otak sedikit; (2) Penurunan dendritic dan kompleksitas
percabangan dendrit yang menghubungkan neuron dengan sel; (3) Jumlah sinaps
(penghubung antar neuron) menjadi lebih sedikit dan mengalami perubahan
struktur. Pada hewan oleh Prado dan Dewey (2014), menunjukkan bahwa gangguan
pertumbuhan mengakibatkan penurunan pembentukan myelin dan meningkatkan
apoptosis (kematian sel) akibat penurunan kadar IGF-1 dan IGF-1 binding protein.
sintesa myelin dan mengubah komposisi myelin: lapisan lemak yang melindungi
akson dan membantu mempercpat pengiriman impuls saraf dari satu sel ke sel yang
lain.
Pola asuh psikososial merupakan determinan faktor perkembangan kognitif,
penelitian pada anak usia 17-42 bulan di Brazil (Andrade et al. 2005), menunjukkan
adanya korelasi positif antara skor HOME inventory dangan perkembangan
kognitif. Di Indonesia, penelitian Khomsan et al. (2013) membuktikan bahwa
perkembangan kognitif rendah ditemukan pada anak balita dengan pola asuh
psikososial yang rendah. Penelitian pada anak-anak pengungsi di Amerika Tengah
(Laude 1999), membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
interaksi ibu dan anak terhadap perkembangan kognitif anak usia di bawah 3 tahun,
namun cara ibu merespon anak secara emosional dan penataan lingkungan fisik
dirumah merupakan faktor penting dalam perkembangan kognitif anak.
Lingkungan dan pengalaman memberikan kontribusi pada perkembangan anak, hal
ini dibuktikan pada penelitian hewan yang tinggal di kandang lebih besar dengan
alat alat yang dapat merangsang penglihatan dan gerakan, memiliki berat otak lebih
besar, ketebalan korteks, dan jumlah sinaps (Prado dan Dewey 2014).
Penelitian membuktikan kadar retinol serum trimester kedua dan IMT awal
kehamilan merupakan faktor risiko pertumbuhan linier bayi, dengan OR = 11.12
(95% CI= 2.034-60.840; nilai p = 0.000) untuk retinol serum dan OR = 4.60 (95%
CI= 1.586-49.268; nilai p= 0.013) untuk IMT. Hasil uji regresi logistic berganda
didapatkan nilai R2 sebesar 0.413 (p value = 0.00), menunjukkan bahwa 41.3%
panjang badan bayi lahir ditentukan dari status gizi ibu hamil, meliputi: IMT awal
kehamilan, pertambahan BB kehamilan, kadar protein darah, kadar retinol serum,
seng serum dan hemoglobin.
Pertumbuhan janin dalam rahim terjadi dalam tiga fase, yaitu (1) fase
konsepsi sampai minggu ke 16 kehamilan ditandai dengan peningkatan jumlah sel
(hyperplasia), (2) fase kedua adalah gabungan antara hyperplasia dan hypertrophy,
yaitu penambahan jumlah maupun ukuran sel, terjadi sampai minggu ke 32
kehamilan, (3) fase ketiga, janin hanya mengalami penambahan ukuran sel berupa
peningkatan massa otot dan lemak. Adanya perbedaan pola pertumbuhan pada 3
fase tersebut, mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang terjadi pada tiap periode
memiliki dampak yang berbeda terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya (Robinson 2011).
IMT awal kehamilan mencerminkan status gizi ibu saat mengawali
kehamilan, status gizi ibu sebelum dan awal kehamilan dapat mempengaruhi
ukuran dan fungsi plasenta sehingga berakibat pada tumbuh kembang janin melalui
pertumbuhan plasenta pada awal kehamilan dan pasokan gizi di akhir kehamilan.
Berat badan sebelum hamil merupakaan faktor determinan terhadap berat plasenta
dan berhubungan positif dengan luas permukaan kapiler janin (Bloomfield et al.
2013, Robinson et al. 1997). Plasenta merupakan organ dengan berat antara 0.4-0.7
kg terdiri dari jaringan vili yang menghubungkan darah ibu dan janin. Hampir
semua zat gizi berasal dari ibu akan dikirim kepada janin dalam kandungan melalui
membran syncytio-endothelial plasenta. Transport zat gizi dan produk metabolik,
plasenta berperan sebagai organ endokrin yang melepaskan sejumlah hormon dan
faktor pertumbuhan pada sistem sirkulasi ibu. Sebagian besar pertumbuhan
plasenta terjadi pada akhir trimester kedua kehamilan. Berat plasenta merupakan
74
prediktor kuat untuk ukuran bayi saat lahir, karena menentukan kapasitas plasenta
dalam mentransfer zat gizi dan oksigen yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan
janin (Roland et al. 2014).
Hasil penelitian ini membuktikan IMT awal kehamilan merupakan faktor
risiko gangguan panjang lahir bayi, dengan OR = 4.60. Saat ini sedikit penelitian
yang menganalisis secara langsung IMT awal kehamilan dengan panjang badan
bayi yang dilahirkan, beberapa penelitiaan memperlihatkan hubungan positif antara
IMT awal kehamilan dengan berat badan bayi lahir maupun berat plasenta
(Fikawati et al. 2012, Gernand et al. 2012 dan Roland et al. 2014). Yazdanpanaahi
et al. (2008) membuktikan bahwa berat dan panjang badan, lingkar dada dan lingkar
kepala serta lingkar lengan atas bayi lahir memiliki hubungan yang bermakna
dengan IMT sebelum hamil. Penelitian Subramanian et al. (2010) membuktikan
bahwa IMT ibu berhubungan terbalik dengan prevalensi gizi kurang, stunting dan
wasting pada anak balita. Hasil dari 5 penelitian tersebut menunjukkn bahwa IMT
pada awal kehamilan memiliki hubungan positif dengan status gizi bayi yang
dilahirkan dilihat dari beberapa ukuran antropometri.
Selain IMT awal kehamilan, kadar retinol serum trimester kedua merupakan
faktor risiko panjang lahir dengan OR = 11.12. Secara epidemiologi, terdapat
hubungan antara kadar serum vitamin A dan stunting pada anak batita, 16% dan
42% anak batita stunting memiliki kadar serum vitamin A marginal dan di bawah
normal (Kurugol et al. 2000). Rondo et al. (2001) membuktikan bahwa kekurangan
vitamin A berdampak pada pertumbuhan, dan perkembangan, hal ini terlihat dari
rendahnya kadar vitamin A darah ibu hamil memiliki hubungan bermakna dengan
berat dan panjang lahir serta lingkar dada. Wang et al. (2008) membuktikan adanya
korelasi positif antara kadar serum vitamin A ibu hamil dengan panjang badan bayi,
selain itu vitamin A rasio antara bayi dengan ibu hamil memiliki efek
menguntungkan terhadap panjang badan bayi, hal ini menunjukkan bahwa
tingginya efisiensi transfer vitamin A dari ibu kepada bayi melalui plasenta
berpengaruh terhadap panjang lahir.
Peran vitamin A pada pertumbuhan linier janin pada manusia dan hewan
hingga saat ini masih sulit dibuktikan, beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan tersebut. Luca et al. (2000), menunjukkan bahwa peran vitamin A dan
asam retinoat pada pertumbuhan manusia secara langsung pada lempeng
pertumbuhan dan secara tidak langsung membantu sekresi hormon pertumbuhan
(growth hormone) dan hormon tiroid. Sel embrio mendapatkan retinoid dari ibu
dalam bentuk retinol di dalam sel diubah menjadi retinoid acid (RA) yang
merupakan bentuk aktif untuk signaling. Penelitian Kaiser et al. (2003) dan See et
al. (2008) mengungkapkan fungsi vitamin A dalam pengembangan kerangka aksial
dan apendikularis pada tikus. Tikus yang mengalami kekurangan vitamin A pada
awal kehamilan, gangguan pertumbuhn janin terjadi pada kerangka aksial, namun
bila kekurangan vitamin A terus berlanjut sampai akhur kehamilan, menyebabkan
terjadinya transformasi homeotik anterior memanjang dari leher, toraks, lumbar,
dan vertebra sakral.
Vitamin A adalah zat gizi yang diperlukan dalam jumlah sedikit, namun
memiliki peran penting dalam fungsi penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan,
melindungi jaringan epitel dan fungsi kekebalan tubuh. Pada masa kehamilan,
75
vitamin A diperlukan dalam proses pembelahan sel, pertumbuhan organ dan tulang
rangka, pemeliharaan sistem kekebalan tubuh, dan perkembangn fungsi penglihatan
janin. Cadangan vitamin A yang cukup pada awal kehamilan dapat memenuhi
kebutuhan vitamin A yang tinggi saat janin tumbuh dengan pesat pada trimester 3
kehamilan (WHO 2004, WHO 2011). Beberapa penelitian, menunjukkan adanya
penurunan kadar retinol serum sebesar 9-4% pada ibu hamil trimester pertama
sampai trimester ketiga, sehingga terjadi peningkatan prevalensi kekurangan
vitamin A dari 5% pada trimester pertama menjadi 30% pada trimester ketiga. Hal
ini disebabkan adanya hemodilution, yaitu peningkatan volume darah yang tidak
diimbangi peningkatan sel darah merah dan rendahnya asupan vitamin A (Dibley
and Jeacocke 2001). Dalam penelitian ini, prevalensi kekurangan vitamin A (kadar
retinol serum < 20 µg/dl) pada ibu hamil trimester kedua sebesar 22,3% meningkat
menjadi 44,3% pada trimester ketiga.
Meskipun janin membutuhkan vitamin A untuk pertumbuhan dan
perkembangan, namun, kebutuhan vitamin A pada ibu hamil hanya mengalami
sedikit peningkatan dibandingkan wanita tidak hamil, menurut IOM (2001)
kebutuhan vitamin A sebesar 770 µg/hari atau 800 µg/hari menurut FAO /WHO
(2004). Hal ini untuk menghindari risiko gangguan akibat dosis vitamin A berlebih
pada awal kehamilan yang dapat menimbulkan keracunan pada janin. Pada situasi
ini, biasanya plasenta dapat beradaptasi dengan baik dan hanya mentransfer jumlah
vitamin A sesuai dengan kebutuhan janin. Efek berbahaya dari vitamin A akan
timbul bila tingginya kadar vitamin A darah disertai dengan asupan vitamin A
makanan yang tinggi (WHO 2004, WHO 2011). Asupan vitamin A melebihi batas
tertinggi atau tolerable upper intake level (UL) sebesar 3000 µg (10000 IU) per
hari atau 7500 µg (25000 IU) per minggu dapat mengakibatkan toksisitas pada
ibu dengan gejala pusing, sakit kepala, mual, muntah, pengelupasan kulit, berat
badan menurun dan kelelahan serta dapat mengakibatkan cacat pada janin (IOM
2001, WHO 2011).
Komposisi tubuh ibu, status gizi, dan asupan makanan akan menentukan
ketersediaan zat gizi yang diperlukan janin, plasenta bertanggung jawab untuk
pasokan nutrisi janin. Status gizi ibu sebelum, awal dan selama kehamilan dapat
mempengaruhi ukuran dan fungsi plasenta sehingga berakibat pada tumbuh
kembang janin melalui pertumbuhan plasenta pada awal kehamilan dan pasokan
gizi di akhir kehamilan.
Analisis bivariat menunjukkan bahwa kadar seng serum pada trimester kedua
kehamilan merupakan faktor risiko dari gangguan pertumbuhan linier bayi, namun
hasil uji multivariat, memperlihatkan bahwa kadar retinol serum pada trimester
kedua kehamilan lebih berperan pada pertumbuhan linier bayi. Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya, bahwa sampai saat ini, hubungan vitamin A dengan
pertumbuhan linier masih sulit dibuktikan. Meta analisis Lyman dan Fawzi (2012)
menunjukkan vitamin A memiliki efek pada pertumbuhan namun sedikit bukti yang
menunjukkan pengaruh langsung vitamin A saat hamil dengan pertumbuhan bayi,
hal ini disebabkan karena kekurangan vitamin A umumnya terkait dengan
kekurangan zat gizi mikro lainnya seperti zat besi dan seng. Fahmida et al. (2007)
mendapatkan adanya kenaikan nilai z-skor TB/U lebih tinggi pada bayi stunting
yang mendapatkan suplementasi seng + zat besi serta suplementasi seng + zat besi
+ vit.A selama 4 bulan dibandingkan bayi stunting yang hanya mendapatkan
76
suplementasi seng saja. Hasil serupa didapatkan oleh Souganidis (2012), beberapa
penelitian potong lintang menunjukkan adanya keterkaitan antara kekurangan
vitamin A dan stunting, namun pemberian suplemen vitamin A tidak menunjukkan
hasil yang bermakna terhadap pertumbuhan, hal ini mungkin disebabkan karena
vitamin A merupakan bagian dari kelompok zat gizi yang diperlukan dalam proses
pertumbuhan.
Pada proses metabolisme, seng berperan dalam metabolisme vitamin A
demikian juga sebaliknya. Seng merupakan salah satu zat pembentuk retinol
binding protein (RBP) maupun cell retinol binding protein (cRBP) yang berperan
dalam transport vitamin A, sehingga kekurangan seng dapat berpengaruh
penyerapan vitamin A dan mobilisasi vitamin A dari hati maupun di dalam sel.
Sebaliknya kekurangan vitamin A dapat menurunkan penyerapan dan transport
seng dalam saluran limfe melalui penurunan sintesis zinc dependent binding protein
(Christian dan West 1998).
Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata Z-skor tinggi badan menurut umur
pada bayi baru lahir terus mengalami penurunan sampai usia 3 tahun, penurunan
cukup besar terjadi pada rentang waktu bulan ketiga dan keenam. Pola pertumbuhan
linier pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Prendergast dan
Humphrey 2014, Solomons et al. 2014) yang menyatakan bahwa stunting telah
dimulai sejak janin dalam rahim dan berlanjut sampai dengan usia 2 tahun. Hal ini
terlihat dari rata-rata Z skor TB/U pada bayi yang baru lahir di negara-negara
berkembang adalah -0.5 SD dan terus menurun setelah kelahiran untuk mencapai
titik terendah sekitar -2.0 SD pada usia 18-24 bulan. Hasil serupa diperoleh pada
penelitian kohor di 5 negara, yaitu Brasil. Guatemala. India. Filipina. India dan
Afrika Selatan. rata-rata Z skor TB/U bayi lahir berkisar antara -0.22 di Filipina
sampai -1.47 di Guatemala. Dan pada usia 2 tahun. terjadi penurunan rata-rata nilai
Z skor TB/U dengan kisaran antara -0.61 di Brasil sampai -3.28 di Guatemala (Stein
et al. 2010)
Morbiditas penyakit infeksi yang tinggi akan mengakibatkan penurunan
status gizi anak usia 3 tahun, hal ini terkait dengan masalah gizi mikro terutama
rendahnya kadar hemoglobin, retinol dan seng serum. Penelitian Schmidt et al.
(2001) membuktikan bahwa serum retinol pada anak yang menderita infeksi saluran
pernafasan atas lebih rendah dibandingkan anak yang sehat. Hasil serupa
didapatkan Mikhail et al. (2013), kandungan zat besi, vitamin A dan seng serum
secara signifikan lebih rendah pada anak stunted dibandingkan anak normal. Hal
ini menunjukkan bahwa vitamin A, seng dan zat besi memegang peranan penting
pada pertumbuhan linier. Seng dan vitamin A berperan dalam sistim kekebalan
tubuh sehingga berpengaruh terhadap angka kesakitan dan gangguan pertumbuhan.
Seng juga berperan pada beberapa proses pertumbuhan melalui pembentukan dan
sekresi hormon pertumbuhan (Growth Hormone) serta aktivasi insulin like growth
factors (IGF) serta pembentukan tulang (Mikhail et al. 2013, Chasapis et al. 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan pertambahan tinggi badan, status anemi ibu
hamil dan status pola asuh merupakan tiga faktor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif anak pada usia 3 tahun.
Pertambahan tinggi badan anak sejak lahir sampai usia 3 tahun berhubungan
dengan perkembangan kognitif. Hal ini sejalan dengan penelitian Khomsan et al.
(2013) menunjukkan anak pendek sekali memiliki skor kognitif rendah dan
meningkat seiring peningkatan tinggi badan. Penelitian Crookston (2013), anak
dengan tinggi badan lahir pendek dan tetap pendek pada usia 8 tahun memiliki
kemampuan kognitif lebih rendah dibandingkan anak lahir pendek tetapi menjadi
normal pada usia 8 tahun. Gangguan pertumbuhan sejak dalam kandungan dan terus
berlanjut sampai usia 3 tahun, mengakibatkan keterlambatan perkembangan
kognitif melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) Terhambatnya proliferasi neuron
sehingga jumlah sel otak sedikit; (2) Penurunan dendritic dan kompleksitas
percabangan dendrit yang menghubungkan neuron dengan sel; (3) Jumlah sinaps
(penghubung antar neuron) menjadi lebih sedikit dan mengalami perubahan
struktur. Pada hewan, gangguan pertumbuhan mengakibatkan penurunan
78
Penelitian pada anak usia 17-42 bulan di Brazil (Andrade et al 2005), menunjukkan
adanya korelasi positif antara skor HOME inventory dangan perkembangan
kognitif. Penelitian pada anak-anak pengungsi di Amerika Tengah (Laude 1999),
membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara interaksi ibu dan
anak terhadap perkembangan kognitif anak usia di bawah 3 tahun, namun cara ibu
merespon anak secara emosional dan penataan lingkungan fisik dirumah
merupakan faktor penting dalam perkembangan kognitif anak. Di Indonesia,
penelitian Khomsan et al. (2013) membuktikan bahwa perkembangan kognitif
rendah ditemukan pada anak balita dengan pola asuh psikososial yang rendah.
Lingkungan dan pengalaman memberikan kontribusi pada perkembangan anak, hal
ini dibuktikan pada penelitian hewan yang tinggal di kandang lebih besar dengan
alat alat yang dapat merangsang penglihatan dan gerakan, memiliki berat otak lebih
besar, ketebalan korteks, dan jumlah sinaps (Prado dan Dewey 2014).
Generalisasi Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digeneralisasi pada populasi yang lebih besar atau
pada wilayah lain terutama wilayah yang memiliki masalah gizi yang cukup tinggi
pada ibu hamil maupun wanita usia subur, hal ini berdasarkan pertimbangan
sebagai berikut: (1) lokasi penelitian merupakan daerah pedesaan dan semi
perkotaan dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, (2) tingginya
masalah gizi pada ibu hamil pada sampel penelitian ini. Selain karakteristik
wilayah, penelitian ini dapat digeneralisasikan pada bayi yang dilahirkan cukup
bulan, tidak terlahir sebagai bayi kembar, serta dilahirkan dari ibu hamil yng tidak
menderita penyakit diabetes mellitus, hipertensi atau penyakit kronis lainnya serta
tidak memiliki kebiasaan merokok atau minum minuman beralkohol.
Keterbatasan penelitian
Keterbatasan pada penelitian ini antara lain: (1) sifat penelitian longitudinal
memiliki kelemahan pada kemungkinan sampel drop out atau tidak terlacak (lost to
follow up), hl ini berkibt pada penurunan jumlah sampel dan dapat mempengaruhi
kebermaknaan dan kekuatan hasil analisis data. Jumlah sampel pada tahap pertama
sebesar 323 ibu hamil, kemudian pada tahap kedua berkurang menjadi 262 bayi yng
dilahirkn dari ibu hamil tahap pertema dan tahap 3 jumlah sampel menjadi 190
anak. Pada analisis data jumlah sampel sebanyak 150 anak yang memiliki data
status gizi lengkap; (2) tidak dikumpulkannya data kondisi lingkungan seperti
kebersihan rumah, penggunaan air bersih dan kebiasaan merokok yang dapat
menjadi penyebab tingginya angka kesakitan (3) penggunaan metode pengumpulan
data konsumsi dan pola makan yang tidak beragam pada sampel mengakibatkan
sulitnya menganalisis data konsumsi pangan.
Simpulan
Saran
Alive and Thrive. 2010. Why Stunting Matters. Insight 2nd Issue. A&T Technical
Brief. [Online]. [Accessed 15 Agustus 2013].
Alive and Thrive. 2012. Nutrition And Brain Development In Early Life. Insight 3rd
Issue. A&T Technical Brief. [Online]. [Accessed 15 Agustus 2013].
Allen LH. 2012. Maternal Nutrient Metabolism And Requirements In Pregnancy
And Lactation. In: Jr., J. W. E., Macdonald, I. A. & Zeisel, S. H. (Eds.)
Present Knowledge In Nutrition. 10 Th Ed. Iowa Usa: Wiley Blackwell.
Andrade SA, Santos DN, Bastos AC, Pedromonico MRM, et al. 2005. Family
Environment and Child’s Cognitive Development: an Epidemiological
Approach. Rev Saude Publica : 39(4)
Aries M, Hardinsyah, Tuhiman H. 2012. Determinan Gizi Kurang dan Stunting
Anak Umur 0-36 bulan Berdasarkan Data Progam Keluarga Harapan (PKH)
2007. J Gizi dan Pangan 7(1):119-26.
[Balitbangkes RI] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik
Indonesia. 2010. Laporan Hasil Riskesdas Indonesia 2010. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
[Balitbangkes RI] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik
Indonesia. 2013. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Barbara M and Black A. 2003. Markers of Validity of Reported Energy Intake, The
American Society for Nutritional Sciences. J. Nutr 133: 895S-920S.
Bayley N. 2005. Bayley Scales of Infant and Toddler Development - Third Edition:
Administration Manual. San Antonio, TX Harcourt Assessment
Belfort MB, Rifas-Shiman SL, Kleinman KP, Guthrie LB, Bellinger DC, Taveras
EM, Gillman MW & Oken E. 2013. Infant Feeding And Childhood Cognition
At Ages 3 And 7 Years Effects Of Breastfeeding Duration And Exclusivity.
Jama Pediatrics [Online]. [Accessed 15 Agustus 2013].
Berk LE 2008. Exploring Lifespan Development. Boston: Pearsons Education Inc
Bhandari N, Bahl R, Taneja S. 2001. Effect of micronutrient supplementation on
linier gowth of children. Br J Nutr. 85(Suppl2):S131–7. doi:
10.1049/BJN2000305
Black MM, Baqui AH, Zaman K, Persson LA, Arifeen SE, Le K, Mcnary SW,
Parveen M, Hamadani JD & Black RE. 2004. Iron And Seng Supplementation
Promote Motor Development And Exploratory Behavior Among Bangladeshi
Infants. Am J Clin Nutr 80: 903-910.
Brown JE. 2005. Nutrition During Pregnancy. In: Brown, J. E. (Ed.) Nutrition
Through The Life Cycle. 2nd Ed. Australia: Thomson Wadsworth.
83
Caldwell BM, & Bradley RH. 2003. Home Observation for Measurement of
the Environment: Administration Manual. Tempe, AZ: Family & Human
Dynamics Research Institute, Arizona State University.
Chasapis CT, Loutsidou AC, Spiliopoulou CA, Stefanidou ME. 2012. Zinc and
human health: an update. Arch Toxicol 86(4):521-34. doi:
10.1210/jc.81.8.3123
Crookston BT, Dearden KA, Alder SC, Porucznik CA, Stanford JB, Merrill RM,
Dickerson TT & Penny ME. 2011. Impact Of Early And Concurrent Stunting
on Cognition. Maternal And Child Nutrition, 7, 397-409.
Crookston BT, Schon W, Cueto S, Dearden KA, Eagle A, Georgiadis A, Lundeen
EA, Penny ME, Stein AD, Behrman JR. 2013. Postinfancy growth, schooling,
and cognitive achievement: Young lives. Am J Clin Nutr 98:1555-63.
Drewett R, Wolke D, Asefa M, Kaba M & Tessema F. 2001. Malnutrition And
Mental Development: Is There A Sensitive Period? A Nested Case-Control
Study. J. Child Psychol. Psychiat., 42, 181-187.
Drewnowski A, Spector SE. 2004. Poverty and Obesity: The Role of Energy Score.
Am J Clin Nutr 79:6-16
Durán CC, Perales CG, Hertrampf ED, Marín VB, Rivera FA & Icaza G. 2001.
Effect Of Seng Supplementation On Development And Gowth Of Chilean
Infants. The Journal Of Pediatrics 138, 229-235.
Eickmann SH, Lira PICD, Lima MDC, Coutinho SB, Teixeira MDLPD &
Ashworth A. 2007. Breast Feeding And Mental And Motor Development At
12 Months In A Low-Income Population In Northeast Brazil. Paediatric And
Perinatal Epidemiology, 21, 129-137.
Enig MG. 2010. Vitamin A For Fetal Development. Weston A Price Foundation
[Online].
Erick M. 2008. Nutrition During Pregnancy and Lactation. In: Mahan, L. K. &
Stump, S. E. (Eds.) Krause's Food And Nutrition Therapy. 12th Ed. Canada:
Saunders Elsevier Inc.
Ernawati F, Rosmalina Y, Ridwan E, Permaesih D, Safitri A, Susilawati MD,
Permanasari Y & Luciasari E. 2012. Studi Longitudinal Faktor Risiko
Terjadinya Stunting Pada Anak Bawah Dua Tahun [Laporan Penelitian].
Bogor: Pusat Teknologi Terapan Kesehatan Dan Epidemiologi Klinik
Balitbangkes RI
Espo M, Kulmala T, Maleta K, Cullinan T, Salin M, Ashorn P. 2002. Determinants
Of Linear Growth And Predictors Of Severe Stunting During Infancy In Rural
Malawi. Acta Paediatric, 91: 1364-1370.
Fahmida U, Rumawas JSP, Utomo B, Patmonodewo S, Schultink W. 2007. Zinc-
iron, but not zinc alone suplementation, increased linear growth of stunted
infants with low haemoglobin. Asia Pac J Clin Nutr 16(2):301-309.
Fikawati S, Wahyuni D, Syafiq A. 2012. Status Gizi Ibu Hamil dan berat lahir bayi
pada kelompok vegetarian. Makara Kesehatan 16(1);29-35.
84
Gage SH, Lawlor DA, Tilling K & Fraser A. 2013. Associations Of Maternal
Weight Gain In Pregnancy With Offspring Cognition In Childhood and
Adolescence: Findings from The Avon Longitudinal Study of Parents and
Children. American Journal Of Epidemiology, 177, 402-410.
Gale CR, Martyn CN, Marriott LD, Limond J, Crozier S, Inskip HM, Godfrey KM,
Law CM, Cooper C & Robinson SNM. 2009. Dietary Patterns in Infancy and
Cognitive and Neuropsychological Function In Childhood. Journal Of Child
Psychology And Psychiatry, 50, 816-823.
Gavana MY, Yablonskia GG & Phillip M. 2013. Nutritional Biomarkers For
Growth Outcomes: Perspective of The Endocrinologist. Nutrition and
Growth. World Rev Nutr Diet. Basel, Karger, 106, 19-25.
Gernand AD, Christian P, Paul RR et al. 2012. Maternal Weight and Body
Composition during Pregnancy Are Associated with Placental and Birth
Weight in Rural Bangladesh. The Journal of Nutrition, doi:
10.3945/jn.112.163634.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. New York,
Oxford University Press.
Hadi H, Stoltzfus RJ, Dibley MJ, Moulton LH, West KP, Kjolhede CL, Sadjimin
T. 2000. Vitamin A Supplementation Selectively Improves the Linier Growth
of Indonesian Preschool Children: Results from A Randomized Controlled
Trial. Am J Clin Nutr 71:507-13
Hairunis MN, Rohmawati N, Ratnawati LY. 2016. Determinan Kejadian Stunting
pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Soromandi Kabupaten Bima
Nusa Tenggara Barat. E-Jurnal Pustaka Kesehatan 4(2): 323-329.
Hanum F, Khomsan A, Heryatno Y. 2014. Hubungan Asupan Gizi dan Tinggi
Badan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. J Gizi dan Pangan 9(1):1-6.
Hautvast JLA, Tolboom JJM, Kafwembe EM, Musonda RM, Mwanakasale V,
Staveren WA, Hof MA, Sauerwein RW, Willems JL, Monnens LAH. 2000.
Severe Linear Growth Retardaation in Rural Zambia Children: The Influence
of Biological Variables. Am J Clin Nutr 71:550-559.
Herawati T. 2003. Pengaruh Pemberian Biscuit Ibu Hamil Dan Status Pemberian
Asi Terhadap Pertumbuhan Linier Dan Perkembangan Bayi 0-6 Bulan.
Institut Pertanian Bogor.
Hermina dan Prihatini S. 2011. Gambaran Keragaman Makanan dan
Sumbangannnya Terhadap Konsumsi Energi Protein Pada Anak Balita
Pendek (Stunting) di Indonesia. Bulletin Penelitian Kesehatan 39(2). pp: 62-
73.
Hidayati M, Hadi H dan Susilo J. 2005. Kurang Energi Kronis Dan Anemia Ibu
Hamil Sebagai Faktor Risiko Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah Di Kota
Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sains Kesehatan, 18, 483-491.
Hill ID. 2013. Zinc Supplementation During Pregnancy. E-Library Of Evidence For
Nutrition Actions (Elena) [Online].
85
Martorell R. & Young MF. 2012. Patterns Of Stunting and Wasting: Potential
Explanatory Faktors. Adv. Nutr, 3, 227-233.
Medhin G, Hanlon C, Dewey M, Alem A, Tesfaye F, Worku B, Tomlinson M. &
Prince M. 2010. Prevalence and Predictors of Undernutrition among Infants
Aged Six and Twelve Months in Butajira, Ethiopia: The P-Mamie Birth
Cohort. BMC Public Health 10, 1-15.
Mehta S, Tandon A, Dua T, Kumari S & Singh SK. 1998. Clinical Assessment of
Nutritional Status at Birth. Indian Pediatrics 35, 423-428.
Meirita, Martianto DH & Sunarti, E. 2000. Hubungan Kuantitas dan Kualitas
Pengasuhan dengan Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun di Desa
Rancamaya Kota Bogor. Media Gizi Dan Keluarga, XXIV, 23-27.
Mikhail WZA, Sobhy HM, El-sayed HH. Khairy SA, Abu Salem HYH, Samy MA.
2013. Effect of Nutritional Status on Growth Pattern of Stunted Preschool
Children in Egypt. Academic Journal of Nutrition 2 (1): 01-09, DOI:
10.5829/idosi.ajn.2013.2.1.7466.
Mohsen dan Wafay. 2007. Influence of Maternal Antropometric Measurement and
Serum Biochemical Nutritional Indicators on Fetal Growth. J Med Sci
7(8):1330-1334
Moura DRD, Costa JC, Santos, I. S., Barros, A. J. D., Matijasevich, A., Halpern,
R., Dumith, S., Karam, S. & Barros, F. C. 2010. Risk Faktors for Suspected
Developmental Delay at Age 2 Years in A Brazilian Birth Cohort. Paediatric
And Perinatal Epidemiology, 24, 211-221.
Najahah I. 2014. Faktor Risiko Panjang Lahir Bayi Pendek di Ruang Bersalin
RSUD Patuh Patju Kabupaten Lombok Barat. Media Bina Ilmiah 8(1):16-23.
Nriagu J. 2007. Zinc Deficiency in Human Health. Elsevier.
Onis M, Branca F. 2016. Childhood Stunting: A Global Perspective. Maternal &
Child Nutrition 12 (Suppl. 1), pp. 12–26
Papalia DE, Feldman RD, Martorell G 2014. Menyelami Perkembangan Manusia.
Jakarta:Salemba Humanika
Prado EL, Dewey KG. 2014. Nutrition and Brain Development in Early Life.
Nutrition Review Vol 72(4):267-284.
Prendergast AJ, Humphrey JH. 2014. Review the Stunting Syndrome in Developing
Countries. Paediatrics and International Child Health DOI:
10.1179/2046905514Y.0000000158.
Prihananto V. 2007. Pengaruh Pangan Fortifikasi Multi Gizi Mikro Terhadap
Status Gizi Ibu Hamil Dan Berat Badan Bayi Lahir. Disertasi, Institut
Pertanian Bogor.
Ramakrishnan U, Aburto N, McCabe G, Martorell R. 2004. Multimicronutrient
interventions but not vitamin A or iron interventions alone improve child
gowth: results of 3 meta-analyses. J Nutr 134(10):2592–602.
Roland MCP, Friis CM, Godang K, Bollerslev J, Haugen G, Henriksen T. 2014.
Maternal Faktors Associated with Fetal Grow and Birthweight are
87
Solomons NW, Vassenaar M, Chomat AM, Doak CM, Kaski KG, Scott ME. 2014.
Stunting at birth: Recognition of Early-Life Linear Growth Failure in The
Western Highlands of Guatemala. Public Health Nutrition. 18(10): 1737-
1745. DOI:10 .1017/S136898001400264X.
Souganidis. 2012. The Relevance of Micronutrients to The Prevention of Stunting.
Sight and Life 26 (2).
Stein AD, Wang M, Martorell R, Norris SA, et al. 2010. Growth Patterns in Early
Childhood and Final Attained Stature: Data from Five Birth Cohorts from
Low- And Middle-Income Countries. American Journal of Human Biology
22: 353–359.
Stewart, C.P., Katz, S.K., LeClerq, S.C., Shrestha, S.R., West, K.P. Christian, P.
2007. Preterm Delivery But Not Intrauterine Growth Retardation is
Associated with Young Maternal Age among Primiparae in Rural Nepal.
Maternal and Child Nutrition 3: 174 - 185
Strakovsky RS, Zhou D, Pan YX. 2010. A Low-Protein Diet during Gestation in
Rats Activates the Placental Mammalian Amino Acid Response Pathway and
Progams the Gowth Capacity of Offspring. The Journal of Nutrition 140:
2116–2120.
Subramanian SV, Ackerson LK, Smith GD. 2010. Parenteral BMI and Childhood
Undernutrition in India: an Assessment of Intrauterine Influence. Pediatrics
126: e663–e671
Sunarno I, Wijayanegara H, Mose JC & Manoe IMSM. 2009. Korelasi Antara
Insulin-Like Growth Factor - 1, Anemia Defisiensi Besi, dan Biometri Janin
pada Kehamilan Trimester III. Indonesian J Obstet Gynecol, 33, 160-166.
Supariasa IDN, Bakri B. & Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi, Jakarta, EGC
Penerbit Buku Kedokteran.
Svefors P, Rahman A, Ekström EC, Khan AI, Lindström E, Persson LA, et al. 2016.
Stunted at 10 Years. Linear Growth Trajectories and Stunting from Birth to
Pre-Adolescence in a Rural Bangladeshi Cohort. PLoS ONE 11(3): e0149700.
DOI:10.1371/journal.pone.0149700.
Talahatu AH. 2006. Kajian Indeks Massa Tubuh (Imt) Dan Pertambahan Berat
Badan Ibu Hamil Serta Hubungannya Dengan Tumbuh Kembang Bayi Lahir
Di Kota Ambon. Institut Pertanian Bogor.
Tanuwidjaya S. 2008. Konsep Umum Tumbuh Dan Kembang. In: Narendra, M. B.,
Sularyo, T. S., Soetjiningsih, Suyitno, H., Ranuh, I. G. & Wiradisuria, S.
(Eds.) Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto
Thompson RA, Nelson CA. 2001. Developmental Science and the Media.
American Psychological Association Vol. 56(1):5-15.
Tielsch JM, Rahmatullah L, Katz J, Thulasiraj RD, Coles C, Sheeladevi S, Prakash
K. 2008. Maternal night blindness during pregnancy is associated with low
birthweight, morbidity, and poor growth in South India. J Nutr. 138:787-792.
89
Uauy R, Kain J, Corvalan C. 2011. How Can The Developmental Origins Of Health
And Disease (Dohad) Hypothesis Contribute To Improving Health In
Developing Countries?. Am J Clin Nutrition 94 (Suppl): 1759s-1764s.
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, et al. 2008. Maternal
and Child Undernutrition: Consequences for Adult Health and Human
Capital. Lancet.;371:340-357.
W.Z.A. Mikhail. H.M. Sobhy. H.H. El-sayed. S.A. Khairy. H.Y.H. Abu Salem.
M.A. Samy. 2013. Effect of Nutritional Status on Growth Pattern of Stunted
.Preschool Children in Egypt. Academic Journal of Nutrition 2 (1): 01-09,
DOI: 10.5829/idosi.ajn.2013.2.1.7466.
Wamani H, Astrom AN, Peterson S, Tumwine JK, Tylleskar T. 2007. Boys are
More Stunted than Girls in Sub-Saharan Africa: A Meta-Analysis of 16
Demogaphic and Health Surveys. BMC Pediatr 7:17. doi: 10.1186/1471-
2431-7-17.
WHO. 2006. Vitamin and Mineral Nutrition Information Systems: WHO Global
Database on Vitamin A Deficiency. Geneva: World Health Organization
WHO. 2006a. Child Growth Standards: Length/Height-for-Age, Weight-for-Age,
Weight-for-Length, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-Age:
Methods nd Development. Geneva: World Health Organization
WHO. 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile
Indicators: Interpretation Guide. Switzerland : World Health Organization.
WHO. 2013. World Health Statistics 2013. Geneva: World Health Organization.
Yongky. 2007. Analisis Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil Berdasarkan Status
Sosial Ekonomi dan Status Gizi Serta Hubungannya dengan Berat Bayi Baru
Lahir. Institut Pertanian Bogor.
Yin Shu W, Wu C, Hsieh T, Lo H, Lin J, Kao D. 2013. Low Body Weight Gain,
Low White Blood Cell Count and High Serum Ferritin as Markers of Poor
Nutrition and Increased Risk for Preterm Delivery. Asia Pac J Clin Nutr
22(1): 90 99.
Yuniarti S. 2015. Asuhan Tumbuh Kembang : Neonatus, Bayi-Balita dan Anak
Prasekolah. Bandung: PT Refika Aditama
Zile MH. 2001. Function of Vitamin A in Vertebrate Embryonic Development. J
Nutr 131:705-708.
90
LAMPIRAN
91
LAMPIRAN
1. Status Gizi Ibu Hamil sebagai Faktor Risiko Panjang Bayi Lahir Rendah
Logistic Regression
Tidak 0
Ya 1
Frequency (1)
Kurang 41 1.000
RL_WG Sesuai standart 31 .000
Di bawah standart 42 1.000
RL_Zinc1 Zn >= 0.7 mg/l 32 .000
Zn < 0.7 mg/l 41 1.000
RL_vitA1 Vitamin A >=20 58 .000
vit A < 20 15 1.000
RL_Hb1 Hb ibu >=11 g/dl 63 .000
hb ibu < 11 g/dl 10 1.000
RL_TBibu >= 150 39 .000
< 150 34 1.000
RL_Prot2 >= 6.4 52 .000
<6.40 21 1.000
RL_Tk_Eng3 Cukup 9 .000
Kurang 64 1.000
RL_Hb2 Hb ibu >=11 g/dl 40 .000
hb ibu < 11 g/dl 33 1.000
RL_Alb2 alb >= 3.4 63 .000
alb < 3.4 10 1.000
RL_IMT_PP Baik 60 .000
Kurang 13 1.000
93
Classification Tablea,b
Predicted
RL_IUGR Percentage
Observed Tidak Ya Correct
Ya 19 0 .0
Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
Classification Tablea
Predicted
RL_IUGR
Ya 10 9 47.4
Logistic Regression
Classification Tablea,b
Predicted
GF_3th_RL Percentage
Observed Normal GF Correct
Step 0 GF_3th_RL Normal 0 36 .0
GF 0 101 100.0
Overall Percentage 73.7
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
97
Classification Tablea
Predicted
GF_3th_RL Percentage
Observed Normal GF Correct
Step 1 GF_3th_RL Normal 16 20 44.4
GF 10 91 90.1
Overall Percentage 78.1
a. The cut value is .500
98
95% C.I.for
EXP(B)
Logistic Regression
Parameter coding
Frequency (1)
HOME_RL Baik 65 .000
Kurang 45 1.000
TBParu_RL Tidak 99 .000
Ya 11 1.000
RL_Hb2 Hb>=11.0 59 .000
Hb<11.0 51 1.000
RL_deltaTB_03t Sesuai 32 .000
Kurang 78 1.000
Classification Tablea,b
Predicted
PerKOg_reglog Percentage
Observed sesuai bawah Correct
Step 0 PerKOg_reglog sesuai 0 27 .0
bawah 0 83 100.0
Overall Percentage 75.5
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Score df Sig.
Step 0 Variables RL_deltaTB_03t(1) 6.300 1 .012
TBParu_RL(1) 1.576 1 .209
RL_Hb2(1) 6.010 1 .014
HOME_RL(1) 13.144 1 .000
Overall Statistics 26.977 4 .000
Model Summary
-2 Log Cox & Snell Nagelkerke R
Step likelihood R Square Square
1 90.959a .250 .372
a. Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Predicted
PerKOg_reglog Percentage
Observed sesuai bawah Correct
Step 1 PerKOg_reglog sesuai 9 18 33.3
bawah 1 82 98.8
Overall Percentage 82.7
a. The cut value is .500
101
RIWAYAT HIDUP