Anda di halaman 1dari 6

PROPOSAL SKRIPSI

MENCARI ARTIKEL, LIHAT MASALAH, PENYEBAB, DAN AKIBAT


DOSEN : Dr. Tetty Herta Doloksaribu, STP, MKM

DISUSUN OLEH:
NOVA ARIANTI BR BANGUN
P01031220067
DIV VI B

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MEDAN
SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA
2023
1. HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, VITAMIN C DAN SENG
DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA BALITA STUNTING
Sumber : Garuda
Link :
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1430079&v
al=4711&title=HUBUNGAN%20ASUPAN%20PROTEIN%20ZAT%20BESI
%20VITAMIN%20C%20DAN%20SENG%20DENGAN%20KADAR%20HE
MOGLOBIN%20PADA%20BALITA%20STUNTING

• Masalah : Anemia dapat disebabkan karena masalah gizi, yaitu


defisiensi satu atau beberapa zat gizi esensial, dan masalah non-gizi,
seperti kehilangan darah yang berlebih. Balita merupakan kelompok
rawan terkena anemia. Anemia yang terjadi pada balita diakibatkan oleh
masalah gizi. Berdasarkan laporan WHO prevalensi anemia pada anak
usia pra-sekolah mencapai 47,4%.6 Prevalensi anemia pada anak
termasuk kategori tinggi, pada negara berkembang. Dua per tiga anak
di Asia Tenggara mengalami anemia. Faktor penyebab terjadinya
anemia pada balita adalah rendahnya asupan zat besi, protein, vitamin
C dan seng. Defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia,
sekitar 50% kasus anemia terjadi karena defisiensi zat besi.
Penelitian mengenai beberapa masalah gizi yang terjadi secara
bersamaan pada balita di Honduras menunjukkan bahwa 36% balita
stunting mengalami anemia (berusia 12 – 35,9 bulan), sedangkan pada
usia 36 – 59,9 bulan, 38% balita stunting mengalami anemia. Penelitian
lain di China pada anak usia 2 – 7 tahun menunjukkan bahwa prevalensi
anemia sebesar 24,1% pada balita stunting. Sedangkan penelitian di
India menunjukkan bahwa 29,2% balita stunting mengalami anemia.

• Dampak :
Balita stunting memliki dampak kesehatan jangka pendek dan panjang
yang buruk. Balita stunting di Honduras biasanya menderita dua sampai
tiga masalah gizi sekaligus, seperti anemia, defisiensi zat besi dan
defisiensi vitamin A. Meskipun stunting bersifat irreversible, namun
kejadian anemia dapat bersifat reversible, terlebih apabila pengobatan
tersebut dilakukan saat masih anak-anak sehingga kemungkinan lebih
besar akan bertahan lebih lama. Penelitian di Venezuela menunjukkan
bahwa skor TB/U bergeser kekiri pada balita anemia, dibandingkan
dengan balita non-anemia. Hal ini menunjukkan bahwa stunting
merupakan salah satu faktor penyebab anemia.

• Penyebab : Salah satu kelompok yang rentan anemia adalah balita


stunting. Stunting merupakan salah satu indikator malnutrisi kronik yang
terjadi akibat defisiensi asupan zat gizi atau penyakit infeksi yang terjadi
dalam jangka waktu yang lama. Hal inilah yang memungkinkan stunting
menjadi salah satu faktor penyebab anemia.

2. Pencegahan Stunting melalui Pelatihan Pemberian ASI Eksklusif dan Makanan


Pendamping ASI (MP ASI)

• Sumber : Garuda
• Link :
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/1484003

• Masalah : Kejadian balita pendek atau sering disebut dengan


stunting adalah salah satu masalah gizi yang dialami olehbalita di
dunia saat ini. Pada tahun 2017 terdapat 22,2% atau sekitar 150,8 juta
balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada
tahun 2000 yaitu 32,6%. Menurut World Health Organization (WHO),
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi
di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata
prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun
terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan
masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi
balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5%
menjadi 29,6% pada tahun 2017(Kemenkes RI, 2018)

• Dampak : Asupan nutrisi yang tidak tepat juga akan


menyebabkan anak mengalami malnutrisi yang akhirnya
meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas. Kurang gizi
pada balita dapat berdampak terhadap pertumbuhan fisik maupun
mentalnya. Anak kelihatan pendek dan kurus dibandingkan teman-
teman sebayanya yang lebih sehat, ketika memasuki usia sekolah tidak
bisa berprestasi menonjol karena kecerdasannya terganggu.
Kekurangan gizi pada bayi akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, apabila tidak diatasi secara dini akan
berdampak hingga dewasa. Pada usia 0 –24 bulan seorang bayi
adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, atau
disebut juga sebagai periode emassekaligus periode kritis. Periode
emas dapat terwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak
memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal.

• Penyebab : sebagian besar kejadian kurang gizi dapat dihindari


apabila mempunyai cukup pengetahuan tentang cara pemeliharaan
gizi dan mengatur makanan anak. Ketidaktahuan tentang cara
pemberian makanan bayi dan anak, dan adanya kebiasaan yang
merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi
penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi dan infeksi pada anak,
khususnya pada umur dibawah 2 tahun. Salah satu masalah
kekurangan gizi yang mengintai bayi dan balita adalah stunting. Stunting
menandakan terjadinya gangguan pertumbuhan yang potensial pada
tinggi badan dimana penyebabnya meliputi retardasi pertumbuhan di
dalam intrauterine, gizi yang tidak terpenuhi untuk menunjang
pertumbuhan dan perkembangan serta penyakit infeksi selama awal
kehidupan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya.

3. GAMBARAN KARAKTERISTIK KELUARGA, POLA MAKAN DAN AKTIVITAS


FISIK PADA ANAK STUNTING DI SEKOLAH DASAR NEGERI 176350
HUTAGURGUR KECAMATAN DOLOKSANGGUL KABUPATEN HUMBANG
HASUNDUTAN

• Sumber : Garuda
• Link :
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1424990&v
al=4108&title=GAMBARAN%20KARAKTERISTIK%20KELUARGA%20
POLA%20MAKAN%20DAN%20AKTIVITAS%20FISIK%20PADA%20A
NAK%20STUNTING%20DI%20SEKOLAH%20DASAR%20NEGERI%
20176350%20HUTAGURGUR%20KECAMATAN%20DOLOKSANGG
UL%20KABUPATEN%20HUMBANG%20HASUNDUTAN

• Masalah : Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 Prevalensi anak


stunting usia 6 – 12 tahun di Indonesia sebesar 30,7% dengan rincian
12,3% tergolong sangat pendek dan 18,4% pendek. Prevalensi anak
stunting usia sekolah (6-12 tahun) di Provinsi Sumatera Utara mencapai
43,2% dengan rincian 20,6% sangat pendek dan 22,6% pendek.

• Dampak : (Kemenkes RI, 2011). Dalam keadaan normal, pertumbuhan


tinggi badan berbanding lurus dengan bertambahnya usia. Pengaruh
kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam
waktu yang cukup lama (Soekirman, 2000). Dampaknya pada masa
dewasa diantaranya adalah terbatasnya kapasitas kerja karena
terjadinya pengurangan aktivitas tubuh dan pada wanita dapat
menyebabkan terjadinya risiko komplikasi kandungan karena memiliki
ukuran panggulyang kecil serta berisiko melahirkan bayi dengan berat
lahir rendah.

• Penyebab : Pola konsumsi anak stunting kategori pendek maupun


kategori sangat pendek tergolong tidak baik yang dilihat dari kecukupan
gizi makro dan kecukupan gizi mikro. Kecukupan energi dan protein
anak stunting tergolong kurang dengan persentase sebesar 95,3% dan
93%. Kecukupan gizi mikro seperti kalsium, fosfor, seng, vitamin A dan
vitamin C juga tergolong kurang dengan persentase masing masing
adalah kalsium (100%), fosfor (58,1%), seng (97,7%), Vitamin A
(95,5%), vitamin C (93%), sedangkan kecukupan magnesium tergolong
baik dengan persentase 88,4%. Jenis makanan yang dikonsumsi anak
stunting sebagian besar tidak lengkap yang dapat diketahui dari
kurangnya variasi menu setiap hari kali makan. Frekuensi makan anak
stunting cenderung mengonsumsi makanan pokok, lauk pauk, dan
sayuran, sementara buah dan susu masih sangat kurang dikonsumsi.

4. POLA KONSUMSI PANGAN DAN ASUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI ANAK
STUNTING DAN TIDAK STUNTING 0—23 BULAN
• Sumber : Garuda
• Link :
https://jurnal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/view/12368

• Masalah : Masalah stunting akhir-akhir ini semakin men-jadi


perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk
Indonesia. Hasil studi Riskes-das di Indonesia oleh Kemenkes (2010)
menemukan prevalensi stunting anak 1 dan 2 tahun berturut-turut
sebanyak 32.1 dan 41.5%, dan studi review di 36 negara oleh Bhutta et
al. (2008) menemukan se-banyak 40 dan 54%. WHO (2006)
menjelaskan bahwa prevalensi stunting yang lebih besar dari 20%
dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat.

• Dampak : Pada anak 0—5 bulan, rata-rata tingkat ke-cukupan


zat gizi, densitas asupan zat gizi, maupun mutu gizi asupan pangan
anak stunting sama dengan anak tidak stunting. Hal ini antara lain
karena pada usia tersebut ASI saja sudah cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi mereka. WHO menganjurkan bahwa anak usia 0—5
bulan agar hanya diberikan ASI saja sedangkan Winarno (1990)
menjelaskan pula bahwa selama 4—6 bulan pertama, ASI mampu
memenuhi kebutuhan gizi bayi.

• Penyebab : WHO (2001) melaporkan salah satu penyebab stunting


adalah ASI, serta kualitas dan kuantitas makanan pendamping ASI
yang tidak adequate. WHO juga menganjurkan mulai usia 12 bulan,
anak diperkenalkan makanan orang dewasa dengan memperhatikan
tekstur dan rasa yang se-suai, dan dibutuhkan perubahan secara
bertahap dari makanan lembut ke makanan keluarga. salah satu
penyebab penurunan pertumbuhan linier adalah kekurangan zat gizi
mikro (multivitamin mineral). Sumber mi-neral dan vitamin terbaik
untuk bayi berasal dari pangan hewani, meliputi daging sapi, jeroan,
daging unggas, ikan, kerang, telur, serta susu dan hasil olahannya.
5. DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN PROTEIN NUGGET KOMBINASI
KACANG MERAH (Phaseolus Vulgaris. L) DAN HATI AYAM SEBAGAI
PANGAN ALTERNATIF SUMBER PROTEIN UNTUK PENCEGAHAN
STUNTING

• Sumber : Garuda
• Link :
https://jhhs.stikesholistic.ac.id/index.php/jhhs/article/view/46

• Masalah : Stunting menjadi salah satu permasalahan gizi di


Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30.8%
berdasarkan hasil pengukuran TB/U, hasil tersebut terdiri dari
pendek 17.1% dan sangat pendek 12.8%. Pencegahan dapat
dilakukan pada masa prakonsepsi dengan memperhatikan asupan
protein, sumber protein salah satunya didapatkan dari kacang merah
dan hati ayam

• Dampak : Stunting memberikan dampak jangka panjang dan


jangka pendek, dampak jangka pendek yang akan di dapat
seperti mudah terkena penyakit infeksi, serta gangguan
perkembangan kognitif, motorik dan verbal.Anak yang
mengalami stunting diatas usia dua tahun tidak dapat disembuhkan
oleh karena itu perlu dicegah. Masyarakat saat ini mengalami
perubahan gaya hidup yang berdampak pada konsumsi pangan
yang dipilih.10Masyarakat lebih menyukai makanan yang
praktis. Berdasarkan penelitian sebelumnya , nugget disukai
dari setiap golongan umur mulai dari anak- anak, remaja, dewasa,
sampai dewasa akhir dengan usia 36-45 tahun.

• Penyebab : stunting dapat dilakukan pada saat prakonsepsi


yaitu saat pembuahan dimana sel ovum bertemu dengan
sperma. Wanita di masa prakonsepsi dapat dikatakan
sebagai wanita dewasa atau Wanita Usia Subur (WUS), rentang
usia 15-49 tahun dapat dikatakan sebagai WUS.3Masa
prakonsepsi termasuk yang akan mempengaruhi masa
kehamilan. Asupan makanan akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan janin.

Anda mungkin juga menyukai