Anda di halaman 1dari 12

Status, Penyebab, dan Mitigasi Tengkes/Stunting di Indonesia

melalui Pendekatan Pemikiran Spasial

Anak-anak sebagai generasi muda adalah masa depan harapan bangsa.


Harapan bangsa tersebut dapat terhambat akibat penyakit tengkes (stunting).
Penyakit stunting merupakan gangguan pertumbuhan anak yang ditandai dengan
kondisi kurangnya tinggi badan dan berat badan anak apabila dibandingkan dengan
anak-anak seusianya. Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6%,
sementara target yang ingin dicapai Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
adalah 14% pada tahun 2024. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat
dianggap kronis apabila prevalensi tengkes di Indonesia lebih dari 20%. Hal itu
menunjukkan masih banyak hal yang harus dibenahi oleh pemerintah maupun
masyarakat untuk menghadapi tantangan tengkes di Indonesia.

Gambar 1 Peta Persebaran Prevalensi Stunting di Indonesia


Sumber: https://tanahair.indonesia.go.id/dashboard-stunting/

Secara umum, World Health Organization (WHO) membagi diagram


tengkes menjadi tiga bagian yakni Dampak Tengkes/Stunting bagi anak-anak,
Penyebab Stunting pada anak-anak, dan Aspek dan Upaya Mitigasi yang
mempengaruhi Prevalensi Stunting.
Gambar 2 Diagram Konteks, Penyebab, dan Dampak Tengkes bagi Anak-anak

Sumber: https://www.who.int/publications/m/item/childhood-stunting-context-causes-and-
consequences-framework

a. Dampak dan Status Tengkes/Stunting bagi Anak-anak


1. Peningkatan Mortalitas dan Morbiditas
Konsekuensi langsung yang terburuk dari tengkes itu sendiri adalah
kematian dari bayi dan balita terutama bayi yang berusia kurang dari
dua tahun. Ini menjadi masalah serius karena generasi muda yang bisa
menjadi manfaat dan bonus demografi bagi Indonesia menuju Generasi
Emas 2045 mendatang

2. Kapasitas Kognitif, Motorik, dan Bahasa yang menurun


Otak yang berkembang sangat rentan terhadap kekurangan
nutrisi antara 24 dan 42 minggu selama masa kehamilan karena
perjalanan cepat dari beberapa proses neurologis, terutama
pembentukan sinaps dan mielinisasi. Pada bayi yang sehat, ada
pertumbuhan otak cepat yang terdokumentasi dengan baik dalam 2
tahun pertama, periode awal ini juga penting untuk perkembangan saraf
jangka panjang.

Fungsi kognitif, bahasa reseptif dan ekspresif, dan keterampilan


sosioemosional berkembang pada usia yang berbeda. Perkembangan
struktur dan fungsi otak yang mendukung perolehan keterampilan
kognitif, bahasa, dan sosioemosional paling cepat selama masa kanak-
kanak, dengan perkembangan berkelanjutan di tahun-tahun berikutnya
untuk banyak keterampilan. Kurang gizi mempengaruhi area otak yang
terlibat dalam kognisi, memori, dan keterampilan alat gerak.

Gambar 3 Hubungan antara Kondisi Stunting dan Skor IQ

Sumber: Aurora, W. (2020). Perbandingan Skor IQ (Intellectual Question) Pada Anak


Stunting Dan Normal.

Gambar 3 menunjukkan bahwa anak yang pendek/stunting yang


mendapatkan nilai skor IQ rata-rata ke atas adalah sebesar 64% dan yang
mendapatkan nilai skor IQ rata-rata ke bawah sebesar 36%. Sedangkan
pada anak yang tidak stunting yang mendapatkan nilai IQ rata-rata ke
atas adalah 72% dan yang mendapat nilai IQ rata-rata ke bawah adalah
28%. Dari hasil uji statistik menunjukan adanya hubungan yang
bermakna antara stunting dengan kecerdasan intelektual pada anak. Hal
ini terliht dari nilai p = 0.000, sedangkan nilai OR yang didapatkan
adalah 4,57 (95% CI:2,1733-9,6873). Artinya adalah anak-anak yang
stunting berisiko 4,57 kali untuk mendapatkan kecerdasan intelektual
rata-rata ke bawah dibandingkan pada anak yang tidak stunting.

3. Peningkatan Biaya Ekonomi


Dengan stunting, bayi dan balita perlu dirawat di fasilitas
kesehatan. Hal itu tentunya memerlukan biaya kesehatan yang cukup
mahal, bahkan melebihi bayi yang sehat dan memenuhi kebutuhan
nutrisinya

b. Penyebab Tengkes pada Anak-anak


1. Kualitas makanan yang buruk
Faktor-faktor yang berpengaruh kepada kualitas makanan yang buruk
yakni
a. Kurangnya protein dalam makanan sehari-hari
Pola diet protein berkualitas rendah yang terkait
dengan stunting menyebabkan sirkulasi asam amino esensial
secara signifikan lebih rendah daripada anak-anak yang tidak
stunting. Asupan asam amino esensial yang kurang ini dapat
mempengaruhi pertumbuhan, melalui efeknya pada jalur
regulasi pertumbuhan utama, target mekanistik jalur
rapamycin complex 1 (mTORC1) yang sangat sensitif
terhadap ketersediaan asam amino. mTORC1
mengintegrasikan isyarat seperti nutrisi (terutama protein dan
asam amino), faktor pertumbuhan, oksigen, dan energi untuk
mengatur pertumbuhan lempeng kondral, pertumbuhan otot
rangka, mielinisasi sistem saraf pusat dan perifer,
pertumbuhan sel dan diferensiasi di usus kecil, hematopoiesis
dan metabolisme zat besi dan ukuran organ melalui jalur
Hippo. Organ-organ ini relevan dengan stunting anak dan
morbiditas yang terkait seperti anemia, gangguan kognisi,
disfungsi enterik lingkungan, dan kekebalan terhadap penyakit
menular.
Gambar 4 Hubungan antara Kondisi Stunting dan Skor IQ

Diambil dari: https://www.siloamhospitals.com/informasi-


siloam/artikel/makanan-berprotein-tinggi

b. Terdapat anti-nutrisi dalam makanan


Kacang-kacangan dan biji-bijian mengandung banyak
zat gizi makro dan zat gizi mikro, tetapi juga unsur antinutrisi.
Faktor antinutrisi utama yang terdapat pada tanaman pangan
antara lain saponin, tanin, asam fitat, gossypol, lektin, protease
inhibitor, amilase inhibitor dan goitrogen. Faktor anti nutrisi
mengikat nutrisi dan menjadi perhatian utama karena
berkurangnya ketersediaan hayati nutrisi. Banyak faktor lain,
seperti inhibitor trypsin dan fitat, terutama ditemukan dalam
kacang-kacangan dan biji-bijian, mengurangi pencernaan
protein dan penyerapan mineral. Antinutrien merupakan salah
satu faktor utama yang menurunkan bioavailabilitas berbagai
komponen dalam sereal dan kacang-kacangan. Faktor-faktor
ini dapat menyebabkan malnutrisi mikronutrien dan defisiensi
mineral. Ada berbagai metode dan teknologi tradisional yang
dapat digunakan untuk mengurangi kadar faktor antinutrisi ini.
Beberapa teknik dan metode pengolahan seperti fermentasi,
perkecambahan, pengupasan, pengukusan, perendaman, dll.
digunakan untuk mengurangi kandungan antinutrien dalam
makanan.

Gambar 5 Metode Fermentasi pada tempe yang dapat mengurangi faktor


anti-nutrisi
Diambil dari: https://www.siloamhospitals.com/informasi-
siloam/artikel/makanan-berprotein-tinggi

c. Kurangnya Mikronutrisi dalam Makanan


Terdapat studi yang dilakukan kepada anak-anak di Indonesia
untuk mengetauhi hubungan antara defisiensi mikronutrien
dan stunting dengan status sosial ekonomi (SES) pada anak-
anak Indonesia berusia 6-59 bulan (Ernawati, 2021).
Ditemukan bahwa Prevalensi tertinggi anemia, stunting, dan
stunting berat ditemukan paling signifikan pada kelompok
SES terendah masing-masing sebesar 45,6%, 29,3%, dan
54,5%. Anak-anak dari kelompok SES terendah memiliki cara
Hb, feritin, retinol, dan HAZ yang jauh lebih rendah. Anak-
anak stunting berat memiliki rata-rata konsentrasi Hb yang
jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak stunting
dan tinggi badan normal. Kekurangan mikronutrien, kecuali
vitamin D, dan stunting, dikaitkan dengan SES rendah di
antara anak-anak Indonesia berusia 6-59 bulan. Dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kekurangan mikronutrisi dapat
menjadi hal serius dalam penanganan stunting di Indonesia

2. Kualitas Sanitasi Air Bersih yang tidak Baik


Kualitas sanitasi air bersih menjadi hal yang peting karena air
yang kotor mengandung banyak bakteri penyebab penyakit. Hal itu akan
membuat bayi dan balita yang belum mempunyai sistem kekebalan
tubuh yang kuat dan mudah terserang penyakit sehingga mengganggu
proses pertumbuhan.

Gambar 6 Kondisi Sanitasi yang Buruk di Indonesia


Diambil dari: https://airkami.id/sanitasi-dan-dampaknya-terhadap-sumber-air-jakarta/

Terdapat penelitian hubungan antara sanitasi penyediaan air


bersih dengan kejadian stunting pada balita di Desa Tamanmartani. Dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 32 responden
mempunyai sanitasi penyediaan air bersih yang kurang baik (35,56%).
Dari hasil penelitian, dari responden tersebut memiliki peluang
mengalami stunting 2,705 kali lebih besar dibandingkan dengan
responden yang mempunyai sanitasi penyediaan air bersih baik. Hal ini
menunjukkan bahwa pentingnya sanitasi air yang baik dalam upaya
pencegahan stunting
Gambar 7 Hubungan Sanitasu Penyediaan Air Bersih dengan Kejadian
Stunting
Diambil dari: Nisa S. (2021) Sanitasi Penyediaan Air Bersih dengan
Kejadian Stunting pada Balita

c. Aspek dan Upaya Mitigasi Prevalensi Stunting.


Untuk menjawab permasalahan stunting di Indonesia, ditetapkannya
Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Upaya percepatan perbaikan
gizi merupakan bagian dari TPB tujuan dua yaitu mengakhiri kelaparan,
mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung
pertanian berkelanjutan. Stunting telah ditetapkan sebagai prioritas nasional
dalam dokumen perencanaan dan TPB. Adapun strategi percepatan
perbaikan gizi dalam dokumen perencanaan RPJMN 2015-2019 adalah
sebagai berikut:
1. Peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan
2. Peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi
dengan fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan (ibu hamil
hingga anak usia 2 tahun), balita, remaja, dan calon pengantin
3. Peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi,
sanitasi, higiene, dan pengasuhan
4. Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi termasuk
melalui Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat/UKBM (Posyandu
dan Pos PAUD)
5. Penguatan pelaksanaan, dan pengawasan regulasi dan standar gizi
6. Pengembangan fortifikasi pangan
7. Penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan
spesifik yang didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi
pangan dan gizi

Utamanya, dalam poin tujuh, pemerintah melakukan Upaya


penurunan stunting terintegerasi melalui dua intervensi, yaitu intervensi gizi
spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan intervensi gizi sensitif
untuk mengatasi penyebab tidak langsung.

• Intervensi Gizi Spesifik


Intervensi gizi spesifik merupakan kegiatan yang langsung
mengatasi terjadinya stunting seperti asupan makanan, infeksi,
status gizi ibu, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan.
Terdapat tiga kelompok intervensi gizi spesifik:
a. Intervensi prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi
memilik dampak paling besar pada pencegahan stunting dan
ditujukan untuk menjangkau semua sasaran prioritas;
b. Intervensi pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada
masalah gizi dan kesehatan lain yang terkait stunting dan
diprioritaskan setelah intervensi prioritas dilakukan
c. Intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi
yang diperlukan sesuai dengan kondisi tertentu, termasuk
untuk kondisi darurat bencana (program gizi darurat)

Intervensi spesifik ini umumnya diberikan oleh sektor kesehatan dan


dijelaskan dalam gambar 8 yakni
Gambar 8 Program Intervensi Gizi Spesifik Percepatan Penurunan Stunting
Diambil dari: Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegerasi
di Kabupaten/Kota Edisi November 2018

• Intervensi Gizi Spesifik


Intervensi gizi sensitif mencakup: (a) Peningkatan penyediaan air
bersih dan sarana sanitasi; (b) Peningkatan akses dan kualitas
pelayanan gizi dan kesehatan; (c) Peningkatan kesadaran, komitmen
dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; (c); serta (d) Peningkatan
akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan
di luar Kementerian Kesehatan. Sasaran intervensi gizi sensitif
adalah keluarga dan masyarakat dan dilakukan melalui berbagai
program dan kegiatan sebagaimana tercantum di dalam Gambar 9.
Program/kegiatan intervensi di dalam tabel tersebut dapat ditambah
dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Gambar 9 Program Intervensi Gizi Spesifik Percepatan Penurunan Stunting


Diambil dari: Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegerasi
di Kabupaten/Kota Edisi November 2018
Sumber:

Aurora, W. (2020). Perbandingan Skor IQ (Intellectual Question) Pada Anak


Stunting Dan Normal. JMJ, Volume 8, Nomor 1, Mei 2020, Hal: 19-25.
Diakses pada 13 Oktober 2023 dari Universitas Jambi

Ernawati dkk. (2021). Micronutrient Deficiencies and Stunting Were Associated


with Socioeconomic Status in Indonesian Children Aged 6–59 Months.
Nutrients. 2021 Jun; 13(6): 1802. Diakses pada 13 Oktober 2023 dari
National Library of Medicine

Kementerian PPN/Bappenas. (2018). Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan


Stunting Terintegerasi di Kabupaten/Kota Edisi November 2018.

Nisa, S. (2021). Sanitasi Penyediaan Air Bersih dengan Kejadian Stunting pada
Balita. JPPKMI 2 (1) (2021) 17-25. Diakses pada 13 Oktober 2023 dari

Samtiya, M. (2020). Plant food anti-nutritional factors and their reduction


strategies: an overview. Food Production, Processing and Nutrition volume
2, Article number: 6 (2020). Diakses pada 13 Oktober 2023 dari BioMed
Central Ltd

Soliman, dkk. (2021). Early and Long-term Consequences of Nutritional Stunting:


From Childhood to Adulthood. Acta Biomed. 2021; 92(1): e2021168. Diakses
pada 13 Oktober 2023 dari National Library of Medicine

Anda mungkin juga menyukai