Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kunci utama dalam membangun masa depan bangsa yang

gemilang. Melalui pendidikan, manusia dapat belajar dan mengembangkan potensi diri secara

optimal, sehingga tercipta sumber daya manusia (SDM) yang bermutu dan berkualitas.

Pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana yang dilakukan untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat aktif

mengembangkan potensi diri. Tujuannya, agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang

diperlukan untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Suyadi, 2013: 4).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tujuan

pendidikan untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, dan peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya agar siswa

menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cukup, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan

bertanggung jawab (Kurniawan, 2013: 38).

Pendidikan sangat penting ditanamkan sejak anak usia dini melalui pendidikan dasar.

Pendidikan dasar menurut KBBI merupakan pendidikan terendah yang diwajibkan bagi

semua warga negara. Pendidikan dasar yang berlaku di Indonesia adalah jenjang pendidikan

awal selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak. Pendidikan dasar inilah menjadi dasar

bagi pendidikan menengah. Pendidikan dasar di Indonesia dimulai dari Sekolah Dasar sampai

dengan Sekolah Menengah Pertama. PKn adalah pendidikan yang mengarahkan siswa untuk
menjadi warga negara yang demokratis, yang menghargai perbedaan, dan mencintai keadilan

dan kebenaran (Utami, 2010: 2). PKn merupakan mata pelajaran dimana memuat pendidikan

karakter yang ditujukan untuk anak-anak di Indonesia. Pendidikan karakter merupakan

pendidikan yang mengembangkan nilai dari pandangan hidup bangsa, agama, dan budaya

yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional (Kurniawan, 2013: 39).

PKn merupakan sarana pengembangan sikap. Sikap menurut Azwar (2015: 23-24)

terdiri atas tiga komponen yaitu komponen yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan

komponen konatif (conative). PKn yang merupakan sarana pendidikan karakter hendaknya

dapat disampaikan dengan baik kepada siswa. Menurut observasi yang peneliti tanggal 21

Desember 2024, pemberian materi PKn di SMP disampaikan hanya sebatas materi pelajaran

saja, sehingga siswa kurang dapat memahami nilai yang dimiliki setiap materi PKn setelah

mempelajari. Hal tersebut dikarenakan siswa menerima materi dengan kemampuan

kognitifnya saja. Kemampuan kognitif saja belum cukup dimiliki siswa. Siswa hendaknya

mengamalkan nilai yang terkandung dalam pelajaran PKn tersebut. Pengamalan dari nilai

tersebut dapat berupa sikap positif yang dilakukan untuk lingkungan sekitar. Nilai PKn yang

diambil peneliti dalam penelitian ini adalah kedisiplinan. Disiplin adalah suatu keadaan tertib,

ketika orang-orang yang bergabung dalam suatu sistem tunduk pada peraturan-peraturan yang

ada dengan senang hati (Mulyasa, 2008: 191). Siswa-siswa kelas VIII B UPT SMP Islam Al

Irsyad Tellu Limpoe mengalami kesulitan dalam bersikap disiplin. Sikap disini bukan berarti

hanya perbuatan namun juga memuat tiga hal yang penting yaitu: aspek memahami atau

kognitif, aspek menghayati atau afektif, dan aspek melaksanakan atau konatif mengenai nilai

kedisiplinan.

Peneliti juga melakukan wawancara terhadap guru kelas untuk melihat kondisi awal

siswa di VIII B UPT SMP Islam Al Irsyad Tellu Limpoe. Peneliti mengamati dalam hal

menaati aturan yaitu siswa dalam berseragam apakah sesuai aturan, baju dimasukkan,
memakai ikat pinggang, dan sepatu warna hitam. Peneliti juga mengamati kontrol diri siswa,

apakah siswa mendengarkan saat guru menjelaskan. Hal lain yang diamati peneliti adalah

kesadaran siswa saat belajar, apakah mereka mengerjakan sungguh-sungguh untuk

mendapatkan nilai yang baik. Wawancara yang dilakukan peneliti kepada guru kelas

berkaitan dengan kedisiplinan siswa dalam mengikuti pembelajaran di sekolah. Peneliti

berpendapat bahwa terjadi masalah sikap kedisiplinan siswa dalam aplikasi materi

pembelajaran PKn.

Masalah sikap kedisiplinan siswa untuk mengamalkan nilai kurang disebabkan karena

siswa hanya mempelajari pengetahuan kognitif pelajaran PKn saja. Rendahnya sikap siswa

mengenai kedisiplinan disebabkan karena siswa kurang memahami pentingnya nilai

kedisiplinan yang mereka pelajari dalam pelajaran PKn. Peneliti memilih model Paradigma

Pedagogi Reflektif (PPR) untuk membantu siswa mampu mewujudkan sikap nilai

kedisiplinan dalam Pelajaran PKn. Peneliti memilih menggunakan model PPR karena

didalam model tersebut terdapat kegiatan refleksi dan aksi yang dianggap mendukung untuk

peningkatan sikap siswa terhadap nilai kedisiplinan. Model PPR juga mengembangkan pola

pikir siswa menjadi siswa yang berkemanusian (Subagya, 2010: 22). Model PPR

mengembangkan competence, conscience, dan compassion yang sama dengan aspek kognitif,

afektif, dan konatif. Langkah-langkah model PPR sendiri diawali dengan konteks,

pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. Siswa diharapkan mempunyai pemikiran yang nalar,

sikap disiplin dan berinisiatif, serta mampu mengembangkan integritas pribadi dan berpikir

positif. Siswa juga diharapkan mampu menerima nilai kedisiplinan dengan baik, bukan hanya

kemampuannya kognitifnya saja, namun juga dapat merasakan pentingnya nilai dalam

kehidupan serta dapat melaksanakan nilai tersebut.

Uraian diatas menjadi latar belakang untuk mengetahui peningkatan mengenai sikap

nilai kedisiplinan pada mata pelajaran PKn. Hal tersebut yang mendasari penulis untuk
membuat tulisan yang berjudul “Peningkatan Sikap Kedisiplinan dalam Pembelajaran PKn

Menggunakan Model Paradigma Pedagogi Reflektif bagi Siswa Kelas VIII B UPT SMP

Islam Al Irsyad Tellu Limpoe”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana model Paradigma Pedagogi Reflektif bagi Siswa Kelas VIII B UPT SMP

Islam Al Irsyad Tellu Limpoe?.

2. Bagaimana hasil belajar PPKn melalui metode Paradigma Pedagogi Reflektif bagi

Siswa Kelas VIII B UPT SMP Islam Al Irsyad Tellu Limpoe?.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini di lakukan dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui peningkatan sikap kedisiplinan dalam pembelajaran PKn

menggunakan model Paradigma Pedagogi Reflektif bagi siswa Kelas VIII B UPT SMP

Islam Al Irsyad Tellu Limpoe?.

2. Adanya Peningkatan peningkatan sikap kedisiplinan dalam pembelajaran PKn

menggunakan model Paradigma Pedagogi Reflektif bagi siswa Kelas VIII B UPT SMP

Islam Al Irsyad Tellu Limpoe?.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoretis maupun praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam meningkatkan

hasil belajar siswa pada penerapan metode pembelajaran Paradigma Pedagogi

Reflektif.
b. Hasil penelitian ini sebagai landasan bagi para peneliti lain dalam melakukan

penelitian lain yang sejenis dalam rangka meningkatkan kemampuan memecahkan

masalah siswa.

2. Manfaat Praktis

1. Manfaat Bagi siswa

Penelitiaan ini dapat menjadikan siswa mampu memperbaiki pengetahuan siswa

sehingga siswa dapat meningkatkan hasil belajar yang ada pada dirinya.

2. Manfaat Bagi Guru

Guru mampu memahami keadaan jiwa peserta didik dan dapat membantunya dalam

mengatasi berbagai kesulitan yang dialami sehingga kualitas dan hasil belajar siswa

dapat meningkat.

3.Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat melatih diri agar mampu menerapkan ilmu yang diperoleh

dalam perkuliahan sehingga dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman

bagi peneliti.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. Tinjauan Pustaka

1. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari di Sekolah Menegah Pertama (SMP)

adalah pendidikan kewarganegaraan. PKn dapat membantu memperbaiki kehidupan negara

yang saat ini mengalami penurunan nilai dan moral (Utami, 2010: 1). Menurut Darmadi

(2010: 34) tujuan dari pendidikan kewarganegaraan adalah untuk mendidik anak-anak

menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab yang mampu memahami Pancasila

dan UUD45 dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dengan demikian, pengertian PKn dapat

didefinisikan sebagai subjek nilai dan moral yang bertujuan untuk mendidik anak-anak

menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Menurut Permendiknas RI Nomor 2006, PKn dimaksudkan untuk (1) menumbuhkan

pikiran kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi masalah kewarganegaraan; (2)

membuat siswa berpartisipasi secara aktif, tanggung jawab, dan cerdas dalam bertindak di

lingkungan masyarakat, bangsa, dan negara mereka, serta anti korup; (3) membentuk diri

mereka secara positif dan demokratis berdasarkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sehingga

mereka mampu hidup berdampingan dengan orang lain; dan (4) berinteraksi secara positif

dan demokratis dengan orang.

Kompetensi pembelajaran yang sesuai diperlukan untuk mencapai tujuan PKn. Siswa

harus memiliki kemampuan berikut: (1) cinta dan kebanggaan terhadap bangsa, negara, dan

tanah air Indonesia; (2) memahami aturan sosial yang berlaku di lingkungan mereka; (3)
menghargai perbedaan agama, suku, budaya, ras, dan golongan sosial ekonomi di lingkungan

mereka; dan (4) memiliki kemampuan untuk berperilaku jujur, disiplin, senang bekerja, dan

anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai Pancasila.

2. Sikap

Sikap, menurut Secord & Backman dalam Azwar (2015: 5), didefinisikan sebagai

keteraturan dalam hal perasaan seseorang (afeksi), pemikiran seseorang (kognisi), dan

kecenderungan tindakan seseorang (konasi) terhadap suatu aspek lingkungannya. Seseorang

memiliki perspektif, yang menunjukkan bagaimana mereka berperilaku terhadap suatu

peristiwa.

Menurut Azwar (2015: 23-24), struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang saling

menunjang: komponen kognitif (kognitif), afektif (affective), dan konatif. Komponen kognitif

menunjukkan apa yang dipikirkan orang yang memiliki sikap, dan komponen afektif

menunjukkan perasaan yang berkaitan dengan aspek emosional. Komponen konatif

menunjukkan kecenderungan untuk berperilaku tertentu yang sesuai dengan sikap yang

mereka miliki. Ketiga komponen sikap tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi.

Apabila ketiga komponen tersebut dilaksanakan secara seimbang, hal itu dapat menghasilkan

karakter yang baik pada siswa.

Menurut Lickona (2014: 74-79), komponen karakter yang baik terdiri dari aspek

pengetahuan moral, yang merupakan disiplin ilmu yang dapat digunakan seseorang ketika

menghadapi tantangan moral dalam hidup mereka. Pengetahuan moral terdiri dari enam

ranah: kesadaran moral, pemahaman nilai-nilai moral, perspektif, penalaran moral,

pengambilan keputusan, dan pengetahuan diri. Bagian-bagian ini dari pengetahuan moral

juga dapat disebut sebagai komponen kognitif dari sikap.


Aspek perasaan moral yang membutuhkan pertimbangan hati untuk menentukan

apakah suatu tindakan adalah yang terbaik atau yang buruk. Perasaan moral terdiri dari enam

bagian: hati nurani, penghargaan diri, empati, menyukai kebaikan, kontrol diri, dan

kerendahan hati. Bagian-bagian ini juga dapat disebut sebagai elemen afektif dari sikap

(Lickona, 2014: 79-85).

Aspek tindakan etika yang didasarkan pada pengetahuan dan perasaan siswa dan

menentukan perbuatan yang benar atau salah. Kompetensi, keinginan, dan kebiasaan adalah

tiga dimensi tindakan moral. Aspek tindakan moral ini juga dapat disebut sebagai elemen

konatif sikap (Lickona, 2014: 86–87).

Menurut para ahli psikologi sosial, menurut Azwar (2015: 28), hubungan antara

komponen sikap selaras dan konsisten karena ketiga komponen tersebut mengambil sikap

yang sama saat menghadapi masalah atau peristiwa. Faktor-faktor berikut dapat digunakan

sebagai indikator sikap: 1) kognitif; 2) afektif; dan 3) psikomotor atau konatif.

3. Nilai

Nilai, yang berasal dari kata latin vale’rê, yang berarti berguna, berdaya, dan mampu,

sehingga dipandang sebagai sesuatu yang baik (Adisusilo, 2012: 56). Menurut Sapriya (2009:

53), nilai adalah sesuatu yang berharga yang terdiri dari seperangkat keyakinan atau prinsip

yang terungkap dalam tindakan atau pemikiran seseorang atau kelompok masyarakat. Nilai

dapat didefinisikan sebagai kualitas suatu hal yang menjadikan sesuatu itu disukai,

diinginkan, dikejar, dihargai, berguna, dan dapat membuat orang yang menghayatinya

bermatabat (Adisusilo, 2012: 56). Nilai juga dapat didefinisikan sebagai kualitas suatu hal

yang menjadikan sesuatu itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna, dan dapat

membuat orang yang menghayatinya bermatabat.


Ada nilai dalam hidup manusia. Nilai memiliki peran penting dalam kehidupan,

menurut Wahana (2004: 92), dengan memotivasi dan mendorong manusia untuk mengambil

tindakan yang mengubah diri mereka sendiri. Nilai membuat manusia menjadi orang yang

baik. Mereka juga dapat menjadi pedoman hidup manusia (Adisusilo, 2012: 59). Nilai tidak

dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena mereka berfungsi sebagai acuan untuk

tingkah laku mereka. Berikut ini adalah tahapan nilai yang dapat digunakan sebagai acuan

untuk tingkah laku manusia: a.) Nilai yang dipikirkan pada tahapan, b.) Nilai yang menjadi

keyakinan atau niat seseorang untuk melakukan sesuatu, dan c.) Nilai yang telah menjadi

keyakinan dan diwujudkan dalam tindakan.

Ada dua jenis nilai: nilai prosedural dan nilai subtantif. Nilai prosedural adalah

prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang oleh siswa sebagai hasil belajar, bukan hanya

pembelajaran. Nilai subtantif adalah keyakinan yang dipegang siswa sebagai hasil belajar,

bukan hanya penyebaran informasi.

4. Kedisiplinan

Disiplin adalah kata dasar dari mana kedisiplinan berasal. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, "disiplin" berarti mematuhi peraturan (KBBI, 2008). Disiplin dijelaskan

oleh Mustari (2014: 35) sebagai tindakan yang menunjukkan perilaku yang teratur dan

mematuhi berbagai peraturan dan ketentuan yang ada. Didisiplin adalah ketika orang-orang

yang bergabung dalam suatu sistem dengan senang hati tunduk pada peraturan yang ada

(Mulyasa, 2008: 191). Menurut beberapa ahli di atas, disiplin adalah mematuhi aturan. Ada

tiga cara di mana disiplin dapat ditanamkan: otoriter, permisif, dan demokratis (Hurlock,

1989: 92).

Metode otoriter melibatkan penerapan disiplin yang keras untuk mendorong perilaku

yang diinginkan dan, jika perilaku tersebut tidak sesuai dengan aturan, maka akan diberi
hukuman yang berat tanpa persetujuan bersama. Siswa yang berhasil mematuhi disiplin akan

dihargai. Metode permesif adalah metode bebas. Siswa diberi kebebasan untuk melakukan

disiplin apa pun yang mereka inginkan. Cara mengajar disiplin yang demokratis

menggunakan teori disiplin (Hurlock, 1989: 93-94).

Menurut Hurlock (1989: 93-94), tujuan menanamkan disiplin adalah untuk memberi

tahu siswa bahwa meskipun tindakan disiplin akan dihargai, tindakan tidak disiplin akan

selalu diikuti dengan hukuman. memberi tahu siswa tingkat penyesuain yang masuk akal

tanpa menuntut konformitas yang berlebihan. Membantu siswa belajar mengendalikan diri

dan mengendalikan diri sehingga mereka dapat mengembangkan kesadaran moral untuk

mengarahkan tindakan mereka. Menurut Mulyasa (2008: 192), tujuan disiplin sekolah adalah

untuk membantu siswa menemukan diri mereka sendiri, mengatasi masalah, dan mencegah

masalah disiplin muncul lagi. Tujuan lain adalah untuk menciptakan lingkungan

pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa dapat mencapai hasil belajar yang terbaik.

Menurut Mulyasa (2011: 27), ada strategi yang diperlukan untuk mendisiplinkan siswa

sebagai berikut:

a. Konsep diri (self-concept), dikenal sebagai konsep diri, menekankan bahwa

konsep individu merupakan sikap yang penting dari setiap perilaku. Pendidik

harus mengajarkan konsep diri kepada siswanya dengan menjadi empatik,

menerima, hangat, dan terbuka. Dengan cara ini, siswa dapat mengeksplorasi

pikiran dan perasaan mereka untuk menyelesaikan masalah.

b. Keterampilan berkomunikasi (communication skills), untuk menerima semua

perasaan dan mendorong kepatuhan siswa, pendidik harus dapat

berkomunikasi dengan baik.

c. Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami (natural and logical consequences),

perilaku siswa yang salah karena mereka telah membangun keyakinan yang
salah tentang diri mereka sendiri. Pendidik disarankan untuk menunjukkan

perilaku siswa yang salah dan memanfaatkan konsekuensi logis dan alami dari

perilaku tersebut.

d. Klarifikasi nilai (values clarification), Strategi ini digunakan untuk membantu

siswa membentuk sistem nilai mereka sendiri dan menjawab pertanyaan

mereka tentang nilai.

e. Analisis transaksional (transactional analysis), juga dikenal sebagai analisis

transaksi, memungkinkan seorang pendidik untuk belajar sebagai orang

dewasa, terutama ketika mereka bekerja dengan siswa yang mengalami

kesulitan.

f. Terapi realitas (reality therapy), sekolah berusaha mengurangi kegagalan dan

meningkatkan partisipasi melalui terapi realitas, juga dikenal sebagai reality

therapy. Pendidik harus bersikap optimistis dan bertanggung jawab.

g. Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline), juga dikenal sebagai disiplin

asertif memiliki kendali penuh atas pembentukan dan pengembangan aturan

yang ada di sekitar siswa.

h. Modifikasi perilaku (behavior modification), modifikasi perilaku, yang

merupakan perubahan perilaku yang disebabkan oleh lingkungan. Dengan

demikian, lingkungan pembelajaran harus diciptakan.

i. Tantangan bagi disiplin (dare to discipline), pendidik harus mahir, terorganisir,

dan memiliki kontrol yang kuat. Metode ini menganggap bahwa siswa akan

menghadapi banyak tantangan pada hari pertama mereka di sekolah.

5. Paradigma Pedagogi Reflektif

Pedagogi, menurut Subagya (2010: 22), adalah seni mengajar yang mendampingi

siswa dalam pertumbuhannya. Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) adalah cara berpikir yang
bertujuan untuk membantu siswa menjadi orang yang kristen dan kemanusiaan. Siswa dididik

dengan pola pikir PPR untuk menjadi manusia yang memiliki nilai, yang dapat

mempertimbangkan apa yang mereka lakukan dan mengambil tindakan untuk mewujudkan

nilai tersebut (Subagya, 2008: 39). Pendidik Jesuit membuat PPR berdasarkan karakteristik

pendidikan Jesuit.

Mengembangkan individu siswa dan mendorong mereka untuk melakukan tindakan

yang dipenuhi oleh roh Allah adalah ciri-ciri pendidikan Jesuit. Siswa mengembangkan

integritas pribadi dan pemikiran yang jernih, serta sikap yang disiplin dan berinisiatif

(Subagya, 2010: 23). Siswa diharapkan memiliki kecerdasan intelektual yang utuh, iman,

kasih sayang, dan keinginan untuk bertindak adil berdasarkan kasih sayang kepada sesama

manusia.

Menurut Suparno (2015: 18-19), tujuan utama pendidikan dalam Paradigma Pedagogi

Reflektif adalah untuk menghasilkan manusia yang bahagia yang mengabdi Tuhan lewat

sesamanya. Ketiga rumusan C, yaitu kemampuan (competence), kesadaran (conscience), dan

belas kasihan (compassion), diterjemahkan sebagai berikut:

1. Competence

Competence mempunyai arti memperoleh pengetahuan dan keterampilan

dalam bidang tertentu. Setelah mendalami dan mengolah topik yang telah dipelajari,

siswa menjadi mahir dalam topik tersebut secara kognitif dan intelek, menguasai topik

tersebut, dan dapat menjelaskan topik dengan benar. Mereka juga dapat melakukan

hal-hal yang berkaitan dengan topik tersebut secara lebih mendalam, meningkatkan

aspek afeksi dan psikomotor.

2. Conscience
Conscience berarti memiliki hatinurani yang dapat membedakan mana yang

baik dan mana yang buruk. Siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan dan keahlian

dalam bidang mereka, tetapi mereka juga memperoleh kemampuan untuk membuat

keputusan yang tepat dan membedakan yang baik dan yang buruk. Diharapkan siswa

dapat mempertimbangkan baik dan buruknya materi yang dipelajari, memahami

alasan moral di baliknya, dan membuat keputusan moral.

3. Compassion

Compassion menunjukkan bahwa siswa tidak hanya pandai, tetapi juga

didorong untuk memperhatikan kebutuhan orang lain dan berbuat baik kepada orang

lain, terutama mereka yang miskin dan kecil. Mereka juga diharapkan memiliki

kepedulian dan keinginan untuk berbuat sesuatu yang berkaitan dengan bidangnya

dan kemajuan orang lain.

Paradigma pedagogi reflektif terdiri dari lima komponen utama yang harus

dikembangkan: konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. Berikut adalah ringkasan

dari kelima komponen tersebut:

1. Konteks

Dalam konteks PPR, guru dan siswa berbicara tentang nilai yang ingin mereka

pelajari. Nilai-nilai kemanusiaan ditemukan dalam konteks ini. Selanjutnya, prinsip-

prinsip tersebut dihayati dan diperjuangkan. Relasi guru-siswa akan dihargai dan

dipuji. Guru dan siswa harus bersahabat dan membantu satu sama lain dengan

semangat, murah hati, dan jelas. Salah satu komponen PPR selain konteks adalah

pengalaman.

2. Pengalaman

Pengalaman PPR bertujuan untuk meningkatkan persaudaraan dan solidaritas.

Untuk meningkatkan rasa persaudaraan, kelompok kecil bekerja sama untuk


mendorong interaksi dan komunikasi. Karena pengalaman tidak dapat didapat dari

membaca buku, siswa harus mengalaminya sendiri untuk membuat materi mudah

diingat. Tujuan lain dari siswa adalah untuk memberikan contoh langsung.

3. Rekfeksi

Paradigma Pedagogi Reflektif tidak hanya menekankan pada pengalaman,

tetapi juga pada refleksi. Refleksi dilakukan untuk mengetahui bagaimana siswa dapat

menerima nilai dari pelajaran. Pertanyaan-pertanyaan yang dibuat oleh guru

membantu siswa. Siswa menjawab pertanyaan gurunya dengan diam. Setelah refleksi,

siswa bertindak.

4. Aksi

Di sini, aksi adalah kegiatan tambahan yang akan dilakukan siswa setelah

pelajaran. Pendidik mengajukan pertanyaan kepada siswanya untuk membuat mereka

bersemangat tentang tindakan yang akan diambil. Diharapkan siswa menjadi pejuang

untuk menerapkan prinsip-prinsip yang mereka refleksikan.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menilai

perkembangan pribadi dan potensi akademik siswa mereka. Guru dapat mengajukan

pertanyaan seperti "apakah".

Paradigma Pedagogi Reflektif memiliki lima komponen yang bermanfaat jika

diterapkan dalam proses pendidikan. Subagya (2010: 68) menyebutkan beberapa keuntungan

dari paradigma pedagogi reflektif:

1. Dapat diterapkan pada semua program pendidikan Paradigma Pedagogi Reflektif ini

dapat diterapkan pada semua program pendidikan yang diatur oleh pemerintah.

Paradigma ini tidak membutuhkan apa pun selain metode baru untuk mengajarkan

mata pelajaran yang sudah ada.


2. Penting untuk proses belajar mengajar Paradigma ini dapat diterapkan pada hal-hal

non-akademik seperti retret, olahraga, kegiatan ekstrakurikuler, program pelayanan

masyarakat, dan sebagainya. Paradigma ini dapat membantu siswa menemukan

hubungan antara bidang studi tertentu.

3. Menjamin bahwa pendidik menjadi pendidik yang lebih baik Paradigma ini

memungkinkan pendidik untuk memperkaya materi dan susunan pelajaran mereka,

mendorong inisiatif siswa, mendorong siswa untuk berpartisipasi dan bertanggung

jawab atas hasil belajar mereka, dan mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang

mereka pelajari dengan pengalaman mereka sendiri.

4. Paradigma ini mendukung integrasi antara belajar di ruang kelas dengan

belajar di rumah, waktu kerja, teman sebaya, dan hal lainnya. Ini

mendorong pelajar untuk merefleksikan makna dan arti dari apa yang

mereka pelajari.

B. Karangka Berpikir

PEMBELAJARAN PPKn

Siklus I Metode Paradigma Pedagogi


Reflektif Paradigma

Siklus II HASIL

Gambar 2.1 Kerangka Pikir


Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) mencakup pendidikan karakter

yang ditujukan untuk anak-anak di Indonesia. Pendidikan yang menggabungkan nilai-nilai

agama, budaya, dan perspektif bangsa dalam tujuan pendidikan nasional dikenal sebagai

pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan sikap juga. Sikap adalah

keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan tindakan (konasi)

seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitarnya. Kedisiplinan adalah contoh sikap

yang harus diterapkan.

Kedisiplinan melibatkan aspek afektif dan konatif selain pengetahuan. Siswa

mengalami kesulitan dengan sikap karena hanya aspek kognitif yang disampaikan. Untuk

mempelajari aspek afektif dan konatif juga penting untuk mempelajari aspek kognitif.

Pembelajaran yang digunakan mencakup refleksi dan tindakan, bukan hanya model ceramah.

Mengetahui nilai yang ingin dicapai dalam pembelajaran adalah langkah pertama menuju

pembelajaran yang efektif. Setelah itu, siswa melakukan penyelidikan tentang hubungan

antara pengalaman sebelumnya dan pengalaman sebelumnya. Setelah itu, siswa berpikir

tentang nilai dan pengalaman yang mereka peroleh. Mereka juga berpikir tentang tindakan

apa yang akan mereka lakukan setelah mereka menyelesaikan proses pembelajaran. Karena

siswa hanya mempelajari kognitif, mereka tidak memiliki sikap kedisiplinan.

Peneliti telah membuat keputusan untuk menggunakan model Paradigma Pedagogi

Reflektif untuk meningkatkan sikap terhadap kedisiplinan. sehingga siswa cenderung

mengikuti aturan. Dalam pembelajarannya, model Paradigma Pedagogi Reflektif

menekankan pada kemampuan 3C: kemampuan (competence), kesadaran(conscience), dan

kasih saying (compassion). Dalam model PPR, langkah-langkah pembelajaran dimulai

dengan konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. Pembelajaran tidak hanya

mendapatkan informasi, tetapi juga menekankan pada refleksi dan tindak lanjut. PPR cocok

untuk meningkatkan sikap kedisiplinan siswa karena mencakup kegiatan untuk


merefleksikan, membuat rencana untuk dilakukan, dan mengevaluasi hasil kerja mereka. PPR

juga memberi siswa kesempatan untuk belajar tentang materi sikap kedisiplinan dan juga

untuk mengetahui dan menghargai sikap kedisiplinan.

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut:

1. Penerapan langkah model pembelajaran paradigma pedagogi reflektif yaitu konteks,

pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi dalam upaya meningkatkan sikap

kedisiplinan bagi siswa kelas VIII B UPT SMP Islam Al Irsyad Tellu Limpoe pada

pelajaran PKn.

2. Model paradigma pedagogi reflektif dapat meningkatan sikap kedisiplinan bagi siswa

kelas VIII B UPT SMP Islam Al Irsyad Tellu Limpoe pada pelajaran PKn.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan

kelas (PTK). Menurut Mulyasa (2009: 11), penelitian tindakan kelas adalah upaya untuk

melihat bagaimana sekelompok siswa belajar dengan memberikan tindakan (treatment) yang

sengaja muncul. Menurut Kunandar (2008: 45) bahwa tujuan utama PTK adalah untuk

meningkatkan kegiatan pengembangan profesi guru dan memecahkan masalah nyata di kelas.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan secara nyata oleh guru untuk meningkatkan

pembelajaran di kelas. Ada banyak model PTK yang dapat digunakan untuk penelitian

tindakan kelas. Model-model ini termasuk Kurt Lewin, Kemmis Mc Taggart, Dave Ebbut,

John Elliott, Hopkins, dan Mc Kernan (Kusumah, 2010: 19).

Penelitian ini menggunakan model penelitian Kemmis dan Mc. Taggart karena terdiri

dari perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi, yang keempatnya berfungsi sebagai satu

siklus. Setelah setiap siklus dilaksanakan, dilakukan refleksi tentang kegiatan yang telah

dilakukan, dan kemudian dilakukan perencanaan ulang untuk dilaksanakan pada siklus yang

berbeda. Gambar 3.1 menunjukkan skema penelitian tindakan kelas yang diusulkan oleh
Kemmis dan Mc. Taggart (Aqib, 2011: 16). Dalam penelitian ini, tindakan kelas digunakan

karena ada masalah sikap siswa selama proses pembelajaran di Kelas VIII B UPT SMP Islam

Al Irsyad Tellu Limpoe. Untuk menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dalam proeses

pembelajaran dapat ditingkatkan, penelitian tindakan ini dilakukan dalam beberapa siklus

tindakan.

B. Variable Penelitian

Ada dua variabel dalam penelitian ini yaitu variabel bebas atau independent dan

variabel terikat atau dependen. Untuk lebih jelasnya mengenai variabel tersebut sebagai

berikut:

1. Variabel bebas atau independen (X) adalah variabel mempengaruhi atau yang menjadi sebab

perubahan terhadap variabel terikat (Y). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model

pembelajaran kolaboratif learning.

2. Variabel terikat atau dependen (Y) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (X).

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar.

Desain penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Variabel X Variabel Y

C. Definisi Oprasional Variabel

Defenisi operasional dalam penelitian ini dimaksud untuk menghindari perbedaan

interpretasi maka terdapat hal-hal yang bersifat esensial. Berikut defenisi operasional yang di

buat peneliti:

1. Competence mempunyai arti memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam bidang

tertentu. Setelah mendalami dan mengolah topik yang telah dipelajari, siswa menjadi mahir
dalam topik tersebut secara kognitif dan intelek, menguasai topik tersebut, dan dapat

menjelaskan topik dengan benar

2. Conscience berarti memiliki hatinurani yang dapat membedakan mana yang baik dan mana

yang buruk. Siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan dan keahlian dalam bidang mereka,

tetapi mereka juga memperoleh kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat dan

membedakan yang baik dan yang buruk.

3. Compassion menunjukkan bahwa siswa tidak hanya pandai, tetapi juga didorong untuk

memperhatikan kebutuhan orang lain dan berbuat baik kepada orang lain, terutama mereka

yang miskin dan kecil.

D. Subjek Penelitian

Subjek tindakan kelas ini dilaksanakan di UPT SMP Islam Al Irsyad Tellu Limpoe,

Kabupaten Sidenreng Rappang selama kurun waktu 2 bulan, subjek penelitian adalah siswa

Kelas VIII B UPT SMP Islam Al Irsyad Tellu Limpoe.

E. Proedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Tindakan kelas. Dalam pelaksanaanya penelitian

ini bekerja sama dengan guru mata pelajaran dan di laksanakan dua siklus.tiap siklus terdiri

dari empat tahapan kegiatan yaitu; perencanaan(planning), Tindakan(action), pengamatan

(observation), dan refleksi(reflection) dapat di lihat pada bagan di bawah ini:

Pelaksanaan

Perencanaan Siklus I Observasi

Refleksi

Pelaksanaan
Sumber: Aqib (2011: 16)
Gambar 3.1 Model Siklus Kemmis dan Mc. Taggart

Setiap siklus memiliki empat tahap: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan atau

observasi, dan refleksi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Menurut Kusumah (2010:

39) tahap-tahap penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Perencanaan

Dalam PTK, tahap perencanaan adalah tahap di mana rancangan dibuat. Tahap ini

mencakup perencanaan pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, teknik atau strategi

pembelajaran, media dan materi pembelajaran, serta elemen lainnya. Perencanaan

pembelajaran juga dikenal sebagai menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan

silabus pembelajaran.

2. Pelaksanaan

Setelah perangkat pembelajaran telah dirancang sebelumnya, tahap pelaksanaan, juga

dikenal sebagai implementasi tindakan, dilakukan oleh peneliti kelas tersebut.Diharapkan

peneliti memiliki kemampuan untuk berpikir secara inovatif dan inovatif dalam upaya

meningkatkan kualitas pendidikan.

3. Pengamaatan atau Observasi

Monitoring adalah istilah lain untuk tahap pengamatan. Ini dapat dilakukan oleh

peneliti atau kolaborator yang ditugaskan untuk melakukannya. Semua peristiwa yang terjadi

di kelas penelitian harus dicatat oleh pengamat.

4. Refleksi

Tahap keempat adalah refleksi. Dalam tahap ini, peneliti melakukan sesuatu untuk

merenungkan atau memikirkan apa yang telah mereka lakukan dan menilai apa yang telah
mereka lakukan. Mereka membahas masalah yang telah muncul selama penelitian dan saran

untuk perbaikan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi observasi, wawancara,

kuesioner dan dokumentasi.

1. Observasi

Observasi adalah proses pengumpulan data yang melibatkan mengamati perilaku,

kegiatan, dan proses mengumpulkan data dalam bentuk data kualitatif untuk memotret

seberapa jauh tindakan telah mencapai sasaran. Studi observasi dilakukan untuk mengetahui

bagaimana reaksi siswa terhadap proses belajar mengajar.

2. Kuesioner

Kuesioner adalah metode pengumpulan data berikutnya. Kuesioner, menurut

Sugiyono (2014:199), adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk memberi

peserta serangkaian pernyataan atau pernyataan tertulis untuk dijawab (Kusumah, 2010: 78).

Kuesioner berstruktur atau tertutup terdiri dari pertanyaan yang memiliki jawaban dan

kuesioner tidak berstruktur atau terbuka terdiri dari pertanyaan yang tidak memiliki jawaban

(Kusumah, 2010: 78). Jenis kuesioner tertutup biasanya digunakan oleh peneliti untuk

mengumpulkan data tentang topik tertentu.

Peneliti menyebarkan survei untuk mengetahui bagaimana siswa berdisiplin dalam

kegiatan pembelajaran di kelas. Dalam kuesioner terdapat dua puluh pernyataan atau

pertanyaan yang harus dipilih oleh siswa berdasarkan hal-hal yang mereka alami dalam

kehidupan sehari-hari. Mereka harus menandai kolom jawaban dengan tanda silang (X). Tiga

domain kognitif (pengetahuan), afektif (pemahaman), dan konatif adalah pertanyaan yang

diberikan kepada siswa untuk dijawab.


Pernyataan yang dibuat adalah pernyataan tentang sikap kedisiplinan. Tiga indikator

membentuk perspektif kedisiplinan: aturan rumah, sekolah, dan masyarakat, kesadaran dan

pengendalian diri, dan kesadaran tujuan.

3. Wawancara

Pertanyaan lisan yang diajukan kepada orang yang sedang diselidiki dikenal sebagai

wawancara (Kusumah, 2010: 77). Menurut Wiriaatmadja (2007: 117), wawancara adalah

pertanyaan verbal yang diajukan kepada individu yang dianggap memiliki kemampuan untuk

memberikan informasi. Ada dua jenis wawancara: terstruktur dan tidak terstruktur (Kusumah,

2010: 77). Jenis wawancara tidak terstruktur dilakukan karena peneliti tidak menggunakan

pedoman wawancara. Peneliti melakukan wawancara langsung dengan guru dan siswa tanpa

perantara. Sebelum memulai penelitian, para peneliti melakukan wawancara. Pertanyaan

tentang sikap siswa terhadap nilai kedisiplinan mencakup aspek kognitif, afektif, dan konatif.

4. Dokumentasi

Dokumentasi adalah rekaman peristiwa masa lalu (Sugiyono, 2014:329). Peneliti

mengumpulkan informasi tentang prestasi siswa melalui teknik pengumpulan data dokumen.

Jika foto digunakan selama proses pembelajaran, hasil penelitian akan semakin dapat

dipercaya. Peneliti menggunakan nilai evaluasi untuk menilai aspek kognitif.

G. Intrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian yang digunakanpeneliti yaitu pedoman wawancara,

lembar observasi sikap, dan kuesioner.

1. Lembar observasi

Observasi dilakukan oleh penelitian yang mengamati aktivitas guru dan siswa

selama pembelajaran. Di antara hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran di kelas,

peneliti mengamati proses pembelajaran, pengelolaan kelas, dan teknik pembelajaran.


Berikut ini adalah format lembar observasi yang digunakan:

Tabel 3.1 Lembar Observasi Sikap Siswa

Indikator Aspek yang diamati Deskripsi Hasil


Pengamatan
Siswa memperhatikan guru saat
melakukn pembelajaran
Proses pembelajaran Siswa tidak ramai sendiri pada saat
proses pembelajaran berlangsung
Aktivitas belajar siswa

Pengelolaan kelas Siswa menjalankan aturan yang


berlaku di kelas

Metode pembelajaran Guru melaksanakan pembelajaran


sesuai langkah-langkah dalam
model Paradigma Pedagogi
Reflektif (PPR)

Tabel 3.1 merupakan pernyataan yang akan diamati peneliti saat melakukan

observasi di kelas. Observasi yang akan dilakukan oleh peneliti digunakan untuk

mencari permasalahan pembelajaran di kelas serta untuk menguatkan data pada

penulisan latar belakang.

2. Wawancara

Peneliti melakukan wawancara dengan guru kelas untuk mengetahui kondisi

awal. Sebagian besar pertanyaan yang diajukan peneliti didasarkan pada metrik sikap

kedisiplinan. Pedoman untuk wawancara dapat ditemukan dalam tabel 3.2.

Table 3.2 Pedoman Wawancara dengan Guru


Jawaban
Indikator Pernyataan Keterangan
Ya Tidak
Apakah semua
siswa menaati
peraturan sekolah?
Apakah semua
Aturan-aturan di
siswa
melaksanakan
rumah, sekolah peraturan kelas?
dan masyarakat Apakah siswa

memakai seragam
sesuai dengan
aturan sekolah?
Apakah ada siswa
yang telat
mengumpulkan
tugas? Jika ada
seberapa sering?
Apakah ada
Menyadari jadwal
dan piket kelas? Jika
mengontrol ada apakah semua
diri siswa
melaksanakan
tugas
piket sesuai
jadwal?
Apakah semua
siswa masuk kelas
tepat waktu?
Apakah semua

siswa memiliki

sikap dan nilai

kedisiplinan yang

baik pada raport?

Kesadaran akan tujuan Apakah ada

manajemen kelas di

dalam kelas? Jika

ada, apakah semua

siswa

menerapkannya?

Pedoman wawancara yang digunakan peneliti untuk mengidentifikasi masalah yang

ada di kelas digambarkan dalam Tabel 3.2. Wawancara ini dilakukan dengan guru kelas untuk

mengetahui kondisi awal siswa.


3. Kuesioner

Peneliti menggunakan penilaian non tes, yang berupa lembar kuesioner. Selama

proses pembelajaran, kuesioner digunakan untuk mengukur spektrum kognitif, afektif, dan

konatif siswa. Indikator kedisiplinan menjadi dasar kuesioner. Kuesioner terdiri dari 47

pertanyaan atau pernyataan, dengan 24 item positif dan 23 item negatif. Item positif biasanya

disebut sebagai favorabel, dan item negatif biasanya disebut sebagai unfavorabel. Berikan

tanda check list pada kolom SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS

(Sangat Tidak Setuju) pada setiap pernyataan yang sesuai dengan kenyataan yang ada pada

siswa saat mengisi kuesioner. Pengukuran kuiseoner dilakukan dengan skala Likert, dan

skornya adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3 Pengukuran Kuesioner Item Positif dan Negatif


No. Kategori Skor Keterangan
1 Sangat Tidak Setuju
2 Tidak Setuju
1. Item positif 3 Cukup
4 Setuju
5 Sangat Setuju
5 Sangat Tidak Setuju
4 Tidak Setuju
2. Item negatif 3 Cukup
2 Setuju
1 Sangat Setuju

Tabel 3.3 pengukuran item positif dan negatif menunjukkan penjabaran skor

untuk masing-masing item. Penjabaran skor untuk item positif adalah sebagai berikut:

skor 1 menunjukkan bahwa responden sangat tidak setuju dengan pernyataan

kuesioner, skor 2 menunjukkan bahwa responden tidak setuju dengan pernyataan

kuesioner, skor 3 menunjukkan bahwa responden ragu-ragu, dan skor 4 menunjukkan

bahwa responden setuju dengan pernyataan kuesioner. Skor 2 menunjukkan bahwa

responden setuju dengan pertanyaan, sedangkan skor 1 menunjukkan bahwa

responden sepenuhnya setuju dengan pertanyaan. Studi ini tidak menggunakan opsi
jawaban alternatif "cukup" karena siswa lebih cenderung memilih opsi jawaban

"cukup" daripada opsi jawaban alternatif lainnya.

Tabel berikut menunjukkan hasil positif dan negatif dari kuesioner

peningkatan sikap kedisiplinan:

Tabel 3.4 Sebaran Item Positif dan Item Negatif


Aspek No Item Positif No Item Item Negatif
Item
8. Saya memahami bahwa 6. Saya melupakan aturan
aturan disiplin dapat kedisiplinan di
membuat hidup lebih teratur lingkungan sekolah
42. Saya yakin bahwa aturan 43. Saya tidak bersungguh-
disiplin dapat membantu sungguh dalam
saya menjadi rajin melaksanakan aturan
yang berlaku di
masyarakat
14. Saya menyadari pentingnya 28. Aturan yang dibuat
turan yang berlaku di membuat saya tertekan
lingkungan yang membuat dalam melakukan
hidup lebih tertib dan aman berbagai macam kegiatan
27. Saya meyakini membuat 39. Saya memahami
Kognitif jadwal kegiatan sehari-hari pentingnya menaati
dapat menjadikan hidup peraturan hanya di rumah
teratur saja.
13. Saya mengetahui sikap 17. Saya menyadari
disiplin penting diterapkan bersikap mematuhi
dalam kehidupan sehari-hari aturan membuat hidup
semakin ruwet
26. Saya masuk kelas tepat 24. Saya sadar masuk kelas
waktu agar tidak tepat waktu itu membuat
mengganggu pelajaran saya tergesa-gesa
46. Saya tahu jika 47. Saya tahu piket dapat
melaksanakan piket itu membuat saya lelah
dapat menjaga kebersihan
22. Saya merasa senang ketika 35. Saya tidak ingin
melaksanakan aturan di melaksanakan aturan
lingkungan sekitar disiplin di kelas
karena saya merasa
Afektif bosan
40. Ketika diajak untuk 16. Saya tidak tertarik untuk
membolos oleh teman saya menaati peraturan yang
menolak. sudah dibuat
2. Aturan di sekolah membuat 37. Aturan di sekolah tidak
saya lebih rajin terlalu penting bagi saya
44 Apabila melanggar 29. Saya tidak mau
peraturan saya siap menerima sanksi bila
menerima sanksi saya melangggar aturan
38 Saya merasa ketekunan 10. Mencoret-coret tembok
dalam belajar, membuat merupakan tindakan
saya pandai yang layak dilakukan di
masyarakat karena
menyalurkan rasa seni
21 Saya menghargai teman 45. Saya tertarik ajakan
yang sedang piket dengan teman untuk membolos
tidak berada di dalam kelas saat pelajaran yang tidak
saya sukai
9 Saya senang melakukan 23. Saya senang membuang
piket sesuai jadwal sampah di laci kelas
15 Saya bangga memakai 19. Saya senang memakai
seragam sesuai peraturan seragam bebas ke
sekolah sekolah
18 Saya sudah melaksanakan 3 Saya mengerjakan tugas
piket di kelas sesuai dengan jika saya diingatkan.
jadwal
30. Saya mengumpulkan tugas 25. Saya membiarkan teman
tepat waktu yang melanggar
peraturan.
1. Saya mengumpulkan tugas 5 Saya datang terlambat ke
tepat waktu sekolah
32. Saya melaksanakan aturan 20 Saya tidak bersungguh-
yang berlaku di masyarakat sungguh dalam
dengan sungguh-sungguh. melaksanakan aturan
yang dituliskan
36. Saya berniat memperhatikan 12 Saya mencontek ketika
Konatif penjelasan guru saat ulangan, demi
pelajaran di kelas memperoleh nilai baik
4. Saya mematikan televisi 31 Saya malas untuk bangun
ketika sedang belajar pagi
41. Saya membuat jadwal 33 Saya terpaksa melakukan
kegiatan sehari-hari agar piket kelas
hidup lebih teratur r.
7. Saya setiap hari masuk kelas 11 Saya malas mengerjakan
tepat waktu agar tidak pekerjaan rumah karena
ketinggalan pelajaran menyita waktu bermain
34. Saya memakai seragam
sesuai peraturan sekolah
agar tidak mendapat
sanksi

Menurut Tabel 3.4, instrumen penelitian tersebut mengandung dua puluh empat item

positif dan dua puluh tiga item negatif. Item positif termasuk item 1, 2, 4, 7, 8, 9, 13, 14, 15,

18, 21, 22, 26, 27, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 41, 42, 44, dan 46. Item negatif termasuk item 3, 5,

6, 10, 11, 12, 16, 17, 19, 20, 23, 24, 25, 28, 29, 31, 33, 35,37, 39, 43, 45, dan 47. Tabel
berikut menunjukkan penyebaran nomor item positif dan negatif pada tabel di atas, yang

berkaitan dengan kisi-kisi kuesioner:

Tabel 3.5 Kisi-kisi kuesioner


Indikator Aspek Sikap No Item
Kognitif 6, 8, 14, 28, 42, 43
Aturan-aturan di rumah,
Afektif 2, 16, 22, 29, 35, 37, 40, 44
sekolah, dan masyarakat
Konatif 1, 3, 5, 18, 20, 25, 30, 32
Kognitif 13, 17, 27, 39
Menyadari dan mengontrol diri Afektif 10, 21, 38, 45
Konatif 4, 12, 31, 36
Kognitif 24, 26, 46, 47
Kesadaran akan tujuan Afektif 9, 15, 19, 23
Konatif 7, 11, 33, 34, 41

Sebaran nomor item dalam kuesioner penelitian digambarkan dalam Tabel 3.5.

Menurut penelitian, ada tiga indikator sikap kedisiplinan: kesadaran dan pengendalian diri,

aturan rumah, sekolah, dan masyarakat, dan kesadaran tujuan. Jumlah aspek untuk masing-

masing indikator adalah 3, dan total soal adalah 47 soal: 22 soal untuk indikator aturan

rumah, sekolah, dan masyarakat; 12 soal untuk indikator kesadaran dan pengendalian diri;

dan 13 soal untuk indikator kesadaran tujuan.

H. Teknik Analisi Data

Sugiiyono (2014: 333) menjelaskan bahwa ada dua jenis data yang dikumpulkan

selama pelaksanaan tindakan kelas. Data kuantitatif dikumpulkan dan dianalisis

menggunakan teknik statistik yang tersedia. Data kualitatif terdiri dari kata-kata atau kalimat

dan memberikan gambaran tentang keadaan, seperti hasil wawancara dengan guru, komentar

siswa tentang apa yang mereka pelajari di kelas, dan soal evaluasi yang mereka selesaikan.

Penilaian Acuan Patokan (PAP) adalah ujian yang membandingkan hasil belajar siswa

dengan standar yang telah ditetapkan oleh guru sebelumnya (Masijo, 1995: 151). Ada dua

jenis PAP: PAP tipe 1 dan PAP tipe 2. Yang membedakan PAP tipe 1 dan 2 adalah passing
score PAP tipe 2 lebih rendah dari PAP tipe 1. Untuk menghitung data yang diperoleh,

peneliti menggunakan PAP tipe 1. Tabel kriteria PAP tipe 1 tersedia di sini.

Tabel 3.5 Kriteria PAP tipe 1


Tingkat Penguasaan Nilai Huruf Keterangan
Kompetensi
90% - 100% A Sangat Baik
80% - 89% B Baik
65% - 79% C Cukup Baik
55% - 64% D Tidak Baik
di bawah 55% E Sangat Tidak Baik

Langkah-langkah yang diambil untuk menganalisis sikap kedisiplinan siswa adalah

sebagai berikut: Tabel 3.5 menunjukkan bahwa siswa dianggap memiliki sikap kedisiplinan

jika mereka menerima skor antara 65% dan 100%, atau jika mereka menerima skor C atau

lebih tinggi.

1. Penilaian

Siswa mengisi kuesioner dengan nilai dari 1 hingga 5 dan memilih SS (Sangat

Setuju), S (Setuju), R (Ragu), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Jawaban R

(Ragu) dengan nilai 3 dihilangkan dalam penelitian ini karena merupakan jawaban bias.

2. Menghitung jumlah skor yang diperoleh setiap siswa

Jumlah skor setiap siswa = jumlah skor dari setiap item

3. Menghitung jumalah skor seluruh siswa

Jumlah skor seluruh siswa = jumlah skor item semua siswa


4. Menghitung rata-rata skor kelas

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟

𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑠𝑘𝑜𝑟 =


𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎

5. Menentukan rentang skor berdasarkan kriteria sikap kedisiplinan mengunakan PAP tipe 1

Tabel 3.6 Rentang skor dari kriteria sikap kedisiplinan


Tingkat Rentang Nilai Keterangan
Penguasaan Skor Huruf
Kompetensi
90% - 100% 90 – 100 A Sangat Tinggi
80% - 89% 80 – 89 B Tinggi
65% - 79% 65 – 79 C Cukup
55% - 64% 55 – 64 D Rendah
di bawah 55% 20 – 54 E Sangat Rendah

Rangkaian skor yang digunakan untuk mengevaluasi sikap kedisiplinan siswa

ditunjukkan dalam Tabel 3.6. Siswa diasumsikan menjawab semua kuesioner dengan skor

terendah, yaitu 1, dan harus dikembalikan lagi. Oleh karena itu, rentang skor antara 90 dan

100 menunjukkan kriteria "sangat tinggi", rentang skor antara 80 dan 89 menunjukkan

kriteria "cukup", rentang skor antara 55 dan 64 menunjukkan kriteria "rendah", dan rentang

skor antara 54 dan 20 menunjukkan kriteria "sangat rendah". Tabel afektif dan konatif

digunakan untuk menilai selain tabel kognitif. Di bawah ini adalah tabel aspek.

Tabel 3.7 Rentang skor dari kriteria sikap disiplin menurut aspek kognitif
Tingkat Penguasaan Rentang Skor Nilai Huruf Keterangan
Kompetensi
90% - 100% 27 – 30 A Sangat Tinggi
80% - 89% 24 – 26,99 B Tinggi
65% - 79% 19,5 – 23,99 C Cukup
55% - 64% 16,5 – 19,49 D Rendah
di bawah 55% 6 – 16,49 E Sangat Rendah

Rentang skor pada komponen kognitif yang digunakan untuk memeriksa sikap

kedisiplinan siswa ditunjukkan dalam Tabel 3.7. Dengan asumsi bahwa siswa menjawab

semua kuesioner dengan skor terendah, yaitu 1, kuesioner itu gugur. Akibatnya, rentang skor

antara 27 dan 30 menunjukkan kriteria "sangat tinggi", rentang skor antara 19,5 dan 23,99

menunjukkan kriteria "cukup", rentang skor antara 16,5 dan 19,49 menunjukkan kriteria

"rendah", dan rentang skor minimal adalah 6 dan tidak 0. Selain penilaian tabel kognitif, ada

juga tabel afektif dan konatif. Tabel aspek afektif dapat ditemukan dalam tabel 3.8:

Tabel 3.8 Rentang skor dari kriteria sikap disiplin menurut aspek afektif
Tingkat Penguasaan Rentang Skor Nilai Huruf Keterangan
Kompetensi
90% - 100% 22,5 – 25 A Sangat Tinggi
80% - 89% 20 – 22,49 B Tinggi
65% - 79% 16,25 – 19,99 C Cukup
55% - 64% 13,75 – 16,24 D Rendah
di bawah 55% 5 – 13,74 E Sangat Rendah

Tabel 3.8 menunjukkan range skor untuk elemen afektif yang digunakan untuk

mengevaluasi sikap siswa terhadap kedisiplinan. Dengan asumsi bahwa siswa menjawab

semua kuesioner dengan skor terendah, yaitu 1, kuesioner itu dianggap memiliki kriteria

"sangat tinggi", rentang skor 20–22,49 menunjukkan kriteria "tinggi", rentang skor 16,25–

19,99 menunjukkan kriteria "cukup", rentang skor 13,75–16,24 menunjukkan kriteria

"rendah", dan rentang skor minimal adalah 5 dan tidak 0. Tabel 3.9 berikut menunjukkan

tabel penilaian aspek konatif dari sikap kedisiplinan.

Tabel 3.9 Rentang skor dari kriteria sikap disiplin menurut aspek konatif
Tingkat Penguasaan Rentang Skor Nilai Huruf Keterangan
Kompetensi
90% - 100% 40,5 – 45 A Sangat Tinggi
80% - 89% 36 – 40,04 B Tinggi
65% - 79% 29,25 – 35,99 C Cukup
55% - 64% 24,75 – 29,24 D Rendah
di bawah 55% 9 – 24,74 E Sangat Rendah

Rentang skor untuk elemen afektif yang digunakan untuk mengevaluasi sikap

kedisiplinan siswa ditunjukkan dalam Tabel 3.9. Karena diasumsikan bahwa siswa menjawab

semua kuesioner dengan skor terendah, yaitu 1, maka rentang skor 40,5–45 menunjukkan

kriteria "sangat tinggi", rentang skor 36–40,04 menunjukkan kriteria "tinggi", rentang skor

24,75–29,24 menunjukkan kriteria "rendah", dan rentang skor minimal 9–24,74 menunjukkan

kriteria "sangat rendah".

6. Menghitung persentase kriteria jumlah siswa disiplin minimal cukup

Presentase siswa disiplin minimal cukup =

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑝𝑢𝑛𝑦𝑎𝑖 𝑘𝑟𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑐𝑢𝑘𝑢𝑝


𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, S. 2012. Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Darmadi, Hamid. 2010.Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:


Alfabeta. Fathurrohman, Puput, dkk. 2013. Pengembangan
Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.


Hurlock, B Elizabeth. 1989. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Istiqomah, H. 2010. Penggunaan Model Pembelajaran Group Investigation


untuk Menumbukan Sikap Ilmiah Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika
Indonesia. ISSN: 1693-1246.

Kunandar.2008. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:


Rajagrafindo Persada.

Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter Konsepsi & Implementasinya


secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi,
dan Masyarakat. Yogyakarta: Az – Ruzz Media.

Kusumah, Wijaya & Dedi Dwitagama. 2010. Mengenal Penelitian Tindakan


Kelas. Jakarta Barat: PT. Indeks.

Lickona. 2014. Pendidikan Karakter Panduan Lengkap Mendidik Siswa


Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusa Media.

Martono, Nanang. 2010. Statistik sosial: Teori dan aplikasi program SPSS. Yogyakarta:
Gava Media.

Masijo, B. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di sekolah.


Yogyakarta: Kanisius.

Morrisan. 2012. Metode penelitian survei. Jakarta: PT. Kencana


Prenadamedia.

Mulyasa, E. 2008. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2009. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Mustari, Mohamad. (2014). Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan.


Jakarta: Rajawali Pers.

Sapriya. 2009. Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


Siregar, S. 2010. Statistika Deskriptif Untuk Penelitian. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Subagya, Chris. 2008. Paradigma Pedagogi Reflektif. Yogyakarta: Kanisius.


Subagya, Chris. 2010. Paradigma Pedagogik Reflektif
Mendampingi SiswaMenjadi Cerdas dan Berkarakter. Yogyakarta:
Kanisius.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Sugono, Dendy. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Suparno, Paul. 2015. Pembelajaran di Perguruan Tinggi Bergaya Paradigma


Pedagogi Refleksi (PPR). Yogyakarta: Unversitas Sanata Dharma.

Supriyanto, D. 2013. Penerapan metode pembelajaran student teams


achievement division (STAD) untuk meningkatkan kedisipslinan dan
hasil belajar siswa SMAN plus sukowono jember. (Skripsi yang tidak
dipublikasikan): Universitas Jember, Jember.

Suryadi. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya.

Utami. 2010. Praktik PAKEM PKn SD: Panduan praktis .mengajar PKn di
kelas II dengan aktif, kreatif, dan menyenangkan (Jilid2). Jakarta:
Erlangga.

Wahana, Paulus. 2010. Nilai Etika Aksiologia Max Scheler. Yogyakarta:


Kanisius.

Widiyanti. 2012. Pengaruh Pendidikan Karakter dengan Pendekatan PPR


Dan Motivasi Belajar Terhadap Kepribadian Siswa. (Skripsi yang
tidak dipublikasikan): Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Wiriaatmadja, Rochiati, 2007. Metode Tindakan Kelas. Bandung: Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai