Anda di halaman 1dari 14

Analisis Orientasi Capaian Tujuan Pendidikan Nasional

Melalui Kebijakan Merdeka Belajar


Kemas Imron Rosadi1, Anatun Nisa Mun’amah2
Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Email: kemasimronrosadi@uinjambi.ac.id, anatunnisa.munamah@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan analisis terhadap
implementasi kebijakan merdeka belajar apakah sudah berjalan sesuai
capaian dalam tujuan pendidikan nasional. Kajian ini penting sebagai dasar
arah pelaksanaan pendidikan di Indonesia, dalam proses pengkajiannya
menggunakan metode library research dengan cara mengumpulkan informasi
berupa jurnal, buku serta literatur yang sesuai dengan tema, kemudian di
analisis secara deduktif dan interpretatif, sehingga menghasilkan sebuah
kesimpulan bahwa kebijakan merdeka belajar dipersepsikan sebagai upaya
untuk menciptakan suatu lingkungan belajar yang bebas untuk berekspresi,
bebas dari berbagai hambatan terutama tekanan psikologis. Namun, terdapat
tiga hal yang menjadi kendala dalam orientasi kebijakan tersebut diantaranya
Pemahaman akan maksud dan implementasi yang masih kurang, prinsip-
prinsip dalam pendidikan yang terabaikan, serta ketidak merataan
infrastruktur. Sehingga tujuan pendidikan nasional tidak dapat tercapai
sepenuhnya.

Kata kunci : orientasi, capaian, tujuan pendidikan nasional, kebijakan


merdeka belajar
PENDAHULUAN
Negara di dunia menyadari bahwa pendidikan diyakini memiliki
kemampuan untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM). Proses
pendidikan diharapkan mampu memberi petunjuk bagi keberlangsungan
kehidupan sesuai dengan tata nilai ideologis dan kultural bangsa, memberi
kesadaran kepada setiap individu akan potensi kemanusian yang dimilikinya,
dan lebih dari itu pendidikan harus mampu merangsang individu untuk
mempergunakan potensi tersebut sesuai dengan tata nilai kemanusiaan.
Secara material, pendidikan harus dapat memberikan pengetahuan yang
memajukan serta meningkatkan kualitas hidup, baik dalam skala kehidupan
pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.
Pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu dan selalu berubah
mengikuti perkembangan zaman, ilmu pengetahuan teknologi dan budaya
masyarakat. Pendidikan sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia (Habe & Ahiruddin, 2017). Kualitas pendidikan menjadi dasar
utama dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang akan
membentuk karakter penerus bangsa yang siap menghadapi situasi apapun.
Pemerintah perlu melakukan perbaikan secara berkesinambungan terhadap
semua komponen yang ada pada pendidikan. Tujuan pendidikan nasional
dapat tercapai dengan disusunnya suatu strategi yang berkaitan dengan
permasalahan pendidikan di Indonesia meliputi permasalahan mutu
pendidikan, pemerataan pendidikan dan manajemen pendidikan.
Sistem pendidikan di Indonesia dewasa ini tampak ada kesenjangan
antara keinginan dan realita (Hermanto, 2020). Secara makro dapat dilihat
dalam aspek pengelolaan, peran pemerintah dan masyarakat, kurikulum atau
materi ajar, pendekatan dan metodologi pembelajaran, sumber daya
manusia, lingkungan kampus atau sekolah, dana, dan akreditasi.
Kesenjangan dalam sistem pendidikan tersebut disebabkan karena faktor
politik, ekonomi, sosial-budaya dan sebagainya yang selalu berubah sesuai
dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Pendidikan nasional (Motors & Europe, 2003) berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab dan nawacita kelima untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) selaku
leading sektor pendidikan nasional yang berperan penting dalam
mewujudkan kualitas SDM Indonesia, menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan berbagai kebijakan penting, diantaranya kebijakan pendidikan
“Merdeka Belajar”, yang memfokuskan pada pembangunan sumber daya
manusia sebagaimana diamanatkan dalam Nawacita kelima, untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Adapun konsep belajar dapat dipahami sebagai suatu usaha atau
kegiatan, yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri seseorang,
mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan serta
keterampilan dan sebagainya (Sardiyanah, 2020). Ditambahkan pula menurut
Sudjana, belajar bukan semata kegiatan menghafal dan bukan mengingat.
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada
diri seseorang, dapat ditunjukkan seperti berubah pengetahuannya,
pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan,
dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain
aspek yang ada ada individu (Sudjana, 2013). Jadi apabila kita berbicara
tentang belajar, maka prinsipnya berbicara bagaimana mengubah tingkah
laku seseorang.
Berdasarkan kajian teori tersebut diatas maka konsep Merdeka dan
Belajar dapat dipersepsikan sebagai upaya untuk menciptakan suatu
lingkungan belajar yang bebas untuk berekspresi, bebas dari berbagai
hambatan terutama tekanan psikologis. (Ainia, 2020) Bagi guru dengan
memiliki kebebasan tersebut lebih fokus untuk memaksimalkan pada
pembelajaran guna mencapai tujuan (goal oriented) pendidikan nasional,
namun tetap dalam rambu kaidah kurikulum. Bagi peserta didik bebas untuk
berekspresi selama menempuh proses pembelajaran di sekolah, namun
tetap mengikuti kaidah aturan di sekolah. Peserta didik bisa lebih mandiri,
bisa lebih banyak belajar untuk mendapatkan suatu kepandaian, dan hasil
dari proses pembelajaran tersebut peserta didik berubah secara
pengetahuan, pemahaman, sikap/karakter, tingkah laku, keterampilan, dan
daya reaksinya, sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam tujuan UU
Sisdiknas Tahun 2003, yakni; untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan menyoroti tentang konsep analisis orientasi
capaian tujuan pendidikan nasional melalui kebijakan merdeka belajar.
Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan teknik
analisis deskriptif dengan kajian kepustakaan (library research). Rancangan
penelitian meliputi: 1) Pemilihan topik, 2) Ekplorasi informasi, 3) Menentukan
fokus penelitian berdasarkan informasi yang telah diperoleh, 4) Sumber data
yang dikumpulkan adalah berupa informasi atau data empirik yang
bersumber dari buku-buku, jurnal, hasil laporan penelitian dan literatur lain
yang mendukung tema penelitian ini, 5) Membaca sumber kepustakaan, 6)
Membuat catatan penelitian, 7) Mengolah catatan penelitian, 8) Penyusunan
laporan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah editing,
organizing, dan finding. Sedangkan untuk teknik analisis data menggunakan
analisis deduktif dan interpretatif. Dengan demikian, tujuan penelitian ini
untuk mendeskripsikan analisis orientasi capaian tujuan pendidikan nasional
melalui kebijakan merdeka belajar.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Tujuan Pendidikan Nasional
Adapun tujuan pendidikan Nasional sekarang adalah tujuan
pendidikan nasional yang telah termaktub dalam UU RI Sisdiknas No 20
tahun 2003 pasal 3 bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangakn
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Adapun secara garis besar nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional (Lesmana, 2018) adalah: Pertama, nilai
ketuhanan atau nilai spiritual. Nilai ketuhanan berorientasi kepada nilai
keimanan sebagai dasar segala pemikiran dan tindakan yang berhubungan
kepada kesadaran akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini
jelas, tujuan pendidikan nasional mengharapkan masyarakat Indonesia
menjadikan asas semua aktivitasnya atas dasar keimanan dan kesadaran
akan adanya kepada Tuhan YME. Kedua, nilai sosial. Dalam nilai ini, tujuan
pendidikan nasional mengharapkan hasil dari pendidikan ini akan berorientasi
kepada hubungan sosial dan akan menghasilkan masyarakat yang
mempunyai sikap bertanggungjawab, kasih sayang, sikap loyal dan bersedia
berkorban dan berpartisipasi di dalam kehidupan sosial.
Ketiga, nilai psikologis, nilai psikologis berorientasi kepada sikap
mencintai kebenaran, sehingga kedepannya masyarakat Indonesia akan
mempunyai sikap tidak buruk sangka, sikap rendah hati dan tidak sombong,
toleran, tidak putus asa, teliti dan hati hati, dan sikap untuk mengembangkan
rasa ingin tahu. Keempat, nilai intelektual. Nilai intelektual berorientasi
kepada sikap-sikap cinta ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat Indonesia
diharapkan akan menjadi masyarakat yang giat belajar, tekun, dan
mengembangkan pengetahuan secara kreatif untuk kemaslahatan
masyarakat.
Kelima, nilai biologis. Nilai biologis berorientasi kepada sikap
kesehatan jasmani, sehingga tujuan pendidikan nasional mengharapkan
masyarakat Indoensia sehat secara jasmani dan peduli akan kesehatannya.
Hal bisa tercermin dalam bentuk masyarakat yang rajin olahraga,
menghindari makanan dan minuman yang membahayakan tubuh dan
merawat tubuhnya dengan gaya hidup sehat setiap hari. Keenam, nilai
demokratis. Nilai terakhir yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan
nasional adalah nilai demokrasi. Nilai demokratis akan tercermin kepada
masyarakat jika masyarakat Indonesia mengusung keadilan dan kebebasan
dalam berpendapat serta bebas dalam partisipasi dalam pemerintahan dan
segala indikator demokrasi lainnya yang berlaku di Indonesia.
Kebijakan Merdeka Belajar
Kebijakan tentang merdeka belajar yang dicanangkan oleh Mendikbud
dinilai sebagai kebijakan besar untuk menjadikan pendidikan di Indonesia
menjadi lebih baik dan semakin maju. Selain itu, konsep merdeka belajar
memiliki arah dan tujuan yang sama dengan konsep aliran filsafat pendidikan
progresivisme John Dewey (Mustaghfiroh, 2020). Keduanya sama-sama
menawarkan kemerdekaan dan keleluasaan kepada lembaga pendidikan
untuk mengekplorasi potensi peserta didiknya secara maksimal dengan
menyesuaikan minat, bakat serta kecendrungan masing-masing peserta
didik.
Dengan kemerdekaan dan kebebasan ini, diharapkan pendidikan di
Indonesia menjadi semakin maju dan berkualitas, yang ke depannya mampu
memberikan dampak positif secara langsung terhadap kemajuan bangsa dan
negara., kebijakan tersebut diantaranya sebagai berikut:
pertama, USBN 2020. Berdasarkan Permendikbud Nomor 43 Tahun
2019, menyatakan bahwa ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan merupakan penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan yang
bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua
mata pelajaran, bentuk ujian berupa portofolio, penugasan, tes tertulis, atau
bentuk kegiatan lain yang ditetapkan Satuan Pendidikan sesuai dengan
kompetensi yang diukur berdasarkan Standar Nasional Pendidikan.
Kedua, sebagaimana disampaikan Mendikbud kegiatan UN akan
digantikan dengan istilah lain yaitu Asesmen Kompetensi Minimun dan
Survey Karakter. Asesmen dimaksudkan untuk mengukur kemampuan
peserta didik untuk bernalar menggunakan bahasa dan literasi, kemampuan
bernalar menggunakan matematika atau numerasi, dan penguatan
pendidikan karakter. Adapun untuk standarisasi ujian, mengikuti tolok ukur
penilain yang termuat dalam Programme for International Student
Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS), tetapi penuh dengan kearifan lokal.
Ketiga, tentang Penyederhanaan RPP, isinya meliputi: (1) penyusunan
RPP dilakukan dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada peserta
didik; (2) Dari 13 komponen yang menjadi komponen inti adalah tujuan
pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran
(assesment) yang wajib dilaksanakan oleh guru, sedangkan sisanya hanya
sebagai pelengkap; dan (3) Sekolah, Kelompok Guru Mata Pelajaran dalam
sekolah, Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(KKG/MGMP) dan individu guru secara bebas dapat memilih, membuat,
menggunakan, dan mengembangkan format RPP secara mandiri untuk
sebesar-besarnya keberhasilan belajar peserta didik.
Keempat, untuk PPDB persentase pembagiannya meliputi: (1) untuk
jalur zonasi paling sedikit 50 persen; (2) jalur afirmasi paling sedikit 15
persen; (3) jalur perpindahan tugas orang tua/wali lima persen; dan (4) jalur
prestasi (sisa kuota dari pelaksanaan jalur zonasi, afirmasi dan perpindahan
orang tua /wali (0-30 persen).

Analisis Orientasi Capaian Tujuan Pendidikan Nasional Melalui


Kebijakan Merdeka Belajar
Kemendikbud merancang program kebijakan merdeka belajar sebagai
harapan dapat memberikan setiap peserta didik kesempatan belajar yang
lebih nyaman, tenang, serta menyesuaikan dengan polanya masing-masing
dengan tanpa terikat pada tuntutan tertentu. Sehingga peserta didik dapat
lebih memperhatikan passion, bakat, serta minat yang mereka miliki serta
dapat membangun suasana belajar individual secara lebih kondusif. Gagasan
tersebut disusun sebagai upaya dalam mencetak Sumber Daya Manusia
(SDM) yang unggul dengan mengutamakan implementasi nilai-nilai karakter
supaya daya pikir, kreativitas setiap peserta didik berkembang (Savitri, 2020).
Dengan adanya merdeka belajar keterlibatan peserta didik dalam
pembelajaran akan meningkat. Pendidikan dalam merdeka belajar
mendukung terwujudnya kecerdasan melalui berbagai peningkatan dan
pemerataan kualitas pendidikan, perluasan akses, serta relevansi dalam
penerapan teknologi sehingga mampu mewujudkan pendidikan kelas dunia
dengan berdasar pada keterampilan kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis,
dan kreatif (Sherly et al., 2020). Karena esensi merdeka belajar adalah
menggali potensi terbesar para guru dan peserta didik untuk berinovasi dan
meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. Mandiri bukan hanya
mengikuti proses birokrasi pendidikan, tapi benar-benar inovasi pendidikan.
Namun, apakah system ini dapat berjalan sesuai capaian yang
diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional, sementara di lapangan kita
menemukan kendala yang dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaannya,
diantaranya sebagai berikut:
1. Pemahaman akan maksud dan implementasi yang masih kurang
Konsep merdeka belajar bisa memunculkan potensi guru yang
memang berbakat dalam mengajar. Namun hal tersebut juga menuai
berbagai pertanyaan misalnya pemahaman konsep merdeka belajar seperti
apa, dan juga pemahaman gurunya tentang merdeka belajar tersebut. Misal
instrument merdeka belajar tersebut menghapus UN kemudian tahun
berikutnya menggunakan assessment, assessment seperti apa dulu yang
digunakan, dan alat ukur terhadap siswanya seperti apa, begitu juga dengan
karakter seperti apa pula yang diberlakukan. Dengan menentukan
assessment tersebut perlu kajian sebab Indonesia merupakan multi budaya
dengan karakter yang berbeda beda.
Banyak yang belum paham apa yang sebenarnya diinginkan dari
system merdeka belajar ini, guru juga diminta untuk dapat mengembangkan
kemampuan dan keunggulan setiap peserta didik, padahal pada kenyataan
yang sekarang banyak guru senior yang mengajar puluhan tahun belum siap
mengubah cara mengajarnya dengan alasan sudah senior dan terbiasa
dengan metode konvensional. Hal ini menjadi tantangan bagi guru yaitu
sulitnya keluar dari zona nyaman system pembelajaran yang telah dilakukan
selama ini karena tidak memiliki pengalaman mengajar dengan program
merdeka belajar dan terbiasa mendengarkan penjelasan dari guru pada saat
kuliah , keterbatasan referensi penyampaian materi baik dalam teks pelajaran
maupun pada buku guru serta beberapa sekolah belum siap dengan
kebebasan program tersebut untuk meningkatkan kualitas guru dalam
membuat system penilaian sendiri.
2. Prinsip-prinsip dalam pendidikan yang terabaikan
Perkembangan teknologi digital pada hakikatnya menciptakan
pengetahuan untuk bisa melampaui akses informasi tanpa batas. Melalui
kebijakan merdeka belajar pendidikan era digital dapat dilakukan dalam
beragam waktu dan tempat, peserta didik bebas menentukan cara belajar
yang sesuai, memahami materi serta memecahkan masalah sesuai dengan
kemampuan peserta didik, dan berbasis proyek dalam kehidupan sehari-hari
dilingkungannya.
Jika konsep merdeka belajar dan implementasinya dalam pendidikan
di era digital dapat terealisasi dengan baik maka akan tercipta smart
education, smart learning, smart assessment, smart classroom, smart content
dan akan menciptakan smart city. Hal ini dapat terealisasi didukung dengan
pengembangan karakter peserta didik menjadi manusia yang unggul memiliki
pengetahuan, adaptif terhadap teknologi cerdas, bertanggung jawab dan
berperilaku mulia dalam menggunakan teknologi infomasi dan komunikasi di
era digital.
Kebijakan merdeka belajar bukanlah program yang pertama didunia.
Norwegia sebagai salah satu system pendidikan terbaik misalnya pernah
menerapkan kebijakan untuk memberi siswa remaja lebih banyak pilihan dan
tanggung jawab dalam pembelajaran. Misalnya mendorong mereka bekerja
sama dengan guru untuk merancang kegiatan belajar mereka. Namun
beberapa evaluasi nasional justru menemukan bahwa hanya peserta didik
unggulan yang punya motivasi cukup untuk belajar secara mandiri,
kebanyakan peserta didik lain tidak. Niat baik kebijakan tersebut gagal
terealisasi dilapangan.
Jadi, ketika jarak antara guru dan peserta didik senantiasa melebar,
bagaimana kita mendorong siswa mengambil alih proses belajar mereka
secara mandiri? Dalam menyukseskan kebijakan merdeka belajar, tidak
cukup jika kita hanya memberi ruang peserta didik untuk merancang
pendidikan mereka sendiri. Sekolah dan guru juga harus mendesain
lingkungan pembelajaran digital benar-benar bisa mempertahankan atensi,
motivasi, dan kemandirian mereka untuk belajar. Selain itu, beberapa prinsip
yang harus selalu kita tegakkan dalam dunia pendidikan adalah, bahwa
pendidikan harus dilaksanakan dengan prinsip taat azas maksudnya
pendidikan harus dilaksanakan secara benar, yaitu mentaati aturan-aturan
yang telah ditetapkan jangan justru sekolah atau guru yang justru sering
melanggar aturan. Seperti program kurikulum diterapkan secara konsekwen,
ketentuan tentang standar penyelenggaraan sekolah dipatuhi dll. Lalu prinsip
keteladanan atau panutan, mendidik bukan sebatas transfer of knowledge
tapi juga sharing attitude, maksudnya adalah guru harus bisa menanamkan
nilai-nilai kehidupan seperti kedisiplinan, kesopanan, teamwork, simpati,
empati, dll pada diri peserta didik dengan cara memberikan contoh yang baik.
Selanjutnya prinsip sadar dan serius, penyelenggaraan pendidikan
jangan sampai dilakukan secara asal-asalan, karena kesalahan mendidik
akan berdampak luas dan panjang terhadap buruknya karakter peserta didik
dan budaya masyarakat. Lalu prinsip jujur dan obyektif, maksudnya
pendidikan harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran dan proses
penilaianpun harus dilakukan dengan obyektif. Dengan kata lain pendidikan
memerlukan adanya pernyataan “yang benar katakan benar yang salah
katakana salah”. Hal ini akan berpengaruh pada minat dan semangat belajar
peserta didik yang akhirnya akan mempengaruhi mutu hasil pendidikannya.
Dan yang terakhir adalah prinsip kasih sayang, mendidik haruslah didasari
oleh rasa kasih sayang terutama dari guru terhadap para peserta didik.
Tidaklah mungkin terjadi proses pendidikan yang efektif bila tanpa kasih
sayang terutama ikatan emosional. Peserta didik akan sulit menangkap
informasi yang disampaikan guru bila peserta didik tak suka pada gurunya,
begitupun sebaliknya, sang guru akan malas mengajar bila ia tak suka pada
peserta didiknya.
3. Ketidak merataan infrastruktur
Pembelajaran dengan system merdeka belajar dibasiskan dengan
kemajuan teknologi, sebenarnya system ini baik, tetapi melihat dari aspek
tersedianya fasilitas terkait teknologi ini yang harus dipertimbangkan ulang,
tidak semua sekolah dapat mengikuti dengan baik karena adanya
ketertinggalan teknologi maupun ekonomi diwilayah mereka.
Fatmawati dalam penelitiannya mengatakan bahwa dalam
implementasi kebijakan merdeka belajar adalah perlunya dukungan
perpustakaan, sebagai upaya peningkatan kemampuan literasi pada peserta
didik. Namun sarana perpustakaan di tiap sekolah belum merata dan masih
minim referensi(Fatmawati, 2021). Widiyono dan Millati juga menambahkan
untuk dapat menerapkan kebijakan merdeka belajar diperlukan peran
teknologi guna meningkatkan kualitas pendidikan(Widiyono & Millati, 2021).
Permasalahan seputar infrastruktur pendidikan, kompetensi SDM
(guru), kesiapan orang tua, serta kondisi digital literacy peserta didik
merupakan berbagai hal yang sebaiknya menjadi perhatian pemerintah
dalam penerapan kebijakan merdeka belajar. Anggap saja bahwa pandemic
covid-19 saat ini adalah laboratorium yang mampu menguji dan menganalisa
kesiapan merdeka belajar. Jika kita perhatikan maka dalam pelaksanaanya
ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yakni sumber daya manusia yang
berkualitas, kesiapan keluarga dalam mendukung kebijakan tersebut,
kesiapan infrastruktur, kurikulum pendidikan yang merupakan basis pedoman
dalam pelaksanaan merdeka belajar harus jelas, tepat serta memberikan
solusi terbaik bagi pencapaian sasaran pendidikan yang bermutu.
Sejalan dengan permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis
dapat menganalisa bahwa penerapan kebijakan merdeka belajar menemui
beragam kendala dalam pelaksanaannya dan itu sangat mempengaruhi
ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Dalam hal transfer of knowledge
dan kemandirian bisa jadi tercapai dengan baik, namun dalam hal sharing of
attitude masih dipertanyakan hasilnya. Dengan dibentuknya peserta didik
yang mandiri secara tidak langsung dapat menghilangkan nilai-nilai
pendidikan yang sudah membudaya sejak dulu seperti kesopanan,
teamwork, rasa simpati dan empati, serta karakter yang terwujud dalam
Pancasila. Peserta didik hanya focus dengan dirinya sendiri dalam
menentukan cara belajar yang sesuai dan terkesan menjadi egois dengan
urusannya sendiri. Guru memiliki keterbatasan dalam sharing of attitude
dengan kondisi pebelajaran tidak langsung seperti ini.
Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan ini dengan baik
diperlukan sinergitas pengoptimalisasian peran pemerintah, pendidikan dan
tenaga pendidik dalam memberikan pengawasan dan pendampingan,
melakukan revitalisasi musyawarah serta penyiapan sarana prasarana yang
menunjang proses pendidikan yang berkualitas.

KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan
kebijakan merdeka belajar, diharapkan dapat memberikan setiap peserta
didik kesempatan belajar yang lebih nyaman, tenang, serta menyesuaikan
dengan polanya masing-masing dengan tanpa terikat pada tuntutan tertentu.
Sehingga peserta didik dapat lebih memperhatikan passion, bakat, serta
minat yang mereka miliki serta dapat membangun suasana belajar individual
secara lebih kondusif, namun yang menjadi pertanyaan dengan adanya
masalah seperti pemahaman pendidik terhadap kebijakan dan
implementasinya yang masih kurang, prinsip-prinsip pendidikan yang
terabaikan, serta tidak meratanya infrastruktur diseluruh wilayah apakah
kebijakan ini akan efektif untuk dilaksanakan dan memenuhi capaian dalam
tujuan pendidikan nasional? Maka dari itu, Untuk mengimplementasikan
program Merdeka Belajar diperlukan sinergitas pengoptimalisasian peran
pemerintah, pendidikan dan tenaga pendidik dalam memberikan pengawasan
dan pendampingan, melakukan revitalisasi musyawarah serta penyiapan
sarana prasarana yang menunjang proses pendidikan yang berkualitas.
REFERENSI
Ainia, D. K. (2020). Merdeka Belajar Dalam Pandangan Ki Hadjar Dewantara
Dan Relevansinya Bagi Pengembangan Pendidikan Karakter. Jurnal
Filsafat Indonesia, 3(3), 95–101.
Fatmawati, E. (2021). Dukungan Perpustakaan Dalam Implementasi
“Kampus Merdeka Dan Merdeka Belajar.” Jurnal Pustaka Ilmiah, 6(2),
1076.
Habe, H., & Ahiruddin, A. (2017). Sistem Pendidikan Nasional. Ekombis
Sains: Jurnal Ekonomi, Keuangan Dan Bisnis, 2(1).
Hermanto, B. (2020). Perekayasaan sistem pendidikan nasional untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Foundasia, 11(2).
Lesmana, D. (2018). Kandungan Nilai Dalam Tujuan Pendidikan Nasional
(Core Ethical Values). Kordinat: Jurnal Komunikasi Antar Perguruan
Tinggi Agama Islam, 17(1).
Motors, G., & Europe, W. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Zitteliana, 19(8),
159–170.
Mustaghfiroh, S. (2020). Konsep “Merdeka Belajar” Perspektif Aliran
Progresivisme John Dewey. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 3(1).
Sardiyanah, S. (2020). Belajar Dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Jurnal
Al-Qalam: Jurnal Kajian Islam & Pendidikan, 7(1), 123–144.
Savitri, D. I. (2020). Peran Guru SD di Kawasan Perbatasan Pada Era
Pembelajaran 5.0 dan Merdeka Belajar. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Dasar Vol 2, 274–279.
Sherly, Dharma, E., & Sihombing, H. B. (2020). Merdeka belajar: kajian
literatur. UrbanGreen Conference Proceeding Library, 1, 183–190.
Sudjana, N. (2013). Dasar-dasar proses belajar. Jurnal Pendidikan, 11--39.
Widiyono, A., & Millati, I. (2021). Peran Teknologi Pendidikan dalam
Perspektif Merdeka Belajar di Era 4.0. Journal of Education and
Teaching (JET), 2(1), 1–9.

Anda mungkin juga menyukai