Anda di halaman 1dari 13

Aksiologi Ilmu Pengetahuan Bagi Manusia

Bahera
Anatun Nisa Mun‟amah
Program Doktoral Pascasarjana UIN STS Jambi
Pendahuluan
Mengingat betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kelangsungan hidup
manusia, maka para filosuf terdahulu telah berupaya membangun pola pikir yang logis
dan sistematis berkenaan dengan kajian terhadap ilmu pengetahuan. Kajian ini telah
mendorong lahirnya filsafat ilmu, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas
tentang ilmu itu sendiri.
Menurut Prof Agus Sholahuddin, filsafat ilmu membahas tentang ilmu
pengetahuan dan perkembangannya dari masa ke masa, baik bersifat teoritis, praktis,
nilai maupun kebijaksanaan.1 Agaknya, atas dasar inilah maka kemudian lahirlah
berbagai cabang ilmu pengetahuan, tidak terkecuali dalam bidang ilmu sosial dengan
berbagai cabang ilmu yang dimilikinya.
Ada tiga landasan yang digunakan untuk melakukan pembahasan secara
filosofis terhadap ilmu pengetahuan, yaitu: landasan ontologis, landasan epistemologis,
dan landasan aksiologis. Berdasarkan landasan ontologis, filsafat mempersoalkan
tentang ciri khas dari ilmu pengetahuan (yang mencakup segala jenis ilmu
pengetahuan) bila dibandingkan dengan berbagai macam pengetahuan dan kegiatan
yang dilakukan oleh manusia. Secara ontologis juga perlu dipersoalkan tentang lingkup
wilayah kerja ilmu pengetahuan sebagai obyek dan sasarannya, serta perlu diketahui
tentang target dari kegiatan ilmu pengetahuan yang ingin diusahakan serta dicapainya.
Landasan epistemologis memberikan dasar pembahasan tentang cara kerja ilmu
pengetahuan dalam usaha mewujudkan kegiatan ilmiah. Disini perlu dijelaskan
langkah-langkah, metodemetode ilmu pengetahuan, dan sarana yang relevan dengan
sasaran serta target kegiatan ilmiah yang dilakukannya. Dan landasan aksiologis
menjadi dasar pembahasan untuk menemukan nilai-nilai yang terkait dalam kegiatan
ilmiah.

1
Agus Sholahuddin, Filsafat IlmuPengetahuan, Handout Mata Kuliah Filsafat Ilmu Untuk
Mahasiswa Program S3, Unpublised, (Malang: Universitas Merdeka, 2011), hlm. 4.
Selain nilai kebenaran, perlu disadari adanya berbagai nilai kegunaan yang
dapat ditemukan dalam ilmu pengetahuan sebagai implikasinya. Sebagai yang memiliki
nilai kegunaan, ilmu pengetahuan memiliki nilai netral, yang baik dan jahatnya sangat
tergantung pada manusia yang mengoperasikannya. ilmu pengetahuan merupakan
instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk
mewujudkan kemashlahatan hidup manusia seluruhnya. Ilmu pengetahuan dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan
kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat untuk
kepentingan manusia.2

Pembahasan
A. Aksiologi Ilmu Pengetahuan
1. Definisi Aksiologi
Aksiologi merupakan bidang filsafat yang menelaah tentang hakikat nilai-nilai
(axios: value, logos: teori atau ilmu atau pemikiran).3 Dan bidang aksiologi berkaitan
dengan kegunaan ilmu, hubungan etika dengan ilmu serta aplikasi ilmu dalam
kehidupan.
Aksiologi didefinisikan sebagai a branch of philosophy dealing with the nature
of values and types of values as in morals, aesthetics, ethics, religion, and
methaphysics (cabang filsafat yang berurusan dengan sifat nilai-nilai dan jenis nilai
seperti dalam bidang moral, estetika, etika, agama, dan metafisika). John N
Warfield mendefinisikannya sebagai the study of the nature of types of and criteria
of values and of value judgments, especially in ethics (studi tentang sifat jenis dan
kriteria nilainilai dan pertimbangan nilai, terutama dalam etika).4
Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil dua intisari pengertian.
Pertama, Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan ragam

2
Rosnawati. Dkk, Aksiologi Ilmu Pengetahuan dan Manfaatnya bagi Manusia, Jurnal Filsafat
Indonesia, Vol 4 No 2 Tahun 2021, hlm. 186
3
Saifullah Idris dan Fuad Ramly, Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu (
Yogyakarta: Darussalam Publishing, 2016) Hlm. 39
4
Nataly Z. Chesky & Mark R. Wolfmeyer, Philosophy of STEM Education: A Critical Investigation,
The Cultural and Social Foundations of Education, 2015, Hlm. 19
dan kriteria nilai serta keputusan atau pertimbangan dalam menilai, terutama dalam
etika atau nilai-nilai moral, di samping juga nilai-nilai estetika.
Kedua, Aksiologi merupakan suatu paradigma yang berpengaruh penting
dalam penelitian ilmiah. Setiap penelitian ilmiah tidak terlepas dari Aksiologi, karena
Aksiologi memberi landasan arah dan tujuan yang diharapkan atau ingin dicapai
oleh penelitian ilmiah.
Aksiologi yang mempersoalkan tentang nilai-nilai kehidupan. Axiologi disebut
juga filsafat nilai, yang meliputi meliputi: etika, estetika, dan religi. Etika adalah
bagian filsafat aksiologi yang menilai perbuatan seseorang dari segi baik atau
buruk. Estetika adalah bagian filsafat yang menilai sesuatu dari segi indah atau
tidak indah. Sedangkan religi merupakan sumber nilai yang berasal dari agama
atau kepercayaan tertentu.5
Dengan demikian, sumber nilai bisa dari manusia (individu dan masyarakat)
dan bisa dari agama atau kepercayaan. Jadi, aksiologi adalah bagian filsafat
mengenai cara menilai yang ada itu dan axiology disebut filsafat preskriptif.
Secara aksiologis, ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan serta
kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan
pengetahuan ilmiah secara komunal dan universal.6
Di dunia Islam, kajian filsafat etika sungguh marak karena merupakan bagian
dari ajaran-ajaran Islam. Islam menganjurkan umatnya untuk beraklak dengan
akhlak-akhlak yang baik (al-akhlaq alkarimah), bukannya akhlak-akhlak yang buruk
(al-akhlaq al-mukrihah). Dalam Islam, kajian mengenai akhlaq atau khalq (tindak-
tanduk yang didasari kebiasaan yang tetap) dilakukan oleh filosof-filosofnya dan
sufi-sufinya. Salah satu filosof sekaligus sufi yang terkenal karena kajian akhlaq nya
yang sangat komprehensif dan amat lengkap adalah Al-Ghazzali.

5
Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam (Aceh: Penerbit
Bandar Publishing, 2019) Hlm. 12-13
6
Ibid, Hlm. 139
Menurut Al-Ghazzali, tindakan manusia (baik atau buruk) tergantung pada 4
kekuatan yang selalu bergulat dan bertarung dalam diri manusia.7 Pertama,
kekuatan Syahwat. Kekuatan Syahwat adalah kekuatan dalam diri manusia yang
memungkinkan tubuh fisiknya mendapatkan apa yang baik baginya, seperti rasa
lapar, rasa haus, rasa ingin bercinta, dan lainlain.
Kedua, kekuatan Ghadab. Kekuatan Ghadhab ialah kekuatan dalam diri
manusia yang memungkinkan tubuh fisiknya mengusir atau menghindari apa yang
berbahaya baginya, seperti rasa marah dan rasa ingin berkelahi, dan lain-lain.
Ketiga, kekuatan Idrak dan kekuatan „Ilm adalah kekuatan dalam diri manusia yang
merupakan alat mempersepsi dan alat memahami apa yang baik bagi manusia.
Kekuatan Idrak dan „Ilm ini berasal dari tiga sumber:
a) Dari 5 daya manusia (daya pendengaran, daya peraba, daya pengecap,
daya penglihatan, dan daya penciuman) yang dimungkinkan oleh adanya
5 indera manusia
b) Daya imajinasi, daya refleksi, daya rekoleksi, daya memori, dan daya
akal sehat, (yang dimungkinkan oleh adanya otak manusia)
c) Daya membangun generalisasi dan daya membangun konsep-konsep,
daya mengetahui kebenaran yang abstrak, dan daya mengetahui
kebenaran yang self-evident, daya mengetahui hal-hal ruhaniah yang tak
terhingga, serta daya memahami hakikat segala sesuatu (yang
dimungkinkan oleh adanya Al-„Aql dalam diri manusia)
Terakhir ialah kekuatan Syaithaniyyah, yaitu kekuatan dalam diri manusia
yang menghasut dan memperdaya kekuatan Syahwat dan Ghadhab untuk berontak
dari kekuatan Idrak dan kekuatan „Ilm tadi. Empat kekuatan ini saling bertanding,
saling adu gulat, saling bergumul, saling mengalahkan satu sama lain.
Al-Ghazzali mengibaratkan empat kekuatan yang saling bergumul ini dengan
seekor babi, seekor anjing, syetan, dan orang suci. Kekuatan Syahwat ibarat babi;
kekuatan Ghadhab ibarat anjing; kekuatan Syaithaniyyah ibarat syetan, dan
kekuatan Idrak dan „Ilm ibarat orang suci. Jika syetan berhasil mendorong anjing

7
Mohammad Umaruddin, Some Fundamental Aspects of Imam Ghazzali’s Thought (Lahore &
Pakistan: Institute of Islamic Culture, 2015) Hlm. 18-22
dan babi untuk menyerang si orang suci, sehingga si orang suci itu kalah, maka
lahirlah tindakan buruk (jahat).
Sebaliknya, jika si orang suci yang berhasil menyuruh si anjing dan si babi
untuk menyerang si syetan, sehingga si syetan kalah, maka lahirlah tindakan baik
Apabila kekuatan Syahwat menang dalam pergumulan antara 4 kekuatan tadi,
maka lahirlah tindakan manusia yang tak mengenal malu (waqahah), tindakan licik
dan culas (khabats), tindakan bermewah-mewahan (tabdzir), tindakan kikir (taqtir),
tindakan bermuka-dua (riya‟), tindakan rakus (khirsh), dan tindakan dengki (hasad).
Apabila kekuatan Ghadhab yang menang dalam pergumulan tadi, maka
lahirlah tindakan berikut ini dari manusia: tindakan kesombongan (takabbur),
tindakan egoistis („ajb), tindakan menghina orang lain (tahqir), dan tindakan
menindas manusia dengan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan (al-tahjim
„ala‟n-naas bi‟syatm wa‟dh-dharb)
Apabila kekuatan Syaithaniyyah menang dalam pergumulan tadi, maka
lahirlah tindakan berikut ini: tindakan menipu (makr), tindakan dusta (khada‟),
tindakan khianat dan ketidakjujuran (qhasy). Akan tetapi, apabila kekuatan Idrak
dan kekuatan „Ilm yang menang dalam pergumulan antara 4 kekuatan dalam diri
manusia itu, maka lahirlah tindakan-tindakan suci nan baik, yang merupakan ideal
hamba Allah yang sholeh.
2. Definisi Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu merupakan ilmu,
sebab pengetahuan dapat diperoleh dengan atau tanpa metode ilmiah, artinya
dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari atau berupa informasi yang kita
terima dari seseorang yang memiliki kewibawaan atau otoritas tertentu. Sedangkan
ilmu mesti diperoleh dengan metode ilmiah, yaitu dengan menggunakan metode
berpikir deduktif dan induktif.8
Pengetahuan adalah keseluruhan gagasan, pemikiran, ide, konsep dan
pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk
manusia dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan

8
Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam (Aceh: Penerbit
Bandar Publishing, 2019) Hlm. 26
sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis.
Pengetahuan lebih spontan sifatnya, sedangkan ilmu pengetahuan lebih sistematis
dan reflektif. Pengetahuan jauh lebih luas dari ilmu pengetahuan, karena
pengetahuan mencakup segala sesuatu yang diketahui manusia tanpa perlu
dibakukan secara sistematis.
Ilmu Pengetahuan merupakan pengetahuan yang diusahakan secara
sungguh-sungguh dengan cara-cara (metode), langkah-langkah serta sarana-
sarana yang relevan dan tepat untuk memperoleh pemahaman yang kebenarannya
dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan, bukan sekedar pengetahuan yang
diperoleh secara sepintas lalu saja yang kebenarannya memang masih sering
diragukan dan kurang dapat dipertanggungjawabkan.9
Ilmu pengetahuan bukan semata-mata merupakan kumpulan pengetahuan
atau kumpulan fakta-fakta empiris. Hal ini disebabkan fakta-fakta empiris itu, agar
mempunyai makna, harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, di generalisasi
berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan
yang lain.10
3. Hakikat Ilmu Pengetahuan
Pembahasan tentang hakikat ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dari empat
hal, yaitu: sumber ilmu pengetahuan, batas-batasnya, struktur penyelidikannya, dan
keabsahan yang terkait dengan nilai kebenaran.
a. Sumber Ilmu Pengetahuan
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan
itu diperoleh. Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman inderawi (empiri) dan
dari akal (ratio), sehingga timbul paham atau aliran yang disebut empirisme dan
rasionalisme. Aliran empirisme menyusun teorinya berdasarkan pada empiri.
Tokoh-tokoh aliran ini di antaranya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-
1704), dan Berkley.
Sedangkan rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan rasio. Tokoh-
tokoh aliran ini misalya Spinoza, dan Rene Descartes. Metode yang digunakan

9
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Diamond, 2016) Hlm. 7
10
Opcit, Hlm. 20
aliran empirisme adalah induksi, sedangkan rasionalisme menggunakan metode
deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan paham empirisme
dan rasionalisme.

b. Batas-batas Ilmu Pengetahuan


Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan pancaindra
itu hanya terbatas pada gejala atau phenomenon (fenomena), sedangkan
substansi yang ada di dalamnya yang tidak dapat kita tangkap dengan
pancaindra disebut nomenon (nomena). Apa yang dapat kita tangkap dengan
pancaindra itu adalah penting, tetapi pengetahuan tidak sampai di situ saja dan
harus lebih dari sekedar yang dapat ditangkap oleh pancaindra.
Yang dapat kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan
pancaindra adalah hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada
di luar ruang dan waktu adalah di luar jangkauan pancaindra kita, yaitu terdiri dari
tiga ide regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang semesta alam (kosmos); 2) ide
psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia (yang dapat kita tangkap
dengan pancaindra kita hanyalah manifestasinya, misalnya perilakunya,
emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain); dan 3) ide teologis yaitu
tentang Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam.
c. Struktur Penyelidikan Ilmu Pengetahuan
Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran, dan yang
ingin diketahui adalah objek. Di antara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat
garis demarkasi (pemisahan) yang sangat tajam, namun dapat dijembatani
dengan dialektika.
Jadi garis demarkasi tersebut sebenarnya tidaklah tajam, karena apabila
dikatakan hanya subjek menghadapi objek itu adalah anggapan yang salah,
karena objek itu adalah subjek juga, sehingga terjadi dialektika. Dalam proses
dialektika, ilmu pengetahuan berkembang mengikuti pola relasi dua arah, bersifat
timbal-balik, atau dapat disebut korelasi (saling berhubungan atau saling
mempengaruhi).
Manusia sebagai subjek tidak semata-mata mempengaruhi objek dalam
memperoleh pengetahuan, tetapi sekaligus juga terpengaruh olehnya. Objek
yang kelihatannya hanya bersifat pasif, mampu menyajikan keterangan dan
bukti-bukti otentik (asli) tentang “diri” dan realitasnya “sendiri” di hadapan
manusia, sehingga objek tersebut seakan berperan sebagai subjek.
Objek memperlihatkan diri sebagai gejalagejala (fenomena), atau
“menggejala”, dan manusia menangkap gejalagejala tersebut dengan metode
yang dimilikinya, yaitu metode ilmiah yang bersumber dari perpaduan metode
empiris dan rasional. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat berproses
secara objektif, di mana objek-objek dapat diketahui dan diyakini sebagaimana
adanya (sebagai gejala-gejala).
Prinsipnya merupakan suatu proses yang berupaya menghasilkan
pengetahuan-pengetahuan objektif (pengetahuan ilmiah). Upaya ini berlangsung
melalui proses dialektika yang melibatkan hubungan interaktif subjek dan objek.
d. Keabsahan Ilmu Pengetahuan
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu
pengetahuan itu sah atau mengandung kebenaran. Oleh karena itu membahas
keabsahan ilmu pengetahuan berarti juga membahas tentang kebenaran.
Kebenaran itu adalah nilai (aksiologis) dan merupakan suatu relasi antara
gagasan dengan kenyataan.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya juga bertujuan mengungkapkan
kebenaran sebagai suatu nilai yang ingin diwujudkan (dicapai). Dalam kaitan
tersebut terdapat tiga macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
1) Teori Korespondensi, menyatakan bahwa terdapat persamaan atau
persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau realita.
2) Teori Koherensi, menyatakan bahwa terdapat keterpaduan antara
gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi
antara rumusan (pemikiran atau pendapat) yang satu dengan yang
lain
3) Teori Pragmatis, menyatakan bahwa sesuatu yang dianggap benar
adalah yang berguna secara praktis. Pragmatisme adalah tradisi
dalam pemikiran filsafat yang berhadapan dengan idealisme dan
realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika Serikat. Kebenaran
diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatis.
B. Aksiologi Ilmu Pengetahuan Bagi Manusia
Kajian tentang kebermanfaatan ilmu (aksiologis) ini salah satunya bertujuan ingin
memberikan dukungan terhadap proses kemajuan ilmu. Memang tidak mudah untuk
menentukan kriteria/ ukuran suatu ilmu itu bermanfaat atau tidak. Namun demikian,
tulisan ini mencoba memberikan kriteria kebermanfaatan itu secara sederhana, antara
lain sebagai berikut11:
1. Pada dasarnya, suatu ilmu dikatakan bermanfaat apabila dapat memberikan/
mendatangkan kesejahteraan, kemaslahatan dan kemudahan bagi kehidupan
manusia. Dalam konsep ilmu dakwah kriteria ini disebut Al-Amr bi al-ma‟ruf, yaitu
serangkat upaya yang dilakukan ilmuan (da‟i) dalam rangka membina
kesejahteraan dan membangun kemaslahatan sosial. Dalam realitas sosial
didapatkan data bahwa ilmu pengetahuan memiliki andil cukup besar bagi
kemajuan manusia.
Yuyun Suriasumantri menjelaskan, terdapat kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang budi pada ilmu
pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di
samping penciptaan berbagai kemudahan dalam berbagai bidang, seperti
kesehatan, pengangkutan, pemukiman pendidikan dan komunikasi.12
2. Ilmu dikatakan bermanfaat apabila dapat memberikan informasi tentang
kebenaran, baik kebenaran indrawi, kebenaran ilmiah maupun kebenaran
agama. Kebenaran indrawi adalah kebenaran yang hanya didasarkan pada hasil
pengamatan indrawi, seperti hasil observasi terhadap suatu fenomena yang
muncul dalam kehidupan sosial. Indra merupakan salah satu alat untuk
menyerap segala objek yang ada di luar diri manusia. Dalam kajian filsafat, aliran

11
Jalaluddin. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu pengetahuan dan Peradaban (Jakarta:
Rajawali Pres, 2014), Hlm. 25-29.
12
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2019), hal. 229.
yang mengedepankan indra untuk menangkap fenomena disebut dengan
realisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa semua yang diketahui hanyalah
kenyataan.
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh dari kemampuan
seseorang menangkap berbagai fenomena dengan menggunakan
metodemetode ilmiah. Sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran yang
didapatkan dari proses pemahaman terhadap berbagai fenomena dan hasil
perenungan akal yang mendapat bimbingan wahyu.
Dengan demikian dua kebenaran yang pertama – indrawi dan ilmiah –
dinilai bersifat relatif dan spekulatif, sedangkan kebenaran agama bersifat
mutlak. Kebenaran agama akan semakin kuat manakala didukung oleh
kebenaran indrawi dan kebenaran ilmiah. Suatu ilmu disebut bermanfaat
manakala ia mampu memberikan informasi tentang kebenaran yang dibutuhkan
oleh manusia, bukan berita-berita bohong (hoax) yang menyesatkan akan tetapi
yang benar yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran ilmiyah yang
didasarkan pada wahyu, bukan kebenaran relatif yang didasarkan pada akal
semata-mata.
3. Ilmu disebut bermanfaat manakala ia dapat membimbing manusia menjadi orang
yang tawadhu‟ dan memiliki pribadi yang mengenal kegagungan Allah sambil
menyadari eksistensinya yang sangat lemah dan terbatas. Karena itu, ketika
membahas ilmu pengetahuan, Islam selalu menghubungkannya dengan 3 (tiga)
pilar utama yaitu Iman, Ilmu dan Amal.
Beriman saja tidak cukup untuk memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat. Orang yang berilmu tapi tidak beriman juga tidak dapat memberikan
perlindungan terhadap sesama, bahkan cendeung menghancurkan, begitu juga
dengan ilmu yang tidak diamalkan maka ilmu itu dipastikan tidak memiliki nilai
manfaat. Untuk itu, agar ilmu bernilai manfaat maka ia harus diiringi oleh iman
dan amal, seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Iman

Kesejahteraan
sosial
Ilmu Amal

Gambar di atas memperlihatkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan


sosial maka tiga pilar utama, yaitu iman, ilmu dan amal menjadi penting bagi
kehidupan sosial yang harmonis. Karena itulah ilmu dikatakan memiliki nilainilai
(velues) bagi kelangsungan hidup manusia. Untuk itu diyakini bahwa setiap ilmu
itu memiliki nilai kabaikan (posistif), dan manakala nilai kebaikan itu diganti
dengan nilai lain yang bersifat negatif maka ilmu itu dapat dikatakan telah
kehilangan nilai. Kehilangan nilai inilah yang diyakini sebagai penyebab
berubahnya fungsi ilmu pengetahuan dari fungsi penyelamatan ke fungsi
penghancuran.
Dengan demikian, ketika ketiga unsur ini tidak dimiliki oleh suatu ilmu
pengetahuan, yaitu tidak mampu mendatangkan kesejahteraan dan
kemaslahatan bagi kehidupan manusia, tidak memberikan informasi tentang
kebenaran, baik kebenaran indrawi, kebenaran ilmiah maupun kebenaran agama
serta tidak dapat membimbing manusia menjadi orang yang tawadhu‟ (rendah
hati) bahkan justru sebaliknya dapat mendatangkan kesombongan yang
berujung pada malapetaka sosial, maka ilmu semaccam ini tidak dapat disebut
sebagai ilmu pengetahuan.
Sehubungan dengan itu, dalam ajaran Islam disebutkan setiap upaya
membangun kerangka keilmuan, maka unsur kebermanfaatannya harus menjadi
prioritas utama. Dalam sebuah Hadist yang bersumber dari Abu Hurairah
disebutkan bahwa ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah
segala amalannya, kecuali 3 (tiga) hal, yaitu sedekah yang pernah ia dermakan,
ilmu yang bermanfaat dan anak yang salih yang selalu mendoakannya.
Hadits di atas dapat dipahami bahwa tujuan utama pencarian ilmu
pengetahuan dalam perspektif Islam adalah untuk memberikan kemaslahatan
publik seperti memberikan jaminan keselamatan, kemudahan dan keharmonisan
dalam kehidupan sosial.

Kesimpulan
Secara garis besar manfaat ilmu pengetahuan bagi kehidupan sosial dapat
dikemukakan dalam 2 (dua) aspek, yaitu manfaat praktis dan manfaat akademis.
Manfaat praktis ilmu pengetahuan antara lain: Pertama, Dapat mendatangkan/
memberikan kemaslahatan dan kemudahan bagi bagi seluruh sektor kehidupan
masyarakat. Kedua, dapat mendorong masyarakat mencapai tingkat kemajuan
peradaban yang tinggi. Ketiga, mampu melakukan perubahan gaya hidup dan pola pikir
masyarakat, dari gaya hidup konvensional menuju gaya hidup yang lebih terbuka dan
modern.
Adapun manfaat akademis dapat rasakan dalam beberapa aspek, antara lain:
Pertama, dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam batasan nilai ontologis.
Dalam paradigma ontologi diharapkan dapat mendorong wawasan spiritual keilmuan
yang mampu mengatasi bahaya sekularisme terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam batasan etimologis, yaitu mampu
mendorong perkembangan wawasan intelektuan keilmuan yang mampu membentuk
sikap ilmiah dan mampu menemukan konsep dan teori-teori baru dalam dunia ilmu
pengetahuan. Ketiga, dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang bernilai etis, yaitu
dapat mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat, seperti terbinanya pribadi
atau masyarakat yang bermoral dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, dalam rangka menjaga agar ilmu pengetahuan tetap memiliki
nilai manfaat bagi kehidupan sosial, maka eksistensi ilmu yang memiliki nilai (velues)
perlu dijaga dan dipertahankan, sehingga ilmu itu dapat terbebas dari bahaya
sekularisme. Untuk itu ilmu yang diiringi oleh Iman dan Amal perlu dipertahankan
secara baik, sehingga mampu mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan social

Daftar Pustaka
Sholahuddin, Agus. Filsafat IlmuPengetahuan, Handout Mata Kuliah Filsafat Ilmu Untuk
Mahasiswa Program S3, Unpublised, (Malang: Universitas Merdeka, 2011).
Rosnawati. Dkk, Aksiologi Ilmu Pengetahuan dan Manfaatnya bagi Manusia, Jurnal
Filsafat Indonesia, Vol 4 No 2 Tahun 2021.

Idris, Saifullah, dan Ramly, Fuad Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu (
Yogyakarta: Darussalam Publishing, 2016).

Chesky, Nataly Z. & Wolfmeyer, Mark R. Philosophy of STEM Education: A Critical


Investigation, The Cultural and Social Foundations of Education, 2015.

Umaruddin, Mohammad. Some Fundamental Aspects of Imam Ghazzali’s Thought


(Lahore & Pakistan: Institute of Islamic Culture, 2015) Hlm. 18-22

Soelaiman, Darwis A. Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam (Aceh:
Penerbit Bandar Publishing, 2019).

Wahana, Paulus. Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Diamond, 2016).

Jalaluddin. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu pengetahuan dan Peradaban


(Jakarta: Rajawali Pres, 2014).

Suriasumantri, Yuyun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2019).

Anda mungkin juga menyukai