Anda di halaman 1dari 20

SISTEM DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Abstrak:
Pendidikan merupakan sektor yang penting untuk diperhatikan setiap
negara. Pasalnya, pendidikan mampu membangun kemampuan, membentuk
budi pekerti, serta mencerdaskan manusia. Tanpa adanya sumber daya
manusia yang berkualitas, kestabilan bangsa akan terganggu. Dengan
menggunakan motode kualitatif kita bisa mengetahui betapa pentingnya
sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia demi kemajuan seorang siswa
dalam belajar. Maka dari itu, dibutuhkan sistem dan kebijakan pendidikan
dalam lingkup nasional untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Sistem dan
kebijakan pendidikan nasional merupakan upaya terencana dalam
mewujudukan proses dan suasana pembelajaran supaya pelajar aktif dalam
mengembangkan potensi dirinya.

Abstract:

Education is an important sector for every country to pay attention to. The
reason is, education is able to build abilities, shape character, and educate
humans. Without quality human resources, the stability of the nation will be
disrupted. By using the qualitative method we can find out how important
the education system and policies in Indonesia are for the progress of a
student in learning. Therefore, education systems and policies are needed
within the national scope to realize the ideals of the nation. The national
education system and policies are a planned effort in creating a learning
process and atmosphere so that students are active in developing their
potential.

Kata Kunci :
Pendidikan Nasional, Sistem Pendidikan, Kebijakan Pendidikan
Pendahuluan (Introducing)
Pendidikan merupakan komponen penting untuk kita sebagai makhluk hidup di muka
bumi ini. Pendidikan juga merupakan sumber kemajuan bagi suatu bangsa, karena
dengan pendidikan yang baik kualitas sumber daya manusia tersebut dapat
ditingkatkan. Sumber daya manusia merupakan asset utama dalam membangun suatu
bangsa. Maka dari itu, demi tercapainya kualitas pendidikan yang baik di Indonesia
kita juga harus memiliki sistem dan kebijakan pendidikan yang baik pula. Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang dalam posisinya masih dikatakan sebagai negara
berkembang sedang mencari bentuk tentang bagaimana cara dan upaya agar menjadi
negara maju terutama dibidang pendidikan. Berdasarkan metode kualitatif dengan
menggunakan motede library research yang berdasarkan tulisan-tulisan para ahli, kita
dapat memahami bagaimana sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem
pendidikan di Indonesia ternyata mengacu pada sistem pendidikan nasional yang
merupakan sistem pendidikan yang akan membawa kemajuan dan perkembangan
bangsa dan menjawab tantangan zaman yang selalu berubah hal ini sebagaimana visi
dan misi Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU RI NO. 20 tahun 2003
tentang SISDIKNAS. Apakah dengan adanya visi dan misi sisdiknas tersebut dapat
sesuai dengan realita yang diharapkan bangsa Indonesia? Topik inilah yang akan
dibahas pada tulisan ini.

Metode Penelitian (Method)


Paparan artikel ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode
library research dengan analisis triangulasi yang berlandaskan pada tulisan-tulisan
para ahli Pendidikan yang dituangkan didalam karya-karya buku maupun jurnal
terkait. Buku dan Jurnal tersebut menjadi acuan untuk memaparkan sistem dan
kebijakan pendidikan dengan cara memahami dan menganalisa selanjutnya diambil
sebagai pokok pikiran untuk menjelaskannya.

Hasil dan Pembahasan (Result and Discussion)


A. Pengertian Sistem Pendidikan
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani sistema yang artinya: suatu
keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several
parts). Di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan yang berlang-sung secara
teratur. Definisi sistem yang lain dikemukakan Hasbullah sistem adalah jumlah
keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling bekerja sama untuk mencapai hasil
yang diinginkan berdasarkan kebutuhan yang telah ditentukan. Di dalam sistem
itu ada tujuan, proses, dan berbagai unsur atau komponen untuk mewujudkannya.
Dikemukan oleh Ryans, sistem adalah sejumlah elemen (objek, orang,
aktivitas, rekaman, informasi dan lain-lain) yang saling berkaitan dengan proses
dan struktur secara teratur, dan merupakan satu kesatuan organisasi yang
berfungsi untuk mewujudkan hasil yang dapat diamati (dapat dikenal wujudnya)
sehingga tujuan tercapai. Sistem adalah suatu kesatuan komonen yang satu sama
lain saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang
diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Rumusan yang lain dikemukakan oleh Elis M Award yang dikutip oleh Anas
Sudjana, ia menambahkan unsur rencana ke dalamnya, sehingga sistem itu
dikatakannya merupakan sehimpunan komponen atau sub sistem yang
terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk mencapai suatu
tujuan.
Dari beberapa pengertian tentang sistem tersebut dapat dirinci unsur-unsur
dari suatu sistem yaitu terdiri dari : (1) himpunan bagian-bagian, (2) bagian-
bagian itu saling berkaitan, (3) masing-masing bekerja secara mandiri dan
bersama-sama yang satu sama lain saling mendukung, (4) semuanya ditunjukan
untuk pencapaian tujuan bersama, dan (5) terjadi di dalam sebuah lingkungan
yang rumit dan komplek.
Namun istilah sistem baru memiliki pengertian yang jelas jika dihubungkan
dengan istilah lain yang mensifatinya. Seperti sistem pendidik-an, sistem politik,
sistem ekonomi, dan sistem keamanan. Adapun dalam kajian ini yang dimaksud
adalah sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sistem pendidikan adalah kesatuan
komponen-komponen yang terkait dalam penyelenggaraan pendidikan. Semua
unsur itu saling terkait dan bersatu untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Secara teori, sistem pendidikan terdiri dari komponen-komponen atau
bagian-bagian yang menjadi inti dari proses pendidikan.
Dalam aktivitas pendidikan terdapat enam komponen pendidikan yang dapat
membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi namun komponen
integrasinya terutama terletak pada pendidik dengan segala kemampuannya dan
keterbatasannya. Keenam komponen tersebut meliputi: (1) tujuan, (2) pendidik,
(3) murid, (4) isi/materi, (5) metode, dan (6) situasi lingkungan.
Noeng Muhajir mengungkapkan bahwa komponen-komponen pendidikan
terdiri dari : (1) tujuan, (2) subjek pendidik, (3) pendidik, (4) lingkungan.
Dari kedua pendapat tersebut maka komponen-komponen pendidikan terdiri
dari : (1) tujuan, (2) murid, (3) pendidik, (4) metode, (5) isi, (6) lingkungan.
Sementara menurut pendapat Ahmad Tafsir, komponen yang terlibat dalam
pendidikan setidaknya ada sepuluh, yaitu (1) tujuan pendidikan, (2) pendidik, (3)
siswa, (4) alat-alat pendidikan, (5) kegiatan. Alat pendidikan dirinci lagi (6)
kurikulum atau bahan ajar, (7) metode pengajaran, (8) evaluasi, (9) pembiyayaan
atau gaji, (10) peralatan berupa benda

B. Realitas Sistem Pendidikan Nasional


Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional masing-
masing bangsa berdasarkan pada jiwa dan kepribadian kebudayaannya. Sistem
pendidikan di Indonesia disusun berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia dan
berdasar kepada Pancasila dan UUD 1945.
India dan Malaysia merupakan contoh bagi hadirnya pengaruh sistem pendidikan
kolonial Inggris atas kelanjutan sistem pendidikan yang berlaku di kedua negara
tersebut. Beberapa praktek pendidikan yang dilaksanakan Inggris ternyata diteruskan,
bisa jadi karena dianggap masih relevan, baik oleh India maupun Malaysia.
Pengalaman yang sama bisa dipakai untuk menjelaskan akar sistem pendidikan yang
berlaku di Indonesia. Bedanya, meskipun pengaruh penjajahan Belanda di Indonesia
telah berlangsung selama tiga setengah abad, justru sistem pendidikan yang banyak
digunakan adalah masa kependudukan jepang. Sebut saja sistem penjenjangan
pendidikan di Indonesia pasca kemerdekaan. Ketika akhir pendudukan Jepang, pola
sistem penjenjangan yang berlaku adalah 6-3-3-4, begitu Indonesia merdeka ternyata
sistem penjenjangan ini diteruskan dengan menerapkan 6 tahun bagi SD, 3 tahun bagi
SMP, 3 tahun bagi SMA, dan 4 tahun sampai 6 tahun bagi perguruan tinggi.
Tentu saja dengan menyebut kolonial tersebut bukan menunjukkan totalitas
karena terlalu banyaknya perbedaan yang dikembangkan oleh negara bersangkutan
setelah merdeka. Pasca kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia mengalami
serangkaian transformasi dari sistem persekolahannya. Hal ini bisa dilihat dengan
adanya perubahan undang-undang tentang pendidikan, yaitu UU No. 4 Tahun 1950
tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia
dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui undang-
undang ini, maka pendidikan nasional telah mempunyai dasar legalitasnya. Namun
demikian pendidikan nasional sebagai suatu sistem bukanlah merupakan suatu hal
yang baku. Suatu sistem merupakan suatu proses yang terus-menerus mencari dan
menyempurnakan bentuknya. Meskipun demikian, pendidikan di Indonesia selama ini
belum mampu menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan dalam menciptakan
lapangan kerja, bahkan lulusan yang dihasilkan juga masih disanksikan kualitasnya.
Gerakan reformasi tahun 1998, menuntut diadakannya reformasi bidang
pendidikan. Forum Rektor yang lahir 7 November 1998 di Bandung, juga
mendeklarasikan perlunya reformasi budaya, melalui reformasi pendidikan. Tuntutan
reformasi itu dipenuhi oleh DPR-RI bersama dengan pemerintah, dengan disahkan
Undang-undang No. 20 Taun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
tanggal 11 Juni 2003.
Dalam Undang-Undang SISDIKNAS Tahun 2003 disebutkan bahwa, pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

a. Pendidikan Prasekolah
Disebut prasekolah karena anak pada usia antara 3 tahun sampai 5 tahun yang
dimaksudkan menjadi peserta pendidikan diarahkan untuk persiapan dan adaptasi
bagi pendidikan berikutnya di SD. Metode dan materi pelajarannya berpola
learning by doing, dengan memperbanyak permainan untuk meningkatkan daya
kreativitas anak. Itu sebabnya disebut dengan Taman Kanak-kanak (TK).
Umumnya TK ini terdiri dua tingkat, yaitu: TK Kecil usia 4 tahun dan TK Besar
usia 5 tahun. Namun tidak semua orang tua mengikuti ketentuan tersebut secara
ketat. Di antara mereka ada yang memasukkan anaknya langsung ke TK Besar
selama setahun, lalu ke SD menjelang anak berusia 6 tahun. Bahkan dalam kasus
tertentu seorang anak diterima masuk SD tanpa melewati pendidikan prasekolah
ini.
Umumnya kegiatan belajar di TK sederhana, materi pelajarannya berkisar pada
pengenalan warna, benda, huruf dan angka, selebihnya diberikan permainan dan
keterampilan untuk kreativitas anak, seperti menggunting, melipat, atau mewarnai.
Namun demikian, kurang lebih mulai tahun 1990-an di Indonesia juga
mengembangkan Kelompok Bermain atau Play Group.
b. Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan pendidikan 9 tahun yang terdiri atas program
pendidikan 6 tahun yang diselenggarakan di SD dan 3 tahun di SMP. Kurikulum
pendidikan dasar menerapkan sistem semester yang membagi waktu belajar satu
tahun ajaran menjadi dua bagian waktu, yang masing-masing disebut semester
gasal dan semester genap. Kurikulum pendidikan dasar disusun untuk mencapai
tujuan pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan dasar merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di SD
atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan SMP atau Madrasah Tsanawiyah (MTS).
Padanan dari SD adalah MI, sedangkan SMP adalah MTS. Bedanya, SD dan SMP
berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sedangkan MI
dan MTS di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Di samping itu, komposisi
kurikulum agamanya lebih banyak di MI dan MTS dengan rasio 70% umum, 30%
agama, sedangkan di SD dan SMP hanya memberikan pelajaran agama dua jam
pelajaran dalam satu pekan. Jam belajar di SD lebih panjang dari pada TK.
Normalnya siswa masuk kelas pukul 07.00 dan pulang pada pukul 12.00.
Meskipun demikian, sebagian SD, terutama yang bernaung di bawah ormas Islam
seperti Muhammadiyah dan NU, menambah jam belajarnya, baik untuk kegiatan
ekstra kurikuler maupun pelajaran yang menjadi ciri khas ormas Islam tersebut
sehingga siswa bisa pulang sekolah pada pukul 13.30. Beberapa SD unggulan
kadang kala memperpanjang jam belajarnya hingga sore hari atau biasa dikenal
dengan full days school. Di sini siswa masuk mulai pukul 07.00 dan pulang pada
pukul 16.00, sementara istirahat, sholat, makan siang dimasukkan dalam program
pendidikan oleh lembaga tersebut.
Isi kurikulum pendidikan dasar memuat mata pelajaran Pendidikan Agama,
Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan
Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris, dan Muatan Lokal. SD menggunakan
sistem guru kelas, kecuali untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, sedangkan SMP menggunakan sistem guru
bidang studi.
c. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah meliputi SMA, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Madrasah Aliyah (MA), atau yang sederajat dengannya. Tujuan pendidikan
menengah adalah meningkatkan pengetahuan siswa dalam melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian serta
meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya.
Program pelajaran di SMA dan kejuruan lebih luas dari pada pendidikan dasar.
Program pengajaran umum mencakup bahan kajian dan pelajaran yang disusun
dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa,
dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Ilmu Pengetahuan
Alam (Fisiska, Biologi, dan Kimia), Ilmu Pengetahuan Sosial (Ekonomi,
Sosiologi, dan Geografi), dan Pendidikan Seni. Sejak kurikulum 1994, program
pengajaran di jenjang pendidikan menengah ini diatur dalam program pengajaran
khusus yang meliputi tiga jurusan, yakni program Bahasa, Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA), dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Program Pengajaran Khusus ini
diselenggarakan di kelas II dan dipilih oleh siswa sesuai dengan kemampuan dan
minatnya. Program ini dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa guna
melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dalam bidang pendidikan
akademik ataupun pendidikan profesional dan mempersiapkan siswa secara
langsung atau tidak langsung untuk siap terjun ke lapangan kerja.
Kurikulum SMA dan yang sederajat menerapkan sistem semester yang membagi
waktu belajar satu tahun ajaran menjadi dua bagian waktu yang masingmasing
disebut semester gasal dan semester genap, sedangkan sistem pengejarannya
memakai sistem guru bidang studi.
d. Pendidikan Tinggi
Setelah seorang siswa yang telah menamatkan studi di SMA atau yang setaraf
dengannya, apabila ia bermaksud untuk melanjutkan pendidikannya bisa memilih
perguruan tinggi manapun yang ada di Indonesia. Berbeda dengan sekolah
menengah, perguruan tinggi menerapkan sistem kredit semester (SKS). Di
perguruan tinggi, seorang mahasiswa jika dapat menghabiskan jumlah kredit mata
kuliah yang ditargetkan dan dapat menempuhnya dalam waktu tertentu sesuai
dengan rencana yang diprogramkan, mahasiswa tersebut dapat menyelesaikan
pendidikan tinggi Strata Satu (S.1) dalam waktu 4 tahun. Namun, bila tidak
sanggup karena banyak mengulang mata kuliah yang rendah nilainya atau karena
cuti, waktu yang ditempuh untuk diwisuda sebagai seorang sarjana bisa lebih dari
4 tahun. Kalau ia berhasil wisuda dan berniat melanjutkan studi lanjut, masih ada
dua tahap dalam pendidikan tinggi yang dapat ditempuhnya, yaitu jenjang S.2 atau
Magister yang normalnya ditempuh selama 2 tahun dan jenjang S.3 atau Doktor
yang efektifnya ditempuh selama 2 tahun, sedangkan sisanya untuk penelitian.
Apabila seluruh tahap pendidikan tinggi ini ditempuh, diberi gelar Doktor untuk
bidang yang dipilihnya. Jenjang ini mengakhiri karier akademik seseorang secara
formal.
Seperti halnya di banyak negara lain, di Indonesia juga dikenal adanya perguruan
tinggi negeri yang dikelola langsung oleh pemerintah dan perguruan tinggi swasta.
Dalam realitasnya, pelajar Indonesia banyak yang mendaftar ke Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) terlebih dahulu, baru menetapkan pada Perguruan Tinggi Swasta
(PTS). Kesan sekolah negeri dan PTN lebih unggul dan absah serta dianggap lebih
mudah mendapat kerja masih melekat dan banyak diyakini oleh masyarakat.
Padahal, setelah peraturan Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk perguruan
tinggi diberlakukan dengan status terakreditasi dan nonterakreditasi, sebenarnya
PTN dan PTS diperlakukan sama. Bahkan, bisa jadi PTS mendapat nilai lebih baik
daripada PTN. Soal unggul dan jaminan kerja merupakan perkara yang relatif.
Perguruan tinggi sekedar menyiapkan pesertanya untuk bermasyarakat, sedang
keberhasilan itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Perguruan tinggi diharapkan
berfungsi sebagai agent of change bagi pola kehidupan masyarakat modern.
Sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian
dan pengabdian, pendidikan dilangsungkan dalam bentuk perkuliahan di ruang
kelas, penelitian atau riset dilakukan terutama oleh mahasiswa semester akhir
sebelum diwisuda (berupa penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi), sedangkan
pengabdian dilakukan dalam bentuk Kuliah Kerjanyata Mahasiswa(KKM), atau
kalau di universitas keguruan berupa Praktik Pengalaman Lapangan (PPL).
C. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan memiliki arti mengurus masalah atau kepentingan umum atau
berarti juga administrasi pemerintah (Hasbullah 2015). Istilah kebijakan adalah
suatu yang didasari oleh pertimbangan akal dalam proses perbuatanya (Nugroho
2009). Kebijakan juga dipahami sebagai kepandaian, kemaharian, kebijaksanaan,
rangkaian konsep dan asas yang menjadi dasar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak oleh pemerintah,
organisasi dan sebagainya sebagai sebuah pernyataan cita-cita, prinsip ataupun
maksud dari garis pedoman untuk menajemen dalam usaha mencapai sasaran
(Sagala 2008).
Kemudian pendapat Hogwood dan Gun yang dikutip oleh Nanang Fatah
membedakan kebijakan sebagai label untuk bidang kegiatan. Kebijakan sebagai
suatu ekspresi umum dari tujuan umum atau keadaan yang diinginkan. Kebijakan
merupakan proposal khusus, kebijakan sebagai keputusan pemeritah, kebijakan
sebagai otorisasi formal, dan kebijakan sebagai program (Fatah 2013).
Kebijakan dalam konteks ini adalah kebijakan yang terkait dengan masalah
pendidikan. Pendidikan merupakan proses tanpa akhir yang diupayakan oleh siapa
pun, terutama negara. Pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran
dan ilmu pengetahuan. Dilihat dari makna sempitnya, pendidikan identik dengan
sekolah. Kebijakan pendidikan merupakan suatu yang sifatnya esensif dan
komprehensif. Kebijakan yang dibuat ditujukan untuk mengatasi suatu
permasalahan yang sifatnya pelik. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang
dibuat berdasarkan aspirasi dan berpihak kepada masyarakat dan realitas yang
ada, menyahuti berbagai kepentingan dan meminimalkan adanya kerugian
pihakpihak tertentu. Demikian pula halnya dengan kebijakan pendidikan,
hendaknya harus mempertimbangkan banyak hal, karena menyangkut kepentingan
publik yang dampaknya sangat besar.

D. Karakteristik Kebijakan Pendidikan


Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan. Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun
lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal. Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan,
maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan
pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan
pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi
yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di
wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang
legitimat.
3. Memiliki konsep operasional Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang
bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat
diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian
tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan
adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli
di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai
menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para
administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang
berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan
pendidikan.
5. Dapat dievaluasi Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan
yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau
dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya
evaluasi secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem
juga, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek
yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi
dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis,
diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling
berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar
pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal.
Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan
kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan
di atasnya atau disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis
sumber daya lokal.
E. Kebijakan Otonomi Pendidikan
Perkataan otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang
berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atau aturan (Abdurrahman, 1987 : 9).
Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang
otonomi. Otonomi diartikan sebagai zelfwetgeving atau “pengundangan sendiri”
(Danuredjo, 1977), “perundangan sendiri” (Koesoemahatmadja, 1979 : 9), “mengatur
atau memerintah sendiri” (Riant Nugroho, 2000 : 46). Koesoemahatmadja (1979),
lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia,
otonomi selain mengandung arti “perundangan”, juga mengandung pengertian
“pemerintahan” (bestuur).
Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para
pakar dan penulis, diantaranya Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak
mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Wayong (1979 : 16) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk
memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri,
menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri.
Dari beberapa konsep dan batasan di atas, otonomi daerah jelas menunjuk
pada kemandirian daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri tanpa atau mengupayakan seminimal mungkin
adanya campur tangan atau intervensi pihak lain atau pemerintah pusat dan
pemerintah di atasnya. Dengan adanya otonomi tersebut, daerah bebas untuk
berimprovisasi, mengekspresikan dan mengapresiasikan kemampuan dan potensi
yang dimiliki, mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak, sehingga bisa berkarya
sesuai dengan kebebasan yang dimilikinya.
Menurut kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999
mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari
keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era
otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
(School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk
merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan
yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi
interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community
learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning
paradigma yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang
diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad
Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap
bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa
diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang
luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling
memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan
yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang
mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.

Kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah sebagai berikut,


diantaranya:
a. Secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu
pendidikan sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih dari 20 tahun bergelut
dengan persoalan-persoalan kuantitas.
b. Pada sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya
kewenangan pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas
bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
c. Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi
daerah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan
tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan.
d. Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar
otonomi pendidikan dapat berjalan pada relnya.
e. Pada tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi
dan prinsip School Based Management pada tingkat pedidikan dasar dan menengah;
penataan kelembagaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci keberhasilan
otonomi pendidikan.
f. Sudah selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan
akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan
pendidikan.
g. Pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam
kerangka otonomi keilmuan.
h. Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat
ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada
kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional.
i. Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi
haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya. (Yoyon, 2000:6)
Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk
desentralisasi pendidikan, yakni:
a. Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih
rendah dalam jajaran birokrasi pusat.
b. Pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan
yang dikelola secara publik
c. Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d. Swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau
perorangan.
Dalam kasus Indonesia, sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung
mengambil bentuk yang terakhir, swastanisasi.

F. Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia


Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk
mencapai hal-hal sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia
Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan
kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara
optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum,
berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik,
penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan
setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai
pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi
keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan
prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh
masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif
dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah,
terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh
komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai
dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha
kecil, menengah, dan koperasi

G. Regulasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia dari Pasca Kemerdekaan sampai


Pandemi
Kebijakan pendidikan nasional Indonesia sesungguhnya menempati posisi
yang sentral bagi usaha memajukan bangsa Indonesia. Apabila pemerintah
Indonesia gagal membuat kebijakan yang unggul dalam bidang pendidikan, maka
taruhannya adalah kerusakan dan kehancuran kehidupan bangsa Indonesia.
Kebijakan pendidikan yang buruk akan berdampak panjang. Indonesia hanya bisa
menjadi bangsa yang unggul jika kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan-
kebijakan yang unggul dan tentu saja dapat diimplementasikan (Hubarat 2017).
Dalam sejarah perjalanan pendidikan diIndonesia pasca kemerdekaan sampai
pada awal tahun 1950 tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-
undang yang mengatur pendidikan. Tujuan pendidikan hanya digariskan oleh
Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dalam bentuk keputusan
Menteri, 1 Maret 1946, yaitu warga negara sejati yang menyumbangkan tenaga
dan pikiran untuk negara. Sedangkan dasar pendidikan adalah pancasila, seperti
yang terumuskan dalam UUD 1945. Baru pada tahun 1950 tepatnya pada tanggal
5 April diundangkan undang-undang Nomor 4 tahun 1950 mengenai Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah oleh Presiden Republik Indonesia (Mr.
Asaat) dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Sarmidi
Mangunsarkoro), (Chairunisa 2018).
Kebijakan Sarmidi saat menjadi Menteri Pendidikan Pengajaran tidak hanya
meresmikan UndangUndang Nomor 4 tahun 1950 akan tetapi Sarmidi juga
mengeluarkan Putusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudyaan No.
120/A Tahun 1949 tentang Pemberantasan Buta Huruf (PBH) dan Peraturan
Pemerintah nomer 37 tahun 1950 tentang Universitas Gajah Mada yang isiya
mengenai “Statuta Universitas Gajah Mada serta masih banyak kebijakan lainnya
(Chairunisa 2018).
Adapun kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan pada tahun
1950-an ditujukan untuk meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
meningkatkan pendidikan jasmani, meningkatkan pendidikan watak, memberikan
perhatian terhadap kesenian, dan lain sebagainya. Menyusul meletusnya peristiwa
Gestapu yang gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang
Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan diadakan perubahan dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional yaitu “membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945”.(B.
Muhaemin. 2017).
Memasuki orde baru, kebijakan pendidikan di Indonesia pun mengalami
berbagai perubahan diantaranya adalah pertama, melanjutkan program
pemberantasan buta huruf yang pada tahun 1972 dikembangkan lebih lanjut
dengan memberikan keterampilan tertentu; kedua, melaksanakan pendidikan
masyarakat agat memiliki kemampuan mental, spiritual, serta keterampilan;
ketiga, mengenalkan pendidikan luar sekolah yang berorientasi kepada hal-hal
penting yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya sebagai
kebutuhan praktis; keempat, mengenalkan kegiatan inovasi pendidikan, misalnya
Kuliah Kerja Nyata (KKN), dibukanya sekolah dan universitas terbuka, wajib
belajar, dan sebagainya; kelima, pembinaan generasi muda melalui Organisasi
Siswa Intra Sekolah (OSIS), Organisasi Mahasiswa Kampus, Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI), atau organisasi kepemudaan lainnya; keenam,
dilaksanakannya program orang tua asuh mulai tahun 1984(Muzammil 2016).
Sistem sentralistik menjadi kebijakan pendidikan utama dalam Pemerintahan Orde
Baru. Politik pendidikan yang bersifat sentralistik akan memudahkan pemerintah
untuk memonitor dan mengontrol jalannya penyelenggaraan pendidikan. Karena
pemerintahan orde baru menyadari bahwa pendidikan adalah sarana yang paling
strategis dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat di berbagai bidang. Agar
pemeberdayaan masyarakat melalui pendidikan mengarah pada sasaran dan tujuan
menurut pemerintah, maka segala perencanaan pendidikan harus ditentukan dan
dikontrol oleh pusat (Muzammil 2016).
Sebagai sebuah kesimpulan bahwa Kebijakan pendidikan pada masa orde baru
diarahkan pada penyeragaman. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan
pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru.
Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima. Relevansi
pendidikan diperhatikan dengan penyesuaian isi pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan terhadap sumber daya manusia yang diperlukan. Kebijakan ini
secara eksplisit muncul pada pelita I, II, III, IV dan V (Hartono 2016).
Era reformasi memberi ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan
pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Pendidikan di era
reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22
tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang
didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis
Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia
yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak saat itu
pendidikan dipahami sebagai, “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Standar Pendidikan Nasional
2005).
Anggaran pendidikan ditetapkan sesuai dengan UUD 1945 yaitu 20% dari
APBN dan APBD, sehingga banyak terjadi reformasi di dunia pendidikan,
terutama dalam dalam pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
Wajib Belajar 9 tahun, dan peningkatan standar penghasilan guru dengan adanya
sertifikasi guru, serta pemberian bantuan pendidikan (Beasiswa) untuk
peningkatan kompetensi guru, dan sebagainya. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidik
merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga
profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai
dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap
warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 2 ayat (1)
guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya
dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang
pendidikan tertentu. Pasal (4) Yang dimaksud dengan guru sebagai agen
pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator,
motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi
peserta didik.(Hartono 2016).
Masa pandemi merupakan kondisi dimana kejadian wabah penyakit sudah
menyebar secara global. Menurut WHO (World Health Organisation) sesuatu itu
dikatakan pandemi manakala terjadinya penyakit sudah menyebar keseluruh dunia
melampaui batas. Penyebaran virus corona yang sangat massif telah
mengakibatkan aktivitas manusia menjadi serba di rumahkan. Bertatap muka
langsung dalam setiap kegiatan pembelajaran menjadi pembelajaran yang
dilangsungkan di rumah (BDR) karena untuk menghindari paparan penularan
virus yang semakin massif dari waktu ke waktu. Proses kegiatan belajar mengajar
harus tetap berjalan dan peserta didik jangan kehilangan haknya dalam belajar.
Sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan harus cepat tanggap
terhadap fenomena wabah covid 19 dengan senantiasa berupaya agar proses
pembelajaran dapat terlaksana secara efektif. Pemerintah dalam hal ini menteri
pendidikan telah menetapkan kebijakan pendidikan di tengah pandemi dengan
mengeluarkan surat edaran Nomor 15 tahun 2020 tentang pedoman
penyelenggaraan belajar dari rumah (BDR) dalam masa darurat penyebaran
Corona Virus Desease (Covid 19). Dalam rangka pemenuhan hak peserta didik
untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat penyebaran virus corona,
maka penyelenggaran pendidikan dilakukan melalui program pembelajaran jarak
jauh
(PJJ). Metode pembelajaran yang dikembangkan selama proses pembelajaran
jarak jauh dapat dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran daring dan
luring (Barimi et al. 2013).
Kesimpulan (Conclusion)

Sistem pendidikan nasional adalah suatu sistem dalam suatu negara


yang mengatur pendidikan yang ada di negaranya agar dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa, agar tercipta kesejahteraan umum dalam masyarakat.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional disusun sedemikian rupa,meskipun
secara garis besar ada persamaan dengan sistem pendidikan nasional bangsa-bangsa
lain, sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan dari bangsa itu sendiri yang
secara geografis, demokrafis, histories, dan kultural berciri khas.
Jenjang pendidikan diawali dari jenjang pendidikan dasar yang memberikan
dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat dan berupa prasyarat untuk
mengikuti pendidikan menengah. yang diselenggarakan di SLTA. Pendidikan
menengah berfungsi memperluas pendidikan dasar. Dan mempersiapkan peserta didik
untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan yang berhubungan dengan bidang
pendidikan dalam proses penjabaran visi misi pendidikan agar tercapainya tujuan
pendidikan melalui langkah strategis pelaksanaan pendidikan. Komponen kebijaka
pendidikan terdiri dari lima yaitu tujuan, rencana, program, keputusan, dan dampak.
Karakteristik kebijakan pendidikan yaitu memiliki tujuan pendidikan, memenuhi
aspek legal-formal, memiliki konsep operasional, dibuat oleh yang berwenang, dapat
dievaluasi dan memiliki sistematika.Pendekatan dalam pengimplementasian kebijakan
pendidikan terdiri dari pendekatan struktural, pendekatan prosedural dan manejerial,
pendekatan perilaku dan pendekatan politik.
Daftar Pustaka (Reference)

Buku:

Abd. Rachman Assegaf, Internalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan Negara-


Negara Islam dan Barat, (Yogyakarta : Gema Media, 2003), h. 267-268

Abdurrahman. 1987. Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah. Jakarta : Media Sarana
Press

Ahmad Tafsir, Epistimologi untuk Pendidikan Islam, (Bandung : Fakultas Tarbiyah IAIN
SGD, 1995), h. 100.

Anas Sudjana, Pengantar Administrasi Pendidikan Suatu Sistem, (Bandung: Rosda Karya,
1997), h. 26.

Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang


SISDIKNAS, (Jakarta : Depag RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Islam, 2003), h. 1

Aulia Alfirzan,dkk.2021.Kebijakan Pendidikan, Implementasi Kebijakan Pendidikan.


Padang: Jurnal Pendidikan Tambusai

H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21,
(Magelang : Indonesia Tera, 1999), h. 1

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Rajawali Press, 2006), h. 123.


Media Sarana Press

Noeng Muhajir, Ilmu, h. 78.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2008), h. 121

Ryans, System Analysis in Education Planning, (London : Rontledge and Kegan Paul, 1982),
h. 63-64.

Suryono, Yoyon. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah. Yogyakarta. FIP UNY

Tatang Amirin, Pengantar Sistem, (Jakarta : Rajawali Press, 1886), h. 11.


Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2007), h. 47.
Jurnal:

Nurtanio,Agus Purwanto.2008, Perjalanan Kebijakan Pendidikan di Indonesia,Yogyakarta,


Jurnal Manajemen Pendidikan

Rozak,Abdul. Kebijakan Pendidikan di Indonesia, journal of islamic education, volume 3 (2),


2021

Supendi,Pepen. Variasi (Format) Sistem Pendidikan di Indonesia. Jurnal Almufida vol. 1 No.
1 Juli-Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai