Anda di halaman 1dari 18

LITERATUR REVIEW

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ABAD XIX

MUH. ZAINAL
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar

Pengantar
Sebagaimana diketahui bahwa pada abad ke 19 adalah abad yang ditandai
dengan revolusi industri besar-besaran yang merupakan kelanjutan dari gelombang
perubahan sosial dan teknologi abad 18. Pada masa ini perkembangan dunia industri
(indutrialisasi) dimana tenaga manusia sudah tergantikan dengan tenaga mesin
(mekanisasi). Perubahan ini sesungguhnya berpangkal pada perkembangan pemikiran
dalam bidang ilmu pengetahuan termasuk filsafat yang kemudian melahirkan teori-
teori baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (Iptek) yang
sekaligus menjadi pemicu tingginya peran dunia industri dalam kehidupan manusia.
Perubahan pemikiran di hampir semua bidang juga menyentuh bidang politik,
ekonomi dan sosial buadaya yang merupakan upaya untuk menggantikan dominasi
feodalisme, absolutisme dan ekonomi kota.
Perkembangan pemikiran abad XIX tidak dapat dipisahkan dari perubahan
sosial ekonomi masyarakat pada saat itu. Jika mengutip pandangan Karl Marx yang
secara ringkas menghimpun pandangan materialisme tentang mekanisme perubahan
sosial menyatakan bahwa “kincir angin menimbulkan masyarakat feodal, mesin uap
menimbulkan masyarakat kapitalis-industri”. Pernyataan tersebut menjadi salah satu
pertanda kuat tentang gambaran masyarakat industri pada Abad ke-19 bahwa
tekhnologi membawa pengaruh kuat terhadap perubahan kearah revolusi Industri.
Pemanfaatan teknologi dari hasil penemuan-penemuan teknik, dari kincir terbang
(vliegspoel), mesin uap, sampai dynamo dan elektromagnetisme, bersama dengan
pemakaian batu bara sebagai bahan dan pengolahan baja, semua itu menjadikan
pembuatan produksi secara mekanis. Kerja tangan digantikan dengan mesin, kekuatan
air dan uap telah menggantikan kekuatan manusia sehingga produksi mekanis selalu
dapat menyediakan produksi massa bagi pasaran yang lebih luas. Mesin juga
dipergunakan untuk keperluan pengangkutan; lokomotif dan perahu uap
mempercepat dan mempermudah perjalanan.
Lalu lintas yang cepat dan industrialisasi meningkatkan besarnya kosentrasi
perdagangan dan perusahaan di kota-kota. Hal ini menimbulkan mobilitas masyarakat
Urban. Peningkatan produksi juga mengakibatkan bertambahnya pendududk dengan
cepat sehingga abad XIX juga dilukiskan sebagai periode prestasi kosmopolitis dalam
lingkup internasional.Akan tetapi dari realitas masyarakat tersebut yang kemudian
disebut sebagai proses perubahan masyarakat dari masyarakat traditional menjadi
masyarakat modern yang oleh Lauer (1993) disebut sebagai suatu proses transformasi
total akan terjadi ditandai oleh adanya mobilitas sosial masyarakat yang semakin
tinggi. Sehingga modernisasi akan sangat mempengaruhi tatanan masyarakat dan
pekembangan kebudayaan masyarakat lain. Perkembangan Ilmu pengetahuan dan
tekhnologi akan menyebabkan munculnya era globalisasi informasi yang tidak
menutup kemungkinan terjadinya proses Difusi yaitu proses penyebaran penemuan
(inovasi) keseluruhan lapisan satu masyarakat ke masyarakat lain. Difusi mengacu
kepada penyebaran unsur-unsur atau ciri kebudayaan ke kebudayaan lain (Leuer,
1993).
Akibat lain kemajuan materiil ialah munculnya golongan tengahan
(middenstand) di bidang politik dengan ide leberalismenya. Di Eropa Barat
liberalisme menang di segala bidang dan karenanya adanya perlawanan yan gigih dari
orang-orang liberal melawan ancien regime dan konservatisme, maka dapat
memperoleh prestasi-prestasi: kebebasan berpikir, berbicara dan berserikat,
persamaan hokum, dan hak bersuara dalam pemerintahan melalui parlemen. Ide
tentang martabat manusia tidak hanya dicoba direalisasikan dalam penentangan
segala bentuk pemerasan seseorang oleh orang lain, melainkan juga diusahakan juga
untuk memberikan kehidupan yang layak bagi setiap orang.
Abad ke-19 adalah abad yang lebih rumit di bandingkan dengan abad-abad
sebelumnya. Hal ini menurut Hadiwijoyo (1980) disebabkan karena beberapa faktor
di antaranya adalah:
1. Daerah tempat filsafat berkembang lebih luas
2. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat cepat
3. Produksi yang dihasilkan mesin sangat merubah masyarakat dan memberikan
pandangan atau konsepsi bagi manusia
4. Terjadi revolusi pemikiran dari sistem traditional kepada pemikiran-
pemikiran politik, ekonomi termasuk filsafat.
5. Munculnya dominasi Jerman dalam pemikiran filsafat seperti Idealisme Kant
6. Abad ke-19 dipengaruhi oleh dominasi pemikiran Darwin
Faktor tersebut mengindikasikan bahwa pada era abd ke 19 terjadinya revolusi
pemikiran dari sistim traditional kepada sistem pemikiran yang lebih modern pada
bidang politik, ekonomi termasuk pemikiran di bidang filsafat. Pada makalah ini akan
dikaji secara mendalam tentang bagaimana perkembangan pemikiran filsafat abad ke
19, meskipun dalam kajiannya pemikiran abad ke-19 tidak dapat dipisahkan dengan
perkembangan pemikiran filsafat abad 18 dan pemikiran filsafat abad ke 20.

Perkembangan Pemikiran Filsafat Abad XIX


Perkembangan pemikiran tentang filsafat abad ke-19 sebenarnya berawal dari
pemikiran filsafat abad ke 18 sebagai awal dari revolusi pemikiran filsafat yang
tumbuh dan berkembang sangat pesat. Perkembangan pemikiran ini ditandai dengan
adanya usaha untuk memisahkan antara pemikiran filsafat dengan Ilmu Pengetahuan.
Pada periode ini filsafat makin berkembang, dan ditandai dengan kembangnya ilmu-
ilmu, yang secara berangsur-angsur memisahkan antara filsafat dengan ilmu (Salam,
1997). Perubahan definisi science tidak tidak lagi berada dalam kawasan ilmu-ilmu
kealaman saja, melainkan juga termasuk dalam kategori ilmu sosial, seperti sosiologi,
psikologi, antropologi, dan psikologi sosial. Hal inilah yang menurut Hadiwijono
(1987) sebagai cikal bakal munculnya pembedaan antara natural sciences dan social
science.
Setelah masa Aufklaerung, muncul masa pasca-Aufklaerung yang mulai
berlangsung pada abad XIX hingga abad XXI ini. Masa ini ditandai oleh kemajuan
ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Ilmu filsafat telah berkembang sebagai ilmu
filsafat yang otonom, artinya memiliki objek, metode atau pendekatan yang
disesuaikan dengan perkembangan ilmu filsafat yang tetap berbasis ke-kritisan-nya
dalam menganalisis kajiannya. Sedang ilmu pengetahuan berkembang menjadi tiga
kelompok besar, yaitu ilmu pengetahuan kealaman, ilmu budaya, dan ilmu
pengetahuan sosial (Meliono, 2009). Ketiga cabang ilmu pengetahuan tersebut
berkembang pula sehingga memiliki banyak cabang ilmu. Seiring dengan
perkembangan dan kemajuan manusia, maka pendekatan yang sifatnya kajian lintas
ilmu, atau multidisiplin, menyebabkan ilmu pengetahuan satu dengan lainnya saling
bekerja sama untuk menghadapi kebutuhan (juga intelektualitas) manusia yang
semakin kompleks. Untuk itulah para ilmuwan seakan-akan berlomba menciptakan
teknologi baru dalam mengantisipasi arus globalisasi yang semakin cepat.
Perkembangan pemikiran filsafat abad ke-19 Zaman Posmodern (abad
Modern sebenarnya ditegaskan oleh munculnya pemikiran positivisme oleh Auguste
Comte (1798-1857). Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Tesis dasar
positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang falid dan fakta-
fakta sajalah yang menjadi obyek pengetahuan (Muhadjir, 1998). Pemikiran ini
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian
dan persoalan yang diluar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan
(Russel, 2004). Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung
dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisis, ilmiah atau positif. Zaman teologis, orang
mengarahkan rohnya kepada hakekat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama
dan tujuan terakhir segala sesuatu. Zaman metafisis , kekuatan-kekuatan adikodrati
hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian
yang dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang dipandang sebagai asal
segala penampakan atau gejala yang khusus. Zaman positif adalah zaman ketika
orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha untuk mencapai pengetahuan yang
mutlak. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kasamaan dan urutan
yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya, yaitu
dengan pengamatan dan dengan memakai akal.
Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan
pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-
pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-
pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Adapun ciri- ciri yang nampak
pada abad ke-19 menurut Hadiwijono (1980), adalah:
1. Daerah tempat filsafat berkembang menjadi luas, termasuk Amerika dan uni
soviet memberi sumbangannya.
2. Ilmu pengetahuan berkembang cepat sekali, terlebih-lebih lagi dalam bidang
geologi, biologi dan kimia organis.
3. Produksi yang dihasilkan mesin-mesin sangat mengubah manusia dan
memberikan kepada manusia suatu kosepsi baru tentang kuasa dalam
hubungan alam dan sekitarnya.
4. Baik bidang filsafat maupun dibidang politik ada suatu revolusi yang
mendalam terhadap sistem-sistem tradisional dalam pemikiran, dalam politik
dan ekonomi, yang mengakibatkan adanya serangan-serangan terhadap
kepercayaan dan lembaga-lembaga yang hingga sekarang dipandang tak
tergoyahkan.
5. Suatu faktor baru yang tampak pada zaman ini ialah dominasi jerman secara
intelektual dimulai oleh kant. Idealisme setelah kant dan yang kemudian,
besar sekali pengaruhnya terhadap sejarah di jerman.
6. Pada abad ke-17 dikuasai oleh pemikiran galileo dan newton, maka pada abad
ke-19 pengaruh darwin besar sekali.
Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa pada abad ke-19 perkembangan ilmu
pengetahuan banyak dipengaruhi oleh evolusi darwin. Sebetulnya teori darwin baru
sama sekali, namun merupakan suatu pengembangan dari pandangan-pandangan
filosof sebelumnya Heraclentos (500 SM) dengan panta relnya mengemukakan
bahwa segala sesuatu yang akan berubah secara terus menerus, Anaximander (610 -
540 SM) menekankan pentingnya pertumbuhan biologis Empedecles mengajarkan
bahwa kehidupan berkembang dari yang tidak sempurna kepada bentuk yang lebih
sempurna.
Perkembangan pemikiran filsafat abad XIX dapat dipahami dengan
memahami beberapa pemikiran tokoh terpenting yaitu (1) Immanuel Kant (1754-
1804), (2) Hegel (1770-1831), (3) Karl Marx (1818-1883), (4) August Comte (1789-
1857), (5) JS. Mill (1806-1873), dan (6) John Dewey (1858-1952).

1. Immanuel Kant (1754-1804): Idealisme


Dimulai dari Immanuel Kant (1754-1804), Di Jerman muncul filosof- filosof
yang bermaksud meneruskan filsafat Kant yaitu : Ficte, F. Scelling, dan Hegel.
Namun filsafat mereka tidak seutuh filsafat Kant, malah mereka pada akhirnya
mempersoalkan metafisika sehingga lebih dikenal dengan pemikiran yang beraliran
idealisme, karena memprioritaskan pada ide-ide. Kalau kita telusuri filsafat
sebelumnya, maka teori dialetika itu dapat berpengaruh dari aristoteles dan Kant.
Immanuel Kant, yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang
pasti dan berguna. Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu
yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia
secara tepat; maka semenjak itu pula refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia
menjadi menarik perhatian. Dan lahirlah pada abad 18 cabang filsafat yang disebut
sebagai filsafat pengetahuan (theory of knowledge atau epistemology). Melalui
cabang filsafat ini diterangkan sumber serta tatacara untuk menggunakan sarana dan
metode yang sesuai guna mencapai pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula evidensi dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah, serta batas
batas validitasnya.
Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science) pada dasarnya merupakan usaha
untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan sehari-hari yang
dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan
berbagai metode. Dan karena pengetahuan ilmiah (atau yang biasa disebut-sebut
sebagai ilmu) merupakan a higher level of knowledge, sebagai dasar lahirnya filsafat
ilmu sebagai pengembangan dari filsafat pengetahuan (Amsal, 2005).
Aristoteles sudah menggunakan teori dialetik tersebut dalam menguraikan
etikanya. Menurut aristoteles, dalam kehidupan manusia akan mencapai kebahagiaan,
kebahagiaan tersebut akan tercapai kalau manusia bertindak secara moderat, berdiri
ditengah-ditengah, berusaha untuk mempersatukan antara ekstrem kanan dan ekstrem
kiri. Begitu pula Kant, jasanya dalam mensintesiskan mengenai sumbangan
pengetahuan antara dua pandangan yang bertentangan antara empirisme dan
rasionalisme. Maka dialetika Hegel (lihat bahasan Hegel Selanjutnya) sebetulnya
sebagai pengaruh dari Aritoteles dan Immanuel Kant. Dalam kemasyarakatan, ia
termasuk salah seorang yang mempelopori perkembangan sosiologi kearah ilmu yang
berdiri sendiri. Menurut Hegel negara dan masyarakat hanya sebagai stadium atau
tingkat-tingkat penjelmaan cita-cita manusia dalam perkembangan dialetisnya,
sebagai cita-cita objektif manusia, yaitu cita-cita leluhur manusia tentang hukum,
moral, kesusilaan. Cita-cita tersebut melalui berbagai perkembangan dalam sejarah,
namun dapat diselidiki secara logis dengan metode berfikir yang dealektif.
Perkembangan Dialektif yang dimaksud ialah perkembangan yang terjadi
karena pertentangan-pertentangan suatu faktor yang pertama yang terjadi disebut
these, akan menimbulkan faktor lain yang disebut anti these, sebagai
penentangannya. Sebagai hasil penentangannya antara these dengan anti these,
muncullah yang disbut synthese, yang merupakan perpaduan antara these dan anti
these. Hasil synthese ini itu jelas akan memiliki beberapa ciri atau sifat-sifat dari
these dan anti these. Setiap peristiwa dalam sejarah akan menimbulkan benih
peristiwa lain yang bertentangan (Hadiwijono, 1980)

2. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831): Idealisme dan Dialektika


Hegel dilahirkan di Stuttgart pada tahun 1770. Pada tahun 1788 ia menjadi
mahasiswa teologia di Tubingen, tempat ia berteman dengan Schelling dan Holderlin.
Sekarang Hegel mencoba mengerti, bahwa sintese yang mutlak antaara subyek dan
obyek bukanlah hal yang terbatas yang telah menjadi tidak terbatas di seberang sana,
yaitu seberang hidup ini, melainkan suatu “keberadaan” di dalam “ketiadaan” di
dalam yang mutlak. Refleksi akal atau pemikiran dengan aaakaal meng-ia-kan
keterbatasan, dan membangkitkan perlawanan-perlawanan. Hegel (1770-1831),
merupakan tokoh yang paling menonjol. Hegel menguraikan filsafatnya dengan
menggunakan metode dialetik. Dengan metode dialetiknya, Hegel dapat menganalisis
bahwa dalam kehidpuan sehari-hari dalam masyarakat terjadi dialetika. Kalau ada
suatu kegiatan yang ekstrim kiri misalnya, maka akan timbul suatu kegiatan atau
tindakan yang bertentangan dengan tindakan semula ekstrem kanan, yang pada
akhirnya akan timbul kompromi, yang memudahkan antara ekstrem kiri dan ekstrem
kanan.
Filsafat Hegel adalah rasionalisasi mistisisme awal, dirangsang oleh teologi
Kristen. Dia menolak realitas benda-benda terbatas dan terpisah dan pikiran dalam
ruang dan waktu, yang Kantian "benda dalam dirinya" dan menetapkan tanpa
dualisme Spinoza, suatu kesatuan yang mencakup semua yang mendasari, Yang
Mutlak (Steven, 2000). Hanya ini seluruh rasional adalah nyata dan benar. Ketika kita
membuat pernyataan atau menarik perhatian tertentu, kita memisahkan dari satu
aspek ini dari seluruh realitas, dan ini karena hanya bisa sebagian benar. Pencarian
yang evolusi untuk kesatuan yang lebih besar dalam kebenaran dicapai oleh
dialektika yang terkenal, positing sesuatu (tesis), menyangkal (antitesis), dan
menggabungkan dua setengah-kebenaran (sintesis) yang akan berisi tentu sebagian
besar dari kebenaran dalam kompleksitasnya. Hanya mutlak adalah non-kontradiksi-
diri. Memiliki sesuatu dari harmoni berlawanan dari Heraclitus. Bila diterapkan
sebagai kepala dinamis yang mendasari dalam sejarah peradaban dan bangsa-bangsa,
itu mengarah pada penjelasan yang masuk akal (historisisme) tapi sejarah buruk
(Redding, 2010)
Bagi Hegel seluruh pikiran rasional memiliki klaim yang lebih besar dari
bagian-bagiannya, kelompok kenyataannya lebih dari individu-individu yang menulis
itu. Hal ini telah menjadi pembenaran kredo otoriter dari Fasisme ke Komunisme
Soviet. Søren Kierkegaard, yang membenci rasionalitas dan menyembah individu,
mengambil alih sesuatu dialektika Hegel, yang selamat dalam eksistensialisme Martin
Heidegger dan Jean Paul Sartre. Sebuah Hegelianisme dimodifikasi memerintah di
bawah FH Bradley, Bernard Bosanquet dan TH Hijau di Inggris sampai pergantian
abad, ketika mantra yang akhirnya rusak oleh positivisme logis, pragmatisme William
James, atomisme logis Bertrand Russell dan pendekatan linguistik dari Ludwig
Wittgenstein (Steven, 2000)
Pemikiran Hegel yang senantiasa berdialektika terhadap realitas dan
memandang adanya ’realitas mutlak’ atau ruh mutlak atau idealisme mutlak dalam
kehidupan, sangat mempengaruhi dalam memandang sejarah secara global, ini
terbukti saat dialektikanya mampu memasukkan pertentangan di dalam sejarah
sehingga dapat mengalahkan dalil-dalil yang bersifat statis. Hingga terbukti
pembuktian-pembuktian ilmiah yang dihasilkan. Dari sanalah filsafat sejarah layak
ditempatkan, sebagai bagian yang utuh dari dunia kefilsafatan. Hegel juga
memandang bahwa sejarah merupakan suatu kondisi perubahan atas realitas yang
terjadi, dia pula yang menyatakan sejarah menjadi sebuah hasil dari dialektika,
menuju suatu kondisi yang sepenuhnya rasional.
Menurutnya dialektika merupakan proses restorasi yang perkembangannya
berasal dari kesadaran diri yang akhirnya akan mencapai kesatuan dan kebebasan
yang berasal dari pengetahuan diri yang sempurna, dia pula merupakan suatu
aktivitas peningkatan kesadaran diri atas pikiran yang menempatkan objek-objek
yang nampak independen kearah rasional, yang kemudian diadopsi Marx menjadi
bentuk lain yakni ’alienasi’. Dialektika Hegel menjadikan akhir sesuatu menjadi awal
kembali, seperti sebuah siklus, tiga prinsip utamanya;thesa-antithesa (terjadi 2 tahap
perubahan yakni kualitatif dan kuantitatif)-sinthesa. Thesa merupakan perwujudan
atas pandangan tertentu, antithesa menempatkan dirinya sebagai opisisi, serta sinthesa
merupakan hasil rekonsiliasi atas pertentangan sebelumnya yang kemudian akan
menjadi sebuah thesa baru dan begitu seterusnya. Sehingga ketiganya merupakan
pertentangan yang kelak menjadi kesatuan utuh dalam realitas.
Pemikiran filsafat abad XIX diawali oleh pemikiran yang berasal dari abad
XVIII yang diwarnai usaha-usaha para pilosof untuk memisahkan diri dari pengaruh
dogma agama. Pemikiran filsafat pada masa ini tertuju pada gagasan pokok bahwa
sesungguhnya konflik adalah bagian penting dari sebuah kemajuan. G.W.F. Hegel
(1770-1831) adalah salah satu pilosof yang mengemukakan pikiran-pikirannya
dengan menempatkan manusia sebagai pusat kajian metafisika secara universal.
Menurut Hegel (Meek, 2011), dunia secara keseluruhan sedang dalam proses
pembangunan melalui konflik. Salah satu bagian penting dari perkembangan dunia
adalah aspek spiritual (Geist atau Roh). Hegel dalam kajiannya menegaskan bahwa
kebebasan Roh dicapai melalui kebebasan sosial dan kebasan manusia sebagai suatu
entitas mutlak dari sejarah perkembangan manusia (Meek, 2011).
Pemikiran metafisik Hegel, dalam konteks Sejarah didorong oleh
perkembangan ideologi karena ideologi yang mampu mendorong perubahan sejarah
pada saat ide baru muncul dan dipelihara dalam lingkungan yang lama. Dengan
demikian pembangunan harus melibatkan periode konflik ketika bentrokan ide-ide
lama dan baru. Hal ini dapat dipahami dari perubahan dialektika Tuan-Budak.
(Fenomenologi Roh Hegel) Keinginan manusia untuk pengakuan mendorong
perkembangan sosial, yang terdiri dari perjuangan diulang untuk pengakuan, hingga
mencapai solusi liberal. Di negara liberal, budak dan master yang dihapuskan, dan
semua mengakui semua sebagai bebas dan setara. Pengaturan ini tidak memiliki
kontradiksi yang melekat dalam bentuk-bentuk sosial sebelumnya (Meek, 2011).
Pandangan Hegel juga mencakup tentang negara sebagai titik tertinggi yang
telah dicapai oleh manusia. Pemikiran Hegel bahkan menganggap bahwa kemajuan
negara-negara Eropa Barat memiliki pengaruh yang signifikan dengan perkembangan
pemikiran manusia. Dalam Filsafat Hak, Hgel berpendapat bahwa negara-negara
meski tidak sempurna, telah mampu menggabungkan kebebasan individu dengan
kesatuan sosial menjadi satu kesatuan utuh. Konstitusi politik masyarakat dalam
persfektif Hegel adalah sebuah bentuk monarki konstitusional (Wood 1990, 13).
Menurut Hegel, konflik terjadi di dalam dan antar negara. Tapi individu
"dunia-historis" (Hegel, 1988, 35), seperti Napolean Bonaparte, juga memiliki bagian
penting untuk mepengaruhi kemajuan sejarah. Penguasa sering terdorong uantuk
memenuhi tujuan pribadi yang dalam bahasa Hegel dilukiskan bahwa kecenderungan
sejaran para penguasa selalu menginjak-injak orang-orang kecil, sebagai akibat dari
bentuk realisasi dan aktualisasi seseorang sebagai individu dan juga aspek Rohnya
(Hegel, 1988,). Justifikasi filosofi Hegel bahwa perang dan kehancuran dengan
mengatas namakan kemajuan dimana setiap orang akan didamaikan dengan unsur-
unsur negatif secara makro. Dalam Fenomenologi Roh, Hegel merangkum tesisnya
dalam slogan "Yang benar adalah keseluruhan" (Hegel: 1807). Pandangan Hegel ini
ditolak oleh Kant, jika pikiran Hegel yang menyatakan bahwa perang adalah tidak
lebih dari sebuah mesin yang mendorong kepada kemajuan dan tanpa perang, akan
mengakibatkan individu dalam suatu masyarakat liberal menjadi egois dan lemah,
tidak mau bekerja untuk kebaikan bersama.

3. Karl Marx (1818-1883): Historis Materislisme


Karl Marx (1818-1883) paling dikenal bukan sebagai seorang filsuf tetapi
sebagai komunis revolusioner, yang karya-karyanya terinspirasi dasar rezim komunis
banyak orang pada abad kedua puluh. Sulit untuk memikirkan banyak orang yang
memiliki pengaruh sebanyak dalam penciptaan dunia modern. Dilatih sebagai
seorang filsuf, Marx berpaling dari filsafat di usia dua puluhan, menuju ekonomi dan
politik. Namun, di samping untuk terang-terangan filosofis karya awalnya, tulisan-
tulisannya nanti memiliki banyak titik kontak dengan perdebatan filosofis
kontemporer, terutama dalam filsafat sejarah dan ilmu-ilmu sosial, dan dalam filsafat
moral dan politik (Wollf, 2003)
Karl Marx (1818-1883) diadopsi faktor tunggal Model Hegel tentang
perkembangan sejarah, tetapi "perubahan dalam konteks Hegel (Marx, 1873, 302)
diganti dengan idealisme dan materialisme. Menurut Marx, fakta mendasar tentang
masyarakat pada saat tertentu tidak berorientasi ideologis melainkan dengan
"kekuatan-kekuatan produktif" berupa materi dan sumber daya teknologi (Marx,
1845). Dalam jangka waktu yang lama, kekuatan-kekuatan produktif tersebut menjadi
penentuaspek-aspek lain dari masyarakat, dimulai dengan hubungan-hubungan
produksi, aturan informal dan formal serta mengatur hak kepemilikan (Marx, 1845).
Marx mendasarkan pikirannya pada asumsi-asumsi untuk menentukan kapitalisme
dan komunisme, dan untuk memprediksi transformasi pada masa berikutnya (Meek,
2011).
Seperti pikiran Hegel, Marx menegaskan bahwa konflik mendorong
perkembangan sejarah. Namun dalam pandangan Marx, konflik terjadi ketika
kekuatan produktif mengatasi hubungan-hubungan produksi (Marx, 1845,). Sebuah
kelas masyarakat yang berbeda mewakili masing-masing kelompok konflik. Ada
perang antar kelas yag berkaitan dengan produksi misalnya, kapitalisme pedagang
muncul dari aristokrasi feodal melalui revolusi, dan ketika merevisi ulang undang-
undang yang menguntungkan mereka (Marx, 1848). Kapitalisme adalah sistem di
mana tanah dan tenaga kerja adalah komoditas yang dapat dibeli dan dijual di pasar
bebas. (Meek, 2011). Marx memprediksi bahwa komunisme akan muncul dari
kapitalisme karena kekuatan produktif dikembangkan dalam masyarakat kapitalis
yang pada akhirnya akan membuat hak milik kapitalis tidak bisa dijalankan (1848,
477). Pada titik ini, kelas pekerja, atau kaum proletar, akan berhasil menggulingkan
orde lama (1845, 161-2).
Filsafat sejarah Marx dapat tampak seperti materialisme deterministik yang
mengabaikan ide-ide dan melewati justifikasi dari gambaran perubahan. Pertama-
tama, Marx berpikir bahwa tren kesadaran sejarah akan memandu setidaknya
beberapa dari kaum revolusioner masa depan (1848, 481). Kedua, Marx jelas
menganggap komunisme yang lebih unggul kapitalisme karena menghilangkan
hambatan untuk kebebasan seperti alienasi dan eksploitasi dan menggantikan mereka
dengan komunitas produsen bebas (1845, 197). Pandangan Marx ini sebenarnya
memiliki kesamaan dengan pandangan Kant dan Hegel yang mengedepankan nilai
kebebasan sebagai pusat perhatian.
Materialisme historis - teori Marx tentang sejarah - yang berpusat di sekitar
gagasan bahwa bentuk-bentuk masyarakat dan naik turun karena mereka lebih lanjut
dan kemudian menghambat perkembangan tenaga produktif manusia. Marx melihat
proses sejarah sebagai melanjutkan melalui serangkaian diperlukan cara produksi,
ditandai dengan perjuangan kelas, yang berpuncak pada komunisme. (Wollf, 2003).
Analisis ekonomi Marx tentang kapitalisme didasarkan pada versi tentang teori nilai
kerja, dan termasuk analisis keuntungan kapitalis sebagai ekstraksi nilai surplus dari
kaum proletar dieksploitasi. Analisis sejarah dan ekonomi datang bersama-sama
dalam prediksi Marx tentang rincian ekonomi kapitalisme yang tak terhindarkan,
yang akan digantikan oleh komunisme (Wollf, 2003). Namun Marx menolak untuk
berspekulasi secara rinci tentang sifat komunisme, dengan alasan bahwa hal itu akan
muncul melalui proses sejarah, dan tidak terwujudnya cita-cita yang telah ditentukan
moral.
Matarialisme yang akan dipersoalkan disini ialah meterialisme yang
merupakan reaksi terhadap idealisme (lihat Idealisme Hegel: Metafisik), dimana
idealisme menganggap hakikat realisasi adalah dunia roh, yang oleh Plato
menyebutnya dengan istilah dunia idea. Sama halnya seperti Feuebach, Mark adalah
murid dari Hegel, penganut idealisme modern mengembangkan pemikiran
komunismenya yang membawa pengaruh besar terhadap perkembangan politik
internasional sampai dewasa ini. Dasar filsafat Marx sebenarnya adalah idealisme
dari filsafat Hegel yaitu yang berpusat pada teori dialetika yang disbut dengan
dialetika materialis, Karekteristik secara umum dari materialisme pada abad le 18
berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitaas dapat dikembangkan kepada sifat-
sifat materi yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi ini
berarti bahwa :
1. Semua ilmu pengetahuan seperti : biologi, kimia, psikologi, fiSika dan ilmu
lainnya ditinjau dari fenomena yang apabila dianalisis lebih jauh, maka
terbukti merupakan fenomena meteri yang berhubungan secara kausal (sebab
akibat ). jadi semua ilmu pengetuan merupakan cabang dari ilmu pengetahuan
mekanik.
2. Apa yang dikatakan “ mind” (jiwa ) dan kegiatan- kegiatannya ( berpikir ,
memahami ) adalah merupakan gerakan kompleks dari otak. Sistem saraf atau
organ –organ jasmani lainnya.
3. Apa yang kita sebut dengan nilai, cita-cita, makna, dan tujuan, keindahan,
kesenangan, sreta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau simbol
subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda. Jadi semua
fenomena psikologis maupun sosial adalah bentuk-bentuk tersembunyi dan
realisasi dari fisik, hubungan-hubungannya yang berubah secara kausal.

4. August Comte (1789-1857): Positivisme


Pelopor dan filsafat Positivisme ialah August Comte (1789-1857), yang dalam
pemikirannya, terutama masalah kemasyarakatan. Positivisme merupakan suatu
istilah umum untuk kajian filosofis yang menekankan pada aspek factual
pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Umumnya positivisme berupaya
menjabarkan pernyataan- pernyataan factual pada suatu landasan penserapan
(sensasi). Atau dengan kata lain, positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak nilai kognitif dari study filosofis atau metafisik (Loren, 2000).
Dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita
selidiki, dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, yang didasarkan
data-data yang nyata, yaitu mereka menamakan positif. Apa yang kita ketahui itu
hanyalah yang tampak saja, diluar kita tidak perlu mengetahuinya, dan tidak perlu
untuk diketahuinya. Positivisme membatasi penyelidikan atau studinya hanya kepada
bidang gejala-gejala saja. Positivisme sebagai filsafat mengemukakan pandangannya
bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan
dengan observasi, eskprimen, dan verifikasi. Positivisme adalah suatu aliran filsafat
yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar
dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya
spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Problem utama Comte berkenaan dengan masalah demarkasi untuk
membedakan antara ilmu dengan yang bukan ilmu (pseudo-science). Bagi Comte,
garis demarkasi tersebut adalah verifiable, sedangkan bagi Popper adalah falcifiable
(Flew, 1985: 281). August Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling
terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam
dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan
hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Positivisme Comte dan Neo-Positivisme tetap
bersitegang mempertahankan pandangannya bahwa metafisika sebagai omong kosong
(non sense) karena kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan yang dikemukakanya
tidak aktual dan tidak dapat diterima oleh akal, dan karena itu maka tidak bermakna
(meaningless). Metafisika di dalam hukum tiga tahap Comte menempati tahap kedua
untuk sampai kepada tahap positif, maka bagi Comte untuk mengklarifikasi suatu
pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan
verifikasi untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud (Bertens, K. , 1981: 171).
Aguste Comte adalah pelopor dari pemikiran positivisme dan ia juga bapak
sosiologi yang kita kenal dewasa ini. Comte membatasi pengetahuan pada bidang
gejala saja, apa yang kita ketahui secara positif adalah yang tampak, dan semua
gejala. Pandangan tersebut diatas didasarkan atas hukum evolusi sejarah manusia,
bahwa manusia menurut comte mengalami tiga tingkatan, yaitu: (1) Tingkatan
teologis, (2) Tingkatan metafisik, dan (3) Tingkatan posistif. Menurut Comte,
sejarah manusia berkembang secara evolusi dari tingkatan pertama yang disebut
tingkatan teologis, yakni dikuasai oleh tahayul dan prasangka, meningkat ketingkat
kedua yang disebut tingkatan metafisik, yang sebetulnya masih abstrak dan tingkatan
ketiga ialah tingkatan positif, yaitu tingkatan ilmu pengetahuan., dimana dogmatis
diganti oleh pengethuan afaktual. Pada periode terakhir ini manusia membatasi dan
mendasarkan pengetahuannya kepada apa yang dapat dilihat,diukur, dan dibuktikan.
Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat
optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis. Pendiri filsafat positivis yang
sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman
diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari
hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Comte
menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph,
yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan
merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap
akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan
dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala,
sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala.
Berdasarkan atas pandangan Comte yang "Naturalistik Deterministik itu,
dalam hal historisitas manusia ia juga beranggapan bahwa sejarah berjalan secara
"linier-eksklusif" artinya seluruh benda alam ini berjalan menurut hukum atom (law
of nature)sebagaimana bentuk spiral dan tertutup sehingga dapat dipantau secara
kuantitatif, sehingga jalan pikiran, sikap, dan pengalaman manusia berjalan secara
"natural-deterministik" (Azis, 2003). Comte mendasarkan pemikiran
epistemologisnya kepada Empirisme Positivistik dengan metodologinya Induktif-
Verifikatif serta andalan operasional-metodologisnya observasi, eksperimentasi,
komparasi, dan generalisasi-induktif sehigga kebenaran yang diperolehnya bersifat
generalisasi-probabilistik dan positifistik. Sedangkan pandangan mongenai
perkembangan, kemajuan, sosialitas, dan historisitas manusia bersifat "Natural-
Linier-eksklusif (deterministik)" (Azis, 2003).
Positivisme menyatakan salah dan tak bermakna semua masalah, konsep dan
proposisi dari filsafat tradisional tentang ada, substansi, sebab, dan sebagainya, yang
tidak dapat dipecahkan atau diverifikasi oleh pengalaman yang berkaiatan dengan
suatu tingkat yang tinggi dari alam abstrak. Ia menyatakan dirinya sebagai suatu
filsafat non-metafisik, yang sama sekali baru, yang dibentuk berdasarkan ilmu-ilmu
empiris dan menyediakan metodologi bagi Ilmu-ilmu tersebut (Loren, 2000)
Menurut Comte, ilmu pengetahuan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan
tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret, tanpa ada
halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada
kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu
pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana
ilmu tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Asumsi-asumsi ilmu
pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus
bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi
oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang
diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang
kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari
mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
Aguste Comte memberikan suatu landasan sosiologis, maka Mill memberikan
landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena itu Mill berpandangan
bahwa psikologi merupakan pengethuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya kaum
positif, Mill mengaku bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah
pengalaman, karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu
pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi: (1) Ilmu pengethuan rohani,
dan (2) Ilmu pengetahuan alam.

5. John Stuart Mill (1806-1873): Empirisme


John Stuart Mill (1806-1873), filsuf Inggris, ekonom, teori moral dan politik,
dan administrator, adalah filsuf paling berpengaruh dari abad 19. Pandangannya yang
penting, terus dan umumnya diakui menjadi salah satu yang terdalam dan tentu saja
pertahanan yang paling efektif empirisme dan pandangan politik liberal masyarakat
dan budaya. Tujuan keseluruhan filsafatnya adalah untuk mengembangkan
pandangan positif tentang alam semesta dan tempat manusia di dalamnya, salah satu
yang memberikan kontribusi untuk kemajuan pengetahuan manusia, kebebasan
individu dan kesejahteraan manusia (Fred, 2007). Pandangannya tidak sepenuhnya
asli, memiliki akar mereka dalam empirisme Inggris John Locke, George Berkeley
dan David Hume, dan dalam utilitarianisme Jeremy Bentham. Tapi dia memberi
mereka kedalaman baru, dan formulasi-temannya cukup mengartikulasikan untuk
mendapatkan bagi mereka pengaruh berkelanjutan di antara masyarakat luas.
John Stuart Mill (1806-1873), Comte kontemporer, mengagumi filsafat
sejarah progresif (Mill 1865, 106) yang kecewa oleh ketidaksukaan dasar Comte
untuk kebebasan demokrasi dan individualitas (Mill 1865, 181). Tidak seperti Comte,
Mill berpikir bahwa masyarakat, yang kuat berorientasi ilmiah dapat membentuk
demokrasi liberal. Masyarakat seperti itu yang terbaik akan mempertahankan hasil
yang telah dicapai dan memelihara perbaikan lebih lanjut. Mill mengartikulasikan
komitmen kembarnya untuk kemajuan dan demokrasi liberal dalam tulisan utamanya,
termasuk A System of Logic (1843), Utilitarianisme (1861), On Liberty (1859), dan
On Wakil Pemerintah (1861).
Tulisan Mill membangun hubungan antara kegunaan, kebebasan, dan
lembaga-lembaga politik. Seperti ayahnya, James Mill, dan Jeremy Bentham, Mill
adalah utilitarian. Utilitas, menyediakan standar utama untuk membandingkan dua era
sejarah atau dua masyarakat kontemporer. Pernyataan bahwa kemajuan manusia
berarti utilitas meningkat dari waktu ke waktu. Kemudian, dalam A System of Logic,
Mill, Comte berikut berpendapat bahwa perkembangan ide-ide mendorong
perkembangan masyarakat secara keseluruhan, akhirnya, dalam On Liberty dan On
Wakil Pemerintah, Mill mempertimbangkan bagaimana lembaga-lembaga masyarakat
yang dapat menghambat atau mempercepat pembangunan ideologi (Meek, 2011)
Mill berpikir bahwa tidak mungkin untuk menemukan satu set lembaga yang
progresif untuk semua waktu dan tempat. Yang paling yang bisa kita lakukan adalah
untuk menentukan apa lembaga yang terbaik untuk masyarakat pada tingkat
peradaban tertentu. Mill berpendapat secara kontroversial bahwa pemerintah despotik
dapat mendorong "barbar" ke tingkat peradaban (Mill, 1859). Tapi Mill berpendapat
bahwa dalam masyarakat yang lebih maju, lembaga bebas mempromosikan kemajuan
lebih lanjut. Mereka melakukannya dengan membiarkan konflik ideologis, yang
merupakan mesin kuat pengembangan ideologi. Mill khawatir tentang transisi dari
satu set lembaga yang lain. Peradaban dapat mencapai tingkat perkembangan tertentu
dan kemudian stagnan karena mereka tidak mengalami perubahan institusional
(1861a, 234-5).
Meurut Meek (2011), Mill lebih hati-hati bahwa perbaikan yang berkelanjutan
tak terelakkan dengan cara apapun. Kemajuan di Eropa akan berhenti jika anggota
lembaga kemasyarakatan tidak kreatif. Karya Mill berasal urgensi dari kenyataan
bahwa kemerdekaan berfokus pada argumen pemerintah non-perwakilan dan
Pemerintah Perwakilan membahas beberapa cara lembaga-lembaga demokrasi dapat
direformasi untuk mempromosikan sudut pandang yang berbeda secara aktif.
Mill berpendapat bahwa logika mungkinkan kita untuk mendefinisikan
predikat seperti 'unicorn' yang berarti atribut yang tidak hadir dalam hal-hal tertentu
dalam pengalaman biasa. Predikat tersebut tidak memiliki denotasi, dan setiap
proposisi seperti 'ini adalah unicorn' adalah salah. Lebih sulit adalah istilah subjek
tetapi tidak menunjukkan konotasi, misalnya, 'raja hadir Meksiko'. Ini adalah
pandangan empirisme Mill bahwa Pengetahuan itu relatif dimana atribut dan yang
lainnya seperti istilah dalam bahasa muncul bagi kita dalam pengalaman biasa, baik
pengalaman indrawi atau kesadaran batin kita sendiri, dari apa yang masuk akal.
Dalam pengertian ini, semua pengetahuan adalah relatif, untuk kesadaran kita. Kita
tentu saja dapat memiliki keyakinan dan bahkan pengetahuan tentang hal-hal yang
kita tidak disadari, ada bagian dari dunia yang kita tidak pernah mengalaminya dan
tidak dapat ditangkap oleh akal tanpa menggunakan bantuan. (Fred, 2007) J.S. Mill
mencoba memberikan suatu dasar psikologis dan logis kepada positivisme. Menurut
Mill, psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan dasar yang menjadi asas bagi filsafat.
Di dalam hal ini pandangannya berbeda dengan pandangan Comte. Tugas psikologi
ialah menyelidiki apa yang yang disajikan oleh kesadaran, artinya: penginderaannya
kita dan hubungan-hubungannya. Adapun tugas logika ialah membedakan hubungan
gagasan-gagasan yang bersiofat kebetulan daripada hubungan gagasan-gagasan yang
tetap dan yang menurut hokum.
Mill membedakan antara ilmu penmgetahuan alam dengan ilmu pengetahuan
rohani. Yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan rohani ialah psikologi, ajaran
tantang kesusilaan (etologi) dan sosiologi. Ilmu sejarah termasuk ilmu pengetahuan
alam, artinya: Mill bermaksud meningkatkan ilmu sejarah hingga menjadi ilmu
eksakta. Di dalam etika (ilmu kesusilaan) Mill menuju kepada hubungan timbal-balik
di antara individu dan masyaraakat, atas dasar utilitarisme. Ia berpangkal kepada
pertimbangan-pertimbangan psikologis. Selain itu, J.S. Mill juga penting artinya bagi
sosiologi dan ekonomi nasional.

4. John Dewey (1858-1952): Pragmatisme (Instrumentalisme)


Istilah pragmatisme berasal dari kata yunani yang berarti “action”, dan juga
berarti “practice”. Dalam filsafat, pragmatisme adalah suatu aliran yang pertama kali
diperkenalkan oleh Pierce, selanjutnya dikembangkan oleh John Dewey. Setelah
James, muncul John Dewey dengan suatu pandangan yang disebut instrumentalisme.
Ia merupakan seorang pemikir yang berpengaruh pada zamannya, dan ia
mengembangkan teori pengetahuan dari sudut peranan biologis dan psikologis.
Konsep-konsepnya merupakan bimbingan untuk mengarahkan kegiatan intelektual
manusia kearah masalah sosial yang muncul pada waktu.
Dewey percaya, adalah kasus dengan nilai-nilai liberalisme klasik. Ini telah
datang untuk memblokir kemampuan untuk menyelesaikan masalah sosial dengan
cara yang kompatibel dengan apa yang dia diperlukan untuk menjadi inti liberalisme
komitmen terhadap kebebasan individu. Ini adalah dengan cara ini bahwa 'slogan-
slogan liberalisme dalam satu periode dapat menjadi benteng reaksi' di akhirat
('Metode logis dan Hukum'). Dia mengembangkan pemikiran ini dalam membahas
hubungan individu dan masyarakat, karakter dan nilai kebebasan, dan ruang lingkup
aksi sosial dan politik yang sah. (Festenstein, 2005).
Menurut Dewey, pengalaman tersebut oleh interaksi antara lingkungan dan
organisme biologis. Kegiatan berfikir timbul disebabkan terjadinya gangguan
terhadap situasi itu, denagn cara membuat hipotesis sebagai bimbingan bagi tindakan
selanjutnya. Dewey menegaskan, bahwa berfikir, khususnya berfikir ilmiah,
merupakan alat untuk memecahkan masalah.
Pengalaman manusia membentuk aktivitas untuk memperoleh pengetahuan.
Kita mulai berpikir tidak hanya berpikir biasa, melainkan berpikir reflektif (reflektive
thinking). Berpikir akan terjadi apabila kita menghadapi masalah. Untuk memecahkan
masalah tersebut, manusia mempunyai pikiran, akal, atau pendapat. Pikiran atau akal
kita gunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah tersebut, sehingga kita
mencapai tujuan, yaitu memperoleh pengetahuan. Ide atau pikiran itu dirumuskan
dalam bentuk hipotesis, atau hipotesis kerja, sebagai alat untuk memcahkan masalah
yang konkret.
Eksprimen merupakan bagian bagian pokok dalam proses pengetahuan.
Dengan pragmatisme, John Dewey menerapkannya dalam kedalam proses
pendidikan. Ia mengembangkan metode problem solving atau metode memcahkan
masalah, sebagai penyempurnaan dari metode lama yang sifatnya hannya
menuangkan informasi bagi para siswa disekolah. Sebagai hasil penerapannya ini,
pendidikan maju pesat. Anak didik tidak hanya saja mendapatkan berbagai disiplin
tetapi anak juga diharapkan dengan berbagai situasi yang merupakan kesempatan
baginya untuk mengembangkan cara mengatasi kesulitan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2007. Filsafat Ilmu dan Logika. Surabaya: Laboratorium


Humaniora TPB UNAIR.

Amsal, Bakhtiar. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta; Raja Grafino Persada.

Azis. Ichwan Supandi. 2003. Karl Raimund Popper dan Auguste Comte (Suatu
Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi) Jurnal Filsafat,
Desember 2003 (3) 252-261

Festenstein. Matthew. 2005. Dewey's Political Philosophy http://plato.stanford.edu/


entries/dewey-political/. Diakses 10 Desember 2012

Hadiwijono, Harun, 1980, Sari sejarah Filsafat Barat 2, Kanisisus, Yogyakarta

K. Bertens. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Kartodirdjo, Sartono. 1990. Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat Dan Timur :


Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia pustaka
Utama, 1990.

Loren Bagus, 2000. Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Meek. Lange Margaret. 2011, Progress. http://plato.stanford.edu/entries/


progress/#19tCenViePro. Diakses 10 Desember 2012

Meliono. Irmayanti dkk., 2009 Buku Ajar 1: Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila.
Jakarta. Universitas Indonesia

Redding Paul 2010. Georg Wilhelm Friedrich Hegel http://plato.stanford.edu/


entries/hegel/ diakses 10 Desember 2012

Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Salam, Burhanuddin, 1997. Logika Materiil (Filsafat Pengetahuan ). Bandung: PT


Rineka Cipta

Salam, Burhanudin. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Steven. Kreis. 2000 Georg Wilhelm Friedrich Hegel . http://www.historyguide.org/


intellect/hegel.html Diakses 10 Desember 2012

Sudarsono. 2001. Ilmu FILsafat : Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.


Wilson. Fred. 2007. John Stuart Mill. http://plato.stanford.edu/entries/mill/ diakses
10 Desember 2012

Wolff. Jonathan. 2010. Karl Marx. http://plato.stanford.edu/entries/marx/ Diakses 10


Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai