Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FARMAKOLOGI DASAR
INTERAKSI OBAT & RESEPTOR

Dosen Pengampu:

Disusun Oleh: Kelompok 3

1. Kasih Gabriela Balo (221011050292)


2. Sheqina Glorilly Laloan (221011050200)
3. Debora Afrilayanti Purba(221011050312)
4. Sarenia (221011050298)
5. Saharani Megi Kaeng (221011050238
6. Yuni Shally Tombokan (221011050328)
7. Meydelin Mona Ester Pieter (221011050322)
8. Arni Ariani Budiman (221011050268)
9. Jelly Angelia (221011050228)
10. Kevin Jonathan Karongkong (221011050254)
11. Yehezkiel Silo Sondakh (221011050244)
12. Yenglian c. p. Karu (221011050260)
13. Cinta Trinity Pinangkaan (221011050276)
14. Feybe F. A Gosal 221011050216
15. Cinta Auliyah R. Pudul (221011050222)
16. Andrea Armando Pangandaheng (221011050306)
17. Hana Fredecilia Laurensia (221011050208)
18. Jafier Ronaldo Ridel Weol (20101105117)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2024

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Farmakologi dasar adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan tentang obat dengan seluruh
aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisiknya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya
dalam organisme hidup . Secara harfiah, farmakologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang
mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem biologis. Dalam konteks lebih spesifik,
farmakologi juga mencakup masalah penggunaan obat, termasuk rute perjalanan obat dalam
tubuh, bentuk obat, penggunaan obat, dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan obat
Jadi, farmakologi dasar membahas berbagai aspek, termasuk sejarah obat, definisi dan
pengertian farmakologi, macam-macam sediaan obat, serta rute-rute pemberian obat. Ini
merupakan bidang ilmu yang penting bagi para perawat, asisten apoteker, apoteker, dan
dokter untuk memahami bagaimana obat bekerja dan bagaimana menggunakannya secara
efektif.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara penggolongan Obat ?


2. Apasajakah Peran Obat ?
3. Apa yang dimaksudkan dengan Interaksi Obat dan Bagaimana Mekanismenya ?
4. Bagaimana Mekanisme Kerja Obat ?
5. Apa yang dimaksudkan Denga Reseptor ?
6. Apa sajakah Teori yang di kemukakan Para Ahli mengenai Teori Interaksi Obat dan
Reseptor ?
7. Bagaimanakah Jenis – Jenis Reseptor Obat ?
8. Apa Fungsi Reseptor?
9. Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Reseptor ?
10. Bagaimanakah Potensinya ?
11. Apa itu Agonis Pada Obat ?
12. Apa Itu Antagonis Pada Obat ?

1.3 Tujun

1. Untuk Mengetahui cara penggolongan Obat !


2. Untuk Mengetahui Peran Obat !
3. Untuk Mengetahui Interaksi Obat dan Mekanismenya !
4.Untuk Mengetahui Mekanisme Kerja Obat !
5. Untuk Mengetahui Reseptor !
6. Untuk Mengetahui Teori yang di kemukakan Para Ahli mengenai Teori Interaksi Obat dan
Reseptor !
7. Untuk Mengetahui Jenis – Jenis Reseptor Obat !
8. Untuk Mengetahui Fungsi Reseptor!
9. untuk Interaksi Obat dengan Reseptor !
10.Untuk Mengetahui Bagaimana Potensinya !
11.Untuk Mengetahui Agonis Pada Obat !
12. Untuk Mengetahui Antagonis Pada Obat !
BAB II
ISI

Keputusan Menteri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, dikatakan bahwa obat adalah


suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah,
mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, serta luka pada
manusia atau hewan.
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa
sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
Setiap obat memiliki sifat khusus masing-masing agar dapat bekerja dengan baik. Sifat
fisik obat, dapat berupa benda padat pada temperatur kamar ataupun bentuk gas namun dapat
berbeda dalam penanganannya berkaitan dengan pH kompartemen tubuh dan derajat ionisasi
obat tersebut. Ukuran molekuler obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar (BM 59.050)
sampai sangat kecil (BM 7) dapat mempengaruhi proses difusi obat tersebut dalam kompartemen
tubuh. Bentuk suatu molekul juga harus sedemikian rupa sehingga dapat berikatan dengan
reseptornya. Setiap obat berinteraksi dengan reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia.
Selain itu, desain obat yang rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekular yang
tepat berdasarkan jenis reseptor biologisnya.

2.1 Penggolongan Obat


1. Obat Bebas
Obat bebas termasuk obat yang relatif paling aman, dapat diperoleh tanpa resep dokter,
selain di apotik juga dapat diperoleh di warung-warung. Obat bebas dalam kemasannya ditandai
dengan lingkaran berwarna hijau. Contoh obat bebas yaitu parasetamol, vitamin C, antasida, dan
Obat Batuk Hitam (OBH).

2. Obat Bebas Terbatas


Obat golongan ini juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti aturan pakai yang
ada. Penandaan obat golongan ini adalah adanya lingkaran berwarna biru dan tertera peringatan
dengan tulisan:
P. No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.
P. No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P. No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
P. No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
P. No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan

Obat bebas terbatas dapat diperoleh tanpa resep dokter di apotik, toko obat ataupun di
warung-warung. Contohnya obat anti mabuk (Antimo), obat flu kombinasi, klotrimaleas (CTM).

3. Obat Keras
Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat
keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah
bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Jika pemakai tidak memperhatikan
dosis, aturan pakai, dan peringatan yang diberikan, dapat menimbulkan efek berbahaya bahkan
meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan kematian. Contoh obat golongan
keras yaitu antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung
hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain).

4. Psikotropika
Psikotropika adalah zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang
susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi
(mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan
ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Jenis obat
psikotropika yaitu shabu-shabu dan ekstasi.

5. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang
menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau timbulnya khayalan-
khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya. Narkotika merupakan
kelompok obat yang paling berbahaya karena dapat menimbulkan addiksi (ketergantungan) dan
toleransi. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.

Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, secara internasional obat hanya dibagi menjadi
menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

 Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang
tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di
Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak
eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak
diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki
perjanjian khusus dengan pemilik paten.

 Obat generik. Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut
sebagai obat generik (generik= nama zat berkhasiatnya). Obat generik dibagi lagi menjadi 2
yaitu generik berlogo dan generik bermerek (branded generic). Obat generik berlogo yang
lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya
dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat,
sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang
diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.

2.2 Peran Obat


Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan
kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas
perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan
kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari
tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan pada pengertian
obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut:
1) Penetapan diagnosa
2) Untuk pencegahan penyakit
3) Menyembuhkan penyakit
4) Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6) Peningkatan kesehatan
7) Mengurangi rasa sakit

2.3 Interaksi Obat


Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain
yang diberikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat lainnya.
Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang Aktif.
Berdasarkan mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 mekanisme
yaitu:
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi ini terjadi diluar tubuh ( sebelum obat di berikan) antara obat yang tidak bisa di campur
(inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara
fisika atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan
warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi
obat.
2. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi,
metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau
menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut.
Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat
yang berinteraksi, sekalipun struktur kimiaya mirip, karena anter obat segolongan terdapat
variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya

1) Interaksi proses absorpsi


Interaksi ini dapat terjadi akibat perubahan harga PH obat pertama. Pengaruh absorpsi suatu
obat mungkin terjadi akibat pengurangan waktu huni dalam saluran cerna atau akibat
pembentukan kompleks
2) Interaksi proses distribusi
Jika dalam darah pada saat yang sama terdapat tempat ikatan pada protein plasma. Persaingan
terhadap ikatan protein merupakan proses yang sering yang sesungguhnya hanya baru relevan
jika obat mempunyai ikatan protein yang tinggi, lebar, terapi rendah dan volume distribusi relatif
kecil Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antara digoxin dan kuinidin dengan
akibat peningkatan kadar plasma digoxin
3) Interaksi pada proses metabolisme
Interaksi dalam metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan, yakni pemacu enzim atau
penghambat enzim. Suatu obat presipitan dapat memacu metabolisme obat lain (obat objek)
sehingga mempercepat eliminasinya
4) Interaksi pada proses eliminasi
Interaksi pada proses eliminasi melaui ginjal dapat tejadi akibat perubahab PH dalam urin atau
karena persaingan tempat ikatan pada sistem tranformasi yang berfungsi untuk ekskresi
3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai khasiat atau efek
samping yang berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh kompetisi pada reseptor yang sama, atau
terjadiantara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini biasanya
dapat diperkirakan dari pengetahuan tentang farmakologi obat obatan yang berinteraksi. Pada
umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga dengan obat-obat
sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada kebanyakan pasien yang
mendapat obat-obat yang berinteraksi
Interaksi obat-reseptor: Kd atau konstanta disosiasi kesetimbangan mewakili konsentrasi ligan
yang menempati setengah dari populasi reseptor maksimum. Ini adalah ukuran afinitas. Emax
adalah respon maksimal sedangkan B max adalah jumlah total reseptor. Respon penuh dapat
ditimbulkan oleh obat agonis meskipun hanya 10% reseptor yang terisi. Antagonis dapat bersifat
kompetitif (reversible) atau nonkompetitif (irreversible).

2.4 MEKANISME KERJA OBAT


Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau metabolit aktif
dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat menimbulkan fungsi baru
dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi dan
proses fisiologi (Batubara, 2008).
Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses itu
terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Fase
farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan
zat tambahan yang digunakan (Batubara, 2008). Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetik,
merupakan proses kerja obat pada tubuh (Katzung, 2007). Suatu obat selain dipengaruhi oleh
sifat fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur atau rute
pemberian obat (Batubara, 2008). Menurut Katzung (2007), suatu obat harus dapat mencapai
tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam beberapa
hal, obat dapat langsung diberikan pada tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan melalui
intravena maupun per oral. Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan
pengaruh tubuh pada obat (Katzung, 2007). Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi
dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase farmakodinamik
dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat
terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya (Batubara, 2008).

2.5 PENGERTIAN RESEPTOR


Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein) yang
berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan (hormon, neurotransmiter, mediator
kimia dalam sistem imun, dan lain-lain) untuk menghasilkan respon seluler. Obat bekerja dengan
melibatkan diri dalam interaksi antara senyawa kimia endogen dengan reseptor ini, baik
menstimulasi (agonis) maupun mencegah interaksi (antagonis).
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel
organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional yang pada
umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal:
hormon dan neurotransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah
kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor
pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti
dihidrofolat reduktase dan asetilkolinesterase). Reseptor untuk obat pada umumnya merupakan
reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter).
Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator
seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis. Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor
fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi
persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga
dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis
sebagian tanpa memperdulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat
agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu
disebut pula dengan istilah antagonis parsial. Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor
fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.
Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor) untuk dapat
menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor yang
merangsang timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun agonis. Mekanisme
timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori obat reseptor

2.6 TEORI INTERAKSI OBAT DAN RESEPTOR

Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan,
dan teori kecepatan.
1. Teori Klasik
 Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat karakteristik.
 Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan
konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
 Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang
interaksi obat reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat
menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi
antara tempat dan struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul
asing yang sesuai atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling
mengisi.Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan
struktur molekul obat.

2. Teori Pendudukan
 Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan
obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses
pembentukan kompleks.
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor
khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian
dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis.

Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis ).
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis ).
 Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor
menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis

Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon
biologis sebagai akibat pembentukan komplek.

3. Teori Kecepatan
 Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat
berinteraksi dengan reseptor.
 Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi
obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya. Tipe kerja obat ditentukan oleh
kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan
bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.

2.7 JENIS – JENIS RESEPTOR OBAT

 Reseptor Terkopling Protein G (GPCR)

GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan responnya terjadi
dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida tunggal dengan 7 heliks
transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian
memodulasi/mengatur aktivitas enzim atau fungsi kanal.

Contoh reseptor Efek Agonis Antagonis


Histamin H1 Kontraksi otot polos Histamin Mepiramin
(IP3).
Berbagai efek karena
posforilasi protein

Relaksasi otot polos


Adrenoreseptor B2 Adrenalin Propanolol
Penurunan kekuatan Salbutamol
kontraksi jantung
Muskarinik M2 Pelambatan Jantung Asetilkolin Atropin
 Reseptor Terhubung Kanal Ion
Reseptor ini berada di membran sel, disebut juga reseptor ionotropik. Respon terjadi dalam
hitungan milidetik. Kanal merupakan bagian dari reseptor.
Contoh : reseptor nikotinik, reseptor GABAA, reseptor ionotropik glutamat dan reseptor 5-HT3.

 Reseptor Nikotinik Asetilkolin


Reseptor ini ditemukan di otot skeletal, ganglion sistem saraf simpatk dan parasimpatik,
neuron sistem saraf pusat, dan sel non neural. Mekanisme kerja reseptor ini ditunjukkan pada
gambar 3.

Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit α1, β1, γ atau ε, dan δ), yang melintasi
membran, membentuk kanal polar (gambar 4a). Masing-masing sub unit terdiri dari 4 segmen
transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk kanal ion (gambar 4b). Domain N-terminal
ekstraseluler masing-masing sub unit mengandung 2 residu sistein yang dipisahkan oleh 13 asam
amino membentuk ikatan disulfida yang membentuk loop, merupakan binding site untuk agonis
(gambar 4c).
 Reseptor Terhubung Transkripsi Gen
Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear (walaupun beberapa ada
di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang kemudian bermigrasi ke nukleus setelah berikatan
dengan ligand, seperti reseptor glukokortikoid). Contoh : reseptor kortikosteroid, reseptor
estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.
 Reseptor Terhubung Enzim
Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian besar
ekstraseluler mengandung binding site untuk ligan (contoh : faktor pertumbuhan, sitokin) dan
bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim (biasanya aktivitas tirosin kinase). Aktivasi
menginisiasi jalur intraseluler yang melibatkan tranduser sitosolik dan nuklear, bahkan
transkripsi gen. Reseptor sitokin mengaktifkan Jak kinase, yang pada gilirannya mengaktifkan
faktor transkripsi Stat, yang kemudian mengaktifkan transkripsi gen.
Reseptor faktor pertumbuhan terdiri dari 2 reseptor, masing-masing dengan satu sisi
pengikatan untuk ligan. Agonis berikatan pada 2 reseptor menghasilkan kopling (dimerisasi).
Tirosin kinase dalam masing-masing reseptor saling memposforilasi satu sama lain. Protein
penerima (adapter) yang mengandung gugus –SH berikatan pada residu terposforilasi dan
mengaktifkan tiga jalur kinase. Kinase 3 memposforilasi berbagai faktor transkripsi, kemudian
mengaktifkan transkripsi gen untuk proliferasi dan diferensiasi.

2.8 FUNGSI RESEPTOR

Fungsi reseptor adalah :


 Merangsang perubahan permeabilitas membran sel.
 Pembentukan pembawa kedua ( secon messenger) misalnya cAMP, diasilgliserol, inositol
trifosfat.
 Mempengaruhi transkripsi gen atau DNA.

Dari fungsi tersebut, reseptor terlibat dalam komunikasi antar sel. Reseptor menerima
rangsang dengan berikatan dengan pembawa pesan pertama (first messenger) yaitu agonis yang
kemudian menyampaikan informasi yang diterima kedalam sel dengan langsung menimbulkan
efek seluler melalui perubahan petmeabilitas membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau
mempengaruhi transkripsi gen.

2.9 INTERAKSI OBAT DENGAN RESEPTOR

Ligan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang berikatan pada
reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi ini membuka respon sel. Obat
mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor memberikan respon yang sama dengan ligan,
merupakan agonis sehingga bisa membuka kunci. Obat lain yang bekerja berlawanan disebut
antagonis.
Skala dosis aritmetik verus skala log dosis
 Skala dosis aritmetik :
Laju perubahan efek cepat pada awal dan melambat pada peningkatan dosis. Saat
peningkatan dosis tidak lagi mengubah efek, dicapai efek maksimal. Sulit untuk dianalisis secara
matematis pada kurva dosis aritmetik.
 Skala Log Dosis :
Kurva logaritmik mengubah kurva hiperbolik menjadi sigmoid (mendekati garis lurus). Hal
ini lebih menguntungkan dibanding skala dosis, karena proporsi dosis setara dengan efek
sehingga mudah dianalisis secara matematis.

2.10 POTENSI

Potensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis. Namun signifikansi
secara klinis kecil, karena obat yang lebih poten belum tentu lebih baik secara klinis. Obat
berpotensi rendah tidak menguntungkan hanya jika menyebabkan dosis terlalu besar sehingga
sukar diberikan.
Contoh : potensi relatif antara berbagai analgesik. Jika hanya dibutuhkan respon analgesik
rendah, pemberian aspirin dengan dosis 500 mg masih bisa menjadi pilihan dari pada golongan
narkotik. Namun jika dibutuhkan efek analgesik kuat, dipilih golongan narkotik.

2.11 Agonis Pada Obat

Agonis adalah sebuah obat yang memiliki afinitas terhadap reseptor tertentu dan
menyebabkan perubahan dalam reseptor yang menghasilkan efek diamati. Agonis lebih lanjut
dicirikan sebagai agonis penuh, menghasilkan respon maksimal dengan menempati seluruh atau
sebagian kecil dari reseptor, atau agonis parsial, menghasilkan kurang dari respon maksimal
bahkan ketika obat tersebut menempati seluruh reseptor. Afinitas menjelaskan kecenderungan
untuk menggabungkan obat dengan jenis tertentu dari reseptor, sedangkan aktivitas efficary atau
intrinsik suatu obat mengacu pada efek maksimal obat dapat menghasilkan. Sebuah agonis
parsial memiliki aktivitas kurang intrinsik dari agonis penuh. Potensi adalah istilah yang sering
disalahpahami ketika membandingkan dua atau lebih obat yang menimbulkan efek beberapa
diamati. Potensi obat mengacu pada dosis yang harus diberikan untuk menghasilkan efek tertentu
intensitas yang diberikan. Potensi dipengaruhi oleh afinitas obat untuk obat itu adalah reseptor
situs dan oleh proses-proses farmakokinetik yang menentukan konsentrasi obat di sekitar
langsung dari situs kerjanya (biophase). Potensi obat berbanding terbalik dengan dosis; makin
rendah dosis yang diperlukan untuk menghasilkan respon lain, semakin kuat obat. Potensi adalah
relatif, dan bukan merupakan ekspresi, mutlak aktivitas obat. Untuk penentuan potensi standar
harus didefinisikan, dan perbandingan potensi hanya berlaku untuk obat yang menghasilkan
respon dinyatakan dengan mekanisme yang sama tindakan. Potensi suatu obat tidak necessarity
berkorelasi dengan keberhasilan atau keselamatan, dan obat yang paling ampuh dalam seri klinis
tidak selalu superior. rendah adalah potensi kerugian hanya jika dosis efektif adalah begitu besar
sehingga terlalu mahal untuk memproduksi atau terlalu rumit untuk dijalankan.
Ada 2 tipe agonis :
– Agonis penuh, adalah agonis dengan efikasi maksimal.
– Agonis Parsial, adalah agonis dengan efikasi kurang maksimal.

2.12 ANTAGONIS PADA OBAT

Antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu secara
intrinsik menimbulkan efek farmakoligik sehingga menghambat karja suatu agonis. Antagonis
dibedakan menjadi 2 yaitu :

• Antagonisme fisiologi, yaitu antagonisme pada sistem fisiologi yang sama tetapi pada sistem
reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh
sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
• Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme malalui sistem reseptor yang sama
(antagonisme antara agonis dengan antagonismenya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan
dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang
sama.

Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif dan nonkompetitif :


· Antagonisme kompetitif : antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor site
atau active site) secara reversibel sehingga dapat digeser aloh agonis kadar tinggi. Hambatan
kadar agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhir dicapai efek
maksimal yang sama.
· Antagonisme nonkompetitif : hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat
diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan
berkurang, tetapiafinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah.

 Antagonisme nonkompetitif terjadi jika :


1. Antagonis mengikat reseptor secara ireversibel, di receptor site maupun di tempat lain sehingga
menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Efek maksimal akan berkurang tetapi afinitas
agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contoh: fenoksibenzamin mengikat reseptor
adrenergik α di receptor site secara ireversibel.

2. Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tapi pada komponen lain dalam sistem
reseptor, yakni pada molekul lain yang meneruskan fungsi reseptor dalam sel terget, misalnya
molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein yang membentuk kanal ion.
Ikatan antagonis pada molekul-molekul tersebut, secara reversibel maupun ireversibel akan
mengurangi efek yang dapat ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor tanpa mengganggu
ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah).

Efektivitas, Toksisitas, Letalitas


 ED50 – Dosis efektif tengah; dosis dimana 50% populasi/sampel menunjukkan efek (dari
kurva DR kuantal).
 TD50 – Dosis toksis tengah – dosis dimana 50% populasi menunjukkan efek toksik.
 LD50 – Dosis letal tengah – dosis yang membunuh 50% subjek.

Kuantifikasi Keamanan Obat


Semakin tinggi indeks terapi (IT) maka akan semakin baik. IT bervariasi dari 1,0 (beberapa obat
kanker) hingga >1000 (penicillin). Obat yang bekerja pada reseptor atau enzim yang sama sering
mempunyai nilai IT yang sama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Interaksi obat pada fase farmakodinamik dapat terjadi secara langsung(Pada reseptor) dan secara
tidak langsung (Interaksi fisiologis). Interaksiobat pada reseptor bekerja secara agonis dan
antagonis kompetitif maupunnon-kompetitif. Interaksi obat secara langsung maupun tidak
langsungdapat menghasilkan efek yang agonis maupun antagonis. Efek agonisdapat berupa efek
additif, summation maupun sinergis.Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu
makromolekul fungsional,yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis
bagiligan-ligan (Molekul spesifik (obat) yang dapat mengikat reseptor)endogen (semisal:
hormon dan neurtransmiter). Fungsi reseptor adalah untuk mengenal dan mengikat suatu
ligan/obatdengan spesifisitas yang tinggi, meneruskan signal ke dalam sel melalui perubahan
permeabilitas membrane, pembentukan second messenger, danmempengaruhi transkripsi gen.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor
hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzimmetabolic dan regulator
(seperti dihidrofolat reduktase,asetilkolinesterase). Agonis adalah suatu senyawa yang dapat
mengaktivasi sehinggamenimbulkan respon. Antagonis adalah senyawa yang dapat membentuk
kompleks denganreseptor tapi tidak dapat menimbulkan respons. Interaksi
farmakodinamikmerupakan suatu interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat
kerja, atau sistem fisiologik yangsama. Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik,
atau antagonistik
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press.

Brody, T. M., Larner, J. and Minneman, K. P. (Eds.). 1998. Human


Pharmacology : Molecular to Clinical. 3th ed. Mosby Inc. St. Louis, Missouri.

Camille Georges Wermuth (Ed.), 2008. The Practice of Medicinal Chemistry. Elsevier :
London. pp. 99.

Foreman, J. C. and Johansen, T. Eds. 1996. Textbook of Receptor Pharmacology. CRC


Press : USA.

Korolkovas, A. 1970. Essentials of Molecular Pharmacology : Background for Drug


Design. Wiley-Interscience. New York.

Terry Kenakin. 1996. Molecular Pharmacology : A Short Course. Blackwell Sience Ltd :
England.

Ulrik Gether & Brian K. Kobilka . Minireview : G Protein-coupled Receptors. J. Bio


Chem Vol. 273. No. 29-1998. pp. 17079.

Undang-undang Bidang Kesehatan dan Farmasi. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia.

Zullies Ikawati. 2008. Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada University Press :


Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai