FARMAKOLOGI DASAR
INTERAKSI OBAT & RESEPTOR
Dosen Pengampu:
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmakologi dasar adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan tentang obat dengan seluruh
aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisiknya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya
dalam organisme hidup . Secara harfiah, farmakologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang
mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem biologis. Dalam konteks lebih spesifik,
farmakologi juga mencakup masalah penggunaan obat, termasuk rute perjalanan obat dalam
tubuh, bentuk obat, penggunaan obat, dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan obat
Jadi, farmakologi dasar membahas berbagai aspek, termasuk sejarah obat, definisi dan
pengertian farmakologi, macam-macam sediaan obat, serta rute-rute pemberian obat. Ini
merupakan bidang ilmu yang penting bagi para perawat, asisten apoteker, apoteker, dan
dokter untuk memahami bagaimana obat bekerja dan bagaimana menggunakannya secara
efektif.
1.3 Tujun
Obat bebas terbatas dapat diperoleh tanpa resep dokter di apotik, toko obat ataupun di
warung-warung. Contohnya obat anti mabuk (Antimo), obat flu kombinasi, klotrimaleas (CTM).
3. Obat Keras
Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat
keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah
bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Jika pemakai tidak memperhatikan
dosis, aturan pakai, dan peringatan yang diberikan, dapat menimbulkan efek berbahaya bahkan
meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan kematian. Contoh obat golongan
keras yaitu antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung
hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain).
4. Psikotropika
Psikotropika adalah zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang
susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi
(mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan
ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Jenis obat
psikotropika yaitu shabu-shabu dan ekstasi.
5. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang
menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau timbulnya khayalan-
khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya. Narkotika merupakan
kelompok obat yang paling berbahaya karena dapat menimbulkan addiksi (ketergantungan) dan
toleransi. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, secara internasional obat hanya dibagi menjadi
menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.
Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang
tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di
Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak
eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak
diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki
perjanjian khusus dengan pemilik paten.
Obat generik. Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut
sebagai obat generik (generik= nama zat berkhasiatnya). Obat generik dibagi lagi menjadi 2
yaitu generik berlogo dan generik bermerek (branded generic). Obat generik berlogo yang
lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya
dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat,
sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang
diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.
Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan,
dan teori kecepatan.
1. Teori Klasik
Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat karakteristik.
Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan
konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang
interaksi obat reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat
menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi
antara tempat dan struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul
asing yang sesuai atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling
mengisi.Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan
struktur molekul obat.
2. Teori Pendudukan
Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan
obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses
pembentukan kompleks.
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor
khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian
dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis.
Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis ).
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis ).
Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor
menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon
biologis sebagai akibat pembentukan komplek.
3. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat
berinteraksi dengan reseptor.
Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi
obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya. Tipe kerja obat ditentukan oleh
kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan
bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.
GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan responnya terjadi
dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida tunggal dengan 7 heliks
transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian
memodulasi/mengatur aktivitas enzim atau fungsi kanal.
Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit α1, β1, γ atau ε, dan δ), yang melintasi
membran, membentuk kanal polar (gambar 4a). Masing-masing sub unit terdiri dari 4 segmen
transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk kanal ion (gambar 4b). Domain N-terminal
ekstraseluler masing-masing sub unit mengandung 2 residu sistein yang dipisahkan oleh 13 asam
amino membentuk ikatan disulfida yang membentuk loop, merupakan binding site untuk agonis
(gambar 4c).
Reseptor Terhubung Transkripsi Gen
Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear (walaupun beberapa ada
di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang kemudian bermigrasi ke nukleus setelah berikatan
dengan ligand, seperti reseptor glukokortikoid). Contoh : reseptor kortikosteroid, reseptor
estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.
Reseptor Terhubung Enzim
Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian besar
ekstraseluler mengandung binding site untuk ligan (contoh : faktor pertumbuhan, sitokin) dan
bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim (biasanya aktivitas tirosin kinase). Aktivasi
menginisiasi jalur intraseluler yang melibatkan tranduser sitosolik dan nuklear, bahkan
transkripsi gen. Reseptor sitokin mengaktifkan Jak kinase, yang pada gilirannya mengaktifkan
faktor transkripsi Stat, yang kemudian mengaktifkan transkripsi gen.
Reseptor faktor pertumbuhan terdiri dari 2 reseptor, masing-masing dengan satu sisi
pengikatan untuk ligan. Agonis berikatan pada 2 reseptor menghasilkan kopling (dimerisasi).
Tirosin kinase dalam masing-masing reseptor saling memposforilasi satu sama lain. Protein
penerima (adapter) yang mengandung gugus –SH berikatan pada residu terposforilasi dan
mengaktifkan tiga jalur kinase. Kinase 3 memposforilasi berbagai faktor transkripsi, kemudian
mengaktifkan transkripsi gen untuk proliferasi dan diferensiasi.
Dari fungsi tersebut, reseptor terlibat dalam komunikasi antar sel. Reseptor menerima
rangsang dengan berikatan dengan pembawa pesan pertama (first messenger) yaitu agonis yang
kemudian menyampaikan informasi yang diterima kedalam sel dengan langsung menimbulkan
efek seluler melalui perubahan petmeabilitas membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau
mempengaruhi transkripsi gen.
Ligan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang berikatan pada
reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi ini membuka respon sel. Obat
mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor memberikan respon yang sama dengan ligan,
merupakan agonis sehingga bisa membuka kunci. Obat lain yang bekerja berlawanan disebut
antagonis.
Skala dosis aritmetik verus skala log dosis
Skala dosis aritmetik :
Laju perubahan efek cepat pada awal dan melambat pada peningkatan dosis. Saat
peningkatan dosis tidak lagi mengubah efek, dicapai efek maksimal. Sulit untuk dianalisis secara
matematis pada kurva dosis aritmetik.
Skala Log Dosis :
Kurva logaritmik mengubah kurva hiperbolik menjadi sigmoid (mendekati garis lurus). Hal
ini lebih menguntungkan dibanding skala dosis, karena proporsi dosis setara dengan efek
sehingga mudah dianalisis secara matematis.
2.10 POTENSI
Potensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis. Namun signifikansi
secara klinis kecil, karena obat yang lebih poten belum tentu lebih baik secara klinis. Obat
berpotensi rendah tidak menguntungkan hanya jika menyebabkan dosis terlalu besar sehingga
sukar diberikan.
Contoh : potensi relatif antara berbagai analgesik. Jika hanya dibutuhkan respon analgesik
rendah, pemberian aspirin dengan dosis 500 mg masih bisa menjadi pilihan dari pada golongan
narkotik. Namun jika dibutuhkan efek analgesik kuat, dipilih golongan narkotik.
Agonis adalah sebuah obat yang memiliki afinitas terhadap reseptor tertentu dan
menyebabkan perubahan dalam reseptor yang menghasilkan efek diamati. Agonis lebih lanjut
dicirikan sebagai agonis penuh, menghasilkan respon maksimal dengan menempati seluruh atau
sebagian kecil dari reseptor, atau agonis parsial, menghasilkan kurang dari respon maksimal
bahkan ketika obat tersebut menempati seluruh reseptor. Afinitas menjelaskan kecenderungan
untuk menggabungkan obat dengan jenis tertentu dari reseptor, sedangkan aktivitas efficary atau
intrinsik suatu obat mengacu pada efek maksimal obat dapat menghasilkan. Sebuah agonis
parsial memiliki aktivitas kurang intrinsik dari agonis penuh. Potensi adalah istilah yang sering
disalahpahami ketika membandingkan dua atau lebih obat yang menimbulkan efek beberapa
diamati. Potensi obat mengacu pada dosis yang harus diberikan untuk menghasilkan efek tertentu
intensitas yang diberikan. Potensi dipengaruhi oleh afinitas obat untuk obat itu adalah reseptor
situs dan oleh proses-proses farmakokinetik yang menentukan konsentrasi obat di sekitar
langsung dari situs kerjanya (biophase). Potensi obat berbanding terbalik dengan dosis; makin
rendah dosis yang diperlukan untuk menghasilkan respon lain, semakin kuat obat. Potensi adalah
relatif, dan bukan merupakan ekspresi, mutlak aktivitas obat. Untuk penentuan potensi standar
harus didefinisikan, dan perbandingan potensi hanya berlaku untuk obat yang menghasilkan
respon dinyatakan dengan mekanisme yang sama tindakan. Potensi suatu obat tidak necessarity
berkorelasi dengan keberhasilan atau keselamatan, dan obat yang paling ampuh dalam seri klinis
tidak selalu superior. rendah adalah potensi kerugian hanya jika dosis efektif adalah begitu besar
sehingga terlalu mahal untuk memproduksi atau terlalu rumit untuk dijalankan.
Ada 2 tipe agonis :
– Agonis penuh, adalah agonis dengan efikasi maksimal.
– Agonis Parsial, adalah agonis dengan efikasi kurang maksimal.
Antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu secara
intrinsik menimbulkan efek farmakoligik sehingga menghambat karja suatu agonis. Antagonis
dibedakan menjadi 2 yaitu :
• Antagonisme fisiologi, yaitu antagonisme pada sistem fisiologi yang sama tetapi pada sistem
reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh
sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
• Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme malalui sistem reseptor yang sama
(antagonisme antara agonis dengan antagonismenya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan
dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang
sama.
2. Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tapi pada komponen lain dalam sistem
reseptor, yakni pada molekul lain yang meneruskan fungsi reseptor dalam sel terget, misalnya
molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein yang membentuk kanal ion.
Ikatan antagonis pada molekul-molekul tersebut, secara reversibel maupun ireversibel akan
mengurangi efek yang dapat ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor tanpa mengganggu
ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah).
Camille Georges Wermuth (Ed.), 2008. The Practice of Medicinal Chemistry. Elsevier :
London. pp. 99.
Terry Kenakin. 1996. Molecular Pharmacology : A Short Course. Blackwell Sience Ltd :
England.