Anda di halaman 1dari 16

PENGARUH NILAI INTERNAL INDIVIDU TERHADAP SENJANGAN ANGGARAN PADA

INSTANSI PEMERINTAH DI WILAYAH BAYAR


KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA DUMAI

Raditya Yudhan Kustanto, Helmy Adam


Universitas Brawijaya

Abstract : This study aims to empirically analyze and assess the effect of the individual internal values consisting
of achievement, power, and tradition on the propensity of budgetary slack in public sector organizations. The
sample of this quantitative research is treasurers and treasury management officers in governmental agencies in
the pay-service area of KPPN Dumai. The hypothesis of this study were tested using multiple regression analysis.
The results show that the achievement and power values have a positive and significant effect on the propensity
of budgetary slack. The finding indicates that the higher the achievement and power value of a person, the higher
his budgetary slack propensity level. Meanwhile, tradition value has a negative and significant influence on the
propensity of budgetary slack. This suggests that individual tradition value must be increased to lower his
budgetary slack propensity level. The findings imply that cultivating values and ethical norms of employees is
necessary to increase their moral judgment, so they see budgetary slack as a moral hazard behavior.

Keywords: individual internal value, public sector budgeting, budgetary slack

1. PENDAHULUAN
Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel tentu harus diawali dengan penganggaran yang baik juga, yaitu
ditandai dengan sedikitnya celah yang memungkinkan penyimpangan anggaran terjadi. Menurut Bragg (2014:1)
anggaran adalah dokumen yang memuat hasil ramalan dan posisi keuangan dari perusahaan untuk satu atau lebih
periode. Pada anggaran dijabarkan mengenai rencana kegiatan organisasi dan bagaimana langkah dalam mencapai
tujuan organisasi (Hansen & Mowen, 2013:423). Anggaran sektor publik yang komprehensif meliputi keseluruhan
kebijakan pemerintah, hasil kinerja, transparansi proses anggaran, dan penggunaan anggaran sebagai instrumen
manajemen strategis serta alat pemberdayaan masyarakat (Shah, 2007:1). Penyusunan anggaran adalah awal dari
proses manajamen pemerintah, anggaran tersebut kemudian digunakan untuk menilai kinerja pemerintah dengan
membandingkan antara estimasi dan realisasi (Widanaputra dan Mimba, 2014).
Pada organisasi sektor publik terdapat dua model pendekatan penyusunan anggaran yaitu top-down dan
bottom-up. Pada model top-down, atasan yang menyusun perencanaan dan bawahan sebagai pelaksana, atau
dengan kata lain bawahan tidak diberikan kesempatan dalam penyusunan anggaran. Kelemahannya adalah pada
model ini, saat penyusunan seringkali atasan tidak mempertimbangkan kendala-kendala yang ada pada level
bawahan, sehingga target kinerja yang ditetapkan pada anggaran tidak tercapai. Sedangkan pada model bottomup,
bawahan diberikan andil dalam penyusunan anggaran sehingga berbagai macam kendala yang ada pada level
bawahan dapat diakomodasi pada anggaran dan target kinerja lebih dapat tercapai. Namun kelemahannya adalah
biaya yang diperlukan dalam penyusunan lebih besar, membutuhkan waktu yang relatif lebih lama bila
dibandingkan dengan model top-down, dan adanya kemungkinan target kinerja yang ditetapkan lebih rendah agar
lebih mudah tercapai. Karena bawahan turut berperan dalam penyusunan anggaran, model bottom-up juga disebut
dengan budgetary participation (partisipasi anggaran).
Partisipasi anggaran menurut Brownell (1981) adalah suatu proses dimana manajer tingkat menengah
diikutsertakan dalam menentukan tujuan anggaran yang ada pada kewenangannya. Dengan menggunakan
pendekatan partisipasi anggaran, bawahan akan mengetahui kepentingan dan keinginan dari atasan, serta atasan
akan memahami hambatan-hambatan yang ada pada level bawahan. Fenomena yang kemudian timbul dengan
bawahan dilibatkan dalam proses penyusunan anggaran adalah adanya senjangan anggaran (budgetary slack).
Mardiasmo (2002) mengutip dalam Dunk dan Perera (1997 : 649) dan Onsi (1973:535), senjangan anggaran
adalah perbedaan antara sumber daya yang tersedia pada suatu organisasi dan kebutuhan untuk mempertahankan
kinerja. Berbeda dengan peramalan yang tidak akurat (forecast inaccuracy) yang timbul tidak karena niat,
senjangan anggaran timbul karena adanya niat (intentional). Lebih lanjut senjangan anggaran didefinisikan
sebagai perbedaan antara jumlah yang dianggarkan dan realisasi biaya yang sebenarnya, dapat berupa penerimaan
yang dianggarkan lebih tinggi atau pengeluaran yang dianggarkan terlalu rendah.
Penelitian terkait senjangan anggaran sudah banyak dilakukan, utamanya yang berhubungan dengan partisipasi
anggaran. Namun dari sebagian penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil yang berbeda dan bahkan
bertentangan atau dengan kata lain terjadi inkosistensi. Penelitian yang dilakukan Dunk (1993) Sujana (2010),
Dewi dan Erawati (2011), dan Rahmiati (2013) menunjukkan bahwa partisipasi anggaran berpengaruh secara
siginfikan negatif terhadap senjangan anggaran. Sehingga semakin tinggi partisipasi anggaran pada suatu
organisasi akan menurunkan senjangan yang ada. Sedangkan hasil sebaliknya ditunjukkan oleh Veronica dan
Krisnadewi (2009), Aprilia dan Hidayani (2011), Triana, Yuliusman, dan Putra (2012) Irfan, Santoso, dan Efendi
(2016), Huseno (2017) partisipasi anggaran berpengaruh secara signifikan positif terhadap senjangan. Ini berarti
semakin tinggi partisipasi anggaran semakin meningkatkan kemungkinan terjadinya senjangan anggaran.
Penelitian dengan pendekatan berbeda dilakukan oleh Su dan Ni (2013), di mana penilaian atas senjangan
anggaran dilihat menggunakan Theory of Planned Behaviour (TPB) yang dikembangkan oleh Ajzen (1991), yakni
attitude, subjective norm, dan perceived behavioral control. Terjadinya senjangan anggaran dipandang sebagai
sebuah niat, dan terbentuknya niat dipengaruhi oleh ketiga aspek TPB tersebut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa partisipasi anggaran mengurangi niat manajer dalam melakukan senjangan melalui perbaikan sikap dan
tekanan sosial. Namun partisipasi anggaran tidak mampu untuk memperbaiki persepsi pengendalian senjangan
yang kemudian tidak dapat mengurangi niat melakukan senjangan. Pada proses penetapan anggaran, kemampuan
atasan untuk mendeteksi niat manajer bawahan dalam melakukan senjangan (manager’s slack intention) terbatas
dan tidak mampu untuk mengurangi senjangan yang dilakukan manajer.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya senjangan anggaran terbagi menjadi tiga yaitu faktor individual,
organisasional, dan lingkungan (Nugroho, 2013). Yuhertiana (dikutip oleh Yasa dan Perdana, 2017), faktor
individual adalah salah satu faktor internal yang memandang baik tidaknya suatu hal dengan menggunakan
pertimbangan etis berdasarkan nilai norma yang dimiliki. Kecenderungan terjadinya senjangan anggaran akan
semakin rendah jika individu memandang senjangan sebagai perbuatan etis, dan sebaliknya kecenderungan
terjadinya senjangan anggaran akan semakin tinggi apabila individu memandang senjangan sebagai perbuatan
etis. Faktor organisasional merupakan faktor yang berasal dari unsur – unsur di dalam organisasi itu sendiri seperti
komitmen organisasi, penekanan anggaran, job relevant information, ketidakpastian tugas, dan sebagainya.
Penelitian yang menggunakan variabel faktor organisasional untuk menilai pengaruhnya terhadap senjangan
anggaran sudah banyak dilakukan, diantaranya yaitu komitmen organisasi (Nouri, 1994; Nouri dan Parker, 1998;
Darlis, 2002; Suhartono dan Solichin, 2006), penekanan anggaran (Locke dan Latham, 1984; Merchant dan
Manzoni, 1989; Lau, 1999), job relevant information (Dunk, 1993; Dwi dan Agustina, 2010; Nugroho, 2013), dan
ketidakpastian tugas (Adam, 2005). Faktor yang ketiga yaitu faktor lingkungan dimana unsur pembentuknya
berasal dari eksternal organisasi termasuk didalamnya adalah budaya yang memiliki pengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap organisasi, seperti ketidakpastian lingkungan (Darlis, 2002; Kartika, 2010) dan
budaya nasional (Merchant, 1981).
Hobson, Mellon, dan Stevens (2011) menemukan bahwa insentif keuangan memainkan peran dalam
membentuk kerangka moral (moral frame) pada proses penetapan anggaran dan nilai personal (nilai internal
individu) berperan dalam menentukan bagaimana individu merespons kerangka moral tersebut. Proses
penganggaran sektor publik dapat dijelaskan menggunakan pendekatan agency theory (Forrester, 2002). Dalam
agency theory, agent atau individu yang mendapatkan pelimpahan kewenangan dari principal akan berupaya
untuk bertindak yang merugikan bagi principal karena digerakkan oleh rasionalisasi ekonomi dan kepentingan.
Apabila kemudian dihubungkan dengan proses penyusunan anggaran, bawahan sebagai agent di mana diberikan
kesempatan dan didorong pencapaian target kinerja untuk memperoleh insentif, maka akan mengabaikan
kepentingan organisasi dan bertindak demi keuntungan pribadi memaksimalkan kesejahteraan yang dapat
diperoleh. Perilaku ini selanjutnya juga dapat dijelaskan dengan Theory of Planned Behaviour (TPB), di mana
individu membentuk perilakunya dilatabelakangi oleh nilai personal yang dimiliki. Individu akan menggunakan
pertimbangan etisnya dalam menilai dan merespon suatu perilaku. Jika perilaku tersebut dipandang sebagai suatu
hal yang positif dan sesuai dengan nilai personal yang dimiliki, maka perilaku akan terjadi, Dan sebaliknya jika
perilaku dipandang sebagai hal yang negatif dan bertentangan dengan nilai personal, maka perilaku tidak akan
terjadi.
Sparks dan Pan (2010) mendefinisikan pertimbangan etis sebagai penilaian pribadi seseorang tentang sejauh
mana suatu tindakan atau perilaku itu etis atau tidak etis. Stead, Worrel, dan Stead (dikutip oleh Januarti, 2011)
dalam melakukan pertimbangan etis, individu akan sangat dipengaruhi oleh sistem pengetahuan nilai yang
dimilikinya. Schwartz (2006) mengembangkan sepuluh nilai dasar manusia berdasarkan tujuan dan motivasi yang
ditunjukkan oleh masing – masing nilai. Kesepuluh nilai tersebut adalah self-direction, stimulation, hedonism,
achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism. Dari kesepuluh nilai tersebut,
hanya tiga nilai yang masih berhubungan dan sesuai dengan terjadinya senjangan anggaran, yaitu achievement,
power, dan tradition. (Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah, 2014).
Nilai achievement adalah nilai di mana individu akan berusaha untuk mencapai kesuksesan pribadi dengan
menunjukkan kompetensi yang dimiliki sesuai standar sosial (Schwartz, 2006). Senjangan anggaran dapat timbul
dikarenakan kontrol anggaran yang terlalu kaku, seperti penilaian prestasi kinerja manajemen yang ditinjau dari
keberhasilannya dalam mengelola anggaran. Manajer yang berhasil dalam mencapai target anggaran akan
menadapatkan reward seperti bonus dan insentif tambahan, promosi, atau imbalan lainnya. Sementara manajer
yang gagal memenuhi target akan mendapatkan punishment (Merchant dan Manzoni, 1989). Kondisi yang
semacam itu kemudian membuat manajer melakukan perbuatan yang sekiranya dapat membantu dirinya lolos dari
risiko tidak terpenuhinya target anggaran yang sudah ditetapkan, seperti dengan melakukan senjangan anggaran.
Sehingga selanjutnya manajer akan memperoleh pengakuan pencapaian (achievement) atas apa yang sudah ia raih.
Nilai power bertujuan untuk mencapai status sosial dan prestige, dimana individu akan berupaya juga untuk
menguasai atau mendominasi sumber daya dan individu lain. Fokus nilai achievement dan power adalah untuk
penghargaan sosial. Perbedaaan keduanya yaitu nilai achievement menekankan pada kesuksesan kinerja yang
nyata, sementara nilai power lebih menekankan pada cara untuk memperoleh dan mempertahankan dominasi di
sistem sosial yang lebih umum. (Schwartz, 2006). Dye (1972:205), penganggaran adalah proses untuk menentukan
atau memberikan prioritas diantara berbagai pilihan mana yang akan dilakukan atau tidak dilakukan. Asumsinya
adalah dalam proses penyusunannya dilaksanakan secara ekonomis, rasional, dan bebas politik. Namun pada
prakteknya penganggaran tidak dapat lepas dari politik, ada proses tawar menawar (bargaining) di antara berbagai
pihak yang memiliki kuasa atau wewenang dalam memilih antara yang penting atau tidak penting (Pratiwi, 2012).
Mardiasmo (2002) juga menyatakan fungsi anggaran sektor publik yang sebagai alat politik, dimana anggaran
adalah hasil kesepakatan legislatif dan komitmen eksekutif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan
tertentu. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pada anggaran sektor publik yang berhubungan dengan nilai kuasa
(power) yang dimiliki seseorang.
Nilai tradition adalah nilai yang dimiliki individu dengan memberikan rasa hormat, komitmen, dan penerimaan
terhadap adat istiadat dan ide yang disediakan oleh budaya atau agama.(Schawrtz, 2006). Individu yang memiliki
nilai sosial yang kuat dan budaya positif akan menganggap senjangan anggaran sebagai perbuatan yang tidak etis
(Yasa dan Perdana, 2017). Karakteristik anggaran sektor publik dimana mengutamakan pemberian pelayanan
kepada masyarakat (nonprofit) menarik untuk dilakukan pengkajian, apakah nilai tradition yang dimiliki individu
akan berpengaruh dalam penyusunan anggaran yang kemudian mengakibatkan terjadinya senjangan karena setiap
keputusan yang diambil akan berpengaruh kepada pelayanan yang diberikan kepada publik.
Penelitian yang akan dilakukan memfokuskan pada senjangan anggaran di organisasi sektor publik dengan
objek penelitian adalah instansi vertikal pemerintah pusat dan satuan kerja pengguna Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada wilayah bayar Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Dumai. Potensi
terjadinya senjangan anggaran pada organisasi sektor publik cukup besar. Hal ini mengingat bahwa seringkali
dalam beberapa poin capaian Indikator Kinerja Utama Satuan Kerja Instansi Pemerintah dicantumkan target
pencapaian pengelolaan anggaran sebagai tolak ukur keberhasilan kinerja. Saat kinerja tercapai maka akan
berimbas kepada penghargaan yang akan diperoleh individu pelaksana anggaran dan tentunya akan mendorong
terjadinya senjangan anggaran. Kondisi di mana individu pelaksana anggaran diberikan target kinerja yang harus
dicapai (achievement), keterlibatan dalam penyusuanan (power), dan norma atau kode etik yang menyertai
(tradition) menjadi bahan kajian peneliti untuk dinilai pengaruhnya terhadap senjangan anggaran.
Permasalahanpermasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu :
1. Apakah nilai achievement berpengaruh positif terhadap kecenderungan terjadinya senjangan anggaran pada
instansi pemerintah?
2. Apakah nilai power berpengaruh positif terhadap kecenderungan terjadinya senjangan anggaran pada instansi
pemerintah?
3. Apakah nilai tradition berpengaruh negatif terhadap kecenderungan terjadinya senjangan anggaran pada
instansi pemerintah?

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agency Theory
Deegan dan Unerman (2006), Agency Theory menjelaskan hubungan antara berbagai individu dalam
organisasi yang terlibat dalam penyediaan sumber daya serta memperlihatkan bagaimana akuntansi menata
hubungan tersebut. Dalam Agency Theory sebuah organisasi digambarkan sebagai nexus of contract yaitu
hubungan antara dua atau lebih individu dengan individu lainnya dalam organisasi diatur dalam kontrak, sebagai
contoh hubungan antara manajer dengan pemilik modal, hubungan antara manajer dengan kreditur, dan hubungan
antara atasan dan bawahan. Yang dimaksud dengan kontrak adalah segala bentuk perjanjian antara dua pihak,
tidak selalu dalam bentuk tertulis. Individu pemangku kepentingan (stakeholder) yang mendelegasikan
kewenangan disebut sebagai principal, sedangkan individu yang menerima delegasi kewenangan untuk bertindak
atas nama principal disebut sebagai agent. Hubungan antara principal dan agent ini disebut dengan Agency
Relationship. Dalam hubungan antara principal dan agent akan timbul agency problem, yaitu benturan
kepentingan yang terjadi disebabkan adanya inefisiensi dan informasi asimetris. Saat principal mendelegasikan
keweanangannya kepada agent terdapat kemungkinan agent akan bertindak tidak sesuai dengan keinginan
principal, yang kemudian hal ini mengarahkan kepada munculnya agency cost (biaya keagenan). (Deegan dan
Unerman, 2006).
Ada tiga asumsi dasar yang dipakai dalam konsep agency theory yaitu (a) asumsi sifat manusia, (b) asumsi
organisasi, (c) asumsi informasi. Asumsi sifat manusia yaitu setiap individu akan memiliki perilaku yang didorong
oleh kepentingan pribadi (self-interest), keterbatasan rasional (bounded rationality) dan menghindari risiko (risk
aversion). Asumsi organisasi yaitu dalam sebuah organisasi akan selalu timbul konflik antara anggota organisasi
dan informasi asimetri antara principal dan agent. Asumsi informasi yaitu informasi merupakan barang dagang
yang dapat diperjualbelikan (Eisenhardt, 1989).
Konsep agency theory ini sangat sesuai bila dihubungkan dengan organisasi sektor publik dalam tataran
demokrasi (Halim dan Abdullah, 2006). Hubungan keagenan dalam sektor publik, tidak seperti pada sektor swasta
yang hanya berkutat pada hubungan antara stakeholder sebagai principal dan manager sebagai agent, namun dapat
meluas. Gilardi (2001), dalam penganggaran sektor publik hubungan keagenan adalah sebuah rantai pendelegasian
(chains of delegation), terdapat beberapa kali tahapan pendelegasian mulai dari rakyat sampai kemudian berakhir
di birokrat pelaksana. Dapat dijabarkan lebih lanjut, hubungan keagenan yang terjadi yaitu antara (a) legislatif
dengan rakyat, (b) eksekutif dengan legislatif, (c) pengguna anggaran dengan pengelola anggaran (Bendahara
Umum Negara/Daerah), (d) birokrat-kepala pemerintahan, dan (e) pemberi layanan dengan pejabat (Moe dan
Storm dalam Abdullah dan Asmara, 2006). Agency Theory dapat menjelaskan hubungan antara atasan sebagai
principal dan bawahan sebagai agent dalam perilaku penyusunan anggaran (Forrester dalam Ulyadi, 2016).
Dengan menggunakan asumsi agency theory di mana indvidu dengan didorong oleh self-interset akan berperilaku
oprtunistis untuk memaksimalkan kesejahteraanya (wealth maximization), manajer tingkat menengah atau dalam
hal organisasi sektor publik adalah kepala kantor instansi pemerintah sebagai penyusun anggaran akan
menetapkan target kinerja yang memungkinkan untuk dicapai, sehingga memperbesar potensi terjadinya
senjangan anggaran. 2.2 Theory of Planned Behavior
Theory of Planned Behaviour (TPB) diperkenalkan oleh Ajzen (1985) dan merupakan pengembangan dari
Teory of Reasoned Action (TRA). Ajzen menambahkan variabel yang kurang dalam TRA, yaitu perceived
behavioral control (kontrol perilaku persepsian). Penambahan variabel tersebut untuk memahami keterbatasan
individu ketika suatu perilaku tertentu dilakukan (Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah, 2014).
Pengembangan TRA dilakukan karena ternyata konstruk yang ada hanya berlaku saat individu memiliki
sepenuhnya kendali kehendak (volitional control) atas perilaku yang ingin ditunjukkan. Dalam situasi tertentu,
individu dapat saja tidak memiliki sumber daya dan atau kesempatan sehingga ia memiliki hambatan dalam
menunjukkan suatu perilaku. Konstruk Perceived Behavioral Control (PBC) kemudian ditambahkan untuk
menutupi keterbatasan tersebut. PBC dibentuk dari keyakinan individu akan berbagai macam faktor yang
memudahkan atau menghalangi perilakunya (control belief) (Ajzen, 1991). Walaupun sikap individu terhadap
perilaku positif dan individu meyakini bahwa orang – orang yang penting baginya sejalan dengannya, tapi niat
akan suatu perilaku tertentu tidak akan terbentuk secara kuat apabila individu tidak mempunyai kesempatan dan
sumber daya yang mendukung perilakunya (Achmat, 2010).
Anteseden niat individu terhadap suatu perilaku terbentuk dari berbagai macam keyakinan yang dimiliki
individu. Pembentukan keyakinan ini akan sangat dipengaruhi oleh nilai internal individu. Dalam konteks
penelitian senjangan anggaran, penggunaan TPB diperlukan untuk memahami bagaimana terbentuknya perilaku
penyusun anggaran. Bawahan cenderung akan melakukan senjangan anggaran apabila ia meyakini bahwa
perilakunya akan mampu membawa ke penghargaan sosial. Namun apabila keyakinan yang dimiliki tidak
didukung dengan sumber daya dan kesempatan dan atau tidak sejalan dengan pandangan orang – orang yang
penting baginya, maka senjangan anggaran tidak akan terjadi.
2.3 Anggaran Sektor Publik dan Senjangan Anggaran
Penganggaran terdiri dari dua jenis yaitu penganggaran perusahaan (swasta) dan penganggaran nirlaba
(nonprivate) atau sektor publik. Menurut Lee dan Johnson (1998), terdapat beberapa perbedaan antara anggaran
sektor publik dengan swasta, yaitu terletak pada ketersediaan sumber daya, motif keuntungan, barang dan jasa
yang dihasilkan, dan penentuan harga layanan. Baik sektor publik maupun sektor swasta menghadapai masalah
yang sama, yaitu kelangkaan sumber daya, namun perbedaannya adalah pada cara memperoleh sumber daya
tersebut. Di sektor swasta, sumber daya diperoleh dari aktivitas operasi di pasar, sementara pada sektor publik
sumber daya diperoleh melalui serangkaian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, misal kebijakan fiskal
dan moneter. Oleh karena itu, terdapat banyak batasan pada sektor publik dalam memperoleh sumber daya.
Pemerintah tidak dapat secara bebas mengeluarkan berbagai kebijakan, akan muncul berbagai benturan
kepentingan. Pengecualian dapat terjadi apabila sedang terjadi krisis besar, seperti Perang Dunia.
Mardiasmo (2004), penganggaran sektor publik tidak lepas dari proses politik, di mana anggaran adalah hasil
kesepakatan legislatif dan komitmen eksekutif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. Hal ini
tentu berbeda dengan sektor swasta, di mana anggaran jauh dari nuansa politis. Di sektor privat, penganggaran
bersifat tertutup tidak diungkapkan, dan hanya dipergunakan untuk kepentingan internal. Sementara pada sektor
publik, anggaran yang disusun oleh pemerintah wajib untuk disampaikan kepada masyarakat karena sebagai
sarana akuntabilitas pemerintah berkaitan dengan kegiatan yang didanai oleh publik. Fungsi anggaran sektor
publik adalah sebagai alat perencanaan, alat pengendalian, alat kebijakan fiskal, alat politik, alat koordinasi dan
komunikasi, alat penilaian kinerja, alat motivasi, dan alat untuk menciptakan ruang publik.
Douglas dan Wier (2000) mendefinisikan senjangan anggaran sebagai perbedaan antara target kinerja yang
direncanakan dengan kemampuan kinerja yang sebenarnya. senjangan anggaran dipandang sebagai sesuatu yang
negatif dan harus dihindari karena terjadinya senjangan anggaran saat bawahan (manajer) memahami kemampuan
atau kemampuan unit bisnisnya dalam anggaran dan melakukan tindakan penipuan sehingga melanggar norma
sosial (Merchant, 1995 dalam Hobson, Mellon, dan Steven, 2011). Selain itu dalam Dunk (1993), ada unsur
kesengajaan yang terjadi dalam senjangan anggaran, manajer berupaya untuk menampilkan estimasi anggaran
yang tidak sebenarnya yaitu dengan menurunkan pendapatan (understating revenue estimates) yang dapat
diperoleh atau menaikkan biaya yang diperlukan (overstating cost estimates). Menurut Harrel dan Harrison
(dikutip oleh Douglas dan Wier 2000), terdapat dua kondisi yang kemudian membentuk dan memperbesar
senjangan anggaran, yaitu (a) kesempatan (b) insentif untuk melakukannya. Partisipasi anggaran dipandang
sebagai suatu kesempatan yang membentuk senjangan anggaran. Tanpa adanya partisipasi yang dilakukan,
senjangan anggaran tidak akan terjadi, terlepas dari senjangan anggaran dibutuhkan organisasi atau tidak. Asumsi
teori ekonomi menyatakan bahwa bawahan mengetahui lebih banyak dibandingkan atasan terkait tugas dan
lingkungan tugasnya, maka dari itu digunakan pengganggaran partisipatif untuk memperoleh informasi dan
dengan demikian akan mengurangi ketidakpastian. Namun lebih lanjut menurut Harrel dan Harrison (1994),
kesempatan saja tidak cukup untuk membentuk senjangan anggaran, harus disertai dengan dorongan insentif.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa skema bonus dan pembayaran berbasis budget berpengaruh terhadap
terbentuknya senjangan anggaran (Onsi, 1973 ; Merchant, 1985; Dunk, 1993).
2.4 Nilai Internal Individu
Nilai diyakini memiliki pengaruh yang substansial terhadap respon perasaan (afektif) dan perilaku individu
(Locke, 1976). Menurut Meglino dan Ravlin (1998), nilai adalah keyakinan internal seseorang tentang bagaimana
ia sebaiknya berperilaku. Sedangkan Rokeach (1973) mengartikan nilai sebagai keyakinan yang bertahan lama
dan stabil yang dimiliki individu mengenai baik dan buruknya suatu perbuatan, perilaku, atau tindakan.
Perbedaannya dengan attitude (sikap) di mana hanya berfokus pada suatu objek atau kondisi tertentu, nilai
digunakan oleh individu dalam menghadapi banyak permasalahan (Rokeach, 1973).
Penelitian ini menggunakan konsep nilai dasar manusia yang dikembangkan oleh Schwartz (2006), di mana
nilai dibagi berdasarkan tipe tujuan atau motivasi yang ingin ditunjukkan oleh individu, yaitu self-direction
(pengarahan diri), stimulation (stimulasi), hedonism (hedonsime), achievement (pencapaian), power (kekuatan),
security (keamanan), conformity (kenyamanan), tradition (tradisi), benevolence (kebajikan), dan universalism
(universalisme). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah (2014), peneliti
hanya mengambil tiga nilai dasar manusia yang masih berkaitan dengan taerjadinya senjangan anggaran, yaitu
nilai achievement, power, dan tradition. Nilai achievement menekankan pada kompetensi yang ditunjukkan
individu pada standar budaya yang berlaku, sehingga memperoleh penerimaan sosial (Schwartz, 2006). Individu
mengganggap unjuk kinerja yang kompeten adalah suatu kebutuhan apabila menurutnya perlu dilakukan
pengembangan diri, serta apabila ada tuntutan dari insitusi dan interaksi sosial. (Aryani, 2010). Nilai power
didasarkan pada satu atau lebih dari tiga kebutuhan universal. Dalam tatanan sosial berlaku model diferensiasi
status yang kemudian mendorong munculnya dimensi dominasi. Dengan adanya fakta kehidupan sosial seperti
itu, maka sudah seharusnya power diberlakukan sebagai nilai. Nilai power muncul sebagai sebuah hasil
transformasi kebutuhan individu untuk kontrol dan dominasi yang diidentifikasi melalui analisis motif sosial.
Tujuan nilai power adalah diperolehnya status sosial dan prestise dengan cara mendominasi atau menguasai
individu dan/atau sumber daya tertentu. (Schwartz, 1992). Nilai tradition berasal dari ritual agama, keyakinan,
dan norma perilaku. Tujuannya adalah untuk menghargai, berkomitmen, dan menerima adat dan gagasan yang
dipaksakan oleh adat dan agama kepada individu. (Schwartz, 1992).
2.5 Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
2.5.1 Kerangka Teoritis
Agency theory mampu menjelaskan hubungan antara principal dan agent pada kecenderungan terjadinya
senjangan anggaran, di mana agent yang dalam hal ini adalah penyusun dan pelaksana anggaran dengan
menggunakan asumsi sifat manusia, akan bertindak untuk kepentingan pribadinya memaksimalkan kesejahteraan
demi mencapai penghargaan sosial (self esteem). Atau dapat dikatakan penyusun dan pelaksana anggaran
menyalahgunkaan sumber daya organisasi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya senjangan anggaran untuk
mengoptimalkan imbalan (Ulyadi, 2016). Nilai personal yang berkaitan dengan pencapaian self esteem
(penghargaan sosial) adalah nilai power dan nilai achievement (Schwartz, 2006).
Dalam Theory of Planned Behaviour (TPB), variabel yang membentuk perilaku diantaranya adalah latar
belakang (background factor), yang terdiri dari sosial, personal, dan informasi. Faktor sosial diantaranya yaitu
jenis kelamin, etnis, pendidikan, penghasilan, agama, usia, dan pendidikan. Faktor informasi yakni pengetahuan,
pengalaman, dan ekspose terhadap media. Faktor personal yaitu emosi, kecerdasan, sikap umum individu terhadap
sesuatu, sikap kepribadian, dan nilai hidup (values). Lebih lanjut menurut TPB, nilai personal yang dimiliki akan
mempengaruhi pandangan individu tentang hasil dari tindakannya yang pada akhirnya turut mempengaruhi sikap
individu (Aryani, 2010). Dalam kaitannya dengan senjangan anggaran pada mekanisme anggaran parstisipatif,
perilaku individu tersebut terjadi akibat nilai personal yang mempengaruhi sikap individu, di mana individu yang
meyakini perilaku yang dilakukan akan membawa dirinya mencapai prestasi dan pengakuan sosial akan cenderung
melakukan senjangan anggaran. (Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah, 2014). Sedangkan apabila individu menganggap
senjangan anggaran sebagai perbuatan yang tidak etis, akan cenderung menghindari terjadinya senjangan
anggaran. (Hobson, Mellon, dan Steven, 2011).
2.5.2 Pengembangan Hipotesis
Nilai Achievement dan Senjangan Anggaran
Cyert dan March (1963) memasukkan senjangan anggaran sebagai komponen utama dari tindakan manajemen
dalam memaksimalkan fungsi utilitasnya. Ketika suatu organisasi mencapai tujuannya, kelebihan sumber daya
organisasi akan disalurkan untuk tujuan individu dan subkelompok. Pernyataan tersebut sejalan dengan agency
theory, di mana bawahan (agent) yang diasumsikan bergerak atas kepentingan dirinya sendiri (self-interest),
menyalahgunakan informasi yang ia miliki secara pribadi untuk bertindak secara berbeda dengan yang
dikehendaki oleh atasan (principal) (Baiman, 1982 dalam Merchant,1985). Onsi (1973), manajer atau dalam hal
ini bawahan cenderung akan menciptakan senjangan anggaran apabila mendapat tekanan berat dalam mencapai
target anggaran sesuai dengan yang dikehendaki atasan. Bawahan juga akan menunjukkan respon defensif untuk
menciptakan senjangan anggaran saat atasan menggunakan informasi anggaran sebagai basis untuk memberikan
penghargaan organisasi (Camman, 1976). Dalam menghadapi berbagai situasi, individu akan memberikan respon
yang berbeda tergantung dari pertimbangan penalaran moral yang dilakukan berdasarkan nilai internal individu
yang dimiliki. Pada proses penyusunan anggaran, nilai internal individu yang lebih mengutamakan kepentingan
diri sendiri akan menjadi penyebab terbentuknya senjangan anggaran karena hanya memikirkan kepentingan
pribadi saja dengan tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari perilaku tersebut. (Hobson, Mellon, dan
Steven, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah (2014) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara nilai achievement dengan terjadinya senjangan anggaran. Hipotesis yang
diajukan yaitu:
H1 : Nilai Achievement berpengaruh positif terhadap kecenderungan terjadinya Senjangan Anggaran
Nilai Power dan Senjangan Anggaran
Keterlibatan bawahan dalam penganggaran menunjukkan bahwa bawahan juga memiliki kewenangan dalam
penyusunan anggaran. Pernyataan dari Harrel dan Harrison (1994), terciptanya senjangan anggaran disebabkan
oleh dua hal yaitu kesempatan dan insentif. Proses penganggaran partisipatif menciptakan adanya kesempatan
bagi bawahan. Walaupun terbentuknya senjangan anggaran harus disertai juga dengan insentif yang
mendorongnya, namun senjangan anggaran tidak mungkin terjadi tanpa adanya kesempatan terlebih dahulu.
Penelitian yang dilakukan oleh Young (1985) menemukan bahwa partisipasi anggaran dari bawahan menyebabkan
terjadinya senjangan anggaran. Hubungan yang positif antara partisipasi dengan senjangan anggaran juga
ditemukan dalam Veronica dan Komang (2009), Aprilia dan Handayani (2011), dan Huseno (2017). Dalam
partisipasi anggaran, bawahan melakukan senjangan anggaran agar standar kinerjanya dapat terpenuhi (Schiff dan
Lewin, 1970 dalam Young, 1985). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah (2014)
menemukan bahwa nilai power yang dimiliki oleh individu berpengaruh secara positif terhadap terjadinya
senjangan anggaran. Hipotesis yang diajukan yaitu :
H2 : Nilai Power berpengaruh secara positif terhadap kecenderungan terjadinya Senjangan Anggaran
Nilai Tradition dan Senjangan Anggaran
Senjangan anggaran dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan dilema moral karena bawahan
mengambil sumber daya berlebih melalui cara – cara yang melanggar norma sosial dan aturan standar professional.
(Hobson, Mellon, dan Steven, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Douglas dan Wier (2000) dan Steven (2002)
mengkategorikan senjangan sebagai perbuatan yang tidak etis dan dapat dikurangi melalui pertimbangan moral
oleh individu. Rest, Thoma, dan Edwards (1997) mendefinisikan pertimbangan moral sebagai suatu konstruk
psikologis tentang bagaimana individu menentukan tindakan pada keadaan dan kondisi tertentu secara moral
adalah benar dan tindakan lain itu salah.
Dalam Hobson, Mellon, dan Steven (2011), orientasi nilai utilitarian atau relativisme akan mengurangi
pertimbangan moral, meningkatkan sensitivitas terhadap isu etis, dan meningkatkan keinginan manajer untuk
menciptakan senjangan anggaran dan perilaku anggaran yang menyimpang lainnya. Hal tersebut berbanding
terbalik dengan orientasi nilai deantologis, di mana menganggap senjangan anggaran sebagai perbuatan
menyimpang yang tidak sesuai dengan aturan moral universal. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh
Hobson, Mellon, dan Steven (2011) menemukan bahwa nilai tradition akan menyebabkan bawahan meningkatkan
pertimbangan moralnya terhadap senjangan anggaran. Ini berarti bawahan cenderung akan menganggap senjangan
anggaran sebagai perbuatan yang tidak etis apabila mempunyai nilai tradition yang kuat. Puspita, Khoiriyah, dan
Fuadah (2014) menemukan terdapat hubungan yang negatif antara nilai tradition dan senjangan anggaran.
Hipotesis yang diajukan yaitu :
H3 : Nilai Tradition berpengaruh secara negatif terhadap kecenderungan terjadinya Senjangan Anggaran

3. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif karena peneliti ingin menguji hipotesis yang telah
disusun sebelumnya dengan menggunakan data yang dianalisa secara statistik dan ditampilkan dalam bentuk
angka-angka. Populasi dalam penelitian ini adalah manajer (pejabat eselon II, III, dan IV) pada Instansi Pemerintah
pengguna APBN di lingkup wilayah bayar Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Dumai. Teknik pengambilan
sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jenis judgment sampling yang berarti terdapat
pertimbangan tertentu dalam pemilihan sampel. Kriteria pemilihan sampel adalah manajer-manajer yang memiliki
keterlibatan dalam proses penyusunan anggaran meliputi pejabat perbendaharaan pada satuan kerja instansi
pemerintah terdiri dari Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penandatangan
Surat Pemerintah Membayar (PPSPM), dan Bendahara. Penyebaran kuisioner dilakukan secara online dengan
mengirimkan tautan kuesioner melalui surat formal dari KPPN dan surat elektronik (surel) sehingga diharapkan
mendapatkan tingkat partisipasi responden yang lebih tinggi. 3.1 Variabel Penelitian
3.1.1 Variabel Dependen
Variabel dependen yang digunakan pada penelitian ini adalah kecenderungan terjadinya senjangan anggaran.
Young (1985) mendefinisikan senjangan anggaran sebagai perilaku bawahan yang berupaya merendahkan
kapabilitas produktivitasnya saat diberikan kesempatan untuk menentukan standar kinerjanya. Sedangkan menurut
Anthony dan Govindarajan (2012), senjangan anggaran adalah selisih antara jumlah anggaran yang disusun oleh
manajer dengan jumlah estimasi perusahaan sehingga manajer lebih mudah mencapai target yang dibebankan.
Instrumen pengukuran kecenderungan senjangan anggaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil
pengembangan dari instrument Dunk (1993) yang kemudian digunakan juga oleh Latuheru (2006) dengan
melakukan penyesuaian untuk organisai sektor publik. Terdapat enam indikator variabel senjangan anggaran yaitu
(a) penentuan standar (b) kepastian realisasi anggaran (c) keterbatasan jumlah anggaran (d) tuntutan target
anggaran (e) peningkatan efisiensi, dan (f) kesulitan dalam merealisasikan anggaran. Instrumen pengukuran
menggunakan skala likert lima poin dengan terendah adalah nilai 1 untuk sangat tidak setuju dan tertinggi adalah
nilai 5 untuk sangat setuju. Penentuan tingkat kecenderungan terjadinya senjangan anggaran berbeda tergantung
dengan item pertanyaan dalam kuesioner.
3.1.2 Variabel Independen
Terdapat tiga variabel independen dalam penelitian ini yang merupakan nilai internal indvidu yaitu nilai
achievement, nilai power, dan nilai tradition. Instrumen pengukuran menggunakan instrument yang
dikembangkan oleh Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah (2014) dan merupakan hasil pengembangan dari Aryani
(2010) dan Schwartz (1994). Instrumen ini mengukur nilai yang dianut oleh individu sebagai panduan dasar di
dalam hidupnya. Respon yang disediakan dalam instrument pengukuran menggunakan skala likert 9 poin dengan
nilai terendah adalah -1 dan nilai tertinggi adalah 7. Jawaban dengan nilai -1 menunjukkan nilai tersebut
bertentangan dengan responden, sedangkan jawaban dengan nilai 7 menunjukkan nilai tersebut sangat penting
bagi responden. 3.2 Uji Kualitas Data
Pengujian kualitas data adalah dengan uji validitas dan realibilitas. Pelaksanaan uji validitas yaitu dengan
menggunaan Pearson Product Moment atau analisis korelasi bivariate. Hasil korelasi yang didapatkan apabila
kemudian menunjukan tingkat signifikansi korelasi per item pengukuran terhadap total variabel di atas signifikasni
5% maka instrument pengukuran dinyatakan valid (Ghizali, 2013). Sedangkan untuk menganalisis validitas
instrumen secara keseluruhan dengan melihat pada kolom Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy
pada kotak KMO and Barlett’s Test hasil output program komputer. Jika nilai tersebut lebih besar dari 0,5 maka
instrumen penelitian dinyatakan valid. Keputusan untuk menentukan valid tidaknya instrumen juga dapat
dilihat pada kolom Barlett’s Test of Sphericity pada kotak KMO and Barleett’s Test. Apabila P-Value atau nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka instrument dinyatakan valid (Wahana Komputer, 2005, 107). Metode
pengukuran reliablitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode one shot, yaitu dilakukan pengukuran
sekali saja. Untuk uji reliabilitas adalah dengan mengukur cronbach’s alpha secara keseluruhan. Jika variabel
memiliki cronbach’s alpha lebih dari r tabel atau lebih besar dari 0,60 maka dikatakan bahwa konstruk tersebut
reliabel (Siregar, 2014).
3.3 Uji Asumsi Klasik
Dalam penelitian yang menggunakan alat analisis regresi linier, baik sederhana maupun berganda, harus
memenuhi uji persyaratan terlebih dahulu. Uji persyaratan tersebut yakni pengujian asumsi klasik yang meliputi
uji normalitas, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan
uji Kolmogorov Smirnov dimana tingkat signifikasi 0,05. Apabila probabilitas di bawah 0,05 maka residual tidak
terdistribusi normal, dan sebaliknya apabila probabilitas di atas 0,05 maka residual terdistribusi secara normal.
Pengukuran untuk mengidentifikasi adanya multikolinearitas umumnya menggunakan tolerance value dan
variance influence factor (VIF). Antar variabel independen tidak terdapat gejala multikolinearitas adalah jika
hasilnya menunjukkan nilai tolerance lebih dari sama dengan 0,10 dan nilai VIF kurang dari sama dengan 10.
Sedangkan pengujian heterokedastisitas menggunakan uji geyser. Apabila probabilitas signifikasi lebih besar dari
0,05, maka gejala heterokedastisitas tidak terjadi.
3.4 Pengujian Hipotesis
Pada penelitian ini metode analisis yang digunakan adalah metode statistik regresi berganda. Pada analisis
regresi berganda, variabel independen yang digunakan adalah lebih dari satu. Dalam hubungan antara variabel
independen dan variabel dependen, koefiesien regresi (β) menunjukkan kepentingan relatif dari masing – masing
variabel independen untuk memprediksi variabel dependen. Nilai koefisien regresi individual mengindikasikan
bagaimana pengaruh satu variabel independen terhadap variabel dependen (Sekaran, 2016:314). Persamaan
regresi pada penelitian ini diformulasikan sebagai berikut :
𝑌 = 𝛼 + 𝛽1𝑋1+ 𝛽2𝑋2+ 𝛽3𝑋3 + 𝜀 Keterangan :
Y : Senjangan Anggaran β1, β2, β3 : Koefisien regresi X2 : Nilai Power α :
Konstanta X1 : Nilai Achievement X3 : Nilai Tradition
Untuk pengujian hipotesis pengaruh variabel independen terhadap varibel dependen menggunakan uji koefisien
determinasi (R2), uji statistik F (simultan), dan uji statistik t (parsial). Uji koefisien determinasi (R 2) bertujuan
untuk menunjukkan besarnya pengaruh variabel indepeden terhadap variabel dependen. Range nilai dalam
koefisien determinasi adalah 0 < R2 < 1. Nilai R2 yang semakin mendekati 1 menunjukkan bahwa pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen semakin besar. Dan berlaku sebaliknya, apabila nilai R2 semakin
mendekati 0, maka pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen semakin kecil. Uji statistik F
(simultan) bertujuan untuk menguji apakah semua variabel yang dimasukkan dalam model secara bersama – sama
memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Tingkat signifikansi yang digunakan dalam pengujian ini adalah
sebesar 0,05. Kriteria dalam pengujian ini adalah membandingkan nilai F hitung dengan F tabel. Apabila nilai F
hitung > F tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima. Itu berarti variabel independen secara bersama-sama memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Jika nilai F hitung < F tabel maka berlaku sebaliknya
(Ghozali, 2013:98). Uji statistik t (parsial) bertujuan untuk menguji apakah variabel independen yang dimasukkan
dalam model secara individual memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Tingkat signifikansi yang dipakai
dalam uji statistik t adalah sebesar 0,05. Apabila p value lebih kecil dari 0.05 maka variabel independen
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Kriteria pengujian selanjutnya adalah dengan
membandingkan t hitung dengn t tabel. Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima yang menunjukkan
bahwa variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Dan berlaku
sebaliknya, apabila t hitung < t tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak yang menunjukkan bahwa variabel
independen secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. (Ghozali, 2013:98).

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Analisa Statistik Deskriptif
Tabel 1
Teoritis Praktis
Item Pengukuran
Kisaran Median Kisaran Mean SD
NA1 -1 s.d 7 3 -1 s.d 7 3 3,66 1,649
NA2 -1 s.d 7 3 s.d 7 5,77 1,220
NA3 -1 s.d 7 3 -1 s.d 7 5,15 1,412
NA4 -1 s.d 7 3 3 s.d 7 5,06 1,054
NA5 -1 s.d 7 3 2 s.d 7 5,65 1,356
Total 15 25,29
Nilai Achievement
Dari tabel 1 terlihat bahwa untuk jawaban responden bervariasi dari -1 sampai dengan 7. Nilai mean item
pengukuran berkisar antara 3,66 sampai dengan 5,77. Untuk item pengukuran NA1 yaitu fanatik (mengabdi
terhadap kepercayaan dan takdir) nilai mean yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan yang lain, dapat
disebabkan karena sebagian responden memandang nilai tersebut adalah negatif sehingga bertentangan atau tidak
penting dengan pribadinya. Secara keseluruhan nilai total rata – rata praktis (25,29) lebih besar dari nilai rata-rata
teoritis (15), hal ini menandakan bahwa responden memiliki nilai achievement yang tinggi. Tabel 2
Teoritis Praktis
Item Pengukuran
Kisaran Median Kisaran Mean SD
NP1 -1 s.d 7 3 1 s.d 7 5,00 1,318
NP2 -1 s.d 7 3 -1 s.d 7 4,98 1,713
NP3 -1 s.d 7 3 2 s.d 7 5,39 1,430
NP4 -1 s.d 7 3 2 s.d 7 5,65 1,344
NP5 -1 s.d 7 3 -1 s.d 7 4,71 1,430
Total 15 25,73
Nilai Power
Pada tabel 2 terlihat nilai mean item pengukuran nilai power berkisar antara 4,71 sampai dengan 5,65. Secara ke-
-seluruhan nilai total rata–rata praktis (25,73) jauh lebih besar dari nilai total rata-rata teoritis (15), hal ini
menandakan bahwa responden memiliki nilai power yang tinggi. Tabel 3
Teoritis Praktis
Item Pengukuran
Kisaran Median Kisaran Mean SD
NT1 -1 s.d 7 3 1 s.d 7 5,95 1,360
NT2 -1 s.d 7 3 -1 s.d 7 2 2,48 2,366
NT3 -1 s.d 7 3 s.d 7 5,66 1,514
NT4 -1 s.d 7 3 -1 s.d 7 3,05 2,028
NT5 -1 s.d 7 3 2 s.d 7 5,00 1,599
Total 15 22,14
Nilai Tradition
Pada tabel 3 terlihat nilai mean item pengukuran nilai tradition berkisar antara 2,48 sampai dengan 5,65. Item
pengukuran NT2 (tidak perhatian dengan isu yang berkembang) memiliki bobot nilai mean paling rendah dan
berada di bawah median teoritis. Hal ini disebabkan responden merupakan pegawai yang lokasi kerjanya tidak
dekat dengan pusat informasi sehingga memiliki akses yang lebih terbatas dibandingkan dengan pegawai yang
lokasi kerjanya berada dekat dengan pusat informasi. Item pengukuran NT1 (disiplin diri) dan NT 3 (taat terhadap
aturan) memiliki bobot nilai mean paling tinggi disebabkan responden adalah Aparatur Sipil Negara (ASN)
sehingga memandang penting kedua nilai tersebut. Secara keseluruhan nilai total rata – rata praktis (22,14) lebih
besar dari nilai total rata-rata teoritis (15), hal ini menandakan bahwa responden memiliki nilai tradition yang
tinggi.
Tabel 4
Teoritis Praktis
Item Pengukuran
Kisaran Median Kisaran Mean SD
SA1 1 s.d 5 3 1 s.d 5 2,94 0,807
SA2 1 s.d 5 3 3 s.d 5 4,08 0,775
SA3 1 s.d 5 3 2 s.d 5 2,35 0,630
SA4 1 s.d 5 3 1 s.d 5 3,55 0,970
SA5 1 s.d 5 3 1 s.d 5 3,58 1,033
SA6 1 s.d 5 3 1 s.d 5 3,84 0,927
Total 15
Kecenderungan Terjadinya Senjangan Anggaran
Dalam tabel 4 terlihat bahwa tingkat kecenderungan senjangan angaran yang tinggi ditunjukkan oleh item
pengukuran SA2 (kepastian realisasi anggaran), SA4 (tuntutan target anggaran), SA5 (peningkatan efisiensi), dan
SA6 (kesulitan dalam merealisasikan anggaran) dengan kisaran praktis nilai mean dari 3,55 sampai dengan 4,08.
Sedangkan tingkat kecenderungan terjadinya senjangan anggaran yang rendah ditunjukkan pada item pengukuran
SA1 (penentuan standar) dengan nilai mean 2,94 di bawah kisaran nilai median teoritis dan item pengukuran SA3
(keterbatasan jumlah anggaran) dengan nilai mean 2,35 yang berada di bawah kisaran nilai median teoritis. Secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tingkat kecenderungan terjadinya senjangan anggaran adalah tinggi dengan
hanya dua dari enam item pengukuran yang menunjukkan kecenderungan terjadinya senjangan anggaran rendah.
Hal ini diperkuat dengan nilai mean total sebesar 20,34 yang berada di atas nilai mean kisaran teoritis (18).
4.2 Hasil Uji Kualitas Data
Hasil uji validitas variabel dependen dan independen terlihat pada tabel 5. Berdasarkan Pearson Correlation,
hasil pengukuran keseluruhan item pertanyaan variabel dependen dan independen adalah valid dengan tingkat
signifikansi di bawah 5%.
Tabel 5
Nilai Pearson
Item Pengukuran Signifikansi Keterangan
Correlation
Nilai Achievement 0,510 – 0,703 0,000 Valid
Nilai Power 0,577 – 0,778 0,000 Valid
Nilai Tradition 0,575 – 0,829 0,000 Valid
Senjangan Anggaran 0,478 – 0,633 0,000 Valid
Instrumen pengukuran yang reliabel atau handal adalah instrumen yang stabil dan konsisten. Pengujian reliabilitas
instrumen pengukuran pada penelitian menggunakan metode Cronbach’s Alpha, di mana jika nilai koefisien
Cronbach’s Alpha on Standardized Items yang dihasilkan untuk suatu instrumen pengukuran variabel lebih besar
dari 0,6, maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel.Pada tabel 6 terlihat nilai koefisien Cronbach’s Alpha untuk
keseluruhan instrument pengukuran di atas 0,6, dengan demikian instrument Nilai Achievement, Nilai Power, Nilai
Tradition, dan Kecenderungan tejadinya senjangan anggaran dapat dinyatakan reliabel atau handal. Tabel 6
Variabel Cronbach’s Alpha Keterangan
Nilai Achievement 0,615 Reliabel
Nilai Power 0,709 Reliabel
Nilai Tradition 0,731 Reliabel
Senjangan Anggaran 0,638 Reliabel
4.3 Hasil Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dalam penelitian yang menggunakan alat analisis regresi linear diperlukan untuk memperoleh
persamaan regresi dengan nilai variabel independen yang efisien dan tidak bias. Hasil pengujian asumsi klasik
adalah sebagai berikut :
Uji Normalitas
Uji non-parametrik Kolmogorov Smirnov digunakan dalam penelitian ini untuk menguji normalitas distribusi dari
variabel pengganggu. Hasil pengujian normalitas terlihat pada tabel 7. Berdasarkan pengujian menunjukkan nilai
signifikansi sebesar 0,200 yang berada di atas tingka signifikansi 0,05. Hal ini berarti variabel pengganggu atau
nilai residual terdistribusi secara normal, sehingga dapat dilanjutkan untuk dilakukan analisis regresi parametrik
(uji t dan F).
Tabel 7
Variabel Asymp. Sig. (2-tailed) Keterangan
Unstandardized Residual 0,200 Normal
Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya korelasi atau hubungan antara variabel
independen. Hasil pengujuan multikolinearitas tampak pada tabel 8. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai
tollerance keseluruhan variabel independen di atas 0,10 dan nilai variance influence factor (VIF) di bawah 10.
Hal ini berarti di antara variabel independen tidak terjadi gejala multikolinearitas.
Tabel 8
Teoritis Keterangan
Item Pengukuran Multikolinearitas
Tollerance VIF
Nilai Achievement 0,303 3,300 Tidak
Nilai Power 0,310 3,229 Tidak
Nilai Tradition 0,908 1,102 Tidak
Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas diperlukan untuk melihat apakah nilai residual antara satu pengamatan ke
pengamatan yang lain terjadi perbedaan varians atau tidak. Pada penelitian ini uji heterokedastisitas menggunakan
uji geyser yaitu dengan cara meregresikan nilai absolut residual dengan variabel independen. Hasil pengujian
tampak pada tabel 9.
Tabel 9
Variabel Signifikasi Keterangan
Nilai Achievement 0,459 Homokedastisitas
Nilai Power 0,282 Homokedastisitas
Nilai Tradition 0,350 Homokedastisitas
Berdasarkan hasil pengujian dari regresi variabel independen terhadap nilai absolut residual, tingkat signifikansi
(p-value) berada di atas 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan tidak terjadi heterokedastisitas, sehingga dapat
dilanjutkan analisis regresi parametrik.
4.4 Hasil Pengujian Hipotesis
Uji Koefisien Determinasi (R2)
Nilai koefisien yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai adjusted R2 karena apabila menggunakan nilai
koefisien determinasi (R2) terdapat kelemahan yaitu hasilnya menjadi bias terhadap jumlah variabel bebas yang
dimasukkan dalam model (Ghozali, 2013:97). Penambahan variabel bebas ke dalam model akan semakin
meningkatkan nilai R2. Sedangkan dalam adjusted R2, jika terjadi penambahan variabel bebas, nilainya dapat
meningkat atau menurun.
Tabel 10
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate
1 .871a .758 .746 1.546

Berdasarkan hasil dari uji koefisien determinasi yang diperlihatkan pada Tabel 10, nilai koefisien adjusted R2
yang diperoleh adalah sebesar 0,758. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel – variabel nilai personal yang terdiri
dai nilai achievement, nilai power, dan nilai tradition mampu menjelaskan sebesar 75,8% dari variabel
kecenderungan terjadinya senjangan anggaran. Sedangkan sisanya sebesar 24,2% dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Uji Signifikansi Simultan
Berdasarkan hasil dari uji koefisien determinasi yang diperlihatkan pada Lampiran 8, p-value yang diperoleh
adalah sebesar 0,000 dengan nilai F hitung sebesar 60,672. Nilai F tabel untuk jumlah variabel dan sampel dalam
penelitian ini adalah sebesar 2,761. Dengan p-value > 0,05 dan nilai F hitung > F tabel, maka dapat dinyatakan
terdapat pengaruh bersama – sama variabel nilai achievement, nilai power, dan nilai tradition terhadap variabel
kecenderungan terjadinya senjangan anggaran.
Tabel 11
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 435.208 3 145.069 60.672 .000b


Residual 138.679 58 2.391
Total 573.887 61

Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)


Uji statistik t bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari masing – masing atau pengaruh parsial
variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil ringkasan dari uji signifikansi parameter individual terlihat
pada tabel 12.
Tabel 12
Variabel Β T Signifikasi
Nilai Achievement 0,462 5,439 0,000
Nilai Power 0,148 2,054 0,045
Nilai Tradition -0,075 -2,149 0,036
Nilai t pada variabel achievement menunjukkan nilai koefisien sebesar 5,439 lebih besar daripada nilai t tabel
(+1,6706) dan tingkat signifikansi 0,000 dibawah 0,05. Dengan demikian maka nilai achievement berpengaruh
secara positif dan siginifikan terhadap kecenderungan terjadinya senjangan anggaran. Maka dari itu Hipotesis
pertama diterima. Hipotesis kedua menyatakan bahwa nilai power berpengaruh positif terhadap kecenderungan
terjadinya senjangan anggaran. Dari hasil pengujian regresi diketahui bahwa nilai t untuk variabel achievement
sebesar 2,054 lebih besar dari nilai t tabel (+1,6706) dan tingkat signifikansi 0,045 lebih kecil dari 0,05. Hal ini
berarti bahwa nilai power berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kecenderungan terjadinya senjangan
anggaran. Maka dari itu dapat dinyatakan bahwa hipotesis kedua diterima. Hipotesis ketiga menyatakan bahwa
nilai tradition berpengaruh negatif terhadap kecenderungan terjadinya senjangan anggaran. Dari hasil pengujian
regresi diketahui bahwa nilai t untuk variabel achievement sebesar -2,149 lebih besar dari nilai t tabel (+1,6706)
dan tingkat signifikansi 0,036 lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti bahwa nilai tradition berpengaruh secara negatif
dan signifikan terhadap kecenderungan terjadinya senjangan anggaran. Maka dari itu dapat dinyatakan bahwa
hipotesis ketiga diterima.
Berdasarkan hasil uji regresi tersebut maka dapat disimpulkan persamaan regresi adalah sebagai berikut: SA
= 6,498 + 0,462 NA + 0,148 NP – 0,75 NT

4.5 Pembahasan
Berdasarkan pengujian hipotesis secara statistik, dari ketiga hipotesis yang diajukan mendapatkan bukti
empiris semuanya diterima. Variabel nilai achievement berpengaruh positif terhadap kecenderungan terjadinya
senjangan anggaran. Hal ini juga menandakan bahwa semakin tinggi nilai achievement yang dimiliki seseorang
semakin tinggi tingkat kecenderungan terjadinya senjangan anggaran. Hasil penelitian ini sejalan dan konsisten
dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah (2014) yang menyatakan bahwa semakin
tinggi keinginan individu untuk mencapai prestasi dan meraih kesuksesan agar di mata atasan terlihat berkinerja
baik, maka semakin tinggi keinginannya untuk melakukan senjangan anggaran. Kondisi yang terjadi pada instansi
pemerintah, sasaran (target) dalam anggaran baik pengeluaran maupun pendapatan dimasukkan sebagai item
pengukuran dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) satuan kerja. Hasil perhitungan pencapaian IKU ini kemudian
dijadikan dasar dalam menentukan reward dan punishment, seperti kenaikan grading tunjangan kinerja atau
pemberian bonus imbalan prestasi kerja. Hal semacam ini yang pada akhirnya membuat penyusun anggaran
cenderung membuat target anggaran lebih mudah dicapai supaya kinerjanya terlihat baik. Menurut Harrel dan
Horrison (dikutip oleh Douglas dan Wier, 2000), salah satu kondisi yang kemudian membentuk dan memperbesar
terjadinya senjangan anggaran adalah adanya insentif dengan mekanisme budget pay scheme, yaitu suatu
mekanisme dengan skema pembayaran berdasarkan pencapaian target kinerja dalam anggaran. Hasil penelitian
yang diperoleh kemudian mendukung pernyataan tersebut, bahwa semakin tinggi individu berupaya untuk
memberikan unjuk kinerja yang kompeten agar sesuai dengan tuntutan institusi, maka tingkat kecenderungan
terjadinya anggaran juga semakin tinggi. Nilai mengacu kepada tujuan yang ingin dicapai sehingga pada akhirnya
memotivasi tindakan individu. Terdapat dua sisi mata pisau dari nilai achievement. Pada sisi positifnya, nilai
achievement dapat berfungsi untuk memacu individu sehingga berperan aktif dan berkontribusi dalam mencapai
tujuan insitusi. Sementara pada sisi negatifnya, individu yang memegang teguh nilai achievement dan
mengutamakan kepentingan pribadi akan berusaha untuk mencapai penghargaan dan penerimaan sosial sehingga
justru akan mengganggu hubungan sosial yang harmonis dan menghambat tujuan institusi (Schawrtz, 2006). Sisi
negatif dalam nilai achievement tampak pada individu yang melakukan senjangan anggaran. Individu tersebut
tidak peduli akan akibat yang ditimbulkan dari tindakannya, yang diutamakan adalah bagaimana ia mampu untuk
menunjukkan kinerja yang baik.
Bukti empiris dari penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh positif nilai power terhadap kecenderungan
terjadinya senjangan anggaran atau semakin tinggi nilai power yang dimiliki individu maka semakin tinggi tingkat
kecenderungan individu tersebut untuk melakukan senjangan anggaran. Nilai power ini kemudian dapat
diasosiakan dengan kewenangan yang dimiliki melalui tingkat partisipasi dalam penyusunan anggaran. Model
penganggaran yang berlaku di organisasi sektor publik saat ini tidak ditekankan lagi pada model sentralistik (top
down), namun manajer atau pejabat perbendaharaan di tingkat unit kerja diberikan wewenang dan tanggung jawab
untuk menyusun anggaran berdasarkan kebutuhan kerjanya atau dengan kata lain penganggaran partisipatif
(bottom up). Hanya untuk proyek strategis dan skala nasional yang kemudian penganggarannya disusun pada
tingkat yang lebih tinggi (eselon I atau II) dengan model sentralistik, satuan kerja hanya bertindak sebagai
pelaksana anggaran. Sesuai dengan Harrel dan Horrison (dikutip oleh Douglas dan Wier 2000), bahwa terciptanya
senjangan anggaran disebabkan karena adanya kesempatan, salah satu bentuknya adalah melalui partisipasi
bawahan dalam penyusunan anggaran. Untuk itu hasil penelitian ini mendukung penelitian yang terkait dengan
partisipasi anggaran yaitu diantaranya dilakukan oleh Young (1985), bahwa partisipasi anggaran dari bawahan
menyebabkan terjadinya senjangan anggaran. Lebih lanjut, penelitian ini juga konsisten terhadap penelitian yang
dilakukan oleh Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah (2014), bahwa kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki bawahan
dalam rangka mencapai target kinerja akan memberikan peluang bagi bawahan dalam menciptakan senjangan
anggaran.
Penelitian ini membuktikan bahwa nilai tradition berpengaruh secara negatif terhadap kecenderungan
terjadinya senjangan anggaran, artinya semakin tinggi nilai tradition yang dimiliki individu maka tingkat
kecenderungan terjadinya senjangan anggaran akan semakin rendah. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan
Puspita, Khoiriyah, dan Fuadah (2014), bahwa semakin tinggi ketaatan dan kepatuhan individu terhadap adat
istiadat dan aturan, maka semakin rendah keinginan untuk menciptakan senjangan anggaran. Pembentukan nilai
tradition dalam setiap individu sangat dipengaruhi oleh keyakinan, norma perilaku, dan agama. Nilai tradition ini
kemudian digunakan oleh individu dalam menghadapi dilema moral (Hobson, Mellon, dan Steven, 2011). Individu
memutuskan suatu tindakan atau perilaku itu baik atau buruk berdasarkan kemungkinan konsekuensi dari nilai
yang dianutnya, artinya nilai memiliki peran sebagai sebuah standard atau kriteria (Schwartz, 2006). Individu
dengan nilai tradition yang kuat akan sulit menerima perbuatan tidak etis karena bertentangan dengan aturan moral
universal atau moral sosial. Menurut Kirby, Reichelstein, Sen, dan Paik (1991), senjangan anggaran merupakan
salah satu tindakan moral hazard, sehingga sejalan dengan penelitian ini apabila nilai tradition yang dimiliki
individu lemah maka akan semakin meningkatkan kecenderungan terjadinya senjangan anggaran. Penelitian ini
juga mendukung pernyataan Hobson, Mellon, dan Steven (2011), bahwa adanya peningkatan nilai tradition akan
meningkatkan pertimbangan moral sehingga individu enggan untuk melakukan senjangan anggaran.

5. Kesimpulan
Nilai Achievement dan nilai Power pada individu memiliki pengaruh yang positif dan siginifikan terhadap
kecenderungan terjadinya senjangan anggaran pada instansi pemerintah khususnya satuan kerja
kementerian/lembaga. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi nilai achievement dan nilai power yang
dimiliki seseorang, maka semakin tinggi tingkat kecenderungan terjadinya senjangan anggaran. Nilai Power dapat
diasosiasikan dengan tingkat kewenangan atau kekuasaan yang dimilik individu. Dengan kewenangan yang
dimiliki, penyusun anggaran melakukan senjangan anggaran untuk memudahkan dirinya mencapai target kinerja
dalam anggaran, sehingga mendapatkan reward atas prestasinya. Pelaku senjangan anggaran tidak peduli akan
dampak yang ditimbulkan bagi organisasi, yang lebih dipentingkan adalah pelaku tersebut memperoleh
penghargaan dan penerimaan sosial (self esteem). Sementara, bukti empiris dalam penelitian ini menunjukkan
pengaruh nilai tradition pada individu yang negatif dan signifikan terhadap kecenderungan terjadinya senjangan
anggaran pada organisasi sektor publik khususnya satuan kerja kementerian/lembaga. Hal ini membuktikan
bahwa, semakin tinggi nilai tradition yang dimiliki seseorang, akan menurunkan kecenderungan terjadinya
senjangan anggaran. Dengan ketaatan dan kepatuhan individu terhadap norma dan tatanan yang disediakan oleh
adat dan agama, maka individu akan berpikir ulang dalam melakukan senjangan anggaran karena menganggap
senjangan anggaran sebagai perbuatan yang tidak bermoral (tindakan moral hazard). Untuk itu Dalam rangka
mengurangi terjadinya senjangan anggaran pada instansi pemerintah, perlu dilakukan upaya peningkatan nilai
tradition. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagian Sumber Daya Manusia Kementerian/Lembaga terkait
dengan menanamkan nilai dan norma yang etis kepada pegawai dalam lingkungannya, sehingga dengan
pertimbangan moral yang tinggi pegawai akan memandang senjangan anggaran sebagai tindakan moral hazard.

Daftar Pustaka
Abdullah, S. & Asmara, J.A. (2006). Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah: bukti empiris
atas aplikasi agency theory di sektor publik. In Simposium Nasional Akuntansi IX Padang 23-26 Agustus.
pp. 1–27
Achmat, Z. (2010). Theory of planned behavior, masihkah relevan. Diakses dari: http://zakarija.staff.umm. ac. id
Adam, H. (2005). Pengaruh locus of control dan keidakpastian tugas pada hubungan antara partisipasi anggaran
dan keputusan kerja manajemen perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia (Tesis tidak
dipubikasikan). Program Pasca Sarjana Ilmu Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Brawijaya, Malang.
Ajzen, I. (1985). From intentions to actions: A theory of planned behavior. In Action control (pp. 11-39). Springer
Berlin Heidelberg.
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational behavior and human decision processes, 50(2),
179-211.
Anthony, N. R. dan Govindarajan, V. (2012). Management control system (edisi 12). Jakarta: Salemba Empat.
Aryani, A. (2010). Pengaruh nilai personal terhadap sikap akuntabilitas sosial dan lingkungan (Tesis tidak
dipublikasikan). Program Studi Magister Sains Akuntans Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang
Aprila, N. & Hidayani, S. (2012). The effect of budgetary participation, asymmetry information, budget emphasis,
and comitment organization to budgetary slack at SKPD governmental of Bengkulu city. Malaysia
Indonesia Conference on Economics, Management, and Accounting 2012, 13, 617-628
Bragg, S. M. (2014). Budgeting : The comprehensive guide. (Priyo Darmawan, Penerjemah). Jakarta : PT Indeks.
Cammann, C. (1976). Effects of the use of control systems. Accounting, Organizations and Society, 1(4), 301-13
Creswell, J.W (2007). Qualitative inquiry and research design : Choosing among five approach. Thousand Oaks,
CA : Sage Publications
Cyert, R. M., & March, J. G. (1963). A behavioral theory of the firm. Englewood Cliffs, NJ, 2, 169-187.
Merchant, K. A. (1985). Budgeting and the propensity to create budgetary slack. Accounting, Organizations and
Society, 10(2), 201-210.
Darlis, E. (2002). Analisis pengaruh Komitmen organisasional dan ketidakpastian lingkungan terhadap hubungan
antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran. The Indonesian Journal of Accounting Research,
5(1).
Deegan, C. & Unerman, J. (2006). Financial accounting theory. New York: McGraw-Hill Education.
Douglas, P. C., & Wier, B. (2000). Integrating ethical dimensions into a model of budgetary slack creation. Journal
of Business Ethics, 28(3), 267-277.
Dye, T. R. (1972). Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Dewi, N. P. & Erawati, N. M. A. (2014). Pengaruh partisipasi penganggaran, informasi asimetris, penekanan
anggaran, dan komitmen organisasi pada senjangan anggaran. Jurnal Akuntansi. 9(2), 476-486
Dunk, A. S. (1993). The effect of budget emphasis and information asymmetry on the relation between budgetary
participation and slack. Accounting review, 400-410.
Eisenhardt, K. M. (1989). Agency theory: An assessment and review. Academy of management review, 14(1),
5774.
Falikhatun (2007). Interaksi Informasi Asimetri, Budaya Organisasi, dan Group Cohesiveness dalam Hubungan
Antara Partisipasi Penganggaran dan Budgetary Slack. Simposium Nasional Akuntansi VII, Denpasar
Forrester, J. (2002). The principal-agent model and budget theory. Budget Theory in the Public Sector, Quorum
Books, 123-138.
Freeman, R.J. & Shoulder, C.D (2003). Govermental Nonprofit Accounting: Theory and Practice. Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall.
Fukukawa, K., Shafer, W. E., & Lee, G. M. (2007). Values and attitudes toward social and environmental
accountability: a study of MBA students. Journal of Business Ethics, 71(4), 381-394.
Ghozali, I. (2013). Aplikasi analisis multivariate dengan program IBM SPSS 21 update PLS regresi. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gilardi, F. (2001). Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of
delegation. In ECPR General Conference, Canterbury (UK) (pp. 6-8).
Halim, A. & Abdullah, S. (2006). Hubungan dan masalah keagenan di pemerintahan daerah: sebuah peluang
penelitian anggaran dan akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintah, 2(1), 53–64
Hansen, D.R. & Mowen, M.M. (2013). Accounting managerial (Deny Arnos K., Penerjemah)(8th ed.). Jakarta:
Salemba Empat
Harrell, A., & Harrison, P. (1994). An incentive to shirk, privately held information, and managers' project
evaluation decisions. Accounting, Organizations and Society, 19(7), 569-577.
Hidayat, W., & Nugroho, A. A. (2011). Studi empiris theory of planned behavior dan pengaruh kewajiban moral
pada perilaku ketidakpatuhan pajak wajib pajak orang pribadi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 12(2), 82.
Hobson, J. L., Mellon, M. J., & Stevens, D. E. (2011). Determinants of moral judgments regarding budgetary
slack: An experimental examination of pay scheme and personal values. Behavioral Research in
Accounting, 23(1), 87-107.
Huseno, T. (2017). Organizational commitment and environmental uncertainty moderating budget participation
on budgetary slack. Journal of Applied Management, 15(1), 106-115
Irfan, M., Santoso, B., & Effendi, L. (2016). Pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan
asimetri informasi, penekanan anggaran, dan komitmen organisasional sebagai variabel pemoderasi. Jurnal
Akuntansi dan Investasi, 17(2), 158-157
Januarti, I. (2011). Analisis pengaruh pengalaman auditor, komitmen profesional, orientasi etis, dan nilai etika
terhadap persepsi dan pertimbangan etis (auditor badan pemeriksa keuangan Indonesia). Simposium
Nasional Akuntansi XIV. Aceh.
Johnson, R.W. & Lee, R.D. (1998). Public budgeting sytem. Gaithersburg, Maryland: Aspen Publishers
Kartika, A. (2010). Pengaruh komitmen organisasi dan ketidakpastian lingkungan dalam hubungan antara
partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran (Studi empirik pada rimah sakit swasta di kota Semarang).
Kajian Akuntansi, 2(1), 39-60
Kirby, A. J., Reichelstein, S., Sen, P. K., & Paik, T. Y. (1991). Participation, slack, and budget-based performance
evaluation. Journal of Accounting Research, 109-128.
Kren, L. & Liao, W.M. (1988). The role of accounting information in the control of organizations: a review of the
evidence. Journal of Accounting Literature, 7, 280 – 309
KS, C. D., & Agustina, L. (2011). Pengaruh Participation Budgeting, Information Asimetry dan Job Relevant
Information terhadap Budget Slack pada Institusi Pendidikan (Studi pada Institusi Pendidikan Universitas
Kristen Maranatha). Jurnal Akuntansi, 2(2), 101-121.
Kuncoro, M. (2003). Metode riset untuk bisnis dan ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Kung, F. H., Huang, C. L., & Cheng, C. L. (2013). An examination of the relationships among budget emphasis,
budget planning models and performance. Management Decision, 51(1), 120-140.
Latuheru, B. P., (2006). Pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan komitmen organisasi
Sebagai variabel moderating. Jurnal Ekonomi Akuntansi, 117-130.
Lau, C. M. (1999). The effect of emphasis on tight budget targets and cost control on production and marketing
managers'propensity to create slack. The British Accounting Review, 31(4), 415-437.
Locke, E., & Latham, G. (1984). Goal setting: a motivational technique that works. Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall.
Locke, E. A. (1976). The nature and causes of job satisfaction: In handbook of industrial and organizational
psychology. Palo Alto: Consulting psychologists Press
Mardiasmo (2002). Otonomi dan manajemen keuangan daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Brownell, P. (1981). Participation in budgeting, locus of control and organizational effectiveness. Accounting
Review, 844-860.
Mardiasmo (2004). Akuntansi sektor publik (edisi II). Jakarta: Penerbit Andi.
Mayton, D. M., Ball-Rokeach, S.J. & Loges, W.E. (1994). Human values and social issues: An Introduction.
Journal of Social Issues, 50, 1–8
Merchant, K. A. (1981). The design of the corporate budgeting system: influences on managerial behavior and
performance. Accounting Review, 813-829.
Merchant, K. A., & Manzoni, J. F. (1989). The achievability of budget targets in profit centers: A field study. In
Readings in Accounting for Management Control (pp. 496-520). Springer, Boston, MA.
Meglino, B. M., & Ravlin, E. C. (1998). Individual values in organizations: Concepts, controversies, and research.
Journal of management, 24(3), 351-389.
Nafarin, M. (2015). Penganggaran perusahaan (edisi 3). Jakarta: Salemba Empat.
Nouri, H. (1994). Using organizational commitment and job involment to predict budgetary slack: A research
note. Accounting, Organizations and Society, 19(3), 289-295.
Nouri, H., & Parker, R. J. (1998). The relationship between budget participation and job performance: the roles of
budget adequacy and organizational commitment. Accounting, Organizations and society, 23(5-6),
467483.
Nugroho, S. (2013). Pengaruh ketidakpastian tugas, efektivitas pengendalian anggaran, dan job relevant
information terhadap kecenderungan menciptakan budgetary slack. (Skripsi tidak dipublikasikan). Jurusan
Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang.
Onsi, M. (1973). Factor analysis of behavioral variables affecting budgetary slack. The Accounting Review, July,
535–548.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Peraturan Menteri Keuangan nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran.
Pratiwi, R. N. (2012). Politisasi anggaran sektor publik. Jurnal Interaktif FISIP Universitas Brawijaya, 1(2).
Perdana, K.W. & Yasa,G.W (2017). Pengaruh partisipasi penyusunan anggaran pada budgetary slack dengan
komitmen organisasi dan etika sebagai variabel moderasi. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 18(3),
2346-2372. Diakses dari https://ojs.unud.ac.id
Puspita, L.M.N., Khoiriyah, R, & Fuadah, L. (2014). Pengaruh nilai personal terhadap budgetary slack. Simposium
Nasional Akuntansi XVII. Mataram
Rahmiati, E. (2013). Pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan asimetri informasi dan
komitmen organisasi sebagai pemoderasi (Studi empiris pada pemerintah daerah kota Padang). Jurnal
Akuntansi, 1(2).
Rest, J., Thoma, S., & Edwards, L. (1997). Designing and validating a measure of moral judgment: Stage
preference and stage consistency approaches. Journal of Educational Psychology, 89(1), 5-28
Rifqi, R.A. (2017). Pengaruh partisipasi anggaran terhadap kesenjangan anggaran dengan tekanan eksternal
sebagai variabel pemoderasi (Tesis tidak dipublikasikan). Program Magister Akuntansi Pascasarjana
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang.
Rokeach, M. (1973). The nature of human values. New York: Free press.
Schiff, M., and A. Y. Lewin. 1970. The impact of people on budgets. The Accounting Review, April, 259–268.
Schwartz, S. H. (1992). Universals in the content and structure of values: Theoretical advances and empirical tests
in 20 countries. Advances in experimental social psychology, 25, 1-65
Schwartz, S. H., 2006. Basic human values: Theory, measurement, and applications. The Hebrew University of
Jerusalem.
Sekaran, U. & Bougie, R. (2016). Research methods for business : A skill building approach (7th Edition).
Chicaster, West Sussex, United Kingdom : John Wiley & Sons
Shah, A. (Ed.).(2007). Public sector governance and sccountability series : Budgeting and budgetary institutions.
Diakses dari https://siteresources.worldbank.org/PSGLP/Resources
Shields, J. F., & Shields, M. D. (1998). Antecedents of participative budgeting. Accounting, Organizations and
Society, 23(1), 49-76.
Siegel, G. & Marconi, H.R. (1989). Behavioral Accounting. Cicinnati, Oho: South Western Publishing Co.
Singarimbun, M. (1995). Metode penelitian survei. Jakarta: LP3ES.
Siregar, S. (2013). Metode penelitian kuantitatif dilengkapi dengan perbandingan perhitungan manual dan SPSS.
Jakarta: Kencana.
Sparks, J. R., & Pan, Y. (2010). Ethical judgments in business ethics research: Definition, and research agenda.
Journal of Business Ethics, 91(3), 405-418.
Stevens, D. E. (2002). The effects of reputation and ethics on budgetary slack. Journal of Management Accounting
Research, 14(1), 153-171.
Su, C. C., & Ni, F. Y. (2013). Budgetary participation and slack on the Theory of Planned Behavior. International
Journal of Organizational Innovation (Online), 5(4), 91.
Sugiyono, S. (2009). Metode penelitian bisnis. Bandung: Alfabeta
Suhartono, E., & Solichin, M. (2006). Pengaruh Kejelasan Sasaran Anggaran Terhadap Senjangan Anggaran
Instansi Pemerintah Daerah Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Pemoderasi. Simposium Nasional
Akuntansi IX Padang
Sujana, I. K. (2010). Pengaruh partisipasi penganggaran, penekanan anggaran, komitmen organisasi, asimetri
informasi, dan ketidakpastian lingkungan terhadap budgetary slack pada hotel-hotel berbintang di kota
Denpasar. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis.
Thoifah (2015). Statistika Pendidikan dan Metode Penelitian Kuantitatif. Malang: Madani
Thorne, L. (2000). The development of two measures to assess accountants' prescriptive and deliberative moral
reasoning. Behavioral Research in Accounting, 12, 139.
Tim Penyusun (2009). Pedoman penerapan penganggaran berbasis kinerja (PBK). Jakarta : Departemen
Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Diakses dari http://anggaran.kemenkeu.go.id
Tim Penyusun Direktorat Penyusunan APBN (2014). Pokok – pokok siklus APBN di Indonesia : Penyusunan
konsep kebijakan dan kapasitas fiskal sebagai langkah awal. Jakarta : Direktorat Jenderal Anggaran,
Kementerian Keuangan. Diakses dari http://anggaran.kemenkeu.go.id
Triana, M., Yuliusman, Y., & Putra, W.E. (2012). Pengaruh partisipasi anggaran, budget emphasis, dan locus of
control terhadap slack anggaran. E-Journal Binar Akuntansi, 1(1), 51-56. Diakses dari
https://onlinejournal.unja.ac.id
Ulyadi (2016). Anteseden penganggaran partisipatif terhadap slack anggaran dengan trust sebagai variabel
intervening (Tesis tidak dipublikasikan). Program Magister Akuntansi Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang.
Undang – Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang – Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbedaharaan Negara
Veronica, A., & Krisnadewi, K. A. (2009). Pengaruh partisipasi penganggaran, penekanan anggaran, komitmen
organisasi, dan kompleksitas tugas terhadap slack anggaran pada bank perkreditan rakyat (BPR) di
kabupaten Badung. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis.
Widanaputra, A. A., & Mimba, N. P. S. H. (2014). The influence of participative budgeting on budgetary slack in
composing local governments’ budget in Bali province. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 164,
391-396.
Young, S. M. 1985. Participative budgeting: The effects of risk aversion and asymmetric information on budgetary
slack. Journal of Accounting Research, 23(Autumn), 829–42.

Anda mungkin juga menyukai