Lambaian tangan dari para pelaut mengiringi kapal meninggalkan pesisir, serta bunyi lonceng-
lonceng bersahut-sahutan menandai perjalanan mereka kembali ke laut lepas.
Angin mulai berhembus kencang tatkala kapal meninggalkan Nassau sembari membawa
muatan berharga di lambung kapal.
Suara derikan terdengar jelas di bawah kapal, ketika muatan berharga berpuluh-puluh ton itu
bergesekan satu sama lain.
Muatan itu ialah senjata-senjata berat nan berlaras panjang, dan kapal galiung tua ini
ditugaskan untuk mengantarkannya menuju Antigua, ribuan bermil-mil jauhnya dari Bahama.
Jauh di dataran Eropa, Inggris Raya sedang berperang hebat melawan kaum Republiken
Prancis, yang dimotori oleh Napoleon.
Spurance sendiri bukanlah sebuah kapal dagang ataupun sipil, melainkan kapal militer. Namun,
dikarenakan ukurannya yang luas, ia turut andil dalam mengirimkan muatan-muatan
persenjataan berat menuju pelabuhan-pelabuhan koloni Inggris.
Sesosok bayangan berjalan keluar menuju dek kapal disambut sorak-sorai oleh para awak kapal.
Will—itulah namanya—baru saja keluar dari kabinnya sembari angin laut yang kencang
menusuk mukanya yang sangar.
“Kapten ada di dek kapal!” – ucap Haggis seraya memberikan hormat diikuti oleh awak kapal.
Stuart, dengan santai masih tidur di balik kabin perwiranya. Saat pintu kabinnya digedor-gedor
oleh sang kapten, ia terbangun bak keheranan karena cahaya mentari telah masuk ke dalam
ruangannya.
Masih setengah sadar, Stuart membuka pintu dan disambut oleh Will, yang telah menunggu di
hadapannya.
Stuart adalah perwira muda yang di bawahi langsung oleh Will di Spurance, walau
pengalamannya di atas kapal amatlah sedikit.
Will kembali keluar menuju dek, dan mengontrol kemudi kapal.
Haggis sendiri merupakan bosun—kepala dek kapal—dan yang paling senior diantara awak
kapal. Ia sudah berlayar bersama Will selama belasan tahun, dan ia paling dihormati oleh para
awak kapal.
Firasat Will pun menjadi tidak enak. Sontak, ia mendengar sebuah suara asing yang perlahan-
lahan mendekati kapal.
Tatkala suara yang dipancarkan dari luar kabut itu terasa seperti memanggil-manggil.
Di dek, para pelaut saling tatap-menatap, mereka menjadi cemas saat suara itu bak meneror
penjuru kapal.
Suasana yang mulanya tenang berubah menjadi kepanikan ketika kapal privatir itu
menembakkan meriam ke sisi kanan kapal.
“Bentangkan penuh layar dan siapkan meriam” – teriak Will memberi komando.
Puluhan bola meriam terbang di cakrawala dan menabrak ke lambung musuh, mengakibatkan
kerusakan di lambung kapal.
Kru penembak pun dengan sigap mengisi kembali bola meriam dan menanamkan mesiu.
Pada kesempatan kedua, puluhan bola meriam terbang dan mengenai dek kapal musuh,
mengakibatkan lambung musuh keropos seketika.
Tak lama, kapal privatir itu kabur dari pertarungan setelah ditimpa kerusakan berat pada
lambung kapal.
Stuart pun bersorak, diikuti oleh sorak-sorai gembira oleh kru penembak.
Meskipun kapal privatir itu hanya sekelas korvet, namun kemenangan tetaplah kemenangan
bagi Spurance.
“Rupanya Spurance tua ini masih bisa melawan” – ucap Will sembari merasakan angin sepoi-
sepoi menghampiri tubuhnya.
Spurance memang sudah tak belia lagi, usianya sudah menyentuh angka kepala dua, ditambah
lagi warna cat pada lambungnya mulai memudar termakan usia.
Kendatipun, Will mengangap Spurance sebagai rumah keduanya, karena itu ia tidak mau
mengganti kapal kesayangannya dengan kapal yang lain.