Anda di halaman 1dari 3

“Jangkar sudah terangkat!

” – lapor Haggis sembari memberikan perintah kepada para awak,


pertanda kapal akan meninggalkan pelabuhan.

Lambaian tangan dari para pelaut mengiringi kapal meninggalkan pesisir, serta bunyi lonceng-
lonceng bersahut-sahutan menandai perjalanan mereka kembali ke laut lepas.

Angin mulai berhembus kencang tatkala kapal meninggalkan Nassau sembari membawa
muatan berharga di lambung kapal.

Suara derikan terdengar jelas di bawah kapal, ketika muatan berharga berpuluh-puluh ton itu
bergesekan satu sama lain.

Muatan itu ialah senjata-senjata berat nan berlaras panjang, dan kapal galiung tua ini
ditugaskan untuk mengantarkannya menuju Antigua, ribuan bermil-mil jauhnya dari Bahama.

Jauh di dataran Eropa, Inggris Raya sedang berperang hebat melawan kaum Republiken
Prancis, yang dimotori oleh Napoleon.

Takut akan kehilangan jajahannya, Inggris pun gencar-gencarnya memperkokoh koloninya di


seberang lautan—Karibia—dengan mengirimkan bantuan persenjataan melalui kapal-kapal
dagang.

Spurance sendiri bukanlah sebuah kapal dagang ataupun sipil, melainkan kapal militer. Namun,
dikarenakan ukurannya yang luas, ia turut andil dalam mengirimkan muatan-muatan
persenjataan berat menuju pelabuhan-pelabuhan koloni Inggris.

Sesosok bayangan berjalan keluar menuju dek kapal disambut sorak-sorai oleh para awak kapal.

Will—itulah namanya—baru saja keluar dari kabinnya sembari angin laut yang kencang
menusuk mukanya yang sangar.

“Kapten ada di dek kapal!” – ucap Haggis seraya memberikan hormat diikuti oleh awak kapal.

Tampak diantara kerumunan-kerumunan pria itu ada sesuatu yang janggal.

“Stuart, di mana ia?”

Stuart, dengan santai masih tidur di balik kabin perwiranya. Saat pintu kabinnya digedor-gedor
oleh sang kapten, ia terbangun bak keheranan karena cahaya mentari telah masuk ke dalam
ruangannya.

Masih setengah sadar, Stuart membuka pintu dan disambut oleh Will, yang telah menunggu di
hadapannya.

Stuart menyeringai, dan Will membawa paksa ia keluar kabin.

Stuart adalah perwira muda yang di bawahi langsung oleh Will di Spurance, walau
pengalamannya di atas kapal amatlah sedikit.
Will kembali keluar menuju dek, dan mengontrol kemudi kapal.

“Kapten memegang kendali!” – teriak dari Haggis.

Haggis sendiri merupakan bosun—kepala dek kapal—dan yang paling senior diantara awak
kapal. Ia sudah berlayar bersama Will selama belasan tahun, dan ia paling dihormati oleh para
awak kapal.

Saat memegang kendali, tiba-tiba kapal memasuki daerah berkabut.


Tak ada yang bisa dilihat di sekeliling kapal, hanya kabut tebal lah yang mengitari mereka.

Firasat Will pun menjadi tidak enak. Sontak, ia mendengar sebuah suara asing yang perlahan-
lahan mendekati kapal.

Tatkala suara yang dipancarkan dari luar kabut itu terasa seperti memanggil-manggil.

Di dek, para pelaut saling tatap-menatap, mereka menjadi cemas saat suara itu bak meneror
penjuru kapal.

Saat suara itu semakin mendekat, para pelaut berteriak:


“Privatir Prancis, sisi timur!”

Suasana yang mulanya tenang berubah menjadi kepanikan ketika kapal privatir itu
menembakkan meriam ke sisi kanan kapal.

“Bentangkan penuh layar dan siapkan meriam” – teriak Will memberi komando.

Para awak Spurance terpontang-panting membentangkan layar di dek.


Sementara itu di lambung kapal, Stuart memberi perintah kepada kru penembak.

“Tembak!” – teriak Stuart kepada kru.

Puluhan bola meriam terbang di cakrawala dan menabrak ke lambung musuh, mengakibatkan
kerusakan di lambung kapal.

Kru penembak pun dengan sigap mengisi kembali bola meriam dan menanamkan mesiu.

“Tembak!” – ucap Stuart kedua kalinya.

Pada kesempatan kedua, puluhan bola meriam terbang dan mengenai dek kapal musuh,
mengakibatkan lambung musuh keropos seketika.

Tak lama, kapal privatir itu kabur dari pertarungan setelah ditimpa kerusakan berat pada
lambung kapal.

Stuart pun bersorak, diikuti oleh sorak-sorai gembira oleh kru penembak.
Meskipun kapal privatir itu hanya sekelas korvet, namun kemenangan tetaplah kemenangan
bagi Spurance.

“Kerusakan kecil pada lambung kanan, kapten!”


“Apakah dapat ditambal di laut?” – timpa Will
Haggis mengangguk dan Will bernafas dengan lega sembari memegang kemudi kapal.

“Rupanya Spurance tua ini masih bisa melawan” – ucap Will sembari merasakan angin sepoi-
sepoi menghampiri tubuhnya.

Spurance memang sudah tak belia lagi, usianya sudah menyentuh angka kepala dua, ditambah
lagi warna cat pada lambungnya mulai memudar termakan usia.
Kendatipun, Will mengangap Spurance sebagai rumah keduanya, karena itu ia tidak mau
mengganti kapal kesayangannya dengan kapal yang lain.

Heningnya malam menembus penjuru kapal, H

Anda mungkin juga menyukai