Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Perang Riau

Perang Riau

Ketika iring-iringan kapal Belanda yang terdiri dari kapal-kapal “Dolphijn”, “Hof ter
Linden”, "Gurab Snelheid”, pencalang-pencalang “Rusterburg”, “FIlippine” dan
“Phoenix” pada tanggal 18 Juni 1783 memasuki perairan Riau, orang-orang Belanda itu
menjadi terkejut menyaksikan persiapan pertahanan sudah dibuat dengan demikian sempurna.

Buku harian Toger Abo, seorang bangsa Denmark yang bekerja dengan VOC dan menjadi
pimimpin ekspedisi ini, menggambarkan dengan jelas bagaimana jalan masuk ke Teluk Riau
sudah dikawal dengan ketat, dan sarang-sarang meriam melindungi pantai Pulau Penyengat (yang
disebut pulau Mars oleh orang Belanda), Tanjungpinang, Teluk Keriting dan Pulau Bayan
diperkuat dengan batang-batang kelapa yang padat diisi dengan tanah berlapis-lapis (dan ada pula
yang dibuat dengan batu karang direkat dengan semen).

Surat pernyataan perang yang dikirimkan kepada pihak Riau segera dijawab oleh Yang Dipertuan
Muda Raja Haji pada tanggal 21 Juni dengan sikap yang sedikitpun tidak memperlihatkan rasa
takut. Sumber lisan yang dipakai oleh Raja Ali Haji dalam menuliskan kroniknya Tuhfat Al-Nafis
menyatakan bagaimana Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji memimpin sendiri peperangan itu
dengan berpindah dari satu perahu ke perahu lainnya. Gambaran iin dapat disbanding dan
dibanding dengan sumber Belanda seperti E.Netscher dengan De Nederlanders in Djohor en Siak.
Kejadian itu mungkin sekali terjadi pada tanggal 23 Juni 1783 sewaktu angin mati dan perahu-
perahu kecil kenaikan Raja Haji itu berjumlah 46 atau 47 buah. Serangan dari pihak Riau yang
tadinya ditujukan kepada gurab “Snelheid” segera dialihkan sasarannya pada kapal
“Dolphijn” yang sedikitpun tak bergerak karena kematian angin.
perang riau
Lukisan pendaratan Pasukan Belanda di Tanjungpinang

Karena sejak hari-hari permulaan peperangan VOC merasakan tak menguntungya pihaknya, Toger
Abo lalu memerintahkan untuk mengadakan rapat pada tangga 26 Juni. Hasil rapat itu
memutuskan agar semua kapal dengan 910 orang personil itu menyingkir ke Lobam, mencegat
pemasukan beras dan obat bedil ke Teluk Riau, dan menghemat amunisi. Kapal bantuan bernama
“Getruida Suzanna” datang beberapa hari kemudian dengan 92 personil.

Pada tanggal 17 Juli 1783, datang lagi ke perairan Riau bantuan untuk pihak VOC berupa selub
“Ondernemer” , “Ciceroa”, dan “Johanna” dengan jumlah personil sebanyak 196 orang.
Perintah dari Melaka agar seluruh kapal kembali ke posisi semula di sekitar Pulau Penyengat dan
terus mengusir kapal-kapal yang akan masuk ke teluk. Pada penghujung bulan Agustus dan
permulaan bulan September datang lagi kekuatan tambahan dari Melaka berupa kapal-kapal “De
Jonge Hugo”. “William Frederick”, “De Handelaar” yang semuanya terdiri dari 306
personil.

Pertempuran terjadi hampir setiap hari. Pulau Penyengat yang waktu itu masih berupa kubu yang
dijaga oleh pasukan yang berasal dari Siantan didarati dan semua penjaganya dihabisi. Perhatian
kapal-kapal kompeni terutama tertuju pada perahu-perahu bermuatan beras dan mesiu yang
hendak masuk ke teluk. Setelah blockade itu semakin ketat, pihak VOC menyangka keadaan
logistic kerajaan Riau sudah sulit. Akan tetapi ternaya orang-orang terus juga memasukkan
(terutama beras dari Siam dan Pulau Jawa) melalui jalur alternative Terusan Riau yang sama sekali
tidak diketahui oleh pihak kompeni Belanda. dari surat-surat yang berhasil dirampas dari perahu-
perahu yang hendak keluar dari kawasan pertempuran dapat diketahui oleh pihak Belannda bahwa
Raja Haji ada menjalin hubungan dengan raja-raja di Pulau Jawa untuk berperang bersama-sama.
Akan tetapi sumber Belanda yang memberitahukan hal ini (Netscher, 1870) tidak menyebutkan
nama raja-raja atau penguasa di Pulau Jawa yang dihubungi oleh Raja Haji itu.

Pada tanggal 21 September 1783 pihak Riau melakukan serangan besar yang menyulitkan pihak
lawan sehingga kapal “Hof Ter Linde” terpaksa dipotong tali jangkarnya dan menjauhi jarak
tembak penyerang-penyerang Riau. Di kapal-kapal Belanda orang menderita karena sakit radang
perut dan disentri. Sudah selama itu mereka berada di perairan Pulau Bintan, pendaratan belum
juga dilaksanakan. Sumber-sumber Belanda mengakui kegigihan para pejuang Riau yang
bertempur dengan semangat tinggi sepanjang hari dan beristirahat pada malam hari. Bantuan
selanjutnya yang datang pada 7 November 1783 yaitu kapal “De Diamant” dan beberapa kapal
kecil lainnya dengan 331 orang personil, dan sebuah kapal yang akan menentukan peperangan di
perairan Riau yang sudah berlangsung selama enam bulan itu: kapal “Malakka’s Welvaaren”.

Sumber setempat menyatakan bahwa pemimpin pihak Belanda itu menjumpai Yang Dipertuan
Muda Riau Raja Haji untuk berunding. Akan tetapi maksud tersebut ditolah oleh Raja Haji karena
pihak lawan mengajukan syarat agar diperbolehkan membawa masuk ke dalam Teluk Riau sebuah
kapal besar mereka. Sumber Belanda tidak menceritakan tentang hal ini.

Dalam suatu rapat menjelang akhir tahun 1783 pihak kompeni Belanda memutuskan untuk
mengadakan serangan besar dan pendaratan pada tanggal 6 Januari 1784. Pada subuh hari yang
sudah ditentukan itu air laut surut jauh, namun kapal-kapal Belanda yang sudah sejak malamnya
mendekati sasaran serangan dan pendaratan. Segera tembakan gencar dari kapal-kapal Belanda itu
dibalas dengan seimbang oleh sarang-sarang meriam yang sudah siap di darat.
Menjelang pukul 11 siang beberapa perahu besar milik pihak Riau berhasil ditenggelamkan dan
sarang-sarang meriam pun banyak pula yang tidak lagi menembakkan balasan. Karena kehabisan
obat bedil? Pihak Belanda mengira itulah waktunya tinggal melakukan satu pukulan penghabis
atau yang biasa disebut coup de grace saja lagi utnuk mengalahkan lawan. Kapal-kapal Belanda
pun mulai memasuki teluk Riau mengikut arus air pasang dalam suasana yang senyap dan
mendebarkan. Ketika itulah kapal “Malakka’s Welvaaren” kandas pada beting yang jaraknya
kira-kira 100 meter dari bukit tempat sebuah sarang meriam menanti. Untuk lepas dari beting itu
harus menunggu air laut benar-benar pasang.

Pukul dua siang, detasemen pasukan Eropa yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Perancis
(dipimpin oleh seorang komandan bangsa Belanda yang tak mengerti bahasa Perancis) mendarat
disebelah selatan bukit Tanjungpinang. Bargas yang mereka naiki kandas sehingga pasukan itu
terpaksa mengarung air laut untuk mencapai pantai.

Pendaratan ini sangat kacau jadinya, termasuk karena persoalan bahasa. Dalam kemelut inilah
tiba-tiba sarang meriam diatas bukit yang menghala ke arah “Malakka’s” welvaaren”
melepaskan tembakan dan kapal itu un meledak dengan sangat dahsyat, berkeping-keping
sehingga membingungkan penulis kronik seperti E.Netscher. Sedangkan Raja Ali Haji dalam
Tuhfat al-Nafis memberikan keterangan tentang hal itu dengan mengatakan bahwa ada beberapa
peti obat bedil yang hendak dibawa kedarat oleh pasukan Riau hanyut kearah kapal nahas itu. Dan
hanya satu peti saja yang berhasil dibawa ke sarang meriam di darat. Dari kapal “Malakka’s
Welvaaren” itu Cuma dua orang Eropa dan tujuh orang pribumi yang dapat diselelamatkan.
Dengan kejadian ini seluruh penyerang yang terdiri dari 1900 orang personil ini lalu
mengundurkan diri ke Melaka pada tanggal 23 Januari 1784.

Untuk pasase ini kemenangan secara mutlak berada di pihak Riau. Nama Raja Haji sebagai
pemimpin perang bukan saja diucapkan oleh orang Riau, tapi juga oleh pohon-pohon dan semua
daun dan akarnya, bahkan oleh tembok-tembok batu di jalan, kalau hendak dipakai juga ungkapan
puitis.
Pendapat E.Netscher tentang kekalahan VOC di Riau akibat terbakarnya kapal “Malakka’s
Welvaaren” yang dikatakannya sebagai “kebetulan” itu untuk pertama kali disanggah oleh
Marhaban Fakih dari lembaga sejarah ABRI ketika menjadi pembanding makalah Hasan Junus
pada “seminar sejarah Kepahlawanan Bangsa Indonesia di Riau” yang berlangsung di Medan
tanggal 30-31 Mei 1988. Ia menyebutkan bahwa apa yang oleh E.Netscher disebut “kebetulan”
itu sebenarnya merupakan taktik.

Reinout Vos (1993:151) pun menyatakan hal serupa. Ia membantah pendapat Netscher (1870:183)
tersebut dengan keras. Keheningan suasa ketika sarang-sarang meriam di bukit-bukit membisu
sangatlah mencekam, dan kapal-kapal Belanda dengan tenang memasuki perangkap yang sudah
dibukan lebar-lebar oleh pasukan Raja Haji. Kapal andalan Belanda ditembak dengan perhitungan
masak dan kemenangan Perang Riau samasekali bukan suatu kebetulan.

Anda mungkin juga menyukai