Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Palembang merupakan kota yang strategis di Sumatera Selatan. Sebagai
kota tua, Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat.
Keberadaan Palembang yang dibagi oleh Sungai Musi menambah
eksotismenya. Ciri khas Kota Palembang sebagai kota yang sangat didominasi
oleh air, bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah dipromosikan
sebagai Venetie van het Verre Oasten atau Venesia dari Timur Jauh.
Kekayaan alam Sumatera Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari
bangsa asing.
Setelah Perang Dunia II, Sekutu membonceng NICA ke Indonesia
dengan maksud agar Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI
dan Belanda semakin menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, laskar dan
rakyat berusaha mempertahankan Kemerdekaan yang telah dicapai pada 17
Agustus 1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan
pertempuran besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung
Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan
lain-lain. Di Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang dikenal
dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang. Pertempuran ini
terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang
tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang
tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat
berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena tinjauan
Belanda terhadap Palembang dari aspek politik. ekonomi dan militer. Dalam
aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin
membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah
menguasai Jawa dan Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota
Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat

1
penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong. Selain itu, dapat pula
perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika
ditinjau dari segi militer, sebenarnya Paskan TRI dan pejuang yang
dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif
mempunyai persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan-
pasukan di luar kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota
Palembang secara total, maka akan mempermudah gerakan operasi militer
mereka ke daerah-daerah pedalaman.
Peranan rakyat sangat besar dalam Pertempuran Lima Hari Lima Malam.
Motivasinya perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan khususnya para
pejuang di daerah Sumatera Selatan yakni adanya sense to be a nation, rasa
harga diri sebagai suatu bangsa yang telah merdeka. Semboyan Merdeka atau
Mati yang berkumandang semasa periode Perang Kemerdekaan adalah wujud
usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Provokasi Belanda?
2. Bagaimana Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam?
3. Bagaimana Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Provokasi Belanda.
2. Untuk Mengetahui Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam.
3. Untuk Mengetahui Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Provokasi Belanda
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang
Pertempuran Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila
dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki
oleh Sekutu (NICA), seperti Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-
lainnya, yang masih terdapat pemerintahan RI lengkap dengan pasukan,
karena keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh kepala pemerintah
setempat. Setelah Belanda menggantikan Inggris di Palembang pada 24
Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi Komandan territorial Belanda
untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung, Bangka, dan jambi).
Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda berlangsung pada 7
November 1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda menuntut garis
demarkasi yang lebih jauh. Untuk mencegah timbulnya insiden dilakukanlah
perundingan antara pihak Belanda dan RI pada November 1946.

Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak
akan memperluas atau melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh
Inggris dan akan memelihara status quo. Sementara itu di Palembang mulai
dilakukan pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI, sedangkan

3
pihak Belanda giat menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di
Palembang.
Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-
pasukannya di Kota Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda
mulai melakukan pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang
Lampung Jambi Singapura, yang bertujuan untuk mengadakan blokade
ekonomi dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik antara
Jambi, Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi,
barang kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diseludupkan dari
Singapura. Dr. A.K. Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut
untuk memperkuat perjuangan sehingga dia dijuluki The biggest smuggler of
South East.
Panglima Komando Sumatera, Jendral Mayor Suharjo Harjowardoyo
mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di
Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-
pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama
yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi
dari pemerintah pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo
bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di
Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demargasi yang telah
ditentukan. Dua buah jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari Talang
Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang jalan Sudirman).
Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan yang
membabibuta. Pancingan itu mendapatkan jawaban dari pasukan RI.
Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya. situasi
Palembang dalam kondisi cease fir. Insiden ini menunjukkan akan meletusnya
perang yang lebih besar, karena Belanda berusaha meningkatkan
pertahanannya.

4
Penghentian tembakan-tembakan tersebut tidaklah berlangsung lama,
Belanda kembali melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946, berupa
terjadi penembakan terhadap Letnan Satu A. Rivai, Komandan Divisi
Dua, yang mengendarai sepeda motor Harley Davidson saat sedang
melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos pertahanan TRI-
Subkoss/Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan
senjata otomatis oleh pasukan Belanda yang berada di Charitas. Letnan
Satu A. Rivai berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat
mengenai perutnya.
Provokasi Belanda terus terjadi pada tanggal 31 Desember 1946
menyebabkan insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda
melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan Jendral
Sudirman. Mobil tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan
tembakan-tembakan. Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid
Agung dan sekitar rumah penjara Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan
pengepungan dan serangan terhadap kekuatan Belanda di Charitas
sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan menerima bantuan dari
luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol Hasan
Kasim) dan Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk menghentikan
tembak-menembak (cease fire).
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah
untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda
melakukan serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu

5
beberapa jam sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda
melakukan penembakan dengan mortir ketempat dimana Pasukan
TRI/Lasykar berada yaitu di Gedung Perjuangan (sekarang pusat
perbelanjaan Bandung), di daerah dekat Sungai Jeruju, daerah Tangga
Buntung, dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir kesepakatan
penghentian tembak-menembak oleh Belanda. Insiden-insiden yang terjadi
pada akhir tahun 1946 tersebut menjadikan situasi di Kota Palembang dan
sekitarnya menjadi panas (Perwiranegar, 1987: 58). Insiden yang terjadi
sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan
agar terjadi pertempuran yang lebih besar.
Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi,
sebuah kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng
dengan kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang
sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam suntuk
merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan
Tengkuruk membelok dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam
Effendi) lalu menuju Sayangan, kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran
di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas Pasukan RI/Lasykar seperti
Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist, rumah kediaman
A.K. Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15, dan Markas
Polisi Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin militer dan Lasykar
mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi
provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur
Muda M. Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang
Utoyo, Gubernur Muda M. Isa, maupun Panglima Lasykar 17 Agustus,
Kolonel Husin Achmad menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi
Belanda, pihak RI bertindak tidak lagi sekedar membalas serangan,
melainkan harus berinisiatif untuk menggempur semua kedudukan dan
posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor. Kepala staf Devisi II, Kapten

6
Alamsyah, mengeluarkan perintah Siap dan Maju untuk bertempur
menghadapi Belanda.

B. Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam

1. Front Seberang Ilir Timur


Front Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk
sampai RS Charitas Lorong Pagar Alam Jalan Talang Betutu 16 Ilir
Kepandean Sungai Jeruju Boom Baru Kenten. Pertempuran pertama
terjadi pada hari Rabu 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan
tembakan yang terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di
sekitar RS Charitas. RS Charitas berada di tempat yang strategis karena
berada di atas bukit sehingga menjadi basis pertahanan yang baik bagi
Belanda. Daerah Front Seberang Ilir (RS Charitas) menjadi tanggung
jawab dari Komandan Resimen Mayor Dani Effendi. Basis strategi
pertahan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid
Agung, simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar
Cinde), Lorong Candi Angsoko dan di Jalan Ophir.
Dibawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan
serangan ke Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu. Serangan
ini dilakukan bersama dengan satu kompi dan Batalyon Kapten Animan
Akhyat yang bertahan di simpang Jalan Talang Betutu (Perwiranegara,

7
1987: 67). Tujuan serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda
yang datang dari arah Lapangan Udara Talang Betutu menuju arah
Palembang dan menghalangi hubungan antara pusat pertahanan Belanda di
RS Charitas dengan Benteng.
Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank
dan panser untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di
sepanjang Jalan Tengkuruk. Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor
Pos dan Kantor Telepon melalui perlawanan yang seru dari Pasukan TRI.
Dengan berhasilnya Belanda menduduki Kantor Telepon, maka hubungan
melalui alat komunikasi menjadi terputus secara total. Setelah itu, belanda
memperluas gerakannya hingga menduduki Kantor Residen dan Kantor
Walikota. Pasukan TRI yang berada di daerah tersebut mengundurkan diri
ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean sedangkan di RS Charitas,
kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan dari Pasukan TRI.
Pada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama
diarahkan terhadap pasukan dan pertahan Belanda di RS Charitas. Namun,
Belanda berhasil menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu
berhadapan dengan Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Anima Achyat.
Belanda telah memperkuat tempat-tempat yang telah mereka kuasai,
terutama di depan Masjid Agung. Sementara itu, kapal-kapal perang
(korvet) Belanda mulai hilir mudik di Sungai Musi sambil menembakan
peluru mortirnya kesegala arah. Secara spontanitas, rakyat dan pemuda di
dalam kota dan luar kota turut serta bertempur melawan Belanda.
Mobilisasi umum di kalangan masyarakat agraris-tradisional terus
berlangsung untuk menghadapi Belanda. Melihat kemajuan-kemajuan
dipihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian, bahkan
melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan
makanan, bantuan dari Baturaja, Lubuk Linggau, dan Lahat. Rakyat yang
berada di Front Seberang Ilir menjadi sangat menderita karena
keterbatasan kesediaan pangan akibat Sungai Musi dikuasai Belanda dan
penembakan kereta api. Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando

8
Divisi II tidak lagi aman, maka dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah
Kenten, tepatnya di Jalan Duku. Hal ini disebabkan karena Belanda terus-
menerus melakukan pengintaian dan pengeboman terhadap markas-markas
Pasukan TRI/Lasykar.
Keberhasilan pengeboman jarak jauh yang dilakukan Belanda tidak
terlepas dari peranan para pengintai atau mata-mata. Ternyata dalam
pemeriksaan dan interogerasi yang dilaksanakan, memberi banyak
petunjuk bahwa pihak Belanda secara licik menggunakan warga kota
keturunan Tionghoa sebagai informan mereka, disamping sebagai pelayan
kegiatan ekonomi bagi kepentingan Belanda. Kapten Alamsyah Ratu
Perwiranegara menilai bahwa kasus mata-mata ini sangat sensitif, ia
segera memerintahkan Letnan Dua Asmuni Nas untuk merazia dan
menyita semua telepon yang digunakan oleh keturunan Tionghoa di
sepanjang Pasar 16 Ilir.
Pertempuran hari ketiga berlangsung pada hari Jumat, tanggal 3
Januari 1947. Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan
perangnya (Darat, Laut, dan Udara) untuk menghancurkan semua garis
pertahanan Pasukan TRI/Lasykar. Ini menunjukan terjadinya konsep
perang tiga matra yang dilakukan Belanda di Palembang.
Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis
baja keluar dari Benteng menuju RS Charitas menerobos Jalan Tengkuruk,
melepaskan tembakan di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI.
Gerakan penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita
yang berada di Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau, manun gagal karena
ranjau-ranjau tersebut gagal meledak. Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde)
dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya pasar itu dapat dikuasai
kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII). Senjata dan amunisi yang
dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata yang
digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai
hasil rampasan dari serdadu Jepang (Abdullah, 1996: 43). Sampai hari

9
ketiga, keadaaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima
kota telah hancur terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda

Kehancuran Kota Palembang karena bom-bom Belanda tersebut


ditambah lagi dengan adanya aksi bumi hangus, seperti jembatan kayu di
24 Ilir, atas perintah Kepala Pertahanan Divisi II, Kapten Alamsyah.
Pembongkaran ini dimaksudkan agar jembatan tidak digunakan oleh
Belanda untuk menerobos dari arah Bukit Kecil menuju Charitas. Bahka,
perintah yang benar-benar ditakuti Belanda adalah aksi bumi hangus
Plaju dan Sungai Gerong. Pada pertempuran hari keempat (4 Januari
1947), Belanda menfokuskan pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan
Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi tersebut untuk
menguasai Charitas dan sekitarnya. Akibatnya pasukan Belanda mulai
terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati gudang amunisi di RS Charitas
dan menembak serdadu Belanda yang berusaha mendekati gudang
tersebut.
Pada 5 Januari 1947, pihak Belanda dapat menguasai beberapa
tempat dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai
Musi dan pesawat terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi
Pasukan TRI. Namun demikian pasukan Belanda mengalami hal yang
sama dengan Pasukan TRI yaitu letih, kurang tidur dan merasa stress,
sedangkan Pasukan TRI telah banyak menderita kerugian baik dari materi
ataupun yang gugur dan luka-luka

10
2. Front Seberang Ilir Barat
Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu
meliputi Tangga Buntung Talang Bukit Besar Talang Semut
Talang Kerangga Emma Laan Sungai Tawar Sekanak Benteng.
Markas Batalyon 32 Resimen XV Divisi II dipimpin Makmun Murod yang
berda di Front Seberang Ilir Barat, yaitu di Sekanak. Komandan Resimen
XV dan Komandan Batalyon 32/XV beserta para perwira yang berada di
markas, sibuk mengatur pertahanan dan merencanakan untuk menyerang
benteng-benteng pertahanan Belanda. Suara tembakan yang saling
bersahutan sudah semakin gencar diselingi oleh dentuman senjata-senjata
berat yang ditembakan dari pos-pos dan gedung-gedung pertahanan
Belanda ke arah kubu pertahan.
Pasukan TRI dan barisan pertahanan rakyat. Pada pertempuran
yang terjadi pada tanggal 1 Januari 1947, pasukan-pasukan disekitar
belakang Benteng mulai terdesak lalu mengundurkaan diri ke sekitar Jalan
Kelurahan Madu dan Jalan Kebon Duku. TRI/Lasykar yang berlokasi di
Bukit terpaksa mengubah taktik yaitu memencarkan diri masuk ke
kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan sekitarnya. Tindakan
ini dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang akan menerobos ke
35 Ilir. Karena apabila pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36 Ilir,
Suro, 29 Ilir dan Sekanak akan terkepung. Usaha pasukan TRI dibawah
pimpinan Mayor Surbi Bustam dilakukan untuk menyerang Gedung BPM
Handelszaken. Serangan ini dibantu oleh Kapten Makmun Murod, Letnan
Satu Asnawi Mangkualam dan Kapten Riyacudu. Dalam pertempuran
tersebut, seorang prajurit yang diketahui pemuda keturunan Tionghoa,
Sing, tertembak dan gugur. Belanda dengan menggunakan kendaraan
berlapis baja dan persenjataan modern berhasil menguasai Kantor Pos,
Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor Walikota dan di sekitar Jalan
Guru-guru di 19 Ilir.
Secara keseluruhan, pertempuran pada hari pertama tersebut,
inisiatif sepenuhnya berada di tangan Pasukan TRI dan pejuang. Belanda

11
dengan segala kemampuannya berusaha mempertahankan pos-pos
pertahanan dan kedudukannya sambil terus malancarkan tembakan-
tembakan ke arah pasukan yang menyerang. Pasukan Belanda boleh
dikatakan tidak berani keluar dari kubu pertahannya, terutama yang
berkududkan di Seberang Ilir, karena gencarnya serangan Pasukan TRI
dan Lasykar. Pasukan Belanda hanya membalas tembakan dari tempat
perlindungan, dengan memuntahkan peluru mortir dan dengan tembakan
howitzer untuk sasaran jarak jauh.
Belanda menerapkan sistem pertahanan saling dukung antar pos-
pos mereka. Jika satu tempat pertahanan terkepung oleh Pasukan TRI,
maka dalam waktu singkat mendapat bantuan dari kubu pertahanan
Belanda lainnya. Bantuan sering berupa tembakan, mortir atau howitzer
atau dukungan tembakan dari kapal perang De Ruiter. Kapal perang
Belanda memang hilir mudik di Sungai Musi, khususnya jenis korvet.
Pada pertempuran hari kedua, Belanda menembakan mortirnya
dengan membabibuta ke arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung. Tujuan
utama adalah menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI
dan rakyat yang terdapat antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Tidak
dapat dihindari lagi peluru tersebut telah mengenai daerah pemukiman
penduduk. Gencarnya tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng
pertahanan dan dan pesawat udara pada 2 Januari 1947 menyebabkan Staf
Komando Batalyon 32/XV oleh Mayor Zurbi Bustam bersama Kapten
Makmun Murod dipindahkan ke Talang. Daerah Suro dan Talang
Kerangga pada saat itu tidak luput dari serangan musuh.
Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh
Belanda semakin aktif, setelah dikeluarkan perintah oleh Kolonel
Mollinger untuk menghancurkan garis pertahanan RI di Emma Laan (Jalan
Kartini) dan Sekolah MULO Talang Semut. Pasukan TRI yang dibawah
pimpinan Letda Ali Usman berhasil menghancuran sekitar 3 regu Pasukan
Belanda yaitu Pasukan Gajah Merah (Perwiranegara, 1987: 75). Belanda
tidak tinggal diam, segera membalas serangan di Emma Laan. Sehingga

12
pada pertempuran hari keempat, Sabtu tanggal 4 Januari 1947, Pasukan
TRI/Lasykar terdesak sehingga mundur ke arah Kebon Gede,Talang dan
Tangga Buntung.
Sebagai resiko perjuangan dari bangsa yang baru merdeka, maka
setiap gerakan pasukan musuh berakibat pada pemindahan dislokasi
pasukan. Walaupun situasi pertempuran selalu dilaporkan kepada
komando pertempuran. Namun laporan tersebut mengalami keterlambatan
akibat sulitnya hubungan komunikasi. Pada hari kelima pertempuran di
Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung, walaupun Pasukan
TRI/Lasykar dan rakyat mulai menampakkan keletihan dan pengiriman
makanan dari dapur umum mulai tidak teratur lagi akibat blokade Belanda.
Sebenarnya blokade ini juga berdampak pada pihak Belanda juga karena
bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke Kota Palembang.
3. Front Seberang Ulu
Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati
sampai Bagus Kuning, selanjutnya meliputi kawasan Plaju Kayu Agung
Sungai Gerong. Untuk tanggung jawab pertahanan dan keamanan di
daerah Palembang Ulu dibebankan kepada Batalyon 34 Resimen XV
dengan Komandan Batalyon Kapten Raden Mas yang bermarkas si
sekolah Cina 7 Ulu (sekarang SHD), yang melakukan perlawanan di
Kertapati sampai Plaju. Pada awal pertempuran tanggal 1 Januari 1947,
tembakan mortir dari pasukan Belanda yang dberada di Bagus Kuning,
Plaju dan Sungai Gerongterus ditujukan ke markas batalyon yang
dipimpin Kapten Raden Mas. Namun demikian, kapal perang Belanda
yang berada di Boom Plaju atau Sungai Gerong belum dapat bergerak
leluasa, karena dihambat oleh pasukan ALRI di Boom Baru.
Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju, dipimpin
Lettu Abdullah di Jalan Kayu Agung dan Sungai Bakung diberi tugas
untuk menghadapi Belanda. Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda
Sumaji bertugas menghadapi Belanda di Bagus Kuning dan Sriguna,
sedangkan Kompi II dibawah pimpinan Letda Z. Anwar Lizano bertugas

13
menghadapi Belanda di pinggir Sungai Musi yang letaknya sejajar dengan
Boom Yetty sampai Pasar 16 Ilir. Pertempuran yang telah terjadi
menimbulkan semangat patriotisme di kalangan pasukan TRI. Bantuan
pasukan segara menuju Palembang. Letkol Harun Sohar telah melepaskan
pemberangkatan pasukan menuju Kertapati dan Lahat dengan
menggunakan kereta api.
Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan perintah kepada
seluruh unsur kekuatan darat, laut dan udara. Belanda untuk meningkatkan
gempuran dan berusaha menerobos setiap garis pertahanan TRI dan badan-
badan perjuangan rakyat. Pewasat-pesawat terbang dan kapal-kapal perang
Belanda semakin menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang
menjadi tempat bertahan pasukan-pasukan TRI yang berada di Seberang
Ulu dan Ilir. Kapal perang jenis korvet menembakan mesin kesepanjang
Sungai Musi terutama di pos-pos pertahanan RI, terutama yang berlokasi
di sekitar 7 Ulu.
Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan
menggunakan senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai
milik kompi III Batalyon 34 di 7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan
menggunakan senjata seperti itu, pasukan Hizbullah dibawah pimpinan
Letkol (Lasykar) M. Ali Thoyib berhasil menembak sebuah motorboat
Belanda yang sedang mengangkat amunisi milik Belanda dari Plaju
menuju ke Benteng. Serangan terhadap motorboat Belanda mengakibatkan
kemarahan pasukan Belanda. Mereka membalas dengan mengirim pesawat
Mustang dan secara terus-menerus menhujani basis pasukan di 7 Ulu
dengan tembakan bertubi-tubi selama dua jam. Hal ini menimbulkan
korban yang besar di kalangan Pasukan TRI/Lasykar dan rakyat. Bantuan
terhadap pasukan Front Seberang Ulu datang dari Lahat dan Baturaja
dikirim ke Bagus Kuning.
Pada tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan
Belanda semakin memperhebat tekannya terhadap pasukan RI sehingga
pasukan TRI yang berada di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu.

14
Kapal-kapal perang Belanda melakukan patroli mulai dari perairan Sungai
Gerong di bagian Hilir sampai ke perairan Kertapati, Keramasan di bagian
Hulu. Pada hari kelima, tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita dalam
keadaan lelah, sekalipun hal itu tidak mengendorkan semangat perjuangan.

C. Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran


Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima
kedatangan Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo,
yang mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata
Gubernur Muda telah menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang
diterima oleh pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa akan
datang ke Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan
pemerintah pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan
pihak Belanda.
Perundingan ini dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan
strategis dengan alasan:
1. Pertama, mencegah korban lebih banyak
2. Kedua, kita perlu mengadakan konsolidasi kekuatan kembali
3. Ketiga, dari segi politis akan memberikan gambaran kepada dunia
internasional bahwa RI cinta perdamaian, sekaligus menegaskan bahwa
pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerahnya.
Perhitungan yang melandasi berunding dari pihak RI adalah berdasarkan:
1. Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu cukup lama,
mungkin bertahun-tahun.
2. Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan berada di Kota
Palembang, bila sampai bertempur habis-habisan akan memperlemah
kekuatan pada masa selanjutnya.
Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang melakukan pejajakan
perundingan. Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda yang mewakili
Pemerintah Sipil; Mayor M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi Garuda II
yang mewakili pasukan-pasukan dari Komando Pertempuran dan Komisaris

15
Besar Polisi, Mursoda, yang mewakili Kepolisian (Perikesit, 1995: 69).
Perundingan antara RI Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1947, di
Rumah Sakit Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel
Bambang Utoyo, Komandan Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua
dan Mayor Laut A.R. Saroingsong. Pertemuan dengan pihak Belanda
sebenarnya telah mereka nanti-nantikan, sebab posisi Belanda benar-benar
terjepit dan belum bisa mengadakan link up. Mereka masih terkurung dalam
kubu per kubu yang terpisah satu sama lainnya.
Dalam perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota Palembang
dikosongkan dari seluruh pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh delegasi
RI. Pihak RI bersedia menarik TRI dan Lasykar dari kota, tapi ALRI,
Kepolisian dan Pemerintahan Sipil tetap berada di dalam kota. Dengan alasan
bahwa ALRI tidak mempunyai hubungan dengan Angkatan Darat. Adapun
maksud tersembunyi adalah Pasukan ALRI yang tinggal di Kota Palembang
akan menjadi penghubung dan mata-mata, disamping Polisi dan Pemerintahan
Sipil, guna mengawasi kegiatan Belanda.

Akhirnya Pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan gencatan


senjata (cease fire) antara kedua belah pihak, dimana TRI/Lasykar harus kelur
dari Kota Palembang sejauh 20 Kilometer kecuali Pemerintah Sipil RI dan
ALRI masih tetap berada di dalam kota. Sedangkan pos-pos Belanda hanya
boleh sejauh 14 Km dari pusat kota. Jalan raya di dalam kota dijaga pasukan
Belanda dengan rentang wilayah 3 Km ke kiri dan kanan jalan. Hasil
perundingan ini selanjutnya segera disampaikan ke markas besar TRI di
Yogyakarta.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pertempuran Lima Hari Lima Malam merupakan upaya yang dilakukan
Pasukan TRI, Lasykar dan Rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di
Kota Palembang. Dalam pertempuran itu, pihak lawan menguasai udara dan
perairan (air and sea superioritary). Karena superioritas itulah mereka dapat
bertahan dan disinilah pula terletak kelemahan kita serta tidak mempunyai
perhubungan yang modern.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan
pertempuran tiga matra dan perang terbesar dan terlengkap yang pertama kali
kita alami. Namun pihak kita hingga akhir pertempuran masih dapat bertahan
berkat semangat pengorbanan jiwa, jihad dan patriotisme yang besar dari para
pejuang dan rakyat.

B. Saran
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai pedoman
penulisan makalah yang lebih baik kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Said, Abi Hasan.(1992). Bumi Sriwijaya Bersimbah Darah. Jakarta. Yayasan


Krama Yudha.

Hanafiah, Djohan. (1988). 82 Tahun Pemerintahan Kota Palembang. Jakarta. C.V


Haji Masagung

https://lemabang.wordpress.com/2009/04/12/upaya-menghadapi-serangan-
belanda-pada-pertempuran-5-hari-5-malam-di-palembang/

18
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam membuat Makalah ini dan teman-teman yang telah
memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan Makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu, Agustus 2017

Penyusun

i
19
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFATR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Provokasi Belanda. ............................................................................... 3
B. Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam. ....................................... 7
C. Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran. ............................ 15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .......................................................................................... 17
B. Saran .................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

ii

20
MAKALAH
PERTEMPURAN 5 HARI 5 MALAM DI PALEMBANG

Disusun Oleh Kelompok 5 :


1. ANDI RACHMAT
2. AURELLY FR
3. BIMA PAMUNGKAS
4. RANITRI SD
5. YULANDA
6. HULANDARI

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 10


KOTA BENGKULU
2017

21

Anda mungkin juga menyukai