Anda di halaman 1dari 16

KEARIFAN LOKAL RAJA DAN BAJAK LAUT

DALAM KAITAN BATAS MARITIM:


KESULTANAN RIAU-LINGGA-JOHOR-PAHANG

Assoc. Prof. Dato’ Wira Dr. Drs. H. Abdul Malik, M.Pd.


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Maritim Raja Ali Haji
Tanjungpinang, Kepulauan Riau Seminar Daring Pusat Riset Kelautan,
Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia
Jakarta, Selasa, 22 September 2020
PENDAHULUAN
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang atau Johor-Riau-Pahang-Lingga
berdiri pada 1528. Kesultanan ini adalah pelanjut dan atau pewaris
Kesultanan Melaka, yang direbut Portugis pada 1511. Kesultanan
Melaka berakhir di Bintan pada 1528.
Dalam perjalanannya, Kesultanan RLJP mengalami beberapa kali
perpindahan pusat pemerintahan antara Johor Lama (bagian Malaysia
sekarang) dan Kepulauan Riau (Tanjungpinang dan Lingga).
Melalui Traktat London (17 Maret 1824) Kesultanan RLJP dipecah dua
oleh Belanda dan Inggris. Wilayah Johor, Singapura, dan Pahang di
bawah pengawasan Inggris dan membentuk kesultanan sendiri.
Wilayah Riau-Lingga (Kepulauan Riau dan sebagian Riau
Daratan, Inderagiri) menjadi Kesultanan Riau-Lingga (1824-
1913). Kesultanan ini dihapus secara sepihak oleh Belanda pada 1913.
BAJAK LAUT
Mereka adalah rakyat yang biasa juga disebut Orang Laut, Orang Lanun,
Orang Selat, dll. yang menghuni Kepulauan Riau, pesisir dan pulau-pulau di
lepas pantai Sumatera Timur, dan Semenanjung Malaysia bagian selatan.
Mereka telah ada sejak Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Melaka, Kesultanan
Riau-Johor-Pahang-Lingga, dan Kesultanan Riau-Lingga.
Mereka berperan penting dalam menjaga laut, mengusir dan mengacau musuh kerajaan
(terutama Portugis, Belanda, dan Inggris serta sekutunya), dan memandu para
pedagang ke pelabuhan Kerajaan-Kerajaan Melayu.
Wilayah operasional mereka sepanjang Selat Melaka sampai ke perbatasan
Laut Jawa terus ke Laut Natuna Utara.
Dalam situasi normal, mereka bekerja sebagai
1. Nelayan
2. Pedagang antarpulau (pemasok barang keperluan sehari-hari penduduk)
3. Pemandu pelayaran
4. Pembuat senjata
5. Pembuat perahu/kapal tradisional
Di atas itu, mereka dikenal sebagai “Pasukan Pertikaman” atau Prajurit
Kesultanan yang gagah berani dan paling setia kepada Raja-Raja
Melayu. Pemimpin mereka ada yang menduduki jabatan Panglima.
RAJA DAN BAJAK LAUT DI KESULTANAN RLJP
“Syahadan apabila mangkatlah Sultan Alauddin Riayat Syah itu, maka menggantikan kerajaannya
puteranya yang bergelar Sultan Muzaffir Syah. Adalah umurnya waktu ia menjadi raja, iaitu sembilan belas
tahun. Adalah baginda itu baik adabnya [huruf miring oleh HAM] dengan orang tua-tua, tiada ia
membicarakan suatu pekerjaan melainkan muafakat dengan Datuk Bendahara dan Seri Nara Diraja serta
Temenggung Sedewa Raja serta orang yang tua-tua sekalian. Dan masa kerajaannyalah tiada
boleh Feringgi ke laut-laut lagi dengan sebuah dua, melainkan didapatlah oleh
perompak Johor. Syahadan pada masa Sultan Muzaffir Syah inilah membuat kubu di Seluyut, lalu dibuat
negeri sekali,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 9-10).

Tokoh di atas Sultan Muzaffir Syah (1564-1570), sultan ke-2 Kesultanan


RLJP. Baginda dikenal sangat beradab, sangat dicintai oleh rakyatnya.
Pada masa pemerintahannya, Feringgi (Portugis) tak mampu menguasai
Kesultanan RLJP karena akan dihadang oleh rakyat yang mengubah
wujud mereka menjadi bajak laut yang sedia dan setia menghadang
kekuatan Portugis di laut-laut wilayah takluk Kesultanan Johor-Riau.
RAJA DAN BAJAK LAUT
DI KESULTANAN RLJP
Perlawanan terhadap Portugis dilanjutkan
oleh Sultan-Sultan berikutnya sampai
Portugis meninggalkan Melaka pada
17 Januari 1641.
Perlawanan kemudian dilakukan terhadap
Belanda sampai awal abad ke-20.
Dalam semua perlawanan terhadap bangsa
asing itu, pasukan Bajak Laut memainkan
peran penting membantu Kesultanan
Melayu.
JASA BAJAK LAUT: Perang Riau I (1782-1784)
Peperangan dengan Belanda telah dimulai sejak 1757di bawah
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1760).

SUASANA AKHIR PERANG RIAU I (6 Januari 1784),


PIMPINAN RAJA HAJI FISABILILLAH.
TEMPAT: Tanjungpinang dan sekitarnya.
“… Maka kapal itupun keras juga hendak masuk. Maka lalulah berperang semula dengan kubu yang di Teluk Keriting itu.
Maka azamatlah bunyinya meriam kapal itu. Maka seketika berperang itu maka kubu Teluk Keriting pun hendak tewas
sebab ubat bedilnya habis. Maka menyuruhlah Yang Dipertuan Muda itu mengantarkan ubat sebuah sampan. Adalah
yang mengantarkan ubat bedil itu Syahbandar Bopeng, adalah budak yang mengayuhkannya, kepala satu budak anak
baik-baik namanya Encik Kalak. Maka sampan itupun dibedil oleh kapal dari laut dengan peluru penaburnya, maka
sampan itupun tenggelam. Maka lepaslah satu tong ubat bedil itu dipikul oleh orang sampan itu naik ke darat kepada
kubu Teluk Keriting itu. Maka dapatlah lima kali tembak, maka dengan takdir Allah taala kapal itupun terbakar, meletub
berterbangan geladak kapal itu ke udara dan segala orang-orangnya pun habislah mati diterbangkan oleh ubat bedil
yang meletub itu. Syahadan adalah pada suatu kaul, orangnya ada delapan ratus yang mati dan ada satu
komesarisnya yang mati bersama-sama kapal itu….” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 204).

Catatan: Kapal Belanda Malaka’s Walvaren.


JASA BAJAK LAUT: Perang Riau I (1782-1784)

BAJAK LAUT MENJADI PASUKAN PERTIKAMAN


atau PRAJURIT GARIS TERDEPAN KESULTANAN.
Selama Perang Riau I (1782-1784), pasukan
Bajak Laut itu terus mengawal wilayah
kekuasaan Kesultanan RLJP di bawah
pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-
1812) dan YDM Raja Haji Fisabilillah (1777-
1784).
JASA BAJAK LAUT: Perang Riau II (1784-1787)
Pasukan Kesultanan RLJP tak menghentikan perlawanan terhadap Belanda. Sultan Mahmud Riayat Syah dan
Raja Haji bersama pasukannya, termasuk para bajak laut, mengejar armada yang ditarik mundur ke
Melaka. (Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak: 1602 tot 1865 1870:187-189). Dalam perang di Teluk
Ketapang, Melaka, Raja Haji gugur sebagai syuhada, 18 Juni 1784.h

Pada 22 Juni 1784 Belanda datang lagi ke Tanjungpinang. Sejak itu, terjadilah Perang Riau II, yang
dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Perang Riau II mencapai
puncaknya pada 10-13 Mei 1787.
Dalam perang ini, Sultan Mahmud dibantu oleh pasukan dari Sulu (Filipina Selatan) dan Tempasuk
(Kalimantan) yang dipimpin oleh Raja Ismail. Bantuan berupa 90 kapal perang dan 7.000 tentara. Pasukan
pimpinan Raja Ismail itu disebut Lanun atau Bajak Laut oleh Belanda. Perang itu telah
menghancurkan garnizun Belanda di Tanjungpinang dan menewaskan tentara mereka. Bahkan, David
Ruhde, Residen Belanda di Tanjungpinang kala itu, lari ke Melaka untuk menyelamatkan diri.
Setelah berakhirnya Perang Riau II, sebagian bala tentara Bajak Laut kembali ke Sulu dan Tempasuk, tetapi
sebagian lagi tetap tinggal di Kepulauan Riau mendampingi dan mengawal Sultan Mahmud Riayat Syah.
Mereka tinggal menyebar di pulau-pulau wilayah Kepulauan Riau dan Inderagiri, di
bawah pimpinan Temenggung Engku Muda Muhammad.
JASA BAJAK LAUT: Perang Gerilya Laut
Pemimpin perang: Sultan Mahmud Riayat Syah
Waktu: 24 Juli 1787 – 29 Mei 1795
Pada 24 Juli 1787 Sultan Mahmud memindahkan pusat pemerintahan ke
Daik, Lingga (Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, sekarang). Di tempat
yang baru itu, Baginda menerapkan Perang Gerilya Laut. Dengan strategi
itu, pasukan Sultan Mahmud betul-betul merugikan bisnis Belanda.
Pada 20 Juni 1790 Sultan Mahmud Riayat Syah membentuk Persekutuan
Melayu: Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang , Terengganu, Rembau,
Siak, dan Kedah. Angkatan perang dari Sulu, Terengganu, Lingga, Johor,
Inderagiri, Kota Karang, dan Siantan terdiri atas 400 kapal perang
(Netscher, 1870). Kapal-kapal perang itu mengawal Selat Melaka sampai
ke Laut Natuna Utara. Markas besarnya di Bulang (wilayah Batam
sekarang).
JASA BAJAK LAUT: Perang Gerilya Laut
Sejak 1788 sampai 1793 pasukan Sultan Mahmud melakukan gerilya laut dengan merampas timah di
wilayah kekuasaan VOC di Kelabat dan Merawang di Bangka. Pasukan itu dipimpin oleh Panglima
Raman, pemimpin bajak laut, anak buah Engku Muda Muhammad. Menurut pengakuan
Gubernur VOC di Melaka, de Bruijn, kekuatan armada VOC tak mampu menandingi kekuatan
armada laut Sultan Mahmud di “belantara lautan” Kepulauan Lingga (jumlah pulau di Lingga 604
pulau, pen.).
Pejabat Inggris di Penang (bagian Malaysia sekarang) melaporkan pada Januari 1788:
“Sultan Mahmud Riayat Syah adalah penguasa terbesar dan paling jenius di kalangan
pemimpin Melayu,” (Vos, 1993).
Akhirnya, 29 Mei 1795 Gubernur Jenderal VOC-Belanda di Batavia mengakui
kedaulatan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah pimpinan Sultan Mahmud
Riayat Syah. Selanjutnya, Sultan Mahmud terus membantu kerajaan-kerajaan
nusantara lainnya melawan Belanda dengan angkatan perang dan atau persenjataan
sampai akhir hayat Baginda (12 Januari 1812).
JASA BAJAK LAUT: Perlawanan Sultan Mahmud Syah IV

Sultan Mahmud Muzaffar Syah mulai berkuasa pada 1842. Misinya


menyatukan kembali Kesultanan-Kesultanan Melayu yang telah dipecah belah
oleh Belanda dan Inggris.
Untuk mewujudkan misinya itu, Baginda terus menjalin komunikasi dengan para pemimpin
pecahan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, termasuk Singapura.
Sultan Mahmud bekerja sama dengan kelompok bajak laut yang dipimpin oleh
Panglima Besar Tengku Sulung, yang berkedudukan di Retih (bagian dari Inderagiri Hilir,
Riau Daratan, sekarang). Panglima Besar Sulung memang telah lama mengacau pelayaran
kapal-kapal dagang Belanda dan sekutunya.
Karena berasa terancam, Belanda memakzulkan Sultan Mahmud Syah IV pada 1858.
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1858-1883) dilantik oleh Belanda menggantikan Sultan
Mahmud IV. Karena berada di bawah Belanda, Sultan Sulaiman harus menandatangani
perjanjian, antara lain, bersedia menumpas bajak laut bersama Belanda. Untuk
mempertahankan kedudukan mereka, perjanjian itu disetujui, baik oleh Sultan maupun
Yang Dipertuan Muda.
JASA BAJAK LAUT: Perlawanan Sultan Mahmud Syah IV
Sultan Mahmud IV tak peduli dipecat oleh Belanda. Baginda terus bernegosiasi
dengan para pemimpin Melayu Semenanjung.
Panglima Besar Sulung juga tak mengakui Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II
sebagai sultan. Beliau melakukan perlawanan terhadap Belanda dan kesultanan.
Pasukannya mendapatkan bantuan persenjataan dari Sultan Mahmud IV yang
dikirim dari Singapura.
Mulai 9 Oktober 1858 pasukan gabungan Belanda dan Kesultanan Riau-Lingga
menyerang Panglima Sulung di Retih. Perang berkecamuk dan baru berakhir pada 7
November 1858 dengan gugurnya Panglima Besar Sulung di benteng Retih.
Dalam pada itu, misi Sultan Mahmud Muzaffar Syah di Semenanjung juga gagal
karena pengkhianatan kalangan sendiri.
JASA BAJAK LAUT: Amuk Raja Ismail
Raja Ismail adalah bangsawan Kesultanan Siak yang
tersingkir dari negerinya pada 1761. Sejak itu beliau keluar
dari Siak menuju Siantan (Kabupaten Kepulauan Anambas,
sekarang).
Di Siantan beliau disambut baik dan membangun kekuatan
sebagai Ketua Bajak Laut. Beliau dibantu oleh pemimpin
setempat, Raja Negara.
Sebagai penguasa bajak laut, Raja Ismail dan pasukannya
menguasai Laut Tiongkok Selatan, perairan timur Sumatera,
menaklukan Mempawah (Kalimantan Barat) mengendalikan
perdagangan timah di Bangka. Pada 1767, beliau mendapatkan
bantuan dari Sultan Palembang sebesar 1000 pikul perak sebagai
jaminan karena armada laut Raja Ismail menjaga perairan Bangka.
JASA BAJAK LAUT: Amuk Raja Ismail
Beliau juga diizinkan membuka tambang timah di Bangka.
Beliau melakukan hubungan dengan Jambi dan Trengganu.
Beliau juga berjaya menyerang Thailand Selatan, tetapi
gagal menaklukkan Selat Singapura karena dihadang
pasukan Kesultanan RLJP.
Pada 1779 beliau berhasil mengambil alih kekuasaan dan
menjadi Sultan Siak sampai 1781. Beliau digantikan oleh
anaknya, Sultan Yahya, sebagai penguasa Kesultanan Siak.
Justeru, melalui perjuangan Bajak Laut.
Dari Siantan (Kepulauan Riau) Raja Ismail berjaya merebut
haknya kembali di Siak.
Raja Ismail dan pasukan bajak lautnya sangat
ditakuti oleh Belanda.
PENUTUP
Bajak laut di wilayah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1528-1824) dan
selanjutnya Kesultanan Riau-Lingga (1824-1913) tak murni perompak yang mencari
keuntungan dari kegiatan kejahatan, tetapi umumnya bajak laut politik.
Mereka berupaya menyingkirkan Belanda. dan sangat mengancam kapal-kapal
Belanda dan sekutu dagangnya. Mereka umumnya dikoordinasikan, bahkan
dipimpin langsung, oleh pihak pemerintah kerajaan sehingga disukai oleh rakyat .
Mereka umumnya sangat setia kepada Sultan-Sultan Melayu.

Keberadaan mereka hampir merata di wilayah Kesultanan yang sekarang disebut


Kepulauan Riau.

Sebagian di antara mereka tak bertempat tinggal menetap, tetapi hidup berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka yang berpindah-pindah itu tak
memiliki tempat tinggal di darat. Mereka hidup di perahu-perahu.

Para bajak laut itulah yang mengawal kawasan perbatasan, di samping pasukan
militer resmi kerajaan.

Anda mungkin juga menyukai