Pada 22 Juni 1784 Belanda datang lagi ke Tanjungpinang. Sejak itu, terjadilah Perang Riau II, yang
dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Perang Riau II mencapai
puncaknya pada 10-13 Mei 1787.
Dalam perang ini, Sultan Mahmud dibantu oleh pasukan dari Sulu (Filipina Selatan) dan Tempasuk
(Kalimantan) yang dipimpin oleh Raja Ismail. Bantuan berupa 90 kapal perang dan 7.000 tentara. Pasukan
pimpinan Raja Ismail itu disebut Lanun atau Bajak Laut oleh Belanda. Perang itu telah
menghancurkan garnizun Belanda di Tanjungpinang dan menewaskan tentara mereka. Bahkan, David
Ruhde, Residen Belanda di Tanjungpinang kala itu, lari ke Melaka untuk menyelamatkan diri.
Setelah berakhirnya Perang Riau II, sebagian bala tentara Bajak Laut kembali ke Sulu dan Tempasuk, tetapi
sebagian lagi tetap tinggal di Kepulauan Riau mendampingi dan mengawal Sultan Mahmud Riayat Syah.
Mereka tinggal menyebar di pulau-pulau wilayah Kepulauan Riau dan Inderagiri, di
bawah pimpinan Temenggung Engku Muda Muhammad.
JASA BAJAK LAUT: Perang Gerilya Laut
Pemimpin perang: Sultan Mahmud Riayat Syah
Waktu: 24 Juli 1787 – 29 Mei 1795
Pada 24 Juli 1787 Sultan Mahmud memindahkan pusat pemerintahan ke
Daik, Lingga (Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, sekarang). Di tempat
yang baru itu, Baginda menerapkan Perang Gerilya Laut. Dengan strategi
itu, pasukan Sultan Mahmud betul-betul merugikan bisnis Belanda.
Pada 20 Juni 1790 Sultan Mahmud Riayat Syah membentuk Persekutuan
Melayu: Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang , Terengganu, Rembau,
Siak, dan Kedah. Angkatan perang dari Sulu, Terengganu, Lingga, Johor,
Inderagiri, Kota Karang, dan Siantan terdiri atas 400 kapal perang
(Netscher, 1870). Kapal-kapal perang itu mengawal Selat Melaka sampai
ke Laut Natuna Utara. Markas besarnya di Bulang (wilayah Batam
sekarang).
JASA BAJAK LAUT: Perang Gerilya Laut
Sejak 1788 sampai 1793 pasukan Sultan Mahmud melakukan gerilya laut dengan merampas timah di
wilayah kekuasaan VOC di Kelabat dan Merawang di Bangka. Pasukan itu dipimpin oleh Panglima
Raman, pemimpin bajak laut, anak buah Engku Muda Muhammad. Menurut pengakuan
Gubernur VOC di Melaka, de Bruijn, kekuatan armada VOC tak mampu menandingi kekuatan
armada laut Sultan Mahmud di “belantara lautan” Kepulauan Lingga (jumlah pulau di Lingga 604
pulau, pen.).
Pejabat Inggris di Penang (bagian Malaysia sekarang) melaporkan pada Januari 1788:
“Sultan Mahmud Riayat Syah adalah penguasa terbesar dan paling jenius di kalangan
pemimpin Melayu,” (Vos, 1993).
Akhirnya, 29 Mei 1795 Gubernur Jenderal VOC-Belanda di Batavia mengakui
kedaulatan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah pimpinan Sultan Mahmud
Riayat Syah. Selanjutnya, Sultan Mahmud terus membantu kerajaan-kerajaan
nusantara lainnya melawan Belanda dengan angkatan perang dan atau persenjataan
sampai akhir hayat Baginda (12 Januari 1812).
JASA BAJAK LAUT: Perlawanan Sultan Mahmud Syah IV
Sebagian di antara mereka tak bertempat tinggal menetap, tetapi hidup berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka yang berpindah-pindah itu tak
memiliki tempat tinggal di darat. Mereka hidup di perahu-perahu.
Para bajak laut itulah yang mengawal kawasan perbatasan, di samping pasukan
militer resmi kerajaan.